Sabtu, 21 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 11A: Anissa Teraniaya

SERIAL: RANJANG YANG TERNODA
BAGIAN SEBELAS A (PART 11(a) OF 12)
ANISSA TERANIAYA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Anissa melamun. Si manis itu tenggelam dalam lembah
pikirannya yang curam, kadang menukik kadang mendaki, tak
tentu arah. Tatap bulat matanya yang indah kosong tanpa
arah. Ia seperti menatap ke depan namun lamunannya
melayang jauh. Bibirnya berulang kali mengucapkan gumaman
tanpa arti dan tangannya sering bergetar tak berhenti. Gadis
manis itu gugup dan gelisah tanpa alasan. Sikapnya ini jelas
tak biasa karena dulu Anissa adalah seorang gadis yang ceria,
sikapnya kali ini berbeda 180 derajat dengan sikapnya yang
dulu.
"Nis? Anis? Kamu kenapa?"
Suara panggilan lembut seorang gadis membangunkan Anissa
dari lamunan yang memenuhi pikiran. Si cantik itu tak sadar
kalau sebenarnya ia telah dipanggil lebih dari empat kali
sebelum akhirnya sadar dan menjawab.
"I.... iya..." gugup Anis menjawab. Ia menyeka pelupuk
matanya yang seperti berair.
"Kamu kenapa, say?" tanya Ussy, gadis yang saat itu duduk
berdua dengan Anissa. Aprilia Ussy Indriani adalah seorang
sahabat yang sudah paham luar dalam Anis, oleh sebab itu
sikap Anissa yang berbeda dari biasanya membuatnya
khawatir.
"A... aku nggak apa - apa." Secara reflek Anissa membenahi
rok dan rambutnya yang sebenarnya masih rapi, Ia mencoba
tersenyum pada Ussy. Anis tidak sadar lamunannya baru saja
melayang begitu jauh tanpa bisa ia kendalikan sampai -
sampai ia tidak mendengar Ussy mengajaknya berbincang.
Banyak yang ia pendam, banyak yang ia simpan, namun
walaupun Ussy adalah sahabat sejatinya, tentu saja ia tak
bisa menceritakan segala sesuatunya begitu saja, terlebih
lagi... masalah itu... rahasia itu... pria tua bajingan yang telah
merenggut kebahagiaannya itu...
Ussy mengernyit ragu, "...yakin? Aku di sini, say. Kamu bisa
cerita apa saja. Sejak dulu kita selalu berbagi susah dan
senang. Kamu percaya kan sama aku?"
"Beneran, aku nggak apa - apa." Anissa tersenyum manis,
senyuman yang telah merontokkan hati banyak pria di kampus
yang hanya bisa menikmati dari jauh. Siapapun tahu Anissa
telah menyerahkan hatinya pada Dodit sehingga sebagian
besar dari mereka sudah mundur teratur. Mereka yang
mundur biasanya mengalihkan sasaran dengan mengejar
Ussy, sahabat Anis. Ussy sendiri memang tidak kalah cantik
dari Anis, bahkan ia lebih tinggi dan beberapa kali menjadi
model iklan walaupun skalanya lokal. Namun hingga saat ini,
Ussy lebih memilih untuk sendiri, ia belum ingin berpacaran
dengan siapapun. Dibandingkan Anis yang introvert, Ussy lebih
terbuka dan banyak bicara, namun demikian ia tidak ingin
memilih tambatan hati sampai nanti selesai kuliah.
Saat itu Anis dan Ussy sedang duduk di kursi taman yang ada
di samping kantin kampus X yang asri. Keduanya tengah
menikmati milkshake yang baru saja mereka beli. Ussy tentu
saja sadar kalau sahabatnya tidak menaruh perhatian pada
minuman yang terhidang di hadapan mereka. Sejak pulang
dari berlibur ke rumah kakaknya beberapa bulan yang lalu,
ada yang berbeda dengan Anis. Ia jadi pendiam dan terlihat
selalu gelisah. Apa yang telah terjadi pada sahabatnya ini?
"Say... aku ini sahabatmu. Kita kenal sejak SMP. Aku tahu
kamu luar dalam, dari A sampai Z, dari ujung rambut ke ujung
jempol kaki. Aku tahu dimana letak semua tahi lalatmu, aku
tahu dimana kamu menyimpan foto idolamu, aku tahu berapa
uang yang ada di dompetmu. Singkatnya, aku tahu kalau ada
yang salah sama kamu." Ussy menepuk lutut Anis. "Berjanjilah
padaku kalau ada apa - apa kamu bakal cerita sama aku?"
Anissa tersenyum, "janji."
"Halo gadis - gadis cantik... apa kabar kalian hari ini?" satu
suara serak tiba - tiba datang menghampiri. Ussy dan Anissa
mengerlingkan mata dengan sebal, mereka tahu pasti siapa
pria pemilik suara yang lantang dan tidak enak didengar itu.
"Aku kira Non Anis yang cantik jelita bagai bidadari khayangan
turun ke bumi sudah tidak lagi menginjakkan kakinya yang
jenjang panjang indah dan menawan ke kampus? Sungguh
bagaikan sebuah kejutan yang menyejukkan hati di hari yang
gersang." Pria yang baru datang itu langsung duduk di
samping Anis sambil mengucapkan kata - kata yang ia pikir
sangat romantis dan puitis padahal amat gombal. Ussy dan
Anis malah berpegangan tangan erat dan berusaha sekuat
tenaga menahan tawa. "Bagaimana kabar kalian, wahai kaum
wanita jelita idaman semua pria? Aku begitu rindu pada
kehadiran kalian berdua di kampus, kehadiran kalian ibarat
tetesan air hujan yang bening yang turun menyegarkan hari."
Tubuh Ussy gemetaran menahan tawa dan matanya berkaca
- kaca. Melihat temannya sudah tak mampu lagi menahan
cekikikan, Anissa dengan sangat terpaksa meladeni kicauan
tak enak agar pemuda bersuara parau tidak marah karena
mereka tertawakan. "Kabar kami baik. Kabarmu bagaimana,
Din?"
Udin meringis lebar mendengar Anissa membalas sapaannya.
Ia tak mempedulikan wajah Ussy yang sudah merah menahan
tawa.
"Kamu semester ini selesai kan, Nis?" tanya Udin lagi.
"Iya, seharusnya sudah selesai. Tinggal menyusun skripsi dan
ambil satu mata kuliah buat perbaikan nilai." Jawab Anis
sambil menganggukkan kepala, ketika ia melirik ke sebelah
rupanya Ussy lebih memilih tenggelam menyusuri dunia maya
melalui telepon genggam daripada melayani obrolan Udin.
Dasar curang, batin Anissa sambil tertawa dalam hati ketika
melihat kedipan mata Ussy.
"Tidak kusangka nona sepintar Anissa ini juga harus
mengulang kuliah?" Udin mulai gombal lagi, "mata kuliah apa
yang kau ulang, wahai Anissa yang mempesona?"
"Aku ambil ulang kuliah manajemennya Pak Doni, dulu di
semester - semester awal aku banyak bolosnya."
"Pak Doni yang mana? Di kampus ini kan ada dua Pak
Doninya. Pak Doni yang orangnya kurus rambutnya beruban
atau Pak Doni yang gemuk item?"
"Pak Doni yang gemuk dong, memang Pak Doni yang kurus
mengajar mata kuliah X? Nggak kan?" senyum Anis.
Wajahnya yang manis membuat Udin makin berdebar,
seandainya saja si molek ini belum memiliki tunangan, hanya
seandainya saja, betapa bahagianya dia...
Sesosok tubuh gemuk milik Pak Doni yang baru saja mereka
bicarakan terlihat meninggalkan mobil dari tempat parkir dan
melangkah menuju kelas. Anis yang melihat kedatangan Pak
Doni segera mengemas bawaannya. "Eh, aku duluan ya, itu
Pak Doni udah datang." Ucap Anis yang langsung disambut
guratan wajah kecewa Udin.
"Ok, say." Angguk Ussy, "Ingat yang tadi ya, kalau ada apa -
apa cerita sama aku."
Anis terdiam, seperti hendak menjawabnya dengan sebuah
kalimat yang panjang, tapi dia kemudian hanya menunduk dan
mengangguk tanpa mengeluarkan kata - kata tambahan.
Sedetik kemudian ia berlalu pergi menuju kelas. Ussy hanya
bisa memandang sahabatnya yang melangkah meninggalkan
mereka tanpa berucap, ia bersumpah bisa melihat setitik air
mata di ujung pelupuk mata Anissa. Ayolah Anis, apa yang
telah terjadi? Kenapa kamu jadi seperti ini?
"Cerita apa memangnya?" Udin bertanya sambil menggaruk -
garuk kepala. "aku juga mau dong diceritain."
Ussy menggerutu, uh. Kok jadi dia berduaan sama Udin
begini? "Kapan - kapan ya, din. Eh, aku cabut dulu ya. Mau
ketemuan sama dosen juga."
"Dosen siapa?"
"Siapa aja yang mau ditemuin." Cibir Ussy.
Udin kembali menggaruk kepala.
###
Lidah Anissa terasa kelu saat Pak Doni duduk di meja kerja
dan memeriksa pekerjaan yang dikumpulkannya. Sebagai
dosen yang dianggap sudah senior, Pak Doni memiliki
ruangannya sendiri di kampus, dia sering duduk berjam - jam
di tempat ini dan memberikan bimbingan pada para
mahasiswanya mengenai skripsi atau keperluan lain. Ruangan
Pak Doni terletak di lantai empat gedung perkuliahan kampus
X, sore ini hanya dialah satu - satunya dosen yang masih
memberikan bimbingan untuk mahasiswanya dan dari antrian
bimbingan, Anissa adalah yang terakhir.
Ketika langit mulai gelap, barulah Anis bisa masuk.
"Silahkan duduk."
"Terima kasih, Pak."
Dengan sopan Anissa duduk di kursi yang terletak tepat di
depan meja kerja Pak Doni. Keringatnya menetes deras,
tubuhnya bergetar dan ia tidak nyaman duduk di kursi.
Pikirannya melayang sementara pandangan matanya mulai
kabur. Anissa berusaha keras untuk bisa fokus.
"Saya sebenarnya heran kenapa kamu mau mengulang di
kelas saya. Nilai kamu lebih dari cukup untuk mendapatkan
IPK yang di atas rata - rata. Bahkan cukup tinggi
dibandingkan kawan - kawanmu. Tanpa nilai dari sayapun,
kamu sudah bisa lulus dengan memuaskan seandainya ujian
skripsimu sukses." Pak Doni tersenyum puas melihat hasil
kerja Anissa, "ini bisa dibuktikan dari revisi laporan kerja
praktek yang baru saja kamu kumpulkan, walaupun bukan
hasil yang terbaik, ini sudah lebih dari cukup."
"Mungkin saya termasuk tipe perfeksionis, Pak. Saya ingin
yang terbaik."
"Begitu ya...."
"Karena Pak Doni juga dosen pembimbing PKL saya, maka
saya pikir lebih baik saya mengulang mata kuliah terakhir ini
di kelas Pak Doni. Lagipula, kalau saya mengulang di kelas
Pak Untung, saya takut tidak bisa mendapatkan nilai yang
saya inginkan. Pak Untung membenci saya, Pak." Keluh
Anissa sembari menundukkan kepala.
Anissa memang tidak bohong, dulu gadis itu pernah secara
tidak sengaja bertemu dosennya yang bernama Untung itu
sedang bermesraan dengan seorang wanita muda yang bukan
istrinya di salah satu pusat perbelanjaan. Sejak saat itu Pak
Untung membencinya, kebencian Pak Untung terhadap Anissa
juga sudah diketahui dosen sejawat termasuk Pak Doni
sehingga sudah jadi rahasia umum. Anissa melanjutkan
keluhannya, "beliau pernah bilang kalau saya ini mahasiswi
yang sok tahu dan senang berdandan menor. Beliau juga
bilang... kalau saya norak dan..."
"Aku tidak bisa mengerti kenapa dia mengatakan itu,
dandanan kamu natural. Kamu sangat cantik dan mempesona,
seksi dan..." kata yang keluar dari mulut dosen setengah baya
itu bagaikan terbang menyesaki isi ruangan, membuat kedua
insan yang berada di dalamnya terhenyak kaget saat
menyadari apa yang baru saja terucap.
Mata Pak Doni terbelalak lebar menyadari kesalahucapannya,
dia berusaha memperbaikinya dengan gugup, "ma... maksud
saya, kamu menarik dan pintar dan..."
