Sabtu, 21 Maret 2015

Ranjang Yang Ternoda 10

BAGIAN SEPULUH (PART 10 OF 12)
NAMANYA LIDYA
Oleh Pujangga Binal & Friends
"Apa?" Lidya Safitri terbelalak kaget. Bola matanya yang
indah menatap suaminya yang saat itu tengah membaca
koran di ruang tamu. Kalau saja Lidya tidak mampu
menguasai emosinya, kopi yang ia bawakan untuk Andi akan
tumpah.
"Apa kenapa, sayang?" Andi balik melihat ke arah istrinya
yang sedang berdiri kaku dengan heran.
"K - K - Kamu barusan bilang apa........??"
"Sudah panjang lebar cerita ternyata masih harus diulang,
makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin," keluh
Andi, "tadi aku bilang, aku sudah menemukan rumah
kontrakan yang bagus. Tempatnya tidak jauh dari sini,
fasilitas lumayan, harganya juga murah. Aku sudah ajak
Bapak ke sana, katanya sih cocok."
Lidya mengangguk, bukan kabar ini yang membuatnya kaget.
Kabar ini justru membuatnya senang sekali. Adalah kalimat -
kalimat selanjutnya yang hampir membuat jantungnya
berhenti berdetak.
"Dalam waktu dekat Bapak mau pindah ke sana." Lanjut Andi,
"Tapi... kata Bapak sebelum dia menempati rumah kontrakan
yang baru, dia pengen balik sebentar ke desa. Berpamitan,
ziarah atau apalah..." Andi membalik halaman koran yang ia
baca sambil terus menerangkan hal yang sebenarnya baru
saja ia sampaikan pada Lidya, "...berhubung aku harus
mengurus kontrakan baru Bapak ditambah kerjaan yang belum
selesai di kantor, maka kamu yang nganterin Bapak ke desa."
Inilah yang membuat Lidya terkejut setengah mati.
"T - t - tapi, mas... kenapa Bapak tidak pulang sendiri saja?"
"Ah, kamu ini!" Andi menatap Lidya dengan tatapan mata
galak. Pria itu paling benci kalau Lidya tidak mau berkumpul
atau menyatu dengan keluarganya. "Bapak kan sudah tua,
kasihan dong harus pergi jauh seorang diri walaupun hanya
untuk sebentar. Biar bagaimana juga dia itu bapakku! Masa
gitu aja kamu nggak mau? Kalau saja aku ada waktu, aku
yang akan mengantarkannya ke desa! Aku tidak akan minta
bantuanmu!"
"Bukan begitu. Bapak kan masih kuat, Mas. Aku pikir..." Lidya
terus mencari celah untuk menghindar, si cantik itu
meletakkan kopi Andi di meja tanpa sedikitpun menatap
matanya. Dia tidak berani bertatapan mata langsung dengan
suaminya, ia takut Andi akan mencurigainya. Lidya tidak ingin
suaminya tahu ayahnya sendiri hampir tiap hari menidurinya.
Lidya melanjutkan kalimatnya, ia mencoba mencari alasan
yang tidak akan menyinggung perasaan Andi. "Aku juga tidak
yakin beliau mau aku temani pulang ke desa..."
Andi mengeluarkan nafas panjang. "Aku kemarin sudah
ngobrol sama Bapak. Tadinya dia memang menolak ditemani
siapa - siapa, dia bilang tidak mau merepotkan. Tapi setelah
aku bujuk lama - lama luluh juga. Bapak akhirnya setuju
kamu antar."
Lidya membalikkan tubuh untuk menyembunyikan wajahnya
yang pucat pasi. Tubuhnya bergetar ketakutan dan
keringatnya mulai menetes. Andi memang tidak tahu kalau
Pak Hasan yang terhormat telah memperlakukan istrinya
dengan tidak senonoh. Bayangkan apa yang akan dilakukan
lelaki tua cabul itu jika Andi memberikan peluang bagi Pak
Hasan untuk berdua saja dengannya?? Bagaimana ini? Apa
yang harus ia lakukan? Bagaimana menolaknya?
"Kapan Bapak mau berangkat, Mas? Berapa lama di sana?"
tanya Lidya dengan penuh harap. Tidak ada gunanya melawan
Andi kalau sedang seperti ini.
"Berangkat besok lusa, naik bis. Mungkin sekitar empat hari,
kalian menginap di rumah sahabat Bapak di desa, namanya
Pak Raka. Kebetulan yang punya rumah malah baru pergi ke
kota. Keluarganya juga kenal dengan aku kok, keluarga Pak
Raka sudah seperti keluarga kita sendiri, dulu waktu kecil aku
sering tidur di rumah Pak Raka......" jawab Andi sambil terus
membaca korannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Lidya.
Lidya memejamkan mata dan berusaha menahan geram. Sial.
###
Sudah hampir setengah jam Lidya menunggu, ia melirik ke
arah jam tangan cantik yang melingkar di pergelangan tangan
kirinya. Bis belum juga datang, padahal hari sudah semakin
larut. Jika mereka berangkat terlalu malam, mereka baru akan
sampai di desa esok siang. Perjalanan cukup jauh dan wanita
cantik itu tidak begitu suka berduaan saja dengan mertuanya
untuk waktu yang cukup lama. Bus malam yang akan
membawa mereka pulang ke desa sudah dibeli tiketnya dan
sudah dijadwalkan akan berangkat dari tempat ini... setengah
jam yang lalu.
Seorang lelaki botak bertubuh gemuk berjalan pelan mendekati
Lidya. Ia duduk di samping wanita cantik itu sambil
menikmati cemilan kacang yang sudah hampir habis.
Mulutnya terus berkomat - kamit mengunyah kacang.
"Bis itu pasti datang, Nduk. Sabar saja." Kata pria yang baru
datang dengan tenang. "Penjual tiketnya bilang jalan macet,
jadi busnya terlambat masuk terminal."
Lidya menggerutu. Walaupun tidak menyukai keterlambatan,
dia justru berharap bis yang mereka naiki tidak kunjung
datang hingga tahun depan. Si manis itu beringsut menjauh
dari posisi duduk yang berdekatan dengan si pria gemuk yang
sangat ia benci hidup mati. Pria gemuk itu tentunya adalah
ayah mertuanya yang bernama Hasan. Lidya cukup kesal
karena Andi tidak bisa menemani mereka, paling tidak sampai
bisnya datang. Andi malah hanya mengantar sampai pintu
terminal dan buru - buru berangkat ke kantor. Suaminya itu
tidak tahu, dia tengah mengumpankan anak ayam ke kandang
buaya.
Pak Hasan bukan orang bodoh, ia sadar Lidya berusaha
menghindarinya. Pria tua mesum itu melirik ke arah
menantunya yang mempesona. Sungguh pemandangan indah
yang tiada duanya, rambut panjang yang indah, tubuh tinggi
dengan kaki jenjang, kulit putih mulus bagai pualam, lekukan
tubuh menggiurkan, wajah cantik rupawan dan buah dada
yang sempurna. Seorang bidadari yang turun dari khayangan.
Pria tua itu tersenyum bangga, semua keindahan itu... kini jadi
miliknya.
...paling tidak untuk empat hari ke depan.
Pak Hasan terkekeh kalau mengingat anaknya yang bodoh.
Mudah sekali Andi ditipu. Pak Hasan berpura - pura tidak
mau diantar Lidya pulang ke kampung, padahal dalam hati ia
ingin sekali membawa menantunya yang molek itu dan
menidurinya setiap hari di sana. Hawa di desa agak dingin
dan berangin, pasti enak kalau tidur kelon dengan Lidya.
Dengan sedikit tipu daya, bukan dia yang merengek ingin
membawa Lidya, malah Andi yang memaksa dia mengajak si
cantik itu. Ini mungkin yang dinamakan pucuk dicinta ulam
tiba. Pak Hasan pun berhasil mengajak Lidya menemaninya ke
kampung.
Sambil menghabiskan kacangnya, Pak Hasan mengamati
kanan kiri. Beberapa orang di terminal sepertinya tidak tahan
untuk tidak melirik ke arah Lidya. Hampir semua laki - laki
yang ada di sana tidak mampu menjauhkan mata dari pesona
menantunya, tidak tua tidak muda. Bahkan ada beberapa
orang laki - laki yang berjalan bersama pasangannya melirik
diam - diam ke arah si cantik itu. Geli juga Pak Hasan
melihat ekspresi benci seorang wanita melihat pasangannya
ngiler melihat Lidya.
Dilihat dari cara berpakaiannya kali ini sebenarnya Lidya tidak
terlalu menampilkan kemolekan tubuhnya, hanya saja karena
dia memang terlampau menarik, orang dengan mudah
terpesona. Saat ini Lidya mengenakan baju putih kancing
depan berlengan panjang yang ditekuk hingga tiga perempat.
Baju itu agak ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya
namun tidak terlalu seksi. Seperti biasa, Lidya melepas satu
kancing teratas karena rasanya sesak dan memperlihatkan
sedikit saja belahan dada sentosa. Ia mengenakan rok pendek
selutut dengan warna abu - abu tua yang membalut pahanya
yang mulus dan memperjelas keindahan kakinya yang jenjang.
Menyadari banyak laki - laki melirik ke arahnya Lidya memilih
diam dan mengenakan kacamata hitamnya, ia berpura - pura
memperhatikan bis yang datang dan pergi dan tidak
menghiraukan mereka. Toh tidak ada gunanya ditanggapi.
Lama kelamaan si cantik itu melamun, benaknya melayang
tak tentu arah. Lidya menyesalkan kehidupan yang telah
dikacaukan oleh ayah mertuanya yang mesum dan cabul. Ia
sudah mengkhianati suaminya dengan menyerahkan
barangnya yang berharga pada Pak Hasan. Belum lagi
ketidakjelasan kakak - kakaknya yang juga entah bagaimana
nasibnya...
Sampai sejauh ini ia sudah...
Terbangun dari lamunan, Lidya baru menyadari kalau tangan
gemuk Pak Hasan telah melingkar di pundaknya dan beberapa
kali memencet buah dadanya. Dengan risih Lidya
menggoyangkan badan untuk melepaskan kaitan lengan sang
ayah mertua.
"Apaan sih Bapak?!" Kata Lidya ketus, ia memasang muka
masam, "ini tempat umum. Jangan macam - macam."
Pak Hasan mencibir. "Dulu kamu pernah seperti ini di mal dan
pasar, bahkan saat itu keadaan lebih parah. Apa bedanya
dengan terminal? Sama - sama tempat umum kan?"
"Pokoknya aku nggak mau seperti dulu lagi... aku ini..."
"Jangan banyak omong!!" tiba - tiba saja Pak Hasan
menghardik dengan galak.
Lidya tercekat kaget, dia tidak mengira Pak Hasan akan
membentaknya. Satu hal yang ia takutkan pada saat ini
adalah mengundang perhatian orang sekitar. Melihat emosi
Pak Hasan meledak, Lidya mengalah karena melihat beberapa
orang melirik ke arah mereka. Dengan terpaksa ia membiarkan
tubuhnya yang indah digerayangi sang mertua.
Dengan berani pria tua itu melingkarkan tangannya di
pinggang ramping Lidya. Orang - orang yang melihat akan
menganggap kedua orang ini sebagai pasangan karena mesra
sekali. Rabaan tangan Pak Hasan melaju tanpa henti di tubuh
Lidya, menggerayangi dan menikmati setiap lekuk tubuhnya
yang indah. Membuat iri mereka yang melihatnya, bagaimana
mungkin seorang pria botak, gemuk dan jelek seperti Pak
Hasan bisa menaklukan wanita seindah Lidya sungguh di luar
daya khayal mereka.
Untunglah penderitaan Lidya tak berlangsung lama karena bus
yang mereka tunggu - tunggu akhirnya datang juga.
Pak Hasan mendengus kesal melihat bus memasuki terminal,
menganggu orang seneng aja, baru seru malah masuk. Tapi
beberapa saat kemudian pria tua itu terkekeh sambil menepuk
pantat Lidya dan berjalan mendahului menantunya ke tempat
bus parkir.
Lidya kembali menggerutu.
###
Lidya dan Pak Hasan menempuh perjalanan yang cukup
panjang. Berangkat di sore hari dengan menggunakan bus
malam antar kota, mereka baru sampai di tujuan besok siang.
Karena bus penuh dan mereka berdua sedikit terlambat
memesan tiket, Lidya dan Pak Hasan mendapatkan tempat
duduk di belakang, dekat dengan toilet dan sejajar dengan
pintu belakang. Lidya jelas kurang suka posisi duduknya ini
sedangkan Pak Hasan menganggapnya keberuntungan karena
tidak akan ada gangguan selama perjalanan. Posisi tempat
duduk adalah 2 - 1, dua kursi di kiri dan 1 kursi di kanan. Pak
Hasan dan Lidya duduk berdampingan, pria tua itu memilih
duduk di dekat jendela.
Lidya yang tidak biasa menempuh perjalanan jauh
menggunakan bus malam merasa tidak nyaman dengan jalan
yang bergelombang tidak rata. Sayangnya hanya dia sendiri
yang sepertinya tidak merasa nyaman, penumpang lain tidur
dengan nyenyak sepanjang perjalanan. Keadaan di dalam bis
sendiri sudah sangat gelap sejak lampu - lampu dimatikan.
Pak Hasan sudah tertidur sejak tadi, dengkurannya yang keras
cukup mengganggu Lidya. Kepala mertuanya itu disampirkan
sengaja di bahu kanan Lidya, ia tidur dengan enak sementara
menantunya tak sedikitpun sanggup memejamkan mata.
Untunglah kelelahan yang menghinggap perempuan jelita itu
akhirnya membuatnya terlelap. Rasa capek yang amat sangat
membuat Lidya bisa tertidur nyenyak.
Beberapa jam perjalanan berlalu, Pak Hasanlah yang
terbangun terlebih dahulu, ia melirik jam tangan dan
menengok pemandangan di luar. Perjalanan masih jauh dan
keadaan di luar terlalu gelap untuk dinikmati. Pak Hasan
mengangkat bahu dan tertawa kecil, kalau pemandangan di
luar tidak terlihat, sebaiknya menikmati saja pemandangan
indah yang ada di dalam.
Pak Hasan menengok ke arah Lidya dan mengagumi kulit sang
menantu, begitu halus dan mulus, putih laksana pualam,
bahkan di kala gelap seperti ini, putihnya kulit Lidya seperti
menyala. Bagian atas pakaian Lidya memperlihatkan sedikit
balon buah dadanya yang lumayan montok. Menggiurkan
sekali, pikir Pak Hasan. Pikiran kotornya mulai menggelora.
Posisi kursi yang ada di belakang membuatnya bebas
melakukan apapun karena tidak ada orang lain duduk di
samping kursi mereka, lagipula hampir semua orang tidur. Pak
Hasan menarik selimut kecil yang ia pakai turun ke bagian
selangkangan dan dengan pelan membuka kancing celananya
sendiri. Pak Hasan mengeluarkan kemaluannya sambil
menyeringai lebar.
Setelah mengeluarkan penisnya yang mulai mengeras, tangan
kanan Pak Hasan dengan nakal menjelajah ke bagian dada
perempuan cantik yang terlelap disampingnya, meremas pelan
dan membelai buah dadanya yang menggiurkan sementara
tangan kirinya mulai membetot penisnya sendiri. Dengan
berani pria tua melepas beberapa kancing baju Lidya agar ia
bisa lebih leluasa menikmati buah dada sang menantu.
Tangan keriput Pak Hasan makin tak terhalangi setelah dua
kancing atas baju Lidya dilepas. Ia kini menyelipkan tangan
ke bawah beha Lidya, meremas payudara montoknya dan
memainkan puting yang makin lama makin menegak dengan
sesuka hati.
Pak Hasan menyukai buah dada Lidya yang menurutnya
berukuran sempurna, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.
Remasan pada payudara Lidya pas dengan tangkup jemarinya.
Kenyalnya balon buah dada sang menantu makin membuat
Pak Hasan tak tahan, beberapa kali ia mengenduskan hidung
di buah dada Lidya, menikmati baunya yang harum. Ia tak
puas berhenti di payudara Lidya, Pak Hasan meraba bagian
lain seperti pantat bulat dan paha mulus sang menantu yang
hanya terlindungi oleh rok mininya.
Dengan gerakan selembut yang ia bisa, jari - jari keriput Pak
Hasan meraba paha Lidya, menaikkan roknya sedikit demi
sedikit sampai akhirnya ia mampu melihat lamat - lamat
celana dalam sang menantu dalam kegelapan. Gundukan
berbelah yang ada di selangkangan Lidya membuat Pak Hasan
meneguk ludah, ia menarik bagian bawah celana dalam Lidya
ke samping, membuka akses utama menuju liang kewanitaan
sang menantu dan mulai memijat lembut bibir vagina sembari
mencoba mencari kelentitnya.
Apa yang dilakukan Pak Hasan tentu membuat Lidya
terbangun, masih dengan mata yang setengah terpejam, si
cantik itu berbisik pelan. "Bapak? Apa yang..?"
Pak Hasan tidak menjawab, ia menengadah, menaikkan kepala
dan mengenduskan hidung di pipi sang menantu. Pak Hasan
mencium pipi dan leher Lidya dengan lembut sambil berbisik,
"sudah, kamu diam saja....."
Gerakan jemari nakal Pak Hasan yang menjelajah di
selangkangannya membuat Lidya tersadar, mana ada orang
yang tidak bangun kalau dirangsang seperti ini. "Esssst....,"
desahan pelan keluar dari mulut mungil Lidya. Ia tidak
menyukai sedikitpun apa yang dilakukan Pak Hasan, tapi ini...
ini... enak sekali.., "...ja... jangan... essstt..." tolak Lidya. Ia
menggelengkan kepala dan mendesah manja, entah keenakan
atau menolak.
Lidya mencoba mendorong tangan Pak Hasan namun
gerakannya seperti setengah hati, hal yang justru membuat
Pak Hasan meningkatkan serangannya dan membuat si cantik
itu merem melek. Tak perlu waktu lama bagi pria tua itu
untuk bisa mengeluarkan cairan pelumas yang segera meleleh
keluar dan membasahi belahan liang cinta Lidya. Cairan itu
juga mulai membasahi jemari Pak Hasan yang berkuasa
penuh di memek menantunya. Lidya menggelengkan kepala
dan terus menolak, "...jangan... jangan di sini... jangan..."
Ketika menggelengkan kepala untuk mencoba menolak, mata
Lidya tertumbuk pada gundukan yang makin lama makin
membesar di selimut yang menutup selangkangan mertuanya.
Lidya semakin tidak percaya, jangan - jangan mertuanya
yang gila itu sudah membuka celana? Tidak mungkin selimut
itu menggunduk sebesar itu jika kemaluannya masih ada di
dalam celana. Sudah pasti kemaluannya sudah ada di luar.
Gila, mereka sedang berada di bus! Ada dua orang yang saat
ini duduk di depan mereka!
"Saatnya mengulum sekarang, Nduk." bisik Pak Hasan.
Mata indah si cantik itu melotot! Lidya menggelengkan kepala
semakin keras, ia tidak mau! Jelas ia tidak mau! Ini gila!
