Sabtu, 21 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 11B: Anissa Teraniaya

SERIAL: RANJANG YANG TERNODA
BAGIAN SEBELAS B (PART 11(b) OF 12)
ANISSA TERANIAYA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Burung - burung berkicau di pagi yang indah, matahari
bersinar terang dan hembusan angin sepoi membuat pagi itu
terasa sejuk. Terlebih di Kampus X yang mahasiswanya
sedang mempersiapkan diri untuk masuk kelas, sejuknya
angin menjadikan suasana menjadi lebih tenang dan damai.
Dodit yang saat itu mengantarkan Anissa tengah duduk -
duduk bersama tunangannya dan juga Ussy dan Udin.
Sebenarnya Udin tidak diundang ke dalam percakapan mereka,
tapi tentu saja ketiga kawan lain tidak mungkin menolak
kehadiran pemuda aneh itu. seperti biasa, dia selalu
bergabung sambil mengucapkan puisi - puisi gombal yang
membuat Dodit, Ussy dan Anissa menahan tawa.
Anissa masih belum berubah, sikapnya sama dengan kemarin,
dia masih menjadi sosok yang pendiam dan hanya
mengeluarkan sepatah dua patah kata saja. Dodit sampai
kebingungan dibuatnya. Ia melihat jam tangan dan
menggelengkan kepala.
"Aduh, sudah waktunya aku pergi. Aku pamit dulu ya,
sayang." Kata Dodit sambil menepuk punggung tangan Anissa
dan mencium kening kekasihnya itu. Anis hanya mengangguk
dan tersenyum seulas. Tidak kurang dan tidak lebih. Udin
melengos dan menghembuskan nafas karena cemburu melihat
kedekatan mereka berdua.
"Dodit! Kamu mau lewat mana?" tanya Ussy tiba - tiba.
"Aku.. mungkin lewat pintu timur, kenapa?"
"Ah, kebetulan! Aku numpang sampai gerbang boleh?" Ussy
menggoyangkan gulungan kertas yang isinya cukup banyak.
"Aku harus fotokopi catatan kuliah ini semua rangkap lima."
Dodit tersenyum, "tentu saja boleh. Yuk."
"Oke, eh aku pinjam dulu tunanganmu, ya? Janji tidak akan
lama, hi hi..." Ussy melambaikan tangan pada Anis dan Udin
yang langsung disambut anggukan Anis dan senyum lebar
Udin. Setelah Ussy dan tunangannya pergi, Anissa seperti
tidak peduli dan membalikkan tubuh.
Senyuman Udin semakin lebar, tentu tidak ada yang
memperhatikannya.
Dodit dan Ussy berjalan beriringan, sebenarnya kepergian
dengan Dodit ini hanya alasan Ussy saja karena ia butuh
waktu untuk membicarakan sesuatu dengan tunangan
sahabatnya itu. "Dodit, kamu tahu tidak sikap Anissa akhir -
akhir sangat aneh." Kata Ussy saat mereka sudah jauh dari
posisi Anis dan Udin.
Dodit menundukkan kepala dan memainkan kunci mobilnya
dengan kaku, "aku tahu. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan
kenapa dia bersikap demikian. Sepertinya aku tidak pernah
berbuat salah kepadanya."
Ussy menelengkan kepala, "kamu yakin kamu tidak pernah
berbuat salah? Yang di sana itu bukan Anissa, dia bagaikan
gadis asing yang tidak kita kenal sama sekali! Pasti ada
sesuatu!"
"Aku juga tahu, tapi sungguh aku tidak tahu apa yang terjadi
padanya." Dodit sempat menengok ke belakang untuk melihat
Anissa, namun terhalang rindang pepohonan taman di depan
kantin tempat tadi mereka duduk - duduk, ia menghela nafas
dan menggelengkan kepala. "Entahlah, aku sudah berusaha
sekuat tenaga untuk mencari tahu, tapi Anis itu tertutup
sekali."
Ussy ikut menghela nafas sedih, "yang sabar ya. Aku juga
kehilangan Anissa yang dulu."
Dodit tersenyum pahit.
Ketika Ussy dan Dodit melangkah pergi, Anis juga melakukan
hal yang sama menuju kelas, namun ke arah yang berlainan.
Ia diikuti oleh Udin.
Udin berkali - kali melihat ke arah belakang untuk
memastikan Ussy dan Dodit sudah hilang dari pandangan dan
ketika saat itu tiba, Udin memanggil gadis jelita disampingnya
dengan pelan.
"Nis..."
Anissa menengok ke samping dan melihat ke arah Udin. "Ya,
Din?"
Tapi Udin diam saja, ia bukannya menjawab malah menikmati
kecantikan Anissa seperti hendak menelannya hidup - hidup.
Dari atas, dari ujung rambut yang indah, hingga ke bawah,
melalui lekuk tubuh yang seksi dalam balutan pakaian
sederhana dan jeans ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh
yang indah.
Pandangan mata Udin sangat menghina, membuat Anissa
menjadi jengah. Ia mencoba menghindari tatapan Udin dan
melangkah menjauh. Tapi Udin mengejarnya dan memaksakan
diri untuk bertatapan muka kembali dengan sang dara jelita
itu. Anissa mengerutkan kening, mempertanyakan sikap Udin
yang aneh ini.
"Ada yang ingin kamu katakan, Din?"
"Aku tahu rahasiamu... Anissa..."
"Apa maksudmu?" Anis menghela nafas, mau apa lagi anak
satu ini? Apa sih yang sudah diketahui Udin? Apakah...
"Semalam... di hotel melati X.. aku melihat..."
Mata Anis mulai terbelalak terbuka, tidak mungkin...!
"...kamu... sedang berduaan dengan Pak Dahlan..."
Kini mulut Anissa yang terbuka lebar, jantungnya seakan
berhenti berdenyut dan nafasnya menjadi sangat berat! Udin
tahu??!! Bagaimana dia bisa tahu?? Aduh, bagaimana ini?!!
Dengan ketakutan dan panik Anis mencoba mencari alasan.
"I...itu bukan aku! Aku semalam ada di ru-... rumah!"
"Oh ya? Kalian ada di kamar nomer XXX dan bercinta hingga
larut malam sampai Pak Dahlan mengantarkanmu pulang.
Semalam kamu meninggalkan tas di ruangan penjaga hotel
dan aku sempat membuka tas itu untuk mengambil sepucuk
kartu mahasiswa sebagai bukti seandainya aku bertemu
dengan pemiliknya..."
Keringat Anis turun deras.
"Ini punyamu, kan?" Udin mengeluarkan kartu mahasiswa
Anissa dari kantong bajunya.
Kepala Anissa berputar dan pandangan matanya berkunang -
kunang. Pantas saja ia tidak bisa menemukan kartu itu tadi
pagi! Anis duduk di kursi beton yang ada di belakang mereka
dengan hempasan tubuh yang pasrah. Kepalanya menunduk
dan tangannya digunakan untuk menyandarkan kening. "Apa
maumu, Din?"
Udin terkekeh sambil duduk di samping Anissa, "Oh aku tidak
mau apa - apa. Aku hanya ingin mendapatkan penjelasan
darimu."
"Penjelasan?"
Udin meremas - remas jemari Anis dengan gemas, membuat
gadis itu merasa risih. Ia menyentakkan tangan Udin dan
menatapnya galak.
"Maumu apa sih, Din? Jangan kurang ajar ya! Awas kamu!"
desis Anissa dengan jengkel.
"Aku hanya butuh waktu untuk berdua saja denganmu dan
mendengarkan penjelasanmu tentang apa yang terjadi
semalam di Hotel X! Bukan hal yang susah kau iyakan karena
selama ini kamu juga sudah melayani banyak lelaki lain." Bisik
Udin dengan pandangan mata yang sangat merendahkan.
Sambil mengutarakan maksudnya, tangan Udin tak henti
bergerak menelusuri lekuk tubuh Anissa yang aduhai.
Mata Anissa terbelalak kaget! Bagaimana Udin bisa tahu...
"Pak Kobar adalah pakdeku, Nis! Aku tahu apa yang kamu
lakukan semalam dengan Pak Bejo, Pak Dahlan dan Om
Imron! Siapa yang mengira, Nis. Di balik penampilanmu yang
sopan dan santun, ternyata kamu adalah seorang pelacur!"
Langit seakan runtuh menimpa kepala Anissa! Ia kaget
setengah mati, tidak saja karena Udin mengetahui rahasianya,
melainkan juga karena Udin mengatainya pelacur!
"Kurang ajar kamu, Udin! Aku melakukan itu semua karena
terpaksa! Aku ini bukan pelacur!"
"Entah bagaimana aku harus menghitung sakit hatiku, Nis."
Udin menunjukkan wajah sedih dan geram. "Yang pertama?
Aku selama ini selalu memujamu, menganggapmu suci,
menganggapmu sebagai wanita terindah yang jauh dari nista.
Kenyataannya? Kamu tak ubahnya lonte pinggir terminal yang
hobi mengobral vagina. Selama ini aku mengalah dari Dodit
karena aku pikir kalian adalah pasangan serasi. Ternyata..."
