Sabtu, 25 November 2017

Wisata sex 4

cerita sex-wisata
sex part4
Di bagian ketiga cerita
saya sudah bercerita
mengenai pengalaman
saya bermalam di desa
Kropak, Purwosari,
Grobogan.
Hari ini adalah hari
kedua aku berada di
desa yang jauh dari
mana-mana, kota
terdekat adalah
Purwodadi yang
jaraknya sekitar 20 km.
Desa yang sepi ini
punya daya tarik
tersendiri yang khas.
Ini sudah aku ceritakan
di rangkaian cerita ini
di bagian ke tiga.
Aku menjelajah desa-
desa berdua dengan
temanku John. Namun
dia hari ini akan
mengakhiri
petualangannya,
karena ada telepon
dari rumah yang
mengabarkan orang
tuanya dari kampung
datang. Apakah alasan
yang dikemukakan itu
benar atau karangan
saja, tidak perlu aku
selidiki. Dari gerak
tubuhnya dia memang
sudah bosan dalam
perjalanan ini. Dengan
ojek dia kembali ke
Purwodadi dan
selanjutnya dia ke
Semarang lalu terbang
ke Jakarta.
Kini aku sendirian di
tengah pedalaman
kampung kecil di Jawa
Tengah. Meski aku
mulanya tidak kenal
siapa pun dan ini
adalah kunjungan
pertama kesini, tetapi
aku merasa tidak asing
lagi, karena ada
penduduk yang
menampungku dan
memperlakukanku
dengan ramah. Aku
seperti bersaudara
dengan mereka.
Hari kedua aku di
Kropak, ada kegiatan
pasaran, sehingga
suasana pasar cukup
ramai. Hampir seluruh
penduduk desa
terutama yang wanita
tumpah ke pasar pagi
ini. Aku bersama kakak
beradik Purwanti dan
Purwani kami jalan-
jalan cuci mata. Aku
sudah mengepalkan
sejumlah uang untuk
mereka belanja seperti
pesanan masakan yang
kuinginkan, yaitu asem-
asem balungan dari
daging kambing.
Meski tadi pagi aku
sudah sarapan nasi
goreng, tetapi karena
"lapar mata" aku
kemudian membeli
jajanan khas kampung
untuk sekedar icip-icip.
Meski yang dibeli cuma
sedikit, tetapi karena
bermacam-macam,
jadinya banyak juga.
Purwanti berpapasan
dengan seorang gadis
yang berjalan dengan
seorang yang sosoknya
seperti ibunya, lalu
mereka salaman dan
berpelukan. Gadis itu
memanggilnya bulik,
berarti dia adalah anak
dari kakak si Pur.
Pakaiannya sederhana
bahkan cenderung
lusuh dan
serampangan,
rambutnya tidak modis
sama sekali karena
digelung. Tetapi aku
menangkap gadis ini
punya daya tarik yang
kuat dan sesungguhnya
dia ayu dan cantik,
Mungkin karena
kurang perawatan dan
karena tinggal di
kampung, jadi tidak
ada tuntutan modis.
Purwanti
memperkenalkan
denganku. Dia
menyebut namanya
Arwani, panggilannya
wani. Kami akhirnya
jalan berlima. Tidak
ada yang dibeli oleh
Wani dan ibunya, Aku
membaca dari raut
mukanya dia tidak
punya uang untuk
belanja. Purwanti
kukepali uang yang
menurut ukuranku di
Jakarta cukup untuk
belanja sehari dengan
lauk ayam untuk satu
keluarga . Uang itu lalu
segera diserahkan ke
Arwani. Mulanya dia
terkejut dan berbasa-
basi menolak, tetapi
akhirnya mengucapkan
" Terima kasih ya
Oom".
Benar juga setelah itu
dia jadi aktif
berbelanja. Kami
kemudian berpisah dan
aku di rumah Purwanti
menikmati jajanan ku
tadi. Sementara itu
kedua Pur sedang sibuk
di belakang
menyiapkan masakan.
Ketika kami bersiap
menikmati masakan
asem-asem balungan,
muncul anak cantik
yang terpendam di
desa, si Arwani. Dia
dengan sepeda datang
membawa bungkusan
plastik. Ketika dibuka
isinya adalah botok,
masakan khas jawa
yang terbuat dari
kelapa dibungkus daun
pisang dan dikukus.
Menurut Wani itu
adalah botok
sembukan. Makanan
yang sudah lama sekali
tidak kunikmati. Si
Wani malu-malu dan
menolak ketika diajak
makan bersama, tetapi
akhirnya luluh juga dan
kami sama sama
menikmati asem-asem
balungan yang
memakai daun
kedondong muda.
Pintar juga kedua Pur
ini memasaknya
sehingga rasa asam dan
pedas cabe hijaunya
pas.
Selepas makan,
badanku berkeringat
sehingga aku memilih
duduk di depan sendiri
berangin-angin. Wani
kelihatannya
membantu Pur-pur
membersihkan bekas
makanan siang kami.
Tak lama kemudian si
Wani minta izin
kembali pulang ke
rumahnya.
Menurut Purwani,
rumah si Wani lumayan
jauh, kalau naik sepeda
sekitar 15 menit an.
"Mas si Wani minta
dicarikan kerjaan,
bapaknya kan sakit,
jadi keluarga itu tidak
ada yang menafkahi. "
kata Purwanti.
"Dulu dia punya suami
tapi ya gitulah orang
desa, jadi karena tidak
sanggup menjadi
sumber pemberi
nafkah, akhirnya kabur
dan cerai," kata
Purwanti. Menurut Pur
si Wani kawin masih
sangat muda mungkin
masih sekitar 15 tahun.
Dia ingat pada waktu
itu baru lulusan SMP
langsung kawin. Belum
setahun sudah pisah.
"Kalau mas e berminat
ntar saya kasih tau,
gimana ?" tanya
Purwanti.
Aku menerima tawaran
itu tentu saja
sejujurnya susah nolak.
Tapi rasanya kan nggak
enak juga sudah
menggauli Purwanti
dan Purwani bahkan
tinggal di rumah
mereka, lalu aku akan
bermain pula dengan
kenalan baru yang
adalah keponakan
mereka.
"Mas e kalau minat,
kita ndak apa-apa kok,
itung-itung saya nolong
keponakan sendiri, biar
si purwani nyiapke
kamar e dan aku
sebentar lagi jalan ke
rumahnya," kata
Purwanti.
Aku tidak bisa
berkomentar apa pun,
serba salah rasanya
mau bicara, mau nolak
rasanya padahal ingin
juga, mau nerima
rasanya rikuh pula.
Aku berdua ngobrol
dengan Purwani, dia
menceritakan betapa
beratnya kehidupan
keluarga Arwani. Sejak
orang tuanya sakit,
maka ibunya dan
arwani yang berusaha
mencari nafkah dengan
mengerjakan apa pun
yang bisa
menghasilkan. Aku
mendengar cerita
Purwani sambil
pikiranku menerawang.
Orang-orang desa yang
sederhana ini dalam
kehidupan yang serba
pas-pasan, jika tulang
punggung keluarganya
terkena penyakit
berat, maka
kemiskinan siap
menerkam mereka.
Entah berapa lama
kami ngobrol berdua
sampai muncul dua
sepeda. Sepeda
pertama dikendarai
Purwanti, dan yang
kedua Arwani
membonceng wanita
yang kelihatannya agak
tua. Aku kemudian
diperkenalkan bahwa
wanita itu adalah
ibunya Arwani. Wanita
yang berusia menjelang
40 tahun. Bekas
kecantikannya masih
terlihat, tetapi karena
kurang terurus jadi
kelihatan seperti
wanita desa biasa.
Ibunya lalu minta ke
aku agar anaknya
dicarikan kerjaan di
Jakarta. "Biarlah dia
kerja di Jakarta dari
pada di kampung nggak
ngapa-ngapain," kata si
ibu.
Pikiranku bukan soal
kerjaan apa yang
cocok, tetapi
bagaimana
menempatkan Arwani
di Jakarta. Aku tidak
bisa berkonsentrasi,
karena harus meladeni
pembicaraan.
Sementara itu Arwani
duduk tertunduk malu.
Kuperhatikan, Arwani
menyimpan potensi
yang luar biasa. Dilihat
rambutnya, cukup lebat
dan lurus sebahu.
Wajahnya ayu
hidungnya cukup
mancung lancip,
dagunya sedikit
terbelah, bibirnya tidak
terlalu tebal, tetapi
sensual, alisnya tidak
terlalu tebal, leher
jenjang kulitnya
lumayan putih untuk
ukuran orang desa. Nah
teteknya kelihatannya
agak melawan juga,
karena baju longgar
seperti daster masih
ketendang sama
susunya, sehingga
menyembul.
Tingginya lumayan saya
taksir sekitar 165 cm
dan badannya tidak
gemuk pula. Yah
badan-badan anak
teenager, tetapi cukup
berisi dan yang saya
kagum dia memiliki
body dengan pinggang
mengecil dan pantat
agak menonjol.
Sempurna sekali cewek
desa ini. Kalau aku
tolak sayang-sayang,
ini adalah asset yang
sangat berpotensi jadi
Miss Indonesia.
Si Purwanti bisik-bisik
sama ibunya Arwani.
"Ya sudah biar saja si
Wani nginap di rumah
buliknya biar ajar kenal
lebih dekat sama si
oomnya, kan mau
diajak kerja ke
Jakarta," kata si ibu.
Setelah kami ngobrol
lagi, si Ibu pamit dan
dia mengendarai
sepedanya sendiri
pulang ke rumah. Hari
mulai sore, saatnya
untuk mandi sore ke
sungai di belakang
rumah. Kami berempat
lalu beriringan menuju
tepian sungai.
Seperti biasa kami
mandi dengan basahan,
aku mengenakan
celana boxer, sedang
cewek-cewek
mengenakan kemben.
Dibalik kemben itu
tercetak jelas, bahwa
Arwani memiliki
payudara ukuran yang
cukup besar.
Tidak ada insiden, kami
mandi seperti biasa dan
Arwani makin
berkurang rasa
segannya kepadaku.
Ternyata dia termasuk
yang banyak bicara,
alias cerewet juga.
Selepas mandi,
sesampai kami
dirumah, aku disuguhi
kopi panas dan
singkong rebus. Tidak
lama kami
bercengkerama, hujan
deras turun. Purwani
menggiring aku dan
Arwani memasuki
kamarnya. Ternyata
kamarnya sudah rapi, Si
Arwani disuruh Purwani
memijat diriku. Dengan
malu malu, jalan sambil
menunduk Arwani yang
mengenakan kaus
oblong dan jarik.
Setelah kami duduk di
tepi ranjang Purwani
keluar dan menutup
pintu. Suasana pada
mulanya agak kaku.
Aku lalu mengajak
Arwani berbaring
bersebelahan
denganku.
Rikuh juga aku
memulainya, seperti
menghadapi perawan,
padahal ini janda, tapi
masih muda. Akhirnya
kuminta Arwani
memijat. Dia mau
tetapi beralasan,
kurang mahir memijat.
Aku lalu berjanji
menuntunnya agar
nanti pijatannya enak.
Dia mulai memijat
kakiku dalam posisi aku
telungkup. Sebetulnya
dia lumayan mahir
juga, tetapi aku tetap
memberinya petunjuk.
Sementara suara
gemuruh dan hujan
deras diluar membuat
kami semakin romantis.
Namun aku masih
merasa agak sulit
memasuki gerbang
kemesraan.
Aku kemudian
beralasan memberi
contoh bagaimana cara
memijat dan menekan
titik-titik syaraf dan
otot yang akan
memberi kenikmatan.
Mulanya Arwani segan,
sehingga menolak aku
pijat, tetapi setelah
aku bujuk berkali-kali
akhirnya dia nyerah
juga. Dia tidur
telungkup. Aku
memulai dari pijatan di
telapak kaki. Di sana
ada beberapa titik
yang kalau ditekan
akan berasa sakit, ada
juga yang
membangkitkan birahi.
Aku memijatnya
selang-seling antara
yang nikmat dan yang
agak sakit.
Dari telapak kaki naik
ke betis, maka
terkuaklah betisnya
yang langsing dan putih
melepak. Telapak
kakinya agak kasar
karena mungkin dia
sering tidak
mengenakan alas kaki.
Maklum orang desa.
Jariknya aku singkap
sampai lutut dan aku
memijatnya dengan
tekanan yang memberi
kenikmatan dan
meningkatkan gairah
aku melumuri betisnya
dengan hand and body
lotion, sehingga licin.
Setelah kedua betis,
lalu tanganku menjalar
ke atas tanpa
menyingkap jariknya.
Tanganku menelusuri
pahanya dan melumuri
dengan hand and body
lotion. Pijatan dan
tekanan di bagian paha
terutama di bagian
paha sisi dalam
memberi rangsangan
yang sangat tinggi bagi
wanita. Oleh karena itu
dia tidak
mempedulikan ketika
jariknya perlahan lahan
tersingkap.
Akal sehatnya sudah
mulai berkurang
karena sebagian sudah
dirasuki birahi. Celana
dalamnya terlihat
kumal terbuat dari kain
katun. Jadi ada
beberapa celah yang
memberi pemandangan
ke bagian dalam celana
itu. Aku terus memijat
dan menelusuri daging
pejal pantatnya.
Badannya terangkat
angkat karena
pengaruh nikmat
birahi. Jariku mulai
nakal menyentuh
pinggir daging
vaginanya, tetapi tidak
sampai masuk ke celah.
Wani sudah tidak
peduli hartanya mulai
terjamah oleh
tanganku. Dia sudah
"high".
Jariku masuk ke celah
yang ternyata sudah
berlendir. Dia tidak
menolak ada benda
asing berada di celah
kemaluannya. Jariku
mengorek-ngorek celah
itu dan mencari posisi
clitorisnya. Dia
terjingkat-jingkat
ketika clitorisnya aku
usap-usap.
Pelan-pelan celana
dalamnya aku
turunkan. Wani pasrah
saja dan menuruti
ketika aku lucuti. Dia
pun melemaskan
badannya ketika
kuputar sehingga
berposisi telentang.
Matanya aku tutup
dengan handuk kecil
setelah itu aku mulai
mengerjai clitorisnya.
Pinggulnya makin
berjingkat-jingkat jika
jariku mengenai ujung
clitorisnya. Sekitar 5
menit aku mainkan
clitorisnya sampai
akhirnya dia mencapai
orgasme.
Ketika terasa
vaginanya berkedut,
aku langsung
memeluknya dan
menciumi pipi dan
keningnya. Wani pasrah
saja. Dia pun pasrah
ketika bajunya kubuka
perlahan lahan dan
akhirnya BHnya pun
terlepas. Wani sudah
telanjang bulat.
Aku terkagum oleh
bodynya yang luar
biasa. Gumpalan
susunya masih tegak
menggumpal dan cukup
besar untuk wanita
seumurnya. Belakangan
aku tahu dia
mengenakan BH ukuran
36 cup C. Itupun tidak
semua daging teteknya
tertampung karena
sebagian masih luber.
Pentilnya masih kecil,
karena dia belum
pernah hamil. Tanpa
melepas moment yang
bagus aku menjilati dan
menghisap ujung
payudaranya sambil
yang sebelah aku
remas perlahan-lahan .
Wani sudah pasrah
tanpa perlawanan.
Perutnya masih rata
dan yang aku kagumi
adalah pinggangnya
yang mengecil dan
pinggulnya yang
melebar. Bulu
kemaluannya masih
belum lebat. Aku ciumi
perutnya lalu perlahan
lahan turun dan
akhirnya sampai ke
bagian kemaluannya.
Arwani seperti tersadar
ketika kemaluannya
aku ciumi. " Oom
jangan oom aku malu
dan jijik oom," katanya.
Tentunya aku tidak
bisa bicara, karena aku
segera membuka kedua
kakinya dan mulutku
langsung membekap
celah vaginanya.
Kepalaku awalnya
didorong untuk
menjauhi vaginanya,
tetapi ketika lidahku
menyentuh clitorisnya
dia menggelinjang dan
lupa akan tugas
tangannya yang
mencegah aku
menjilati kemaluannya.
Dia semakin larut pada
arus kenikmatan
sampai akhirnya
menjerit lirih karena
orgasmenya .
Beberapa saat setelah
orgasme aku langsung
menancapkan
senjataku ke lubang
kenikmatan sampai
kandas. Terasa
mencekam lubang
vaginanya. Aku lalu
memompanya
perlahan-lahan. Karena
ketatnya lubang vagina
itu, tidak sampai 5
menit aku sudah
nembak spermaku di
dalam vaginanya. Aku
rasa dia belum
mencapai orgasme
melalui hubungan sex
itu.
Aku biarkan sebentar
sampai penisku
menciut sampai
akhirnya keluar sendiri
dari sarang
kenikmatan. Meski
diluar hujan masih
deras, tetapi aku
merasa udara jadi
gerah. Kami berbaring
telanjang
berdampingan.
Tidak sampai 10 menit,
penisku sudah bangkit
lagi dan minta
disarangkan di lubang
nikmat. Tanpa
memperdulikan apakah
Arwani sudah siap atau
belum aku langsung
menungganginya
kembali. Penisku relatif
lebih licin masuk ke
celah vaginanya.
Namun cengkraman
lubang kenikmatannya
tidak berkurang
nikmatnya. Aku terus
menggenjot sambil
mencari posisi nikmat.
Pada ronde kedua ini
permainanku cukup
lama. Arwani sempat
mencapai orgasme
sekali berikutnya aku
mencapainya.