Mereka sedang dalam bus... dalam bus... yang gelap dan sepi...
dalam bus yang hampir seluruh penumpangnya tertidur. Lidya
mencoba melihat sekitarnya dalam kegelapan, orang yang
berada di kursi - kursi terdekat telah tidur.
"Hgghh!!!" Lidya tercekat ketika ia merasakan sentakan di
selangkangannya.
"Cepat kulum penisku!!" bisikan galak mengagetkan Lidya,
hardikan itu semakin mengena karena pada saat yang
bersamaan Pak Hasan menyentil klitorisnya. Pria tua cabul itu
telah berhasil menemukan titik kelemahan Lidya. Tubuh
wanita jelita itu menggelinjang tanpa henti, kalau ia tidak
segera mengulum penis sang mertua bisa - bisa ia berteriak
- teriak seperti orang gila karena Pak Hasan terus menerus
merangsang kelentitnya.
Dengan takut - takut Lidya melihat ke kursi sekitar sebelum
membungkukkan tubuhnya dan menarik selimut mertuanya.
Penis tua Pak Hasan langsung menyambut dengan tegak
wanita cantik itu, Lidya bersyukur saat itu gelap sehingga dia
tidak harus menyaksikan penis keriput milik pria tua cabul
yang sudah sering memperkosanya. Dengan jemarinya yang
lentik Lidya meraih kemaluan Pak Hasan.
"Naaah... begitu." Pak Hasan menarik nafas penuh kepuasan.
Lidya menurunkan kepala untuk mencapai kemaluan
mertuanya. Pria tua itu mulai merasakan lidah yang lembut
memutari kemaluannya. Pak Hasan terkekeh keenakan. Susah
sekali menahan lenguhan jika Lidya menyepongnya seenak ini.
Lidah sang menantu naik turun di batang kemaluan Pak
Hasan, merasakan setiap cm kulit kemaluan yang telah
keriput, menjilati urat yang menegang pada benda
kebanggaan Pak Hasan. Tidak perlu waktu lama bagi penis
Pak Hasan untuk menegak seperti tiang bendera dan sekeras
kayu.
Namun ketika Lidya tidak juga segera memasukkan penisnya
ke dalam mulut, Pak Hasan mulai gusar. Melepaskan tangan
kanan dari selangkangan sang menantu, Pak Hasan meraih
bagian belakang kepala Lidya, menjambak rambutnya pelan
dan menggiring bibirnya ke penis keriput yang telah
menunggu.
Lidya benci sekali disuruh melakukan hal ini tanpa
kesempatan untuk menolak. Karena dia tidak ingin ada
keributan terjadi di dalam bus, si cantik itu menurut saja apa
kehendak Pak Hasan. Pria tua itu terus saja mendorong
kepala Lidya ke bawah, melesakkan penisnya ke dalam mulut
sang menantu sedikit demi sedikit. Lidya tak mampu
mengangkat kepalanya karena ditahan oleh Pak Hasan, itu
sebabnya dia membiarkan ayah mertuanya memasukkan
kepala penisnya ke dalam mulut.
Makin lama makin dalam penis itu melesak masuk. Pak
Hasan bisa merasakan gerakan tubuh Lidya yang meronta,
mulut si cantik itu megap - megap mencari udara, ia
mencoba mencari nafas karena mulutnya penuh dijejali penis.
Merasa kasihan, Pak Hasan memberikan kesempatan pada
Lidya untuk menarik nafas selama beberapa saat. Lidya
megap - megap ketika kepalanya diangkat ke atas dan
berusaha menarik nafas panjang. Tapi Pak Hasan belum puas,
ia membiarkan Lidya menarik nafas sebelum akhirnya
melesakkan lagi penisnya dalam - dalam.
Tapi mungkin Pak Hasan memasukkan penisnya terlalu
dalam. Ketika sodokan kepala penis Pak Hasan menyentuh
dinding terdalam kerongkongan Lidya, si cantik itu tersedak!
Pak Hasan menjambak rambut Lidya dan untuk kedua kalinya
ia melepaskan penisnya dari dalam mulut sang menantu.
Lidya memekik lirih ketika penis Pak Hasan lepas dari
bibirnya.
"Hak...! Hak...!" Lidya terbatuk.
Bukannya berhenti setelah Lidya tersedak, Pak Hasan justru
kembali mendorong kepala si jelita untuk melanjutkan
sepongan pada kemaluannya. Lidya menatap Pak Hasan tak
percaya, mertuanya ini sudah gila atau benar - benar tidak
punya perasaan?!!
Untungnya untuk yang kali ini Pak Hasan lebih lembut, Lidya
pun melanjutkan sepongannya dengan lebih pelan, ia mencoba
menikmati kemaluan keriput yang sebelumnya membuatnya
merasa jijik. Pak Hasan membantu menantunya menyepong
dengan kecepatan tetap, lidah Lidya bergerak lincah menjilat
batang dan ujung gundul penis sang mertua sebelum akhirnya
menelan batang kemaluan Pak Hasan.
"Harghhh!!" Pak Hasan mencoba menahan kenikmatan yang
diberikan oleh Lidya.
Setelah beberapa saat lamanya mulut, lidah dan bibir Lidya
bekerja tanpa henti, Pak Hasan akhirnya bergetar... ia sudah
tak kuat lagi! Sekali mengejang, penisnya melontarkan
semprotan demi semprotan cairan kental ke dalam mulut sang
menantu. Karena tidak bisa bernafas, Lidya terpaksa menelan
cairan cinta sang mertua. Ia memejamkan mata mencoba
menahan diri agar tidak muntah.
Pak Hasan menarik penisnya dari mulut Lidya dan
melepaskan rambutnya. Si cantik itu mengangkat kepalanya
dan merasa lega. Akhirnya selesai juga... eh?!!
Lidya yang mengira penderitaannya sudah berakhir ternyata
salah besar. Jari nakal pria tua yang juga mertuanya sendiri
itu kini bergerak lincah memainkan bibir vaginanya! Lidya
memejamkan mata mencoba menahan rangsangan luar biasa.
Tangan Lidya mencoba mendorong tangan Pak Hasan tanpa
hasil. Pria tua itu masih terlampau kuat.
Pak Hasan puas sekali melihat tubuh menantunya bergetar
hebat mencoba menahan kenikmatan yang terus menerus ia
terima. Lidya berusaha menahan teriakannya dengan
memejamkan mata dan menutup mulut dengan tangannya. Ia
menggelengkan kepala karena tak kuat bertahan. Ia harus
berteriak... ia ingin berteriak... ia tak tahan lagi!!!
Lidya menarik bajunya ke atas dan menggigitnya.
Akhirnya Lidya mengejang beberapa kali. Matanya melotot
dan ia berteriak tertahan sambil menggigit baju untuk
mengurangi suara. Cairan cinta meleleh dari dalam
vaginanya. Lidya menggigil sebelum akhirnya lemas. Pak
Hasan tertawa dalam hati melihat Lidya berusaha bertahan
mati - matian agar tidak mengeluarkan suara. Untuk terakhir
kalinya tubuh Lidya mengejang hebat dan akhirnya lemas.
Lidya menatap benci ayah mertuanya, dia membalikkan badan
dan merapikan pakaiannya.
Pak Hasan mengancingkan celananya dan menepuk kepala
Lidya.
"Gitu dong, Nduk."
###
HARI PERTAMA
Lidya mengejapkan mata, sinar matahari yang sudah
menembus masuk ke dalam bus menerangi wajah para
penumpang yang mulai terbangun dari tidur. Tubuh Lidya
terasa pegal, ia merenggangkan tangan untuk menghilangkan
penat. Karena masih mengantuk, Lidya menguap. Hm,
perjalanan masih jauh nggak ya? ...hm... Rasanya ada yang
aneh, ada yang salah. Tapi apa ya? Entah kenapa, Lidya
merasa ada sesuatu janggal. Ketika akhirnya benar - benar
sadar dari kantuknya, barulah Lidya tahu apa sesuatu yang
salah itu, ia membuka selimut kecil yang sedang bertengger
didadanya. Tangan kanan Pak Hasan masih berada di dalam
behanya! Jadi semalaman pria tua itu terus saja memainkan
payudara dan putingnya setelah Lidya tertidur??!! Dasar
terkutuk!
Dengan sengit Lidya melepas tangan Pak Hasan dan
merapikan bajunya.
"Kasar sekali kamu." Maki Pak Hasan.
"Ini sudah pagi, aku tidak ingin ada orang yang melihat..."
Pak Hasan menguap, ia terkekeh dalam hati.
"Kita sudah hampir sampai." Kata Pak Hasan sambil melihat
jam tangannya.
Lidya mencoba mencari cara untuk menjauhkan jari jemari
Pak Hasan dari buah dadanya. Ia pun berusaha mengalihkan
perhatian ayah mertuanya dengan menunjuk pemandangan di
luar sambil merapikan pakaiannya yang semalaman terbuka,
"Desa Bapak... kenapa namanya Desa Kapukrandu?"
Pak Hasan mengeluarkan nafas panjang. "Seperti yang kamu
lihat, Nduk." Kata Pak Hasan kemudian, dia membuka tirai
jendela agar Lidya bisa melihat pemandangan di jendela
samping, "di sekitar sini tanah kering, namun justru di tempat
kering seperti ini pohon kapuk randu tumbuh subur. Nama
pohon itulah yang yang jadi asal muasal nama desa."
Desa Pak Hasan bernama Desa Kapukrandu, dinamakan
demikian karena di sepanjang perjalanan menuju desa, pohon
- pohon besar kapuk randu berjajar di sisi jalan membentang
hingga jauh. Karena ditumbuhi oleh banyak pohon kapuk
randu, selain bertani dan berternak, usaha kebun kapas pun
menjadi penghasilan utama masyarakat desa. Desa
Kapukrandu sendiri adalah tempat yang asri dan hijau,
berbeda dengan tempat ini. Tanah di Desa Kapukrandu subur
dan hawanya sejuk karena dikelilingi oleh perbukitan yang
menghijau.
"Pohon kapuk randu?" tanya Lidya kembali sambil
memperhatikan sepanjang jalan yang dilalui oleh bus, pohon -
pohon besar berdiri tegak menyambut mereka di sepanjang
jalan. Pohon - pohon besar yang menaungi daerahnya
bagaikan payung raksasa dengan dahan - dahan yang
menjorok ke langit.
"Biasa disebut juga Kapas Jawa. Tinggi pohon yang besar
bisa mencapai 65 bahkan 70 meter, begitu besarnya, hingga
garis tengahnya kadang mencapai dua meter." Lanjut Pak
Hasan menjelaskan. "dulu sekali aku sering memotong
kayunya."
Ketika angin bertiup, sebagian serat biji Kapuk Randu lepas
dari cangkangnya, terbang berputar mengikuti arah angin.
Ribuan serat yang lepas menghujani jalanan bagaikan salju
yang tiba - tiba muncul di pagi yang cerah. Bis kecil yang
melintasi jalan pun melaju seperti disambut hujan kapas oleh
para penghuni hutan kapuk randu.
"Di sini anginnya kencang, begitu juga Desa Kapukrandu.
Kalau di kampung hawanya lebih sejuk karena tempatnya
berada di lembah perbukitan yang mengitari." Kata Pak Hasan
sambil memperhatikan dahan - dahan pohon yang bergoyang
dan serat kapuk yang berterbangan kesana kemari.
Ketika melirik ke arah menantunya yang kagum melihat
pemandangan menuju desa yang indah, Pak Hasan justru
mengagumi kecantikannya yang natural. Lidya memiliki hidung
mancung yang seperti seluncur dan pipi putih mulus
menggemaskan. Alis matanya runcing alami bertengger di
atas sepasang mata bulat yang tajam dan indah.
Pak Hasan menekuk lehernya sedikit untuk mendekatkan
kepalanya ke arah kepala Lidya.
"Jadi berapa lama lag..."
Dengan satu gerakan pelan Pak Hasan mencium bibir mungil
Lidya yang kaget. Mata si cantik itu terbelalak karena ciuman
mertuanya begitu tiba - tiba. Lidya tak sempat mengelak dan
menolak, lagipula gerakan sedikit apapun akan mengakibatkan
kecurigaan tak penting dari kernet atau penumpang lain. Satu
- satunya yang bisa dilakukannya adalah pasrah.
Pasrahnya Lidya membuat Pak Hasan leluasa mengulum bibir
merah menantunya. Bibir mungil si manis itu sangat
menggemaskan, sisa lipstik yang tadi sempat disapu lembut
masih sedikit terasa. Tak mau berhenti begitu saja, Pak
Hasan mengeluarkan lidahnya untuk merajai bibir Lidya. Lidah
itu bergerak liar bagai seekor ular menggeliat di atas bibir
sang menantu, menjilat dan menusuk ke dalam. Lidah Pak
Hasan berusaha menemui pasangannya, lidah Lidya yang
masih bersembunyi di lorong mulut.
Tak perlu waktu lama bagi lidah Pak Hasan untuk menemukan
lidah Lidya, keduanya langsung bertaut dan menarik
pasangannya, berpagut bagai saling merindu. Lidya tidak
menduga dia akan menerima saja dicumbu seperti ini.
Pagutan Pak Hasan baru lepas ketika seorang penumpang
berjalan ke belakang menuju kamar kecil. Pria tua itu
menggerutu sementara Lidya menarik nafas dan bersyukur.
Seperti apa kira - kira nasib empat harinya di Desa
Kapukrandu?
Empat hari di Desa Kapukrandu. Dimulai hari ini.
###
Desa Kapukrandu yang berada di pelosok tentunya tidak
dilewati oleh bus malam. Pak Hasan dan Lidya harus turun di
pinggir jalan, tepatnya di sebuah pertigaan dimana terdapat
jalan kecil menuju desa. Karena jaraknya masih jauh,
keduanya harus memilih menggunakan ojek atau angkutan
pedesaan yang biasa disebut angkudes. Saat itu kebetulan
tidak ada ojek yang berada di pangkalannya, hingga Pak
Hasan dan Lidya harus menanti angkudes.
Perjalanan menggunakan angkudes tidak membutuhkan waktu
lama. Sekitar seperempat jam Lidya dan Pak Hasan telah
sampai di tempat tujuan yaitu rumah Pak Raka, salah seorang
sahabat Pak Hasan yang pada saat yang sama kebetulan
pergi ke kota sekeluarga. Selama empat hari mereka akan
tinggal di rumah sahabat Pak Hasan ini.
Rumah yang akan ditinggali adalah sebuah rumah sederhana
namun rapi, dengan empat kamar tidur, kamar mandi dalam
dan air dari sumur pompa. Bu Raka berbaik hati membelikan
satu tabung gas ukuran kecil seandainya Lidya atau Pak
Hasan ingin memasak. Tetangga terdekat berjarak beberapa
meter saja, seorang diantaranya menyambut kedatangan Pak
Hasan dan Lidya dengan gembira.
"Mbak Mirah. Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu." Kata
Pak Hasan sambil bersalaman dengan tetangga yang
menyambut. Orangnya gemuk, berwajah ramah dan suka
sekali tertawa. Hanya dengan sekali lihat saja Lidya tahu
wanita ini adalah orang yang baik dan sederhana, ia
mengenakan daster besar dan memakai selendang, sepertinya
memiliki seorang anak yang masih balita karena ia membawa
piring plastik berisi bubur.
"Iya nih, Pak Hasan sudah lama sekali pergi ke kota. Di sana
betah ya, Pak? Eh, ini siapa, Pak?" tanya Mbak Mirah sambil
menunjuk Lidya.
"Ini mantuku. Istrinya Andi, namanya Lidya."
"Ya ampun, istrinya Mas Andi to... walah walah cantiknya...
kok bisa - bisanya Mas Andi menikah dengan orang secantik
ini ya? Saya Mirah, Mbak. Tetangga Pak Raka - yang
rumahnya kalian pinjam ini. Kebetulan beliau menitipkan kunci
rumah sama saya. Mbak Lidya ini bintang sinetron atau apa
ya? Kok cantik banget?"
Lidya tersenyum ramah menyambut salam perkenalan itu.
"Saya bukan bintang sinetron mbak."
"Lho? Bukan bintang sinetron? Wah, sayang cantiknya lho,
Mbak... maaf ya, Mbak. Aku kira bintang sinetron atau film
atau iklan gitu. Coba saja mendaftar ke sinetron mbak. Pasti
diterima jadi bintangnya...."
Lidya baru sadar kalau Mbak Mirah ini tentunya seorang ibu
rumah tangga yang hiburan terbaiknya adalah tayangan
sinetron stripping yang disiarkan tiap malam oleh tv swasta.
Lidya membalas ucapan Mbak Mirah dengan tertawa kecil.
"Kuncinya, Mbak?" tanya Pak Hasan sopan.
"Oh iya, bentar, Pak. Saya ambilkan dulu di dalam rumah...
bentar ya. Tunggu saja di teras. Saya susul kesana." Usai
mengatakan itu, Mbak Mirah lari ke rumahnya.
Pak Hasan dan Lidya duduk di teras rumah Pak Raka.
"Jadi bagaimana pendapatmu tentang desa ini?" tanya Pak
Hasan sambil duduk di kursi yang ada di teras. Ia
mengeluarkan nafas panjang, lega sudah sampai di tempat
tujuan.
Lidya mengerutkan kening, tumben - tumbenan pria tua cabul
ini bertanya seperti itu. "Memangnya bapak peduli dengan
pendapatku?"
"Tidak." Pak Hasan mengangkat bahu. "Aku tidak peduli.
Yang penting aku akan menidurimu setiap malam selama kita
ada di desa ini."
Lidya mendengus kesal. Dasar bajingan.
###
HARI KEDUA
Malam telah larut dan desa sudah sepi. Tapi di sebuah pos
siskamling di ujung sawah, suara tawa cekakakan memecah
kesunyian. Tawa yang berasal dari empat orang yang duduk
bersila di dalam pos siskamling dan asyik bermain gaple. Pos
siskamling ini terletak tak jauh dari rumah Pak Raka, rumah
tempat Pak Hasan dan Lidya sementara tinggal.
Pos siskamling itu berada di ujung terluar sawah yang
membentang beberapa hektar, agak terpisah dari jalan
kampung. Posisinya yang pas berada di mulut jalan setapak
menuju hutan kapuk randu menjadi salah satu alasan
dibangunnya pos di tempat itu. Atau setidaknya itulah alasan
mahasiswa KKN yang membangunnya. Kini pos itu sudah
jarang digunakan untuk ronda karena di desa sudah dibangun
pos yang baru dan letaknya yang terlalu jauh.
Pak Hasan membanting kartu dominonya. "Payah nih Ecep
ngocoknya! Masa dari tadi aku dapatnya balak enam melulu?"
Ecep, Edi dan Eko tertawa hampir bersamaan. Keempat orang
ini adalah kawan lama, walaupun tiga orang kawan Pak
Hasan usianya jauh lebih muda darinya. Malam ini Pak Hasan
sengaja menyempatkan diri untuk bermain gaple bersama
dengan ketiga sahabatnya untuk mengenang masa lalu.
...sekaligus berharap dapat meraup uang.
Ya, keempatnya memang dikenal hobi judi domino atau gaple.
Sejak awal permainan, Pak Hasan sudah menderita kekalahan.