"Sudah aku bilang aku melakukannya karena terpaksa, Din!
Walaupun tubuhku pernah dijamah lelaki lain, hatiku selalu
dan selamanya akan menjadi milik Dodit."
"Tapi justru di situlah sakit hatiku yang kedua, Nis." Udin
masih tak bergeming, matanya berkaca - kaca. "sejujurnya,
aku mencintaimu. Aku tak rela kamu dimiliki siapapun kecuali
aku. Menyaksikanmu disetubuhi orang lain membuatku sakit,
Nis. Sangat sakit. Melihatmu berdua dengan Dodit
membuatku ingin mengiris urat nadiku sendiri. Setiap kali aku
melihatmu, setiap kali pula aku cemburu."
Anissa seperti dihantam palu raksasa yang meluluhlantakkan
hati dan perasaannya. "Kamu... mencintaiku...?"
"Aku hanya ingin diberi kesempatan untuk bersamamu berdua
saja."
Anissa menunduk dan airmatanya membayang, demi dewa...
kapan ini semua akan berakhir? Kenapa semua orang
menginginkannya? Apa kelebihannya? Dia hanya gadis biasa
saja! Hanya karena dia cantik?! Hanya karena dia seksi?! Dia
hanya gadis biasa saja! Kenapa semua orang ingin
mendekatinya dengan alasan yang dibuat - buat? Apakah
mereka tidak sadar bahwa dia bukanlah seonggok daging
yang tak berperasaan? Dia juga manusia!
"Bagaimana, lonteku sayang?"
"Sekali lagi kau panggil aku seperti dan aku akan..."
"Apa?" tantang Udin, "kamu mau apa? Apa hah? Lonte ya
lonte!"
Air mata menggenang deras di ujung mata Anissa, "baik!
Kalau itu maumu! Aku memang lonte! Aku lonte terkutuk!
Pelacur murahan! Kamu mau tubuhku? Aku beri! Kamu mau
aku telanjang sekarang? Bisa! Di depan semua orang ini aku
akan telanjang! Aku akan beri kamu kenikmatan! Itu mau
kamu, kan?"
"Malah nyolot! Siapa bilang aku mau tubuhmu?! Aku hanya
ingin penjelasanmu!" Udin makin marah, ia menengok ke
kanan kiri untuk memastikan tidak ada teman yang
menyaksikan pertengkaran mereka. "Oke! Kalau itu maumu!
Ikut aku sekarang juga ke losmen di utara kampus! Kita pesan
short time agar bisa bicara dari hati ke hati tanpa gangguan
seorangpun! Kita bicara terus terang dan selesaikan
semuanya di sana!!"
Anissa yang tak berdaya ditarik dengan kasar oleh Udin,
kenapa harus ke losmen? Apa yang harus dilakukannya?
Sepertinya semua keputusannya selalu salah. Keadaan
bukannya semakin membaik, melainkan justru bertambah
parah. Kini dia harus menuruti apa permintaan Udin karena
kalau tidak Udin akan menyebarkan aibnya dan orang - orang
di kampus ini akan mengetahui apa yang terjadi pada gadis
itu. Anis menatap geram ke arah Udin.
###
Anissa melelehkan air mata ketika Udin memeluknya dari
belakang dan memberi kehangatan. Udin mengecup pundak
Anis yang berpeluh. Ia kagum pada gadis bertubuh indah ini,
lihat saja kulitnya yang putih dan mulus ini, bahkan air
keringatpun meluncur menuruni pundaknya seakan tak mampu
berpijak. Tak ingin rasanya Udin melepas tubuh Anis, ia ingin
selalu memeluknya. Udin membelai seluruh tubuh Anissa dari
belakang dengan penuh kelembutan dan rasa cinta.
Tanpa disadari Udin, lelehan air mata Anis menetes dari
kelopaknya yang memerah. Seumur hidupnya, Anis tak pernah
membayangkan ia akan melayani Udin bermain cinta seperti
ini. Tidak saja pernah membayangkan, ia sebenarnya tidak
akan sudi melayani Udin seandainya saja tidak seperti ini
keadaannya. Dunia seakan gelap bagi Anis, makin lama makin
gelap.
Bahrudin atau Udin, selalu membayangkan Anissa setiap kali
dia bermasturbasi di kamar mandi paling tidak seminggu tiga
kali. Bulat pantat yang bergoyang menggoda setiap kali Anis
berjalan didepannya, paha mulus milik kaki jenjang yang
sering diperlihatkan saat Anis mengenakan hot pants, rambut
panjang halus yang sebelumnya dia pikir hanya bisa dimiliki
oleh seorang model iklan shampoo, kulit mulus seputih
pualam yang halus licin, satu tubuh sempurna seorang wanita
jelita yang layaknya bidadari khayangan. Dulu sekali, desakan
dada kenyal Anis yang menumpuk dada Udin saat mereka
berpelukan pada acara ulang tahun gadis jelita itu membuat
batang kemaluannya tegang tak mau turun untuk beberapa
saat lamanya, kini Udin bisa memeluknya lebih lama.
"Kenapa kamu melakukannya, Nis?" tanya Udin dengan suara
parau. Nafsunya sudah menggelegak tapi ia mencoba
bertahan demi berbincang sejenak.
Anissa yang kebingungan tergagap mencoba menjelaskan
duduk masalahnya, "I.. ini.. itu.. maksudku, apa yang... apa
yang aku lakukan tidak... tidak seperti.. yang kau bayangkan,
Din."
"Apa maksudmu tidak seperti yang aku bayangkan? Coba saja
kamu menemui teman baikmu sedang bergumul dengan laki -
laki lain yang bukan suaminya, bahkan bukan tunangannya..
bermain cinta semalam suntuk! Apa menurutmu yang aku
bayangkan?" gertak Udin.
"A..aku tidak bercinta," Anissa mencoba bertahan, nada
suaranya bergetar karena takut, "aku dipaksa.. aku terpaksa
melakukannya karena.. karena orang itu menyimpan.. gambar
dan videoku! Orang itu.."
Udin menatap gadis itu tanpa perasaan iba sedikitpun,
membuat Anissa kian turun mental dan percaya diri.
"Sekarang coba jawab pertanyaan mudah ini, Nis." Kata Udin
tegas. "Benar atau tidak kamu sudah tidur dengan laki - laki
lain yang bukan suami, tunangan bahkan pacar kamu? Mudah
kan jawabannya? Benar atau tidak?"
"Aku tahu, Din! Aku tahu! Aku tahu aku mengacaukan
semuanya!" suara Anis makin terdengar getarannya, ia
memohon dengan putus asa, "tapi aku akan memperbaiki
semuanya, begitu gambar dan video itu dihapus, aku akan
baik - baik saja, semua akan baik - baik saja, Dodit tidak
perlu tahu."
"BODOH!" bentak Udin.
Bentakan pemuda itu membuat Anissa melompat karena
kaget, ia tidak menduga Udin akan mengeluarkan suara
sekeras itu. Bibir bawah Anissa bergetar, matanya yang bulat,
besar dan indah kini mulai mengambangkan air mata, Anissa
gemetar di hadapan Udin, wajahnya yang jelita memerah
karena perasaan bersalah, ia bagaikan tengah dihakimi.
Batang kejantanan Udin justru makin menegak melihat gadis
yang sudah pasrah ini.
"Yang namanya pengkhianatan tidak ada alasan. Kamu sudah
berkhianat atas cintamu pada Dodit, aku seharusnya
menghubunginya untuk..."
"Jangan! Jangan, Din! Aku mohon! Aku mohon!!" Anissa
mengangkat tangannya untuk mencoba menahan Udin, karena
lengannya mendesak dada dan menyempit, Udin bisa melihat
buah dada Anissa seperti ditekan dan menghunjuk ke depan
dengan indahnya. Gila, Anissa memang benar - benar gadis
yang teramat seksi.
"Jangan, jangan lakukan itu, Din! A..aku harus pulang, aku
akan pulang dan tidak akan melakukannya lagi. Aku janji, aku
janji perbuatan terkutuk itu memang harus dihentikan.."
"BODOH LAGI!" kembali Udin membentak Anissa. Ia kini benar
- benar memuncak emosinya, "kamu sadar tidak semua
sudah terlambat? Yang kamu hadapi itu orang - orang
berbahaya yang tidak bisa dianggap main - main!
Seharusnya dari dulu kamu sudah lapor polisi! Sekarang lihat
apa yang terjadi! Kamu sadar tidak pada kebodohanmu?" Udin
membalikkan badan dan mencoba meraih telepon genggam
yang ia letakkan di meja. Anissa yang terkejut segera
mengejar Udin, membalikkan tubuhnya dan menahan
tangannya.
"Bahrudin! Jangan, Din. Aku mohon!!! Aku benar - benar
mohon padamu, jangan ceritakan semua ini pada Dodit!
Jangan pernah! A..Aku sangat mencintainya, Din! Aku sangat
- sangat - sangat mencintainya! Jangan biarkan dia tahu
aku telah menjadi wanita yang hina seperti ini! Jangan
biarkan hatinya hancur, Din!! Aku mohon!" bola mata indah
milik Anissa menjadi sangat sayu saat ia meratap memohon
agar Udin tidak menghubungi tunangannya, ia bahkan
memanggil Udin dengan nama lengkap tanpa sadar.
