Jumat, 20 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 9

BAGIAN SEMBILAN (PART 9 OF 12)
KEMELUT CINTA ALYA
Oleh Pujangga Binal & Friends
"Selamat datang kembali, sayang." Kata Alya sambil mendorong kursi
roda Hendra masuk ke rumah.
Opi melonjak - lonjak gembira melihat ayahnya pulang, tapi pria yang
duduk di kursi roda itu bereaksi negatif, dia diam saja tanpa ekspresi,
tangannya bergerak lemah mengelus rambut Opi dengan wajah masam.
Melihat wajah lesu suaminya Alya menggigil menahan emosi, ingin
rasanya dia menangis melihat Hendra yang terus saja memperlihatkan
ekspresi pahit terutama kepada dirinya, tapi apa yang bisa dia
lakukan? Dia hanya mampu memberikan dorongan doa agar suaminya
itu bisa cepat sembuh dan kembali menjadi suaminya seperti Hendra
yang dulu. Beberapa hari sebelum pulang Hendra sudah mulai bisa
tersenyum dan bercanda, lalu entah kenapa, tiba - tiba saja senyum
itu hilang dan berganti dengan kemuraman dan wajah penuh emosi
yang tidak berkesudahan. Dalam hati kecilnya Alya merasa Hendra
memendam kekecewaan dan rasa marah kepadanya, tapi kenapa?
Atas ijin dokter, Hendra sudah diperbolehkan pulang dan menerima
rawat jalan, karena pertimbangan finansial dan kenyamanan, pihak
keluarga membawa Hendra pulang hari ini. Sayangnya entah kenapa
Hendra yang pada hari - hari terakhir memperlihatkan wajah optimis
berubah total, ia terlihat enggan pulang ke rumah. Ketika Dodit
menanyakan hal ini pada Alya, istri Hendra itu hanya bisa menggeleng
dan mengangkat bahu tanda tak tahu. Alya sudah mencoba
menanyakannya langsung tapi Hendra tak menjawab, ia bahkan
menggeram marah ketika Alya terus bertanya. Itu sebabnya Alya
memilih diam dan berpura - pura semua baik - baik saja. Ia yakin
suatu saat nanti, Hendra akan kembali seperti semula. Paling tidak
Hendra sudah pulang ke rumah.
"Tas - tasnya Bapak langsung dibawa ke kamar, Bu?" tanya supir yang
membawa tas berisi baju dan perlengkapan Hendra.
"Iya, Mas Paidi." Angguk Alya. "Letakkan saja di samping tempat tidur
Bapak, nanti biar saya yang membereskan."
"Baik, Bu." Kata Paidi sambil bergegas membawa barang - barang itu
masuk ke dalam rumah.
Paidi? Ya. Paidi yang dulunya adalah penjual bakso keliling kini telah
resmi diangkat sebagai supir keluarga Hendra. Alya memutuskan untuk
menyewa Paidi karena kondisi Hendra yang masih memerlukan
perawatan secara intensif. Dia tidak mempercayai Pak Bejo untuk
melakukan tugas - tugas yang penting lagi, itu sebabnya dia menyewa
Paidi. Memang tidak mudah mempercayai orang yang baru saja ia
kenal, tapi Paidi sudah mengenalkan diri dan jujur tentang masa
lalunya. Setelah beberapa kali membeli bakso dan akrab dengan Paidi,
Alya memutuskan bahwa lelaki tua kurus ini orang yang dapat
dipercaya. Tentu saja Paidi tidak pernah mengatakan kalau dia adalah
mantan napi sehingga memperoleh kepercayaan Alya.
Paidi memang orang asing bagi keluarga Alya, tapi mungkin akan lebih
baik menyewa orang asing yang benar - benar membutuhkan
pekerjaan daripada membiarkan pria brengsek seperti Pak Bejo
merajalela di rumahnya. Masa lalu Paidi yang masih simpang siur,
memang membuat Alya sedikit merasa was - was, tapi pada dasarnya
setiap orang bisa berubah, kenapa tidak memberi kesempatan pada
orang ini untuk membuktikan kesungguhannya bekerja pada Alya dan
keluarga? Tentu saja Paidi tidak lantas dengan mudah menceritakan
masa suramnya ketika harus mendekam di bui. Ia sengaja menyimpan
cerita itu untuk dirinya sendiri, karena kalau sampai Alya tahu, sudah
pasti dia tidak akan bekerja bagi ibu muda yang seksi itu lagi.
Karena berbagai pertimbangan pula, Alya meminta Paidi tinggal di
kamar pembantu yang ada di kebun belakang, sebuah kamar yang
terpisah dari rumah utama.
###
Paidi bersiul sambil membilas Toyota Avanza milik Alya dengan riang
gembira. Lagu - lagu ceria ia dendangkan dengan siulan merdu. Ia
akan membuat mobil ini bersih dan cantik seperti majikannya.
Panasnya terik matahari yang bersinar tak membuat mantan napi itu
gerah, ia bahagia sekali bisa bekerja sebagai supir pribadi Alya.
Walaupun baru memperoleh pekerjaan itu selama beberapa hari, tapi
Paidi berniat akan menjadikan pekerjaan ini pekerjaan terakhirnya.
Kalaupun gagal dan dipecat, paling tidak sekali dalam hidupnya ia bisa
tinggal di rumah yang sama dengan wanita secantik Alya. Siapa yang
tidak ingin selalu berada di dekat seorang wanita yang semolek
bidadari?
Paidi bekerja dengan gembira, ia mengoleskan sabun, membilas,
menyemprot dan membersihkan mobil dengan perasaan berbunga.
Pekerjaan sudah hampir selesai ketika hari mulai siang.
Saat itulah sebuah suara serak mengagetkannya.
"Siapa kamu? Ngapain kamu di sini?"
Paidi berbalik ke belakang dan melihat sesosok tubuh gemuk
menghampirinya. Ini dia orangnya, Bejo Suharso. Orang yang ia lihat
malam itu, preman kampung yang meniduri Alya di pos kamling tempo
hari. Orang yang telah membuat kehidupan Alya berubah menjadi
neraka. Pandangan kedua laki - laki itu segera beradu, tapi karena
teringat statusnya sebagai orang baru, Paidi memilih untuk mengalah.
"Nama saya Paidi, Pak. Saya supir baru di sini."
"Supir baru?" Pak Bejo mulai gelisah, kenapa Alya menyewa supir
baru? Apakah dia dengan sengaja hendak menyingkirkannya? Dasar
lonthe tidak tahu diri! Sudah diberi kenikmatan malah mau
membuangnya begitu saja! Perek itu harus diberi pelajaran! Pak Bejo
berkacak pinggang, "ohhh... kalau begitu perkenalkan, nama saya Bejo
Suharso. Saya tinggal di dekat sini."
Kedua orang itu bersalaman dan memegang tangan masing - masing
dengan sangat erat. Entah siapa yang memulai, keduanya beradu kuat
saat bersalaman, seakan menunjukkan siapa yang memegang kendali.
Pak Bejo kaget juga melihat kekuatan Paidi, ia tidak mengira supir
kurus itu akan membalas jabat tangannya dengan sekuat tenaga.
"Kalau butuh apa - apa, bilang saja sama saya. Saya sudah sering
bantu - bantu kok." Kata Pak Bejo. "Keluarga Pak Hendra sudah saya
anggap keluarga sendiri."
"Iya Pak." Walaupun kurus, Paidi tidak kalah kuat dibanding Pak Bejo.
Supir baru Alya itu cuma nyengir sewaktu Pak Bejo menegangkan
rahang tanda geram sambil menarik tangan dengan kasar.
###
Alya mendesah di ruang kerja, ia menatap layar netbooknya dengan
malas. Pekerjaannya menumpuk. Ia memang sudah menduga perawatan
Hendra di rumah sakit akan memakan banyak biaya dan waktu, tapi ia
tidak menduga pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk begitu
banyaknya. Alya meregangkan tangannya ke atas, lelah sekali rasanya.
Ah, seandainya saja Mas Hendra mau memijatnya...
Satu tangan gemuk tiba - tiba saja meraih pundak Alya dan mulai
memijit bahunya yang pegal. Awalnya Alya mengerang lirih karena
keenakan, tapi lalu terdiam saat tahu siapa yang datang.