Ia bahkan harus merelakan uang saku dari Andi lepas dari
tangannya. Agak bahaya juga seandainya ia tidak bisa
memenangkan kembali uang itu, karena uang saku dari Andi
rencananya akan dipakai untuk membayar hutang pada Koh
Liem besok. Koh Liem adalah tengkulak dan tuan tanah yang
cukup disegani di Desa Kapukrandu dan ketiga orang yang
saat ini bersama Pak Hasan dikenal sebagai anakbuahnya.
"Ngomong - ngomong, Pak... siapa cewek yang Pak Hasan
ajak itu?" tanya Eko. "Cantiknya gila, bodynya juga mantap.
Tadi pagi aku lihat dia jalan - jalan ke pasar pojok. Segerrr
beneerrrr... Boleh nih kalau dia dibagi - bagi?"
Kata - kata Eko itu langsung disambut gelak tawa dua
temannya yang lain. Pak Hasan hanya tertawa kecil.
"Heh, jangan ngawur. Dia itu istrinya Andi. Dia itu
menantuku."
"Wah hebat punya menantu sebahenol itu. Bisa juga Andi
milih cewek. Tapi... Andi kan nggak ada, Pak? Kalau bisa sih
tetap dibagi - bagi." Balas Eko yang kembali disambut gelak
tawa Edi dan Ecep. Eko memang tidak bisa melepaskan
pandangan sejak pertama kali berjumpa dengan Lidya.
Kecantikannya yang natural dan tubuhnya yang indah
membuat Eko panas dingin.
"Hm... mungkin itu bisa diatur?" Pak Hasan terkekeh, sebuah
rencana menyeruak memasuki ruang pikirannya yang kotor.
"Coba aku pulang dulu, aku tanyakan ke dia."
Pak Hasan langsung meninggalkan ketiga kawannya dan
bergegas pulang ke rumah. Entah nasib buruk apa yang selalu
menggelayuti Lidya, kebetulan si cantik itu sedang menyapu
teras rumah. Rambutnya yang panjang diikat kucir kuda,
pakaian yang dikenakan hanyalah daster tipis sederhana,
namun karena pada dasarnya ia memiliki pesona, kecantikan
Lidya menerawang sampai jauh. Seakan - akan ada cahaya
keemasan keluar dari tubuhnya yang indah. Pak Hasan yang
sudah beberapa kali menyetubuhi menantunya itu masih tidak
percaya ia bisa meniduri wanita seindah ini.
"Nduk." Panggil Pak Hasan menghampiri Lidya.
"Ya." Balasan keluar dari mulut yang terbuka tipis tanpa
semangat.
"Berhubung ada kamu di sini, aku mau minta bantuan, Nduk."
Kata Pak Hasan sambil menatap mata menantunya dengan
tajam. Ia menarik bagian atas lengan Lidya dan
memegangnya erat - erat supaya Lidya menanggapinya
dengan serius.
"Ba - bantuan apa?" Lidya menatap mata mertuanya dengan
takut - takut. Begitu eratnya pegangan Pak Hasan pada
lengannya sampai - sampai sapu yang sedang ia pegang
terpaksa ia jatuhkan ke lantai.
"Yah, kamu kan tahu aku baru saja darimana? Teman -
teman lamaku itu mengambil cukup banyak uang yang
diberikan Andi. Kita harus memenangkannya kembali, uang itu
aku butuhkan untuk membayar hutang besok. Aku mau kamu
datang dan membantu..."
Lidya tahu Pak Hasan pergi bermain kartu di pos kamling, tapi
ia tidak tahu apa yang dimaksud mertuanya itu. "Mengambil
cukup banyak uang??? Maksud Bapak??"
"Judi."
Lidya menepuk dahinya dengan kesal. "Judi?!! Bapak memakai
uang Andi untuk judi?!! Astaga...!!"
"Makanya bantu aku memenangkannya."
"Tidak mau! Aku tidak mau membantu Bapak kalau untuk
alasan seperti itu... aku tidak mau berjudi!"
"Aku tidak menyuruhmu berjudi. Aku menyuruhmu
membantuku mengambil kembali uang Andi yang mereka
ambil. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan judi."
"Maksudnya...?"
"Aku ingin kamu mengalihkan perhatian ketiga temanku itu."
Lidya mengernyit heran, "Memang bagaimana caranya?"
"Kamu diam saja kalau mereka menggerayangimu, kalau perlu
kau rayu mereka supaya mau menyentuh tubuhmu. Dengan
begitu perhatian mereka teralih dari permainan ke kamu."
Kata - kata itu bagaikan guntur yang membelah lautan di
batin Lidya. Merayu teman - teman judi mertuanya! Dia pikir
dia ini siapa? Pelacur yang bisa dipesan dan dibagikan kapan
saja? Siapa pula Pak Hasan pikir dirinya itu? Germo yang
menawarkan pelacur? Lidya menggerutu kesal. Dia ini
menantunya!
"Aku tidak mau melakukannya! Gila!" tolak Lidya tegas.
Pak Hasan menggaruk kepalanya, "kenapa?"
"Jelas jawabannya tidak! Sadar dong, Pak. Aku ini
menantumu sendiri, masih menikah dengan Andi, anakmu!
Sekarang Bapak ingin aku merayu orang - orang yang tidak
aku kenal demi uang judi? Aku tidak sudi! Apa yang pernah
aku lakukan di mal dan pasar dulu sudah keterlaluan, aku
tidak ingin melakukannya lagi."
"Betul sekali. Tapi coba pikirkan ini baik - baik... jika Andi
tahu apa yang terjadi pada dirimu, pada hubungan kita
berdua, pernikahanmu yang sempurna akan hancur
berantakan. Siap menerima resiko itu? Aku sih tidak ada
masalah..."
Kata - kata Pak Hasan menohok Lidya. Wajah si cantik
itupun berubah seratus delapanpuluh derajat.
"Kumohon, Pak... jangan lakukan ini... kalau Mas Andi sampai
tahu..." rengek Lidya. Wajah pasrah dan kalah sang menantu
membuat Pak Hasan makin berani menekan sang menantu. Si
cantik itu jelas tidak ingin semua yang telah dilakukannya
diketahui oleh Andi dan itu selalu menjadi kartu as bagi Pak
Hasan.
"Sebenarnya sih semua terserah padamu, Nduk. Kalau kamu
membantuku mendapatkan uangku kembali serta
mendapatkan keuntungan tambahan, maka semua akan baik
- baik saja. Teman - temanku itu juga bisa dipastikan tidak
akan memberitahu Andi. Tapi kalau kamu tidak mau, ya
terpaksa kita beritahu saja Andi apa yang sebenarnya terjadi.
Begitu saja kok repot."
"Kumohon, Pak...." Lidya masih terus merengek. "Aku mau
melakukan apa saja asal jangan yang seperti itu..."
Terus menerus ditolak Lidya membuat Pak Hasan
menunjukkan wajah yang sangat masam. Pria itu mendengus
kesal dan dengan geram melempar gelas yang ia ambil dari
atas meja teras, menumpahkan sisa kopi yang tadi sore
dibuatkan oleh Lidya dan berjalan kembali ke arah pos
siskamling meninggalkan Lidya yang berdiri dalam
kegamangan. Pria tua itu sempat melihat Lidya menghapus
tetes air mata dari pipinya. Melempar gelas itu hanya
tipuannya saja supaya terlihat marah, ia bisa melihat Lidya
ketakutan melihatnya mengamuk. Masalah mengganti gelas
punya Bu Raka sih masalah gampang.
Lidya memunguti pecahan gelas yang tadi dilempar Pak
Hasan dengan hati - hati, si cantik itu menimbang - nimbang
sebentar apa yang harus dilakukan. Ia menggeram marah dan
dengan langkah jengkel berjalan menuju pos siskamling
setelah mengunci pintu rumah. Tak ada jalan lain, dia harus
menurut pada mertuanya. Pos ronda tempat Pak Hasan dan
teman - temannya bermain judi berbentuk balai - balai
dengan empat kaki penyangga dan tiga sisi tertutup dinding
kayu hingga langit - langit. Bagian depannya terbuka tiga
perempat dengan separuh dinding bagian atas terbuka.
Kawan - kawan judi Pak Hasan adalah begundal dan preman
desa, mereka dikenal dengan nama Eko Tompel - si gondrong
kurus berhidung pesek yang memiliki tompel besar berambut
di pipi, Edi Gagap - yang gundul dan bertubuh besar namun
kurang lancar bicara, serta Ecep Sumbing - si penderita bibir
sumbing yang tidak pantas dikasihani.
Ketiga orang kawan lama Pak Hasan ini membuat Lidya
bergidik, ketiganya sangat lusuh dan kotor karena jarang
mandi. Bau ketiganya juga membuat menantu Pak Hasan itu
ingin muntah. Ketika melihat sosok wanita jelita itu datang,
ketiga orang itu langsung mengamati Lidya dari atas ke
bawah seperti hendak menelannya hidup - hidup. Desa
Kapukrandu tentu tidak kehabisan stok warga yang cantik,
tapi karena Lidya adalah wanita yang luar biasa mempesona
maka penampilannya membuat Edi, Eko dan Ecep menahan
nafas. Tubuhnya yang indah dan wajahnya yang cantik
menjadi perhatian warga sejak kedatangannya bersama Pak
Hasan di desa ini.
"Bapak - bapak sekalian, kenalkan ini menantu saya,
namanya Lidya." Kata Pak Hasan sambil tersenyum bangga.
Dia mengedipkan mata pada Eko, Ecep dan Edi penuh arti.
Karena sudah lama bergaul dengan Pak Hasan maka
ketiganya langsung mengerti apa maksud Pak Hasan. Lidya
melihat kedipan Pak Hasan pada tiga temannya, tapi dia tidak
tahu apa artinya. Tanpa ia sadari, sesungguhnya Lidya telah
jatuh ke perangkap maut yang sudah bertahun - tahun
dipraktekkan oleh keempat orang ini pada gadis - gadis desa
atau istri warga kampung yang terlalu lugu.
"Wah, ca - ca - ca - cantiknya menantu Pak Hasan!
Sungguh beruntung Andi mendapatkan istri semacam ini...
kalau yang seperti ini, a - a - a - aku juga mau!" kata Edi
Gagap. Walaupun gagap, apa yang diucapkan Edi kadang
keluar tanpa ia pikir dulu.
"Nyantik..." sambung Ecep. Karena sumbing, dia jarang bicara.
Lidya biasanya merasa kasihan pada penderita bibir sumbing,
tapi Ecep bukan orang seperti itu, tubuhnya yang hitam kekar
nyaris penuh oleh tatto dengan bentuk tidak jelas karena
gambarnya tumpang tindih. Lidahnya yang panjang menjilat -
jilat bibirnya sendiri ketika melihat sosok Lidya yang seksi.
Pandangan mata Ecep tajam menghujam mata Lidya yang
ketakutan.
"Afa liat - liat?!!!" bentak Ecep.
"Ti - tidak... aku tidak... aku tidak..." Lidya mundur teratur
mendengar bentakan Ecep, ia tidak ingin dianggap menghina
bibirnya yang sumbing hingga membuat orang menyeramkan
itu tersinggung. Tapi belum sempat Lidya kabur, tangannya
sudah dipegang oleh Eko.
"Sini... sini, Nduk... jangan takut. Kenalkan namaku Eko. Kalau
di desa sini sering dipanggil Eko Tompel. Dua temanku ini Edi
Gagap sama Ecep Sumbing." Tanpa rasa malu Eko menarik
tangan Lidya, dengan berani dia bahkan mendudukkan Lidya
sangat dekat dengannya. Tubuh mereka seakan tidak ada
jarak, Lidya duduk tepat di tepat di depan Eko yang bersila.
Dengan berani Eko memeluk tubuh Lidya yang kebingungan
dari belakang.
"Ja - jangan kurang ajar...!" bentak Lidya takut - takut. Ia
menundukkan kepala karena tidak berani beradu pandang
dengan Pak Hasan yang melotot di hadapannya.
"Kurang ajar kenapa? Kamu mau pilih duduk sama siapa?
Ecep? Atau Edi? Boleh saja..."
Lidya menggeleng, dari ketiga orang teman Pak Hasan,
sepertinya Eko yang paling normal.
"Ini, coba kamu aja yang pegang kartu aku..." kata Eko sambil
mendekatkan kepalanya ke samping kepala Lidya. Uuh, begitu
baunya tubuh Eko sampai - sampai Lidya enggan menarik
nafas karena akan langsung tercium bau tidak sedap, apalagi
mereka terlalu berdekatan. Nafas orang yang jarang sikat gigi
bukan nafas yang pantas dipamerkan batin Lidya, apalagi
nafas Eko juga berbau alkohol bercampur rokok. Rambut Eko
yang keriting gondrong sepertinya juga tidak terurus,
membuatnya semakin tidak sedap dipandang apalagi dibau.
Posisi Lidya terus ditarik oleh Eko hingga kini duduk tepat di
depannya. Si cantik itu awalnya bersimpuh namun kini
terpaksa duduk bersila dengan kaki Eko mengapit paha kanan
dan kirinya. Si tompel itupun dengan santai memeluk tubuh
Lidya dari belakang dan menyuruhnya memegang kartu.
Ketika Lidya menolak, kedua tangannya dipegang erat oleh
Eko hingga tak bisa digerakkan. Begitu dekatnya tubuh
mereka sehingga Lidya bisa merasakan ada tonjolan yang
makin lama makin besar di selangkangan Eko. Tonjolan itu
menyentuh sisi kanan pantatnya membuat Lidya bergelinjang
jijik.
Lidya mencoba mencari bantuan, namun Pak Hasan
sepertinya tidak peduli apa yang dilakukan oleh Eko Tompel
pada menantunya. Setelah Lidya tidak bisa melakukan protes
lagi, keempat pria yang ada di pos kamling itu melanjutkan
permainan kartu domino mereka. Laki - laki buruk rupa yang
ada di belakang Lidya makin berani, ia menempelkan dadanya
ke punggung si cantik. Tangan Eko juga mulai nakal sesekali
mengelus - elus paha mulus Lidya. Si cantik itu mengutuk
dirinya sendiri karena memutuskan memakai daster malam
ini. Dengan berani Eko mengendus harum rambut panjang
Lidya sementara tangannya bergerilya di pahanya.
"Kucirnya aku lepas saja, ya?" tanya Eko.
Lidya mengangguk.
"Kamu lebih cantik jika rambutnya digerai." Kata Eko sambil
melepas kucir rambut Lidya.
Tubuh Lidya mulai bergetar karena takut. Pak Hasan
sepertinya sudah tidak mempedulikan dirinya lagi, ia tidak
ambil pusing apa yang dilakukan oleh Eko padanya. Namun
berkat kehadiran Lidya, pria tua itu berhasil memenangkan
satu putaran karena Eko sudah tidak bisa berkonsentrasi. Eko
Tompel sendiri bagaikan raja karena dibiarkan bebas
mengerjai tubuh Lidya. Ketika si pesek itu mengenduskan
hidungnya yang rata ke tengkuk Lidya, tubuh si seksi itu
langsung bergetar hebat. Makin berani, Eko mencium leher
Lidya sementara tangannya makin naik menyusur paha sambil
mengangkat dasternya sedikit demi sedikit.
"Jangan....." bisik Lidya pada Eko. "Jangan, aku..."
Tapi kucing mana yang akan berhenti jika sudah mendapat
suguhan ikan? Bibir Eko melaju tanpa henti di leher dan bahu
Lidya. walaupun menolak, tidak bisa dipungkiri kalau dijadikan
mainan seperti ini membuat Lidya lama kelamaan sedikit
terangsang terutama pada saat Eko menggunakan gigi untuk
melepas tali daster menuruni bahunya yang mulus. Lidya
menggelengkan kepala seakan jika ia melakukan hal itu ia
sanggup menghapus nikmat yang diberikan pria buruk rupa di
belakangnya. Eko menggunakan gigi karena tangannya masih
sibuk menghajar paha Lidya. Si cantik itu memejamkan mata
ketika ia merasakan selangkangan Eko mulai bergerak maju
menumbuk pantatnya berulang.
Pak Hasan, Edi dan Ecep menahan tawa geli ketika melihat
Lidya mulai gelisah antara keenakan, takut dan malu. Tanpa
bisa ditahan, Lidya menggerakkan pantatnya ke belakang
secara reflek. Eko tambah bersemangat, ia mengangkat bagian
bawah daster si cantik itu sedikit demi sedikit, semakin lama
semakin naik dan makin menunjukkan celana dalam yang
dikenakannya. Kini Edi dan Ecep bisa melihat jelas underwear
berwarna merah jambu yang dikenakan menantu Pak Hasan
yang seksi. Mata keduanya tidak bisa lepas dari belahan yang
nampak di bagian bawah celana dalam itu.
Pak Hasan mengedipkan mata pada Eko yang langsung
dibalas dengan anggukan kepala. Lidya yang memejamkan
mata tak bisa melihat kode dari Pak Hasan kepada Eko itu.
Tanpa menunggu lama Eko mengelus bagian terbawah dari
celana dalam Lidya. Menyentuhnya pelan dan menggeseknya
dengan lembut.
"Oooooohhhhh..... essstttt....." Lidya mendesis penuh nikmat
ketika Eko menyentuh kemaluannya yang masih tertutup
celana dalam. Ia tidak bisa bertahan dan menjatuhkan kartu
- kartu Eko yang sebelumnya ia pegang.
Melihat Lidya sepertinya sudah jatuh ke dalam jebakan nafsu,
Edi dan Ecep melepas kartu mereka dan maju dengan air liur
menetes ke arah Lidya. Keduanya tak ingin ketinggalan
menikmati tubuh seksi Lidya, Ecep yang meyukai perut yang
rata dan ramping meraba dan mengelus perut Lidya.
Sementara Edi lebih berani lagi, si gagap itu sudah tak tahan
melihat ranumnya bibir Lidya dan memutuskan untuk
menciumnya. Bibir manis Lidya dikulum oleh bibir tebal Edi
Gagap. Bau mulut yang jarang sikat gigi begitu busuk terasa
di mulut Lidya. Jika si cantik itu merasa jijik, sebaliknya Edi
gembira sekali bisa merasakan bibir ranum milik istri Andi,
bibir milik seorang wanita yang seharusnya tidak bisa dijamah
sama sekali.
Lidya yang merasa jijik diserang oleh tiga orang secara
bersamaan menolak bibir Edi. "Aku tidak mau! Jang..."
Belum selesai Lidya mengucapkan kata - kata, Edi menarik
kepalanya dan kembali menciumnya. Kali ini rangsangan dari
semua arah membuat Lidya tak kuat bertahan, dengan tidak
mempedulikan bau yang ia cium, Lidya membalas ciuman Edi.
Si gagap itu bahagia sekali.
Tangan Ecep pun tak kalah nakal, melihat Edi berhasil
mendapatkan bibir Lidya, Ecep menyerang payudaranya.
Tangan Ecep menggerayangi buah dada Lidya yang masih
berada di balik daster. "Euuuuuhhhh..." Serangan Ecep
membuat Lidya melenguh keenakan di sela - sela ciuman Edi.