Udin menatap gadis itu iba, ia bisa merasakan nafas berbau
mint yang segar dari mulut sang dara dan tetesan keringat
membasahi belahan buah dada gadis jelita itu. Tubuh seksi
itu kini hampir - hampir memeluk Udin, memohon dengan
putus asa. Tanpa perlu dipinta, Udin sebenarnya tidak ingin
melaporkan apapun pada siapapun, ia sangat mencintai
Anissa, bahkan mungkin lebih dari apa yang ia sendiri
bayangkan. Tapi kini rasa sayang itu berubah menjadi nafsu
berlipat ganda. Udin mengangkat tangannya dan menyentuh
kulit mulus Anissa, lembut dan perlahan ia memainkan
jemarinya menelusuri keindahan lekuk tubuh sang dara, mulai
dari kerongkongannya hingga ke atas balon buah dada
Anissa. Degup jantungnya yang berdetak menghentak
berulang kali dalam diri Udin, pikirannya seperti terbang tanpa
tujuan, rasionalitasnya terpinggirkan oleh nafsu birahi
menggelegak. Satu - satunya yang Udin inginkan sekarang
adalah membuka pakaian yang dikenakan Anissa dan
menikmati keindahan buah dada gadis itu!
"U..Udin? ka - kamu ngapain?" kepanikan Anissa
membuatnya tergagap, ia benar - benar terkejut melihat
kelakuan Udin ini hingga kalimat yang ia ucapkan menjadi
terpatah - patah.
Udin memandangi wajah bingung Anissa sembari
menggerakkan tangan yang makin berani, ia kini meremas -
remas buah dadanya tanpa peduli. "Kamu bukan orang bodoh,
Nis. Kamu tahu pasti apa yang aku lakukan." Katanya dengan
dingin. Melihat Anissa panik dan tak berdaya membuatnya
merasa iba, namun di saat yang bersamaan Udin bisa
merasakan adik kecil yang ada diselangkangannya justru kian
mengeras. "Kamu tahu apa yang akan aku lakukan dan kamu
juga tahu tidak ada gunanya melawan. Kenapa? Karena kamu
tahu aku memiliki apa yang kamu tahu tidak sepantasnya aku
miliki."
Udin tidak percaya ia mampu mengucapkan kata - kata
ancaman pada gadis yang ia cintai itu. Sejak ia mengenal
Anissa, Udin hanya bisa melihatnya dari kejauhan,
mengaguminya dan memimpikannya. Ia cemburu saat Anis
dan Dodit saling berpelukan mesra, ia cemburu ketika pria lain
mengajak gadis itu berbincang atau mengelus bagian
tubuhnya pelan. Kini ia bebas menyelipkan jemari ke dalam
belahan tengah buah dada Anissa untuk membuat gadis itu
sadar siapa yang saat ini menguasainya.
"Ta...tapi, Din. Kita tidak bisa.. kamu tidak boleh... maksudku
kita tidak bisa.." wajah Anissa memerah karena ia tidak
sanggup mengucapkan kata yang tepat yang ingin
disampaikan. Ia yakin Udin tahu apa maksudnya. "Kita tidak
bisa, Din... aku yakin kamu bukan orang seperti itu!"
"Aku tidak perlu membuktikan apapun pada seorang
pengkhianat. Kamu sudah mengkhianati cinta Dodit dan aku
bisa saja datang kepadanya membawa bukti yang kuat.
Kalian akan berpisah, namamu akan cemar, orangtuamu
mungkin bisa sakit keras dan kamu hanya akan dianggap
sebagai pelacur jalanan. Aku tidak peduli apa yang terjadi
padamu seperti kamu selama ini tidak peduli padaku." Udin
merespon dengan ketus, tangannya yang bebas mengangkat
hape. "Kalau kamu pikir aku bohong, aku bisa menelpon dia
kapan saja aku mau untuk menceritakan pelacur kecil yang
mengaku sebagai tunangannya." Udin yakin sekali ancaman
ini akan mengena tepat di hati Anis, menohok si cantik yang
tak sanggup mengatakan apa yang telah terjadi kepada
tunangannya dengan jujur. Dengan berani Udin memainkan
telunjuknya untuk merunut kulit mulus Anissa mulai dari
belahan dada yang menggiurkan naik hingga ke rahangnya
yang mulus. Mereka berdua sama - sama terengah - engah
dan Udin tahu Anissa menatapnya dengan panik.
"Ja..jangan... jangan telepon." Desah Anissa lirih. "Apa yang
kamu inginkan?"
"Buka bajumu." Hanya dengan mengatakan itu saja penis
Udin menggeliat mengeras, membayangkan tubuh indah
wanita secantik Anis tanpa sehelai benangpun membuat
teman kuliah Anis itu terangsang hebat. Anis ragu - ragu
melakukan apa yang diminta Udin itu, membuat pemuda itu
sedikit naik pitam. "Apa yang kamu tunggu? Cepat buka
bajumu!"
Anissa masih ragu - ragu dan mempertimbangkan beberapa
hal dalam benaknya untuk beberapa saat, namun ia kemudian
membuka kancing bajunya dan segera memperlihatkan
sebentuk buah dada sempurna yang kenyal dan empuk. Gadis
jelita itu melempar bajunya ke lantai dan menatap Udin tajam,
teman kampusnya itu tidak bergerak dan melihat keindahan
tubuh bagian atas milik Anissa tanpa berkedip. Perut gadis itu
amat tipis, langsing, rata dan seksi sementara payudaranya
yang menjulang naik bagai menantang dengan bulat
sempurna dan pentil susu yang menjorok keluar hingga
membayang di beha mungil berwarna gelap yang dikenakan si
cantik itu. Udin meletakkan hape dan mulai beraksi meraba
payudara ranum milik Anissa.
Anissa memejamkan mata dan mendesah panjang saat jemari
Udin mengelus dan meremas - remas payudaranya,
merasakan buah dada besar itu dalam genggaman tangannya.
Udin bisa melihat wajah kacau Anis saat tangan - tangan
Udin yang kasar bersentuhan dengan kulit mulus di sekitar
balon buah dada Anissa. Dengan tangan gemetar Udin
melepas kaitan beha sang dara jelita yang kini wajahnya
memerah antara malu dan gelisah.
Udin seperti disadarkan pada apa yang tengah terjadi, gadis
cantik yang selalu muncul dalam mimpi indahnya, dalam
mimpi basahnya, dalam masturbasinya, kini hadir secara
nyata, darah dan daging, telanjang dada. Menyadari Anissa
kini berada dalam kekuasaannya Udin meremas payudara
gadis itu lebih kencang lagi, membuat sang pemilik menjerit
lirih karena kesakitan. "Susumu ini, Nis...membuatku.. tidak
bisa.. ini indah sekali.." nafas Udin menjadi berat seiring nafsu
yang semakin membebani batinnya.
Cengkraman tangan Udin pada balon buah dada Anis
membuat puting susu Anis kian lama kian mengeras seperti
tutup botol yang menjorok keluar. Udin menciumi dan
menjilati buah dada sempurna itu bergantian, merasakan
kenyalnya keindahan susu sang bidadari jelita, membuat
Anissa menggelinjang dan mengembik pelan. Udin mengoles
puting susu Anis dengan jempolnya hingga keduanya benar -
benar sampai menghunjuk ke atas. Tak tahan lagi, Udin turun
ke bawah untuk melepas sisa pakaian yang dikenakan Anissa
dan memperlihatkan tubuh indahnya.
Anis mengerang pelan karena kebingungan, gadis itu
menyilangkan tangan di depan payudaranya saat Udin
melepas pelindung terakhirnya. Bulu kemaluan yang halus dan
rapi membuat Udin kian kagum, ia berhenti sejenak untuk
menikmati keindahan selangkangan Anis yang dipadu
sempurna dengan paha mulus yang tidak saja enak dilihat
tapi juga nyaman disentuh.
Tak boleh disia - siakan begitu saja!
Udin meremas bokong Anissa dengan kedua tangannya,
menahan supaya gadis itu tak bergerak, lalu dengan tiba -
tiba membenamkan kepalanya ke dalam selangkangan Anis!
Mulut dan hidungnya tenggelam di silang kemaluan sementara
lidahnya menyusur dan mencari.
Anis terkejut setengah mati melihat kelakuan Udin ini! Si
cantik itu mencoba meronta, mencoba membalikkan badan,
mencoba menekan kepala Udin, namun semua sia - sia.
Gerakan lidah Udin yang lincah memainkan bibir kemaluan
Anissa membuat gadis itu menggelinjang hebat. Ampun! Ini
enak sekali! Bagaimana ia bisa bertahan? Ia hanya gadis
biasa! Tak bisa menolak kenikmatan seperti ini! Anissa yang
tak bisa menemukan apapun sebagai pegangan, mencoba
meraih sesuatu, tapi satu - satunya yang bisa ia lakukan
adalah justru memegang bagian belakang kepala Udin dan
menekannya agar masuk semakin dalam!