"Capek ya, sayang? Tenang saja. Akan kubuat tubuhmu rileks supaya
nanti malam bisa melayaniku sampai pagi." Kata Pak Bejo sambil
menurunkan kepala tepat di samping kepala Alya, tak lupa pria tua itu
menyunggingkan senyum menjijikkan. Sambil terkekeh, Pak Bejo
mengecup pipi Alya yang halus.
Alya berontak ketika ia sadar siapa yang datang. "Tidak perlu. Terima
kasih. Pekerjaan saya banyak sekali hari ini. Pak Bejo ada perlu apa?
Kenapa masuk ke ruang kerja saya? Jangan lupa sekarang ada Mas
Hendra di rumah ini! Pak Bejo tidak boleh berbuat seenaknya lagi!"
Alya berdiri dan melangkah menjauh dari Pak Bejo. Walaupun
tubuhnya bergetar karena takut, tapi untuk pertama kalinya sejak
diperkosa, ia berani melawan.
Pak Bejo geram, wajahnya memerah karena marah. "Begitu ya
sekarang? Berani kamu melawan? Dasar lonthe! Habis manis sepah
dibuang! Setelah semua jasa - jasaku selama ini, kamu berani -
beraninya menyewa seekor anjing untuk menjaga rumahmu!?"
Ingin muntah rasanya Alya mendengar Pak Bejo memaki-makinya dan
mengungkit-ungkit jasa yang sebenarnya tak ada artinya dibandingkan
perlakuan kasarnya pada Alya. Tapi ibu muda yang cantik itu menahan
diri dan berpura - pura bodoh. "Apa maksud Pak Bejo? Menyewa
siapa?"
"Siapa laki - laki yang sedang mencuci mobil di luar?"
"Mas Paidi maksudnya?"
"Kenapa kamu menyewa supir baru?"
"Saya butuh supir."
"Buat apa? Kan ada saya?"
"Saya butuh supir yang bisa mengantar Opi dan Mas Hendra kapan
saja dibutuhkan. Pak Bejo belum tentu ada setiap hari. Lagi pula..."
Pak Bejo mendengus. "Aku tidak suka orang itu. Kamu pecat saja."
Alya mengerutkan kening dengan marah. "Pak Bejo! Saya memang
sudah Bapak peras habis - habisan, luar dalam, tapi saya tidak mau
Pak Bejo mendikte apa yang boleh saya lakukan dan apa yang tidak!
Saya bukan budak! Paidi saya sewa karena Mas Hendra masih belum
kuat menyetir sendiri! Siapa yang akan mengantarkan Opi? Siapa yang
akan merawat mobil? Saya..."
PLAK!!
Bekas tangan memerah terasa perih di pipi Alya.
"Lonthe tidak tahu diri!" geram Pak Bejo mendekati Alya. "Kalau aku
bilang pecat ya pecat! Susah amat sih!"
Titik airmata siap menetes di pelupuk mata Alya, tapi istri Hendra itu
berusaha tegar. Ia tidak akan mau lagi menjadi bulan - bulanan laki -
laki bejat ini. Semua kejadian pahit yang telah menimpanya adalah
karena ia dan suaminya menaruh kepercayaan terlalu besar kepada
preman kampung ini untuk bisa keluar masuk rumah mereka. Hal itu
tidak boleh diteruskan dan tidak boleh terjadi lagi! Cukup sudah!
"Pak Bejo..." desis Alya dengan segenap kekuatan, suaranya terdengar
bergetar karena menahan diri dari rasa takut yang amat dalam. "Saya
ingin Bapak segera keluar dari ruang kerja ini dan..."
Pak Bejo tidak tahan lagi. Dengan geram ia mendorong tubuh lemah
Alya ke dinding. Pak Bejo menekan kedua tangan Alya di belakang
punggungnya sendiri. Karena eratnya tekanan Pak Bejo, kedua tangan
Alya terkunci dan tidak mampu digerakkan. Setelah tubuh molek Alya
terkunci, Pak Bejo lantas menjepit leher Alya dengan lengannya yang
gemuk. Istri Hendra itu tidak bisa bergerak. Ia mencoba berontak untuk
melawan tapi sia - sia saja, tenaga mereka tidak sebanding.
Perbedaan kekuatan jelas terlihat. Pak Bejo telah mengunci tubuhnya.
"Baiklah, manis. Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya keberanian
untuk melawanku. Apalagi kamu cantik sekali kalau sedang marah.
Tapi..." Pak Bejo berbicara dengan nada pelan namun penuh ancaman.
Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alya, si molek itu bahkan bisa
merasakan hembusan nafas berat dan bau yang keluar dari hidung dan
mulut Pak Bejo, "aku tidak akan mengulang lagi semua yang aku
katakan, jadi aku ingin kamu mendengarkan aku baik - baik. Setuju?"
Alya mengangguk lemah.
Pak Bejo tersenyum menghina. Ia mencoba mencium bibir Alya, namun
ibu rumah tangga yang cantik itu tidak mau membuka mulut, ia terus
meronta dan menolak. Sayang desakan lengan Pak Bejo di leher sangat
menyesakkan nafasnya, mau tak mau Alya merintih kesakitan. Ketika
mulutnya membuka sedikit, lelaki tua gemuk itu langsung
menempelkan bibirnya di bibir mungil Alya. Pak Bejo bahkan menggigit
kecil bibir bawah wanita cantik yang hanya bisa meringis kesakitan
itu.
"Besok..." kata Pak Bejo dengan suara berat setelah puas menciumi
bibir Alya, "aku ingin tikus kurus itu mengepak semua barang -
barangnya dan meninggalkan rumah ini. Aku tidak peduli bagaimana
caranya kamu menyuruhnya pergi, yang penting aku tidak mau melihat
muka jeleknya di tempat ini lagi! Mengerti?"
Alya diam, ia tidak menjawab.
Pak Bejo mendengus, ia mengecup bibir Alya beberapa kali lagi. "Huh.
Alya... Alya... apa sih hebatnya orang itu sampai - sampai kamu
mempertahankannya mati - matian? Memangnya dia itu siapa kamu?
Jangan - jangan kamu juga sudah tidur sama dia? Dasar lonthe... sopir
sendiri juga mau."
Alya meronta lagi dan membelalakkan mata dengan marah. Ia geram
namun tak bisa mengeluarkan kata - kata karena lehernya ditekan
sangat keras oleh lengan Pak Bejo. Matanya berlinang, air matanya
siap tumpah kapan saja.
"Aku kangen sama bibir kamu yang mungil itu. Bukan bibir atas lho,
tapi bibir bawah. Ha ha ha ha!" kata Pak Bejo sambil tertawa terbahak.
"Nanti malam semprot pakai parfum biar wangi, aku mau pakai kamu
sampai pagi! Ha ha ha!"
"Apa ada masalah di sini?"
Terkejut dengan suara yang tiba - tiba saja muncul dan
mengagetkannya, Pak Bejo melepaskan kuncian pada Alya. Setelah
berhasil lepas, Alya langsung menghempaskan diri ke sofa yang
berada tak jauh darinya dan terbatuk, ia duduk sambil berusaha
menenangkan diri, nafasnya terasa sesak sekali. Alya memicingkan
mata dan menahan lehernya yang sakit. Si cantik itu mencoba melihat
siapa yang datang... Mas Hendrakah?
Bukan! Ternyata Paidi!
"Heh, supir! Mending kamu urus urusanmu sendiri! Apapun yang aku
omongin sama Bu Alya sama sekali bukan urusanmu! Tahu!?" bentak
Pak Bejo sambil melotot.
Paidi hanya tersenyum melihat pria bertubuh gempal itu
membentaknya, mantan napi itu jelas bukan orang yang mudah
digertak, ia menjawab bentakan Pak Bejo dengan tenang. "Bu Alya itu
majikan saya. Tentunya sebagai karyawan yang baik dan mengabdi,
saya tidak ingin ada hal - hal yang buruk menimpa beliau." Pandangan
mata Paidi menusuk tajam ke arah Pak Bejo. Keduanya saling menatap,
siap mengeluarkan pukulan. Suara Paidi berubah menjadi geram,
wajahnya mengeras. "Bukan begitu, Pak Bejo?"
Alya ketakutan sekaligus bingung melihat situasi ini, keributan sedikit
apapun akan mengundang perhatian Mas Hendra yang sedang
berisitirahat walaupun kamarnya jauh dari ruang kerja Alya,
kedatangan Mas Hendra kemari saat itu adalah hal terakhir yang ingin
dia lakukan. Ia tidak ingin Hendra tahu perbuatan bejat Pak Bejo
kepadanya selama ini. Alya mendorong Paidi dan Pak Bejo yang sudah
sangat dekat dan saling mengancam agar menjauh satu sama lain.