Beberapa saat kami
menyelesaikan
permainan dari luar
terdengar suara yang
meminta kami untuk
makan malam. Aku
mengenakan baju kaus
oblong lalu bersarung
tanpa mengenakan
celana dalam dan
Arwani mengenakan
lilitan jarik,
menggunakan atasan,
tetapi aku cegah dia
mengenakan BH. Dia
awalnya merasa malu,
tetapi setelah aku
bujuk dia akhirnya mau
menerima.
Aku keluar kamar
diikuti Arwani, Aku
langsung menuju kamar
mandi di belakang
dekat dapur untuk
membersihkan
kelaminku dari lumuran
sperma dan cairan
vagina Arwani. Setelah
selesai Arwani
bergantian masuk ke
kamar mandi. Aku
sengaja tetap berdiri di
dekat pintu kamar
mandi memperhatikan
Purwani sedang
menyiapkan hidangan.
Dari dalam kamar
mandi terdengar
desiran pancaran
kencing Arwani yang
cukup nyaring.
Hujan belum reda
meski pun tidak
sederas semula. Kami
makan dengan
menggelar tikar di
bawah. Rasanya nikmat
sekali makan dengan
duduk bersila
mengelilingi hidangan
di tengah. Suasana
sejuk karena hujan,
dilawan oleh hangatnya
asem-asem balungan
yang panas dan agak
pedas.
Selepas makan malam
yang amat nikmat aku
duduk di teras dimana
terdapat bale-bale. Aku
menyaksikan derasnya
hujan dan sesekali kilat
menerangi rimbunnya
halaman depan rumah
di pedesaan. Tak lama
kemudian menyusul 3
wanita mengerubungi
ku. Aku sudah seperti
raja minyak dengan 3
istri yang siap
melayaniku di ranjang.
Mereka semua manja-
manja mendekat dan
duduk di sekitarku.
Kami ngobrol "ngalor -
ngidul" artinya tanpa
fokus.
Purwanti membuka
pembicaraan dengan
mengatakan bahwa
malam ini kami
berempat tidur
bersama-sama di
kamarnya. Aku
sejujurnya sudah tidak
bergairah lagi bermain
di ranjang, karena
selama dua hari ini
sudah terlalu banyak
"bermain".
Aku disodori jamu
godokan, yang katanya
untuk menambah
kesehatan laki-laki.
Rasanya agak pahit,
tapi aku telan semua
lalu meminum sisa kopi
trubruk. Sepuluh menit
setelah itu badanku
mulai terasa panas,
sehingga tidak merasa
sejuknya suasana hujan
malam. Bukan itu saja,
senjataku perlahan-
lahan bagun pula,
meskipun tidak bangun
terlalu mengeras,
tetapi cukup berisi lah.
Sekitar jam 10 malam,
kami berempat masuk
ke kamar Purwanti. Di
kamarnya digelar dua
kasur lebar di lantai.
Mereka jika tidur
hanya menggunakan
kemben dari kain batik.
Si Wani juga begitu.
Aku tidak
merencanakan apa-apa
menghadapi 3
perempuan ini. Aku
akan pasrah saja apa
yang akan mereka
lakukan terhadapku.
Mereka rupanya
berinisiatif memijatku
secara bersamaan
bertiga, Seluruh
pakaianku dibuka
kecuali celana dalam
dan posisiku telungkup.
Terasa setiap bagian
yang memijatku
berbeda-beda, ada
bagian kaki kiri, ada
bagian kaki kanan dan
ada bagian tubuh.
Nikmat sekali menjadi
suami beristri tiga
sekaligus yang rukun
dalam satu ranjang.
Mereka semua patuh-
patuh dan melayani
dengan sepenuh hati.
Tidak ada yang ingin
menguasai. Seandainya
aku mempunyai istri-
istri yang begini,
nikmat sekali
kehidupan rumah
tanggaku.
Mungkin mereka akur
dan rukun karena
masih baru, jika sudah
lama-lama bisa saja
timbul rasa saling iri
dan berprasangka yang
keliru.
Sambil dipijat kami
mengobrol. Dari
obrolan itu Wani
menyebutkan dia masih
mempunyai adik yang
baru lulus SD. Sudah
setahun nganggur,
tidak sekolah karena
alasan tidak ada biaya.
Meskipun sekolah
gratis, tetapi bagi
orang desa tetap
merasa berat
membiayai transport,
uang jajan, baju dan
berbagai kelengkapan
sekolah.
Seketika itu aku tawari
untuk ikut ke Jakarta,
untuk menemani
kakaknya tinggal di
Jakarta. Wani merasa
senang lalu menciumi
ku. Ternyata dia
bertugas memijat
tubuhku bagian atas.
Jangan berpraduga
bahwa kelak aku akan
ngembat adiknya juga.
Sejujurnya pada waktu
itu aku hanya merasa
kasihan saja. Mereka
berdua akan aku
sewakan apartemen
studio di Jakarta dan
keduanya akan
kuusahakan
melanjutkan sekolah.
"Jangan seneng-seneng
dulu, anaknya belum
tentu mau, dan mbok
mu juga belum tentu
mengizinkan," kataku
sambil bertelungkup.
Bosan telungkup aku
berbalik telentang.
Celanaku
menggelembung. Si
Purwanti langsung saja
menarik celanaku
sehingga aku bugil.
Tanpa basa-basi dia
menggenggam penisku
yang memang sudah
menegang. Tangannya
mengocok perlahan-
lahan.
Tak puas mengocok
lalu dia mulai
mengulumnya. Aku
pasrah saja, sementara
itu si adik Purwani
memijat-mijat kaki
kiriku dan Arwani
memijat tangan
kananku sambil duduk
termangu melihat aksi
nekat buliknya
mengulum penisku.
Lama juga dia
mengulum penisku
yang sudah semakin
menegang, sehingga
dia lelah. " Ayo do
dibuka kabeh, mesakne
si oom e wudo dewe,"
kata si Purwanti yang
artinya kira-kira ayo
kita telanjang semua,
kasihan si oom
telanjang sendiri.
Purwani berdiri lalu
membuka kembennya
dan di dalamnya masih
ada celana dalam lalu
ia plorot kan. Kini dia
sudah bugil. Suasana
cahaya kamar agak
remang-reman
sehingga tidak jelas
betul detil body
mereka satu-persatu. Si
Arwani dengan gerakan
malu-malu melepas
kembennya dan celana
dalamnya, dia pun
kelihatan bugil.
Purwanti berdiri
melepas kuluman di
kontolku lalu melepas
semua bajunya.
Kontolku dilahap
adiknya si purwani.
Arwani kutarik dan
kuciumi susunya yang
sangat tebal, kenyal
dan besar. Aku
bergantian menyedot
pentilnya, sambil
tanganku meraih
selangkangannya
memainkan clitorisnya.
Aku tidak jelas siapa
yang melakukan,
karena merasa penisku
sudah tenggelam di
satu memek. Dia
langsung bermain
cepat dan dari
suaranya aku
mengenali bahwa itu
adalah suara Purwanti.
Dia bergoyang dan
asyik sendiri. Diaturnya
sendiri posisi
nikmatnya sampai
akhirnya dia berhenti
dan berasa denyutan di
memeknya yang
mencengkeram
penisku. Aku tidak
merasa terlalu nikmat,
biasa saja. Selepas itu
aku merasa Purwanti
berdiri lalu posisinya
digantikan Purwani.
Dia bergerak dengan
penuh perasaan, tetapi
diiringi dengan rintihan
nikmat. Tampaknya
Purwani berusaha
konsentrasi menikmati
senggama denganku.
Badannya penuh
keringat karena dia
sudah menderaku lebih
dari 10 menit.
Gerakannya lalu makin
cepat dan akhirnya dia
merintih bersamaan
dengan denyutan di
liang vaginanya.
Purwani ambruk di
sebelah kakaknya. Aku
lalu mengarahkan si
Arwani mengambil
posisi sama dengan
buliknya. Dia menuruti
saja dan dengan
bantuan tangannya
mengarahkan penisku
masuklah ke dalam
lubang kenikmatannya.
Vagina miliknya
memang berbeda
jepitannya. Hanya saja
dia belum mahir
bermain diatas,
sehingga gerakannya
masih kaku. Namun
rasa nikmat rupanya
yang menuntun ritme
gerak dan memperbaiki
posisinya. Tanpa sadar
dia mengerang sambil
seperti mengaduk
memeknya di kontolku.
Sementara itu aku
menikmati
pemandangan
guncangan buah
dadanya yang besar.
Aku meremas-remas
dengan kedua belah
tanganku. Meski pun
dalam keremangan
tetapi aku bisa jelas
melihat bentuk
payudaranya yang
nyaris sempurna.
Akhirnya dia menjerit,
dan ini kali agak keras
pula sehingga kedua
buliknya terjaga. "
Wani edan mbengok-
mbengok dewe," kata
Purwani. Maksudnya,
gila si wani menjerit-
jerit sendiri.
Sampai 3 wanita itu
orgasme aku sama
sekali maih jauh dari
puncak kenikmatanku.
Tapi aku malas untuk
bermain di atas
terhadap salah satu
dari mereka, sehingga
aku biarkan saja
penisku tetap tegang
sementara ke tiga
perempuan itu sudah
terbaring kelelahan di
dera orgasmenya
sendiri. Mungkin ini
pengaruh dari jamu
yang aku minum tadi,
dia selain
mempercepat ereksi
dan
mempertahankannya
sehingga tetap keras,
juga seperti membuat
penisku imun yang
membuatnya mampu
bertahan lama.
Untuk mengendorkan
tegangan di penisku
aku bangkit dengan
mengenakan sarung
dan oblong, keluar
kamar mereguk segelas
air putih dan ke kamar
mandi melepaskan
sebagian cadangan air
seni. Lalu mencuci
seputaran penisku.
Benar juga penisku
agak mengendur. Aku
kembali ke kamar dan
melihat hamparan
wanita bugil tidur
sesukanya.
Pagi harinya aku
terbangun karena
merasa ada yang
bermain kuda-kudaan
di atasku. Ternyata dia
adalah Arwani,
sementara itu yang lain
sudah tidak terlihat.
Aku berkonsentrasi
sampai arwani
mencapai orgasmenya
dan segera aku
balikkan posisi.
Sekarang giliran aku
menggenjotnya sampai
akhirnya aku mampu
melepaskan sperma.
Setelah itu kami
bersama-sama menuju
sungai mandi sambil
bersenda gurau. Terasa
tidak ada jarak
diantara kami demikian
juga diantara mereka.
Nikmat sekali rasanya
mandi bagai dikelilingi
3 istri yang rukun dan
akur.
Hari itu aku berencana
meninggalkan desa
Kropak. Arwani sudah
memutuskan untuk ikut
denganku ke Jakarta,
tetapi dia masih ingin
bicara dengan
keluarganya mengenai
rencana memboyong
adiknya juga. Arwani
meminjam sepeda
Purwanti pagi itu
pulang ke rumahnya.
Sedang kami masih
mempersiapkan
sarapan pagi. Purwanti
pagi itu menyiapkan
sarapan tiwul yang
berwarna coklat dan
rasanya agak manis
dengan parutan kelapa,
serta cenil. Katanya dia
beli di warung yang
memang selalu menjual
jajanan setiap pagi.
Aku sudah siap
berangkat, tetapi
masih menunggu
Arwani. Purwani
mengambil inisiatif
agar kami mendatangi
rumah Arwani dengan
menggunakan ojek.
Dua sepeda motor
sudah datang dan aku
dibonceng sendiri,
sedang Purwanti dan
Purwani bertiga
dengan tukang ojeknya
meluncur ke rumah
Arwani.
Kesan pertama ku
melihat rumah
keluarga Arwani adalah
mengenaskan.
Rumahnya terdiri dari
dinding anyaman
bambu, sangat
sederhana, ketika
masuk ke dalam
rumahnya yang tidak
terlalu besar, lantainya
diperkeras oleh semen.
Tidak ada barang
berharga yang berarti
di dalam rumahnya,
kecuali TV 12 inci.
Arwani dan ibunya
menyambutku lalu
seorang bapak tua
datang pula
menyalamiku, Dia
adalah bapak si Arwani,
lalu datang gadis kecil
menyalamiku dan
mencium tanganku. Dia
adalah adik Arwani
memperkenalkan diri
dengan menyebut
namanya Rachmawati.
Adiknya juga berwajah
manis ayu, umurnya
kutaksi masih sekitar
13 tahun. Arwani
menyatakan bahwa
ibunya setuju melepas
Rachma ikut dengan
Arwani ke Jakarta. Si
gadis kecil itu pun
mengangguk ketika
kutanya tentang akan
ke Jakarta.
Mereka bersiap-siap-
siap sejenak dan keluar
dengan baju yang rapi,
meskipun masih
terpancar
kesederhanaan.
Mereka membawa satu
kardus bekas mi instan.
Semua pakaian mereka
dibawa dalam kardus
itu. Aku mengelus dada
melihat kemiskinan
nyata di depanku. Aku
jadi berandai-andai,
mungkin jika aku
makan di restoran
Jepang di Jakarta, nilai
uang yang harus
kubayar bisa untuk
mereka hidup sebulan.
Aku membuka tas
ranselku, di tempat
tersembunyi masih ada
sisa uang di situ. Uang
itu masih satu gepok di
dalam amplop. Dengan
disamarkan bungkusan
koran aku serahkan
segepok uang seratus
ribuan ke ibunya.
Ibunya memegang
bungkusan itu,
menerimanya lalu dia
memelukku dan
menangis di dadaku.
Padahal dia tidak tahu
berapa nilai uang yang
aku berikan, tetapi
tangannya sudah
meraba bahwa uang
yang aku berikan
terasa tebal.
Tukang ojek yang akan
membawaku dan
Arwani serta adiknya
sudah menunggu di
depan. Kami
bersalaman dan
Purwanti serta Purwani
memelukku sambil
melelehkan air mata.
Mereka menuntut agar
aku harus datang
kembali ke rumah
mereka.
Perjalanan pulang
memang tidak terasa
lama. Kami sudah
berada di terminal bus
Purwodadi Grobogan.
Bergegas kami bertiga
menuju bus yang siap
berangkat ke
Semarang. Lumayan
cepat juga, karena
belum 3 jam bis sudah
tiba di Semarang. Aku
tidak turun di terminal,
tetapi di jalan di dalam
kota Semarang, dimana
banyak penumpang
turun disitu. Kami
bertiga mencegat taksi
dan meminta sopir
mengantar ke sebuah
hotel di Simpang lima
Bagi Rachma ini adalah
perjalanannya pertama
ke Semarang, tetapi
Arwani sudah 3 kali
katanya ke semarang,
meski yang terakhir
sudah lama sekali.
Untung kami dapat
room di Hotel yang
berada di wilayah
Simpang Lima
Semarang, Sebuah
kamar Executive.
Setelah bellboy yang
mengantar kami
keluar, aku membrief
mereka berdua
mengenai berbagai
fasilitas di kamar,
mengenai AC, kunci
kartu magnetik,
menghidupkan dan
mengatur siaran tv.
Setelah itu aku
berpindah ke kamar
mandi, mengenai
bagaimana
menggunakan semua
fasilitas di kamar
mandi itu. Aku agak
terperanjat juga
karena salah satu
dinding kamar mandi
hanya dibatasi oleh
kaca buram. Jadi siapa
pun yang berada di
dalam kamar mandi
akan terlihat dari
tempat tidur, meski
pun tidak jelas benar,
tetapi tetap saja
terlihat ketika sudah
telanjang.
Setelah kami
menyegarkan diri
dengan minum di mini
kulkas, kami
memutuskan turun dan
menuju pusat
perbelanjaan. Aku
berniat mendadani
mereka berdua agar
lebih modis. Mereka
agak canggung memilih
pakaian mereka
sendiri. Aku pun
sebenarnya kurang
paham mengenai
pakaian wanita.
Dengan mereka-reka
saja aku memilihkan
mereka masing-masing
2 celana jean, kaus
oblong, tank top,
celana pendek, daster,
sepatu, sendal, sepatu
kets, pakaian dalam
beberapa stel. Nah
mengenai pakaian
dalam ini aku tidak bisa
memberi saran. Aku
hanya berpesan kepada
SPGnya agar mereka
membantu memilihkan
untuk kedua anak
cewek itu.
Setelah tentengan
berat di kiri dan kanan,
kami kembali ke hotel.
Mereka membereskan
belanjaannya dan
melipat serta
memasukkan ke
traveling bag masing
masing yang baru.
Sementara itu aku
mandi menyegarkan
tubuh dan berendam di
bath tub. Hampir
setengah jam aku
berendam dengan air
hangat dan badan
sudah terasa segar
kembali serta rasa
lelah menjadi hilang.
Giliran mereka aku
suruh mandi. Mereka
agak malu-malu
terutama si Rachma.
Akhirnya mereka
berdua masuk kamar
mandi. Sebelumnya aku
sudah arahkan mereka
agar tetap menjaga
lantai kamar mandi
tetap kering.
Dari kaca buram aku
menyaksikan keduanya
mandi dengan shower
di bak bath tub. Meski
tidak terlalu jelas,
tetapi aku
mendapatkan
pandangan shiluet.
Mereka keluar dengan
baju barunya, celana
jeans dan kaus merah
serta pink. Meski
bajunya sudah modis,
tetapi tetap saja
mengesankan tampang
ndesonya. Kami turun
kembali dan menuju
mall. Tujuanku pertama
adalah salon, untuk
menata rambut
mereka.