Lidah Udin yang lincah bergerak mengitari bibir kemaluan
Anissa, lalu naik hingga mencapai kelentitnya yang menjorok
keluar. Rasanya benar - benar susah dibayangkan bagi
Anissa. Ia merem melek tak karuan, tubuhnya bagai hancur
lebur ditelan kenikmatan yang diberikan oleh Udin! Untuk
beberapa saat Udin masih terus memainkan kelentit Anissa
dengan pagutan, jilatan dan kuluman yang memabukkan
hingga Anissa akhirnya melenguh panjang sebagai penanda
kekalahan.
Mendengar suara erangan Anissa yang pasrah, Udin berdiri
dan mencumbu tunangan Dodit itu seperti sepasang kekasih.
Gadis ini adalah tunangan orang lain dan kini ia bebas
mengelus tubuhnya dan mencium bibirnya! Mereka berciuman
lama, lidah dan bibir saling menaut menjadi satu kesatuan.
Tangan Anissa kini bergerak bebas mengitari kepala dan
pundak Udin menuntut sesuatu segera terjadi. Gadis itu
rupanya sudah sangat pasrah dengan nasibnya. Udin
melepaskan pagutannya dari mulut Anissa dan menatapnya
dengan pandangan penuh nafsu birahi.
"Jongkok." Perintahnya singkat sambil mengelus pipi si cantik
itu.
Anissa tahu pasti si Udin kini ingin merasakan anunya
disepong. Anissa turun ke bawah tanpa membantah sembari
Udin melucuti celananya sendiri. Teman kuliah Anissa yang
dijauhi banyak kawan itu kini berdiri telanjang dengan bangga
di hadapan Anis dengan penis yang terhunus. Anissa jongkok
di hadapan Udin, memandangi kemaluan Udin, dengan tangan
gemetar Anis mulai menyentuh benda panjang yang agak
lembek itu, merasakan ujung gundul dan batang kejantanan
Udin dalam genggaman tangannya. Pemuda itu merasakan
hembusan hangat nafas Anissa berada sangat dekat dengan
batang kemaluannya. "Ayo anak manis, lakukan saja. Kamu
sudah tahu apa yang aku inginkan."
Nafas Udin tertahan ketika Anissa membuka mulutnya yang
mungil dan mulai menelan ujung gundul kemaluan Udin seperti
hendak menelan bola lampu. Udin merem melek hanya
membayangkannya saja, wanita termolek yang pernah ia
cintai sedang menyepong kontolnya. Hangat dan basah
membungkus batang kemaluannya, ia tidak peduli kalau si
cantik ini sudah bertunangan dengan laki - laki lain yang juga
ia kenal. Anis memandang ke atas, matanya yang indah
menatap pria yang tak pantas ia kulum kemaluannya dengan
pandangan tajam dan jengkel sementara mulutnya yang manis
membuka lebar menangkup batang kemaluan Udin. Mata
mereka berpadu, mata tajam Anis dengan mata Udin yang
terbelalak lebar karena tak percaya bibir manis Anissa
mengelus batang kemaluannya.
Jemari Udin bermain di rambut indah Anissa dan ia
mengangguk - angguk penuh nikmat. Si molek itu
menggunakan pinggul Udin sebagai pegangan dan mulai
mengulum kemaluan pemuda itu dengan berirama. Lidahnya
menyusuri bagian tebal yang menggumpal di bagian bawah
batang kejantanan Udin.
"Gila, Nis.." pandangan mata Udin mengabur dengan sensasi
kenikmatan yang bertubi. "kamu sudah sering melakukan ini
ya? Enak gila.."
Anissa diam saja, dia melanjutkan menghisap batang
kejantanan Udin bagaikan permen lollypop yang rasanya
sangat manis, lidah si cantik itu bergerak lincah mengukur
batang dari ujung gundul hingga ke pangkal berbulunya.
Beberapa kali Anissa harus memejamkan mata untuk
menahan bau tak sedap yang ada di batang kemaluan Udin.
Sekali - sekali Udin membantu Anissa dengan mendorong
bagian belakang kepala si cantik itu dengan lembut agar bisa
bergerak lebih cepat. Batang kemaluan Udin kian basah oleh
ludah Anissa yang terus menerus dioleskan ke seluruh
bagiannya. Suara kecipak mulut yang mengulum, pipi
menggembung dan menipis, kenikmatan melihat wajah
bidadari membuat Udin kian terangsang.
Makin lama batang kemaluan itu makin melesak masuk dalam
mulut si jelita, dengan lembut Udin menambah tekanan pada
bagian belakang kepala Anis supaya gadis itu bergerak lebih
cepat. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari penis Udin yang
ukurannya biasa - biasa saja, namun batang kelelakian Udin
itu sangat keras seperti baja.
Udin memandang takjub bagaimana helai - helai rambut
Anissa turun menyentuh pundaknya yang mulus. Lebih turun
lagi Udin bisa melihat balon buah dada si cantik itu
bergelinjang ringan saat ia menjilati kejantanannya yang
menegang. Udin memang bukan perjaka tulen, ia sudah
pernah merasakan dan mencicipi pelacur murah yang ia beli di
dekat pasar, tapi merasakan bibir manis Anis menaungi
kemaluannya dan hangat mengatup batang zakarnya
membuat Udin terbang ke langit ke tujuh. Anissa memang
bidadari terindah, apalagi ini belum usai, dia masih akan
merasakan bibir kewanitaan Anissa yang sangat ia inginkan
melebihi apapun.
Walaupun Udin merasakan rasa nyaman yang ingin ia
perpanjang sepanjang hari saat penisnya berkuasa di mulut
Anis, namun ia menarik batang kemaluannya dari bibir mungil
itu dengan perlahan. Si cantik itu menatap Udin dengan
tatapan meminta iba, seakan tak percaya ia baru saja
mengulum batang kejantanan orang yang selama ini ia
anggap kawan.
"Seponganmu enaknya luar biasa," puji Udin dengan jujur,
semakin bernafsu setelah menerima rangsangan dari Anis,
Udin berniat mendorong si cantik itu ke tempat tidur. Tapi
pandangan mata pemuda itu tertumbuk pada satu cermin
besar yang digantung di samping ranjang. Alih - alih dilempar
ke ranjang, Anis dibimbing Udin ke lemari pakaian pendek
yang ada di samping cermin.
Udin mendorong tubuh Anis ke depan sehingga wajahnya
menempel di atas lemari kecil itu. Pantat seksi si cantik itu
menghunjuk ke belakang membuat siapapun yang melihatnya
akan terangsang hebat. Udin tak menyia - nyiakan
kesempatan ini untuk menampar kedua pipi pantat Anis
dengan telapak tangannya.
"Aduuuh!" Anissa menjerit kecil, dia memandangi Udin dengan
pandangan heran. "Sakit, Din! Kenapa ditampar?"
Udin tidak menjawab, dia terus saja menekan punggung
bagian bawah Anissa agar si cantik itu tetap menempel di
lemari, posisi ini membuat kemaluan Udin mengeras karena
tubuh Anissa jadi terlihat sangat seksi, terlebih lagi mulusnya
pantat si cantik itu membuat Udin serasa tak ingin usai
merabanya. Tiba - tiba saja Udin ingin sedikit menyakiti
bokong Anissa sebelum ia menyetubuhinya. "Kamu ini benar -
benar.. anak.. manis.. yang nakal." Kata Udin sambil
menampar bokong Anissa saat menyebutkan kata 'anak' dan
'manis', Anis mengembik kesakitan dan berusaha meronta.
Tapi Udin memeganginya erat, "biar kutunjukkan padamu apa
yang seharusnya dilakukan pada.. anak.. manis.. yang nakal!"
Bokong Anis bergetar setiap kali telapak tangan Udin
menamparnya, setiap tamparan pula, buah dada Anissa
bergoyang - goyang. Cermin besar yang menggantung di
samping tempat tidur menjadi saksi bisu pertemuan
pandangan mata mereka. Ada cahaya redup penderitaan di
wajah Anissa, tapi di bagian bawah, Udin bisa merasakan
selangkangan si cantik itu mulai basah. "Menurutmu, apa
yang akan terjadi? Apa yang dilakukan pada seorang anak
manis yang nakal, Nis?"
"..dihukum?" parau terdengar suara Anissa.
"Benar sekali, aku akan menghukummu, manis. Aku akan
memukul pantatmu pakai penggaris karena sudah nakal
seperti yang dilakukan guru pada murid." Kata Udin sambil
tertawa, lelucon itu sama sekali tidak lucu bahkan kalimat
yang melecehkan itu membuat Anissa semakin geram. Seluruh
tubuh Anis bergetar hebat ketika Udin benar - benar memukul
pantat Anissa menggunakan telapak tangannya, bukan rasa
takut yang membuatnya gemetar, tapi rasa terhina. Si cantik
itupun meneteskan air matanya. Udin yang melihat linangan
air mata Anis menjadi segan. "Tidak mau disentuh
bokongnya? Menurutmu, hukuman apa lagi yang tepat bagi
orang sepertimu, Nis? Pelacur kecil yang senang berkhianat
sepertimu?"