"Sudah! Sudah! Kalian bisa membuatku gila kalau begini caranya,
tolong pelankan suara kalian! Mas Hendra dan Opi ada di dalam! Kalau
kalian mau ribut, bukan di sini! Jangan sekarang!"
"Baiklah." Pak Bejo mendesah, "tapi kalau boleh aku memberi usul,
lebih baik supir baru ini diberi pelajaran tambahan soal tatakrama, Bu
Alya. Apalagi di kampung kita dia bukan siapa - siapa. Aku tidak ingin
ada hal - hal yang buruk menimpanya. Kecelakaan sering terjadi di
wilayah ini."
Paidi menggemeretakkan gigi dengan geram, dia tahu itu ancaman,
tapi melihat wajah Alya yang menatap mereka khawatir, dia diam saja.
Demi majikan yang sangat ia kagumi, Paidi mengalah.
Pak Bejo melangkah dengan penuh kemenangan meninggalkan ruang
kerja, dengan sengaja ia menyenggol pundak Paidi sambil meringis
menantang. Pak Bejo berjalan keluar rumah dengan bersiul - siul
santai.
Tetes air mata mulai leleh di pipi Alya. Betapa lelahnya ia dengan
semua ini, betapa inginnya dia lepas dari semua masalah yang
membebani pikirannya. Perih pula rasanya tamparan Pak Bejo yang
masih terasa menyengat di pipinya.
"Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi tadi saya sudah mencuri dengar
percakapan Ibu dengan Pak Bejo, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya
Paidi dengan lembut. "Benarkah..."
Alya kaget mendengar pertanyaan nekat dari supirnya itu, ia bangkit
dan mengusap air matanya yang menetes. Wajahnya yang cantik
berubah menjadi ketus, "Dengar baik - baik, Mas Paidi. Aku ingin
kamu tahu kalau aku bisa mengatasi semua persoalanku sendiri. Aku
tidak suka karyawanku tahu rahasia - rahasiaku, jadi lebih baik kau
lupakan semua yang kamu dengar hari ini, atau besok kamu angkat
barang - barangmu dan pergi dari rumah ini! Mengerti?"
Paidi kaget, tapi ia lalu tersenyum lembut karena tahu tentunya saat
ini Alya sedang kacau dan sangat kalut. Wanita jelita itu tentunya
masih sangat terbawa emosi. "Saya tidak berani lancang. Tentu saya
tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak akan mengungkit
kejadian ini lagi di masa mendatang. Ibu bisa percaya pada saya."
"Bagus!"
Alya meninggalkan Paidi sendiri, ia berjalan keluar dengan langkah
tegas, tapi getaran kaki Alya tidak bisa mengelabui Paidi.
Pria tua itu duduk di sofa dengan tenang sambil menatap kepergian
majikannya yang jelita. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi besok, ia
harus menolong si cantik itu lepas dari genggaman Pak Bejo yang
bejat. Kalaupun ia harus dipecat karena usahanya, ia tidak akan
menyesal karenanya.
Ia harus melakukannya, karena sejak melihat Alya di Pos Kamling
malam itu, Paidi telah jatuh cinta.
Ia akan melawan Pak Bejo. Demi Alya.
###
Alya ambruk di ranjang kosong di dalam kamarnya dan menangis
tersedu - sedu. Bagaimana caranya dia bisa lepas dari semua
ancaman Pak Bejo? Dia tidak ingin disakiti lagi, dia tidak ingin
diperkosa setiap hari. Tapi kalau dia nekat melawan Pak Bejo, dia
khawatir akan keselamatan Opi dan Mas Hendra, belum lagi di rumah
ini juga ada Anissa dan Dodit. Preman kampung seperti Pak Bejo
selalu mengancam keselamatan keluarganya, oleh karena itu Alya tidak
berani berbuat gegabah. Apa dia harus pindah rumah? Alasan apa yang
sebaiknya disampaikan pada Hendra agar mereka bisa pindah dari
lingkungan ini tanpa membuka semua nista yang telah ia perbuat?
Bagaimana caranya meyakinkan Mas Hendra agar pindah ke tempat
lain tanpa membuka aib bahwa istrinya sendiri telah diperkosa?
"Kamu kenapa?"
Alya berbalik, ia terkejut mendengar suara itu... suara Mas Hendra!
"Mas?"
Di hadapan Alya, Hendra yang sedang duduk di atas kursi rodanya
tengah menyantap setangkup roti tawar dengan keju, ia baru saja
kembali dari ruang tengah menonton acara TV kesukaannya. Walaupun
wajah Hendra masih ketus dan sepertinya acuh tak acuh, tapi Alya
senang sekali! Ini pertama kalinya sejak mereka pulang ke rumah
suaminya mau menyapa!
"Kamu sudah lebih baik, Mas?" tanya Alya dengan semangat, "akan
aku buatkan lauk untuk makan ya. Sepertinya Mas sangat lapar..."
"Aku tadi tanya kamu kenapa." Nada suara Hendra sama sekali tidak
enak didengar, ketus dan keras.
"A - aku tidak apa - apa... mungkin hanya kecapekan." Jawab Alya
dengan gugup.
"Ya sudah." Hendra mengayuh roda kursinya dengan tangan, berbalik,
dan meninggalkan Alya sendirian saja di kamar.
Alya menatap kepergian suaminya dengan wajah sendu.
"Mas...?"
Tidak ada jawaban, Hendra telah pergi tanpa mempedulikannya.
Alya menundukkan kepala. Tubuhnya ambruk ke lantai dan ia kembali
menangis tersedu - sedu. Kenapa di saat satu hal kacau, yang lain
juga jadi ikut berantakan?
###
Alya meregangkan tangannya yang pegal. Saat ini ia sedang duduk di
kursi yang berada di beranda halaman belakang rumah, tempat yang
langsung menghadap ke kebun belakang. Kebun belakang ini cukup
luas dan dikitari oleh tembok tinggi yang mengisolasinya dari
tetangga sekitar, tidak akan ada tetangga yang bisa melihat keadaan di
kebun Alya yang asri. Hijaunya tanaman, harum wangi bunga yang
semerbak, burung yang berkicau dan selintas hinggap, serta langit
yang biru cerah, membuat suasana hati Alya lebih riang dari biasanya.
Hari ini wanita cantik yang juga seorang wanita karir itu sedang libur.
Dodit dan Anissa pergi mengantarkan Mas Hendra check - up rutin di
rumah sakit sedangkan Opi sudah diantar Paidi ke sekolah. Akhirnya ia
bisa istirahat sebentar tanpa gangguan dari siapapun. Setelah
beberapa saat melihat suasana kebun belakang yang menyejukkan, ibu
muda yang jelita itu memutuskan untuk melakukan senam sebentar.
Semua stress yang harus ia hadapi membuatnya lelah, ada baiknya dia
melepas semua penat dengan berolahraga.
Alya mengenakan tanktop putih ketat yang menampilkan kemolekan
lekuk tubuhnya, tanktop mungil itu hampir - hampir tidak sanggup
menahan kemontokan buah dada Alya yang ukurannya cukup lumayan,
ia memang sengaja mengenakan tanktop agar bisa lebih rileks
berolahraga, karena ketatnya tanktop, Alya sengaja tidak mengenakan
bra. Selain tanktop, sebuah celana ketat pendek yang juga berwarna
putih ia kenakan agar lebih mudah bergerak. Paha Alya yang putih
mulus bagai pualam terlihat sangat seksi dalam balutan seadanya
celana mini yang sangat ketat itu.
Hari ini ia tahu tidak akan ada seorangpun yang bisa masuk ke rumah,
termasuk Pak Bejo yang tengah pergi keluar kota karena ada urusan
keluarga, jadi ia benar - benar sedang sangat bebas. Itu sebabnya dia
berani mengenakan baju ketat ini.
Sambil memasang headset di telinganya, Alya menyalakan IPod untuk
memutar lagu sembari ia berolahraga. Untuk beberapa saat lamanya,
Alya berlari di tempat atau memutar kebun, melakukan peregangan
badan, lalu berlari lagi, senam sebentar, angkat berat sedikit,
meregangkan badan lagi, lalu berlari lagi. Ia melakukannya berulang
kali, lebih lama dari waktu yang dianjurkan.