Sekeluar dari salon
baru muncul
kecantikan
sesungguhnya dari
mereka. Karena sudah
terlalu lapar kami
kemudian mencari
makanan yang kiranya
cocok. Agar
memudahkan kami
menuju gerai fried
chicken.
Kedua mereka memang
sudah kelihatan modis,
dengan baju yang
selaras, tas kecil, hanya
make upnya yang
belum ada. Untuk itu
aku kurang ahli, nanti
saja di Jakarta mungkin
lebih pas. ***

Wisata sex 3

cerita sex-wisata
sex part3
Ini adalah cerita
bagian ketiga. Untuk
mengetahui cerita
sebelumnya silakan cari
atau googling.
Menjelang jam 4 sore
kereta api Matarmaja
muncul dari Barat. Aku
dan John sudah
menunggu hampir satu
jam di stasiun Pegaden
Baru, Subang untuk
melanjutkan perjalanan
ke Semarang. Jika
perjalanan normal
tidak ada hambatan
kami akan sampai di
Semarang sekitar jam
10 malam. Lumayan
waktu 6 jam dalam
kereta yang ACnya
masih berfungsi dengan
baik.
Kereta berhenti di
stasiun Semarang
Poncol. Aku tidak akrab
dengan daerah ini,
karena biasanya aku
turun di Stasiun
Semarang Tawang,
yang sering kebanjiran.
Di pintu keluar stasiun
kami sudah dicegat,
tukang becak, ojek,
dan taksi. Aku berdua
ngloyor saja keluar
sampai benar-benar
keluar dari pagar areal
stasiun. Di seberang
jalan ada warung
menjual minuman
segar, dalam kotak
pendingin.. Kepada
penjual di warung itu
aku bertanya-tanya
mengenai stasiun bis
untuk jurusan
Purwodadi. Dia
mengatakan, biasanya
jurusan Purwodadi
terakhir jalan jam 5
sore.
Kami mencegat taksi
dan kepada supir taksi,
kami minta diantar ke
hotel yang dekat
dengan Simpang Lima.
Tidak sampai setengah
jam taksi sudah
berhenti di depan lobby
hotel yang lumayan
juga. Mungkin hotel ini
sekitar bintang 3.
Urusan Chek in sudah
selesai dan kami
menuju kamar .
Lumayan bersih, kami
bergantian mandi dan
istirahat sejenak.
Malam itu kami
berkeliling-keliling
Simpang Lima
Semarang, untuk cuci
mata sambil makan
malam.
Pagi-pagi selepas
sarapan kami berdua
langsung chek out dan
memanggil taksi untuk
mengantar ke stasiun
bus Penggaron,
Semarang. Stasiun bus
yang tidak terlalu
besar, dengan mudah
kami mendapatkan bus
jurusan Purwodadi.
Duduk sekitar 15 menit
di dalam bus yang
lumayan hangat juga
karena busnya tidak
ada AC.
Normalnya Semarang
Purwodadi sekitar 2
jam, tetapi kali ini 3
jam baru sampai
terminal Purwodadi,
Grobogan. Jalannya
memang tidak lancar
karena ada perbaikan
di beberapa tempat
sehingga kendaraan
harus ngantri.
Turun dari bus sudah
dicegat tukang beca
dan ojek. Saya cuek aja
dan ngloyor, dan
seperti biasa mencari
warung untuk sekedar
ngopi sambil cari
informasi. Tanya sana-
sini sampai akhirnya
saya mengatakan mau
ke Kropak, Wirosari.
"Lho saya orang kropak
Pak, bapak mau cari
rumahnya siapa," kata
si Bapak pemilik
warung.
Waduh saya bingung
juga menjawabnya,
untung inspirasi segera
masuk, " mau ke balai
desa pak, mau ketemu
kepala desa," kata saya
menjawab sekenanya.
Saya lalu menanyakan
kendaraan menuju
Kropak, si Bapak
merekomendasikan
saya naik ojeg dia akan
mencarikan ojek yang
biasa ngantar ke
Kropak. Muncullah dua
pengojek dengan motor
bebek.
Saya langsung berdiri
dan menarik salah
seorang tukang ojek itu
keluar warung, agar
pembicaraan saya tidak
di dengar oleh si Bapak
pemilik warung,
Si tukang ojek paham
tujuan kami, tetapi dia
bukan penduduk sana
sehingga tidak bisa
menunjukkan tempat-
tempat yang saya
inginkan. Namun dia
banyak kenalan di
Kropak yang juga
pengojek, dia berharap
mereka bisa menuntun
saya lebih lanjut.
Setelah ongkos
disepakati, kami
meluncur dibawah terik
matahari. Jaraknya
lumayan jauh juga
sekitar 20 km dari kota
Purwodadi. Jalan yang
dilalui melalui jalan
tanah diantara sawah-
sawah, kadang-kadang
melewati semak dan
perkampungan kecil.
Sekitar setengah jam
kami akhirnya sampai
ke Kropak. Aku
diturunkan di sebuah
warung makan yang
sederhana. Ini
kesempatan kami
makan siang. Si
pengojek tadi setelah
menurunkan kami dia
mencari rekannya
pengojek yang standby
di desa itu. Tidak lama
kemudian muncul
tukang-tukang ojek itu.
Pengojek dari
Purwodadi setelah
dibayar ongkosnya dia
kembali ke Purwodadi,
sementara pengojek
asal Kropak menolak
kami ajak makan,
mereka akhirnya ngopi
saja.
Sambil senyum-senyum
mereka menanyakan
kira-kira yang
bagaimana yang kami
inginkan. Jika
mengikuti keinginan
kami mungkin agak
sulit, jadi saya balik
bertanya, stok yang
ada yang bagaimana
saja gambarannya.
Mereka tawarkan
umumnya sudah agak
berumur semua, rata-
rata diatas usia 25
tahun. Tidak ada yang
unik sehingga aku agak
sulit menentukan. Aku
tanyakan diantara
begitu banyak yang
ditawarkan adakah
yang kakak beradik.
Langsung di jawab,
"ada" malah ada 3 yang
begitu.
Setelah memperoleh
gambaran, akhirnya
aku dan john memilih
salah satu pasangan
kakak beradik yang
digambarkan paling
bagus. Aku memberi
kesempatan kepada
tukang ojek itu untuk
men cek apakah
mereka ada di rumah,
dan kalau ada mereka
juga perlu bersiap dan
juga apakah mereka
bisa terima tamu.
Keduanya akhirnya
meluncur, tidak sampai
setengah jam keduanya
kembali malah
diboncengannya ada
wanita-wanita. Kami
dperkenalkan,
orangnya lumayan
untuk ukuran desa,
badannya kelihatan
cukup terawat dan
sekel, kutaksir
umurnya belum sampai
25. Aku bersepakat
dengan John bahwa aku
mengambil si adik dan
John mengambil si
kakak. Kami juga
bersepakat untuk
nantinya tukar, aku
pakai kakaknya dan
John pakai si adik.
Meski pun mereka
tidak lagi bisa disebut
remaja, tetapi
wajahnya manis, jika
ada yang pernah
melihat wajah pesinden
Jawa Sunyahni, ya
kurang lebih seperti
itu. Kakak dan adik
lumayan cakep dan
yang lebih penting
bahenol.
Kedua mereka kembali
pulang setelah kami
tawari minuman
mereka menolak.
Selanjutnya kami
dibawa kerumah si
kakak beradik.
Rumahnya agak di
pinggir desa dan
belakang rumahnya
seperti ada suara
sungai dan memang
benar ada sungai yang
lumayan lebar dan
deras airnya.
Si kakak
memperkenalkan diri
bernama Purwanti dan
adiknya Purwani. Di
rumah itu mereka
tinggal bertiga, yang
seorang lagi adalah ibu
mereka yang sudah
cukup tua, tetapi masih
kelihatan sehat. Kami
sempat diperkenalkan.
Dia tidak bisa
berbahasa Indonesia,
ya untung aku bisa
sedikit ngomong Jawa.
Dia bercerita bahwa
masih mudanya dia
adalah penari ledek
tayub yang sering
berkeliling ke banyak
daerah, Kedua anaknya
mengikuti jejak ibunya
juga penari tayub.
Purwanti dan Purwani
sekarang statusnya
janda. Memang agak
susah mempunyai istri
yang profesinya
seorang penari yang
harus mampu
menggoda lelaki.
Kepiawaian menggoda
itulah yang merupakan
modal penting, karena
dengan demikian akan
diperoleh banyak duit
melalui saweran.
"Sekarang makin sepi
mas jarang ada
tanggapan, abis
dimana-mana pada sok
alim," kata si adik yang
kelihatannya lebih
lancar nyrocos.
Rumah mereka cukup
lumayan bersih untuk
ukuran desa, hanya
modelnya berbeda
dengan rumah desa di
Pegaden, Subang. Di
sini rumahnya model
kaya joglo, sehingga
kamar ada di kiri kanan
dan ruang keluarganya
ada ditengah dan tidak
berjendela. Terasnya
sangat leluasa selebar
rumah di situ ada set
kursi tamu sederhana
lalu ada amben atau
bale-bale. Di dalam ada
seperangkat kursi tamu
dan dibelakangnya ada
meja makan.
Aku dan John sepakat
memberi mereka uang
jasanya di depan.
Jumlahnya sudah kami
ketahui dari tukang
ojek pemandu tadi.
Dengan gaya malu-
malu mereka terima
uang itu tanpa
menghitungnya. Aku
menambahkan lagi
sedikit yang kusebut
sebagai uang makan
untuk makan nanti
malam dan sarapan
besok pagi.
"Waduh mas hari gini
gak ada warung sayur
yang jualan, nanti saya
minta tetangga
nangkep ayam dan
digoreng aja sekalian,"
kata Purwanti.
Dia lalu beranjak
keluar halaman rumah
dan menghubungi
tetangga yang
disuruhnya memasak
ayam goreng.
Sementara itu aku
minta Purwani
mengajak jalan-jalan
ke belakang rumah
dimana ada sungai.
Kami melewati kebun
yang ditanami ubi kayu
alias singkong, ubi
rambat atau telo, cabai
rawit dan kacang
panjang. Dibelakang
kebun itu lah terdapat
sungai yang airnya
jernih dan mengalir
cukup deras. Kami
harus hati-hati turun
ke bawah karena agak
jauh juga kebawah
sampai mendapatkan
air sungai. Di situ ada
tempat untuk cuci
pakaian dan sekaligus
mandi. "Mas kita nanti
mandi sore di sini, lebih
enak dari pada di
sumur. Airnya seger,"
kata Purwani.
Sekembali kami ke
rumah sudah terhidang
minuman hangat. "Mas
nyobain ini minuman
desa namanya wedang
uwuh". Di dalam gelas
yang cukup besar
terdapat daun-daun
kering, kulit kayu dan
rempah. Rasanya enak
juga dan menyegarkan.
Kami berempat ngobrol
berbagai hal sampai
juga membicarakan
kemungkinan kami
nanti malam
melakukan tukar
guling. Kelihatannya
mereka tidak
keberatan. "Emang
simasnya kuat ," ujar
Purwani.
"Eh masnya mau gak
nyoba jamu desa, jamu
godokan, kebetulan
tetangga saya buat
gituan, kalau mau saya
ambilin," kata
Purwanti.
Aku yang memang suka
jamu, oke-oke saja,
tetapi John dia tidak
suka rasa pahit jamu
jadi dia menolak untuk
coba-coba. "Eh mas
nanti lemes lho," kata
Purwani.
Menemani minum
wedang uwuh ada
singkong rebus.
Rasanya sih cukup
asyik, apalagi kami
makan di teras depan
dengan pemandangan
alam pedesaan dan bau
semak daun-daun. Dari
rumah tetangga yang
agak jauh terdengar
suara burung puter dan
tekukur dan sayup
sayup ada suara radio
yang sedang
mengumandangkan
lagu-lagu Jawa.
Suasana desa begini
sudah lama menjadi
impianku. Tentram,
meski sekarang
terganggu oleh
raungan suara sepeda
motor. Sekitar jam
setengah lima kami
diajak mandi sore ke
sungai di belakang. Aku
mengenakan celana
boxer, juga si John
sedangkan mereka
mengenakan kemben
kain batik. Berbeda
dengan adat di Subang,
di sini mereka mandi
masih pakai kain
basahan. Badannya
putih dan gempal.
Karena mereka tidak
membuka kembannya
aku pun mandi tetap
mengenakan celana
boxer. Air sungai yang
jernih terasa segar
sekali. Mereka mandi
sambil main ciblon,
dengan cara menepuk-
nepuk air.
John memang anak
terlalu kota, dia
seumur hidupnya belum
pernah tinggal di desa.
Kalau pun tinggal di
desa baru akhir-akhir
ini saja karena
kebetulan rumahnya
yang dia beli kompleks
BTN yang
membebaskan sawah.
Kalau menurut John
rumahnya mewah alias
mepet sawah.
Habis mandi badan
kami segar sekali. Aku
berganti celana dalam
mengenakan sarung
dan kaus oblong. Kami
digiring masuk kedalam
kamar masing-masing.
Di dalam kamar ada
tempat tidur besi yang
diselubungi kelambu.
Aku dipersilakan naik
ke tempat tidur
mengambil posisi di
dekat dinding.
Purwani rupanya ingin
memberi service
pijatan terlebih dahulu
aku diminta buka baju
tinggal celana dalam
saja tidur telungkup.
Acara pijat ini memang
paling aku sukai,
karena badanku
rasanya nikmat sekali
jika dipijat.
Tangannya mulai
merambah badanku,
mulai dari bahu lalu
turun ke pinggang lalu
turun ke kaki. Badanku
didudukinya. Dia masih
mengenakan kemben,
tetapi kulit
punggungku merasa di
balik kemben dia tidak
mengenakan apa-apa
lagi. Aku jadi makin
syur.
Adegan telungkup
berubah jadi telentang,
seluruh permukaan
badanku di jamah
dengan pijatan-pijatan.
Penisku menggembung
di balik celana dalam,
diacuhkan saja oleh
Purwani. Sampai
pijatan selesai terlihat
titik-titik keringat di
dahinya.
Badanku sudah segar
dan menawarkan
memijat dirinya.
Mulanya dia malu
menerima tawaran itu,
tetapi setelah aku
desak terus akhirnya
dia menyerah. " Mas e
bisa mijet to," katanya
kurang yakin.
"Ya dicoba wae mbak,"
kataku menimpali.
Dia tidur tengkurap,
dan aku mulai
melancarkan pijatan
dari ujung kaki, naik ke
betis, lalu ke paha.
Melalui gerakan pijat
kain sarungnya makin
naik tinggi sampai
kedua bongkahan
pantatnya terlihat.
Purwani berkali-kali
memuji pijatanku. Aku
memang agak peham
titik-titik syaraf,
termasuk titik syaraf
birahi wanita. Ketika
bongkahan pantatnya
aku pijat, sebenarnya
dia sudah mulai naik
nafsunya, tetapi
kelihatannya dia
menahannya.
Aku berpindah dari
bongkahan pantat yang
gempal ke bahu. Lemak
di bagian belakang
tubuhnya lumayan
kencang. Pijatan terus
turun ke bawah sampai
lagi ke bongkahan
pantat.
Ketika dia kuminta
berbalik telentang,
Purwani berusaha
menutup bagian
kemaluannya dan
kedua payudaranya
dengan kemben batik.
Aku kembali memijat
dari ujung kaki terus
naik secara perlahan-
lahan ke paha. Paha
bagian dalam adalah
bagian kelemahan
wanita. Jika bagian itu
diberi tekanan lembut,
dia akan merangsang
pemiliknya. Memang
ketika bagian itu aku
sentuh, Purwani sudah
mulai menggeliat. Dia
sudah mulai terlanda
birahi. Makanya ketika
kain batiknya aku
singkap ke atas dia
sudah tidak peduli lagi.
Segitiga
selangkangannya sudah
terbuka dan aku bisa
dengan jelas melihat
jembut yang tidak
terlalu lebat, tetapi
istimewanya bagian
kemaluannya
membubung, Orang
desa menyebutnya
mentul. Aku memijat
bagian pinggir
kemaluannya lalu aku
tekan-tekan bukit
kemaluannya. dia
sudah makin sering
menggelinjang. Dengan
gerakan sambil
memijat, salah satu jari
kelingkingku masuk
kecelah kemaluannya.
Terasa berlendir basah.
Dia dipastikan sudah
sangat terangsang.
Aku lalu memainkan
clitorisnya, dia semakin
menggelinjang gak
karauan, aku
memainkan dengan
gerakan konstan dan
sentuhan halus sampai
dia mencapai orgasme
yang ditandai dengan
denyutan lubang
memeknya. Setelah
reda aku mencolokkan
perlahan-lahan jari
tengah dan jari manis
ke dalam vagina
sampai seluruh jariku
terbenam. Setelah
vaginanya terbiasa
menerima kedua jariku
aku memainkannya
dengan mengocok dan
kadang-kadang
melakukan gerakan
seolah mengangkat
tubuhnya dengan
kedua jariku. Purwani
melolong-lolong nikmat
sampai akhirnya dia
menjerit nikmat.
Badannya sampai ikut
berkedut-kedut karena
hentakan orgasmenya
yang demikian kuat.
Bukan itu saja, dari
belahan vaginanya ada
memuncrat berkali-kali
cairan sampai
mengenai hidungku.