"Menurut saya bapak juga... gagah dan tampan."
Kata manis yang keluar dari mulut Anis itu bagaikan petir
yang segera menyambar sang dosen, wajah Anissa pun
menjadi merah ketika ia sadar kata - katanya membuat Pak
Doni salah tingkah, kalau dibilang gagah tubuh besar Pak Doni
memang masih cukup gagah, namun kalau tampan?
Sepertinya itu jauh dari khayalan. Polah tingkah Pak Doni
mendadak menjadi aneh, dia bangkit dari kursinya, melangkah
dengan ragu menuju ke arah pintu, wajahnya menunduk
seperti memikirkan sesuatu dengan sangat serius.
Dosen setengah baya itu membuka mulut tanpa mengeluarkan
suara, melihat ke bawah, menyunggingkan senyum malu dan
memastikan pintu benar - benar sudah tertutup, gerakannya
seperti ragu - ragu dan penuh dilema. Ia bersandar di pintu
dan memasukkan tangannya ke kantong celana. Ia menatap
Anissa lekat - lekat.
"Anissa, apa kamu tidak sadar? Kata - katamu yang manis
tadi membuat dosen tua seperti aku ini merasa muda
kembali. Jangan buat aku canggung." Senyum mengembang
di bibir Pak Doni. "Jangan kau ulangi lagi, ya..."
Anissa menggeleng, keringatnya terus mengalir, ia berusaha
keras untuk tidak menunjukkan perasaan ini, mencoba
bertahan dari gejolak yang terus menggerogoti dan merangsek
menghancurkan ketabahannya... tapi... perasaan ini muncul
tanpa bisa ia kendalikan, begitu berdentum, mengeras dan
makin mendaki, Anis tak tahan lagi... dia ingin memeluk Pak
Doni, menciumnya, membiarkan tangan dosen tua itu
menyentuh paha dan dadanya, membiarkan pria setengah
baya itu memeluk dan menyetubuhinya... membuatnya
merasa... astaga!! Apa yang dia pikirkan?!! Anissa! Apa kamu
sudah gila?!!
Gejolak batin Anissa berperang dalam diri gadis muda itu.
Dia dosennya, dia dosennya, dia dosennya... berulang - ulang
kali kata - kata itu berusaha ditusukkan ke dalam sanubari
Anissa. Tapi... perasaan dalam hatinya ini tidak bisa ia tipu...
ia menginginkannya, Anis menginginkan Pak Doni. Ia ingin
bercinta dengan Pak Doni...! Saat ini juga!
Si cantik itu terkejut sendiri dengan perasaannya yang tiba -
tiba saja menjadi liar. Sedari tadi ia sudah berusaha
menahan, namun sepertinya ia tidak tahan lagi... perasaan ini
membuatnya ingin mati saja... Anissa mengutuk orang yang
telah dengan kejam membuat ia jadi haus seks seperti ini...
Tiba - tiba Anissa menyadari sesuatu.
Celaka! Hanya berdekatan begini saja sudah membuat
selangkangan si cantik itu mulai basah! Gadis itupun
menggigit bibir bawahnya. Bagaimana menghentikan perasaan
ini? Bagaimana meredamnya? Bagaimana membuat dirinya
sendiri sadar? Ia benci sekali perasaan yang muncul ini!
Benci!
"Anissa...?" panggil Pak Doni heran, suaranya terdengar parau
karena ia berulangkali meneguk ludah berusaha menghadang
pesona Anissa yang luar biasa menggoda. Batin Pak Doni
berperang... ini gawat sekali, kenapa ia tidak bisa mengalihkan
pandangan matanya sekejap saja? Mengapa ia tak bisa
melepaskan mata dari pesona Anissa? "...ke... kenapa kamu?
A..Apa kamu sakit? Ada yang bisa aku... bantu...?"
"Ma... maaf, Pak. Saya tidak bermaksud menyinggung Bapak...
maksud sa... saya..."
"Apa yang kamu katakan tadi sama sekali tidak menyinggung
aku sedikitpun." Kata Pak Doni lembut, ia berusaha bijak...
namun mata dosen tua itu langsung terbelalak kaget ketika
melihat tangan Anis mulai menyingkap rok yang ia kenakan
sedikit demi sedikit untuk memperlihatkan paha putih mulus
bagai pualam. Pak Doni sampai mundur karena takut dan
kaget.
"Anissa...? Apa yang kamu lakukan?" Pak Doni menjadi sangat
kebingungan oleh ulah mahasiswinya yang sangat seksi ini.
Apa yang harus dia lakukan? Kenapa Anissa malah mulai
menggodanya? "Apa yang ingin kamu..." suaranya tercekat
karena ia tak mampu menahan panasnya nafsu birahi
menggelegak memakan jiwanya.
"Tidak ada..." Dengan sengaja Anis mengangkat roknya hingga
terlihat semakin pendek. Gerakannya begitu jelas terlihat
sehingga Pak Doni bisa menduga hal itu disengaja, celana
dalam hitam yang kontras dengan kulit putih mulus sang dara
menjadi terlihat jelas oleh Pak Doni. Mata dosen setengah
baya itu kian terbelalak dengan lebar. Suara mendesah Anissa
kian parau, "...Bapak tidak suka?"
Pak Doni berhenti sejenak, kepalanya berputar keras
memikirkan sesuatu. Bagaimana ini? Apa yang harus
dilakukan? Apa yang harus diperbuat? Kenapa ini terjadi?
Dosen setengah baya itu mulai berpikir mempertimbangkan
logika. Ia mencoba menekan nafsunya sekuat tenaga.
Tapi... tapi sebenarnya ada yang aneh... ini baru
pertamakalinya dia menyaksikan Anissa bertingkah laku aneh
seperti ini, apakah mungkin...
"Kamu sengaja mengambil ulang mata kuliah yang aku
ajarkan... untuk menarik perhatianku... agar bisa merayuku?"
tanya Pak Doni yang terheran - heran, ia memandang ke arah
Anis dengan pandangan tajam yang tak bisa dielakkan oleh
gadis itu. Tidak mungkin wanita secantik Anissa yang bisa
dengan mudah mendapatkan pria manapun yang ia mau
mencoba merayu dosen tua seperti dirinya, pasti ada udang di
balik batu. Anis menggeleng kepala, mencoba fokus pada apa
yang ia kerjakan, mencoba menghindar sebisa mungkin dari
nasib buruk yang akan segera menimpa mereka berdua, tapi
itu sangat tidak mungkin. Ada pertentangan di batin Anissa,
antara apa yang dia inginkan berbeda dengan apa dibutuhkan
tubuhnya. Anis tahu ia tidak bisa menghindar. Seorang dosen
dan mahasiswi... berdua saja... ini akan jadi skandal di
kampus, reputasi keduanya jadi taruhan... tapi... ia benar -
benar tidak tahan lagi... ia ingin segera... melakukannya...
Anis menghunjukkan dadanya ke depan, berharap sang dosen
juga melihat keindahan payudaranya. "Apa yang saya lakukan
salah, Pak?" tanya Anis dengan suara yang dibuat - buat. Dia
bukan perayu ulung, tapi... ada sesuatu yang mempengaruhi
alam bawah sadarnya yang membuat Anis ingin mengucapkan
kata - kata itu dengan mesra. Ketika melihat ke
selangkangan Pak Doni, Anis bisa melihat gundukan kubah
yang membesar di bawah sana. Anissa menelan ludahnya.
Pak Doni yang menyadari pandangan Anissa tertumbuk pada
bagian bawah celananya yang membesar menjadi tersadar
dan malu, secara reflek dosen tua itu menutupinya. Wajah
Anissa menjadi memerah turut malu.
"Anissa, mengapa kau harus begitu mempesona?" suara itu
tipis bagaikan kabut, lembut hampir tak terdengar.
Kewibawaannya menghilang berganti dengan parau penuh
nafsu. Dosen hebat itu, yang berwibawa dan dihormati,
ternyata juga manusia biasa. Anissa menatap wajah sang
dosen yang penuh kerut dan sedikit menyeruak penyesalan
tak berdasar dalam batinnya, kenapa... kenapa harus Pak
Doni?
Pak Doni mengunci pintu dan Anis pun bangkit, degup
dadanya makin menghebat. Ia makin tegang menanti apa
yang akan datang.
Anissa bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, apakah
Pak Doni akan melakukannya? Apakah dia... akan...
menyetubuhinya di sini? Di ruang dosen ini? Ruangannya
cukup tertutup dan saat ini mereka hanya sendirian di lantai 4
gedung ini sehingga mungkin saja Pak Doni akan... atau... atau
jangan - jangan Pak Doni justru akan mengusirnya? Tidak
mungkin, pintunya baru saja dikunci. Atau akan
mempermalukannya karena telah merayu dosen sendiri? Masa
sih? Pikiran si cantik itu mengalir deras tanpa bisa dibendung,
dadanya berdentum karena detakan jantung yang menghebat.
Anissa sadar sepenuhnya melihat gundukan di selangkangan
Pak Doni makin membesar.
Tiba - tiba saja Pak Doni melangkah mendekati Anis, jemari
tua itu bergetar saat menyentuhnya. Dengan gemetar Pak
Doni menarik pundak Anis untuk mendekat hingga bibir
mereka hanya beberapa centimeter saja jaraknya. Pak Doni
menyentuhkan telunjuknya untuk menelusuri bibir merah
Anissa dan sensasinya membuat si cantik itu merinding. Tiba
- tiba saja Pak Doni mencengkeram pelan wajah Anis yang
mungil dan mendorong bibirnya untuk bisa mencium lembut si
cantik itu. Anissa mendesah pelan merasakan ciuman Pak
Doni, ia menempelkan tubuhnya pada sang dosen, menarik
dasi yang ia kenakan dan memintanya mencium lebih hangat
lagi.
Anis memang sudah tidak peduli lagi apa yang akan ia
lakukan. Ia bisa merasakan benda mengeras di selangkangan
Pak Doni bertumbukan dengan pahanya. Mata keduanya
terbuka dan Anissa mundur perlahan, tiba - tiba saja
menyadari sesuatu dan merasa malu, tapi kini justru Pak Doni
yang sudah bangkit nafsunya tidak bisa berhenti begitu saja,
ia menginginkan Anissa!
Pak Doni yang sudah hilang akal kembali mencium bibir
Anissa lagi, kali ini tidak lagi dengan kelembutan, ciumannya
keras, menuntut, menginginkan. Lidah pria setengah baya itu
maju menusuk bibir Anis, mencari pasangannya. Si cantik pun
melenguh mesra ketika lidahnya juga ingin segera bertemu,
saling merasakan manisnya bercinta. Tangan mungil Anissa
tanpa sadar bergerak naik untuk melepas kancing baju
pakaian yang dikenakan oleh sang dosen. Satu persatu
kancing lepas dengan mudah, Anissa tak perlu waktu lama
untuk meloloskan pakaian luar dan pakaian dalam yang
dikenakan oleh Pak Doni. Kulit yang mulai berkerut tidak
menjijikkan bagi Anis, ia merasakan gerakan otot yang
bergerak di bawah kulit itu. Saat masih muda Pak Doni pasti
gemar berolahraga karena dadanya masih menyisakan sedikit
keperkasaan masa lalu. Jemari lembut yang menari di atas
dada membuat Pak Doni gelagapan, ia memejamkan mata
karena keenakan.
Anissa mencium bibir Pak Doni sekali lagi dan mata pria
setengah baya itu mengejap terbuka ketika tangannya
diangkat oleh Anis dan diletakkan didadanya yang montok.
Anis memejamkan mata sekejap ketika merasakan pentil
susunya mengeras di bawah behanya. Si cantik itu mendesah
ketika Pak Doni mulai melucuti pakaiannya, sama seperti yang
ia lakukan pada sang dosen. Pria setengah baya itu berdecak
kagum, ia tengah menyaksikan tubuh terindah yang pernah ia
saksikan seumur hidup. Setiap centimeter lekuk tubuh Anissa
begitu sempurna. Pak Doni benar - benar terperangah
menyaksikan keseksian mahasiswinya ini. Kalau boleh jujur
dia pernah membayangkan seperti apa tubuh Anissa, tapi ini
tidak seperti bayangannya. Ini jauh lebih menggiurkan!