Anissa menatap Udin dengan pandangan panik, baru kali ini ia
melihat Udin begitu kasar dan jahat kepadanya, biasanya Udin
memperlakukannya dengan sangat manis. Anissa menunduk
takut, apalagi yang bisa ia lakukan kecuali menuruti
permintaan temannya yang sudah hilang akal oleh nafsu
birahi ini? Jawabannya jelas hanya satu itu.
"...dientotin." suara datar Anissa yang sudah pasrah menjadi
musik indah bagi Udin.
"Benar sekali. Mereka pantasnya dientotin sampai kapok."
Udin mengelus lekuk - lekuk indah pinggul Anissa. Udin
menatap puas cermin besar di samping mereka yang
memperlihatkan dirinya sedang meraba - raba tubuh indah
bidadari yang selama ini mengisi mimpinya. Nafsu birahinya
semakin menggelegak.
Udin mendorong Anissa hingga berdiri dengan berjinjit, dengan
kasar ia memisahkan kaki jenjang si cantik itu supaya melebar
dan menekan ujung gundul batang kejantanannya ke dalam
sela basah di selangkangan Anissa. Sembari terengah - engah
Anis menengok ke belakang, wajahnya penuh dengan sejuta
emosi. "Aku tidak percaya kamu tega melakukan ini......"
"Sekarang harus percaya." Gumam Udin sembari menikmati
saat yang sangat merangsang ketika bagian ujung gundul
kemaluannya melesak perlahan ke dalam memek Anissa.
Sedikit demi sedikit liang cinta Anis yang mungil itu menelan
batang kontol Udin yang sudah keras seperti batang kayu.
Anissa berusaha menahan jeritannya dengan
menggemeretakkan gigi, matanya terpejam dan tubuhnya
mengejang ketika merasakan ada benda asing memasuki liang
cintanya.
"Sudah percaya sekarang?" sindir Udin.
Sodokan kemaluan Udin tidak lagi pelan dan lembut, ia
menumbukkan batangnya ke dalam liang cinta Anis dengan
kekuatan penuh hingga gadis itu bahkan sampai terangkat
dan berjinjit tiap kali Udin melesakkan kemaluannya. Anissa
berulangkali menjerit dan menggunakan pinggiran lemari yang
ada di samping tempat tidur untuk menahan desakan dari
Udin. Begitu bernafsunya Udin menggiling kemaluannya
sehingga Anis berulang kali terangkat bahkan sampai hampir
melayang. Sebenarnya Udin tidak sampai hati membuat
Anissa kesakitan, tapi merasakan kemaluannya melesak
masuk ke dalam vagina Anissa adalah mimpi yang menjadi
kenyataan, sangat nikmat sekali.
Udin menarik penisnya, mundur sedikit lalu dengan kekuatan
penuh menyodokkannya lagi ke dalam hingga membuat Anis
berulang kali menjerit. "Ogghh, gila... kamu bener - bener
enakkkgg..." erang Udin keenakan. Kini tubuh Anis benar -
benar menempel di lemari, ia tak bisa bergerak karena Udin
terus saja mendesaknya tanpa ampun, keras, cepat dan
kencang. Memek Anis yang mulai membanjir membuat Udin
kian giat menggenjot penuh nafsu. Tiap kali Udin melesakkan
penisnya, Anissa tidak bisa tidak menjerit dan mengerang.
Dari cermin yang berada di samping ranjang, Udin bisa
melihat buah dada Anissa bergoyang setiap kali ia menusuk -
nusuk memek si cantik itu. Wajah Anis bersemu merah karena
menahan campuran emosi yang hampir tak tertahan ia marah,
sedih, geram namun juga merasa nikmat. Udin melihat dirinya
sendiri di cermin itu, bukan seperti Udin biasanya, Udin yang
dihina, Udin yang dihindari cewek - cewek atau Udin yang
dikucilkan. Kini ia berubah menjadi Udin yang kuat, Udin
penakluk dan Udin yang berhasil meniduri salah satu gadis
paling didambakan lelaki di seantero kampus.
Udin menekuk tubuhnya dan bersandar di punggung Anissa
sembari terus menggoyang kemaluannya di dalam liang cinta
tunangan Dodit itu, wajahnya yang menyebalkan diturunkan
hingga menempel beberapa senti saja dari wajah Anis,
membuat gadis itu muak dan memalingkan muka. "Kamu
cantik sekali, Nis. Cantik dan seksi. Memekmu enak gila!
Sempit banget!" Udin kembali mengerang - erang keenakan,
membuat Anissa menjadi risih. "...kamu tidak pernah tahu,
Nis. Kalau aku ingin melakukan ini sudah sejak lama sekali.
Aku kira aku hanya bisa melakukannya dalam mimpi.
Ka..kamu tahu itu?"
"Yaaa..." Anis melenguh, "oooughhh... sakit sekali...!! jangan
kasar - kasar!!"
Kata - kata Anissa jelas tidak menghentikan niat Udin, justru
makin membuatnya bernafsu. Pemuda itu mulai bermain -
main. Ia menarik batang kemaluannya hingga hanya tertinggal
ujung gundulnya di dalam liang cinta Anis, lalu setelah
bertahan sebentar, ia menumbuk lagi dengan memberikan
tekanan yang sangat hebat sampai - sampai Anissa
terlempar ke ranjang.
"Pegang kepala tempat tidurnya." Perintah Udin, yang segera
dituruti oleh Anissa yang merangkak dan menggunakan kepala
tempat tidur sebagai pegangan sementara ia merenggangkan
kaki kembali karena tadi penis Udin hampir keluar. "Duh,
Anis...tahu nggak sih? Memekmu ini enak bangeeeeet!!"
Tapi Anissa sendiri sebenarnya melakukan lebih dari apa yang
diperkirakan Udin, untuk beberapa saat dia merintih dan
meringkuk, lalu tiba - tiba saja satu tangannya beralih dari
memegang kepala tempat tidur menuju selangkangannya
sendiri. Untuk sejenak Anis berhenti saat ia sadar apa yang
sedang ia lakukan, tapi Udin memegang pergelangan
tangannya agar tidak urung turun, pemuda itu senang melihat
Anis mulai terangsang dan menggiring jemari Anis untuk
menyentuh kelentitnya sendiri.
"Ayo sayang... enak sekali kan?" bisik Udin menggoda. "sentuh
dirimu sendiri, biarkan kepuasan itu datang lebih cepat."
Di bawah bimbingan Udin, jemari Anis bergerak lincah
menggosok selangkangannya sendiri. Tangan Udin sendiri
kembali menekan bahu Anis sementara si cantik itu
terangsang hebat sehingga ia bisa memusatkan perhatian
penuh pada rasa nyaman yang ia rasakan pada batang
kemaluannya.
Anissa bukanlah bintang film porno atau pelacur yang sudah
sangat sering bermain cinta, dia hanyalah seorang gadis yang
terjerat oleh serigala - serigala pemangsa penuh nafsu.
Walaupun sudah sering diperkosa oleh Pak Bejo dan pernah
bermain cinta dengan Pak Doni atau Pak Dahlan, Anis tetaplah
gadis biasa yang mudah dirangsang ketika bercinta. Gadis itu
setahap demi setahap hampir mencapai puncak orgasmenya,
lenguhannya yang berirama makin lama makin naik dan
berubah menjadi teriakan dan jeritan tak tertahan. Seluruh
tubuh Anis seakan menjadi menciut ketika jemari si cantik itu
bermain sendiri di kelentitnya sementara memeknya tengah
menerima sodokan penuh tenaga dari Udin, terasa sekali bagi
Anissa betapa kuat cengkraman dinding liang kewanitaannya
pada batang kemaluan pria yang tengah menyetubuhinya.
Anissa hanya bisa merem melek menerima tusukan demi
tusukan penuh nikmat yang menghentakkan tubuhnya.
Sensasi itu, bersamaan dengan bergetarnya tubuh indah dan
lengkingan kecil jerit kepuasan membahana di ruangan yang
sempit, membawa Anissa ke puncak kenikmatan.
Udin melepas pegangannya pada bahu Anissa dan menangkup
buah dada si cantik itu yang membusung besar dengan puting
susu yang tegap menjorok keluar, Udin menyingkirkan lengan
Anis yang melindungi payudara itu dan meremasnya dengan
sangat kuat seakan ingin mencairkan daging kenyal yang
membuatnya sangat bernafsu itu. Anissa memang telah
mencapai puncak, namun tubuhnya masih terus menghamba
pada batang kemaluan Udin, banjir demi banjir pelumas dan
cairan cinta bercampur menjadi satu sementara tubuh Anissa
sendiri masih terus terhentak - hentak.
Tekanan yang makin menghebat berkumpul di kantong
kemaluan Udin yang membesar seperti sansak. Bagi Udin,
kemaluannya terasa seperti hendak melepaskan ledakan hebat
yang akan melontarkan dirinya dan Anis ke segala penjuru.