Dia mengalami
orgasme vagina dan
berejakulasi.
Akhirnya dia terkulai
lemas, kembennya
sudah gak karuan dan
tidak lagi menutupi
buah dadanya yang
membengkak. " Mas
seumur-umur aku baru
ngrasai enak yang
kayak gini , sampai
rasanya ada yang
muncrat ya mas,"
katanya.
Aku menciumi
wajahnya yang sedikit
berkeringat. Dia lalu
memelukku erat sekali.
" Mas sudah tinggal di
sini aja sama saya
jangan pulang lagi, "
katanya .
Wanita yang baru
mendapat orgasmenya
yang dahsyat jika
dilanjutkan dengan
menciumi wajahnya
seperti mencurahkan
kasih sayang, dia akan
sangat berkesan dan
ingin selalu berada di
dekat kita. "Mas
awakku lemes banget
he rasane, lan rada
ngantuk," ujarnya.
Aku yang sudah
mencapai ketegangan
top, tentu saja
mengabaikan
keluhannya,
Kembennya aku buka
sehingga di telanjang
bulat lalu celanaku
kulepas dan dengan
posisi menindihnya aku
mencolokkan penisku
memasuki gerbang
kenikmatannya.
Meski lubangnya terasa
licin, tetapi karena
cairannya agak kental,
jadi rasanya rada
megang tuh memek.
Rasa vaginanya enak
sekali. Aku terus
bermain
menggenjotnya.
Mungkin karena dia
baru saja mencapai
orgasme dan merasa
dekat dengan aku, dia
cepat sekali mencapai
orgasme berikutnya
sampai akhirnya aku
mencapai ejakulasi
juga . Spermaku
kulepas di dalam
vagina dengan
menekankan
kemaluanku sedalam-
dalamnya.
"Mas suwun yo mas
sudah lama aku nggak
dapet rasa nikmat yang
begini, mas kok pinter
banget sih, " katanya.
Kami lalu beristirahat
sebentar, sambil
ngobrol. Dia katanya
ngantuk sekali, ingin
tidur sebentar. Aku
terpaksa bengong saja
menunggui dia tidur.
Dengan bersarung, aku
keluar mencari kamar
mandi di dalam
rumahnya. Disitu
kucuci senjataku lalu
mengenakan celana
dalam dan mengenakan
kaus oblong.
Ketika keluar aku
berpapasan dengan
Purwanti, "Mas
temenmu ngorok, Wani
mana, " tanyanya.
"Ngorok," jawabku
singkat.
"Wah mas e pasti kuat
lan pinter main e,"
kata Purwanti
mengambil kesimpulan
singkat.
Jam sudah
menunjukkan jam 8
malam, perut sudah
mulai menghisap.
Purwanti
membangunkan Wani
untuk membantunya
menyiapkan makanan.
Lauknya adalah ayam
goreng dan sambel. Si
John dengan mengusap-
usap mata keluar dari
kamarnya.
Ketika kurasai ayam
gorengnya masih
terasa bau amis ayam.
"Mbak ayam nya kita
buat soto saja ya."
Kataku.
"Mas aku gak punya
bumbunya," katanya.
"Tenang wae aku sing
nggae," kataku
menyatakan siap
membuat soto ayam
seketika. Didalam
ranselku ada 2 bungkus
mihun jagung soto
ayam, Aku minta
mereka nyuir-suir
ayamnya sementara
aku merebus mihun.
Sekitar 5 menit bihun
rebus rasa soto sudah
selesai dan kuletakkan
dipanci dengan air yang
berlebihan, lalu tambah
garam sedikit, merica
bubuk dan msg, sampai
rasanya pas ketika
kucicipi.
Nasi kami ditaburi
suiran ayam lalu kuah
soto dengan bihunnya
kami tuang ke piring
masing-masing. Nasi
panas dan soto panas,
tambah sambel
bawang, wuih rasanya
nikmat banget. "Eh mas
e kok pinter yo mbikin
soto cepet banget dan
enak e nggak kalah
karo warung soto,"
kalau keadaan darurat
memang harus gitu
kataku.
Lho mas e memang
pinter masak tho,
tanya si Purwanti, aku
jawab sedikit-sedikit
bisalah. "Wah
kebetulan besok lagi
pasaran di desa, jadi
banyak orang jualan,
Besok kita belanja ya,
terus mas e sing masak.
Di desa-desa di jawa,
tidak setiap hari ada
pasar, biasanya pasar
diselenggarakan
seminggu sekali. Ada
yang mengikuti hari
berdasarkan
penanggalan masehi,
tetapi kebanyakan
mengikuti hari-hari
jawa atau disebut
naptu, Jadi ada pasar
paing, disebut paingan,
pasar legi ya legian.
Aku tidak ingat di
Kropak itu pasar apa.
Setelah makan
bersama, termasuk si
mbah ikut makan
bersama, kami istrihat
sambil makan angin,
begitu istilahku, duduk-
duduk di amben teras
depan. Suasananya
senyap sekali, hanya
suara jangkrik dan
macam-macam
binatang lainnya yang
terdengar.
Malam ini Nyonya
rumah menyuguhkan
kopi tubruk yang
dicampur jahe. Rasanya
pedes dan seger. Kopi
adalah persiapan untuk
kami tidur sampai
larut. Menjelang jam 10
kami digiring masuk,
kali ini swing, atau
tukar peraduan, Aku
masuk ke kamar
kakaknya Purwanti,
Purwani menyeret John
memasuki kamarnya.
"Mas kata adi ku, si
mas e pinter mijet yo,"
kata Purwanti.
"Kalau mau dipijet,
mesti mijet dulu,"
kataku.
Aku pun lalu membuka
semua baju termasuk
celana dalamku. Itu
aku lakukan karena
ruang tidur kami agak
gelap. Aku langsung
tidur tengkurep.
"Eh mas e lha kok
langsung telanjang yo."
Katanya sambil
meraba-raba pantatku
"Iya dari pada repot
nanti, toh akhirnya
dibuka juga, "kataku.
Seperti ritual pijat
biasa dan kemudian
aku membalas dengan
memijat dirinya. Si
kakak ini malah cepet
banget terangsangnya.
Mungkin karena
suasana gelap dia jadi
merasa makin
romantis. Ketika
kucolok dua jariku dan
mempermainkan
gspotnya dia berteriak
ketika orgasmenya
datang. Kayak gak
peduli, dan mukaku
kena semprot pula
pancaran ejakulasinya.
Aku juga
memperlakukan
Purwanti dengan penuh
kasih sayang, kuciumi
wajahnya yang baru
saja dia mendapat
orgasme tertingginya.
"Mas tinggal seminggu
di sini ya, gak usah kasi
duit aku juga gak apa-
apa, aku bakal kangen
terus karo sampean,"
katanya sambil
memelukku erat sekali
seolah-olah dia tidak
rela melepas tubuhku.
Selanjutnya aku
menggenjot tubuhnya
sampai dia kembali
kelojotan. Jamu
godogan yang aku
minum tadi memang
membuktikan
khasiatnya. Badanku
tidak terasa capek
sama sekali bahkan
batangku tetap berdiri
tegak 100%.. Si
Purwanti kewalahan
menghadapi aksiku
sampai dia minta
disudahi saja
permainannya, padahal
aku belum nyampe.
Untuk mempercepat
orgasmeku aku harus
berkonstrasi penuh,
sampai akhirnya
sampai juga ke puncak
dan tembakan kulepas
di dalam liang
kenikamatan yang
terdalam.
Baru saja setengah jam
istirahat, tiba-tiba si
adik masuk dan
langsung mengambil
posisi tidur
disebelahku, rasanya
tempat tidur jadi
sempit karena aku
diapit di tengah. " Lha
kok kawanku
ditinggal," tanya ku.
" Habis dia udah gak
kuat main lagi mana
langsung ngorok, ya
udah aku tinggal aja
kemarin, abis suarane
si mbak tadi njerit,
pasti keenakan ya,"
kata Purwani.
Akhirnya aku setuju
tidur bertiga tapi aku
mengajukan syarat
mereka dan aku semua
tidur tanpa baju. Aku
bilang biar gampang.
Benar juga si adik
belum sejam istirahat
sudah mengelus-elus si
Boy. Eh ditantang
begitu dia langsung
bangun dan siap
bertempur lagi.
Sebetulnya aku sudah
rada males, tapi
namanya kesempatan
yang jarang ada, maka
kubiarkan saja.
Purwani tanpa malu-
malu menaiki tubuhku
dan memasukkan
batangku ke vaginanya.
Dia bermain sampai
mencapai kepuasan
dan akhirnya ambruk.
Lalu tidur di
sampingku. Kakaknya
sudah tertidur dari
tadi. Sementara
barangku masih tegak
berdiri, tetapi, karena
mataku agak
mengantuk maka
kubiarkan saja dia
bangun sendirian.
Pagi-pagi sekali aku
sudah dikerubuti kakak
beradik, Aku tersadar
ketika penisku sudah
menghunjam lubang
kenikmatan Purwanti.
Sementara itu si Adik
menciumi dadaku
setelah itu
menyodorkan susunya
minta diemut. Kedua
mereka belum pernah
punya anak sehingga
putting susunya masih
tidak terlalu besar.
Aku baru mengalami
bahwa aku bisa kalah
cepat bangun
dibandingkan penisku.
Sebab ketika aku
bangun penisku sudah
keras sehingga mampu
masuk ke dalam sarang
Purwanti. Purwanti
kelihatan berusaha
konsentrasi dengan
permainannya sehingga
dia lebih cepat
mencapai orgasme.
Begitu ambruk dan
rebah di sampingku,
posisinya digantikan
oleh adiknya yang
mengambil posisi WOT
seperti kakaknya.
Mungkin juga karena
ada rasa sehati
permainan mereka bisa
semangat dan yang
lebih penting mereka
cepat mencapai
orgasme.
Sampai Purwani
ambruk aku belum
mencapai orgasme, aku
berpikir perlu
menghemat tenaga .
Sebab jika aku orgasme
di pagi ini badanku
akan lemas dan
sepanjang hari nanti
bakal ngantuk melulu.
Cahaya matahari pagi
sudah mulai menerobos
celah-celah jendela.
Kakak beradik sudah
terkapar dan
kelihatannya mereka
tertidur. Aku bangun
keluar kamar dan
menuju kamar mandi
untuk bersih-bersih.
Aku harus berterima
kasih pada siapa pun
yang punya gagasan
mengganti minyak
tanah dengan gas,
sehingga dapur di desa
yang jauh dari kota
juga menggunakan
kompor gas. Aku masak
air di ceret lalu melihat
persediaan makanan.
Ada ikan asin, ada cabe
hijau, bawang merah
dan putih, dan
tentunya terasi juga.
Sedang aku di dapur
muncul si mbah sambil
bertanya kemana
kedua anaknya. Aku
katakan saja bahwa
mereka belum bangun.
Si Mbah bingung,
karena kedua anaknya
itu tidak biasa bangun
kesiangan.
Dia membantu aku
mengupas bawang lalu
menguleknya dan
menggoreng ikan asin.
Aku lalu membuat nasi
goreng sambal hijau
dengan taburan ikan
asin goreng kering
yang sudah dipotel
kecil-kecil. Aku sengaja
membuatnya pedas.
Seharusnya kalau ada
telor bisa dibuatkan
telor mata sapi.
Nasi goreng sudah siap
tapi belum tersaji
karena masih di kuali,
dan air panas siap
diseduh dengan kopi.
Purwanti dan Purwani
tergopoh-gopoh keluar
kamar dengan hanya
berkemben kain. Dia
merasa malu, karena
aku melakukan
persiapan sarapan pagi,
padahal seharusnya
merekalah yang
berkewajiban.
"Wah mas e luar biasa
sampai aku ama wani
kesirep, " kata
Purwanti malu. Dia
meminta aku duduk
saja di depan dan untuk
selanjutnya dia yang
akan ambil oper
pekerjaan
mempersiapkan makan
pagi. Aku dan John
sempat jalan-jalan di
dekat-dekat situ
melihat sekeliling.
Penduduk di situ
ramah-ramah. Mereka
menegur kami ramah.
Aku tidak jalan jauh-
jauh lalu kembali duduk
di teras rumah dua
kakak beradik.
Sambil masih
mengenakan kemben
mereka
menghidangkan nasi
goreng ikan asin cabe
hijau dan kopi tubruk.
Mereka dan simbah
ikut nimbrung makan.
Kata mereka pedesnya
pol, alias pedes banget,
tapi enak. Si John yang
tidak tahan pedes,
terpaksa mencampur
dengan nasi putih
dingin.
Sehabis makan kami
istrahat sebentar lalu
beriringan menuju
sungai di balakang
rumah. Kali ini aku
mandi telanjang saja,
karena memang
tempatnya agak
terlindung. Akhirnya
kedua cewek itu pun
ikut-ikutan mandi
telanjang. John jadi
terpaksa telanjang juga
dia. Tidak terjadi
insiden di sungai,
kecuali saling meraba
dan menyabuni. Air
sungai yang dingin
membuat kami harus
cepat-cepat.
Seperti yang mereka
katakan kemarin,
bahwa hari ini ada
pasaran di kampung
mereka. Wani
menanyakan aku masih
belum pulang hari ini.
Aku jawab Iya.Dia lalu
menanya kan aku ingin
makan apa hari ini. Aku
teringat masakan khas
daerah perbatasan
jawa timut jawa tengah
adalah " asem-asem
balungan". Ini masakan
menggunakan daging
kambing berkuah asam
yang segar. Uniknya
rasa asamnya diperoleh
dari daun kedondong
muda. Kata purwanti
asem-asem adalah
keahlian si mbah.
Kami berempat jalan
menuju pasar yang
berjarak sekitar 10
menit dari rumah. Pagi
itu pasar sudah ramai
orang berjualan
macam-macam, mulai
dari bahan makanan
mentah sampai
makanan matang dan
jajanan khas desa
seperti, tiwul, gatot
dan berbagai nama
lainnya yang aku lupa
sebutannya.
Seharian itu kami
menikmati masakan
dan suasana
keheningan desa yang
damai dan tentram.
Rasa nya tidak ada
gairah ngesek, siang-
siang. Karena selain
udaranya panas, aku
dan John sudah terlalu
puas ngeseks selama
ini. Malah sehabis
makan siang aku
ngantuk dan tertidur
entah di kamar siapa.
Mungkin John juga
begitu.
Cukup lama juga aku
tertidur, karena ketika
bangun jam ditangan
sudah menunjukkan
pukul 4 sore. ***

Wisata sex 2

cerita sex-wisata
sex part2
Pada bagian pertama
cerita ini aku
menguraikan
berkunjung ke desa
yang penduduknya
terbuka menerima
tamu dari lain daerah
untuk menginap
dirumah bersama
wanita, yang itu bisa
saja janda, istri,
ataupun anak, dari
yang menempati rumah
itu. Cerita bagian
pertama diakhiri
dengan sesi foto-foto
telanjang terhadap 5
anak remaja yang
terhitung masih di
bawah umur dan 2
wanita dewasa.Foto -
foto berlangsung di
rumah Titin yang
malam sebelumnya
menemaniku tidur
bersama adiknya
Neneng yang masih
remaja.
John berbisik bahwa
masih ada peluang
bermalam dengan anak
belia seperti yang
ditunukkan pemilik
warung tempat kami
istirahat ketika tiba di
kampung ini kemari.
Menurut John anak
yang diperkenalkan itu
lumayan manis.
Gara-gara ingin
mencoba yang lain
akhirnya kami pamitan
dan berpisah dengan
anak-anak yang tadi
aku jadikan model
dadakan.
Aku dan John diantar
Dedeh kembali ke
warung tempat kami
pertama kali bertemu.
Si penjaga warung
masih ingat kami. Kami
baru tahu kalau pemilik
warung itu namanya
Pak Rawi. Aku tanpa
basa basi menanyakan
mengenai cewek-cewk
abg kemarin yang
ditawarkan kepada
kami. Dengan gaya
kalem, Pak Rawi
mengatakan, gampang
bos, nanti saya
kerumahnya dulu.
Berhubung matahari
mulai tinggi dan perut
sudah mulai menuntut,
aku tanya ke Dedeh
apakah ada warung
makan di sekitar sini.
Dia menyebutkan nama
warung yang katanya
bisa jalan kaki saja ke
sana. Aku pamit ke Pak
Rawi mau makan siang
dulu. Kami bertiga
jalan beriringan di jalan
desa yang agak
berdebu.
Warung makan yang
tidak besar, hanya ada
dua baris meja dengan
bangku-bangku
panjang. Yang dijual
hanya ayam goreng,
lele goreng dan sambal
serta lalapan. Aku
memesan lele John dan
Dedeh lebih memilih
ayam goreng. Untuk
ukran di desa begini ya
lumayan juga lah. Perut
kenyang, otak mulai
cemerlang lagi.
Lebih kurang sejam
kami sudah kembali
lagi di warung pak
Rawi. Aku dipersilakan
masuk ke dalam
rumahnya. Di dalam
ternyata sudah ada 4
anak yang masih
sangat belia. Waktu itu
Pak Rawi menyebut
nama-nama mereka,
tetapi otakku tak
mampu merekamnya,
sebab aku fokus
dengan sajian di
depanku dan
mengherankan ku
mereka masih hijau
sekali.