Seandainya ada orang yang melihat, mereka pasti akan heran melihat
olahraga yang dilakukan Alya. Ada kesan kalau si cantik itu tidak
hanya sekedar melakukan olahraga namun mendorong kemampuannya
melebihi batas maksimal, seakan hendak menghukum diri sendiri entah
atas alasan apa. Dampaknya jelas terlihat, karena memaksakan diri,
keringat mulai deras mengalir di pelipis Alya, jauh lebih deras dari
keringat biasa. Nafasnya kembang kempis dan tidak teratur,
jantungnya juga berdebar lebih kencang.
Alya tidak mau tahu dengan kondisi badannya yang mulai tidak karuan,
ia makin memaksakan diri. Ia hanya menganggap kalau itu semua
terjadi hanya karena akhir - akhir ini ia jarang berolahraga. Sayangnya
ia lupa kalau manusia tetap punya batasan. Tubuhnya terlalu lemah
dan pikirannya sudah terlalu lelah. Ia tidak sadar kalau ia belum
mampu berolahraga seberat itu.
Perlahan, Alya makin lemah. Badannya makin susah digerakkan.
Pandangan matanya kian berkunang - kunang, semuanya jadi kabur.
Kepalanya juga sangat berat dan pusing sekali. Entah kenapa rasanya
Alya ingin tidur saat ini juga.
Lalu semuanya gelap.
Alya pingsan di kebun rumahnya.
###
Alya mencoba membuka matanya, tapi rasanya berat sekali. Ia
mendengar suara seseorang memanggilnya. Di mana ini? Kenapa berat
sekali rasanya bangkit dari tidur? Tunggu dulu... ini bukan tempat
tidurnya, ia tidak sedang berada di ranjang, ia sedang berada di
rerumputan... ia sedang berada di kebun! Ya! Alya ingat sekarang! Dia
tadi pingsan karena kelelahan!
Perlahan fokus Alya mulai kembali, matanya terbuka perlahan, sinar
terang seperti menembus ke dalam batok kepalanya, nyeri sekali.
Untungnya Alya tidak perlu membuka mata terlalu lebar untuk tahu
siapa yang datang.
"Bu Alya? Ibu tidak apa - apa?" tanya Paidi khawatir, keringat yang
mengalir di tubuh Alya adalah keringat dingin. Paidi mengetahuinya
ketika ia mencoba mengusap keringat yang menetes di dahi
majikannya dengan menggunakan punggung tangannya. Paidi
merinding ketika merasakan betapa lembut dan halusnya kulit wajah
Alya. Paidi mengulang pertanyaannya ketika Alya tak segera menjawab
pertanyaannya. "Ibu tidak apa - apa? Ibu bisa bangun?"
Alya mencoba bangun dan menggelengkan kepala, namun ia tidak
tahan dan berbaring lagi. "Ohh, pusing sekali." Keluhnya.
"Ibu berbaring saja. Biar saya yang membawa Ibu ke kamar!"
"Ti - tidak usah! A - aku..." belum sempat Alya menolak, Paidi sudah
mengangkat tubuh Alya dan menggendongnya masuk ke dalam rumah
utama. Kaget juga Alya melihat kekuatan sesungguhnya dari supir tua
yang terlihat kurus, lemah dan keriput ini. Dengan sekali angkat, tubuh
indah Alya sudah digendongnya. Karena lemah dan tak mampu
bergerak, Alya hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Paidi.
Untuk pertama kali, tubuh keduanya bersentuhan dengan sangat dekat.
Alya bisa merasakan kerasnya kulit Paidi yang berwarna gelap. Nafas
pria perkasa yang sedang menggendongya terasa hangat menerpa
wajah Alya. Mau tak mau Alya membuka mata dan menatap langsung
wajah keras supirnya yang sudah mulai keriput. Paidi hanya
mengenakan kaos yang tipis, liatnya kulit sang lelaki jantan itu
membuat Alya merinding. Ia salah menduga, ia mengira supirnya itu
adalah seorang pria lemah. Kini, dalam gendongannya, Alya merasa
terlindungi dan mendapat kehangatan yang selama ini ia cari dari
sosok suaminya, perlindungan dan rasa hangat yang sudah lenyap dari
Mas Hendra. Eh, apa yang dia pikirkan? Alya memejamkan mata lagi.
Gara - gara pingsan, pikirannya melantur kemana - mana!
Gejolak semangat Paidi bangkit ketika mencium harum wangi tubuh
Alya. Paidi semakin kagum, tidak hanya cantik, Alya ternyata juga
sangat harum. Namun yang membuat gairah kelelakiannya tak kuat
bertahan adalah mulusnya paha Alya yang memang jenjang dan luar
biasa indah. Sebuah kaki yang pas bagi tubuh yang sangat sempurna.
Ia berusaha keras agar keindahan wanita yang sedang ia gendong
tidak membuatnya kehilangan fokus. Ia harus tetap bertahan dan
mengantarkan Alya ke kamar, jangan sampai jatuh hanya gara - gara
tergiur kemolekan majikannya... tapi... ini benar - benar di luar dugaan
Paidi, Alya mengalungkan tangannya di leher Paidi dan bergantung
sepenuhnya kepadanya. Dada Alya yang montok dan tidak mengenakan
bra itu kini menempel seutuhnya di dada Paidi! Dada Bu Alya! Dada
yang selama ini ia impikan! Paidi meneguk ludah, toh ia lelaki biasa.
Merasakan kenyalnya payudara Alya menempel di dadanya membuat
lututnya ngilu, kalau saja tidak ingat situasinya, Paidi bisa - bisa ikut
pingsan karena pelukan Alya ini!
Dengusan nafas Paidi yang kian menguat membuat Alya sedikit tidak
enak, jangan - jangan Mas Paidi malu karena pakaian ketat yang ia
kenakan? Apalagi dia tidak mengenakan BH! Habisnya... dia tidak
mengira dia akan pingsan! Kalau dia tahu dia tidak akan mengenakan
baju dan celana yang ketat dan minim seperti ini! Tapi ya sudahlah,
tidak apa - apa, untuk kali ini saja. Apalagi Mas Paidi juga sudah
menolongnya.
Akhirnya Paidi meletakkan Alya di pembaringannya yang kosong.
Alya menderu nafasnya yang masih tak teratur, begitu juga Paidi,
walaupun untuk alasan yang lain.
"Te... terima kasih." Kata Alya malu - malu. Ia mencoba tersenyum,
wajahnya yang cantik mulai memerah kembali setelah sempat pucat
selama pingsan tadi. "Aku khilaf. Berolahraga terlalu berlebihan,
padahal tubuhku lemah karena tidak pernah berolahraga. Jadi
merepotkan Mas Paidi saja..."
"Tidak apa - apa, Bu." Paidi menundukkan kepala, ia tidak berani
menatap langsung ke arah Alya, takut dia akan terpesona. Dia takut
akan menubruk tubuh gemulai yang sangat menggiurkan itu dan
memperkosanya saat ini juga. Tidak. Dia tidak boleh jatuh ke dalam
perangkap nafsu seperti Pak Bejo. Alya terlalu indah untuk disakiti.
Dengan suara lemah Paidi menjawab. "Sudah menjadi tugas saya
sebagai karyawan ibu."
Alya masih tersenyum, Paidi dan Pak Bejo memang dua orang yang
sangat berbeda. Entah kenapa Alya jadi membandingkan Paidi dan Pak
Bejo, dalam bayangannya, mereka adalah dua sisi mata koin yang
berlawanan dilihat dari kelakuan keduanya yang sangat berbeda. Dan
lihatlah pria ini! Begitu lembut dan sopan dalam pembawaannya yang
sederhana. Mungkin itu sebabnya Alya jadi semakin tertarik pada
sosok Paidi yang bersahaja. Wajahnya buruk, usianya lanjut, kulitnya
gelap, tubuhnya kurus namun dia sangat kuat dan lebih penting lagi,
berpikiran lurus.
"Mas... boleh saya minta tolong lagi?"
"Iya, Bu?"
"Tolong ambilkan minum di..."
"Oh iya! Maaf jadi lupa! Segera saya ambilkan!" Paidi yang tadi sempat
khawatir pada kondisi Alya jadi lupa diri karena terpesona kemolekan
sang majikan. Ketika teringat kalau tadi Alya pingsan iapun jadi malu
sendiri. Bukannya merawat malah memperhatikan lekuk - lekuk tubuh
majikannya! Dasar tidak tahu diri! Bergegas Paidi menuju dapur,
mengambil segelas air putih dari dispenser, meletakkannya di tatakan
lalu membawanya ke kamar Alya. "Ini Bu, maaf saya tadi..."