Ketika kesabarannya mulai menipis, Pak Doni menyingkirkan
baju Anis yang sudah ia copot untuk melepas kaitan beha di
punggung si cantik. Sembari mencopot, Pak Doni
menghembuskan nafasnya di belahan dadanya. Ini membuat
Anis merinding, terlebih lagi ketika dosen itu juga mencium
dan menjilati gunung kembarnya ketika behanya sudah
terlepas. Tak tahan melihat buah dada yang begitu montok,
Pak Doni mendekap erat Anis hingga dada mereka saling
menempel, kulit yang bergesekan bagaikan baja yang diasah,
menimbulkan percikan nafsu yang makin bergemuruh. Begitu
indahnya perasaan itu sehingga tidak bisa dituliskan dengan
kata - kata.
Pak Doni makin tak sabar, ia mengangkat tubuh Anis,
mendudukkannya di tepi meja, lalu secara beruntun
mengangkat rok yang dikenakan si cantik itu hingga sampai
ke pinggang, paha mulus bidadari itu menggugah semangat
Pak Doni, apalagi ketika pria setengah baya itu juga melihat
celana dalam hitam mungil yang dikenakan. Wajah Anissa
memerah karena malu, selain Pak Bejo yang dulu pernah
memperkosanya, Pak Doni adalah pria kedua yang bisa
mendapatkan akses ke selangkangannya. Padahal
tunangannya sendiri, Dodit, malah belum pernah sekalipun
menyentuhnya. Ketelanjangannya mulai menyergap relung
batin Anis, aneh sekali rasanya ia tampil tanpa busana di
hadapan seorang dosen yang biasa mengajarnya. Malu dan
aneh.
Seperti menyadari wajah Anis yang terus saja semburat
memerah, Pak Doni mendoyongkan badan ke depan dan
berbisik tepat di samping telinga si cantik itu. "Aku
menginginkanmu, cantik. Ijinkan aku memiliki tubuhmu..."
Tanpa perlawanan sedikitpun, Anis menutup mata dan
mengangguk. Ia membayangkannya seperti sebuah mimpi,
seperti bayangan dalam angan yang berselimutkan hawa
nafsu. Dengan senyum nakal si cantik itupun menurunkan
celana dalamnya. Melihat ini, Pak Doni buru - buru melepas
celana dan boxernya, dia membiarkannya jatuh ke pangkal
kaki, Pak Donipun kini telah telanjang menyusul Anis. Pria
setengah baya itu mendekati Anis dengan batang kemaluan
yang mengeras tegak seperti pancang yang berdenyut dan
tebal.
Ketika membuka mata Anissa terbelalak melihat benda itu
telah menegak di hadapannya. Ukurannya yang jauh lebih
besar dari milik Pak Bejo juga membuatnya kaget. Anissa
menggigil, dia takut... takut sekali... tapi... di tengah rasa
takutnya ada... ada perasaan ingin... ingin merasakan benda
itu masuk dan menghunjam di dalam liang kewanitaannya.
Perasaan menggebu yang membuat jantungnya serasa ingin
terlepas.
Pak Doni menatap mahasiswinya yang molek bagai bidadari
itu lekat - lekat. Mereka pernah saling bertatapan saat
berada di dalam kelas, tapi tidak seperti ini. Anissa membuka
lebar kakinya yang jenjang supaya Pak Doni bisa menyeruak
masuk. Tanpa aba - aba, pria setengah baya itu menggiring
pancang kemaluannya tepat di mulut liang kewanitaan Anis. Ia
mulai menggerakkan batang itu naik turun di bibir kemaluan
si cantik, merasakan cairan pelumas yang keluar dari mulut
kemaluan dan membuat mahasiswinya itu menyentak -
nyentak penuh nikmat. Anissa makin terangsang, itu tidak
bisa dipungkiri, terlebih ketika pancang kemaluan Pak Doni
menggesek perlahan klitorisnya yang menegang. Anissa
mendesah panjang. Merasa tepat sasaran, Pak Doni
mengulanginya lagi dan lagi dan lagi dan lagi... tiap kali ujung
gundul pancang kemaluan Pak Doni menggesek klitoris Anis,
gadis cantik itu melenguh keenakan. Ia benar - benar tak
berdaya.
Namun saat Anis sudah menanti benda keras itu masuk ke
dalam liang kewanitaannya, Pak Doni malah menarik
tubuhnya, membuat si cantik itu terheran - heran. Mereka
bertatapan lagi, kali ini wajah Anis yang sudah penuh nafsu
tidak bisa disembunyikan lagi, dia ingin Pak Doni segera
melakukannya! Cepat Pak... cepat... setubuhi aku! Batin Anis
yang sudah mulai tak sabar.
Pak Doni rupanya memang ingin bermain sebentar, ia justru
menyodokan jemarinya masuk ke dalam liang vagina Anis
secara tiba - tiba. Karena tak siap, Anissa pun menjerit
tertahan!
Jemari Pak Doni bergerak cepat menyodok - nyodok di dalam
liang kewanitaan Anis, membuat cairan cintanya kian
membanjir di atas meja. Dengan wajah yang penuh nafsu Pak
Doni menarik jemarinya, mengangkatnya dan menjilati cairan
cinta yang ada di telunjuknya dengan penuh kenikmatan.
Melihat apa yang dilakukan Pak Doni membuat wajah Anis
kembali memerah, ia sama sekali tidak menyangka dosennya
yang tenang dan berwibawa itu ternyata begitu liar saat
bermain cinta. Ini membuat Anissa merasa sangat malu.
Sekali lagi Pak Doni mendorong tubuhnya ke depan untuk
berbisik langsung di telinga Anissa, begitu dekatnya bibir itu
sehingga saat terbuka, ia bersentuhan dengan telinga si
cantik. "cairan cintamu manis sekali rasanya..."
Sekali lagi Pak Doni mengambil posisi seperti semula, tiang
penisnya berada di depan mulut vagina Anissa yang telah
menanti. Anis melirik ke mata sang dosen dan Pak Doni
memberikan senyuman selintas. Anis mendengus dan menjilat
bibir dengan gerakan manja. Gila! Apa yang ia lakukan? Batin
Anis tanpa sadar, apa yang telah ia lakukan? Sekali lagi si
cantik itu mendesah penuh penantian, betapa ia menginginkan
batang kemaluan Pak Doni segera masuk ke dalam liang
cintanya dan mengakhiri penderitaan yang nikmat ini.
Pak Doni ternyata juga sudah tidak tahan, dengan gerakan
pelan tapi pasti dia menyodokkan penisnya masuk ke dalam
vagina Anis. Bidadari jelita itu melenguh dalam lautan
kenikmatan, penis itu begitu besar dan penuh dalam liang
kewanitaannya yang mulai membanjir. Tekanan yang datang
dari pinggul Pak Doni mengeraskan batang kemaluan sang
dosen dan itu membuat Anissa makin tak tertahankan. Hawa
nafsu binatang memenuhi relung batin sang bidadari, dia
hanya ingin disetubuhi, terus menerus, keras dan lebih keras
lagi, ia sendiri tak tahu bagaimana perasaan ini bisa datang.
Namun ketika dahaga nafsu itu datang, Anis harus
menenggak kenikmatan kalau tak ingin kehausan!
Si cantik melakukan hal yang tak disangka - sangka lagi, ia
menarik pantat Pak Doni dan menghantamkan kemaluannya
ke dalam berulang - ulang dengan sangat keras seakan ingin
meremukkan selangkangannya sendiri. Mata Pak Doni
terbelalak dan pria setengah baya itu melenguh sangat keras
karena kenikmatan yang tak terperi. Begitu juga dengan
Anissa, rasa nikmat tak terbayangkan itu membuatnya
menjerit tak tertahan, ia harus menutup mulutnya sendiri
supaya teriakan itu tak terdengar dari manapun.
Dosen setengah baya itu hanya diam saja untuk sesaat,
membiarkan Anis terbiasa dengan ukuran penisnya yang terus
menerus membuat bidadari mungil itu melenguh antara sakit
dan nikmat, ketika Anis sudah mulai enak, Pak Doni kembali
mendorong kemaluannya dengan kecepatan yang makin
mendaki, Anis menarik kepala Pak Doni dan membisikkan kata
- kata yang ia sendiri kaget bisa ia ucapkan pada lelaki yang
bukan Dodit.
"Aku mohon... aku mohon... le... lebih cepat... lebih cepat
lagi..."
Pak Doni yang sempat terkejut mendengar bisikan itu berhenti
bergerak dan menatap ke arah Anis, ia menggigit bibir
bawahnya ketika menyaksikan kemolekan wanita yang kini
sedang ia tiduri. Matanya tak berhenti mengamati, rambut
panjang yang halus dan indah, wajah cantik dengan mata
bulat yang menyipit karena keenakan, alis tajam bagai burung
elang, hidung indah bagai ukiran, bibir mungil yang nikmat
dikulum, kulit putih mulus sehalus pualam, buah dada montok
yang kenyal, memek yang sempit dan menekan, paha halus
mulus, kaki panjang jenjang. Semuanya luar biasa. Pak Doni
tengah berada di surga. Pria setengah baya itu bisa
merasakan kemaluannya berdenyut di dalam vagina si cantik,
seakan menanti. Pak Doni menarik penisnya keluar sedikit...
sedikit saja... lalu...
Jleb! Jleb! Jleb! Tiba - tiba, dengan gerakan yang tak bisa
diduga pria setengah baya itu mulai bergerak dengan sangat
cepat! Meja tempat mereka bercinta ikut bergoyang dengan
kerasnya, menimbulkan bunyi yang tak bisa ditahan. Anissa
berkeringat deras, nafas mereka beradu. Dengusan Pak Doni
makin keras terdengar, menghembus dengan sangat terasa di
buah dada Anis yang telah bermandikan keringat. Anis yang
kehabisan nafas mendorong dosennya supaya menjauh dan
membagi udara untuk sesaat. Pak Doni melihat ke bawah
keheranan ketika Anis tiba - tiba saja memegang lengannya
untuk memutar.
Anis menarik lengan Pak Doni, memutar tubuh mereka, lalu
menghempaskan keduanya ke atas meja, tangan pria
setengah baya itu bergerak cepat untuk menyingkirkan apa
saja yang ada di atas meja yang tadi belum sempat
dibersihkan. Anis mengangkat kemaluannya di atas Pak Doni
untuk beberapa saat lamanya, menggoda pria tua yang
kembali menjadi tidak sabar itu. Si cantik itu menurunkan
tubuhnya dan mulai mengendarai penis yang tegak seperti
tugu. Mereka berdua kembali bergerak maju mundur, sama -
sama memejamkan mata dan menikmati kerja selangkangan
mereka yang memberikan kenikmatan hingga ke ujung ubun -
ubun. Lenguhan terdengar dari bibir keduanya, lenguhan itu
tak lama karena Pak Doni dan Anis seakan tak bisa
memisahkan mulut mereka, sebentar saja berpisah, keduanya
langsung berpagutan, saling mencium dan menjilat. Anissa
merem melek, merasakan gerakan benda panjang dan keras di
dalam tubuhnya membuat si cantik itu tak tahan lagi, apalagi
ketika tangan Pak Doni mulai meraih pinggang Anis dan ia
menarik pantat Anis ke bawah supaya penisnya bisa masuk
makin dalam.
Anissa melenguh dan terengah, keringat sebesar jagung
menetes menuruni kening, turun hingga ke buah dadanya yang
melonjak - lonjak. Anissa melemparkan kepalanya ke
belakang ketika Pak Doni menyentuh klitorisnya dengan satu
tangan sementara tangan yang lain meremas - remas buah
dadanya. Berulangkali si cantik itu mengeluarkan lenguhan
keenakan yang membuat Pak Doni makin mempercepat
kocokannya pada klitoris Anissa. Tak perlu waktu lama untuk
membuat vagina Anis banjir cairan cinta. Terus menerus
didera kenikmatan, Anis memejamkan mata karena ia
merasakan dirinya mulai mendaki ke arah puncak, si cantik itu
memeluk Pak Doni erat dan merasakan dinding vaginanya
meremas penis yang masih terus bergerak maju mundur.
Rasa nikmat itu juga dirasakan sang dosen yang meneriakkan
kenikmatan, "...ouuughhh Anisssaaa!!" suaranya yang biasanya
berwibawa kini penuh dengan nuansa nafsu binatang, Pak
Doni tak tahan lagi dan dalam beberapa kali sentakan dosen
setengah baya itu akhirnya mengeluarkan cairan cintanya di
mulut vagina Anis tanpa halangan, sebagian masuk ke dalam.