Pak Rawi menyebut
dua anak yang kutaksir
berusia 17 dan 15
tahun, kata dia mereka
berdua adalah kakak
beradik kandung. Aku
bertanya ke pak Rawi,
apa bisa aku menginap
dirumah mereka dan
mniduri mereka
berdua. Kata Pak rawi,
yang dibenarkan
Dedeh, bahwa gak
masalah. Padahal
menurut ceritanya,
mereka masih
mempunyai orang tua
lengkap, ada bapaknya,
dan masih ada adik
seorang.
Tantangan yang sangat
menggoda. Pak Rawi
kelihatan keluar
sebentar dan kembali
masuk menggandeng
seorang pria yang
kutaksir berusia sekitar
40 tahun. " Ini
bapaknya," kata Pak
Rawi.
Aku makin bingung,
apa yang harus
kukatakan kalau aku
berminat kepada kedua
anaknya itu. Kalau
kukatakan langsung
rasanya terlalu vulgar,
tetapi kalau dengan
kata tersamar, apa
yang harus diucapkan,
bingung sekali,
sehingga aku hanya
terdiam.
"Mangga bos kalau
memang berminat
sama anak saya, gak
masalah. Di sini mah
udah biasa, jangan
sungkan-sungkan."
kata si Bapak kedua
anak itu.
"Biar masih abg tapi
anak-anak ini sudah
janda bos, jadi jangan
kuatir," sambung Si Pak
Rawi.
Tambahan informasi ini
malah makin membuat
bingung, anak umur 14
tahun sudah janda,
kapan kawinnya. Ini
pertanyaan penasaran
yang tidak bisa aku
redam sehingga
terlontar begitu saja.
"Ah si Yati mah baru
kawin 3 bulan,
suaminya penangguran
gak bisa kasi nafkah,
akhirnya cerai lagi
kakaknya juga gitu,
belum ada setahun
kawin lakinya ngabur
kerja ke Jakarta, gak
pulang-pulang," kata si
Ayah.
Situasi makin seru dan
aku tidak bisa
membayangkan
bagaimana seandainya
aku menginap di rumah
kakak beradik ini.
Tamu yang bakal
ngentotin anaknya
yang masih berusia
remaja. Benar-benar
sulit
membayangkannya.
Aku penasaran dengan
tantangan seperti itu
akhirnya aku setuju
akan bermukim malam
ini di rumah kakak
beradik ini.
Sementara itu John
rupanya dia kurang
selera dengan ABG, dia
berbisik ke Dedeh, jika
ada temennya yang
bisa menampungnya
malam ini. Bu Dedeh
hanya bilang "Sip," lalu
dia berlalu keluar.
Sementara itu Si bapak
menginstruksikan
kedua anaknya
mendahului pulang ke
rumah. Aku mengobrol
macam-macam dengan
si Bapak yang
kemudian kuingat
bernama Akhmad.
Semua anak-anak
peremuan tadi bubar
dan kami meneruskan
ngobrol sambil
menyeruput kopi
tubruk yang hangat.
Mungkin ada satu jam
kami berbual, sampai
muncul si Dedeh
bersama wanita
lumayan manis,
bahenol, usianya
sekitar 25 tahun,
matanya centil, dia
menyalami kami semua
disitu. Dedeh lalu
mengatur cewek itu
duduk di sebelah John.
Setelah basa-basi dan
ngobrol mengenai
macam-macam.
Akhirnya kami
beranjak. John digiring
ke rumah pasangannya,
aku diajak kerumah si
Akhmad. Rumahnya
tidak terlalu jauh,
hanya beda arah
dengan rumah yang
kuinapi semalam. Jalan
masuk gang, berkali-
kali Akhmad bertegur
sapa dengan orang di
sepanjang perjalanan.
Rumah Akhmad di
dalam gang yang
berliku liku. Aku harus
ditunjukkan jalan besok
jika keluar dari
kediaman Akhmad,
karena tidak semua
yang kami lalui adalah
jalan gang, ada melalui
belakang rumah orang,
melintas sumur,
kadang-kadang
menerobos kawat
jemuran. Mungkin aku
dibawanya melalui
jalan pintas.
Setibanya di rumah aku
disambut oleh istri si
Akhmad. Mungkin dia
kawin muda dulu,
anaknya sudah sebesar,
ini kok istrinya masih
kelihatan muda juga.
Atau istrinya memang
berpenampilan lebih
muda dari usianya.
Lumayan juga istri si
Ahmad.
Jangan langsung
menuduh aku berminat
pula pada istri si
Akhmad. Sebab aku
masih belum bisa
menghilangkan rasa
kikuk bertamu ke
rumah Akhmad yang
akan menyerahkan
kedua anaknya ditiduri
di rumah ini juga.
Rumahnya lumayan
bersih dan lebih bagus
dari rumah-rumah yang
kusinggahi semalam.
Namun desain
rumahnya yang tidak
terlalu modern, hampir
sama dengan rumah-
rumah lain di desa.
Ruang tamu
memanjang lalu di
sebelahnya pintu-pintu
ruang tidur.
Aku dipersilakan duduk
lalu tidak lama
kemudian duduk dan
diberi hidangan kopi
mix. Aku ngobrol ,
istrinya juga ikut
nimbrung. Dari kesanku
selintas istri Akhmad
kelihatan centil, ini
terlihat dari matanya
yang liar. "Aku lalu
membatin di dalam
hati, ah mana mungkin
3 perempuan di rumah
ini aku embat semua,
emak dan dua anak
kandungnya, ah sulit
membayangkan
adegannya," itulah
pikiran yang bermain
diotakku.
"Pak kalau berminat
sama istri saya, sok
aja," kata Akhmad
yang mengagetkan
lamunanku. Mungkin
gestur tubuhku tidak
bisa menyimpan apa
yang berada di
pikiranku, sehingga
Akhmad membaca apa
yang kuhayalkan.
Aku jadi bingung
menjawabnya, kalau
aku katakan tidak,
padahal sebenarnya
ingin juga. Paling tidak
ingin mengalami
dikerubuti 3
perempuan yang terdiri
dari ibu dan dua
anaknya yang masih
remaja. Sebaliknya
kalau bilang iya, masa
polos begitu
ngomongnya.
Situasi sulit untuk
menentukan sikap.
"Sudah bos nanti saya
pijetin, gak usah
mikirin bayaran,
pokoknya asal bos
kerasan aja," kata si
nyonya Akhmad.
"Sok lah jangan segan-
segan di kampung mah
udah biasa, kebetulan
ntar malam saya dapat
giliran ronda," kata si
Akhmad.
Aku Cuma mampu
tersenyum, ngomong
apa pun tak bisa
karena bingung apa
yang harus
diomongkan.
Tawarannya gak masuk
akal banget sih.
Hari sudah mulai sore,
aku menyerahkan uang
jasa untukmeniduri dua
anak dan ibunya
sekaligus ke si emak.
Uang begitu saja
diterima, tanpa
dihitung. Aku sudah
bisa mengira-ngira
berapa biaya yang
harus aku keluarkan
untuk urusan menginap
di desa ini. Kalau
dibandingkan sih
hampir sama dengan
tarif hotel bintang 5 di
Jakarta menginap satu
malam, bedanya disini
diselimuti 3 wanita
yang menarik, Kalau di
Jakarta ya hanya kamar
mewah, dingin karena
AC dan kamar
mandinya bisa untuk
berendam air panas.
Aku meneruskan
mengobrol gak tentu
arah dengan si
Akhmad, kedua
anaknya tidak
kelihatan, si nyonya
sudah beranjak. Sekitar
jam setengah enam
sore mereka datang
bertiga lalu menawari
aku mandi di sumur di
belakang rumah.
Badanku memang
sudah agak berkuah
karena udara panas di
desa.
Seperti di rumah
sebelumnya aku diberi
pinjaman kain sarung
dan ditunjukkan kamar
tidur tempat aku
meletakkan ransel. Di
dalam kamar yang
tidak terlalu luas,
terhampar kasur di
lantai dilapisi tikar
yang ukurannya lebih
lebar. Di tikar dan di
kasur ada beberapa
bantal. Mungkin kalau
udara panas mereka
tidur di tikar.
Aku melepas blue jeans
dan mengganti kaus
dengan kaus oblong
hitam katun. Semua
kaus oblong ku
memang dari katun,
karena nyaman untuk
berkelana. Dengan
hanya bercelana dalam
dan ditutupi sarung
serta kaus oblong dan
handuk, serta sikat gigi
dan sabun cair botol
kecil aku keluar kamar.
Ketiga perempuan itu
sudah berada di ruang
tengah, si Akhmad
tidak kelihatan. Para
wanita mengenakan
kemben sarung yang
menutupi buah dada
sampai ke lutut dengan
kain sarung. Umumnya
wanita desa kalau
mandi memang seperti
itu busananya.
Aku digandeng si
nyonya yang kemudian
aku kenali dengan
nama Teh Indun. Dia
menggiringku ke
belakang rumah.
Dibelakang rumah ada
kebun singkong, kami
keluar dari pintu dapur
berjalan sekitar 10 m
dan berbelok ke kiri.
Ada bagian yang
terbuka tidak ditumbuh
tanaman kebun,
ditengahnya ada
berdiri pompa tangan
dan ada 2 ember yang
sudah berisi air. Kalau
ini kamar mandinya,
kenapa tidak ada
dinding. Yang ada
hanya tonggak kayu
untuk menyangkutkan
baju. Lantainya
sebagian dari semen
sebagian lagi batu bata
yang disusun.
Aku masih terbingung-
bingung, karena serasa
mandi ditengah kebun.
Meski tidak terlihat
dari mana-mana, tetapi
aku masih merasa rikuh
juga jika harus
bertelanjang di kamar
mandi yang terbuka
gini. Aku mengangkat
sarung dan mengambil
segayung air untuk
sikat gigi. Paling tidak
aku menunggu apa
yang mereka lakukan
dan bagaimana cara
mereka mandi.
Ternyata eh ternyata,
tanpa sungkan-sungkan
mereka bertiga
membuka kemben dan
menyangkutkan ke
tiang-tiang. Lalu bugil
dan langsung jongkok
di dekat ember penuh
berisi air. Mereka tidak
mengenakan apa-apa
lagi dibalik kain sarung.
Ketiga perempuan itu
lalu menyiduk air dan
mandi. Mereka
menyabuni tubuh
sambil tetap jongkok.
Memang kalau posisi
jongkok gitu, tidak
banyak yang bisa
terlihat, karena
kemaluan tertutup
ember dan kedua
payudara agak
terhalang oleh tangan
yang sibuk menyiduk
air. Tapi ya tetap saja
sesekali terlihat
payudaranya.
Aku jadi merasa
tertantang untuk bugil
juga. Aku buka seja
semua atributku
sampai telanjang bulat.
Ada baiknya si otong
tidak unjuk tegangan,
tetapi agak berisi juga,
sehingga tidak kuyu-
kuyu amat. Aku
mengambil inisiatif
memompa air untuk
menambah air yang
berada di dalam ember.
Mereka bertiga
cekikikan melihat
tingkah lakuku yang
pasti mereka
menangkap aku
bersikap rada janggal.
Ya iyalah, budayaku
rada beda, dan seumur-
umur baru kali ini
mandi telanjang di
kamar mandi tanpa
dinding, dan telanjang
pula.
Aku lalu menggabung
mandi, hanya bedanya
aku tidak mandi sambil
berjongkok. Dengan
gaya masa bodoh aku
berdiri sambil
menyiram seluruh
tubuhku dengan air
sejuk. Terasa segar
sekali. Aku mengambil
sabun cair dan
mengusapkan ke
seluruh tubuhku.
Mereka agak aneh
melihat sabunku dan
terasa berbau wangi
segar. Mereka
penasaran ingin
mencoba sabunku.
Mungkin karena aku
berdiri cuek, mereka
akhirnya juga ikut
berdiri dan mengusap-
usap sabun cair wangi
itu ke seluruh
tubuhnya. Si Emak
jembutnya tebel,
teteknya lumayan
penuh dan pentilnya
besar berwarna agak
kehitam-hitaman. Si
anak yang besar yang
tadinya kutaksir umur
17 tahun ternyata 16
tahun teteknya
kenceng dan lumayan
menonjol, pentilnya
belum terlalu
berkembang,
jembutnya sedikit
Cuma ada diujung atas
lipatan memeknya.
Yang kecil memang
umurnya baru genap 14
tahun, teteknya masih
mancung kecil,
pentilnya kecil, seperti
pentil tetek laki-laki,
jembutnya masih
gundul, sehingga
gundukannya jelas
terlihat
menggelembung.
Si emak tanpa kuminta
mengambil inisiatif
menyabuni
punggungku. Dia
mengambil semacam
sabut dari buah seperti
oyong atau gambas
yang tadi dibawanya
dalam ember kecil,
lalumenggosokkan di
bagian belakang
tubuhku. Enak sih
rasanya, gatal-gatal di
punggung jadi seperti
digaruk pula. Tetapi
cilakanya tangannya
merambah kemana-
mana sampai
menggapai bagian vital
diselangkangan.
Dengan nakalnya dia
membelai batangku
yang tertidur karena
siraman air dingin.
Namun karena dibelai
dan bahkan kadang ada
gerakan mengocok,
membuat si Ucok jadi
marah dan bangun
seperti menantang
lawan. Kedua anaknya
tertawa seperti
ditahan-tahan, Tetapi
ibunya tidak peduli dan
juga tidak malu
memainkan penis yang
bukan suaminya di
ddepan kedua anak
perempuannya.
Untung adegan tidak
berlanjut, karena dia
lalu menyirami aku
dengan air. Aku
dimintanya jongkok,
sehingga dia
menyiramiku dari atas.
Ritual mandi yang
dingin jadi
menegangkan, karena
aku memang jadi
tegang, berakhir juga.
Aku menghanduki
diriku sendiri lalu
mengenakan celana
dalam, sarung dan
berkaus oblong.
Hari mulai gelap, aku
duduk di ruang tamu
ditemani Akhmad.
Tidak lama kemudian
tuan rumah
mengajakku makan.
Lauknya ada 3 macam,
ada tumis kangkung,
ada tempe goreng, ada
ikan pindang( di sini
nyebutnya ikan cuek)
goreng dan tidak
ketinggalan sambal.
Nikmat sekali meski
pun menunya
sederhana. Perutku jadi
kenyang, apalagi
didorong dengan air
putih segelas. Rasanya
makin kenyang.
Aku duduk ngobrol lagi
sama Akhmad sambil
dia merokok. Tidak ada
kesan sedikitpun dia
cemburu atau
khawatir, bahwa aku
bakal memporak-
porandakan istri dan
anak-anaknya. Kesanku
dia malah seperti orang
lain dirumah ini yang
bagai tidak ada
hubungan saudara
dengan perempuan-
perempuan di rumah
ini. Aku jadi merenung,
segila-gilanya aku,
kayaknya aku tidak
bisa bersikap seperti
Akhmad jika
menghadapi situasi
serupa.
Istri Akmad muncul dari
dalam dengan segelas
minuman. Akhmad
menyambutnya, "Bos
mesti minum jamu
kampung ini, saya
sering minum jamu
ramuan kampung,
mantap bos," kata
Akhmad.
Tidak ingin
mengecewakan mereka
begitu gelas ditaruh di
meja langsung aku
ambil dan aku
habiskan. Rasanya
sedikit pahit, dan
pedas. Aku memang
sering minum jamu,
tetapi belum pernah
meminum ramuan yang
seperti ini rasanya.
Akhmad bercerita
bahwa obat ini ramuan
dari kampung ini, dan
merupakan jamu
rebusan dari tumbuh-
tumbuhan yang hanya
ada di kampung.
Khasiatnya
dipromosikan terlalu
berlebihan menurutku,
karena dia berkali-kali
mengangkat jempol.
Baru sekitar setengah
jam, badanku merasa
gerah, dan mulai agak
berkeringat sedikit. "
Obatnya mulai bereaksi
bos, rasanya panas
kan," kata si Akhmad.
Aku membenarkan
memang terasa agak
gerah jadinya.
Sejujurnya aku tidak
tahu, itu jamu untuk
apa, aku baru sadar,
jangan-jangan ini obat
tidur. Ah biarain saja
lah, kalau obat tidur
pun gak masalah,
karena aku memang
agak lelah.
Jam di didinding sudah
menunjuk angka 8,
Akhmad lalu bersiap-
siap akan ronda
membawa kain sarung,
senter dan penutup
kepala. Dia tidak lama
kemudian pamit untuk
meronda bersama
koleganya. Kebetulan
pos rondanya tidak
terlalu jauh dari rumah.
Selanjutnya hanya aku
laki-laki dirumah ini,
selebihnya ya
perempuan. Si emak
menggelandang aku
masuk kamar. Kedua
anaknya ikut mengiring
dari belakang. Tanpa
izin dariku, sarungku
dibukanya dan kaus
oblongku diloloskan
keatas. Aku disuruh
tidur telungkup.
Si Teteh rupanya ingin
memijatku. Pijatannya
lumayan nikmat juga,
mulai dari kaki sampai
semua badan bagian
belakang dipijatnya.
Anaknya diajari
memijatku. Aku jadinya
dipijat oleh tiga
wanita. Kedua anak
masing masing memijat
kakiku sedang
biangnya memijat
badanku. Suasana
penerangan di dalam
kamar boleh dibilang
gelap. Hanya ada
cahaya dari luar yang
masuk, sehingga tidak
gelap total. Aku tidur
telungkup menikmati
pijatan mereka bertiga.
Si Teteh duduk diatas
badanku.
Aku merasa ada yang
aneh, sepertinya si
Teteh tidak
mengenakan pakaian,
atau sarung. Aku
merasa bulu jembutnya
berkali-kali menggerus
punggung dan
pantatku.