Melihat Edi telah mencium bibir Lidya dan Ecep
menggerayangi payudara si cantik itu, Eko Tompel segera
memasukkan jemarinya ke balik celana dalam Lidya untuk
menyentuh kemaluannya. Bibir vagina Lidya sudah basah oleh
cairan pelumas yang keluar karena rangsangan bertubi ketiga
preman membuat Eko makin girang. Dengan lancar Eko
melesakkan jari tengahnya ke dalam memek Lidya.
"Huaagghhh!!! Uuuhhh!! Hiikkkghhh!!!" Lidya mengembik
mencoba menolak semua yang menyerangnya, ia tidak bisa
bergerak karena tiga orang teman Pak Hasan menghajarnya
tanpa henti, membuat tiga bagian tubuh utamanya merasa
keenakan. Sementara jari Eko bergerak lincah menusuk -
nusuk vaginanya, pantat Lidya digerakkan maju mundur
dengan gerakan seirama.
Tiba - tiba saja.....
"Hei, hei, hei... kalian mau ngapain? Itu menantuku."
Suara itu menggelegar menghentikan semua gerakan yang
dilakukan oleh Edi, Eko dan Ecep. Lidya terengah - engah di
tengah mereka, bajunya sudah acak - acakan, sebagian besar
terbuka dan memperlihatkan tubuhnya yang putih mulus. Pak
Hasan yang duduk tenang di depan mereka tersenyum
jumawa sambil mengocok kartu domino yang ia pegang.
"Walaupun aku tahu menantuku itu seksi dan kalian sangat
ingin bisa memasukkan kontol ke memeknya, tapi maaf... aku
tidak bisa menyerahkan dia pada kalian." kata Pak Hasan.
"Yaaa, kok gitu sih, Pak?" Eko melepas cengkramannya pada
Lidya dengan kecewa.
"Nyanggung amat niyh, Pak." Sambung Ecep.
"Pa - padahal tadi i - i - ini kan su - su - sudah hampir..."
Edi terduduk menahan kesal.
"Jangan sedih gitu dong, jangan khawatir. Kita kan kawan
lama? Aku punya tawaran lain untuk kalian bertiga." Pak
Hasan mengeluarkan rokok dari kantongnya dan
menyalakannya. "Begini lho, Lidya ini kan menantuku sendiri,
aku tidak bisa membiarkan Andi sedih melihat istrinya dijadiin
lonthe sama orang - orang kampung sini. Jadi kalian tidak
boleh menyentuhnya..."
Edi, Eko dan Ecep mengeluh bersamaan, nafsu mereka hilang
dalam sekejap.
"Hahaha, sudah aku bilang jangan sedih begitu, aku ada
pengecualiannya untuk kalian. Supaya seru, kita bikin
permainan. Bagaimana?" Pak Hasan terbahak sambil menarik
Lidya dari kepungan ketiga kawannya. Untuk pertama kalinya
malam ini, Lidya merasa lega sudah diselamatkan, tapi...
permainan apa yang dimaksud Pak Hasan, ya?
"Kita lanjutkan permainan domino ini. Orang yang
memenangkannya akan aku ijinkan menyentuh Lidya, hanya
saja tidak boleh melakukan dikenthu. Kalau aku yang menang,
permainan dibatalkan." Pak Hasan menyeringai penuh
kemenangan. "Tapi ada syaratnya, kalau kalian mau
menerima tantanganku ini, kalian harus membayarnya dengan
semua uang yang kalian bawa malam ini. Anggap saja untuk
biaya administrasi..." Pak Hasan tertawa terbahak - bahak.
Lidya menggemeretakkan giginya dengan kesal. Ternyata
belum selesai.
Edi, Eko dan Ecep saling berpandangan. Mereka mengangkat
bahu dan berbisik - bisik kecil, lalu ketiganya mengangguk
dan tertawa bersama. Mereka mengosongkan isi kantong dan
memberikannya pada Pak Hasan.
"Dasyar merytua gila." Geleng Ecep sembari tertawa.
"Si - si - sial, padahal ma - ma - malam ini aku bawa uang
banyak." Sambung Edi yang langsung menguras isi
dompetnya.
"Tidak masalah! Kita kan temen lama, Pak. Atur aja dah."
Kata Eko yang langsung melemparkan dompetnya ke depan
Pak Hasan. "Ambil berapapun Pak Hasan mau. Tapi kita juga
butuh jaminan nih. Bagaimana kalau Pak Hasan minta
menantunya yang cantik ini untuk membuka baju?"
"Bisa.... bisa..." Pak Hasan lalu menatap Lidya dengan galak.
"Buka."
Lidya menggeleng ketakutan. Tadinya ia merasa sudah
diselamatkan, sekarang? Ia merasa seperti binatang tak
berdaya yang sedang diumpankan kepada para pemburu.
"Aku bilang buka!" hardik Pak Hasan.
Lidya kembali menggeleng.
Mata Pak Hasan melotot melihat Lidya menolak membuka
baju. Awalnya dia emosi karena Lidya melawan perintahnya,
tapi kemudian dengan tenang Pak Hasan menyunggingkan
senyum. "Aku akan memberikan pilihan, Nduk. Mana yang
akan kau pilih? Buka baju sendiri atau aku minta mereka
bertiga ini merobek - robek dastermu dan kamu akan pulang
ke rumah tanpa sehelai benangpun?"
Lidya menundukkan kepala. Lagi - lagi dia tidak bisa
membantah.
Dengan perasaan kalah, Lidya membuka dasternya. Ketika
daster itu luruh ke tanah, Edi, Eko dan Ecep bertepuk tangan
kegirangan. Tubuh Lidya kini hanya tinggal dibalut oleh
pakaian dalam berwarna merah jambu. Melihat tatapan galak
Pak Hasan, Lidya melanjutkan aksinya membuka baju. Dalam
hati Lidya, ada sedikit perasaan ingin berbuat nakal di
hadapan mertua dan ketiga temannya. Lihat saja Edi, Eko dan
Ecep, seperti anak kecil yang berlomba untuk melihat mainan
baru.
Lidya akhirnya melepas kait behanya dan menurunkan celana
dalamnya.
Edi, Eko dan Ecep berteriak - teriak senang karena pada
akhirnya bisa menyaksikan tubuh seksi Lidya tanpa balutan
seutas benang pun. Ini benar - benar kecantikan yang
sempurna karena dengan atau tanpa pakaian, Lidya sangat
mempesona. Si cantik itu menundukkan kepala karena malu,
wajahnya memerah.
Setelah Lidya telanjang, permainan dimulai kembali, kali ini
Edi, Eko dan Ecep bermain dengan sungguh - sungguh. Tidak
ada yang ingin melewatkan tubuh Lidya yang seksi itu
walaupun hanya bisa menyentuh tanpa melakukan eksekusi.
Sekali dua kali mereka yang bermain melirik ke arah tubuh
Lidya.
Lidya yang lemas duduk di pojok pos siskamling.
Memperhatikan empat orang pria sedang bermain domino
untuk memperebutkan dirinya. Tidak pernah ia bayangkan
selama hidup bahwa pada suatu ketika ia akan melayani tiga
orang lelaki dari desa terpencil.
"Dingin?" bisik Pak Hasan lembut di tengah - tengah
permainan.
Lidya mengangguk, ia memang tengah menggigil. "Di...
dingin..."
"Coba pakai ini." Pak Hasan melepas jaketnya yang tebal dan
memberikannya pada Lidya. "Aku sudah pakai baju dobel."
Terkejut juga Lidya menyaksikan mertuanya. Tumben sekali
dia baik?
Sesaat kemudian Pak Hasan kembali asyik bermain, lupa pada
Lidya yang kini mengenakan jaketnya. Untuk sesaat itu, Lidya
merasakan kehangatan melebihi apa yang pernah ia rasakan.
Sisi yang belum pernah ia lihat dari Pak Hasan. Untuk
pertama kalinya, ia ingin memberikan semangat pada ayah
mertuanya. Ia ingin Pak Hasan yang menang.
Tapi setelah beberapa putaran ternyata Eko Tompel yang
memenangkan permainan.
Begitu menang Eko langsung melepas celananya. "Aku sudah
tidak sabar lagi!" teriaknya penuh nafsu. Lidya langsung
ketakutan melihat bentuk kemaluan Eko. Penis Eko sangat
hitam dengan urat kemerahan melingkarinya, bentuknya agak
bengkok dengan tonjolan - tonjolan di sekeliling batang yang
besar. Rambut kemaluan Eko yang dibiarkan tumbuh tak
teratur menambah kesan kotor pria itu.
Eko tidak mau berlama - lama, ia menarik Lidya yang
ketakutan ke bagian tengah pos kamling. Lidya dibaringkan di
tengah sementara Eko naik ke perut Lidya dan duduk di sana.
Lidya berusaha meronta dan memukul dada Eko, namun pria
bertompel itu lebih kuat darinya. Dengan mudah ia mengunci
tubuh Lidya dan melepas jaket Pak Hasan yang melindungi
bagian atas tubuh si molek.
"Tak ada memek, susupun jadi." Kata Eko sambil menjilat
lidah penuh nafsu melihat payudara Lidya.
"Tidak... aku tidak mau... aku tidak mau... aku tidak
mauuuu...!!!" Lidya menjerit panik. Tapi Edi dan Ecep
memeganginya dengan erat sehingga si cantik itu sama sekali
tak mampu menggerakkan tubuh. Eko Tompel meletakkan
penisnya di antara buah dada Lidya dan mulai bergerak maju
mundur dengan teratur. Lidya menggelengkan kepala tak
percaya, Eko tengah memperkosa buah dadanya! Penisnya
kini digesekkan di dada Lidya, tepat di antara kedua
payudaranya. Tangan Eko meremas susu Lidya dan mencoba
mempertemukan kedua balon buah dada si cantik itu.
"Hghhh! Haghhhhh!! Hnghhh!!!" Lidya menghembuskan nafas
setiap kali ujung gundul penis Eko bertumbuk dengan dagunya
karena pada saat itulah beban tubuh Eko menekan dadanya.
Ia meringis karena remasan tangan Eko menyakiti
payudaranya. Air mata menetes perlahan dari pelupuk mata
indahnya. Tidak hanya menyakitinya, tapi penisnya yang kotor
itu membuat Lidya begitu jijik. Lidya meronta sejadi - jadinya
tapi tanpa hasil, sementara Eko demikian bernafsu
menungganginya.
Tiba - tiba saja...
"Haaaaaaaakkkkkhhh!!!" Mata Lidya melotot seakan ingin
keluar dari lubangnya. Si molek itu menggeram karena
merasakan sakit yang amat sangat di liang cintanya.
Tanpa aba - aba dan tanpa persiapan apapun, Pak Hasan
tiba - tiba saja beringsut ke belakang Eko dan melesakkan
penisnya ke dalam vagina Lidya dalam - dalam. Lidya yang
kaget tentu saja langsung meronta - ronta sebisa mungkin.
"Jangan Pak! Jangan!!! Jangaaaan!! Aku belum siap!!!"
Tapi kedua orang yang kini mengerjai Lidya tentu tidak ingin
berhenti sampai mereka mendapatkan kepuasan puncak. Lidya
menjerit - jerit sekuat tenaga, dia tidak peduli lagi jika ada
orang yang akan datang. Dia justru sedang membutuhkan
pertolongan! Lidya memejamkan matanya, rasa sakit di
selangkangannya begitu ngilu, kasar sekali Pak Hasan
menyetubuhinya. Gerakan maju mundurnya bukan gerakan
yang lembut, tapi menyentak - nyentak dengan sangat cepat.
Kaki Lidya dinaikkan ke pundak pak Hasan untuk
mempermudah pria tua itu menghentakkan kemaluannya
dalam - dalam dengan sekuat tenaga. Setiap sodokan
membuat Lidya menggigil dan melenguh sakit.
Keringat deras membasahi tubuh ketiga anak manusia yang
kini tengah bergulingan di pos ronda itu. Eko terus saja
memangsa dan mengocok penisnya di antara buah dada
Lidya. Rasa yang ditimbulkan antara gesekan penis
bertonjolan dengan buah dada putih mulus membuat Eko dan
Lidya sama - sama melayang. Setiap kali penis Pak Hasan
menyentak masuk dan bertumbukan dengan dinding
terdalamnya, saat itu pula ujung gundul penis Eko menyentuh
dagu Lidya. Edi dan Ecep yang memegang tangan Lidya
mengutuk ketidakmampuan mereka mengalahkan Eko dalam
bermain domino, lihat betapa binalnya wanita kota ini.
"Gimana rasanya, Pak?" tanya Eko penasaran. "Gimana
rasanya?"
"Sempit banget, Ko! Sempit!!! Enakk!!" jawab Pak Hasan
sambil tertawa.
"Tantangan terakhir, Pak! Ayo semprotkan di dalam! Hamili
dia!!! Hamili menantumu sendiri!!" kini giliran Eko yang
tertawa terbahak - bahak.
"Siapa takut?!!!" Pak Hasan membalas.
Lidya menggeleng ketakutan, tidak! Itu yang dia tidak
inginkan! "Jangan Pak! Jangan di dalam, keluarin di luar
saja... aku tidak mau, Pak! Aku mohon!!! Aku mohon, Pak!!"
"Te - terus... kalau dia punya anak nanti, ma - ma - manggil
Pak Hasan apa dong? Ba - ba - Bapak atau Kakek?" tanya
Edi Gagap disusul tawa teman - temannya.
"Ayolah, Nduk. Kamu suka kan? Aku yakin anak kita akan jadi
anak yang berbakti pada orangtua dan kakeknya."
"Tidaaaaaak!!!" jerit Lidya, dia sudah menjerit sekeras
mungkin, kenapa tidak ada orang menolongnya? Kenapa
seandainya ada orang mendengar mereka membiarkan saja
dia digumuli empat orang ini? Lidya meronta - ronta tanpa
daya karena eratnya jepitan Eko pada perut dan payudaranya.
Sesungguhnya orang - orang desa sudah terbiasa mendengar
teriakan wanita di tengah malam datang dari pos siskamling.
Itu karena Edi, Eko dan Ecep sudah terbiasa menyewa lonthe
untuk mereka nikmati di sana. Jadi mereka tidak heran kalau
malam itu ada teriakan dari pos kamling.
"Auuuuuhhhh!!!" Eko sudah mencapai orgasmenya, Lidya
memejamkan mata dan menutup mulutnya. Penis Eko muncrat
- muncrat tanpa halangan, membasahi bagian atas dada
Lidya dan dagunya. Si cantik itu berusaha menahan mulutnya
terkatup agar ia tidak sampai menelan sperma Eko. Tapi agak
susah membersihkan bibirnya yang sudah belepotan sperma
seperti ini. Belum selesai Lidya membersihkan bibir dan
mendorong tubuh Eko menjauh, sentakan keras menghantam
dinding terdalam liang cintanya.
"Haaaaaaghhh!!!" Lidya menahan sakit yang luar biasa. Tapi
ia tidak bisa melawan Pak Hasan lagipula tidak ada gunanya,
Pak Hasan tidak akan peduli. Pria tua itu menyemprotkan
cairan cintanya begitu mencapai puncak kepuasan.
"Hggghhhhh!! Sempit banget memekmu, Nduk!"
Lidya menjerit ketika dia merasakan semprotan cairan kental
dari ujung gundul kemaluan Pak Hasan membanjiri liang
cintanya. Rupanya Pak Hasan telah mencapai puncak!
"Bagaimana kalau akhirnya kamu membuatkan aku seorang
cucu, Nduk?" tanya Pak Hasan sambil terus menyemburkan
spermanya ke dalam liang cinta Lidya. Bagaikan mulut yang
kehausan, vagina Lidya menyedot semua sperma yang
disemprotkan oleh Pak Hasan. Lidya menggelengkan kepala
lemas karena tak percaya, tidak hanya baru saja disetubuhi
ayah mertuanya di depan tiga kawanan berandal desa yang
seharusnya bertugas menjadi penjaga kampung, tapi bajingan
tua itu juga berniat menghamilinya. Membayangkan dirinya
dihamiliki ayah mertuanya sendiri di hadapan banyak saksi
membuat Lidya ingin muntah.
Plop! Pak Hasan menarik penisnya dari dalam memek Lidya
sambil meninggalkan bunyi lepasan yang nyaring. Tubuh Pak
Hasan ambruk karena lemas, menimpa tubuh Lidya yang
masih terlentang.
Dengan susah payah si cantik itu mencoba menyingkirkan
tubuh Pak Hasan agar dia bisa berdiri tegak dan menutup
ketelanjangannya. Ia membenahi tali behanya, lalu
mengenakan roknya kembali. Vaginanya yang sedari tadi
terus menerus diserang masih terasa perih, tapi Lidya sudah
tidak tahan ingin meninggalkan tempat terkutuk ini. Dia
bahkan tidak mampu berdiri, berjalanpun sempoyongan.
"Menantu yang hebat, Pak," kata Eko sembari mengenakan
kembali kaos dan jaketnya. "Lain kali kalau main kartu lagi,
selalu ajak dia juga ya, Pak."
Semua yang disana tertawa kecuali Lidya.
Malu sekali rasanya Lidya. Malu sekali. Wajahnya memerah
tak tertahan. Walaupun semburat merah itu menambah manis
wajahnya yang cantik, tapi tidak ingin dia mempersembahkan
keindahan apapun kepada orang - orang ini. Tubuhnya
seharusnya hanya menjadi milik Mas Andi, suaminya! Ingin
rasanya Lidya cepat - cepat lari dan pergi dari tempat ini.
'Menantu yang hebat', menantu! Bukankah seorang menantu
itu seharusnya dianggap sebagai anak sendiri? Bukan budak
seks yang setiap saat disetubuhi? Untunglah malam kali ini
begitu gelap sehingga baik Pak Hasan, Edi, Eko maupun Ecep
tidak melihat merah wajah Lidya yang malu sekaligus marah.
Setelah akhirnya nafasnya kembali normal dan rasa nyeri di
selangkangan dan dadanya mulai menghilang, dengan buru -
buru Lidya pergi meninggalkan pos ronda dan lari pulang ke
rumah, meninggalkan Pak Hasan yang berjalan mengikutinya
dengan santai sambil mengepulkan asap rokok.
Untuk pertama kali dan terakhir, ketiga orang yang duduk
bersama dan meronda malam itu menyunggingkan senyum
penuh kepuasan. Mereka tidak akan pernah melupakan saat -
saat terindah dalam hidup mereka ini. Saat - saat rahasia
yang hanya mereka bertiga, Pak Hasan dan Lidya yang tahu.
Semuanya akan baik - baik saja, jika mereka diam.
Ketiga orang itu berbaring di pos ronda dan memejamkan
mata mereka, berharap kejadian yang baru saja mereka alami
akan berulang di kemudian hari. Oh, betapa inginnya mereka
memiliki Lidya yang mempesona. Sungguh beruntung Pak
Hasan, memilik menantu jelita seperti Lidya.
Edi Gagap, Ecep Sumbing dan Eko Tompel tidur dengan
senyum mengembang.
###
HARI KETIGA
Hari ini hampir seharian Lidya menghabiskan waktu di kebun.
Dimulai dari menikmati indahnya pagi dengan sarapan
gurameh bakar kiriman Mbak Mirah, lalu mengagumi angin
yang bersemilir sambil makan rujak buah - buahan buatan
sendiri di siang hari dan akhirnya mengobrol dan bercanda
dengan Mbak Mirah dan saudara - saudaranya di sore hari.