Cairan cinta meleleh dari mulut kemaluan Anis, ke atas meja
tempat mereka bersenggama melalui pahanya yang mulus
seputih pualam.
Setelah beberapa saat saling menarik nafas, Anis menarik
tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Pak Doni dan
merasakan penis dosennya itu mulai mengecil sebelum
akhirnya ditarik keluar.
Suasana menjadi tenang, tanpa desahan, tanpa lenguhan,
tanpa teriakan.
Anissa mengejapkan mata seakan tidak percaya apa yang
telah dia lakukan. Dia sedang berada di ruang dosen,
terbaring di atas meja. Dingin kayu yang menyentak
membuatnya sadar dan ingin bangkit, namun tangan besar
yang lembut memeluk tubuhnya dan melindunginya dari
dingin. Anis mengejap sekali lagi, melihat sepasang mata yang
menatapnya dan tubuhnya pun luruh lemas. Senyum lembut
sang dosen membuat Anis tak tega untuk berontak, ia
paksakan dirinya untuk tersenyum sementara dentum
dadanya perlahan mulai kembali normal, dada mereka saling
menumpuk. Pak Doni menurunkan kepala untuk kembali
mengecup bibir mungil Anis dan mereka berciuman dengan
lembut selama beberapa detik, saling menimpa dan melumat.
Pak Doni merasa sangat beruntung ia masih bisa menikmati
gadis secantik Anis di usianya yang sekarang. Ia berulangkali
menggelengkan kepala merasa sangat beruntung.
"Aku tidak pernah menyangka aku akan tidur dengan
mahasiswiku sendiri." Kata Pak Doni yang masih sedikit
terengah. Ketika ia melirik ke samping, si cantik itu masih
memeluk tubuhnya sendiri yang tanpa busana, "Nis...?"
"Ya?" lirih jawaban Anis, seperti merintih. Memang
kemaluannya masih terasa perih.
"Kamu benar - benar luar biasa. Luar biasa... aku belum
pernah... maksudku... tubuhmu... kamu... ah, aku kehabisan
kata - kata, sayang..."
Mereka berbaring beberapa saat lamanya tanpa kata, tanpa
melanjutkan percakapan. Hanya saling menggugat impian dan
bayangan apa yang telah dan akan mereka lakukan
selanjutnya.
Anis menjadi yang pertama membuka suara.
"Pak Doni... saya ingin Bapak tahu, kalau... jujur... saya bukan
wanita nakal, saya bukan wanita penggoda dan saya... saya
tidak pernah menggoda suami wanita lain. Saya... saya belum
pernah melakukan ini sebelumnya... apalagi dengan... dengan
seorang dosen yang saya hormati. Saya minta maaf..."
gelimang air mata menyeruak di ujung tipis kelopak mata
indah Anissa. "saya minta maaf telah membuat Pak Doni
melupakan ibu... dan..."
Pak Doni mengangkat telunjuk tangannya ke bibir Anissa dan
menggelengkan kepalanya, menatap si cantik itu lekat dan
berbisik perlahan. "aku tahu kamu bukan gadis semacam itu,
kamu spesial, cantik."
Pak Doni mencium kening Anissa dan tersenyum, ia menarik
lembut kepala Anis ke dadanya. Anis memejamkan mata
dengan penuh penyesalan, dia merasa sangat bodoh sekali,
dia tidak sanggup menahan air mata yang sudah siap
meledak. Seandainya... seandainya saja Pak Doni tahu...
Keheningan menyelimuti kamar yang kini tenang, lampu pun
diredupkan.
###
Dengan langkah yang tertatih karena selangkangannya masih
perih usai ditiduri Pak Doni, Anissa menyusuri lorong kampus
yang telah gelap. Hanya satu dua orang masih ada di lantai
bawah, tapi mereka sibuk dengan kegiatan masing - masing
tanpa mempedulikan si cantik yang melewati mereka. Mereka
juga tak menyadari air mata belum lagi kering menetes di pipi
Anis.
Langkah kakinya terhenti ketika ia sampai di halaman parkir,
sebuah mobil kijang berwarna merah tua berhenti tepat
didepannya. Kaca mobil turun dan memperlihatkan wajah
seorang pria tua gemuk yang langsung menyapa Anis. "Halo,
apa kabar?"
Kepala si cantik yang sedari tadi menunduk menengadah
untuk melihat siapa yang ada di balik kemudi, benar saja...
orang yang paling ia benci, Pak Bejo Suharso! Pandangan
mata mereka saling beradu.
"Sukses?" tanya Pak Bejo sambil memamerkan senyumnya
yang menjijikkan.
Anis menatap preman tua itu dengan pandangan benci, si
cantik itu meludah ke tanah. Pak Bejo hanya tertawa
melihatnya, ia menelengkan kepala sekali untuk meminta Anis
masuk ke mobil. Dalam situasi normal, Anissa tidak akan sudi
masuk ke mobil Pak Bejo. Dibayar berapapun, dengan imbalan
apapun, matipun ia tidak akan mau. Tapi ini bukan situasi
normal, Anissa membuka pintu mobil dan duduk di samping
Pak Bejo.
Pak Bejo tersenyum puas. Ia menginjak gas dan mobil itupun
melaju.
###
Pak Doni bangkit dari duduknya, ia mengerang, sudah berapa
jam ia ada di ruangannya? Ia merasa aneh, seperti hilang
ingatan. Ia baru saja bercinta dengan Anissa, salah satu
mahasiswi terbaik dan tercantik di kampus.
Ia... Ia baru saja mengkhianati janji pernikahannya.
Pak Doni menepuk wajahnya berulang - ulang kali, ia tidak
bisa percaya pada dirinya sendiri, kenapa ia tergiur pada
kemolekan Anis? Kenapa harus terjadi?
"Apa yang sudah terjadi jangan disesali."
Pak Doni hampir melompat karena terkejut. Suara siapa itu?
Ternyata wajah yang sangat dikenalinya! Orang itu duduk di
kursi yang ada di sudut ruangan, sejak kapan ia ada di sana?
Kenapa ia sampai tidak menyadarinya?
"Kamu?! Apa yang kamu lakukan di sini?" Pak Doni bangkit
dari duduknya dan mulai mengeluarkan suara bernada tinggi.
"Keluar dari ruanganku!"
"Enak tidak ngewe Neng Anissa?" kata orang itu tanpa
ekspresi, "pasti memeknya masih sempit ya? Permainan
kalian cukup hot, cukup lama juga."
Wajah Pak Doni langsung pucat pasi. "A... apa yang kamu
maksud?"
"Pura - pura bodoh rupanya. Tidak apa - apa, akan coba
saya jelaskan. Suara teriakan Neng Anissa menggema hingga
ujung ruangan, mana mungkin saya tidak dengar. Pintu bapak
sudah dikunci rapat, ruangan ini juga tertutup, tapi jangan
lupa masih ada jendela angin di atas. Tinggal naik di atas
kursi saya sudah bisa menonton adegan porno paling hot sore
ini. Karena cukup hot itulah saya rekam kejadiannya di
telepon genggam saya."
Tubuh Pak Doni langsung lemas, tulangnya seperti lolos dari
tubuh.
"Ketika keluar tadi Neng Anissa lupa menutup pintu, jadi saya
bisa masuk. Herannya Pak Doni baru sadar sekarang saya
masuk. Saya sudah cukup lama menunggu di kursi ini."
"Apa maumu?" lemas suara sang dosen.
Orang itu hanya tersenyum, ia malah berdiri dan melangkah
keluar. Sambil menutup pintu, ia memalingkan kepala dan
berkata pelan, "Saya sudah dapat apa yang saya butuhkan.
Pertunjukan luar biasa dari seorang dosen dan mahasiswi
yang sama - sama menjadi idola di kampus ini. Saya salut,
Pak. Sayang saya tidak bisa bicara sekarang, saya ada
pekerjaan yang harus diselesaikan. Kita bicarakan lagi ini
semua di lain hari."
Orang itu melangkah keluar sambil bersiul.
Pak Doni hanya bisa terdiam mematung.
Apa ini?
Apa yang telah terjadi?
###
Ruangan tempatnya berada menjadi terasa gelap di bawah
lampu yang redup dan hanya menyala dengan kekuatan 5
watt, namun wajah cantik Anissa seperti memiliki aura yang
menyala dan sangat enak dinikmati. Sayang wajah itu kini
muram dan sedih, mulutnya membungkam seribu bahasa.
Anehnya, bagi beberapa orang, justru wajah seorang wanita
yang takluk seperti ini yang indah dipandang.
Setidaknya itu yang dirasakan Pak Bejo yang sedang
menikmati rokoknya. Dia duduk di sebuah kursi di samping
meja kecil sementara Anissa berada di hadapannya, duduk di
tepian pembaringan. Mereka belum bercinta hari ini dan Anis
berharap pria tua itu sedang lelah sehingga dia tidak
memperkosanya.
Ruangan tempat keduanya berada hanyalah sebuah kamar
kecil di losmen kelas Melati yang menjadi tempat Pak Bejo
biasa meniduri Anis, sebuah losmen milik teman Pak Bejo
yang bernama Kobar. Pak Bejo dan Kobar kawan akrab
sehingga ia tidak perlu membayar sepeserpun untuk menginap
di tempat ini. Sejak diperkosa Pak Bejo, Anis memang tak bisa
lepas dari cengkraman pria bejat itu. Termasuk ketika ia
meninggalkan rumah Mas Hendra dan pulang ke rumah
orangtuanya, Anis tetap berada di bawah pantauan Pak Bejo
yang terus menerus mengikuti setiap jejaknya. Kemanapun
Anis pergi, Pak Bejo akan membuntuti.
Anissa begitu takut Pak Bejo akan menyebarkan semua
gambar dan video rekaman ketika mereka bersetubuh
sehingga ia menuruti semua permintaan dan perintah orang
tua cabul itu, sepahit apapun permintaannya. Anissa tunduk
pada semua perintah Pak Bejo termasuk perintah untuk
datang setiap hari ke losmen ini setelah pulang kuliah.
Untungnya Dodit akhir - akhir ini juga sering sibuk sehingga
tidak mencurigai kepergian Anis yang berkelanjutan setiap
pulang dari kampus.
Adalah Pak Bejo yang memaksa Anis merayu Pak Doni.
Pak Bejo sadar betul kalau tidak ada satu orang pun di dunia
ini yang mampu menolak kemolekan Anis, terlebih seorang
dosen setengah baya yang mungkin sudah tidak lagi dilayani
oleh istrinya. Kecantikan Anissa tepat sekali untuk merayu
Pak Doni yang tengah mengalami puber kedua dan membuat
pria tua itu jatuh ke dalam perangkap yang telah ia dan
teman - temannya persiapkan. Anissa tentu saja terpaksa
melakukannya.
Lelehan air mata yang menetes di pipi Anissa seakan tak
mampu meluruhkan rasa bersalahnya yang berdentam
menghajar relung batin terdalam. Banjir air mata itu tak
mampu membersihkannya dari perasaan kotor yang menempel
lekat dan tak bisa lepas, membuatnya merasa jijik pada diri
sendiri setiap saat. Anis malu, malu sekali, sangat malu, ia
bahkan malu saat berkaca dan melihat dirinya dalam cermin,
wajahnya seperti berlumuran dosa. Betapa hinanya dia,
betapa menjijikkan dan rendahnya dia! Bukankah apa yang
telah ia lakukan membuktikan kalau dia tak lebih rendah dari
seorang pelacur?! Mengapa dia menuruti saja semua perintah
Pak Bejo? Mengapa dia justru terlihat seperti menikmati peran
yang rendah dan hina ini? Ketika Anissa memejamkan mata,
air mata itu tak berhenti menetes di pipi.
Pak Bejo yang menyaksikan air mata deras mengaliri pipi
mulus gadis yang mirip jelmaan bidadari jelita itu malah
tertawa terbahak - bahak. "Kenapa kamu menangis? Aku
justru telah memberimu kenikmatan, bukan penderitaan."
"Biadab! Bejat!" hardik Anis penuh kemarahan. Dia marah dan
takut pada saat yang bersamaan. "Aku melakukan ini semua
karena terpaksa!!! Pak Bejo meminumkan obat perangsang
itu!! Tega sekali Pak Bejo melakukan ini kepadaku! Aku salah
apa, Pak? Kenapa Bapak tega? Kenapa memaksaku?!!"