Membayangkan situasi
itu, pelan-pelan
senjataku terkokang.
Ketika aku diminta
berbalik sehingga tidur
telentang, jelas
semualah yang terjadi
pada mereka. Meski
gelap, tetapi aku dapat
menangkap bayangan
remang-remang bahwa
mereka bertiga sudah
bugil tanpa sehelai
benangpun menutupi
tubuhnya.
Badanku kembali
dipijat, entah sengaja
atau tidak tangan si
Teteh meraba masuk
ke celana dalamku
sehingga menangkap
ular piton di dalamnya.
Ularnya memang telah
membengkak. Tanpa
basa-basi ditariknya
celanaku sehingga aku
pun akhirnya bugil.
Nyionya rumah mulai
mempermainkan
senjata kebanggaan ku
yang sebenarnya
semalam sudah bekerja
keras menembaki
musuh. Normalnya
malam ini aku agak
kurang bergairah.
Tetapi ternyata
gairahku lumayan juga,
karena senjataku sudah
terisi penuh dan keras.
Tanpa sungkan
terhadap kedua
ananknya si Teteh
melahap penisku
menhisapnya dan
menjilati kantong
menyan di bawahnya.
Jago banget si emak ini.
Aku memilih bersikap
pasif saja, menunggu
bagaimana mereka
akan memperlakukan
aku.
Mungkin karena sudah
kenyang bertempur
semalam, atau mungkin
juga karena jamu yang
tadi membuatku
berkeringat. Aku
mampu bertahan mesik
dioral hampir setengah
jam. Kelihatannya si
Teteh lelah melomoti
senjataku. Dia lalu
bangkit dan
mengangkangiku dan
memegang penisku
diarahkan ke lubang
kenikmatannya.
Setelah lolos masuk
semua dia mulai
melakukan gerakan-
gerakan ganas sambil
merintih-rintih sendiri.
Kedua anaknya hanya
menonton saja di kiri-
kanan. Ibunya tidak
ambil pusing ditonton
anaknya dia berusaha
menikmati garapannya
sendiri sambil terus
merintih. Mungkin dia
sudah orgasme karena
tiba-tiba ambruk di
dadaku lalu nafasnya
mendengus-dengus.
Mungkin juga karena
pengaruh grafitasi,
sehingga aku masih
bisa menahan
spermaku tetap di
tempatnya. Ibunya
memerintahkan
anaknya yang besar
menggantikan
posisinya menduduki.
Anaknya segera
mengerti, meski
perintah itu, tanpa
mengeluarkan sepatah
kata pun. Anaknya
berjongkok dan
memeegani senjataku
lalu dimasukkan ke
dalam celah vaginanya.
Pelan-pelan diturunkan
badannya sampai
senjataku ambles di
dalam lubangnya jang
terasa agak sempit. Dia
mulai bergerak pelan-
pelan naik turun.
Namun lama-lama
makin cepat dan
gerakannya mulai tidak
teratur, karena
kadang-kadang
bergerak maju mundur
pula.
Tiba-tiba dia menjerit
tertahan dan rubuh ke
dadaku, aku merasa
memeknya berkedut-
kedut. Aku kagum juga
melihat kenyataan.
Dari pengalamanku,
anak seusia 16 -17
tahun agak susah
berorgasme, karena
mereka sesungguhnya
belum memahami sex
sepenuhnya. Kulirik ke
kiri si emak sudah
mendengkur halus.
Adiknya yang biasa
dipanggil Yati diminta
mengganti posisi
kakaknya. Aku diam
saja, sambil ingin tahu
seberapa jauh dia
mengetahui permainan
sex. Badannya kecil
cenderung belum
berlemak banyak
kecuali di dadanya
yang menggembung
sedikit dan di
bongkahan pantatnya
yang agak
mengembang. Yati
kemudian mendudukiku
dan mengarahkan
penisku ke lubangnya
yang masih gundul.
Terasa agak sulit
masuk mungkin karena
kurang pelumasan,
atau karena diameter
lubangnya masih kecil.
Perlahan-lahan sambil
tampangnya nyegir
menahan kati dia
paksakan juga menelan
batangku yang masih
menegang perkasa. Dia
melakukan gerakan
perlahan-lahan.
Kentara sekali kalau
anak ini masih hijau
dalam pengalaman
berhubungan kelamin.
Namun dia tahu
melakukan ritual itu
dengan melakukan
gerakan maju mundur,
sehingga clitorisnya
menggesek-gesek
bagian tubuhku.
Semakin lama semakin
semangat dia bergerak.
Dia sudah menermukan
ritmenya sendiri. Aku
tidak berharap bisa
bertahan tidak
ejakulasi sampai si Yati
mencapai orgasmenya
dulu. Sebab wanita
umur 14 tahun sangat
sulit mencapai orgasme
melalui hubungan
badan. Itu
pengalamanku. Tapi
rasanya pertahananku
cukup kuat kali ini,
mungkin nafsuku tidak
terlalu tinggi ditambah
ramuan jamu tadi juga.
Cukup lama juga dia
mengendaraiku sampai
akhirnya dia
mengatakan, capai.
Kasihan juga memaksa
terus bermain diatasku.
Kami kemudian
berganti posisi dari
WOT menjadi
missionaris. Agak lebih
gampang menjeloskan
senjataku masuk ke
dalam vagina kecilnya
karena peumasnya
telah cukup banyak,
Aku mulai mengayuh
sambil membayangkan
anak dibawah umur
yang kutindih. Dia
memang diam saja,
tetapi lubang
vaginanya terasa
nikmat sekali karena
masih sempit. Aku
berusaha berkosentrasi
untuk mencapai
orgasmeku, Aku sudah
lelah juga menggenjot,
sampai akhirnya
spermaku melesat
menandakan
permainan berakhir
dan kepuasan berada di
pihak ku. Aku tidak
tahu anak kecil ini
sudah orgasme apa
belum. Ah apa
peduliku, selain dia
belum cukup umur, toh
dia memang yang
melayaniku.
Yati tampak
berjongkok di pojok
ruangan, rupanya dia
membersihkan
vaginanya dengan
handuk kecil dan
seember air disitu.
Selesai dia
membersihkan
selangkangannya
akupun mengambil
handuk kecil lain dan
membasuhkannya ke
seluruh permukaan
senjataku. Diatas kasur
sudah seperti ikan
pindang, tiga orang
tidur berjajar
telanjang. Yatipun
ternyata sudah
tertidur. Aku melihat
sekiliing kamar,
ternyata ada disiapkan
kasur single di pojok
kamar. Aku langsung
mengambil sarung dan
merebahkan tubuhku
yang sudah lelah
kembali meski tadi
sudah dipijat.
Meski lelah aku agak
sulit tidur. Anehnya
senjataku menegang
lagi. Ah ini luar biasa
dan diluar kebiasaanku
bisa bangkit lagi dalam
waktu kurang dari 10
menit. Aku harus
mengakui ramuan tadi
yang kuminum memang
bekerja baik sekali.
Aku tidak tahu harus
bagaimana
memperlakukan
anggota tubuhku yang
tidak tunduk perintah
dan sering melawan
bosnya. Aku berusaha
tidur sebisa mungkin.
RAsanya sudah mulai
diawang-awang, tetapi
aku menangkap
sebersit bayangan
berkelebat. Aku kaget.
Kukira hantu kamar ini,
Mata kupicingkan
ternyata si Teteh
bangun lalu terlihat
seperti jongkok di
ember lain yang
tersedia di kamar itu
dan kosong. Dari
suaranya yang berdesir,
ternyata dia sedang
kencing. Aku mengikuti
apa yang dia lakukan,
ternyata sehabis
kecncing dia bersihkan
memeknya dengan
sedikit air lalu diusap
dengan handuk.
Aku masih berpura-
pura tidur, sampai
akahirnya si Teteh
menghampiriku dan
duduk disampingku.
Tangannya langsung
membekap penisku
yang sedang
menegang. "Eh
orangnya tidur, tapi
adiknya bangun,"
katanya.
Ditariknya sarungku ke
atas, sehingga penisku
mengacung bebas.
Teteh lalu bertiarap
diantara kedua kakiku
dia mengoralku lagi
dengan penuh
semangat. Aku masih
tetap berpura-pura
tidur. Aku
memperkirakan sudah
jam 12 malam, karena
kudengar petugas
ronda memukul tiang
listrik 12 kali.
"Ah si akang barangnya
enak banget dan
keras,"kata Si teteh
seperti bicara sendiri.
Rupanya dia tidak ingin
menyia-nyiakan potensi
yang ada, Segera
penisku didudukinya
dan dia mulai bermain
diatasku dengan
gerakan cepat.
Rasanya kayak
bernafsu banget si
Tetep istri Akhmad ini.
Tidak lama kemudian
dia berhenti karena
terasa memeknya
berdenyut-denyut.
Tidak lama kemudian
dia mulai bergoyang
lagi dan makin lama
makin cepat dan
sebentar kemudian dia
orgasme lagi. "Ih si
akang hebat banget ya,
gak keluar keluar,"
katanya.
Mungkin dia merasa
lelah dan tahu lah
bahwa aku sudah tidak
tidur lagi makanya dia
minta aku yang
menindihnya. Akupun
tidak menunggu lama
segera kugenjot habis-
habisan sampai dia
mencapai orgasme lagi
dan aku tidak berhenti
menggenjot sampai si
Teteh minta ampun
ingin menyudahi, Tapi
aku merasa tanggung
karena rasanya
sebentar lagi mencapai
puncak, jadi aku sikat
saja terus ,meski si
Teteh udah kewalahan,
Dia kemudian seperti
mengerang atau
menjerit lirih panjang
yang meningkatkan
nafsuku sehingga
karenanya aku pun
mencapai orgasme dan
berejakulasi.
Badanku penuh
berkeringat, dan terasa
suasana di kamar ini
begitu gerah.
Kusambar sarungku
dan kaus, aku berjalan
ke luar kamar danaku
keluar ke halaman
depan. Rasanya sejuk
sekali namun gelap dan
sepi. Aku melepaskan
hajat kecilki di semak
di depan rumah lalu
aku kembali masuk
rumah dan masuk
kamar setelah
keringatku kering.
Kulihat si Teteh
mendengkur pula
dikasurku dengan posisi
ngangkang dan bugil.
Ruang untuk tidurku
hanya ada di sebelah
kedua anak-anak. Aku
pun merebahkan badan
yang terasa penat.
Hanya sebentar saja
rasanya aku sudah
tidak ingat apa-apa.
Aku terbangun karena
terasa senjataku
dibasuh oleh handuk
dingin. Ternyata si
Teteh sudah bangun.
Dan kedua anak-anak-
anak sudah tidak ada
ditempatnya. Cuaca
mulai terang. Mungkin
sekitar jam setengah
tujuh pagi. Suasana
masih agak sejuk.
Teteh dan anak-anak
sudah bersiap untuk
mandi. Aku tergerak
ikutan mandi juga.
Seperti kemarin sore
kami berempat
berbugil ria. Bedanya
kali ini anak-anak tidak
malu-malu, tetapi
sudah blak-blakan
telanjang sambil
berdiri. Anehnya
batangku sudah
mengeras lagi, padahal
biasanya jika malamnya
sudah habis-habisan
bertempur, paginya
akan susah menegang.
Ini kali memang aneh.
Dampak jamu godogan
itu ternyata luar biasa
juga.
Aku membawa kamera
saku, mulanya mereka
malu-malu aku jepret
sambil berbugil, tapi
karena bujukanku yang
mugkin masuk akal
bagi mereka, akhirnya
mereka mau juga.
Setingnya adalah
kewajaran kebiasaan
mereka mandi. Jadi
gambar-gambar yang
kurekam terlihat
natural dan sangat
desa suasananya.
Celakanya meski
disiram air dingin dan
habis mandi, barangku
sulit ditundukkan. Si
teteh tersenyum-
senyum penuh arti.
Kayaknya dia punya
rencana sendiri. Selesai
mandi kami beriringan
masuk rumah dan aku
disuruh masuk bersama
kedua anak remajanya.
Kedua anak itu disuruh
melayaniku sampai aku
puas.
Karena hari semakin
siang aku cepat cepat
saja berinisiatif
mencumbui kedua
mereka. Sementara itu
si Teteh tidak ikut
masuk kamar. Kali ini
baru aku makin jelas
menyaksikan potensi
kedua anak ini. Si adik
teteknya masih kecil
jembutnya masih bulu
kalong, dan celah
memeknya
kelihatannya masih
rapat. Aku sempat
meraba celahnya dan
diam-diam aku cium
tanganku yang sempat
mencolok celah
berlendirnya. Tidak
terasa ada bau amis
dan aneh.
Kakaknya bentuk
memeknya juga
cembung dan ada
sedikit bulu di ujung
lipatan aku colok-colok
mereka pasrah juga
dan ciran vaginanya
juga tidak berbau.
Keduanya mereka
masih sehat-sehat saja.
Aku jadi tertarik
mengoral kedua bocah
ini. Mulanya aku
mengoral kakaknya,
yang malu-malu
ngangkang di depan
wajahku yang sangat
dekat dengan
memeknya. Namun
lama-lama mulai bisa
menikmati dan
menggelinjang-
gelinjang. Si kakak
relatif cepat juga
mendapat orgasme.
Setelah itu aku
berpindah ke memek
yang lebih kecil dan
lebih rapat. Adik
pasrah saja aku
kangkangkan. Dia agak
berjingkat ketika ujung
clitorisnya tersentuh
ijung lidahku. Mulanya
dia mengeluh geli,
tetapi lama-lama
berjingkat-jingkat
karena itilnya disosor.
Si adik relatif agak
lama mendapat
orgasme, sampai
leherku pegal.
Selepas keduanya
mendapat orgasme aku
langsung menggarap
keduanya,Mulanya
adiknya aku colok,
setelah puas aku
bepindah ke kakanya
yang sudah standby
ngangkang di sebelah
adiknya. Aku
berpindah-pindah
sesukaku. Cara main
seperti ini malah tidak
nikmat, karena jadi
tidak konsentrasi.
Padahal badanku sudah
mulai lelah dan
berkeringat lagi.
Akhirnya aku
kosentrasi ngembar si
kecil sampai akhirnya
sisa sperma yang tidak
seberapa muncrat juga.
Seusai pertempuran
kami bergegas
mengenakan baju dan
aku menyambar
handuk lalu menuju
sumur. Sekali lagi
mandi pagi itu,
sendirian. Dari sumur
aku langsung
berpakaian lengkap,
celana jeans dan kaus
oblong.
Di dalam sudah
terhidang nasi goreng
lengkap dengan telor
ceplok. Sebelumnya
khusus untukku si
Teteh sudah
menyiapkan 2 telur
ayam kampung yang
dimasak setengah
matang. Untuk
memulihkan stamina,
kata si Teteh.
Jam di tangan sudah
menunjukkan angka 10
dan HP berbunyi yang
tak lain si John sudah
nunggu di warung Pak
Rawi. Aku segera
pamitan diantar
Akhmad aku menuju
warung Pak Rawi.
Disana John cengar-
cengir dengan giginya
yang putih.
Basa basi Pak Rawi
menanyakan kabarku,
aku jawab luar biasa.
"Kapan-kapan saya
pengen lebih lama
tinggal dikampung ini.
"Itu belum seberapa
bos, masih banyak lagi
kampung-kampung lain
yang banyak jandanya,"
kata Pak Rawi. Dia
kemudian menawarkan
aku jalan-jalan keliling
kampung pakai ojek.
Berhubung aku masih
menunggu jadwal
kereta yang ke
semarang masihlama
sekitar jam 4 sore. Aku
terima tawaran pak
Rawi untuk keliling
kampung-kampung.
Dua ojek andalan Pak
Rawi sudah muncul,
menurut Pak Rawi
tukang ojek itu sudah
hafal dimana saja
rumah para janda.
Istilah janda itu hanya
untuk mempermudah
sebutan bagi wanita
desa yang bisa diinapi.
Tidak semuanya janda,
karena ada sebagian
masih punya suami
atau masih tinggal di
rumah orang tuanya.
Kami berkeliling-
keliling kampung dan
makan siang sate
kambing sejenak di
tengah perjalanan. Aku
batasi agar kami tidak
perlu mampi tapi
sekedar melihat wajah-
wajah mereka saja.
Ternyata banyak sekali
yang kami temui dan
umumnya lumayan
jugalah, meski wajah
desanya masih kental.
Menjelang jam 3 kami
sudah sampai di stasiun
kereta api Pegaden
Baru.
Tukang ojek yang dulu
mengantar kami
menghampiri, "kok
buru-buru aja nih bos
pulangnya," kami lalu
mengobrol, topik nya
ya sekitar wanita-
wanita desa yang bisa
ditiduri di rumahnya.
Ternyata tidak hanya di
desa Saradan Pegaden,
tetapi masih ada
beberap desa yang
memelihara sex
bebas.***

Wisata sex 1

cerita sex-
Wisata Sex
[Bagian 1]
Ah sial banget, kenapa
kereta commuter
jabotabek sekarang
gak berhenti di stasiun
Senen, padahal aku
mau naik kereta keluar
kota dari stasiun
Senen. Dari Stasiun
Kemayoran aku
terpaksa menggunakan
ojek ke stasiun Senen.
Sesampai di Senen
temanku John sudah
menunggu di sana.