Tubuhnya bergetar seperti gunung besar yang menyimpan
tenaga untuk memuntahkan material vulkanik. Semua ototnya
mengeras, matanya terpejam dan tangannya meremas
kencang buah dada Anissa hingga si cantik itu menjerit
kesakitan, sedikit lagi... sedikit lagi..... sedikit lagi....... dan
ahhhhh!! Semprotan cairan cinta terlontar dari ujung gundul
kemaluan Udin bagai pompa air yang baru saja dibuka. Kepala
Udin sampai terlontar ke belakang dan ia melolong keenakan
saat pejuhnya terlempar banjir demi banjir di dalam liang
cinta gadis yang sangat seksi itu.
"Arraaaaghhhhhhhhh! Aaaahhhhh!! Hhngggg!! Ooooowwwhh!!"
Udin mengosongkan kantong kemaluannya sampai ke tetes
terakhir sembari memeluk erat tubuh indah wanita cantik yang
sangat ia idam - idamkan. "Oaaaaghhhh!!....
ahhh..hah..hah..hah.."
Tubuh Udin yang kelelahan ambruk ke depan menumpuk di
atas tubuh Anis yang masih bergetar. Semua semangat dan
keinginan untuk menikmati setiap lekuk tubuh gadis
pujaannya lenyap tak bersisa dengan muntahnya klimaks yang
ia keluarkan, untuk kali pertama ingatan Udin kembali bisa
fokus. Ia baru sadar kalau ia sedang berada di sebuah
ruangan di hotel melati yang khusus ia sewa untuk bisa
meniduri Anissa. Tubuh yang ada di bawahnya ini adalah
gadis yang sangat ia cintai, gadis yang baru saja menerima
semprotan air mani darinya.
Udin menepuk dahinya sendiri. Gila, apa yang telah
dilakukannya? Ia baru saja meniduri Anissa! Ia tak ubahnya
pria yang dibutakan nafsu yang semalam juga membuat gadis
ini menderita walaupun harus diakui, bisa menyetubuhi Anissa
adalah impiannya sejak lama. Cairan cinta menetes baik dari
sela - sela bibir vagina Anissa maupun sisi - sisi penis Udin.
Dengan sepelan mungkin Udin menarik penisnya keluar dari
mulut kemaluan Anis, penisnya yang masih sedikit tegak agak
lengket sehingga harus ditarik kencang. Ketika Udin
menariknya, Anissa mengerang pelan.
"Kamu, kamu tidak apa - apa, Nis?" tanya Udin pada Anis
yang tergeletak bermandikan keringat dengan nafas menderu.
"Anissa?"
Anis hanya menganggukkan kepala sambil mengeluarkan
suara letih, "Ya... aku baik - baik saja."
"Aku bisa mengambilkanmu sesuatu? Air minum?" sepertinya
memang terdengar konyol, tapi Udin sungguh mencintai
Anissa, rasa bersalah yang muncul karena memaksanya
bermain cinta membuat Udin ingin melakukan sesuatu untuk
gadis ini.
Anis menggulingkan badan ke samping dan menatap wajah
Udin dengan kabur, seperti tidak sadar siapa yang ada di
sebelahnya kali ini. Agak lama bagi Anissa sebelum ia bisa
fokus kembali, "Ya... segelas air. Tolong."
Udin bergegas mengambilkan segelas air untuk Anis, gadis itu
kemudian minum di depan Udin dengan keadaan masih
telanjang, seperti tidak lagi merasa malu memamerkan
keindahan tubuhnya. Setelah meletakkan gelas di meja di
samping ranjang, Anis menatap Udin lekat - lekat, "...bisakah
kamu berjanji tidak akan menceritakan ini pada orang lain?
Termasuk orang - orang yang ada di hotel semalam?"
"Aku janji," jawab Udin jujur. "Aku mencintaimu, Nis. Aku tidak
ingin kamu dimiliki orang lain, kamu bisa mempercayaiku
untuk hal satu itu. Aku ingin bisa hidup selamanya denganmu.
Aku ingin menikahimu, menghamilimu, memiliki anak darimu..."
Anissa seperti tidak peduli dengan kata - kata Udin setelah
kata janji. Udin memakai celananya dengan seadanya
sementara Anissa mengenakan pakaiannya kembali, tidak ada
kata terucap di antara mereka. Seperti ada sebuah ikatan
yang tak nampak untuk saling menahan diri.
"Aku ingin kau merahasiakan semua ini, Din."
"Pasti, Nis."
"Termasuk di kampus. Jangan ganggu aku lagi seperti tadi.
Aku butuh ruang gerak."
"Baik."
"Aku pergi dulu."
"Ya."
Anissa merapikan diri dan berjalan tertatih menuju pintu.
Anissa berdiri termangu di pintu kamar sesaat sebelum dia
pergi. Ada pandangan aneh yang ia tujukan pada Udin,
pandangan tajam seperti yang biasa ditunjukkan seorang
pengadil sebelum menghakimi seorang terdakwa. "Bahrudin.
Kita sudah berteman sangat lama, tapi aku tidak pernah
menyangka kamu begitu rendah."
Udin yang masih berbaring di ranjang menatap pintu yang
ditutup dengan keras. Dentuman jantungnya perlahan kembali
normal.
Pemuda itu menerawang ke arah langit - langit, "demikian
juga aku, Nis." Bisiknya pada diri sendiri.
"Demikian juga aku."
###
"Halo, Dodit? Ini Alya."
Dodit yang sebelumnya tidur jadi terbangun kaget dan
gelagapan, dia melirik ke arah jam dinding, sudah hampir jam
11 malam. Begitu gugupnya ia hingga hampir - hampir
telepon genggamnya lepas dari tangan. "Mb...Mbak Alya?
Kenapa, Mbak? Ada perlu dengan saya?"
"Iya... maaf ya, mengganggu semalam ini."
"Tidak apa - apa, Mbak. Memangnya ada apa?"
"Anu, ini lho... Mas Paidi kan sedang sakit. Dia masuk angin,
padahal besok aku harus mengantarkan Opi sekolah dan
belanja karena beras dan kebutuhan pokok lain sudah habis.
Mas Hendra tentu tidak bisa diminta tolong sedangkan SIM
aku saat ini sudah habis masa berlakunya. Habisnya sih
sudah sejak beberapa minggu yang lalu, tapi aku belum
sempat perpanjangan karena repot. Aku jadi teringat kamu,
bagaimana ya kalau aku minta tolong diantar? Daripada naik
bis atau taksi, gitu."
"Astaga, aku kira kenapa, Mbak. Ya tentu saja bisa.
Kemanapun Mbak Alya ingin pergi, aku siap mengantar."
"Aduh, terima kasih sekali ya. Oke, besok pagi sekitar jam
setengah 10 aku tunggu di rumah ya? Kita antar Opi dulu,
setelah itu belanja dan pulangnya jemput Opi lagi.
Bagaimana?"
"Siap, Mbak."
"Eh, tapi kamu tidak ada acara kan?"
"Nggak ada, Mbak. Santai aja."
"Oke kalau begitu. Sampai jumpa besok. Terima kasih ya."
"Sama - sama." Dodit menutup hapenya dengan senang, dia
akan mengantarkan Mbak Alya belanja! Beruntung sekali!
Tidak akan dia sia - siakan kesempatan ini! Sudah sejak
lama dia ingin bertemu kembali dengan ipar Anissa itu,
wajahnya yang ayu dan tubuhnya yang molek... ahh, Mbak
Alya besok memintanya ditemani belanja! Tidak ada yang
lebih indah dari itu! Mbak Alya yang selama ini telah menjadi
temannya berfantasi setiap kali bermasturbasi! Bukankah ini
yang namanya pucuk dicinta ulampun tiba?
Oooh... Mbak Alya yang ayu...
Terdengar bunyi ringtone mengalun.
Ringtone? Dodit mengernyitkan dahi. Oh! Hape Dodit rupanya
kembali bergetar dan berdering. Gara - gara bangun terkaget
dan mendapatkan kabar gembira dari Mbak Alya membuatnya
jadi lupa dering hapenya sendiri. Dodit melirik nomor di
hapenya, nomor ini... Anissa?
"Halo?" suara Dodit sedikit ragu - ragu mengangkat telpon.
"Sayang? Ada apa malam - malam begini..."
"Mas, aku butuh kamu ajak keluar besok pagi. Aku... aku
bosan di rumah..."
"Be... besok pagi?" Dodit menggerutu dalam hati. Bukankah
besok pagi dia sudah janji dengan Mbak Alya yang bagaikan
dewi khayangan itu? Lagipula akhir - akhir ini Anissa aneh,
kalau diajak pergi selalu terdiam seribu bahasa. Ia malas
mengajaknya keluar. "Aduh, maaf sekali, sayang, aku tidak
bisa. Aku sudah ada janji terlebih dahulu. Dengan... dengan
calon klienku...maaf ya? Bagaimana kalau ditunda lain kali?"
"Mas, aku mohon mas. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pergi
denganmu besok."
"Anissa sayang, aku benar - benar tidak bisa. Bagaimana
kalau lusa saja? Atau sore? Sore dan malam aku bebas."