Pak Bejo memberikan senyuman menghina, "terpaksa
katamu? Terpaksa kok bisa sampai orgasme... lelehan air
cintamu membuktikan kalau apa yang telah kamu perbuat
dengan dosen sendiri bukanlah paksaan. Akui saja kalau kamu
juga menikmati. Kamera hape yang dipakai untuk merekam
kejadian di ruang Pak Doni bekerja sempurna hingga aku bisa
mengetahui detail sekecil apapun."
Anissa naik pitam. "Aku terpaksa!! Aku di bawah pengaruh
obat perangsang!!"
Pak Bejo mengangkat bahu, "memangnya aku peduli? Yang
penting apa yang aku perintahkan kepadamu sudah berjalan
dengan sempurna. Kerja yang bagus, sayang. Aku akan
menghapus satu foto vulgarmu dari telepon genggamku."
"Satu??" mata Anis terbelalak, "hanya satu saja? Tapi Bapak
sudah janji...!!!"
"Kamu pikir aku akan menghapus semua fotomu yang ada
padaku? Jangan mimpi di siang bolong, anak manis." Pak
Bejo tertawa, "Semua akan aku hapus asal kamu menuruti
semua yang aku minta. Aku punya pengharapan besar dengan
memanfaatkan tubuhmu yang indah itu... apa yang aku
inginkan bisa menjadi kenyataan."
Mata Anissa terbelalak karena marah. Dia telah ditipu!
Bajingan tua ini memanfaatkan situasinya untuk memerasnya
habis - habisan. Luar dalam. Tidak saja ia dipaksa untuk
merayu seorang dosen yang baik, ia juga berniat untuk
memerasnya! Laki - laki hina macam apa Pak Bejo ini?
"Kurang ajar... Pak Bejo pikir saya ini siapa? Pelacur yang
bisa dijajakan pada langganan Pak Bejo setiap saat? Enak
saja! Jual saja istri Pak Bejo! Jual anak Pak Bejo!!! Jangan
saya!!!"
PLAKKKKKK!!!!!!!!!!!
Anis hampir saja terlempar tubuhnya karena tamparan Pak
Bejo yang sangat keras mendarat dipipinya. Belum lagi panas
tamparan itu mendingin dan Anissa mampu bangkit dari
sempoyongan, tiba - tiba saja tangan pria tua gemuk yang
buruk rupa itu mencekik leher mungil Anis dengan sangat
kuat. Gadis itupun megap - megap karena tak mampu
bernafas, matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar,
tangannya bergerak cepat mencoba menggapai sesuatu atau
mendorong Pak Bejo, namun semua gagal karena pria tua itu
lebih kuat dan cekatan.
"Jangan pernah menghinaku dan jangan pernah menghina
keluargaku." Pak Bejo membisikkan kata ke telinga Anis.
Cengkraman tangan di leher Anis masih belum mengendur,
membuat nafas gadis itu makin sesak dan tersengal - sengal,
tangan Anis mencoba memukul - mukul lengan Pak Bejo, tapi
tentu apa daya gadis lemah sepertinya? Melihat Anis sangat
tersiksa, Pak Bejo bukannya berhenti malah semakin menjadi.
Lidahnya menjulur keluar dan dengan sangat menjijikkan ia
menjilati seluruh wajah Anis yang berkeringat. Bau mulut
bekas rokok dan minuman keras membuat Anis ingin muntah.
"Kamu paham, anak manis?" tanya Pak Bejo, ia menarik tubuh
Anis ke belakang agar tangannya bisa menjangkau meja untuk
meletakkan puntung rokok ke asbak.
Anis mengangguk sekuat tenaga, ia menyerah, terserah apa
mau si tua brengsek ini, ia sudah tak bisa lagi menarik nafas.
Ia bisa mati!!
Pak Bejo akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya.
Anissa langsung terbatuk - batuk, ludahnya keluar membanjir
dan tubuhnya luruh ke bawah. Orang tua bejat ini hampir saja
membunuhnya!
"Aku tidak pernah memaksa kamu melakukan hal yang tidak
kamu sukai, kamu bahkan bebas untuk pergi dan tidak lagi
menemuiku. Tapi lebih baik kamu pertimbangkan juga nasib
orang lain yang kamu sayangi. Kalau kamu meninggalkan aku,
aku akan melakukan hal - hal yang tidak nyaman pada orang
- orang itu." Ancam si tua bejat itu sambil berkacak
pinggang. Ia kembali duduk di kursi dan menarik satu batang
rokok dari bungkusnya kemudian menyalakannya.
"A... uhuk huk...! huk..!. A... A... Apa maksud Pak Bejo?" Anissa
mengerutkan kening sambil mencoba menahan batuknya,
perasaannya tidak enak.
Pak Bejo menghembuskan asap rokoknya membentuk bulatan,
ia membuka telepon genggamnya dan menelusuri aplikasi,
membuka sebuah folder penuh foto dan memperlihatkannya
pada Anissa.
"Ini hanya sekedar contoh. Aku sudah memindahkan salinan
fotonya jadi kalau kamu mencoba merebut telepon genggam
ini atau membantingnya, aku tidak akan takut karena aku
tetap bisa menyebarkannya." Kata Pak Bejo. "pilihan sekarang
ada di tanganmu, anak manis. Mau menyelamatkan dirimu
dan orang - orang yang kamu cintai? Tetap turuti semua
permintaanku, tanpa membantah sedikitpun. Mau membelot
dan melarikan diri dariku? Semua foto yang ada di sini akan
tersebar. Mengerti?"
Mata Anissa terbelalak lebar melihat foto Mbak Alya dalam
posisi - posisi vulgar yang sangat menantang birahi!
Beberapa foto juga memperlihatkan Mbak Alya dalam kondisi
telanjang atau tengah bersenggama! Foto - foto ini... foto -
foto ini bukan rekayasa! Apakah... apakah... benarkah... tidak
mungkin... tidak mungkin... ini pasti... tapi ini benar - benar
terjadi! Pak Bejo rupanya sudah pernah memperkosa Mbak
Alya juga?!!
Anissa menatap layar telepon genggam Pak Bejo dengan
pandangan tak percaya ketika menyusuri folder dan melihat
satu demi satu foto yang ada sementara orang tua bejat itu
tertawa terbahak - bahak. Tidak hanya Mbak Alya, Pak Bejo
juga telah merekam kaki jenjang, belahan buah dada yang
tidak sengaja terbuka dan paha yang tak sengaja tersingkap
dari Mbak Dina dan Mbak Lidya! Benar - benar orang yang
sangat bejat!
Tubuh Anissa menjadi gemetar dan panas karena menahan
amarah. "Bajingan bejat... tidak tahu diri... Pak Bejo... benar -
benar bejat..."
"Bukan bejat, aku hanya mengagumi tubuh molek kalian. Aku
sudah merasakan memekmu dan Alya. Tinggal memek Dina
dan Lidya yang aku incar, sepertinya masih sempit juga."
Anis menatap Pak Bejo dengan geram, "Jangan. Pernah.
Dekati. Atau. Sakiti. Mereka. Lagi." Katanya terpatah - patah
karena menahan amarah yang menggelegak. Rasa sakit di
lehernya juga masih membuatnya tak mampu mengucapkan
kata - kata dengan lancar.
Pak Bejo mencibir hina, ia menebaskan abu rokok ke asbak.
"maka dari itu, ikuti semua kemauanku, mengerti? Semudah
itu saja syaratnya."
"Mengerti..." desahan lirih penuh kekalahan bercampur geram
tertahan keluar dari mulut mungil si cantik itu. Apalagi yang
bisa ia lakukan selain menyerahkan tubuhnya pada orang
bejat ini? Dia tidak punya pilihan, Anissa benar - benar geram
karenanya. Tidak ada pilihan selain memberikan jawaban yang
sangat ia benci.
Sebuah jawaban yang akan sangat ia sesali.
###
Hujan yang turun deras disertai guntur di sekitar kampus
menjelang sore itu tak membuat Pak Doni beranjak dari
mejanya untuk pulang ke rumah. Ia tak mempedulikan guntur
yang menderu di luar ruangan dan menyebabkan kacanya
sedikit berderak karena bergetar. Sebaliknya, dosen paruh
baya itu justru sibuk berkutat dengan skripsi yang
dikumpulkan oleh beberapa mahasiswa bimbingannya.
Pak Doni menarik nafas panjang dengan berat, entah
mengapa ia tak bersemangat pulang cepat beberapa hari
terakhir ini, ia lebih memilih lembur di kantor walaupun alasan
lembur itu ia buat - buat sendiri. Terlebih sekali hari ini,
ruang dosen yang kaku dan tak bersahabat ini justru
membuatnya betah dan ingin berlama - lama. Walaupun
barisan teks yang berjajar di buku - buku skripsi bagaikan
kumpulan tentara berukuran mini yang menembaki matanya
hingga terasa pedih karena terlalu banyak dibaca, namun ia
tetap urung pulang ke rumah.
Pak Doni melambaikan lamunannya.
Dia ingin sendiri, ingin disibukkan, ingin bekerja, ingin
melakukan sesuatu yang tidak akan mengingatkannya pada
hal yang membuatnya gelisah dan merasa bersalah...
Pria setengah baya itu tertegun dalam renungannya.
Benar. Inikah yang dinamakan rasa bersalah? Inikah yang
dinamakan pelarian? Apakah pelarian ini bisa menenangkan
rasa bersalah yang membuat beban hidupnya sedemikian
berat? Ia tahu apa yang ia lakukan beberapa hari yang lalu
adalah perbuatan yang salah dan terkutuk. Tak pantas
dilakukan oleh seorang guru dengan muridnya, seorang dosen
dengan mahasiswinya, seorang pengajar dengan anak
didiknya... apa yang telah ia lakukan? Apa sebenarnya yang
telah membuat keteguhannya melayang? Kesetiaannya
terbuang?
Pintu ruangan diketuk dari luar, membangunkan Pak Doni dari
lamunannya yang lelap.
"Permisi. Apa Pak Doni ada di dalam?" terdengar suara dari
luar, suara laki - laki. Jika orang ini bisa sampai di depan
pintu ruangannya, tentunya satpam sudah mengijinkannya
masuk. Ia pun tak curiga. Tapi aneh, kenapa satpam tidak
menelponnya dulu untuk memberitahukan kedatangan tamu?
"Masuk saja, pintunya tidak dikunci." Jawab Pak Doni dengan
suara agak keras agar orang yang berada di luar bisa
mendengar.
Pintu dibuka dengan sedikit berderak, seorang laki - laki
memasuki ruangan. Mata bertemu mata dan dosen itupun
terbelalak karena terkejut.
"Kamu!!??" Pak Doni seperti tersengat listrik ribuan watt.
"Saya." Orang itu adalah Imron, sang penjaga sekolah.
Imron! Orang yang tempo hari memergokinya bercinta dengan
Anissa!
Penjaga kampus berwajah buruk itu menebarkan senyuman
tipis yang membuat Pak Doni jengah.
Dia memang sudah menduga Imron akan datang kepadanya
karena si penjaga kampus itu telah memergokinya menggauli
Anis bahkan telah merekamnya! Walaupun begitu ia tetap saja
kaget karena tak menyangka si penjaga kampus itu akan
menemuinya secepat ini. Dada Pak Doni berdegup kencang
melihat senyuman hina dari wajah pria itu.
"Merasa muda kembali setelah kejadian itu, pak dosen yang
terhomat?" Imron sengaja memberi tekanan pada kata
terhormat untuk membuat Pak Doni makin gerah.
"Apa maumu? Aku sedang sibuk." Kata Pak Doni ketus.
Keringat dingin membasahi seluruh tubuh dosen yang tengah
berhadapan dengan Imron itu, dia tahu Dewi Fortuna sedang
tidak memihak kepadanya. Keluarganya, istri dan anak -
anaknya, orangtuanya, karirnya, segalanya, semuanya bisa
lenyap hanya gara - gara kebodohan dan nafsu buta semata.
Semua gara - gara dia tak mampu mengendalikan hasrat
binatangnya, semua hancur karena dia tergiur kemolekan
mahasiswinya yang memang sangat aduhai. Parahnya orang
gila bernama Imron ini melihatnya bermain cinta dengan Anis
dan semuanya bisa hancur berantakan. Hancur semudah
membalikkan telapak tangan.
Kartu as jelas ada di tangan Imron. Pak Doni ingin melihat
bagaimana penjaga sekolah ini memainkan kartunya.
"Tidak perlu cemberut seperti itu, Pak Doni. Saya cuma ingin
berbincang - bicang sejenak sambil membicarakan sebuah
proyek yang sepertinya mau tidak mau akan Pak Doni setujui."