"Tidak apa - apa, Mas. Saya sudah enakan kok. Kalau nanti sore
masih lemas, saya minta diantarkan ke dokter saja."
"Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa - apa,
panggil saya saja."
"Iya, Mas. Terima kasih banyak."
Paidi beranjak keluar kamar dan mengelus dadanya. Ia tidak sanggup
lagi berlama - lama di kamar hanya berdua saja dengan sang bidadari.
Kalau saja tadi pikiran jahatnya kambuh, ia pasti sudah menubruk Alya
dan menelanjanginya! Ah, betapa senangnya hati Paidi ia sudah
berhasil mengalahkan nafsunya sendiri... tapi... Alya memang benar -
benar seorang dewi. Sangat cantik, seksi dan luar biasa mempesona.
Dengan hati gembira mantan narapidana itu melangkah menuju
kamarnya yang berada di kebun belakang.
Sementara itu, di dalam kamar, hati Alya menjadi berdebar tak
menentu saat sosok tubuh Paidi berjalan keluar. Kenapa... kenapa ia
jadi seperti ini? Kenapa rasanya ia ingin terus berada dalam pelukan
hangat Paidi? Kenapa ia ingin selalu bersamanya? Kenapa rasanya ia
tidak rela Paidi meninggalkannya sendiri dalam keadaan lemah? Tubuh
Alya bergetar ketika ia mencoba melawan perasaannya sendiri yang
tidak masuk akal itu, ia tidak ingin semua ini terjadi... tapi jangan -
jangan... apakah ia sudah mulai tertarik pada supirnya sendiri? Ah
tidak mungkin! Ia tidak akan pernah mengkhianati Mas Hendra, apalagi
untuk seseorang seperti Paidi! Hilangkan jauh - jauh pikiran kotor itu!
Dengan geli Alya menggelengkan kepala. Ini pasti gara - gara pingsan
tadi, pikirannya jadi kacau dan berkeliaran dengan liar.
Alya meminum air putih, memejamkan mata dan berusaha beristirahat.
###
"Haaaaaaaahhh!!!"
Hendra terbangun dari mimpi buruknya dan hampir saja terlempar
karena terbangun dengan kaget. Ia mengambil handuk kecil dan
menyeka keringat yang turun deras di dahinya. Nafasnya terengah -
engah, berulangkali ia batuk kecil dan susah mengatur beratnya nafas.
Tangannya mencengkeram erat gagang kursi rodanya ketika ia menatap
foto pernikahannya dengan Alya yang ada di atas meja rias.
Hendra mendengus kesal, ia tidak akan pernah memaafkan Alya. Ia
tidak akan pernah memaafkan Pak Bejo. Ia tidak akan pernah
memaafkan siapa - siapa lagi! Tidak akan pernah!! Tidak akan pernah!!
Air matanya perlahan turun, ia tahu laki - laki sejati tak akan
menangis, tapi hatinya begitu sakit, hatinya sangat terluka. Kenapa ia
harus melihat secara langsung kemesraan antara Alya dan Pak Bejo?
Kenapa? Kenapaaaa??
###
Jantung Alya berdegup kencang ketika ia sudah sampai di depan pintu
kamar Paidi. Sendok dalam piring yang ada di tangannya sampai
berderak kencang karena tangannya yang gemetar. Kenapa dia takut?
Atau mungkin ini bukan rasa takut? Jangan - jangan ini gairah? Gairah
yang sudah lama sekali tidak ia rasakan sejak pertama kali bertemu
dengan Mas Hendra? Gairah yang sama ia rasakan ketika mereka
pertama kali kencan, menikah atau bercinta? Kenapa dia merasa takut
dengan gairah ini? Dia hanya mengantarkan roti kepada sopirnya.
Kenapa dia harus takut?
Tangan mungil Alya pelan mengetuk pintu kamar Paidi.
Sosok kurus hitam yang ia tunggu akhirnya membukakan pintu. Karena
tidak menduga Alya akan datang ke kamarnya, Paidi hanya berpakaian
seadanya, ia tidak mengenakan baju dan hanya memakai celana
pendek ketat.
"Ah, Bu Alya? Ada apa ya, kok malam - malam begini? Ibu mau saya
antar keluar? Sebentar, Bu... saya ganti pakaian dulu..."
"Ti... Tidak usah, Mas. Tidak perlu, saya tidak mau keluar kok," kata
Alya. "Saya hanya ingin mengantar roti ini untuk Mas Paidi."
"Terima kasih, Bu." Jawab Paidi sambil meraih kemeja yang ada di atas
kursi. Kemeja itu sebenarnya sudah dicuci, namun belum disetrika, ia
memakainya karena tidak enak berhadapan dengan Alya dengan
bertelanjang dada. Setelah memakai baju, Paidi menerima roti
pemberian Alya dengan sangat berterima kasih.
"Boleh saya masuk?"
Pertanyaan itu mengagetkan Paidi, tapi Alya kan majikannya? Ia berhak
masuk ke ruang mana saja di rumah ini. "Bo... boleh saja, Bu. Tapi
kamar saya masih berantakan. Belum sempat dirapikan."
"Ah, tidak apa - apa." Alya pun masuk ke kamar Paidi setelah sopirnya
itu mendahului untuk merapikan beberapa bagian kamar. "Se...
sebetulnya saya kemari karena saya ingin berterima kasih pada Mas
Paidi yang telah membantu saya beberapa hari yang lalu sewaktu saya
pingsan di kebun." Kata Alya sambil menyerahkan roti kepada Paidi.
"Lho, itu kan sudah tugas saya, Bu. Tidak perlu repot - repot seperti
ini."
"Terima kasih juga karena telah mengusir Pak Bejo malam itu." Lanjut
Alya dengan suara yang lirih.
"Ahhh..." Paidi menghela nafas. Ia meletakkan piring roti di meja,
menarik sofa kecil dan mempersilahkan Alya duduk. "Pak Bejo
sebenarnya patut diberi pelajaran karena telah bertindak kurang ajar
terhadap Ibu. Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Pak Hendra, Bu?"
Alya menggeleng dan tersenyum, "Mas Hendra sudah punya masalah
yang jauh lebih berat dan menyita pikiran, kita tidak boleh
membebaninya lagi. Aku juga tidak ingin Mas Paidi menceritakan
peristiwa pingsannya aku di kebun kepada siapapun. Mengerti?"
"Mengerti." Angguk Paidi. "Walaupun kalau menurut saya, preman
seperti Pak Bejo tidak perlu diberikan kunci rumah ini."
"Sebenarnya hanya Bu Bejo yang membuatku segan, Mas. Beliau sudah
banyak membantu. Tanpa bantuan Bu Bejo, keadaan rumah ini pasti
sudah berantakan."
Paidi tiba - tiba terdiam. Dengan langkah pelan ia mendekati Alya, ia
menatap wajah Alya dengan pandangan aneh, lama dan sangat lekat,
membuat Alya menjadi tidak enak. "Kenapa, Mas? Ada yang aneh
dengan wajahku?" tanya Alya risih.
"Ibu baru saja menangis?"
Alya tertegun. Pasti gara - gara kantung matanya. Ia menunduk. "Iya."
"Kenapa?"
"Tidak apa - apa." Jawab Alya sambil tersenyum.
Walaupun senyum itu sangat manis bagi Paidi, namun kegalauan hati
majikannya lebih penting. Ia membungkuk di depan Alya dan berlutut.
"Bu. Saya ini sudah Ibu bantu lebih dari cukup. Ibu sudah mengangkat
derajat saya dari orang tak punya apa - apa menjadi memiliki
segalanya. Ibu sudah menolong mengembalikan harga diri saya...
sekarang, saya mohon. Jika ada masalah, ibu bersedia
menceritakannya kepada saya karena saya akan membantu ibu sekuat
tenaga."
Kembali Alya hanya tersenyum. "Terima kasih atas tawarannya, tapi
benar kok. Saya tidak apa - apa."
Paidi mendesah kecewa, tapi ia lalu berdiri dan mengangguk. "Mudah
- mudahan begitu, Bu. Tapi kalau ada apa - apa, silahkan Ibu minta
saya untuk melakukan apa saja karena pasti saya akan
mengerjakannya."