Kami berdua sudah
janjian ketemu di
stasiun Senen untuk
memulai perjalanan
gila-gilaan, bukan
mendaki gunung,
menelusuri gua atau
backpacker, tapi
wisata kampung yang
rada ngesex.
Masih ada waktu
sekitar setengah jam.
Kami duduk-duduk
bengong aja, karena
kebetulan kami berdua
bukan perokok. Belum
sampai setengah jam
muncul rangkaian
Matarmaja yang akan
membawa kami ke
Timur.
Aku dan john memilih
naik kereta api karena
lebih praktis, lebih
cepat dan lebih murah,
kalau naik bus bisa 4
jam baru sampai, bawa
mobil pribadi, risiko
nyasar lebih besar
meski ada GPS. Tujuan
kami adalah stasiun
kecil Pegaden Baru di
wilayah Subang.
Fantastis, tidak sampai
2 jam stasiun kecil
Pegaden Baru telah
kami injak. Puluhan
tukang ojek seolah
berebut penumpang
yang tidak seberapa
turun di stasiun kecil
itu. Aku maupun John
baru pertama kali
menginjakkan kaki di
stasiun itu, juga tidak
punya kenalan di situ
seorang pun. Padahal
kami kalau ditanya
tukang ojek mau
kemana, kami tidak
bisa menyebutkan,
karena tujuan kami
memang khas, yaitu
rumah yang bisa kami
inapi tapi ada selimut
hidupnya. Nah kan
susah.
Kuajak John ke luar
stasiun sambil berkali-
kali menampik tawaran
tukang ojek. Kami
berdua ngopi di warung
di luar stasiun. Rupanya
ada tukang ojek yang
penasaran mengikuti
kami menawarkan jasa
ojeknya. Mereka ada 2
orang. Mungkin
mereka berharap bisa
mnejaring kami berdua
menggunakan jasanya.
" Bos mau kemana,
bos" tanya salah satu
tukang ojek yang
kutaksir berusia sekitar
pertengahan 30
tahunan.
"Belum tau mau
kemana," jawabku
singkat untuk
memancing reaksi
mereka. Kira-kira apa
yang akan mereka
katakan kalau aku
mengatakan begitu.
"Bos mau cari janda,"
tanyanya agak
menyelidik.
"Emang ada," tanyaku
sekenanya
"Banyak bos," katanya.
"Emangnya ada yang
bagus ," tanyaku rada
cuek
"Mantap-mantap bos "
katanya sambil
mengacungkan
jempolnya.
"Mantapnya kayak apa,
ada berapa," tanya
John.
"Aduh saya gak punya
fotonya , orang HP saya
jadul sih bos.," katanya
seperti rada kesal.
" Kenal berapa orang,"
tanya ku.
Si tukang ojek
kemudian sambil
menerawang
pandangannya
menyebut nama-nama.
Lumayan banyak juga
nama-nama yang
disebutkan.
Dia lalu menawarkan
salah satu dari nama-
nama itu. " Bos maunya
yang gimana ,"
tanyanya.
"Yang rada sekel,
buntelannya gede
umurnya sekitar 20 -30,
mukanya cantik," tanya
ku.
"Kalau si bos," tanya
tukang ojek menunjuk
John.
"Ya sama lah," kata
John.
Dua tukang ojek itu
lalu berunding.
"Ada bos," kata tukang
ojek yang kelihatannya
lebih senior.
Kami lalu tawar-
menawar uang jasa
mreka.
"Pokoknya sampai bos
dapat yang cocok lah,"
katanya.
Menurutku harga yang
ditawarkan itu agak
mahal, tapi karena dia
menjamin sampai kami
dapat yang cocok
akhirnya kami setuju.
Dengan gesit tukang
ojek itu menulusuri
jalan desa, dan
menembus perkebunan
tebu. Kami akhirnya
berhenti di depan
sebuah warung dan si
tukang ojek
mempersilakan kami
istirahat dulu di situ
sambil dia mau
menemui calon yang
akan kami " pakai".
Aku dan John rada
celingukan juga, sore-
sore berada di daerah
yang sama sekali belum
kami kenal. Keramahan
pemilik warung
mempersilakan kami
masuk ke dalam,
mencairkan suasana
kekakuan. Aku
numpang ke toilet dan
memesan minuman
dingin. Sekitar
setengah jam muncul si
tukang ojek. Dia
menawarkan "barang2"
yang yang tersedia
sambil menyebutkan
ciri-2nya.
Aku memilih yang
disebut namanya
Dedeh, dan John
memilih Titin. Kedua
tukang ojek itu
langsung balik dan
tancap gas lagi.
Sambil menunggu
tukang ojek balik aku
ngobrol sama pemilik
warung , seeorang
bapak-bapak yang
kutaksir berusia 50 an.
Dia mengatakan bahwa
di kampung Saradan ini
sudah biasa menerima
tamu dari luar untuk
menginap. Di dekat
warungnya juga ada
beberapa rumah yang
bisa menerima tamu
menginap. Mereka
tidak hanya yang
berumur setengah tua
(STW) tetapi ada juga
yang masih tergolong
abg. Aku jadi rada
menyesal memesan
STW dari tukang ojek
tadi. Tapi apa boleh
buat, bagi kami berdua
yang buta sama sekali
mengenai daerah ini,
ya harus mau
menerima apa yang
bisa kami dapat dulu.
Tidak berapa lama
muncul 3 anak abg ke
warung si bapak,
anaknya lumayan
manis, kutaksir
umurnya masih sekitar
15 an. Si Bapak
menggiring mereka
untuk menyalami kami.
Setelah menyebut
namanya masing
masing mereka berlalu
dan menghilang dari
pandangan kami.
Aku jadi kehilangan
minat pada pesananku
dari si tukang ojek tadi,
karena ke 3 abg tadi
manis-manis . Tapi
masih ada waktu lah,
paling tidak kami bisa
menambah tinggal di
desa ini 1 malam lagi
jadi total 2 malam. Aku
berjanji ke Bapak
pemilik warung, besok
aku akan kembali ke
warung dan akan
memesan ABG itu tadi.
Jadi di kampung yang
sepi dan jarang
terdengar raungan
mesin kendaraan
bermotor, kecuali
sepeda motor, aku
melakukan booking.
Tidak lama kemudian
muncul situkang ojek
dengan boncengannya
masing-masing. Eh
lumayan juga, bodynya
menarik. Keduanya
kualitasnya dapat
dikatakan sama, antara
Dedeh dan Tititn.
Misalnya di acak aku
gak keberatan dapat
yang mana pun.
Kutaksir mereka
berdua belum sampai
berusia 30 tahun
mungkin baru sekitar
25-an lah. Kami
bersalaman, Dedeh
diatur tukang ojek
duduk di sampingku
dan Titin duduk di
samping John.
Keduanya janda.
Mereka dengan gaya
malu gadis desa
mengatakan bisa
menerima kami
menginap di rumah
mereka masing-masing.
Kebetulan rumah
mereka berdua
berdekatan.
Sifat serakah yang ada
di otakku lalu
berproses. Aku
sebetulnya ingin
mencicipi keduanya,
lalu John ku kirimin sms
menawarkan kalau
nanti sudah puas
dengan pasangannya
kita bertukar. John
pikiran di otaknya
ternyata sama dengan
aku, dia langsung
jawab singkat "setuju".
Waduh, gimana
ngomongnya ke Dedeh
dan Titin. " Teh boleh
gak nanti malam saya
pindah," tanya ku ke
Dedeh.
"Ha. pindah kemana
atuh," tanyanya heran.
"Pindah ke rumah Titin,
dan temen saya pindah
kerumah Teteh,"
"Oh begitu, mangga
atuh,"
Setelah terjadi
kesepakatan akhirnya
kedua mereka dibawa
lagi sama si tukang
ojek pulang
kerumahnya baru
membawa kami ke
rumah.
"Gimana bos, mau
nginap sebulan di sini
tiap hari ganti-ganti
saya siap mengantar
bos, gak bakal habis
stoknya bos," kata si
tukang ojek sambil
senyum-senyum
menerima uang sebagai
ongkosnya.
Rumah Dedeh sangat
sederhana, rumahnya
separuh tembok
separuh papan. Hanya
ada 2 kamar tidur. Dia
di situ tinggal bersama
ibunya yang sudah tua.
Mereka 3 bersaudara.
Dedeh anak bungsu
kedua yang lebih tua
adalah laki-laki
merantau berkerja di
jakarta. Jadi Dedeh
yang statusnya janda
tanpa anak bertugas
merawat ibunya yang
sudah tua.
Aku memberikan uang
dimuka seperti yang
disebutkan tukang ojek
di warung tadi. Aku
bermaksud dengan
uang itu dia nanti
malam bisa
menyediakan makan
malam ala kadarnya.
Seteleh menerima uang
dia mambuatkan aku
teh manis panas lalu
masuk kebelakang
rumah agak lama baru
muncul .
Di duduk disampingku
dan menawarkan
mandi, karena hari
memang sudah mulai
agak gelap. "Akang
mau saya mandiin," dia
melontarkan tawaran
yang langsung
membuat juniorku
bangkit.
Tawaran yang tidak
mungkin aku tolak. Si
Dedeh bangkit dan
memberikan sarung
dan mengajakku masuk
kamar untuk
mengganti bajuku
dengan sarung. Dia
juga begitu, dengan
santainya dia membuka
semua bajunya dan
bertelanjang bulat di
depanku lalu
mengenakan sarung
berkemben. Bodynya
memang menarik,
meski made in desa.
Kami berdua masuk ke
kamar mandi yang
hanya terdapat ember
dan pompa tangan. Air
di ember sudah penuh.
Dedeh membuka
sarungnya sehingga dia
bertelanjang bulat di
depanku. Aku
membuka sarungku
yang masih ada celana
dalam lagi di dalamnya.
Dengan sigap Dedeh
memuka celana
dalamku. Mecuatlah
batangku yang sudah
cukup keras. Dengan
nakalnya Dedeh
jongkok di depan
batangku dan langsung
mengulumnya. Aku
menggelinjang nikmat.
Meski pun made in
desa, tapi kulumannya
luar biasa. Aku tidak
mampu bertahan lama
sampai akhirnya
ejakulasi di dalam
mulutnya. Hebatnya dia
langsung menenlan
semua sperma ku. Aku
yang tidak bisa
menahan rasa geli luar
biasa di kepala penisku.
Rasanya agak ngilu
pasca ejakulasi kepala
penis terkena jilatan
Dedeh. Dedeh seperti
tidak rela ada setetes
yang tercecer.
Badanku terasa agak
lemas. Dedeh seperti
sudah mahir langsung
menciduk air dan
mengguyur badanku
lalu mengguyur
badannya sendiri.
Diambilnya tangan
sabun lux yang wangi
dan sekujur tubuhku di
sabuni. Dibagian penis
dia bekerja agak lama
dengan gerakan
mengocok, batangku
yang lemas. Sampai
lubang pantatkua dia
ceboki sampai bersih.
Aku dimintanya
menyabuni tubuhnya
yang bahenol.
Kupeluk dia dari
belakang dan penisku
yang masih kuyu aku
tekankan ke belahan
pantatnya yang
gempal. Sambil kedua
tanganku meremas
payudaranya yang
lumayan menggumpal
kenyal.
Nafsuku jadi bangkit
lagi. Pelan-pelan
barangku bangkit lagi.
Dedeh lalu mengguyur
badannya dan badanku
juga sampai semua
sabun luruh. Dia
mengambil handuk dan
menghandukiku, lalu
dirinya menggunakan
handuk yang sama
mengeringkan
badannya. Aku hanya
menggunakan sarung
bertelanjang dada,
sedangkan Dedeh
menggunakan kemben
menggandengku masuk
ke kamar.
Aku dibaringkan dan
sarungku dipelorot.
Sementara Dedeh
sudah bugil. Aku pasif
tidur telentang dengan
pasrah dan
membiarkan Dedeh
mengeluarkan seluruh
ilmu yang dimilikinya.
Dia memulai dengan
kembali mengulum
penisku, menjilati buah
zakarku dan
mengulumnya juga lalu
menjilati lubang
pantatku yang
memberikan sensasi
geli dan nikmat. Pelan-
pelan penisku mulai
membesar di dalam
mulut Dedeh yang
sangat piawai.
Dia menduduki penisku
dan mulai mengayuh
dirinya diatas diriku.
Terasa sekali ketika dia
mencari posisi yang dia
rasakan paling nikmat.
Dia mulai bersuara
mengerang-ngerang
ketika posisi nikmatnya
mulai ditemukan. Tidak
sampai 5 menit dia
ambruk dengan nafas
terengah-engah.
Sementara aku masih
jauh dari garis finish.
Aku membalikkan
posisi, dan mulai
mengenjot dengan
posisi missionaris. Aku
juga mencari posisiku
yang paling nikmat
sambil berlama-lama
menekan dan
menggesek bagian
clitorisnya dengan
jembutku. Lalu
memompa lagi. Dedeh
mulai mengerang lagi
dan akhirnya menjerit
panjang dan
memelukku. Terasa
sekali lubang vaginanya
berkedut-kedut. Aku
berhenti sementara
untuk membiarkan dia
mencapai orgasmenya.
Setelah kedutan itu
tidak aku rasakan aku
kembali menggenjot.
Kali ini dengan gerakan
kasar dan cepat,
karena aku sebetulnya
sudah agak lelah
sehingga ingin segera
ejakulasi. Tetapi bukan
aku yang mencapai
puncak si Dedeh sudah
mendahului. Aku
terpaksa berhenti lagi.
Mood ku yang tadi
hampir dapat sekarang
hilang lagi. Aku mulai
lelah. Aku
membalikkan posisi
sehingga WOT. Dedeh
sebenarnya sudah
lemas, tapi dia
berusaha
memuaskanku dan
mengikuti kemauanku.
Dia menindihku dan
aku yang aktif
bergerak. Rasa nikmat
mulai menjalari
tubuhku sehingga aku
kemudian mencapai
puncak dan semua
sperma kulepas di
dalam memeknya.
Badanku terasa lelah
demikian juga mungkin
dedeh karena itu kami
berdua tertidur dalam
keadaan bugil.
Mungkin ada sekitar 1
jam kami teridur dan
terbangun karena
mendengar ada suara
John di luar dan suara
Titin.
Kami berdua tergesa-
gesa bangun. Aku
mengenakan sarung
tanpa celana dalam
dan kaus oblong. Dedeh
mgnenakan baju kaya
sweater dengan sarung
dan tanpa celana
dalam juga. Perut mulai
terasa lapar. Ketiak
kami keluar Titin dan
John tersenyum-senyum
melihat kami keluar
bersamaan dari kamar.
Kulirik meja makan,
ternyata makanan
sudah siap terhidang.
Ada sambal, sayur
asem, tempe goreng,
ayam goreng dan tumis
kangkung, Kuajak
sekalian John dan Titin
makan. Mulanya Titin
malu, tetapi akhirnya
kami makan bersama.
Sambil makan aku
mengorek keterangan
Titin. Dia masih punya
suami, tetapi kerja di
Jakarta. Suaminya tahu
kalau dia juga sering
menerima tamu di
rumah. Karena di desa
Saradan ini perbuatan
seperti itu sudah biasa,
jadi suaminya pun bisa
menerima. "Itung-itung
untuk tambah uang
belanja," kata Titin.
Seperti kesepakatan
semula akhirnya aku
dengan barang-
barangku pindah ke
rumah Titin. Jaraknya
tidak telalu jauh. Jam 9
malam ini kami berdua
jalan menelusuri jalan
desa. Jaraknya tidak
terlalu jauh sekitar 500
m, tetapi meliuk-liuk
masuk gang.
Rumah Titin kelihatan
dari luar agak besar.
Rumahnya tembok,
tetapi masih belum
diplester. Aku masuk
ke ruang dalam. Ruang
tamu sederhana, ada
amben, atau disebut
juga bale-bale. Titin
mempersilakan aku
duduk. Dia
menawarkan kopi
untuk menyegarkan.
Tawaran itu tentu saja
aku terima, karena aku
harus bersiap
pertempuran malam ini
dengan Titin. Titin
perawakannya tidak
terlalu gemuk,
badannya singset, baru
punya anak 1 berumur
2 tahun. Umurnya
kutaksir masih sekitar
20 tahun.
Body seperti Titin,
biasanya barangnya
sempit dan enak. Itu
pengalaman aku sering
tiarap ke mana-mana.
Dia lebih renyah
bergaul, omongannya
banyak. Ditengah
ngobrol muncul
seorang gadis
menghidangkan kopi. "
Ini adik saya, tinggal
disini ngawani, abis
sendirian" kata Titin
mengenalkan adiknya
yang menyalamiku
malu-malu. Celakanya
tanganku ditarik dan
diciumnya seperti
layaknya salim antara
santri dengan
udztadnya.
Aku segera menarik
tanganku, gak enaklah,
tapi sudah sempat
tercium juga. Dia
memperkenalkan
dirinya dengan nama
Neneng, umurnya
kutaksir sekitar 17
tahun. Masih terlihat
belia, meski dalam
kesederhanaan
kampung.
Setelah
menghidangkan kopi
dia mundur ke
belakang dan masuk
kamar. Aku
menanyakan ke Titin. "
Nanti kalau kita masuk
kamar, adikmu
gimana," tanyaku.
"Ah ya biasa aja, tadi
temannya kan sudah
disini, di sini mah
gituan udah biasa
oom," katanya.
"Emangnya oom minat
sama adik saya," Titin
mulai membuka
peluang.