Imron kegirangan melihat Pak Doni mulai gelisah, wajahnya
yang sejak tadi menampilkan cengiran penuh kemenangan
berubah menjadi wajah serius yang menyeramkan. Ia menatap
Pak Doni lekat tanpa rasa takut sedikitpun, "tentu saja Pak
Doni harus setuju karena kalau tidak rahasia busuk dosen
paling terkemuka di kampus ini akan hancur berantakan."
"...bajingan kamu, Imron."
"Cih... ada maling teriak maling." Imron mencibir, "Kita
kembali ke akar permasalahan, Pak Doni. Siapa suruh bapak
meniduri Anissa? Siapa suruh bapak meniduri mahasiswi
sendiri? Saya tidak pernah meminta bapak melakukannya,
kan? BAPAK MELAKUKANNYA DENGAN KESADARAN
SENDIRI!!" Penjaga kampus berwajah buruk rupa itu
menggebrak meja Pak Doni yang langsung bergetar karena
kaget sekaligus takut, wajahnya pucat pasi. "Jangan lupa
kalau bapak sendiri yang telah melakukan perbuatan itu tanpa
ada paksaan, ingat itu baik - baik! Semua dilakukan dengan
kemauan sendiri! Tidak ada yang meminta dan tidak ada yang
menyuruh. Jangan sedikitpun berlagak seperti orang suci
karena Bapak tidak pernah menolak ketika Anissa datang
kesini dan menawarkan tubuhnya! Kalau Bapak memang
orang yang tahu diri, ingat keluarga, ingat anak istri... bapak
tidak akan pernah mau dirayu gadis itu! Laki - laki macam
apa bapak ini... menggauli gadis yang lebih pantas jadi
anaknya dan menolak mengakui perbuatannya..."
"... dasar... bajingan..."
"Jangan salah, saya juga tahu logika. Saya tidak akan pernah
menyalahkan Pak Doni. Kenapa? Karena saya tahu tidak ada
lelaki normal manapun di dunia ini yang sanggup menolak
gadis semolek Anissa. Omong - omong, bagaimana rasanya?
Pasti enak sekali ya? Paha seputih itu, kulit yang mulus,
wajah cantik, tubuh tinggi, susu yang besar... bagaimana
memeknya? Masih sempit? Saya sendiri belum pernah
mencicipi anak ayam satu itu, mungkin nanti kalau ada
waktu..."
"Begitu rupanya. Ini semua pasti sudah kamu rencanakan.
Anissa juga jadi pion kamu, kan? Kalian memang berniat
menjebakku... apa mau yang kalian inginkan? Apa untungnya
ini semua buat kalian?"
"Kalau baru tahu sekarang ini semua jebakan, itu bodoh
namanya. Yah, tidak percuma Pak Doni jadi dosen senior
karena akhirnya berhasil menebak arah tujuan kita. Kami
memang ada tujuan tertentu melakukan semua ini."
"Baik... baik... BAIK! Kuturuti kemauanmu... bajingan tengik
kamu, Imron..." deru nafas Pak Doni menggerus seperti seekor
banteng yang hendak melabrak matador yang menggoyangkan
kain merah. "Apa maumu? Berapa yang kamu inginkan?"
"Cih... lagi - lagi sikap meremehkan. Aku tahu berapa gaji
bapak dan walaupun cukup besar, uang segitu tidaklah cukup
untuk tutup mulut." Imron memajukan tubuhnya, mendekatkan
diri dengan Pak Doni yang menahan amarah. "Kampus ini
kampus favorit, Pak Doni. Banyak calon mahasiswa yang
bersedia mengorbankan apa saja untuk masuk ke sini namun
gagal karena ketatnya persaingan dan susahnya tes masuk..."
Pak Doni mengernyitkan dahi, apalagi mau Imron tengik ini?
Apa yang sebenarnya dia incar?
"...bayangkan kalau setiap orangtua yang mau memasukkan
anaknya ke kampus ini kita tarik bayaran antara empat puluh
sampai tujuh puluh juta perkepala untuk memastikan anak
mereka bisa menjadi mahasiswa tanpa harus lulus tes
tertulis. Kita bahkan akan menyediakan joki resmi sebagai
pelengkap administrasi. Dengan mengesampingkan semua
birokrasi, anak itu hanya tinggal datang pada saat kuliah
dimulai."
Pak Doni terbelalak saat menyadari apa yang diinginkan oleh
Imron. "Gila kamu Imron... kamu... mau jadi calo?"
Imron menebarkan senyum sinis, "Boleh jujur? Aku tidak
punya waktu untuk hal semacam itu. Males banget." Imron
duduk dengan santai dan menyilangkan kedua tangan di dada.
"Sebetulnya, bukan aku yang akan mengerjakan semua ini,
aku bukan tipe orang yang butuh cari uang, yang aku
butuhkan gadis - gadis muda yang segar dan seksi." Imron
tertawa terbahak dengan suara yang tidak nyaman
didengarkan. "...tapi ada beberapa orang yang aku kenal yang
mau masuk ke bisnis ini dan sebagai teman yang baik
tugasku adalah menyediakan lahan dan tugas anda, Pak Doni
yang terhormat... adalah memastikan kalau segepok uang itu
sanggup membawa para pelanggan masuk tanpa halangan ke
kampus kita, tentu setelah dikurangi pajak administrasi dari
aku dan teman-teman lain."
"Gila! Aku tidak mungkin melakukannya. Kampus ini kampus
terhormat! Di sini punya sistem, tidak punya celah, aku tidak
bisa..."
"Aku tidak peduli bagaimana caranya. Bapak kan punya
banyak kenalan di bagian akademik dan petinggi kampus,
Bapak juga punya banyak uang. Aku akan memberikan
sebagian dari pembayaran 'pelanggan' kita untuk menambah
uang pelicin kalau diperlukan." Imron semakin mendekatkan
wajahnya yang sangat bau. "aku akan tutup mulut tentang
perilaku liar Pak Doni kalau proyek kita ini lancar, yang mana
tentu saja aku tidak akan ikut campur karena semuanya ada
di bawah komando seorang teman. Aku hanyalah seorang
pengawas yang menjadi perantara."
Pak Doni menundukkan kepalanya.
Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya dia
perbuat? Haruskah dia menuruti kemauan orang - orang yang
hendak memerasnya ini?
Cukup lama dosen yang cukup disegani di kampus itu
terdiam. Wajahnya mengerut karena pikirannya kalut. Imron
menunggu dengan santai, ia tahu hasilnya karena ia sudah
sering memeras orang. Apapun pilihan Pak Doni, dia akan
kalah, Imron yakin sekali.
Dengan lemas Pak Doni mengangguk, sepertinya memang
tidak ada pilihan lain, "...kalian menang."
Imron tertawa menghina, dia berdiri, melenggang keluar
sambil terlebih dahulu menepuk pundak Pak Doni dengan
kurang ajar. "Prosedurnya kita bicarakan lagi nanti. Terima
kasih atas kerjasamanya. Saya tidak sabar lagi memulai
proyek kita ini."
Pak Doni menunduk kalah ketika Imron melangkah keluar dari
ruangan sambil bersiul.
###
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Dodit saat mobilnya melintas
di jalan tol yang lengang.
Tidak ada jawaban. Mulut Anis seperti terkunci dengan rapat,
bahkan tipis semburat senyumpun tak nampak. Anissa seperti
bukan Anissa, dia seperti batu karang teguh tak tergoyahkan.
Mereka baru saja berangkat untuk makan malam di malam
minggu pertama yang bisa dilalui bersama setelah beberapa
bulan meninggalkan rumah Mas Hendra.
"Anis?"
Masih belum ada jawaban.
Sejak tinggal di rumah Mas Hendra beberapa bulan yang lalu
Anissa terlihat berubah, perangainya yang lembut dan ceria
kini hilang ditelan sosok pendiam yang menutup diri dan
pemarah. Dia jarang sekali tersenyum dan lebih senang
melamun. Anissa dan Dodit sendiri sudah cukup lama tidak
jalan berdua, calon suami istri ini seperti kehilangan gairah
cinta di antara mereka.
"Kemarin aku sudah bertanya kesana kemari tentang jadwal
gedung - gedung yang mungkin kosong pada tanggal yang
sudah kita rencanakan tahun depan. Ada tiga gedung, hampir
semuanya punya biaya sewa mahal, tapi salah satunya
ternyata dikelola teman omku, kita bisa menyewanya dengan
potongan harga yang lumayan." Kata Dodit membuka cerita,
ia membicarakan rencana pernikahan mereka. "Untuk pre -
wedding kita bisa pergi ke studio foto milik Dimas, dia cukup
bisa diandalkan. Baik untuk foto maupun pembuatan kartu
undangan. Yang masih bikin bingung itu masalah catering dan
baju... bagaimana sayang?"
Mendengar pernyataan Dodit itu Anis seperti ingin menangis,
ingin berteriak dan ingin melemparkan dirinya ke api. Tahukah
kamu, Mas Dodit... kalau kekasihmu ini, kalau wanita yang
kami cintai ini... telah menjadi wanita yang sangat kotor?
Yang telah bersetubuh tidak hanya dengan Pak Bejo yang
sangat menjijikkan itu melainkan juga dengan Pak Doni,
dosennya sendiri? Kekasihmu ini sudah tidak pantas lagi
mendapatkan cinta sejatimu, Mas Dodit. Sudah tidak pantas
lagi memperoleh kasih yang tulus... dia telah kotor... sangat -
sangat kotor...
"Aku tidak pantas lagi..."
"Apa maksudmu, sayang?"
Anis mendesah kecewa, pandangannya kembali dilemparkan
ke luar, "tidak apa - apa. Lupakan saja. Lupakan..."
Dodit mengernyitkan kening. Ada apa lagi ini?
"Lupakan apa, sayang?"
"Bukan apa - apa. Aku... ceritakan lagi mengenai
gedungnya...."
Malam itu berlalu begitu saja dan Anissa masih terdiam
seribu bahasa. Bahkan ketika mereka berdua duduk di sebuah
kafe sambil menikmati minuman hangat. Sepasang calon
pengantin yang biasanya mesra dan saling memuji ini
bagaikan kehilangan nyala api mereka. Tidak ada canda, tidak
ada kata. Sepi, senyap, kaku dan menjemukan.
"Sebenarnya kamu ini kenapa, Nis? Kenapa diam terus? Ini
tidak seperti biasanya..."
Anissa terdiam.
"Apa aku telah melakukan kesalahan? Apa aku membuatmu
jengkel?"
Tidak ada jawaban.
"Apa karena aku terlalu sibuk sehingga beberapa hari terakhir
ini aku tidak menjemputmu?"
Anissa menggelengkan kepala, suara lirih keluar dari mulut
mungilnya. "Tidak ada apa - apa. Aku hanya capek saja.
Akhir - akhir ini aku mudah capek. Kita pulang yuk, aku
pusing sekali, mau tidur."
Dodit mendesah kecewa, apa yang terjadi padamu, sayang?
Kenapa kamu tidak mau cerita? Adakah sesuatu yang kamu
sembunyikan? Tapi Dodit tidak menolak ketika Anissa sudah
bangkit dari duduk dan ingin segera pulang. Paling tidak
hanya itu yang bisa dilakukannya untuk sang tunangan saat
ini, melakukan apa yang diinginkan Anissa tanpa banyak
berucap.
###
"Gadis ini berbakat jadi pelacur. Wajah cantiknya seperti
tanpa dosa, mana ia juga sangat lembut. Ia penggoda yang
hebat tanpa harus mengeluarkan sepatah katapun. Tidak ada
laki - laki yang bisa menolak cewek seperti ini. Dia bisa seksi
tanpa harus menjadi seksi." Kata Pak Dahlan memuji
kemolekan Anissa. "hebat kamu menemukan barang bagus
seperti ini, Bejo."
Pak Bejo mengangguk - angguk dengan bangga. "Pastinya."
"Lain kali aku ajak kamu keliling kampus buat belanja barang
dagangan baru, Jo. Jadi tidak fokus cuma ke tetangga -
tetanggamu saja." Susul Imron yang langsung disetujui oleh
Pak Dahlan dan Pak Kobar. Mulut penjaga kampus itu komat
- kamit sibuk mengunyah makanan yang sepertinya sangat
lezat. "Tapi yang ada di hapemu itu semuanya memang seksi.
Lebih lagi yang namanya Alya dan Lidya..."