"Tolong Mas, sekali ini saja aku minta tolong. Aku benar -
benar butuh keluar."
"Anissa, aku tidak bisa... aku kan sudah bilang kalau aku..."
Klik.
Telepon sudah ditutup, membuat Dodit termangu.
Di sisi lain, air mata Anis kembali berurai. Kalau Dodit saja
tidak bisa datang dan menyelamatkannya, siapa yang bisa?
Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dia akan melalui hari
esok? Perasaannya semakin tidak nyaman. Sejak tidur dengan
Udin dia sudah menghindar dari Pak Bejo, tapi orang tua bejat
itu terus saja menelpon dan sms, menerornya.
Dia harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan siapapun.
Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus
pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia harus pergi. Dia
harus pergi. Dia harus pergi.
###
Matahari bersinar terik menghujani bumi.
Keringat deras menghujani tubuh Anissa, kakinya melangkah
tertatih. Dia harus lari, dia harus kabur, tidak boleh ada yang
tahu dan tidak boleh ada yang mengikuti. Tapi... dia tidak tahu
kemana harus pergi...? Kemana...? Anissa kebingungan. Si
cantik itu kini tengah berada di trotoar jalan besar yang jauh
dari rumah, ia sampai kesini setelah berputar - putar dengan
kendaraan umum. Kini ia menghadang bis namun tidak tahu
bis tujuan mana yang seharusnya ia naiki.
Anissa memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari
rumah, dia tidak bisa hidup seperti ini terus menerus, dia
harus lepas dari jebakan Pak Bejo walaupun untuk itu dia
harus diam - diam pergi dari rumah tanpa sepengetahuan
keluarga ataupun Dodit. Semuanya harus dilakukan
mendadak, hari ini saja dia harus mengendap - endap keluar
melalui jalan belakang. Anissa tidak pernah mau merepotkan
keluarganya.
Tinggal di rumah sendiri sudah tidak aman lagi karena Pak
Bejo setiap saat bisa tiba - tiba muncul dan menyerang
keluarganya. Bukan sekali dua kali saja Pak Bejo mengancam
Anis kalau dia akan menyakiti keluarganya seandainya Anis
berani macam - macam. Ancaman Pak Bejo jelas tidak main
- main dan bukan itu yang diinginkan oleh Anissa. Setelah
kondisinya aman nanti, dia baru akan memberitahu
keluarganya apa yang terjadi. Dengan begitu mereka bisa
mencari cara bagaimana untuk lepas dari tangan Pak Bejo
dan preman - premannya.
Ke tempat Ussy? Ya, hanya ke tempat dialah Anissa
sepertinya bisa pergi menyelamatkan diri. Itu artinya dia
harus naik bis jalur X jurusan X.
Kebetulan! Dia sedang beruntung! Itu ada satu yang datang
dari kejauhan! Anissa bergegas bersiap di pinggir jalan, tas
berisi pakaian ia siapkan agar mudah dibawa. Hati Anis
berdetak kencang seiring datangnya bis kota yang melaju
pelan.
Sudah dekat! Anissa kegirangan.
Pegangan tangan Anis makin erat mencengkeram tasnya.
Satu kakinya sudah turun ke jalan dan tangannya siap
melambai menghentikan bis.
Tapi sebelum bis itu sampai di tempat Anissa, sebuah mobil
kijang berhenti tepat di depan gadis itu. Begitu dekat jaraknya
dengan Anis, sampai - sampai gadis itu terperanjat dan
mundur.
Pintu tengah mobil terbuka dan seorang pria bertubuh besar
melangkah keluar. Jendela depan turun untuk memperlihatkan
penumpang di samping sopir, mau tak mau Anis menengok ke
depan.
"Mau lari kemana kamu, sayang?" wajah tengik Pak Bejo yang
tersenyum keji tiba - tiba muncul ketika jendela depan
dibuka.
Anissa menjerit sekencang - kencangnya sebelum ia ditarik
masuk ke dalam mobil yang kemudian melaju kencang.
###
"Hari ini panas sekali, ya?"
Suara Alya terdengar sangat merdu di telinga Dodit. Lebih
merdu dari lantunan lagu yang dinyanyikan penyanyi di
pemutar MP3 mobil. "Iya, Mbak. Panas banget. Maaf AC-ku
ternyata agak rusak jadi kurang dingin. Jendelanya sudah
dibuka sedikit kan?"
"Sudah. Ya angin dari jendela ini satu - satunya yang bisa
bikin agak adem." Alya mengangkat kepalanya ke dekat
jendela untuk menikmati lintasan angin. Saat itu mereka
berdua sudah pulang dari belanja dan sedang mengikuti jalan
ke arah sekolah Opi. Beruntung jalan tidak macet dan lancar
sehingga mobil Dodit bisa melaju cukup kencang.
Tapi entah kenapa tiba - tiba...
"Aduh! Aduh!" Alya menutup matanya dengan tangan.
Dodit pun kaget melihatnya, "Ke... kenapa, Mbak?"
"Aduh, mataku kelilipan!"
Dodit meminggirkan mobir ke trotoar, untung jalan sedang
sepi. Dia melepaskan sabuk pengaman, mendekati kepala
Alya dan membuka tangan yang mengatup di mata. Dodit
memperhatikan mata Alya. Mata indah wanita jelita itu
berwarna merah dan mengeluarkan air mata. Rupanya ada
satu binatang kecil yang secara tidak sengaja ingin masuk
menikmati keindahan mata si cantik itu.
"Sebentar... ada yang masuk..." kata Dodit sambil
mendekatkan bibirnya ke mata Alya, "jangan ditutup dulu,
Mbak. Aku tiup ya?"
"Iya... iya..."
Fuh! Dodit meniup dan binatang itu pergi.
"Nah, sudah hilang, Mbak."
"Aduh... terima kasih...." ketika akhirnya bisa membuka mata
kembali dengan jelas, wajah Alya memerah. Ternyata dia
sangat dekat dengan Dodit! Pemuda itu hampir - hampir
memeluknya!
"Sama - sama, Mbak." Begitu juga Dodit yang wajahnya
memerah. Karena posisi duduk yang sempit, tanpa disadari,
ternyata tubuh mereka sangat berdekatan nyaris berpelukan.
Tangan Dodit menyelinap di sela lengan Alya untuk
menyangga sementara tangan lain menahan di pintu.
"Te... terima kasih." Ucap Alya pelan mengulang ucapan
terima kasihnya karena bingung apa yang harus dilakukan. Ia
menatap Dodit dengan takut - takut.
Dodit juga menatap Alya dengan penuh perasaan. "Sama...
sama..."
Entah spontan entah dorongan alam bawah sadar, kepala
Dodit menunduk sedikit, bibirnya membuka dan merekah. Bibir
Mbak Alya... basah dan mungil...
"A..apa yang..." ucapan Alya itu tak pernah terselesaikan
karena bibirnya segera dilumat oleh Dodit.
Bibir Alya sangat lembut dan terasa manis, lipstiknya tipis dan
bentuk bibir yang mungil sangat nyaman dikecup, dipagut dan
dilumat. Untuk beberapa saat Alya tak melawan karena
sangat terkejut. Dodit memejamkan matanya dan mulai
memberanikan diri memanfaatkan kekagetan Alya. Tangannya
bergerak nakal menyusuri bahu hingga ke dada Alya. Ia
menangkup buah dada istri Hendra itu dan...
Bibir mereka lepas mendadak ketika tangan Alya
mendorongnya!
Dodit masih terpejam ketika sebuah tamparan hadir di
pipinya! PLAKK!
Dodit terbelalak kebingungan dan keringatnya menetes deras.
A - apa yang baru saja ia lakukan? Kenapa dia
melakukannya? Demi dewa... kenapa dia melakukannya? Ah,
sial! Rasa panas akibat tamparan Alya memang sudah
sepantasnya ia terima. Tamparan itu tidak keras, ia tahu
Mbak Alya tidak ingin menyakitinya, hanya ingin
membangunkannya dari mimpi di siang bolong saja.
Alya mencoba menata hatinya, ini semua kesalahan dan Dodit
pasti hanya khilaf saja, ia yakin dan pasti akan hal itu, tidak
mungkin membagi hatinya kepada orang lain, terlebih kepada
calon adik iparnya. Alya tersenyum sambil mengelus
punggung tangan Dodit.
"Jangan diulangi lagi." Bisik Alya pelan, "itu tadi untuk
pertama dan terakhir kali."
Mendengar suara lembut Alya, Dodit justru semakin tidak
karuan, ia merasa jengah telah melakukan hal yang tidak
sepantasnya pada wanita cantik yang seharusnya ia anggap
sebagai kakak ipar ini. Lihat sekarang, Alya malah
memberinya ketenangan setelah menamparnya, bukan
memarahinya dengan tudingan lelaki kurang ajar.
"I.... iya, Mbak. A... aku khilaf, Mbak. Aku minta maaf. Aku...
aku..."
"Sshh... tak perlu membuat banyak alasan yang akhirnya nanti
akan kau sesali lebih dari apa yang telah kau lakukan." Kata
Alya berusaha bijak walaupun dadanya masih terus berdegup
dengan kencang. "Lupakan yang sudah berlalu dan jangan
pernah kau ungkit kembali."