"Kalau saya mau
emang dia bisa,"
tanyaku penuh harap.
"Ya bisalah, kan dia jug
ada lobangnya," kata
Titin sambil bergurau.
"Bukan gitu, emangnya
dia udah gak perawan
lagi," tanyaku.
"Kupingnya yang
perawan, dia juga bisa
terima tamu kok," kata
Titin.
"Gimana oom minat
ya," tanya Titin dengan
pandangan mata genit.
"Minat sih, tapi sama
tetehnya juga minat,
gimana ya," tanyaku
sambil rada cemas.
"Ya gak apa-apa, nanti
kita main bertiga di
kamar saya," kata Titin
enteng.
Titin lalu berteriak
memanggil nama
Neneng. Yang dipanggil
keluar sambil
mengucek matanya.
"Tadi temen saya main
sama Neng juga,"
tanyaku sama Titin.
"Enggak sih Titin tadi
pergi entah kemana
nglayap sama temen-
temennya." Kata Titin.
Sambil makan singkong
rebus dan kopi tubruk
kami ngobrol bertiga.
Setelah agak larut,
kami bertiga menuju
kamar mandi untuk
saling membersihkan
diri dan membuang
desakan air seni (kok
air seni ya, seninya
dimana) aku diberi
sarung dan handuk,
Mereka berdua masuk
kamar dan keluarnya
sudah berkemben kain
sarung pula.
Di kamar mandi yang
agak remang-remang
mereka berdua dengan
santainya membuka
kemben yang ternyata
dibaliknya tidak ada bh
dan celana dalam. Titin
jembutnya normal aja
agak jarang sedikitlah,
Kalau sih Neng bulunya
baru sedikit banget.
Sehingga cembungan
memeknya kelihatan
jelas. Mereka kencing
dengan suara berdesir
lalu mengambil air di
ember untuk
membersihkan diri. Aku
melepas sarung dan
membuka celana
dalamku. Belum aku
beraksi Neneng dan
Titin sudah menyambut
senjataku yang belum
siap bertempur dengan
menyiram air dan
menyabuninya. Seperti
juga Dedeh aku
disabuni sampai ke
lubang-lubang pantat.
Mereka kembali
mengenakan kemben
dan tidak mengenakan
apa-apa lagi di
dalamnya . Aku pun
tidak memakai celana
dalamku dengan hanya
bersarung saja kami
bertiga masuk ke
kamar Titin.
Kasurnya digelar
dibawah , dan
kelihatannya jika
ditiduri bertiga agak
sempit mungkin ukuran
160.
Aku dengan percaya
diri membuka kaus
oblong dan tidur hanya
dengan bersarung.
Mereka bertiga pun
begitu. Titin di
kananku, dan Neneng
di kiriku. Keduanya
langsung aktif seperti
tentara terlatih. Titin
mengangkat sarungku
dan langsung
menangkap burung di
dalamnya. Diremas-
remas sebentar lalu
dikocok ringan. Aku
menurunkan sarung
Neneng sehingga
terlihat teteknya yang
masih tidak terlalu
besar dan pentilnya
pun kecil sekali. Aku
jilati teteknya, dan di
bawah sana penisku
dan sekitarnya sudah
mulai dilomoti Titin.
Aku malam ini harus
menghadapi dua
musuh, padahal amunisi
dan tenaga sudah
banyak terkuras. Perlu
ada taktik untuk
memenangkan
peperangan. Puas
menciumi dan meraba
tetek kecil, tanganku
menggerayang ke
selangkangan Neneng.
Gundukan mentul dan
masih sedikit bulu
terasa. Jari tengahku
mencari jalan sendiri
sampai menemukan
tonjolan kecil daging
penutup clitoris.
Dengan segera dan
lincah jariku bermain di
clitorisnya. Neneng
mengelinjang jika
tanganku menyentuh
ujung clitorisnya.
Tanpa sepengetahuan
pemiliknya dengan cara
yang tersamar aku
membaui tanganku
yang berlendir dari
kemaluan Neneng.
Tidak tercium ada bau.
Berarti dia bersih.
Kuarahkan Neneng
untuk menggantikan
kerja si Titin dan Titin
kutarik keatas. Untuk
ku hisap teteknya.
Neneng cukup mahir
juga memainkan
kebanggaanku, meski
tidak sepiawai
kakaknya.
Berikutnya giliran si
Titin aku eksplor
memeknya. Sudah agak
berlendir. Seperti tadi
aku curi-curi mencium
lendir si Titin yang
tertinggal di tanganku.
Baunya tidak ada alias
enak-enak aja.
Senjataku sudah
dikulum dua wanita
kakak beradik, tetapi
masih mampu
bertahan. Mungkin
sudah agak imum
karena pertempuran
dengan si Dedeh tadi.
Aku menarik Titin
untuk mengambil posisi
WOT. Dia segera
menyarangkan
burungku ke lubang
kebahagiaannya.
Tebakanku tidak
meleset. Terasa ketat
betul lubang memek si
Titin, setiap gerakan
terasa menyedot
penisku. Seandainya ini
adalah pertempuran
pertama, aku bakal
bobo pada gerakan
sepuluh langkah.
Untung aku bisa
bertahan. Titin
menemukan posisi
nikmatnya sehingga dia
akhirnya mencapai
orgasme. Aku
sebenarnya hampir
terlarut dengan
suasana menjelang
Titin orgasme tadi,
karena dia mengerang
dan gerakannya buas
sekali. Dia seolah tidak
perduli ada adik di
sebelahnya yang
menyaksikan.
Titin ambruk menindih
tubuhku dengan nafas
terengah-engah.
Terasa sekali lubang
memeknya
berkontraksi dengan
iriama orgasme.
Setelah dia
menuntaskan
nikmatnya Titin turun
dan berbaring di
sampingku. Aku
meminta Neneng
menggantikan tugas
kakaknya . Dia segera
mengerti lalu memandu
penisku memasukkan
memek yang nyaris
gundul.
Neneng bergerak-
gerak diatasku, tetapi
dia tampaknya tidak
mengetahui posisi
enaknya. Aku harus
menuntunnya. Dengan
berbagai gerakku,
akhirnya ketemu juga
posisi terenak itu. Aku
menjadi semakin yakin
karena Neneng mulai
menggumam
melampiaskan
kenikmatannya. Anak
seumuran Neneng
umumnya agak susah
mencapai orgasme,
makanya dia cukup
lama sampai akhirnya
ambruk berorgasme.
Memeknya memang
agak sempit, tapi, jika
aku masih lebih legit
kakaknya punya.
Dua orang tumbang
dalam pertempuran ini.
Si Titin rupanya sudah
ngorok disampingku.
Titin kubaringkan dan
aku mengenjotnya lagi.
Badanku yang agak
lelah mempengaruhi
mood juga, sehingga
aku sulit mencapai
puncak gunung
tertinggi meski sudah
main cukup lama.
Kelihatannya si Neng
sempat mendapat O
sekali lagi dalam
perjalanan aku
menindihnya.
Rasanya aku bakal sulit
tidur kalau tidak
berejakulasi.
Sementara main
dengan Neng agak
susah aku
mencapainya. Tanpa
memperdulikan Titin
yang tertidur nyenyak,
aku jebloskan pelan-
pelan batangku yang
masih lumayan keras.
Dalam permaian kali ini
aku tidak perduli
apakan Titin mencapai
orgasme atau tidak,
yang penting aku bisa
keluar dan hendaknya
jangan lama-lama. Titin
terbangun ketika aku
mulai menggenjotnya.
Dia agak ngantuk
tetapi membalas
gerakanku juga.
Memeknya memang
benar-benar nikmat.
Aku konsentrasi penuh
dan akhirnya badanku
mulai meremang dan
aku semakin kosentrasi
sampai akhirnya lepas
juga spermaku di dalam
memeknya. Rupanya
kedudtan orgasmeku
membuat Titin juga
berorgasme sehingga
dia peluk tubuhku kuat
kuat. " Oom yang ini
enak banget, saya
sampai lemes.
Kulirik si Neng sudah
mendengkur halus. Aku
pun sudah mencapai
titik lelah yang
tertinggi sehingga
tanpa perduli keadaan
aku tidur diantara
mereka.
Aku tidak terlalu sadar,
tetapi kelihatannya
sudah agak pagi.
Terasa penisku dingin.
Kulirik ke bawah Titin
sedang membersihkan
seluruh bagian
kemaluanku dengan
handuk kecil basah.
Setelah itu dia tutupi
tubuhku dengan
sarung. Dia sendiri
masih menggunakan
kemben. Si Neng sudah
tidak ada di
tempatnya.
Aku pura-pura tidur
saja, tapi rada susah
juga karena sudah
terganggu. Akhirnya
sekitar matahari sudah
mulai muncul di ufuk
timur Aku bangun
dengan hanya
mengenakan sarung
tanpa daleman dan
kaus oblong.
Aku duduk diruang
tamu. Tidak lama
kemudian Neng
membawa segelas kopi
tubruk.
"oom mau sarapan
apa," tanya si Titin.
"Apa sajalah yang tidak
terlalu repot" kataku.
"Kalau mau Indomie,
warungnya belum buka,
dirumah Cuma ada nasi
sama ikan asin sisa
semalam" kata Titin.
"Ya udah bikin nasi
goreng ikan asin aja,"
kataku.
"gimana itu oom, saya
nggak tau," ujar Titin.
Aku akhirnya turun
tangan membuat nasi
goreng cabe hijau
dengan ikan asin. Kami
bertiga menikmati nasi
goreng hijau. Aku
dipujinya pintar
memasak.
Selesai menikmati
sarapan kami lalu
bersepakat mandi pagi
bersama-sama. Pada
mandi pagi itu aku
sudah kehilangan
gairah, jadi meski
mandi bareng dan
berbugil ria, tapi aku
kurang terangsang.
Sehingga mandi pagi
itu lancar-lancar saja.
Aku berpakaian seperti
semula, celana jeans
dan kaus oblong.
Suasana cerah sekali,
kopi masih setengah
gelas dan sudah
kehilangan panasnya.
Tapi aku tidak masalah,
tetap saja menyukai
kopi yang sudah tidak
hangat lagi.
Aku mendengar ada
suara mengobrol yang
agaknya aku kenal.
Benar saja John dan
Dedeh muncul di pintu.
Keduanya tampak
segar. Memang mereka
baru selesai mandi
kelihatannya. Kami
bergabung di ruang
tamu dan mengobrol
panjang lebar.
Neneng aku pancing-
pancing mengenai
lingkungannya di desa.
Dia nyrocos aja bahwa
banyak temannya yang
masih sekolah SMP
sudah bisa terima tamu
di rumah. Kedua orang
tuanya merelakan saja
anaknya menerima
tamu dan menginap di
kamar. Informasi yang
dibeberkan tanpa
bumbu berlebihan,
malah diomongkan
seperti tanpa beban,
membuat aku dan juga
John ternganga-
nganga.
Saya membujuk si Neng
untuk mengundang
teman-temennya yang
masih belia, dan sudah
menerima tamu di
rumahnya. Tanpa
menunggu lama, dia
langsung berlalu . Kami
berempat ngrobrol
menganai berbagai hal.
Tapi aku fokus
mengorek keterangan
berbagai informasi
mengenai keterbukaan
sex di desa yang jauh
dari keramaian ini.
Sayang si Titin dan
Dedeh tidak bisa
menceritakan
sejarahnya mengapa
desa terpencil gini bisa
punya adat
membebaskan orang
berbuat sex di rumah
tanpa ada rasa malu.
Saya kira kalau hanya
alasan uang mereka
pasti merantau ke kota
besar untuk menjadi
PSK.
Baik Titin maupun
Dedeh beralasan takut
merantau karena
mereka merasa ngeri
jika digrebek atau
ditangkap petugas. "Ya
mending di rumah aja
oom, dapatnya gak
banyak juga gak apa-
apa, yang penting
aman.
Sekitar 2 jam setelah
Neneng pergi tadi, dia
sudah kembali dengan
rombongan. Ada 5
orang temennya
bersamanya. Wajahnya
malu-malu, tetapi
semuanya kelihatan
masih sangat belia. Aku
taksir usianya baru
sekitar 12 – 14 tahun.
Aku tidak percaya
dengan pandangan
mataku sendiri. Anak-
anak semuda ini sudah
diumbar orang tuanya
untuk berbuat sex
bebas.
Memang tidak
semuanya berwajah
cantik atau manis,
tetapi kepolosan dari
wajah kebeliaannya
sangat menonjol.
Dandanan mereka
sangat sederhana khas
wanita desa.
Aku penasaran juga
ingin mencicipi mereka,
tetapi melawan
kelimanya mana
mungkin aku bisa.
Sayang juga
melepaskan mereka
begitu saja. Otak
fotografer langsung
konek. Aku
menawarkan mereka
untuk mau aku foto
dalam keadaan bugil.
Aku menjanjikan
memberi uang yang
untuk ukaran di desa
ini sangat lumayan.
Mulanya mereka malu,
tetapi jumlah uang
yang aku iming-
imingkan itu menggoda
mereka untuk
menerimanya. "Foto-
foto doang Oom, "
tanya salah seorang
dari mereka yang
kelihatannya paling
tua.
Aku jawab benar,
hanya foto-foto saja,
tempatnya ya di rumah
ini dan di halaman
belakang rumah.
Rumah si Titin
kebetulan agak
memisah dari tetangga
dan dibatasi oleh
kerimbunan semak
yang merupakan pagar
hidup.
Mereka berlima
langsung saling
pandang dan tertawa
malu sambil
menutupkan tangannya
ke mulut.
Titin dan Dedeh dengan
bahasa setempat
membantu aku agar
mereka mau saja
menerima tawaranku.
Kata dia uang segitu
lumayan, Cuma difoto-
foto doang paling juga
gak lama. Titin
akhirnya menggiring
kelima anak itu masuk
kamar untuk melepas
semua pakaiannya.
Tidak lama kemudian
dia keluar dan menutup
pintu depan. Ruangan
menjadi agak redup,
aku membuka semua
jendela dan menutup
sedikit kordijnnya.
Neneng merajuk, dia
juga ingin difoto
karena ingin dapat duit
lagi. Aku setuju saja,
Dia kemudian berlari
masuk kamar di tempat
anak-anak tadi. "Oom
kalau kita-kita boleh
juga enggak difoto,"
tanya Dedeh. "
Lumayan oom untuk
tambah-tambah,"
sambungnya lagi.
Aku langsung
memikirkan
skenarionya. " ok,"
kataku.
Dedeh dan Titin ikut
masuk kamar untuk
melepas baju.
John memprotes aku,
kata dia biayanya
lumayan besar, cukup
untuk "tiarap" dua
malam lagi.
Tapi aku bilang, tenang
aja, "ente gak usah
keluar uang, gua aja
yang bayar semua,"
Pintu kamar terbuka.
Diawali dengan si
Neneng keluar sambil
masih berusaha
menutup teteknya dan
memeknya, yang lain
juga jadi ikut-ikutan
begitu. Terakhir si Titin
dan Dedeh tanpa
canggung keluar
dengan telanjang bulat
dan tidak menutupi
auratnya
Aku lalu mengatur
posisi 8 orang itu.
Pertama-tama aku
mengambil mereka
dengan foto bersama
berjajar, berkali-kali.
Setelah itu aku
mengatur posisi
masing-masing seperti
sedang melakukan
kesibukan di rumah.
Dia bale-bale mereka
yang masih belia aku
suruh duduk sambil
membuka
selangkangannya.
Mereka masih belum
berjembut semua
Berbagai posisi aku
ambil dan secara
bergantian aku ambil
satu persatu dengan
berbagai gaya sampai
pada close up
memeknya dan
teteknya.
Setelah itu dua
perempuan yang sudah
dewasa juga aku shoot
dengan berbagai posisi
sampai close up
memeknya masih-
masing.
Dari ruang tamu aku
arahkan bergerak ke
arah dapur. Meski
dapurnya sempit,
tetapi karena ada
akses pintu ke
belakang, dan ketika
dibuka lumayan
memberi cahaya masuk
dan aku bisa membidik
kamera dengan
berbagai angel.
Ternyata di belakang
rumah ada halaman
yang tidak seberapa
tetapi bersih dan ada
pula sumur di situ.
Mereka lalu aku
arahkan ke halaman
belakang berbagai
gaya dan tampak latar
belakang rumah
pedesaan yang
sederhana. Dibelakang
rumah Titin, ternyata
perkebunan tebu. Agak
semak memang, aku
membersihkan
beberapa semak
sehingga kelihatan
tidak terlalu banyak
daun tebu kering.
Mereka pun aku atur
berpose di seputaran
kebun Tebu. Jadi Foto-
foto itu sangat asri
karena diantaranya
ada juga di dekat
kandang kambing,
kandang ayam, sumur
dan ada pula dangau di
tengah kebun tebu.
Aku akhirnya lelah juga
karena acara foto-
fotoan telanjang
hampir 2 jam juga.
Memori card
berkapasitas 8 G
hampir penuh, padahal
masing-masing image 5
mega.
Untung masih telintas
diotakku foto0 mereka
setengah telanjang.
Mereka kuminta
membawa pakaiannya
ke belakang karena
aku akan memfoto
mereka dengan hanya
mengenakan celana
dalam , dengan kutang
dan baju yang masih
memperlihatkan aurat
mereka sedikit di
sekitar sumur.
Akhirnya tuntas sudah
memori 8 giga penuh.
Tidak semuanya foto,
setengahnya adalah
video. ***

Postingan Lama