"Terima kasih, Bro... tapi saat ini aku cuma pengen kipas -
kipas pake duit yang disetor ke kita. Dosen goblok satu itu
ternyata menepati janjinya. Kalau begini terus, kita bisa
kaya." Jawab Pak Bejo jumawa.
"He he he, jangan melecehkan institusi kampus, aku kan juga
dosen. Tapi Pak Doni itu memang sok alim, giliran dapet anak
ayam saja dia jadi penakut. Dia kan sebenarnya ada niat buat
mencalonkan diri jadi rektor di tahun mendatang, satu skandal
seperti kemarin bakal menghancurkan reputasinya. Tahu rasa
dia sekarang, dasar sok alim, sukanya cari muka." kembali
Pak Dahlan pegang peranan menjelaskan. "Aku tahu awalnya
kalian meminta aku menjadi orang dalam, tapi bukankah cara
seperti ini lebih seru? Lagipula dengan reputasi yang bersih
aku bisa mencalonkan diri menjadi rektor di tahun mendatang
tanpa gangguan. Posisiku aman, uangpun datang."
Pak Dahlan menghentikan ucapannya dan segera beralih ke
orang - orang di sekitarnya, "Silahkan, silahkan dimakan...
perjamuan makan seperti ini konsepnya dari Jepang,
kebetulan aku baru belajar dan dengan bantuan salah satu
lontenya Imron untuk memasak, kami bisa menyajikannya."
Pak Dahlan mempersilahkan semua yang ada di ruangan itu
untuk makan, berbagai macam jenis penganan disajikan di
tatakan besar.
Pak Kobar meneguk ludah, "Aku baru tahu ada jamuan makan
seperti ini, siapa yang punya ide?" dia mencomot satu
makanan berlapis daun. "Ini apa ya? Lemper?"
Pak Dahlan tergelak, "jamuan makan seperti ini ideku, dan
yang anda makan itu namanya Makizushi, bisa dibilang
semacam lemper Jepang."
"Aneh - aneh aja, lemper ya lemper bukan mitsubishi. Aku sih
tidak peduli lempernya, aku peduli sama tatakannya ini..."
kata Pak Kobar mengedipkan mata sambil mencolek tatakan
makanan yang ia maksud.
Terdengar suara erangan.
Pak Bejo dan Pak Dahlan tertawa, sementara Imron berusaha
menahan tawa karena masih mengunyah makanan.
"Lemper yang ini rasanya manis." Kata Pak Kobar lagi setelah
mencicipi makanan yang ia ambil, "ambil lagi boleh, kan?"
Pak Dahlan mengangguk - angguk sembari juga menjumput
satu penganan, "silahkan pak, silahkan..."
Ketika mengambil sekali lagi, secara sengaja... atau mungkin
juga tidak, makanan yang diambil Pak Kobar jatuh ke tatakan.
"Aduh... cerobohnya aku. Makanan enak sebaiknya jangan
disia - siakan!" Pak Kobar memajukan kepalanya dan
memakan apa yang tadi jatuh langsung di tatakan! Mulutnya
mengunyah dan menjilat di tatakan itu.
Saat lidah Pak Kobar menjilat, tatakan itupun bergetar.
Bukannya jijik, bapak - bapak itu justru tertawa bersamaan.
Bibir Pak Kobar tidak berhenti begitu saja, ia masih terus
menjilat dan mencium, sementara tatakannya juga tidak
berhenti bergetar.
Kenapa bisa demikian?
Wajar saja, karena apa yang disebut tatakan itu sebenarnya
adalah Anissa! Gadis malang itu berbaring telanjang dengan
bagian mata ditutup handuk yang dilipat, tubuhnya yang indah
dihidangkan tepat di muka Pak Dahlan, Pak Bejo, Imron dan
Pak Kobar yang duduk bersila. Di atas tubuh Anis dihidangkan
makanan - makanan kecil, ada yang makanan asli lokal, ada
yang ala Jepang. Selama makanan dihidangkan dan belum
habis, Anissa harus diam saja terbaring mematung tanpa
boleh bergerak sedikitpun.
"Konsep jamuan makan menggunakan tatakan hidangan
cewek telanjang seperti ini namanya nyotaimori dan asalnya
dari Jepang," kata Pak Dahlan. "Agar bisa menghidangkan
makanan di atas tubuh cewek telanjang seperti ini, tubuh si
cewek harus benar - benar bersih. Dimandikan dengan sabun
khusus yang memiliki aroma wangi spesial agar
membangkitkan selera. Itu sebabnya si Anis ini tadi sudah
saya minta mandi sampai bersih. Tentu saja, Pak Bejo yang
memandikannya."
Pak Bejo terkekeh sementara Pak Kobar tidak peduli apa yang
dikatakan oleh Pak Dahlan, ia terus saja menjilati perut Anis,
pemilik hotel melati tempat mereka berkumpul saat ini itu
mengincar buah dada sang dara jelita. Namun rupanya Imron
jauh lebih cepat, dengan cekatan penjaga kampus itu
mengambil makanan yang mirip lemper yang diletakkan di
atas buah dada Anissa. Geliat lidah Imron yang menyusuri
lekuk dada membulat milik Anissa membuat si cantik itu
menggelinjang tak henti, antara geli dan jijik. Ia mengeluarkan
desahan dan erangan.
Walaupun mata si cantik itu ditutup oleh handuk, namun Pak
Bejo bisa melihat air mata menetes di pipi Anissa. Ia hanya
tertawa, "eh, kalau jadi tatakan kamu tidak boleh menangis.
Lagipula kamu kan tidak diapa - apain."
"Jangan lama - lama ya kalian, kalau makanannya sudah
habis aku mau mencicipi tatakannya." Kata Pak Dahlan. "Aku
sudah mengeluarkan uang buat mempersiapkan jamuan ini,
jadi pantas kalau aku duluan yang pakai hari ini."
Pak Kobar mengerang kecewa karena sebenarnya dia berharap
bisa memakai Anissa.
Pak Dahlan tertawa nakal, dia memberi tanda dengan
menyilangkan telunjuk secara vertikal di depan mulut pada
Imron dan Pak Kobar agar mereka tidak mempermasalahkan
siapa yang akan memakai Anissa hari ini. Imron geleng -
geleng kepala, "dasar otak kontol. Tidak bisa lihat barang
bagus nganggur sebentar saja."
Mendengar apa yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi,
lelehan tangis Anissa makin deras turun meski tidak sampai
bersuara. Tubuhnya menggigil saat ia senggugukan.
Imron memberi tanda pada Pak Bejo yang langsung berbisik
pada Anis. "Kalau kamu tidak diam, kami yang ada di sini
akan langsung memperkosamu beramai - ramai sampai pagi.
Kalau kamu tidak mau itu terjadi biar kami selesaikan makan
dengan tenang dan nanti kamu hanya perlu melayani Pak
Dahlan. Mengerti?"
Anissa mengangguk karena ketakutan.
"Ayo kita lanjutkan pestanya!" teriak Pak Bejo dengan senang.
Iapun mengambil kesempatan untuk mencium bibir Anissa
yang tengah merekah. Bibir mereka bertemu dan bertumbuk,
bibir tebal milik seorang pria berusia lanjut dengan seorang
gadis muda yang sangat seksi.
Lidah Pak Bejo menggeliat cepat di antara struktur manis bibir
Anis, menjelajahi dan mengelilinginya. Membuat si cantik itu
menggelinjang karena selain dicium begitu nafsu oleh Pak
Bejo, Imron tengah menjelajahi buah dadanya sementara
perutnya menjadi bagian dari serangan Pak Kobar.
Pak Dahlan sendiri tidak ikut menyerang karena setelah ini,
dialah yang akan meniduri Anissa. Dia menyimpan tenaganya.
Anissa hanya bisa diam dan pasrah membiarkan para pria tua
ini menjilati tubuhnya beramai - ramai. Ia teringat wajah
Dodit yang kecewa kemarin, wajah orangtuanya, wajah Pak
Doni... mengapa dia sampai jatuh ke perangkap Pak Bejo
seperti ini?
Kenapa dia setuju mengikuti semua perintahnya?
Anissa kembali melelehkan air mata.
###
Sepeninggal Pak Dahlan dan Anissa yang masuk ke kamar
berdua, Imron, Pak Kobar dan Pak Bejo melanjutkan bersenda
gurau. Setelah cukup lama berbincang - bincang, tiba - tiba
telepon genggam Pak Kobar berdering nyaring.
"Halo? Ya, aku masih di motel. Kamu mau kesini? Boleh, ya
kesini saja." Pak Kobar menutup hape dan kembali
mengantonginya, "Keponakanku. Minta duit buat pinjem bokep
di rental, aku suruh kesini saja." Kata Pak Kobar. "Walaupun
sudah sering ngewe tapi ponakanku ini masih malu - malu
kucing, kucingnya ya kucing garong, dibilang malu tapi suka
nyolong. Daripada belajar dari bokep, mending kita kasih dia
pertunjukan langsungnya."
Pak Bejo dan Imron tertawa bersama.
Tak sampai lima menit kemudian terdengar ketukan di pintu,
ketika Pak Kobar membukanya masuklah seorang pemuda.
Kulitnya gelap dan wajahnya jauh dari tampan. Rambutnya
yang keriting tak terawat membuatnya makin terlihat kumal.
Usianya sebenarnya baru menjelang 20, tapi wajahnya terlihat
lebih tua dari itu.
"Ini keponakan saya, Bahrudin, tapi panggilannya Udin." Kata
Pak Kobar.
Pemuda yang berpenampilan kusut dengan rambut semrawut
itu segera menyalami kedua orang yang ada di hadapan Pak
Kobar. Sambil menunjuk, Pak Kobar mengenalkan mereka,
"yang ini Imron, yang itu Pak Bejo. Mereka berdua kawan
bisnisku."
"Selamat datang, Din." Kata Imron sambil memberi salam.
"Salam kenal, santai saja di sini." Kata Bejo.
"Rasanya wajahmu nggak asing, Din?" tanya Imron. "kamu
kuliah di Universitas X?"
"Betul. Saya kuliah di sana di Fakultas X."
"Ooo, pantes aja kok aku sepertinya pernah lihat." Lanjut
Imron. "Dunia memang sempit. Aku penjaga kampus itu, tapi
lebih sering berkeliaran di Fakultas XX."
"Oooh, itu sebabnya tadi wajah Om Imron tidak asing." Kata
Udin sambil cengar cengir.
"Ayo duduk sini, itu ada bir atau kalau tidak minum bir, di
sana ada teh botol." kata Pak Bejo sambil menunjuk ke arah
meja sajian. "Kamu sedikit terlambat, tadi di sini ada sajian
spesial." Katanya sambil tersenyum lebar.
"Iya, Pak." Udin mengangguk sopan dan duduk di samping
Pak Kobar.
"Gimana, Din? Kamu nggak jadi pinjem bokep ke rental?"
tanya Pak Kobar yang disambut gelak tawa Imron dan Pak
Bejo. "Di sini saja banyak live show, kenapa harus pinjem di
rental?"
"Itulah, Pakde." Kata Udin ikut tergelak, "saya jadi tertarik
waktu tadi Pakde bilang ada live show. Memangnya live show
macam apa?"
"Pakdemu itu kan orang kreatif, Din." Timpal Imron, "begitu
punya duit, dia langsung pasang CCTV di semua sudut kamar,
hasilnya kalau ada pasangan ngewe, pakdemu ini dapat
tontonan gratis. Kalau kamu mau lihat, bisa nonton di TV
yang ada di kamar pojok. Aku yang bantuin masang kabel
CCTVnya tempo hari."
"Oooo, gitu. Wah menarik sekali, saya boleh lihat dong,
Pakde?"
"Boleh aja, mau langsung sekarang?" tanya Pak Kobar,
melihat anggukan Udin, iapun geleng - geleng sambil
tersenyum lebar. "Dasar anak jaman sekarang, otak gak jauh
dari selangkangan. Pak Bejo mau ke belakang? Sekalian
tolong anterin ya si Udin ya?"
"Oke." Pak Bejo yang sedikit mabuk karena kebanyakan
minum bir berdiri sempoyongan. Ia harus menjejakkan kaki
beberapa kali untuk bisa berdiri tegak. Setelah yakin bisa
berdiri, pria tua itu merangkul Udin tanpa lupa menarik satu
botol minuman keras. Mulutnya yang bau bir membuat Udin
agak sedikit jengah namun dia tetap tersenyum, jangan
sampai gagal nonton live show nih!