Anak Mbak Mirah yang masih balita lucu sekali. Bersama
dengan orang - orang ini, Lidya ingin melupakan kejadian sial
yang terjadi kepadanya. Suasana Desa Kapukrandu yang
tenang, asri dan bersahabat membuat Lidya sedikit demi
sedikit merasa tenang dan nyaman, begitu nyamannya
sehingga seandainya diminta, Lidya akan betah tinggal di
sana. Bahkan jika dia harus tinggal di rumah pinjaman
bersama dengan mertuanya yang bejat dan hanya memikirkan
seks.
Itu pagi sampai sorenya. Tapi malamnya?
Malam ini sepertinya Lidya harus menepati janji pada Pak
Hasan, janji apa? Janji melayani sang mertua di tempat tidur.
Lihat saja pandangan buas Pak Hasan di meja makan hari ini,
seperti hendak menelannya hidup - hidup. Setelah kemarin
malam diancam akan dibuka rahasianya pada Andi, bisakah
wanita cantik itu menolak?
"Malam ini, kamu tidur di kamarku." Kata orang tua cabul itu
dengan dingin sambil mengunyah nasi.
"Tidak." Tolak Lidya.
"Kenapa?" tanyanya galak.
"Rumah Mbah Mirah tidak jauh dari rumah ini, kamar mereka
juga dekat dengan kamar Bapak. Kalau sampai keluarga
mereka mendengar jeritan..." wajah Lidya memerah ketika ia
menyadari apa yang ia katakan. Ia segera meralat kata -
katanya. "....kalau sampai keluarga Mbak Mirah mendengar
suara mencurigakan, kita bisa digrebek. Aku tidak mau Mas
Andi malu. Lagipula tadi malam Bapak sudah... sudah dapat."
"Malu? Kenapa harus malu? Setelah apa yang kita lakukan di
bus, di pasar atau di mal? Atau saat main kartu kemarin?
Apanya yang bikin malu?" Pak Hasan tertawa renyah. "Tidak
akan terjadi apa - apa. Malam ini kamu tidur di kamarku."
Lidya meneguk ludah. Tiba - tiba saja nasi sayur yang ia
makan terasa hambar. Ia tahu tidak ada gunanya menolak.
Dengan gerakan kepala pelan, si jelita itu mengangguk.
Pak Hasan tersenyum puas, "habiskan makananmu, Nduk. Aku
tidak mau Andi melihat istrinya kurus sepulang dari desa.
Untuk nanti malam, pakai kaos tipis dan rok mini yang
sekarang kamu pakai itu dan jangan memakai beha saat
kamu masuk kamarku nanti."
Lidya mengeluarkan nafas panjang, sudahlah, ia sudah letih
melawan... ia menyerah. Si jelita itu kembali mengangguk.
Malam datang sangat cepat hari itu, detik demi detik yang
biasa datang lambat justru berpacu dengan hening malam.
Lidya sempat beristirahat sebentar usai mencuci piring, ia
tahu ia harus masuk ke kamar sang mertua dan melayaninya
bermain cinta. Bukan hal yang paling menyenangkan hari ini,
tapi ia tahu dirinya tidak bisa mengelak. Cepat atau lambat,
Pak Hasan pasti akan menikmati ranum tubuhnya.
Dengan langkah malas Lidya bangun dari pembaringan
tempatnya bermalas - malasan sepanjang hari dan berjalan
menuju kamar Pak Hasan. Walaupun kamar mereka hanya
dibatasi oleh ruang keluarga, namun Lidya merasa dirinya
bagaikan seorang narapidana yang berjalan melalui lorong
penjara menuju hukuman mati. Ketika mendengar langkah
kaki Lidya, Pak Hasan bergegas untuk membukakan pintu.
Pria tua itu hanya mengenakan kaos oblong putih tipis dan
sarung yang melilit. Dengan gerak langkah ringan, Lidya duduk
di pembaringan. Tanpa bicara, tanpa kata. Lidya hanya diam
dan menunggu.
Pak Hasan duduk di samping menantunya, lalu dengan lembut
ia mencium bibir mungil Lidya. Sapuan lembut bibir sang
mertua membuat gairah Lidya perlahan - lahan naik. Ini dia,
seorang pria yang bukan suaminya mencium bibirnya dengan
bebas. Tapi anehnya, hampir - hampir Lidya berharap Andi
bisa menciumnya seperti yang dilakukan oleh Pak Hasan,
begitu dominan, kuat dan jantan. Si cantik itu tentu saja tidak
mau menikmati permainan kasar Pak Hasan dengan
membayangkan suaminya. Ia tidak ingin menikmati ini, tapi...
ketika bibir dengan bau tak sedap itu menyapu bibirnya dan
menjelajah semua sisi rongga mulut dan bibir penuhnya,
pagutan bibir mertuanya membuat Lidya menyeberang
kenikmatan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.
Tubuh gemuk Pak Hasan bertengger di atas tubuh Lidya yang
ramping. Celananya sudah turun hingga lutut dan lidahnya
yang cabul menjelajah mulut menantunya yang cantik
sementara tangan nakalnya menjelajah seluruh lekuk tubuh
Lidya. Tangan itu meremas - remas buah dada sang menantu
yang kenyal dan sempurna yang masih ada di balik pakaian
tipis. Bibirnya yang tebal terus saja menjajah bibir mungil
Lidya, lidahnya menggeliat, memaksa sang menantu membuka
mulut sedikit dan meneteskan air liur diantara bibir merah
yang ranum.
"Haunnng..." Lidya mengerang sambil memejamkan mata
keenakan ketika Pak Hasan menarik lidahnya yang nakal dan
mulai menjilati sisi wajah dan dagu sang menantu sambil tak
lupa sesekali mengecup bibir mungilnya yang menggemaskan.
Lidya memandang ke arah sang pencium dengan mata
berkaca - kaca dan bibir yang menebal bahkan hampir luka
karena ciuman kasar pria tua bejat yang kini sedang
menciuminya penuh nafsu. Lidya berupaya mengangkat
kepalanya, tapi bibir sang mertua yang bau itu mengejar
bibirnya lagi, sekali lagi kepala Lidya terjerembab ke bawah.
"Ummmpphhhhh... glkkk... Ppaaakkk..." kepala Lidya bergerak
tanpa henti karena kasarnya ciuman Pak Hasan. Bagaimana
mungkin dia bisa menikmati ciuman buas seperti ini?
Walaupun dalam hati menolak, tak urung Lidya merem melek
juga dengan rangsangan hebat yang kini menderanya. Pak
Hasan terus saja menumbuk bibir manis Lidya dengan
bibirnya yang kasar dan mulutnya yang bau, belum lagi
dengan air liur yang terus menetes dari mulut sang mertua
membuat bibir Lidya benar - benar serasa dijajah. Lidya
mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mengatur kuasa
tubuhnya. Bukannya merasa jijik, Lidya malah semakin
menikmati ciuman menuju puncak orgasme. Orgasme, hanya
dengan berciuman dengan Pak Hasan. Lidya malu sekali.
Penis Pak Hasan keras seperti kayu, menyembul dari
sarungnya. Lidya bisa merasakan hawa nafsu yang
menghangat keluar tiap kali tubuhnya bergesekan dengan
kemaluan sang mertua. Bahkan ketika penis yang masih ada
di balik sarung itu disandarkan dengan santai di perutnya
yang rata. Lidya masih merem melek menerima serangan
ciuman bertubi. Si cantik itu hampir tidak bisa bergerak dan
berkonsentrasi untuk melakukan apapun karena intensitas
serangan terus - menerus meningkat.
Tangan kasar sang mertua bergerak lincah dengan cepat,
menyadari menantunya yang jelita kini ada dalam kuasanya,
tangannya segera melucuti celana dalam pink mungil milik
Lidya. Si cantik bahkan tak sadar bahwa bagian bawah
tubuhnya kini telah telanjang.
"Sudah waktunya." Kata Pak Hasan setelah melepas
pagutannya yang liar pada mulut Lidya. Ia berdiri dan melepas
sarungnya yang kumal.
Lidya tak menjawab, tapi matanya gelisah penuh penantian.
Antara ingin dan jijik. Bola matanya yang indah memandang
tubuh mertua yang tidak ada bagusnya, perut gembul berbulu
dengan kemaluan yang keras menggantung di bawah, air cinta
pelumas membasahi ujung gundul penis dan perlahan
menetes membasahi roknya yang berantakan. Setelah
mencopot pakaiannya sendiri, Pak Hasan menarik lepas
celana dalam sang menantu yang tadi masih tergantung di
kaki.
Ketika sedang melamun, Lidya dikagetkan oleh Pak Hasan
yang tiba - tiba memegang paha mulusnya.
"Siap?" tanya Pak Hasan sambil menyeringai. "Hari ini
sepertinya kamu juga menikmati."
Lidya memandang geram ke arah mertuanya yang cabul. Tapi
apa mau dikata, nafsunya sudah terlanjur naik, lagipula tidak
ada gunanya lagi melawan seorang pria bertubuh gemuk yang
kini berada di atas tubuhnya yang telanjang. Lidya
mengangguk pasrah tanpa suara. Dengan kasar Pak Hasan
merenggangkan kaki Lidya, lalu menarik pinggulnya dan
mendekatkan tubuh si cantik itu kepadanya. Tak perlu waktu
lama bagi Pak Hasan untuk melesakkan penisnya masuk ke
dalam vagina si jelita yang telah basah.
"Ini dia, Nduk. Ini dia.... ini dia....!!! Hggghhhhhhh!!!" Pak
Hasan memejamkan mata penuh kenikmatan saat penisnya
berusaha menembus masuk ke vagina sempit bidadari yang
jelita itu.
"Aaaaaauuuuhhhhhhh....... essssstttttt!!!!!" Lidya mendesis
penuh nikmat ketika pria tua yang kini berada di atas
tubuhnya melesakkan kemaluan ke dalam liang cintanya.
"Sudah berkali - kali aku menyetubuhimu, Nduk... tapi tetep
sempit rasanyaaaa..."
Rasa sakit bercampur nikmat membuat Lidya tak bisa
menahan diri, kepalanya berpaling kesana kemari dan
mulutnya menghembuskan nafas berulang untuk mencoba
menenangkan batin.
Sambil duduk bersimpuh dan memegang pinggang ramping
Lidya, Pak Hasan memutar - mutar kemaluannya dan
mengaduk isi liang cinta sang menantu. Bagian atas tubuh
Lidya masih beralaskan kasur, namun pantatnya kini
terangkat ke atas. Pak Hasan mulai menumbuk dengan
kecepatan teratur, melesakkan barangnya yang hitam ke
dalam liang cinta yang seharusnya hanya boleh dimasuki
penis anak kandungnya. Lidya tak tahan lagi, rasa nikmat
bercampur sakit membuatnya tak kuat, ia menggunakan
punggung tangan untuk menghapus air mata yang kadang
leleh keluar tanpa ia inginkan.
Dengan satu gerakan cepat Pak Hasan menggerakkan seluruh
tubuhnya ke depan, hampir - hampir meremukkan tubuh
mungil menantunya yang jelita dan melesakkan dalam -
dalam kemaluannya hingga berbenturan dengan dinding dalam
vagina Lidya. Pak tua bejat itu memejamkan mata keenakan,
"hggghhh!!!"
"Eesssst!!!" Lidya meringis kesakitan ketika mertuanya
menjejalkan penisnya.
Namun Pak Hasan tidak berhenti begitu saja. Sekali lagi
dengan satu gerakan cepat, Pak Hasan menggulingkan
tubuhnya dan merubah posisi mereka, kini justru Lidya yang
berada di atas, duduk dan menunggangi kontol mertuanya.
"A... apa yang... oooooohhhhh!!! Esssttt!!" Lidya tak sempat
mengeluarkan protes atau kata apapun karena kemaluan sang
mertua mulai bergerak naik turun menikam liang cintanya
yang sudah basah.
Melihat Lidya bergerak naik turun dengan erotis sambil
mengendarai penisnya menuju puncak kenikmatan, tak urung
Pak Hasan naik kembali nafsunya. Ia meremas - remas buah
dada sentosa milik Lidya.
"Aaaaaahhhhh!!" desah Lidya, tangannya yang lentik bertumpu
pada perut gembul sang mertua. Harga dirinya lenyap ditelan
nafsu maut, Pak Hasan tidak hanya telah menyetubuhinya,
tapi entah bagaimana kini Lidya justru berada di atas dan
mengatur gerakannya sendiri. Mertuanya yang cabul telah
membalik posisi mereka tanpa ia sadari.
Lidya masih belum melepas rok mininya yang kini menutup
bagian selangkangan mereka berdua. Ia benci sekali posisi ini
karena berkesan dialah yang sedang menyetubuhi Pak Hasan
dan bukan sebaliknya. Entah kenapa Lidya terus
menggerakkan pinggulnya, makin lama makin cepat. Si cantik
itu ingin cepat memperoleh kepuasannya, dia ingin cepat,
lebih cepat, semakin cepat, lebih cepat lagi... naik turun, naik
turun, terus, terus... terus! Terus!!!
Saat itulah tiba - tiba telepon genggam Lidya berdering,
mengeluarkan ringtone lagu cinta salah satu band lokal. Lidya
kaget mendengarnya dan kehilangan fokus dengan cepat, ia
mencoba menarik diri dari atas tubuh Pak Hasan dan melepas
penisnya dari dalam vagina.
Namun satu tangan gemuk menahan pinggangnya.
"Jangan berhenti." Kata Pak Hasan tegas. Lidya yang
kebingungan melanjutkan gerakannya sesuai perintah, naik
turun untuk memberikan kenikmatan pada penis keras sang
mertua. Namun matanya tak lepas dari telepon genggam yang
ternyata tak sengaja ia bawa ke kamar ini. Konsentrasi si
molek itu sudah buyar.
Karena posisinya yang berada di bawah dan tangannya bebas,
Pak Hasan meraih telepon genggam yang ada di atas meja di
samping kasur, entah kapan Lidya meletakkannya di sana. Ia
harus memicingkan mata untuk bisa melihat nama orang
yang menelpon wanita jelita yang kini tengah mengendarai
penisnya dengan penuh nafsu. "Ini Andi."
Wajah Lidya pucat pasi, ia menggelengkan kepala. Tidak! Ia
tidak mau! Ia tidak mau menerima telepon suaminya
sementara penis sang mertua tengah menancap di dalam
vaginanya. Si cantik itu terus menerus menggelengkan kepala,
ia hampir menangis ketika Pak Hasan tidak mempedulikan
gelengan kepala menantunya yang pucat pasi dan memencet
tombol penerima telepon.
Lidya langsung merebut telepon genggamnya dari tangan
sang mertua. Keringat dingin mengalir deras membasahi
dahinya. Pak Hasan hanya tertawa kecil tanpa suara.
"Ha... halo?" tergagap Lidya berusaha menyesuaikan suaranya
senormal mungkin.
"Halo sayang." Suara mesra Andi menyambut istrinya.
"Ha - halo, mas..." Lidya berusaha mengeluarkan suara
lembut tanpa ekspresi, sangat sulit mengingat penis Pak
Hasan terus berdenyut di dalam liang cintanya.
"Gimana kabarmu? Aku susah sekali mencari waktu untuk
menelpon. Baru bisa menelpon sekarang, pekerjaan banyak
banget."
"A... aku baik, Mas. Iya... di sini sinyal juga sering susah... jadi
tidak bisa sering telepon dan... tidak pasti ada sinyal....
henghhh..."
"Sayang? Kamu kenapa?" sentakan nafas Lidya mengagetkan
Andi. "Kamu tidak apa - apa kan?"
"Ti... tidak apa - apa... a... aku tersandung saja. Iya,
tersandung." Walaupun Andi tidak akan melihatnya, Lidya
menganggukkan kepala, mencoba membenarkan
kebohongannya. Pak Hasan tergelak melihat kepanikan
menantunya, Lidya melotot galak melihat mertuanya itu.
"Suaranya kok tidak seperti tersandung? Seperti menahan
sesuatu... memangnya kamu jalan kemana?"
"Beneran, Mas. Aku tersandung. Aku sedang... aku sedang
mau ke dapur." Lidya melirik ke arah mertuanya yang hampir
- hampir tidak bisa menahan ketawa, ingin rasanya ia
membungkam mulut mertuanya itu saat ini dan menghapus
senyuman menghina dari wajahnya. "Ta... tadi tersandung...
ta... tapi tidak apa - apa."
Melihat Lidya memfokuskan perhatian kepada telepon
genggam, Pak Hasan mulai nakal, ia menggerakkan
pinggulnya dan menggoyang penisnya untuk menyengsarakan
sang menantu. Lidya melotot kepada mertuanya, namun rasa
enak yang ia rasakan di selangkangan tak bisa ia pungkiri.
Tubuh Lidya bergetar hebat, rangsangan luar biasa yang ia
rasakan dari sodokan penis Pak Hasan ditambah suara Andi
yang sedang ia dengar di telepon membuat si cantik itu
gelagapan tak tahu harus berbuat apa. Rangsangan hebat itu
pula yang kini justru membuatnya menaiki puncak
kenikmatan. Cairan cinta meleleh deras di dalam liang
kewanitaannya, membuat sodokan Pak Hasan kian mudah.
"Hgnghh! Hgnghh...!!! Hgnghhhh...!!!" Pak Hasan menekan
penisnya dalam - dalam dan pada tiap tusukannya ia
berusaha melesakkan semakin dalam.
"Suara apa itu, sayang?" tanya Andi, ia mendengar dengusan
teratur di belakang suara Lidya yang bergetar.
"Su... suara apa maksud kamu, mas?" Lidya bertanya balik, ia
benci sekali melihat senyuman geli di bibir sang mertua. Ingin
rasanya ia menampar wajah penuh kemenangan itu. Lidya
memejamkan mata, ingin menangis rasanya.
"Seperti ada yang terengah - engah?" kata Andi bingung.
"Ti... tidak ada siapa - siapa di sini..." Lidya membuka mata
dan menggemeretakkan gigi, menahan diri agar tidak
mengeluarkan lenguhan yang mencurigakan atau menjerit tiba
- tiba. Susah sekali rasanya menahan teriakan karena
vaginanya terus menerus digempur. "Mu - mungkin ada
gangguan di operator..."
"Iya, mungkin saja. Kamu tidak apa - apa kan?"
"Ti... henghhh... tidak apa - apa..." Lidya memejamkan mata.
Tangannya berusaha menjauhkan tubuh Pak Hasan untuk
sementara waktu, susah sekali rasanya menerima telpon dari
suaminya kalau memeknya terus saja dihajar oleh sodokan
penis mertuanya sendiri seperti ini. "ti... tidak apa - apa,
hgnnngghhh!!!!!"
"Kok menggeram gitu? Memangnya kamu sedang apa
sekarang?" suara Andi mulai terdengar gelisah.
"Ti - tidak sedang apa - apa kok... beneran.. henghhh... a -
akuu sedang memasak... ini sedang menumbuk... enghh...
bum... bumbu......"
"Memasak? Jam segini?"
"I... iya... Bapak belum makan..."
"Oooh gitu... kenapa kok sampai jam segini belum makan?"