"Terima kasih." Alya pun berdiri dan siap untuk kembali ke rumah
utama. "Ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mas?"
"Baik, Bu."
Berat hati Paidi melihat Alya mengalami depresi dan menyimpannya
untuk diri sendiri, seandainya bisa, dia ingin membantu, memeluknya
dan memberinya kehangatan agar dia bisa merasa aman dan
terlindungi.
Langkah Alya mendadak terhenti sebelum melangkah keluar kamar. Ia
tidak berbalik namun dari gerak tubuhnya Paidi tahu kalau majikannya
yang jelita itu gemetar mencoba menahan tangis.
"Bu...?" tanya Paidi sambil mencoba maju mendekati Alya.
"Semua yang aku lakukan salah. Mas Hendra tidak mau lagi bicara
padaku, Pak Bejo selalu bersikap kurang ajar tanpa pernah mau
berhenti, kakakku hilang entah kemana, adikku juga tidak bisa
dihubungi. Semua yang aku lakukan salah, semuanya membuat aku
bingung dan aku tidak ada tempat untuk menceritakannya. Aku tidak
tahu lagi harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan, Mas?" kepala
Alya menunduk dan ia menangis tersedu - sedu. Walaupun awalnya
ragu untuk bercerita kepada sopirnya, Alya kini membuka semuanya
karena dia sudah tidak kuat menahan beban hidupnya. Kepada siapa
dia akan berterus - terang kecuali kepada Paidi yang pernah
menolongnya mengusir Pak Bejo.
Paidi menutup pintu dan memberanikan diri memutar tubuh Alya
berhadapan dengannya. Wajah cantik itu kini berlelehan air mata.
Dengan gerakan reflek, Alya memeluk sopirnya. Ia menangis tersedu -
sedu di dada kurus Paidi.
Awalnya Paidi terkejut karena tiba - tiba Alya memeluknya, namun
karena ia tahu ibu muda yang cantik itu tengah dilanda dilema, iapun
membiarkan saja Alya luruh dalam pelukannya tanpa mengembangkan
pikiran mesum. Berulangkali Paidi harus mengusir pikiran kotor karena
dada Alya yang ranum amat rapat di dadanya. Wangi harum rambut
Alya membuat Paidi terbang ke awan. Dengan berani Paidi mengelus
rambut Alya untuk memberikan ketenangan. Ia biarkan si cantik itu
menangis tersedu hingga selesai.
"Mas..." desah takut Alya melantun manja di telinga Paidi. Indah sekali
bunyinya. Ia ingin Alya terus memanggilnya dengan nada manja. Isak
tangis Alya mulai reda. Ia menatap ke atas, ke arah mata Paidi yang
menatapnya lembut.
"Bu Alya..." Paidi dengan berani mencium kening majikannya yang
gemetar takut dan menggenggam jemarinya.
Tangan mereka kembali bersentuhan, jari jemari Paidi erat
menggenggam tangan Alya. Terlalu lama dan terlalu hangat. Mereka
sadar hanya ada satu jalan untuk menyudahi ini semua, terjun ke
dalam nafsu atau pergi tanpa berpaling. Alya hanya terdiam, tapi bola
matanya yang indah menatap tajam ke arah Paidi, sopir itu tentunya
tidak akan melewatkan kesempatan yang ada di depan mata. Ia
bergerak maju sedikit, lalu sedikit lagi, lalu lagi. Wajah mereka kini
sudah sangat dekat hingga hanya seukuran kuku jari.
"Bu Alya sangat cantik... sangat cantik sekali... selama ini saya selalu
membayangkan bisa bersama dengan Ibu..." batin Paidi dalam hati.
Bibir mereka akhirnya bertemu. Mata Alya tetap terbuka lebar pada
awalnya, namun ketika lidah Paidi yang melumatnya mulai bergerak, ia
memejamkan mata untuk menikmati ciuman dari sang sopir. Alya
melenguh kecil dan membalas ciuman Paidi. Mereka berdua saling
mencium dan melumat, lama sekali. Keduanya sudah jatuh dalam
jebakan nafsu. Mulut dan lidah bekerja bersamaan hingga menimbulkan
rangsangan kenikmatan.
Kali ini Paidi sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan berhenti apapun
yang terjadi! Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuh Alya terlalu indah untuk
dibiarkan begitu saja melenggang di depan matanya! Ia harus
mencicipinya! Sekarang juga! Peduli amat kalau nanti dia bakal dipecat
atau bahkan dipenjara! Biar bagaimanapun dia mencoba menahan diri,
dia tetaplah seorang lelaki normal yang membutuhkan kehangatan
seorang wanita dalam dekapannya. Godaan yang hadir dalam bentuk
bidadari bernama Alya ini terlalu berat untuknya.
Tapi saat ini Alya dalam kondisi sadar. Ia tidak mau mengkhianati
suaminya lagi. Ia sudah berdosa karena telah menerima Pak Bejo dan
mau - maunya diperlakukan seperti budak. Tidak! Hal semacam itu
tidak akan terulang lagi! Apa yang ia perbuat telah membuat Hendra
semakin jauh dan ia tidak mau semakin terjerembab lebih dalam ke
lembah nista! Ia ingin lepas dari semua masalah seperti ini, bukan
malah terjun ke dalamnya! Alya akhirnya berusaha menjauh dari sang
sopir.
Ketika Alya berusaha mendorong tubuh Paidi, ia baru teringat betapa
kuatnya laki - laki yang terlihat kurus dan lemas ini. Alya dilanda
dilema. Di satu sisi perasaan Alya berusaha mengingatkannya agar
segera tersadar dari godaan dan teringat pada suaminya, namun sisi
yang lain lagi - sisi yang lebih menuntut dan lebih kuat -
mengeluarkan semua pancaran nafsu birahi yang selama ini ia simpan.
Pria ini begitu kuatnya sehingga membuat fantasi Alya melayang,
apakah mungkin lelaki tua ini bisa memuaskan hasrat dan... ah... Alya
menggelengkan kepala. Tidak! Dia tidak mau terhanyut. Dia adalah
wanita karir yang terhormat, ibu rumah tangga yang baik dan istri yang
berusaha untuk setia. Ia ingin bangkit setelah semua yang ia alami
dengan Pak Bejo, Alya tidak mau jatuh lebih dalam ke jurang nista
dengan menyerahkan tubuh ke supirnya sendiri! Sungguh tidak pantas!
Paidi mengangkat dagu Alya, mulutnya turun ke bawah. Dengan satu
gerakan, supir itu sekali lagi melumat bibir Alya.
Semua sisi kesadaran Alya hilang. Beradunya bibir mereka membuat
sentakan luar biasa yang menghapus penolakan dalam tubuhnya yang
haus kasih sayang. Ia balik mencium Paidi. Keduanya kini melupakan
pikiran yang kalut dan membiarkan hasrat kebinatangan mengambil
alih. Esensi diri terdalam yang hanya menuruti kenikmatan membuat
keduanya lupa diri, melupakan status mereka sebagai supir dan
majikan. Melupakan status sebagai istri dan ibu. Membiarkan tubuh
mereka mereguk kenikmatan terlarang. Nafsu mengambil alih jati diri
mereka.
Lidah Alya bergerak lentur dan luwes seakan memiliki nyawa, bagaikan
ular yang melata. Lidahnya menyambut kedatangan lidah lawan dengan
tumbukan dan lumatan penuh nafsu yang menggelegak hebat. Alya
mengingkari perasaan dalam dirinya sendiri, perasaan bersalah yang
tiba - tiba saja menghinggap. Ini... terlarang! Tidak seharusnya ia
melakukan ini! Ia sudah menikah! Ia... ia... ia pernah diperkosa... dan...
Batin Alya berkecamuk. Mata Alya menutup dan perlahan membiarkan
nafsunya menggelora. Ia ingin melawan, namun gejolak nafsu yang
ditumpahkan oleh Paidi membuatnya takluk. Ciuman Paidi sangat
memabukkan dan membuat pikirannya melayang. Alya bingung, kenapa
tubuhnya justru pasrah ketika pikirannya sangat kalut, ia tidak sadar
bahwa tubuhnya ingin dibelai, ingin disayang, ingin menikmati
indahnya permainan cinta yang bukan karena terpaksa.
Sudah lama sekali rasanya ia tidak dicium seperti ini oleh Mas Hendra.