Sembari berangkulan Pak Bejo dan Udin berjalan keluar
ruangan penjaga motel dan berjalan menuju sebuah kamar
kecil di pojok. Kamar itu sebenarnya disediakan Pak Kobar
untuk karyawannya yang mau tidur usai jaga malam, tapi hari
ini kamar itu sepi karena Pak Kobar meliburkan karyawannya
berkaitan dengan jamuan makan spesial bersama Pak Dahlan,
Pak Bejo dan Imron.
Masuk ke ruangan, Udin mengajak Pak Bejo untuk menonton
bersama namun orang tua itu menolak, karena mabuk
gelengan kepalanya lebih kencang dari seharusnya.
"Tidak usah, aku mau ke belakang dan tidur setelah ini. Kamu
nonton saja di situ, gambarnya lumayan jelas. Aku juga sering
nonton kalau lagi ada pasangan ngewe." Kata Pak Bejo sambil
menyalakan layar CCTV, suara desahan terdengar cukup keras
ketika suara dikencangkan. Pak Bejo tergelak ketawa, "Itu Pak
Dahlan sedang ngentotin kembang baruku, masih muda dan
cantik. Kamu kenal Pak Dahlan kan?"
"Tahu, Pak. Dosen di Universitas X. Saya kan juga kuliah di
sana, cuma beda jurusan. Pakde Kobar yang cerita."
"Iya betul. Ya sudah, nonton saja."
"Iya, Pak. Terima kasih."
"Aku tinggal dulu ya," kata Pak Bejo sambil menenggak birnya
sekali lagi.
"Iya Pak."
Udin mengeluskan telapak tangannya mengusir dingin, ini nih!
Nonton live show! Seru!
Layar CCTV itu berwarna dan memiliki suara yang jernih
walaupun hanya bisa ditonton melalui sebuah tv berukuran
14", tapi bagi Udin semua jadi serasa high-def karena dia
ingin sekali menyaksikan live show seks semacam ini. Udin
cekikikan melihat di layar ada seorang pria yang sudah
berumur menggumuli seorang gadis yang sepertinya cukup
cantik dan muda belia.
Ya, gadis itu sangat cantik. Terlalu cantik malah untuk pria
seperti Pak Dahlan, wajahnya yang cantik itu...
Udin memicingkan matanya, kenapa kok rasanya dia mengenal
gadis itu ya? Pernah lihat dimana ya? Seperti...
Udin terbelalak kaget!
ITU KAN ANISSA??!!
Lampunya redup, tapi Udin bisa melihat dengan jelas. Gadis
yang sangat ia kenal, yang pernah mengisi relung hatinya,
yang membuatnya tak bisa tidur siang malam, yang ia
inginkan seumur hidup, yang ingin ia jadikan ibu dari anak -
anaknya, gadis yang ia cintai... bagaimana mungkin gadis itu
sekarang berada di sana sedang bergumul tanpa busana
dengan Pak Dahlan?!
Tak salah lagi, ia hapal benar wajah dan lekuk tubuh Anis!
Benar itu Anissa! Anissa ada di sana! Terbaring telanjang di
samping Pak Dahlan, salah seorang dosen Universitas X.
Tangan Anis bergerak lincah menyusuri penis Pak Dahlan dan
mengocoknya pelan sementara dosen itu memainkan
payudara Anissa dengan bebas.
Udin benar - benar terkejut, dia tak mampu menggerakkan
badan sedikitpun.
Bangsat tua itu!! Apa ia lakukan pada Anissa?!
Namun Udin perlahan menyadari, Anissa tidak seperti
terpaksa melakukan ini semua, dia diam saja dan menerima
perlakuan Pak Dahlan dengan pasrah, bahkan terkadang
membalas perlakukan pria tua itu dengan lembut.
Apakah... apakah Anis sebenarnya adalah seorang pelacur?
Tidak mungkin.
Tidak mungkin...
Tidak mungkin!
Tidak mungkin itu Anissa?!!!
Walaupun besar keinginan Udin untuk mengingkari
perasaannya bahwa gadis yang tengah bergumul dan
berpagutan dengan Pak Dahlan di ruangan itu adalah Anissa,
namun setelah detik demi detik berlalu untuk memastikan
gerak tubuh yang sangat ia hapal itu memang benar yang ia
kenal, Udin semakin dihadapkan pada kenyataan bahwa gadis
itu memang benar Anissa.
Jemari Pak Dahlan terus saja memainkan puting susu Anissa
dengan bebasnya, gadis itu menggelinjang karena rangsangan
yang terus ia terima. Pak Dahlan tak berlama - lama di sana,
tangan dosen tua itu akhirnya sampai di bibir kemaluan Anis.
"Ja, jangan, Pak..." protes si cantik itu ketakutan.
Pak Dahlan tentunya tidak mau berhenti begitu saja, jari
tengahnya dengan lembut mengelus ujung kelentit Anissa.
"Sa, saya puaskan cuma pakai tangan saja boleh, Pak?" Anis
masih terdengar takut.
"Aku mau merasakan memekmu." Tangan dosen itu
menangkup kemaluan Anis yang merekah merah dengan malu.
Anissa mendesah ketika jemari Pak Dahlan makin nakal,
membuat si cantik itu mau tak mau membuka jenjang kakinya
lebar. Salah satu tangan Anis mencoba menahan jemari Pak
Dahlan agar tidak terus menerus menggoyang kelentitnya
yang makin membuat Anissa gila.
"Ja, jangan... pak..."
Pak Dahlan tidak menjawab, bibirnyalah yang bergerak maju
untuk mencium bibir mungil Anis. Udin tidak bisa mendengar
bunyi ciuman mereka dari tempat ia menonton, tapi ia seakan
bisa mendengar kecupan yang berkecipak cukup keras, basah
dan lengket. Jelas mereka melakukannya dengan mulut yang
terbuka. Tangan Pak Dahlan makin maju, kini masuk ke dalam
liang cinta Anis dan bergerak memutar di dalam.
Pemandangan ini, suara desahan yang kian lama terdengar
makin keras dari keduanya, membuat Udin makin panas, ia
tak bisa bergerak sedikitpun.
Udin bersumpah ia bisa melihat jempol Pak Dahlan bergerak
untuk menstimulasi kelentit Anis menggantikan jari tengahnya
yang kini masuk ke dalam memek Anissa menemani jari
telunjuknya. Kaki Anissa yang jenjang ditekuk lututnya ke
kanan dan kiri untuk memudahkan Pak Dahlan bermain.
Bahkan pantat Anis pun kini bergerak seiring dengan gerakan
jemari nakal Pak Dahlan. Udin bahkan bisa melihat saat Pak
Dahlan membuka bibir kemaluan si cantik itu lebar - lebar
untuk memperlihatkan bagian dalam liang yang berwarna
merah muda. Udin gemetar, itu adalah bibir kemaluan gadis
yang ia cintai!
Detak jantung Udin makin lama makin keras, ia tidak tau
apakah sebaiknya menangis atau berteriak. Ia tidak rela
Anissa diperlakukan seperti ini, namun ia juga tak bisa
mengingkari kalau pemandangan ini membuatnya terangsang
hebat. Udin hanya bisa terpaku karena tak percaya apa yang
ia lihat, ia bahkan tak percaya ia masih bisa bernafas setelah
melihat semua ini.
Tangan Pak Dahlan kini bergerak dari bawah ke atas kembali,
mengincar buah dada sempurna milik Anis, ia meremas -
remas kenyal payudara itu dan memilin pentilnya yang mungil.
Ia tak lama melakukannya karena kemudian salah satu
tangannya segera membimbing penisnya yang sudah
mengeras ke bibir kemaluan Anissa. Udin bisa melihat kalau
Anis ketakutan melihat penis itu mulai bergerak tanpa henti di
mulut vaginanya, benar saja, dengan satu sodokan tanpa aba
- aba Pak Dahlan melesakkan kontolnya ke dalam memek
Anissa, membelahnya tanpa ampun, Anis hanya bisa menjerit
karena sakit. Udin gemetar karena marah dan cemburu, pria
itu tak pantas menyetubuhi Anis! Ia tak rela penis Pak Dahlan
masuk ke dalam vagina Anissa yang ia cintai! Tapi... tapi
pemandangan ini membuatnya... sangat panas... emosi dan
nafsu Udin berbaur menjadi satu menimbulkan percikan
perasaan yang tak bisa ia gambarkan.
Bibir kemaluan Anissa merekah menyambut penis Pak Dahlan
yang keluar masuk tanpa ampun, bergerak cepat penuh
tuntutan. Tubuh Udin gemetar antara tak tega melihat Anis
diperlakukan seperti itu dan nafsu birahi binatang yang
menggelegak dalam tubuhnya. Gadis yang cantik itu, yang jadi
pujaan di kampus, yang telah bertunangan dengan seorang
pria yang baik, sedang digauli oleh seorang serigala tua yang
buas. Udin masih terus menatap tak percaya.
Ujung gundul penis Pak Dahlan menumbuk Anissa seperti
pejuang yang hendak meruntuhkan tembok pertahanan
musuh, cepat dan keras, tubuh Anis berulangkali terlonjak
antara rasa sakit dan desakan yang sangat keras dari bawah.
Udin sadar tak ada gunanya ia memprotes apa yang terjadi.
Dalam alam bawah sadarnya ia ingin ini terjadi, ia ingin
Anissa yang telah menolaknya itu dihakimi dan direndahkan
seperti ini. Namun kecipak ciuman yang terjadi antara dosen
dan mahasiswi dengan rentang usia jauh itu membuat Udin
sakit hati.
Kenapa bukan dia yang ada di sana memeluk sang buah hati?
Kenapa bukan dia yang ada di sana mencium Anissa?
"Kamu manis sekali." kata Pak Dahlan yang masih memeluk
Anis.
Pak Dahlan mencium bibir Anis sekali lagi dan membisikkan
beberapa kata yang terlalu pelan bagi Udin untuk bisa
mendengarkannya. Tapi ia bisa melihat dengan jelas penis
Pak Dahlan masih terus keluar masuk, menguasai vagina
Anissa.
Yang bisa didengarkan Udin adalah suara erangan penuh
nafsu yang dikeluarkan dari mulut manis Anissa. Gadis itu
mendesah, mengembik dan mengerang ketika penis lelaki tua
yang pantas menjadi ayahnya itu menguasai liang cintanya
yang mungil.
Air mata hampir menetes di pelupuk mata Udin.
Sudah cukup. Sepertinya itu semua sudah cukup, batin Udin
sambil berdiri dan mematikan TV. Ia tidak butuh melihat ini
lebih lama lagi. Ia berhenti bukan karena ia tidak ingin melihat
kemolekan Anissa, ia berhenti karena tidak kuat menahan
gejolak cemburu dan nafsu yang terus menggelegak dan
memangsanya dari dalam. Dengan pilu Udin meninggalkan
tempatnya menonton. Pedih rasanya melihat Anissa seperti
itu. Kenapa, Nis? Kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu
jatuh ke dalam situsasi hina seperti itu? Apa yang telah
terjadi?
Tangan pemuda itu terkepal dan nafasnya menjadi tak teratur.
Ya. Udin tahu apa yang ia inginkan.
Bukan. Ia tidak menginginkan jawaban kenapa Anissa berbuat
demikian.
Yang ia inginkan adalah Anissa. Ia ingin tubuh indah itu jadi
miliknya.
Ketika ia kembali ke ruangan tempat Pak Kobar, Pak Bejo dan
Imron berada, mereka masih saja bersenda gurau dan
bermabuk-mabukan. Udin menolak tawaran bir, duduk di pojok
dan langsung memeras otak. Besok dia harus bicara dari hati
ke hati dengan Anissa.
Oh ya, hati - hatilah Anissa.
Udin yang baru telah datang.
...dan kamu akan membayar mahal atas semua ini.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

1 komentar:

Updat malam video hot
5 Top level
1.==>> Hot memek tembem
2.==>> perawan pecah
3.==>> Gadis desa
4.==>> Tante sangek
5.==>> Cabe cabean
Silahkan klik link di atas untuk me ngunduh video

Updat cerita sex tahun baru saya sajikan khusus cerita sex Melayu inilah
Kisah nurul suhana==>> klik untuk membaca
Cerita sex Jiran bersusu ==>> klik untuk membaca
Cerita sex jeritan Anna ==>> klik untuk membaca
Cerita sex janda muda ==>> klik untuk membaca
Cerita Budak 13 thn ==>> klik untuk membaca

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.