"Ta - tadi Bapak keluar, barusan pulang dan katanya...
katanya... minta dibuatin makanan...." dia bukan pembohong
yang baik, batin Lidya.
"Oh gitu." Suara Andi terdengar gamang, "baiklah, sehari lagi
kamu pulang kan? Hati - hati di jalan ya, SMS aku kalau
kamu sudah mau pulang besok."
"Iya mas....."
"Bye sayang. Love you."
"Bye."
Terdengar suara telpon ditutup. Tak terasa beberapa titik air
mata menetes dari bola mata yang indah yang kini berkaca -
kaca. Lidya baru saja berbohong kepada suaminya. Ia
berbohong kepada orang yang paling ia cintai. Ia tidak
mungkin mengatakan bahwa saat ini tubuhnya yang indah
sedang telanjang dan disetubuhi oleh Pak Hasan, ayah Andi
sendiri!!!
Pak Hasan menyeringai puas.
"Kurang - ajar....!!!" Lidya mengumpat. Saat itu dia benci
sekali laki - laki tua bejat yang kini tengah tertawa dengan
penis tertancap dalam - dalam di lubang memeknya. Tapi
umpatannya hilang ditelan gerakan maju mundurnya sendiri.
Kemarahan yang dirasakan Lidya justru membuat nafsunya
kian tak terkendali, ia bagaikan binatang yang tak bermoral
dan menghamba pada nafsu. Tanpa dirasa, walaupun
membenci mertuanya hingga ke ujung ubun - ubun, dia
jugalah yang memberikan Lidya kenikmatan permainan cinta
yang sesungguhnya.
Mereka tidak sedang bermain cinta, atau bahkan bergerak
menekan satu sama lain. Pak Hasan hanya diam saja
terbaring di atas kasur, penisnya yang menjijikkan bagi Lidya
beraksi penuh kuasa di dalam liang cintanya. Selangkangan
mereka masih bertaut ketika telepon genggam Lidya dilempar
ke samping tempat tidur oleh si molek.
"Cium aku dulu, sayang..." Pak Hasan mengeluarkan seringai
menjijikkan sambil meletakkan kedua tangannya di belakang
kepala.
"Menjijik... keuuuuhhhhhhhhh!!! Aughhhh!!!" Lidya memejamkan
mata ketika penis Pak Hasan membesar di dalam liangnya
yang sempit.
Lidya mencondongkan tubuh ke depan, buah dadanya yang
kenyal ia tekan ke dada sang mertua yang gemuk. Si cantik
itu tidak percaya ia melakukan ini dengan kemauan sendiri
tanpa diminta oleh Pak Hasan, sungguh gila. Tidak hanya ia
membiarkan Pak Hasan menyetubuhinya tanpa perlawanan,
kini ia malah bersedia memuaskan nafsu sang mertua yang
bejat. Mertuanya yang arogan hanya terbaring di sana
sementara Lidya mencium bibirnya dan menaikturunkan
pinggulnya, sebisa mungkin ia melesakkan penis sang mertua
dalam - dalam tiap kali diturunkan. Lidya membuka
mulutnya, menanti lidah sang mertua menjelajah ke dalam
mulutnya.
Pak Hasan menyapu bibirnya yang basah oleh liur Lidya yang
bercampur dengan cairan lain dari mulut sang menantu. Lidya
berusaha mengangkat bagian atas tubuhnya agar bisa
bernafas sementara selangkangannya terus menerima
sodokan dari bawah, ditusuk hingga ke dinding terujung. Penis
gemuk yang menjelajah di liang terdalam kewanitaan Lidya
berdenyut pelan seperti menikmati ditekan oleh dinding yang
sempit.
Masih dengan mulut yang saling berpagut, Pak Hasan
membalik tubuh Lidya dan membaringkan menantunya di atas
kasur, memutar posisi mereka. Perut gemuknya ditekan
hingga pipih di atas perut Lidya yang ramping. Pakaian si
cantik itu sudah acak - acakan ketika Pak Hasan mulai
memajumundurkan pinggang untuk menyetubuhi sang
menantu. Menumbuk tubuh mungilnya di atas ranjang acak -
acakan dan basah oleh keringat keduanya.
Kaki jenjang Lidya direntangkan lebar - lebar dan lututnya
ditekuk. Wajahnya yang cantik acak - acakan oleh ulah Pak
Hasan yang tak henti - hentinya mencium. Lidya berulang
memejamkan mata merasakan batang kemaluan sang mertua
keluar masuk di liangnya. Tubuh berat Pak Hasan membebani
tubuh Lidya yang kecil dan ramping.
Pak Hasan melenguh keras, ia meremas payudara Lidya
beberapa kali sebelum mengangkat bulat pantat si cantik itu
dan menusukkan penisnya dalam - dalam. Makin lama makin
cepat.
"A... aku tak kuat lagi.... haaaaarrrgghhhh!!!" teriak Pak Hasan
yang akhirnya tak mampu bertahan dan menghamba
menginginkan kepuasan.
Pria tua itu mengangkat kepalanya tinggi - tinggi ketika
ujung gundul penisnya meledak di dalam kemaluan sempit
sang menantu. Buah pelirnya bekerja dengan baik memberikan
supply sperma yang berlebih dan membantunya memancarkan
cairan kenikmatan di dalam liang kemaluan Lidya hingga
penuh tanpa menghentikan gerakan maju mundur pinggulnya.
Lidya berteriak kencang sambil mencakar bahu sang mertua,
si cantik itu rupanya juga mengalami orgasme yang telah
ditunggu - tunggu. Ia mengejang sesaat dan kemudian
terbanting lemas.
Saat kemudian ia sadar, Lidya hampir - hampir tak bisa
bernafas karena tubuh gemuk Pak Hasan ambruk
menimpanya. Lidya tak mampu menggerakkan tubuh karena
terkunci pelukan sang mertua. Kakinya yang jenjang masih
terbentang lebar, untuk memudahkan Pak Hasan melakukan
penetrasi. Cairan cinta mereka yang beradu di dalam liang
kemaluannya terasa berat dan kental, membuat ia merasa
becek. Lama kelamaan Lidya megap - megap karena tak kuat
lagi menahan beban.
"Kamu memang benar - benar kuda binal yang enak ditiduri,
Nduk." Kata Pak Hasan sambil berguling turun dari tubuh si
cantik yang masih tersengal - sengal, perlahan - lahan orang
tua bejat itu menarik keluar penisnya dari dalam kemaluan
sang menantu. Lidya sempat tersentak kecil ketika penis itu
keluar dengan menimbulkan bunyi plop yang nyaring.
Karena tidak mampu berpikir dengan jernih Lidya hanya bisa
mendesah tanpa arti. Ia juga tak bisa melakukan apa - apa
ketika lengan gemuk Pak Hasan memeluk tubuhnya erat. Si
cantik itu terlalu lelah untuk mengeluarkan kata. Dia hanya
ingin tidur dengan nyenyak malam ini.
###
HARI KEEMPAT
Sejuk semilir angin membawa damai di hati ketika
hembusannya yang nakal sesekali mengibarkan helai demi
helai rambut Lidya yang indah. Untaian udara dingin malam
yang tertinggal dalam dekapan pagi tersebar di seluruh Desa
Kapukrandu, menyatu dalam kabut yang hanyut, memberikan
nuansa syahdu dalam kesederhanaan yang bersahaja
menyambut pagi yang ceria.
Langkah kaki jenjang Lidya yang menyusur jalanan desa
tidaklah sendiri di pagi yang dingin ini. Si cantik itu
menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepala berapa
kali saat bertemu anak - anak desa berpakaian sekolah yang
asyik bersenda gurau dan mengayuh sepeda mereka agar
tidak terlambat masuk sekolah. Di pengkolan di ujung
kampung, ibu - ibu penjaja dagangan sudah membuka lapak
bahkan sebelum sang surya hadir menyambut pagi. Sayur
mayur dan bumbu dapur digelar untuk menarik minat pembeli.
Ramainya ibu - ibu bersenda gurau dan bertukar berita hanya
bisa disaingi oleh teriakan penjual mainan anak - anak.
Lidya sengaja berjalan pelan. Si molek itu tidak ingin
sedikitpun kehilangan momen indah di Desa Kapukrandu
karena hari ini adalah hari terakhirnya di desa yang sejuk ini.
Lidya teringat, beberapa hari yang lalu ia malas sekali pergi ke
tempat ini karena takut dengan perlakuan Pak Hasan.
Kekhawatirannya beralasan dan apa yang ditakutkan benar
terjadi bahkan lebih parah lagi, ia melakukan hal - hal yang
sebelumnya tidak ia sangka akan ia lakukan. Pak Hasan telah
memperlakukannya dengan kasar, mencabuli dan
memperkosanya.
Tapi......
Desa Kapukrandu yang sejuk ini telah memberikannya
pelajaran berharga, untuk tidak menilai seseorang hanya dari
sisi buruknya saja. Tiap orang memiliki dua sisi kehidupan
yang saling mendukung walaupun dasarnya bertolak belakang.
Bisa juga setiap orang membutuhkan keduanya karena pada
dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Jika hendak
mengagumi seseorang karena sisi baiknya, persiapkan hati
saat mengetahui sisi buruknya. Seorang pejabat tinggi yang
terlihat santun, sopan dan berwibawa ternyata koruptor yang
doyan tidur dengan gadis yang jauh lebih muda dan bukan
istrinya. Bandingkan dengan orang yang kasar, kotor dan tidak
berpendidikan tinggi namun rela membantu dan berkorban
demi orang lain tanpa memungut biaya.
Siapa sangka dibalik wajahnya yang menjijikkan dan selalu
membuat Lidya bergidik ketakutan, Pak Hasan adalah orang
yang sering dimintai bantuan bahkan pernah menjadi teladan
bagi rakyat Desa Kapukrandu? Bagaimana tidak, mertuanya
itu dulu pernah bertugas sebagai kepala desa!
Hari ini Pak Hasan pergi ke kelurahan untuk berpamitan
dengan teman - temannya di sana. Setelah bercinta habis -
habisan semalam, rasanya asyik juga kalau hari ini Lidya
pergi mandi ke sungai. Pak Hasan bilang kalau ada satu
tempat di mana Lidya bisa mandi tanpa perlu khawatir ada
orang yang mengintipnya, tempat itu sepi, tak diketahui
banyak orang dan airnya jernih. Sepertinya menyenangkan
membasuh tubuhnya yang terasa kotor karena semalam
dihujani cairan cinta Pak Hasan.
Untuk sampai ke tempat itu Lidya harus melalui jalan yang
agak susah dan hanya bisa dicapai dengan jalan kaki, tidak -
apa - apa batin si cantik itu, hitung - hitung olahraga pagi.
Dari ujung jalan di dekat pengkolan penjaja sayuran, Lidya
berjalan lurus ke arah sungai. Tidak banyak yang pergi ke
sungai karena hampir sebagian besar masyarakat desa sibuk
dengan pekerjaan pagi mereka. Setelah sampai di tepian
sungai Lidya menyusurinya hingga masuk jauh ke dalam
rerimbunan pepohonan. Di tempat ini pohon - pohon rindang
berbaris tak rapi melindungi jalan setapak yang menurun,
suasana yang masih asli dan asri, tak akan bisa ditemui di
kota. Pantas saja Pak Hasan bilang kalau malam minggu
anak - anak muda Desa Kapukrandu sering berpacaran di sini
sementara pada malam hari para dukun mencari wangsit juga
di tempat rimbun ini.
Berbeda dengan wilayah lain di luar Desa Kapukrandu yang
cenderung gersang dan kering, tempat ini seperti hutan oase
di tengah padang pasir dengan sungai yang mengalir dari sisi
pegunungan hingga turun untuk memberikan sumber
penghidupan bagi rakyat desa.
Karena jauh dari jalan utama, tempat itu jarang dilewati
orang. Sejak menyusuri sungai Lidya tidak melihat siapa -
siapa lagi. Bahaya juga kalau - kalau dia tersesat. Untung
saja Pak Hasan mengatakan asal dia menyusuri sungai, Lidya
tidak akan tersesat. Si cantik itu berusaha menghapal lokasi
tempatnya berjalan, mencoba menghapal beberapa pohon
yang bisa membantunya pulang nanti.
Dinginnya air, sejuknya angin, nyamannya suasana. Semua
mendukung Lidya untuk menikmati pagi. Bahkan mungkin ia
terlalu menikmati... ketidakhadiran Pak Hasan membuat Lidya
bebas melakukan apa saja hari ini. Apalagi setelah dari
kelurahan, mertuanya itu akan mengurus penyelesaian
beberapa hutang dengan teman - temannya yang lain, kalau
tidak salah namanya Koh Liem atau siapa. Hari yang bebas.
Akhirnya Lidya sampai di sebuah tempat yang seperti Pak
Hasan bilang, tersembunyi dan aman baginya untuk mandi.
Lidya berhenti sejenak sebelum melangkah.
Yakinkah dia tempat ini aman?
Lidya melihat ke arah sekitar, rimbunnya pepohonan tinggi
membuat tempat ini seperti hutan yang terlindung dari cahaya
sang surya. Peralihan udara dari dingin ke hangat disambut
kabut tipis yang mulai menghilang dan semilir angin
menyejukkan. Udara pagi ini juga sangat cerah, hampir tidak
ada awan bergantung di langit dan burung - burung mulai
berkicau ramai menyenandungkan lagu ceria menyambut
mentari.
Benar apa kata Pak Hasan. Tempat ini memang cukup
tersembunyi, pepohonan rindang menutupi sisi dengan dahan
saling berkait dan tumbuh - tumbuhan berduri menghalangi
pandangan siapapun dari arah seberang. Sebaliknya tempat
ini juga cukup baik untuk memantau seandainya ada orang
yang datang karena tempatnya agak lebih tinggi dari jalan
setapak dan sungai yang mengalir ke desa. Air yang mengalir
begitu jernih dan bening sehingga nampak segar sekali.
Jadi... amankah tempat ini? Mungkin tidak, tapi dia tidak lagi
peduli.
Lidya melepas pakaian yang ia kenakan, mulai dari kaos,
celana selutut hingga pakaian dalamnya. Melihat suasana, Ia
cukup merasa aman untuk mandi telanjang. Lidya geli dengan
keberaniannya, mungkin karena sudah pernah melakukan hal
- hal aneh di mal dan pasar, Lidya menjadi sedikit berani
membuka pakaian.
Sedikit demi sedikit Lidya mencelupkan ujung kakinya yang
jenjang ke dalam air, merasakan lembutnya sapuan air dingin
yang menyentak dan menyegarkan. Sambil memejamkan
mata, si jelita itu masuk ke air. Mulai dari ujung jari kaki, lalu
betis, lutut, paha, pinggul, perut dan akhirnya dada serta
kepala. Seluruh tubuh Lidya kini sudah masuk ke dalam
dinginnya air di pagi hari. Untuk sesaat ia menggigil
kedinginan, namun sinar mentari yang akhirnya berhasil
menembus payung alami di atas rindang pepohonan membuat
tempat di mana Lidya berendam jadi terasa hangat.
Lidya tidak menyukai apa yang ia alami di Desa Kapukrandu
karena memberikan kenangan yang tak menyenangkan
baginya. Namun tempat ini bagaikan mutiara dalam tiram.
Penyejuk jiwa dan pemberi keseimbangan batin.
Mengherankan, di tempat gersang seperti Desa Kapukrandu
ada juga wilayah hijau seperti ini, indah, asri dan asli. Sejenak
Lidya terdiam, lalu tersenyum sendiri, ia akan meralat kata -
katanya barusan, ia menyukai apa yang ia alami Desa
Kapukrandu.
Lidya segera membasuh bagian - bagian tubuhnya,
menikmati deburan air menumbuk tubuhnya yang telanjang.
Segar sekali rasanya, ia merasa bersih, merasa tenang dan
pada akhirnya, ia merasa nyaman.
Setelah sekian lama berada di dalam air, si cantik itu naik
kembali ke darat, menyeka seluruh tubuhnya dengan handuk
kecil yang sudah ia siapkan sejak tadi. Ia menyeka buah
dadanya, yang masih memiliki bercak merah bekas cupang
bibir Pak Hasan. Sebenarnya, seluruh tubuhnya masih
memiliki bekas cupang.
Lidya membersihkan tubuhnya dengan hati - hati sekali,
merasakan kesegaran angin berhembus di tubuhnya yang
basah. Begitu enaknya hingga si cantik itu memejamkan
mata. Hembusan angin begitu sejuk hingga benak Lidya
melayang jauh dan jauh dan semakin jauh. Ia seperti memilliki
sayap yang terkembang dan terbang naik ke awan.
Dalam khayalnya, Lidya membayangkan ada alunan suara
yang memintanya untuk merenggangkan kaki. Bisikan gaib
yang menghipnotisnya untuk menuruti kehendak jiwanya.
Suara yang datang entah dari mana namun meminta Lidya
untuk menurut apa kata hatinya. Ia merenggangkan kaki
selebar - lebarnya. Telunjuk jari tangan kanannya menyentuh
bibir dengan lembut, merasakan gesekan antara jari dan bibir,
merasakan sentuhan ringan yang membuatnya merasa
nyaman. Tanpa ia sadari, handuk kecilnya telah terjatuh...
Lidya membuka bibir dan memasukkan jari ke dalam ke dalam
mulutnya, suara gaib yang menuntunnya kini memintanya
mengulum jarinya sendiri. Bagaikan kesurupan, Lidya patuh
dan menghisap jari jemarinya sendiri seperti permen. Tapi ia
tak melakukannya lama - lama...
Dengan tangan bergetar Lidya menyentuh selangkangannya,
mencoba mencari bibir memeknya yang mungil. Tanpa sadar,
Lidya mulai mengusap bibir kemaluannya dengan dua jari
tangan kirinya. Kepuasan... dia menginginkan kepuasan... saat
ini juga... segera... cepat... semakin cepat... segera.... Tangan
kanan yang jarinya sempat ia kulum kini meraih bulat buah
dadanya yang kenyal. Jemarinya menarik puting susunya
sendiri, memilin dan memijatnya, memohon kepuasan. Lidya
mulai menghamba pada nafsunya sendiri tanpa disadari...
Perlahan - lahan Lidya berbaring di rerumputan yang ada di
samping sungai, ia tidak peduli lagi tempat itu kotor atau
tidak. Bidadari molek itu mengangkat kakinya dan
merenggangkannya lebar - lebar. Matanya yang indah
dipejamkan bersamaan dengan keluarnya lenguhan nafsu dari
bibirnya yang mungil. Ia seperti sedang kerasukan, mencari
kepuasan dengan menikmati tubuhnya sendiri.
Jari jemari jenjang turun ke bawah, masuk di antara
selangkangan. Dengan jari telunjuk dan jari manisnya sendiri,
Lidya membuka lebar - lebar pintu cinta kewanitaannya, pintu
cinta yang telah basah. Sudut ibu jari digesekkan ke bagian
atas bibir memek untuk mencari kunci kenikmatan dan ketika
ia menemukannya, Lidya melenguh pelan. Jari tengah
dimasukkan ke dalam vagina, diputar untuk menjelajah
dinding kemaluannya sendiri. Desahan demi desahan manja
keluar dari mulutnya yang dahaga oleh nafsu.