Mas Hendra! Suaminya! Astaga! Alya terbangun dari fantasinya. Ia
sedang dicium oleh laki - laki yang bukan suaminya! Mata yang tadi
terpejam mendadak terbuka. Wajah yang ada di hadapannya bukanlah
orang yang seharusnya berhak menikmati keindahan tubuhnya! Alya
tengah menatap wajah Paidi! Supirnya! Paidi sedang menciumnya!
Begitu kesadaran menguasainya kembali, Alya mencoba bangkit dan
berontak tapi tangan kuat Paidi mengingkari perlawanannya.
"Jangan Mas... suamiku..." tangan Alya menghalangi tangan Paidi yang
mencoba meraih buah dadanya. Rasanya seperti mengangkat tiang besi
yang berat, hangat tapi berat. Usaha Alya gagal, Paidi berhasil
menangkup buah dada kanannya. Pria tua kurus itu segera meremas,
memilin dan menggoyang payudara Alya dengan bebas. Tidak ada
perlawanan berarti yang dilakukan Alya. Si cantik itu malah semakin
mendesah tidak berdaya.
Alya kecewa pada dirinya sendiri yang tidak kuat menahan godaan.
Semudah inikah dia takluk pada Paidi? Orang yang tak lebih adalah
supirnya sendiri? Orang yang ia angkat menjadi supir setelah sering
berlangganan baksonya? Orang asing yang tidak dia kenal asal -
usulnya! Alya tidak ingin dikalahkan semudah itu... ia tidak ingin... ia
tidak...
Lidah Paidi masuk ke dalam mulut Alya dan pikiran si cantik itu
kembali melayang ke awan. Semudah inikah dia takluk?
Paidi merasa bangga pada dirinya sendiri karena Alya - istri Hendra
majikannya yang cantik jelita dan tadinya setia itu kini mulai
menyerah. Tangannya yang kurus dengan berani meremas buah dada
Alya yang montok, Paidi meremas dan memilinnya tanpa perlu takut.
Walaupun sudah berstatus sebagai seorang ibu dan sudah digauli dua
orang laki - laki lain, Alya masih memiliki payudara yang kencang dan
kenyal. Paidi sangat mengagumi tubuh Alya, ia merawat tubuhnya
dengan baik.. Lekuk tubuhnya masih sangat indah dipandang, ramping
dan seksi. Kulitnya juga sangat halus dan mulus, kulitnya yang
seputih susu membuat kenikmatan lain dalam menggelegak dalam hati
mantan napi yang sudah sejak lama tidak bercinta itu.
Payudara Alya yang indah itu sama sekali tidak melorot walaupun
sudah dinikmati Hendra dan Bejo, bahkan menjadi sumber ASI bagi
seorang anak yang sangat manis. Paidi menikmati keindahan susu
Alya sesuka hati. Ia menangkup, meremas, menggoyang, menimang
dan membelai buah dada sang nyonya rumah tanpa ada perlawanan
berarti. Jari - jari Paidi yang kurus menyentil puting payudara Alya
yang masih berada di balik kaos dan BH yang ia kenakan. Karena kaos
tipis yang dikenakan Alya berwarna putih, BH berenda warna ungu
yang ia pakai saat itu bisa terlihat dengan jelas. Sambil terus
menggoyang payudara sang bidadari, Paidi memberanikan diri
menggigit bibir bawah Alya dengan lembut.
Wanita jelita yang ada di dalam dekapan Paidi itu menggeliat, mencoba
melawan untuk yang kesekiankalinya. Namun pria kurus berkulit hitam
itu masih belum melepaskan ciuman ataupun remasannya. Untuk yang
kesekian kalinya pula, Alya kembali takluk pada ciuman Paidi.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berciuman dengan penuh nafsu.
Ketika Paidi akhirnya melepaskan remasan tangan pada susu Alya, si
cantik itu masih tetap menghamba pada ciumannya. Tubuh Alya
merinding dan menggigil karena tak kuat menahan nafsu. Paidi bukan
orang bodoh, rangsangan hebat yang menaklukan Alya ini pasti berkat
sentuhan ringan namun efektif pada pentil buah dada sang ibu muda.
Sekali lagi Paidi meremas payudara Alya dan menggoyang puting
payudaranya dengan jempolnya yang besar. Alya menggeram dan
merintih, tubuhnya gemetar tersambar kenikmatan.
Alya mulai terengah - engah, ia kesulitan mengatur aliran nafasnya
sendiri. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, menatap pria
yang bukan suaminya tengah menggumulinya dengan penuh nafsu.
Bibirnya basah oleh lumatan bibir Paidi yang sedari tadi tak berhenti
menciumnya, dadanya naik turun oleh nafsu birahi yang menggelora.
Satu persatu pakaian Alya dilucuti tanpa ada perlawanan berarti. Ketika
Paidi melepaskan BH dan menyisakan rok serta celana dalam, barulah
wanita cantik itu kembali tersadar... ia sudah setengah telanjang dalam
pelukan supirnya!
"Apa yang... apa yang telah aku lakukan?! Jangan!! Tidak! Aku tidak
mau! Sudah...! Aku mohon! Kita sudah terlalu jauh dan... dan..." Alya
kebingungan mencari kata - kata, ia tidak ingin mengucapkan kalimat
vulgar yang hanya akan menambah nafsu Paidi. "Aku mencintai
suamiku. Dia mencintai aku. Aku mohon... jangan tambah lagi
dosaku..."
Tangan Paidi kini bisa menyentuh payudara Alya yang sudah
telanjang. Alya menggeleng dan mencoba mendorong tangan sang
supir. Usaha ibu muda itu tentu saja gagal, Paidi jauh lebih kuat dan
Alya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga, bahkan sepertinya dia
menginginkan Paidi menyentuhnya! Dia ingin supir itu melanjutkan
niatnya!
Payudara Alya segera tergenggam tanpa halangan oleh tangan buas
Paidi. Diremas dan digoyangnya payudara istri Hendra yang jelita itu
sesuka hati. Alya merintih tak berdaya, ia tak mampu mengontrol
tubuhnya sendiri. Sensasi hangat serangan Paidi membuatnya
tenggelam dalam kenikmatan dan tak ingin melawan. Yang dilakukan
Paidi sama sekali berbeda dengan Pak Bejo yang memaksakan
kehendak, Paidi membuat Alya keenakan sehingga justru Alyalah yang
ingin meminta lebih. Alya berusaha melawan keinginan dirinya sendiri
yang tidak tahan ingin segera membuka kaki lebar - lebar agar Paidi
bisa memasukkan penisnya ke dalam... tidak! Alya tidak mau itu terjadi!
Alya harus melawan!
Paidi menatap penuh pesona ke pentil susu Alya yang kini menjorok
ke atas, benda mungil merekah itu seakan menantangnya. Sangat
menggiurkan dengan warnanya yang gelap kecoklatan. Balon buah
dada Alya bagaikan benda pusaka yang masih terawat rapi. Dia tak
boleh membiarkannya sia - sia! Kepala Paidi segera turun ke bawah,
bibirnya melumat tanpa ampun pentil susu yang sedari tadi terus
menantangnya itu!
Alya melonjak kaget ketika mulut hangat Paidi menangkup puting
payudaranya. Apalagi ketika bibir pria tua itu lalu mencium dan
lidahnya menjilat seluruh balon buah dadanya! Akhirnya, tanpa
dipaksa, Alya mendorong dadanya ke depan agar Paidi bisa lebih
leluasa menikmati dadanya. Gigi Paidi bahkan menggigiti daerah ujung
pentilnya, membuat sensasi kenikmatan menjalar dari dada ke seluruh
tubuh, bahkan jari kaki Alya sampai merenggang karena keenakan!
"Oooooh!" lenguh Alya menahan nikmat.
Paidi menyeringai dan menggerakkan giginya dengan tenaga. Paidi
bisa merasakan tubuh Alya yang gemetar dan menggelinjang karena
rangsangan hebatnya pada puting susunya. Dengan sigap lidah Paidi
melingkari pentil yang masih menonjol keluar. Hal ini membuat Alya
makin salah tingkah, tubuhnya melengkung ke belakang, matanya
terpejam dan tanpa sadar wanita cantik itu menghunjukkan buah
dadanya ke mulut sang supir yang terus merangsangnya.