"I.... iya, Mbak."
"Kalau kamu berjanji tidak akan menceritakan apa yang terjadi
hari ini kepada orang lain, aku juga tidak akan mengatakan
apapun pada siapapun. Yang harus diingat adalah... kita
berdua tidak akan pernah bisa mengulanginya lagi karena kita
berdua sama - sama tahu, kalau kita mencintai orang lain,
telah menjadi milik orang lain dan karenanya tidak bisa
mengambil milik orang lain pula seenak perut kita sendiri."
"I.... iya, Mbak."
"Ya sudah, sekarang jalan."
"I.... iya, Mbak."
Dodit yang gelagapan meraih kunci mobil dengan tangan
bergetar dan memutarnya dengan gugup. Ia begitu lega ketika
mobil bergetar lembut dan mesinnya menyala, betapa ingin ia
segera membawa mobil ini pulang ke rumah. Punggung
tangannya berusaha menghapus keringat yang terus menerus
turun. Dodit sangat merasa bersalah, sangat. Tapi...
Tapi...
Tapi... bibir mungil Mbak Alya... bibir yang basah itu... begitu
manis, begitu lembut, begitu nyaman beradu dengannya.
Dodit tersenyum kecil tanpa sepengetahuan Alya, walau
bagaimanapun ia tak akan pernah bisa melupakan ciuman
yang sangat indah itu.
Alya melirik ke samping, melihat ke arah senyuman seiris di
bibir Dodit. Ia memalingkan muka, menatap pemandangan,
menyimpan seulas senyum.
Mobil melaju pelan membawa Dodit dan Alya meninggalkan
kenangan yang tak akan pernah terulang.
Tak akan pernah.
###
"Saya mau dibawa kemana ini, Pak?" Anis mulai ketakutan
melihat mobil melaju kencang menuju daerah yang sama
sekali tidak dikenalnya, melaju dan meliuk melewati dearah
perbukitan dan masuk ke jalan sepi yang gelap. Satu -
satunya penanda yang bisa ia kenali adalah sebuah komplek
rumah sakit besar namun Anis tidak yakin rumah sakit apa
namanya karena laju kendaraan ini kencang sekali.
Sebenarnya sejak siang tadi mobil ini hanya berputar - putar
saja melalui jalan tikus yang berbeda - beda dan belasan
kilometer dari tempat Anissa tadi diculik, Pak Bejo ingin
membingungkan Anissa supaya ia tidak mengetahui lokasi.
Gadis itu bukan orang yang mudah menghapal tempat,
sehingga usaha Pak Bejo ini berhasil.
"Sudah diam saja." kering Pak Bejo menjawab. Wajahnya
masih tanpa ekspresi, keras dan kasar.
Mereka sampai di sebuah tempat yang tersembunyi di balik
perbukitan, tak jauh dari sebuah rumah sakit dan kompleks
lapangan golf. Di tempat itu terdapat banyak sekali gudang -
gudang penyimpanan barang pabrik di sepanjang jalan dan
kios warung kopi yang berjajar. Mobil Pak Bejo masuk ke
sebuah gudang kecil yang letaknya paling ujung dan jauh dari
semua keramaian. Tempatnya sendiri tidak besar, bahkan
pengap dan gelap. Gudang itu terletak di samping sebuah
rumah sangat sangat sederhana dengan dua kamar.
Anissa walaupun kecapekan tetap meronta dan berteriak -
teriak tanpa henti ketika digiring masuk ke dalam kamar di
dalam rumah itu. Suasananya yang dingin dan gelap
membuat Anissa makin ketakutan apalagi tasnya juga direbut
salah satu anak buah Pak Bejo.
"Pak, tolong Pak! Kenapa saya disekap di sini? Pak Bejo! Saya
mohon, Pak! Bebaskan saya, Pak!"
Tentu saja pintu itu tidak terbuka.
Anissa jatuh terduduk dan menangis sejadi - jadinya.
Siapa yang kini bisa menyelamatkannya?
###
Ruangan yang berada di rumah di sisi sebuah gudang yang
ada pinggiran kota itu penuh dengan asap rokok yang
mengepul tanpa henti. Wajah - wajah orang yang ada di
dalamnya nampak serius, mereka duduk di kursi rotan yang
mengelilingi sebuah meja yang menyuguhkan bir dan kacang
goreng. Bidak - bidak catur yang belum sempat dibereskan
tersebar dimana - mana.
Di ruangan itu, Imron, Pak Kobar dan Pak Bejo bertemu.
Imron geleng - geleng kepala dan memperlihatkan wajah
tidak senang. "Aku tidak akan pernah setuju dengan cara
seperti ini, Jo. Ini sudah tidak menyenangkan lagi. Aku tidak
takut polisi, tapi cara seperti ini akan menggagalkan semua
rencana kita. Percuma dong kita memeras dosen sialan itu
kalau akhirnya cuma begini? Padahal uang yang masuk sudah
ratusan juta! Aku tidak peduli dengan uang, aku hanya tidak
mau rugi. Itu saja."
Pak Kobar mengangguk - angguk setuju, "yang dikatakan
Imron benar, Pak Bejo. Kita memang sering memaksa cewek
manapun supaya mau dijadikan budak seks. Kita membuat
mereka takluk di bawah lutut dan menyembah kita agar mau
kita tiduri kapan saja, dimana saja, bagaimanapun caranya.
Tapi itu bukan berarti kita akan menculik mereka berhari -
hari lamanya. Setelah ini apa yang akan kamu lakukan?
Memperkosa mereka, memukuli dan menghajar mereka seperti
yang dulu pernah kamu lakukan?!"
"Dasar kalian semua penakut!!" maki Pak Bejo jengkel. "Kakak
ipar gadis ini sudah membuatku malu! Kacungnya sudah
menghajar anak buahku, berani pula menantangku! Mau
ditaruh dimana mukaku ini kalau orang kurang ajar itu
melenggang tanpa maaf? Ini adalah balasan yang setimpal!
Akan kubuat gadis itu menderita dengan caraku!"
"Caramu sama sekali tidak elegan dan kotor. Aku kan sudah
pernah bilang, kalau kamu mau cewek, aku bisa sediakan
berapapun, tidak perlu cara menjijikkan seperti ini kamu
lakukan! Menculik anak orang, cuih." balas Imron dengan
santai.
"Percayalah padaku, Ron."
"Tidak. Ini bukan caraku, Bro. Apa yang aku lakukan kotor
tapi elegan, tidak seperti yang kamu lakukan ini! Aku
memaksa seorang cewek menjadi budakku dengan bermain
cinta dan kemauan mereka sendiri, bukan paksaan dan
siksaan. Aku tidak ingin ikut campur urusanmu lagi. Aku
keluar dari bisnis ini! Maaf, tapi kamu sendirian mulai
sekarang."
Pak Bejo terkejut dan kecewa, "Tapi..."
Pak Kobar ikut mengangguk. "kamu sendirian, Jo. Aku juga
tidak mau disangkutpautkan masalah ini. Kamu sudah
keterlaluan. Aku tidak mengijinkan gadis itu dibawa lagi ke
hotelku. Titik."
Pak Bejo ambruk dengan lemas, tapi kemudian kerut
wajahnya berubah kesal, "kalau kalian tidak mau ikut campur
ya sana! Pulang saja! Aku kecewa dengan kalian!"
Imron dan Pak Kobar berdiri dan mengangguk hampir
bersamaan. Tidak perlu menjawab pertanyaan orang yang
sudah lupa daratan seperti itu. Sepertinya Pak Bejo lupa siapa
yang telah menolongnya dulu, siapa yang memberinya uang,
siapa yang memberinya makan, siapa yang memberinya
penginapan. Orang tua itu hanya ingin mengeruk keuntungan
demi keuntungan dengan memperkerjakan Anissa tanpa henti,
dia mulai serakah.
Pak Kobar melirik ke arah Udin yang duduk diam di pojok,
pemuda itu memang diam saja sedari tadi menyaksikan
pertentangan antara Imron dan Pak Kobar melawan Pak Bejo,
Udin tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Pak Kobar
tersenyum pada keponakannya itu. "Aku tahu kamu masih
ingin berada di sini untuk memastikan nasib gadis itu. Jika
kamu berubah pikiran, aku masih tetap berada di motel. Tapi
ingat, jika polisi menemukanmu, aku tidak akan pernah
mengakui pernah menampungmu."
Udin mengangguk dengan pandangan kosong.
Pak Kobar menepuk pundak Udin dan melangkah menyusul
Imron yang sudah berdiri di pintu keluar. Pak Bejo marah -
marah melihat kepergian mereka berdua.
"Kalian pikir kalian siapa, hah?? Kalian pikir aku tidak bisa
bekerja tanpa kalian? Kalian pikir kalian siapaaa??"
Tidak ada gunanya Pak Bejo berteriak - teriak karena Imron
dan Pak Kobar sudah melangkah keluar ruangan,
meninggalkannya sendirian.
###

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.