Jemari Lidya yang lentik basah oleh cairan cinta yang meleleh
dari dalam liang kewanitaannya. Jari jemari itu bergerak
lincah keluar masuk sementara remasan tangan pada buah
dada menjadi sumber kenikmatan lain. Ia terus menerus
meremas, memilin dan meraba bagian membusungnya yang
indah.
"Eessssttt..... hmmmm...." desah Lidya keenakan. "Aku... tidak
mau... seperti ini..." entah siapa yang diajak bicara oleh Lidya,
karena saat itu dia seorang diri. Dalam bayangannya ia
sedang bergumul dengan seseorang yang tak terlihat, yang
mencoba menyetubuhinya, yang berkuasa dan memaksanya,
yang terus menerus menjamahnya.
Kepalanya berdenyut seakan ada bunyi genderang bertalu -
talu yang memekakkan telinga. Semua rasa takut dan
malunya sudah hilang ditelan nafsu, ia kian merenggangkan
kaki dan mendesah tanpa bisa bertahan.
Gerakan jemari Lidya makin lama makin cepat, makin buas,
berubah dari gerakan lembut menjadi gerakan liar yang penuh
tuntutan. Lidya tidak peduli lagi dimana saat ini dia berada.
Seandainya ada orang datang, mereka pasti akan melihat aksi
si jelita itu membuka lebar - lebar bibir memeknya yang
basah.
Tiba - tiba terdengar bunyi dedaunan disibakkan oleh seekor
hewan yang melintas.
Suara gemeresek dedaunan yang muncul seharusnya
membuatnya tersadar, tapi Lidya sudah terbang terlampau
tinggi terkungkung awan kenikmatan sampai - sampai ia
enggan turun. Bunyi yang muncul justru membuatnya makin
seperti orang kesurupan, ingin sesegera mungkin merasakan
kenikmatan.
Tubuh wanita cantik itu melejit ke atas lalu terbanting ke
bawah dengan cepat, demikian berulang - ulang. Bayangan
dalam batin akan adanya orang yang saat itu datang dan
menyaksikannya memainkan vaginanya sendiri membuat Lidya
makin memuncaki tangga nafsu.
Makin naik... makin cepat... tambah naik... tambah lagi...
terus...
Dan akhirnya...
"Hnnghhhhh!!!" geram Lidya mencoba melepas kepuasan yang
tertahan. Mata wanita jelita itu dipejamkan rapat - rapat,
tubuhnya mengejang. Ia merasakan cairan hangat lepas di
dalam liang cintanya, seperti ratusan burung yang dilepas dari
sangkar dan terbang ke awan bebas.
Lidya membuka matanya.
Tetes cairan kenikmatan kental meleleh melalui sela - sela
jari jemari di selangkangannya.
Si cantik itu terengah - engah. Ia menyandarkan siku di atas
rerumputan untuk menopang tubuhnya yang bermandikan
keringat. Ia baru saja memberikan kenikmatan pada dirinya
sendiri. Sesuatu yang sebelumnya tidak ia perkirakan akan ia
lakukan di tempat seperti ini. yah, Paling tidak ia telah puas...
Puas?
Benarkah ia telah puas?
Lidya mencoba menyerap pertanyaan itu dan ia tahu jawaban
yang muncul sedikit menyakitkan jiwanya.
Tidak. Ia tidak puas sama sekali.
Ya, ia tidak puas.
Kenapa?
Kenapa rasanya lain? Kenapa seperti ada kekosongan dalam
hatinya?
Kenapa ia tidak bisa mendapatkan kepuasan sederhana itu?
Lidya jatuh terduduk. Tanpa bisa ia tahan, tetes demi tetes air
mata meluncur. Harusnya tidak begini... harusnya tidak
seperti ini. Harusnya semua selesai, harusnya semua
perasaan itu tidak muncul. Harusnya ia bisa puas hanya
dengan... hanya dengan... harusnya ia bisa puas... kenapa
tubuhnya mengingkari apa yang ia inginkan, kenapa batinnya
menjerit penuh dahaga nafsu yang menggelegak tak terbayar?
Apakah ketakutannya menjadi nyata?
Apakah benar sudah terjadi hal yang paling ia takutkan? Ia
takut seandainya Pak Hasan gencar melatih nafsunya agar
terus menerus terlampiaskan ia akan menjadi maniak pemuja
seks. Ia takut ia tidak bisa lagi merasakan nikmat bermain
cinta dengan suaminya, dia takut dia hanya bisa dipuaskan
oleh Pak Hasan! Itu ketakutan utamanya! Dan kini... kini
sepertinya itu benar - benar terjadi!
Ia bahkan tak mampu memuaskan dirinya sendiri... tak sama,
rasanya tak sama.....
Cairan cintanya memang mengalir, tapi rasa itu tidak hadir.
Kosong rasanya.
Lidya masih mengeluarkan air mata untuk beberapa saat
lamanya. Ia membasuh wajah dan membilas air mata yang
terus meleleh.
Dia tidak ingin pulang dengan mata sembab.
Ini hari terakhirnya di Desa Kapukrandu dan dalam hatinya
Lidya tahu pasti, dia akan pulang kembali ke kota sambil
membawa kekosongan dalam hati karena ada sesuatu yang
hilang dan mungkin tidak akan kembali padanya...
Sampai saat ia menemukan kembali apa yang hilang itu, Lidya
mungkin tidak akan pernah lagi merasakan kepuasan.
Lidya tahu apa yang sebenarnya hilang darinya, tapi ia ingin
mengingkari perasaannya.
Ia tidak boleh membiarkan perasaan itu berlanjut.
Ia tidak boleh menghamba pada nafsu semata.
Ia tidak boleh... tidak bisa... tidak mau... tidak akan pernah!
...tapi...
Ah sudahlah, pokoknya, dia tidak ingin pulang dengan mata
sembab.
###
SEMINGGU KEMUDIAN...
Seminggu telah berlalu sejak Lidya dan Pak Hasan pulang dari
Desa Kapukrandu.
Tas berisi pakaian dan semua keperluan Pak Hasan sudah
diletakkan di ruang tamu. Pria tua itupun sudah memesan
taksi. Sekitar setengah jam lagi dia akan meninggalkan rumah
Andi dan pergi menuju kontrakannya yang baru, jaraknya
memang tidak jauh dari rumah ini, sekitar setengah jam
perjalanan, namun segala sesuatunya pasti akan berubah.
Dengan santai Pak Hasan duduk di ruang tamu sambil
menyeruput kopi susu yang dihidangkan sang menantu.
Rokoknya yang masih mengepul ia letakkan di atas asbak.
Rencananya Pak Hasan akan pindah dan menempati rumah
kotrakan baru mulai hari ini tapi karena Andi lagi - lagi
ditugaskan keluar kota, Lidya yang akan melepas kepergian
ayah mertuanya. Kadang Pak Hasan heran dengan anaknya
itu.... dia sibuk sekali mencari uang dan tergila - gila dengan
pekerjaan, bahkan sampai melupakan istrinya yang cantik dan
seksi di rumah sendirian, seakan - akan tidak takut hal - hal
buruk akan menimpa Lidya. Pak Hasan geleng - geleng
kepala. Orang memang kadang tidak menyadari apa yang
sesungguhnya telah ia miliki, sampai pada saat ia kehilangan.
Kepulan asap rokok menyeruak di ruang tamu rumah Andi,
asap yang terbang mengendarai angin kecil dan kemudian
lepas ke alam bebas melalui jendela berteralis yang dibuka
lebar. Udara sejuk semilir berhembus sesekali ke dalam
rumah, memberikan kenikmatan alami bagi Pak Hasan.
Langkah kaki ringan menghampiri sang lelaki tua. Harum
wangi semerbak memenuhi ruangan, tanpa harus
menengokpun Pak Hasan tahu siapa yang datang. Lidya
duduk di kursi yang ada di hadapan Pak Hasan. Wajahnya
yang cantik terlihat muram, kepalanya menunduk.
"Sudah saatnya kita bicara dari hati ke hati, Nduk." Kata Pak
Hasan sambil menebar senyum mesumnya yang khas.
Lidya terdiam tanpa ekspresi.
"Kamu pasti senang aku keluar dari rumah ini, kita tidak bisa
bercinta lagi sesering biasanya. Aku akan sering berkunjung
kalau kamu kangen... hmm..." tiba - tiba Pak Hasan
menghentikan kallimatnya, untuk pertama kalinya di hadapan
Lidya, pria tua itu gelisah. "Tidak. Tidak. Sudah cukup. Ya.
Sudah cukup apa yang aku lakukan selama ini. Tapi... ah...
tapi aku akan memberikanmu pilihan."
Lidya masih terdiam.
"Aku rasa sudah cukup yang aku lakukan selama ini
terhadapmu. Sejahat - jahatnya orang tua, aku ingin anakku
juga bahagia. Aku ingin kamu membahagiakan Andi dan itu
artinya aku harus melepaskanmu, urus anakku itu baik - baik.
Walaupun tidak selamanya, tubuhmu terlalu indah untuk
dilepaskan. Kalau aku butuh memekmu, ya kamu harus
menyediakannya. Tapi untuk sementara waktu, biarlah Andi
yang memenuhi nafsu liarmu..."
Lidya menatap mertuanya dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Sebelum aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, kamu
harus memilih, Nduk." Pria tua itu berdiri dengan tenang
sambil meraih rokoknya. Ia menenteng tas yang sepertinya
cukup berat. "Apapun permintaanmu, akan aku kabulkan. Jadi
pilih dengan hatimu. Apapun yang kamu mau akan aku
penuhi. Kali ini janji pasti aku tepati... termasuk jika kamu
ingin bebas dariku."
Lidya berdiri gamang dan menatap orang yang telah
menghancurkan kesuciannya sebagai seorang istri setia itu
dengan pandangan tak percaya. Lidya yang sudah sangat
sering tidur dengan orang tua itu belum pernah melihat
ekspresi wajah Pak Hasan yang sedemikian santai namun
serius. Sosok lain Pak Hasan yang ini tidak pernah dilihat
Lidya sebelumnya, mungkin pernah dulu.. sebelum dia
berubah menjadi binatang pemerkosa yang menghancurkan
statusnya sebagai istri setia dan menantu. Akankah dia bisa
dipercaya untuk menepati janji?
"Aku ingin kamu memilih..." Pak Hasan melangkah menuju
pintu.
Lidya masih tak bergeming, bola matanya yang tajam berkaca
- kaca.
"...tetap menjadi budak seks... atau..."
"...atau?" desah suara Lidya pelan sekali, hampir berbisik.
Seperti ada sesuatu yang mengganjal kerongkongan wanita
molek itu.
"...bebas."
Kata - kata yang diucapkan oleh Pak Hasan seperti tetes air
di tengah padang pasir. Kata yang sudah lama sekali ia
nantikan. Bebas. Betapa mahalnya harga kata - kata itu.
Bebas. Lepas dari Pak Hasan, lepas dari eksibisionisme
paksaan, lepas dari hubungan tak senonoh, lepas dari mertua
cabul. Sejuk sekali di dalam hatinya mendengar kata - kata
itu... 'bebas'.
Tapi...
Tapi... apakah benar bebas adalah hal yang dia inginkan?
Keringat mulai menetes di dahi si cantik. Dia harus segera
memutuskan. Dia harus bebas. Dia harus lepas dari pengaruh
mertuanya yang cabul. Dia harus... harus...
"Jadi?" Pak Hasan mengulang pertanyaannya, "pilih menjadi
budak atau bebas?"
Lidya tak menjawab, hatinya gamang. Si cantik itu bimbang
dan bingung, walaupun ia sendiri masih tak tahu apa
sebenarnya yang menyebabkannya kebingungan. Bisa dibilang
Lidya bingung akan kebingungannya.
Bukankah sudah jelas pilihannya? Yaitu bebas? Lalu apa yang
sebenarnya dia inginkan?
Apa suara yang bergejolak dalam hatinya?
Apa....?!
"Ini yang terakhir. Pilih... tetap jadi budak atau bebas?" kali ini
Pak Hasan bertanya untuk yang terakhir kali, nada suaranya
sudah terdengar lain. Ayah mertua Lidya itu sudah siap
melangkah kaki keluar dari rumah. Tangannya telah membuka
pintu dan menenteng tasnya keluar.
Lidya tahu dia harus menjawab pertanyaan itu sebelum Pak
Hasan melangkahkan kaki keluar. Lidya tahu jawabannya, tapi
lidahnya kelu dan bibirnya terkatup rapat. Jelas dia ingin
bebas, dia tahu pasti dia ingin bebas, dia yakin sekali ingin
bebas dari perangkap cabul Pak Hasan yang telah membuat
dirinya kotor dan tak berharga. Tapi susah sekali bagi Lidya
mengucapkan kata "bebas" itu. Ada yang menghalanginya,
sesuatu yang berat dan nyeri sekaligus menghinggapi hatinya.
Dengan satu usaha terakhir, Lidya akhirnya mengucapkan apa
yang benar - benar dia inginkan dalam hati sebelum Pak
Hasan pergi.
"Aku memilih..." suara Lidya terdengar bergetar.
Pak Hasan terhenti dan menunggu.
"Budak..." Lidya mengucapkan sebisik kata dengan pelan dan
gemetar.
Si cantik itupun luruh ke lantai dan menangis tersedu - sedu,
Lidya menyadari konsekuensi pilihannya. Ia menyesali
keputusan sekaligus mengutuk hatinya sendiri. Ia tak mengerti
kenapa ia justru memilih hal yang terkutuk itu. Kenapa?
Senyum tersungging di bibir Pak Hasan.
"Telpon aku kalau Andi tugas keluar kota, Nduk. Aku akan
datang."
###
PENUTUP
Sumarto menatap bosan pesawat televisi yang menyala.
Tangannya bergerak malas memindah channel menggunakan
remote yang sudah mulai kehabisan baterai. Ia harus
menepuknya beberapa kali sebelum channelnya berpindah. Ia
sebenarnya sudah mengusulkan pada majikannya untuk
membeli baterai remote baru, tapi sampai saat ini sang
majikan enggan menanggapi, mungkin karena mereka memiliki
pesawat televisi sendiri di dalam kamar sehingga malas
membeli baterai baru untuk televisi ruang tengah yang
memang hanya dipakai oleh Marto. Majikannya sudah
beberapa hari ini bepergian ke luar kota, meninggalkan Marto
sendiri di rumah. Walaupun milik orang yang lumayan berada,
rumah ini tidak begitu besar, sehingga Marto tidak kerepotan
mengurusnya tanpa teman.
Ketika channel diganti, sinetron demi sinetron mengisi layar
televisi. Tidak satupun yang memuaskan Marto. Bagi
pembantu rumah tangga seperti dia, menonton sinetron
adalah hiburan utama, walaupun begitu ia sudah bosan
menonton cerita sinetron yang begitu - begitu saja, sinetron
- sinetron yang menjual cerita usang dan mengandalkan
bintang - bintang muda berwajah indo. Ia heran kenapa
pembantu sebelah mengidolakan acara semacam ini, hanya
menjual mimpi dan wajah cantik penuh polesan.
Sesungguhnya Marto hanya tertarik pada satu hal di layar
televisi yaitu pertandingan sepakbola. Sayang tidak ada
pertandingan bola hari ini. Yah, paling tidak dia bisa
dipuaskan melihat wajah cantik pemain sinetron, dada - dada
mereka yang membusung, pantat mereka yang bulat dan kaki
mereka yang jenjang, sosok - sosok impian yang
menggiurkan.
Omong - omong soal wajah cantik, Marto jadi teringat pada
satu sosok menarik yang ia lihat beberapa minggu yang lalu.
Wajah yang tampil sangat mempesona tanpa noda dan tanpa
polesan bedak tebal seperti para bintang sinetron itu. Wajah
yang bisa dibilang sempurna namun sayang statusnya adalah
istri orang kaya yang tidak mungkin bisa ia sandingi. Marto
menarik nafas panjang dan kembali menonton acara televisi
yang menurutnya sangat tidak menarik dan membosankan.
Siapa wanita cantik yang sangat memukau Marto itu?
Sebenarnya dia sedang teringat pada Bu Lidya, istri Pak Andi
yang tinggal di sebelah rumah. Wajahnya cantik, tubuhnya
indah, perangainya halus dan sopan, benar - benar tipe istri
setia yang pasti asyik sekali dikeloni di tempat tidur.
Dulu ketika keluarga Andi baru saja pindah, ia pernah
mendengar bapak - bapak yang sedang ronda membicarakan
kemolekan Lidya, mereka iri dan mengatakan kalau Andi
sangat beruntung bisa menikahi wanita seseksi Lidya. Saat
itu ia sedang mengantar gorengan yang dipesan sang majikan
yang sedang ronda. Bahkan majikannya sendiri mengatakan
kalau dia tidak keberatan kalau Andi mau tukar tambah
dengan istrinya sekarang, ia bersedia membayar berapapun
untuk mendapatkan Lidya. Dasar majikannya memang tidak
tahu malu...
Tapi Marto tak sepenuhnya menyalahkan majikannya yang
hidung belang, tidak ada lelaki yang tidak meneguk ludah
kalau ditawari sesosok makhluk cantik seperti Lidya. Hanya
dalam waktu singkat, Lidya sudah menjadi warga yang
dikagumi dan terkenal, tentunya karena semua orang ingin
dekat dengan wanita seseksi dan semolek dia. Kecantikannya
membuat Lidya punya banyak kawan, Bapak - bapak ingin
menikmati keindahan tubuhnya sedangkan ibu - ibu sangat
menyukai sikapnya yang ramah dan manis. Pak Andi memang
sangat beruntung, pikir Marto.
Pembantu berkulit gelap itu mengeluh, entah kenapa sejak
tinggal di rumah ini dia belum pernah sekalipun memiliki
pacar. Sejak putus dengan Narti yang pulang ke desa, Marto
tak pernah dekat lagi dengan wanita. Dulu ia punya istri dan
anak, tapi istrinya memilih untuk pergi tanpa pamit dengan
seorang juragan bawang di kota lain. Sampai hari ini Marto
tak pernah berjumpa lagi dengan istri dan anaknya.
Tiba - tiba, bel rumah berbunyi, Marto beranjak dari
duduknya dengan satu desahan malas yang sangat panjang,
hancur sudah lamunannya. Dengan dengusan kesal ia
membuka pintu depan.
Betapa kagetnya Marto ketika ia tahu siapa tamu yang
datang. Matanya terbelalak dan lidahnya kelu, dia tidak tahu
harus berkata apa. Ini di luar dugaan dan ada di batas
impian.
"Selamat malam, Pak."
"Se - selamat malam, Bu Lid... eh... ma... maksud saya, Bu....
Bu Andi..."
Memang benar, Marto sama sekali tak mengira Lidya akan
datang berkunjung malam itu, inikah yang dinamakan pucuk
dicinta ulam tiba? Belum lama Marto membayangkan
kemolekan tubuh sang tetangga, eh... dianya datang! Benar -
benar panjang umur! Sampai terbata - bata dia menyambut
kedatangan si makhluk seksi satu ini. Mimpi apa dia
semalam?
Tapi senyum lebar Marto berubah lemas ketika tahu ternyata
Lidya tidak datang sendiri. Dia datang dengan seorang laki -
laki tua yang senyumnya aneh. Kalau tidak salah, orang ini
adalah Pak Hasan... ayah Pak Andi, mertua Lidya!
"Kami tidak menganggu, kan?" tanya Lidya lembut.
"Ti... tidak! Tidak kok! Tapi rumah baru kosong ini, Bu! Pak
Toni sama keluarga kebetulan baru pergi keluar kota." Jawab
Marto kikuk. "Mungkin seminggu lagi baru pulang. Ada acara
nikahan."
"Oh, tidak apa - apa." Kata Pak Hasan, "yang kami cari bukan
Pak Toni sekeluarga, kami mencari anda."
Marto tambah kebingungan, jangan - jangan ia sudah
melakukan hal yang menyinggung keluarga Pak Andi ini.
Orang kecil seperti Marto memang selalu khawatir jika
menyinggung 'kaum majikan', karena nasib mereka tentunya
ada di tangan kaum majikan. Tubuhnya jadi merinding karena
ia takut sekali seandainya berbuat salah di luar kemauannya.
"Saya? Memangnya ada perlu apa ya, Pak? Perasaan saya
tidak berbuat salah kan, Pak?"
"Ha ha ha, tidak kok, Pak Marto. Anda tidak melakukan
kesalahan apa - apa. Kami hanya ingin berbincang - bincang
sejenak. Kami tahu Pak Toni sekeluarga baru pergi, jadi kami
sengaja datang malam ini karena kebetulan hari ini saya
menginap di rumah anak saya, si Andi kan baru pergi keluar
kota." Jawab Pak Hasan sambil tertawa terbahak - bahak. Ia
suka sekali melihat orang seperti Pak Marto ini kebingungan.
"Boleh kami masuk dulu?" tanya Lidya dengan lembut.
Suaranya bagai biduan surga menyenandungkan lagu yang
indah, enak sekali didengar. Suara yang menyejukkan.
"Bo... boleh... si... silahkan..."
Lidya dan Pak Hasan masuk ke dalam rumah dan duduk di
sofa di ruang tamu setelah dipersilahkan oleh Marto.
"Jadi, kira - kira apa yang mau dibicarakan ya, Pak?" tanya
Marto dengan cemas. Dia tidak mau dipecat gara - gara
kesalahan kecil yang ia sendiri tidak tahu apa yang telah ia
perbuat... eh tunggu dulu... jangan - jangan ini gara - gara
beberapa minggu yang lalu ia melihat Lidya menjemur pakaian
hanya dengan mengenakan kemeja kedodoran yang
membungkus tubuh seksinya. Jangan - jangan ia ketahuan
mengintip???
Jantung Marto berdetak dan nafasnya naik turun ketakutan.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Keringatnya menetes
deras dan membasahi wajah yang pucat pasi.
"Kalau tidak salah beberapa minggu yang lalu... Pak Marto
mengamati menantu saya ini sedang menjemur pakaian?"
tanya Pak Hasan pelan.
Mati dia! Jantung Marto makin keras berdetak bersamaan
dengan bertambah derasnya keringat yang mengaliri jidatnya.
"Su... sungguh, Pak! Saya tidak sengaja! Saya benar - benar
menyesal melihat ke atas saat itu! Saya benar - benar tidak
sengaja! Saya minta maaf... Pak... Bu.... saya minta maaf...
saya..."
"Menurut Pak Marto, menantu saya ini cantik tidak?"
Kaget juga Marto mendengar pertanyaan lanjutan dari sang
pria tua gemuk yang senyumnya aneh ini. "Ca... cantik."
"Seberapa cantik?"
"Se... seperti bidadari..." gagap Marto mencoba mengeluarkan
kata. Walaupun akan terdengar aneh, namun Marto berucap
jujur.
Wajah Lidya bersemu merah mendengar pujian dari pembantu
sebelah rumahnya. Ia tersipu - sipu, menambah manis
wajahnya yang menggemaskan.
"Kalau tubuhnya? Seksi tidak?"
Marto benar - benar tercengang, kok pertanyaannya aneh -
aneh begini? "Se...seksi, Pak."
"Seberapa seksi?"
"Sa... saya takut menjawab pertanyaan ini, Pak... saya takut
kalau - kalau saya jadi kurang ajar. Sungguh, Pak. Saya
mohon ampun kalau kemarin saya berbuat salah... bukan
maksud saya untuk....."
"Seberapa seksi menantu saya ini, Pak Marto?"
Marto gelagapan, ia benar - benar takut menjawab
pertanyaan yang diajukan itu. Ia bagaikan seorang tahanan
perang yang sedang dimintai keterangan oleh pihak lawan,
salah menjawab, kepalanya akan dipenggal. Keringat
pembantu rumah tangga yang sederhana itu menetes deras,
pakaian yang ia kenakan basah kuyup oleh keringat. "Bu - bu
Andi... se... seperti bintang film... tubuhnya sek... seksi sekali..."
Mendengar jawaban itu Pak Hasan tertawa terbahak - bahak
dan bertepuk tangan sementara wajah Lidya yang manis
kembali memerah.
"Luar biasa. Luar biasa." Kata Pak Hasan, "karena Pak Marto
telah menjawab pertanyaan kami dengan jujur, maka menantu
saya ini akan memenuhi satu keinginan Pak Marto sebagai
hadiahnya. Apapun keinginan itu! ...termasuk jika Pak Marto
ingin menyentuh... atau memeras, atau mencium bagian dari
tubuh menantu saya..." kata Pak Hasan sambil mengedipkan
mata.
Samber geledek!! Marto sampai melompat dari duduknya.
Sumarto adalah pria desa yang sederhana, apa yang baru
saja dikatakan Pak Hasan membuatnya kaget setengah mati.
Ia mengira apa yang pernah dilakukannya akan
menyebabkannya dihukum, ia tidak menyangka Pak Hasan
dan Bu Lidya justru memberikannya hadiah. Yang lebih
mengagetkan adalah hadiah yang diberikan oleh mereka
adalah... pelayanan dari Bu Lidya!!!
"A... apapun?"
"Apapun." Tegas Pak Hasan.
"I... ini main - main kan?"
"Tidak."
"Tidak bohong?"
"Tidak."
Marto meneguk ludah. "Ka... Kalau begitu saya ingin... saya
ingin..."
"Apapun. Kecuali yang 'itu'." Pak Hasan terkekeh, ia tahu
dengan pasti apa yang diinginkan Marto bahkan sebelum ia
mengucapkannya. Pembantu rumah sebelah itu tersipu - sipu
malu karena ketahuan.
"Yang 'itu' tidak boleh, ya?"
"Sayangnya tidak boleh. Mau diapakan saja boleh, asal
jangan ada 'sesuatu masuk ke 'sesuatu'." Kata Pak Hasan.
"Baiklah, apa keinginan Pak Marto?"
Marto mencoba mengamati Lidya dari jempol kaki hingga ke
ujung rambut. Seorang bidadari yang sempurna. Apa yang
akan kamu minta seandainya kamu bisa meminta seorang
bidadari untuk mewujudkan impian terliarmu?
"Boleh apa saja?" Marto mengulang pertanyaannya.
"Apa saja." Pak Hasan mengulang jawabannya.
"Ka... kalau begitu, sa... saya ingin Bu Andi menari di
pangkuan saya..." Marto meneguk ludah dengan nafsu. "...
tanpa mengenakan celana dalam."
Mendengar permintaan itu, Lidya sedikit panik, si cantik itu
tahu ia tidak bisa menolak permintaan Marto. Pak Hasan
akan marah dan hal - hal yang buruk bisa terjadi. Satu -
satunya harapan bagi si cantik itu adalah dengan menuruti
kemauan pembantu sebelah rumah yang sederhana ini,
lagipula Lidya sudah sangat sering menari di pangkuan
mertuanya yang cabul.
Kebetulan Lidya mengenakan rok model mini flare yang hanya
menutup hingga di atas lutut. Dia bisa dengan mudah
melepas celana dalamnya karena bagian bawah rok berbentuk
mekar. Dengan hati - hati sekali Lidya mengangkat bagian
bawah roknya, mengait karet di pinggir celana dalam dan
menarik turun satu - satunya pelindung kemaluannya itu.
Lidya melakukan ini dengan pelan - pelan sekali.
Justru karena Lidya melakukannya dengan perlahan, apa yang
dilakukan si cantik itu ibarat pertunjukan striptease, langsung
di depan mata Marto! Pembantu sebelah rumah itu langsung
meneguk ludah dan belingsatan melihat aksi Lidya. Ia bisa
melihat dengan jelas paha mulus istri Pak Andi, benar - benar
tiada duanya! Ini benar - benar pucuk dicinta ulam tiba!
Dengan mata kepala sendiri Marto bisa menikmati celana
dalam Lidya menelusuri kakinya yang jenjang dan seputih
pualam lalu lepas di ujung kaki tanpa halangan.
"Berikan padanya..." bisik Pak Hasan pada Lidya yang tadinya
hendak meletakkan celana dalam di lantai.
Dengan langkah yang bagi Marto luar biasa seksi, Lidya maju
perlahan sambil membawa celana dalam mungil berwarna
merah muda yang baru saja dilepas dari dekapan
kemaluannya yang harum. Ia memberikannya kepada Marto
yang menerimanya dengan tangan bergetar. Lidya
membungkukkan badan sedikit agar ia bisa mencapai telinga
Marto.
"Simpan baik - baik." Bisik Lidya dengan suara bergetar.
Siapa bilang ia juga tidak takut?
Marto menerimanya dan memasukkannya ke dalam kantong
celana. Ia meneguk ludah.
Berada di dekat Lidya sudah membuat Marto belingsatan. Ia
tak mampu mengendalikan nafsunya lagi, kemaluannya
menegak dengan cepat. Pembantu rumah tangga itu bisa
melihat kerling mata Lidya menyapu selangkangannya dan
melirik ke arah tonjolan yang muncul di sana. Entah ia harus
malu... atau malah...
Marto hanya duduk saja, terdiam tak tahu harus berbuat apa.
Tiba - tiba saja hari menjadi semakin gelap baginya. Lidya
duduk di sampingnya, bahkan gerakan si jelita duduk pun
membuat Marto jadi semakin tidak karuan. Lidya menautkan
satu kaki ke paha Marto dan mulai mengambil posisi untuk
duduk di pangkuannya. Melihat keringat Marto makin deras,
Lidya mulai kasihan, namun tatapan mata tajam Pak Hasan
memerintahkannya untuk menggoda. Ia mengangkat perlahan
roknya untuk memperlihatkan kakinya yang panjang dan seksi
dan sedikit mempertontonkan bulat pantatnya yang ranum.
Perlahan - lahan Lidya naik ke pangkuan Marto.
Marto meneguk ludah, tangannya tak berani digerakkan,
terkungkung walau tak terikat. Matanya menatap tak lepas
belahan indah di selangkangan perempuan cantik yang kini
duduk di pangkuannya. Lidya meletakkan kakinya ke lantai
dan tangannya di lutut Marto, si cantik itu duduk
membelakanginya. Bidadari jelita itu bisa merasakan gesekan
antara belahan pantatnya dengan gundukan pada
selangkangan Marto. Gundukan yang cukup keras, Lidya mulai
membayangkan seberapa besar sebenarnya barang milik
Marto karena gundukan itu terus saja membesar.
Lidya memejamkan mata setelah melirik Pak Hasan, senyum
kejam yang tersungging di bibir sang mertua jelas merupakan
perintah baginya untuk memuaskan sang pembantu rumah
sebelah. Si cantik itu mulai menggerakkan pantatnya yang
seksi dan menggesek gundukan kemaluan Marto, mencoba
meletakkan gundukan itu di tengah belahan pantatnya,
mempertemukan celana Marto dengan selangkangannya yang
kini sudah telanjang.
Tubuh Marto bergetar, ia bisa merasakan bibir kemaluan
Lidya menggesek celananya. Bibir kemaluan yang sepertinya
sudah basah. Marto sudah tak mampu lagi bertahan... jika ini
terus berlanjut... dia bisa... dia bisa keluar...
Melihat Marto sudah mulai tak tahan lagi, Lidya mengubah
posisi. Dia berbalik ke belakang, berhadapan langsung dengan
Marto. Tubuh mereka begitu dekat, hembusan nafas Lidya
bisa dirasakan hangat menyentuh wajah Marto. Si cantik itu
melepas kaos ketat yang membelit bagian atas tubuhnya,
menyembulkan buah dada sentosa yang membusung di dalam
bra. Mata Marto hampir copot melihat keindahan tubuh
wanita jelita yang kini duduk di pangkuannya.
"Lepas behamu, Nduk." Kata Pak Hasan, pria tua itu memilih
menonton Lidya dan Marto di belakang. "Biar Pak Marto bisa
melihat susumu..."
Malu sekali rasanya Lidya mendengar mertuanya mengatakan
hal itu kepada orang yang tidak pantas melihat tubuhnya
telanjang. Dengan jantung berdebar Lidya melepas kait
belakang penyangga payudaranya.
Bagaimana dengan Marto? Tubuh pria sederhana itu bergetar
hebat ketika ia secara langsung bisa menikmati buah dada
wanita cantik yang menjadi pujaan semua orang ini. Balon
payudara Lidya memiliki ukuran yang pas, tidak terlalu besar
dan tidak terlalu kecil. Putingnya yang berwarna merah jambu
gelap menjorok keluar seperti menunjuk ke arah dada Marto.
Marto tak kuat lagi, matanya terpejam dan iapun terpekik
tertahan. Oh tidak! Tidak! Jangan! Jangaaaaan!!! Aaaahhh!!!
Siaaaaal!!! Ia telah mencapai puncak!!! Dengan segenap
kekuatan, Marto menembakkan air cintanya, sayang... masih
di dalam celana. Habis bagaimana lagi? Dia sudah tidak kuat.
Ketika selesai, tubuh si pembantu itu melemas. Lidya bisa
merasakan denyutan penis Marto yang menggesek
selangkangannya. Penis yang tadinya kencang kini melemas
selepas mengeluarkan cairan yang membasahi celananya
sendiri. Lidya ikut kebingungan dan berulang kali menengok ke
arah Pak Hasan.
Pak Hasan malah tertawa tergelak. Lidya masih duduk di
pangkuan Marto dan payudaranya kini memantul - mantul di
depan wajah pembantu sebelah rumah yang ketakutan
setengah mati. Pria sederhana itu tak akan pernah mengira
hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Pak Hasan baru
saja menjadikan impian Marto menjadi kenyataan. Sayang
Marto sudah... lemas.
Pria tua itu tersadar ketika Lidya memandangnya dengan
pandangan takut. Pak Hasan tergelak lagi, ia mengatupkan
jemari, membuat semacam lingkaran dengan menekuk ibu jari
dan menemukan ujungnya dengan ujung telunjuk dan jari
tengah. Pak Hasan menggerakkan tangannya itu naik turun.
Lidya mengangguk mengerti.
Jemari Lidya meraba selangkangan Marto dengan gerakan
pelan, tubuh si pembantu yang sudah lemas bergetar kembali.
Untungnya penis pembantu itu belum sepenuhnya lemas,
dengan rangsangan wanita semolek Lidya, gairah Marto pasti
kembali naik.
Melalui gerakan pelan yang sepertinya sudah sangat terlatih,
Lidya menurunkan celana Marto. Si cantik itu terpekik pelan
melihat penis hitam besar menyentak keluar seperti seekor
tikus meluncur lepas dari jebakan. Dengan jemari yang sama
bergetarnya, Lidya meraih penis itu dan menggenggamnya.
Marto merem melek merasakan barang berharganya
digenggam oleh tangan halus seorang bidadari, ia tambah tak
tahan ketika Lidya menaikturunkan tangannya untuk
mengocok penis Marto.
Marto membalas dengan meremas buah dada Lidya, mencubit
pentilnya yang menjulang dengan gemas dan menelusuri lekuk
tubuh Lidya sebelum akhirnya meremas pantatnya yang bulat.
Tidak berhenti di situ saja, tangan Marto makin berani dengan
menyentuh paha Lidya dan mengelusnya. Telapak tangan
yang kasar milik Marto meraba paha putih mulus Lidya,
membuat si cantik itu bergetar menahan rasa. Walaupun tidak
boleh memasukkan penisnya ke dalam memek Lidya, tapi bola
yang ada di kantung kemaluan Marto sudah sejak tadi
terantuk - antuk bibir liang cinta Lidya. Lidya yang keenakan
menggesekkan kantung kemaluan Marto ke bibir memeknya
seiring tangannya mengocok penis yang kembali mengeras.
Marto berbisik kepada Lidya, menyatakan betapa ia ingin
memasukkan penis ke dalam memeknya, namun si cantik itu
tersenyum dan menggeleng. Marto tahu ia tidak mungkin bisa
menyetubuhi Lidya, tapi tak ada salahnya meminta ijin dan
bertanya kan? Lidya yang merasa kasihan tahu kalau Marto
sudah sangat terangsang, ia mengulum ujung telinga Marto
dan meneruskan kocokannya agar lelaki sederhana itu bisa
segera mengeluarkan cairan cintanya. Ia membiarkan Marto
menjilati leher dan buah dadanya.
"Ouuughhhhh.... ssstttt...." desah Lidya manja ketika lidah
Marto bergulat dengan puting susunya.
Mendengar desahan Lidya, Marto tak tahan lagi, ia berteriak
kencang ketika kembali sampai di puncak kenikmatan...
"Hraaaaghhhhh!!!!"
Cairan kental berwarna putih gading terlontar berulang dari
kepala kemaluan Marto. Muncrat dari ujung gundulnya dan
membasahi jemari lentik Lidya yang saat ini tersenyum,
akhirnya selesai juga, ia bisa pulang dan...
"Bersihkan dong, Nduk." Perintah Pak Hasan, "kasihan Pak
Marto kalau barang - barangnya kotor."
Lidya mengutuk mertuanya yang tidak punya perasaan.
Dengan memejamkan mata Lidya pertama - tama
membersihkan jemarinya dulu, ia jilat seluruh cairan cinta
yang menempel di sana dan ditelannya dalam - dalam.
Dengan hati - hati pula Lidya menjilati batang kemaluan
Marto dan menelan seluruh pejuh yang tadi sempat keluar.
Kasihan sekali pembantu itu sekarang, merem melek
keenakan.
Pak Hasan terkekeh melihat menantunya menjilati penis milik
pembantu tetangga dan menelan cairan cinta yang keluar
dengan segenap perasaannya. Ini akan jadi pertunjukan yang
lama dan menarik.
Pak Hasan membuka tutup botol air mineral yang sudah ia
siapkan dan meminumnya. Pertunjukan yang lama dan
menarik, ulang batinnya. Pak Hasan bertepuk tangan ketika
Marto menggenggam pinggiran kursi tempatnya duduk dan
mengejang akibat menahan rangsangan hebat yang
ditimbulkan oleh sepongan Lidya.
Benar sekali. Rasanya malam ini akan jadi malam panjang.
Pak Hasan tertawa.
Ini pasti akan menyenangkan!
"Ayo, Nduk! Bikin punya Pak Marto berdiri lagi!"
Benar - benar malam yang panjang.
Beruntung sekali Pak Hasan punya menantu satu ini.
Menantu, yang namanya Lidya.
###

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.