Bertentangan dengan apa yang ia rasakan, Alya menggunakan kedua
tangannya untuk terus mendorong tubuh Paidi agar segera melepaskan
pelukannya. Akhirnya Paidi bersedia mundur sesaat, ia melepaskan
pentil payudara Alya, lalu memperhatikan wajah Alya, menikmati
kecantikannya. Mata Alya sangat indah, bercahaya dan penuh
pengharapan. Buah dada kirinya yang belum tersentuh terlihat gersang
dibanding buah dada kanan yang terus menerus diserang sejak tadi.
"Sudah... cukup! Aku... tidak bisa melanjutkan ini semua, aku harus
pergi!" pinta Alya dengan suara bergetar. Tangan si manis itu terus
berada di pundak Paidi, menghalanginya mendekat. Tapi Alya tidak
melakukan apapun untuk menutup payudaranya yang telanjang. Paidi
kembali menyeringai dan menurunkan kepalanya ke dada kiri Alya.
"Jangan!" tangan Alya mencoba mencegah Paidi agar tidak mendekat.
Namun tangan ramping Alya bukanlah penghalang berarti bagi supir
tua berwajah buruk itu, dengan sigap ia menangkup pentil kanan Alya
dengan mulutnya dan kembali menyebarkan sengatan kehangatan ke
seluruh tubuh sang ibu muda.
Demi dewa... Paidi sungguh sangat kuat! Alya tak mampu berkutik. Si
cantik itu hanya bisa megap - megap menggapai nafas ketika gigi
Paidi mengunyah puting payudaranya, setelah pentil itu menonjol,
lidah Paidi ganti menjilati sisi areolanya. Tubuh Alya melenting ke
belakang, ia berusaha melepaskan dadanya dari mulut Paidi, namun
belum sampai payudaranya bebas, Alya sudah terganggu oleh tangan
sang supir yang dengan nakal menjelajah ke bawah roknya dan
membelai ke atas menuju selangkangan!
Alya ingin melepaskan diri dari pelukan Paidi, sungguh dia telah
berusaha, namun supirnya ini telah memakunya di atas sofa. Alya
benar - benar tak berdaya di bawah rengkuhan sang lelaki kurus.
Tubuh Paidi mengunci rapat kaki dan lengan Alya sementara gigi, bibir
dan lidahnya merangsang habis - habisan puting payudara istri
Hendra itu. Belum lagi rangsangan yang datang dari bawah roknya...
apa yang bisa dilakukan Alya kecuali pasrah?
Tangan Paidi yang hangat berputar - putar di paha sang wanita
pujaan, melaju ke atas tanpa halangan. Tangan hitam di atas paha
putih mulus, sangat kontras. Paidi mengagumi seluruh tubuh Alya,
paha yang ia sentuh ini dulu adalah milik suaminya seorang, sebelum
akhirnya Alya jatuh ke jebakan maut Pak Bejo.
Ketika melihat Paidi lengah, Alya melawan lagi. Bayangan wajah suami
yang ia cintai mendatangi benaknya dan ia melakukan semua yang ia
bisa untuk mendorong sang supir. Tapi... tapi... ini enak sekali...! Mas
Hendra sekarang berubah menjadi laki - laki dingin yang tak
berperasaan, padahal Alya masih sangat membutuhkan belaian
kasihnya! Apakah kini apa yang ia lakukan adalah hal yang salah?
Membiarkan Paidi menguasai tubuhnya? Alya butuh kehangatan
seorang laki - laki! Ia tidak mau terus menerus melayani Pak Bejo... ia
ingin melakukannya dengan orang yang dia suka! Hasrat birahinya
selalu bergejolak... Alya bingung saat ini, apakah dia diperkosa Paidi...
atau justru membuka diri terhadap supirnya itu? Toh seandainya ia
melayani Paidi, tidak akan ada orang yang tahu, kan? Batin Alya
berkecamuk. Ini enak sekali... apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa
membohongi dirinya sendiri. Ini memang enak sekali...
Tidak ada orang yang akan tahu, kan? Termasuk Mas Hendra!?
Saat perang berkecamuk dalam batin Alya, tangan Paidi leluasa masuk
ke dalam celana dalamnya yang mungil dan membiarkan rok Alya tetap
di tempatnya. Kini ia lebih bebas bergerak merangsang sang nyonya
majikan! Tangan Paidi meraih tempat yang lebih atas dan Alya
membiarkan laki - laki yang bukan suaminya ini membuka kakinya
lebar - lebar. Tubuh wanita cantik itu menegang ketika Paidi
menemukan bibir vaginanya yang lembut bagai sutra. Alya melonjak
kaget saat sang supir mulai membelai bibir kemaluannya secara
perlahan - lahan.
Ya Tuhan! Tidak seharusnya ia mengijinkan Paidi melakukan ini! Tapi
batin Alya berkecamuk... benarkah dia yang mengijinkan? Paidi
walaupun kurus jelas lebih kuat dan perkasa, bahkan mungkin lebih
kuat dari Mas Hendra saat ia sedang sehat sekalipun! Tangan, bibir
dan gigi Paidi dibiarkan bebas berbuat apa saja dengan tubuhnya,
bagaimanapun caranya Alya menolak, ia tidak mampu menahan
keinginan Paidi. Namun... ia juga tidak diperkosa... ia mengijinkan Paidi
menggumulinya!
Sekilas rasa takut menyambar batin Alya. Setelah semua peristiwa
mengerikan yang ia alami dengan Pak Bejo, ia tidak ingin kehilangan
kontrol atas situasi lagi. Apa yang ia alami saat ini adalah karena ia
kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia tidak ingin jatuh ke dalam
kubangan yang lebih dalam. Hanya saja... saat ini, di atas sofa ini, Alya
jelas tidak sedang mengontrol apapun. Sensasi birahi berlebih
membuat tubuhnya lemah atas semua rangsangan. Alya tidak ingin
mengkhianati suaminya... tapi apa yang Paidi lakukan sungguh
membuatnya terbang ke awang - awang.
Satu jari telunjuk masuk ke dalam memek Alya.
Wajah wanita cantik itu memerah karena malu saat ia menyadari
memeknya sudah mulai basah. Sangat memalukan menjaga harga diri
di hadapan supirnya kalau memeknya sudah mulai membanjir seperti
ini. Dari wajahnya yang tersenyum, Alya yakin Paidi juga sudah tahu
hal itu. Tangan Alya meraih lengan Paidi, ia berusaha mendorong
tangan itu meninggalkan tubuhnya. Tapi Paidi jauh lebih kuat,
bukannya tangan Paidi yang terdorong menjauh, malah justru tangan
Alya yang kini digenggam oleh sang supir.
Paidi membimbing tangan Alya yang halus ke dalam selangkangannya.
Jari - jari lentik Alya segera bersentuhan dengan batang kejantanan
yang hangat, besar dan panjang. Kaget, Alya menarik tangannya
mundur. Si cantik itu terkejut dengan kehangatan dan kerasnya batang
kemaluan Paidi. Alya tidak tahu sejak kapan Paidi mengeluarkan
kemaluannya dari dalam celana. Paidi tidak menyerah begitu saja,
supir nakal itu menarik kembali tangan Alya dan membimbingnya lagi
ke kontolnya yang besar dan hitam. Kali ini Alya tidak melawan. Jari -
jari mungilnya mengitari batang besar kontol Paidi.
Ukuran kontol Paidi ini pas sekali dalam genggaman tangan mungil
Alya, ukurannya yang besar tidak cocok dengan postur tubuh Paidi,
tapi sangat mempesona ibu muda satu anak itu. Urat - urat yang
mengitari batang kemaluan Paidi berdenyut dalam genggaman tangan
Alya, wanita cantik itu berusaha mencari cara untuk menghindari
kekagumannya pada alat vital Paidi, namun seperti anggota tubuh
yang telah dipasangi susuk, Alya tidak bisa melepas pandangan dari
kemaluan Paidi. Ingin sekali rasanya Alya merasakan kontol Paidi itu di
dalam memeknya, ia tidak yakin benda besar dan panjang ini bisa
masuk seluruhnya, tapi... Alya tidak akan mengijinkan Paidi
menyetubuhinya. Ya. Itu pasti. Tidak mungkin. Tidak boleh.
Tangan Paidi meraih pergelangan tangan Alya dan membimbingnya
mengocok kemaluannya secara perlahan. Kontol Paidi yang hitam,
besar dan panjang membuat Alya sangat terpesona. Penis Paidi
memang tidak segemuk milik Pak Bejo, tapi lebih panjang dan sangat
keras. Panjangnya melebihi milik Mas Hendra. Hitam... besar...
panjang...
Setelah beberapa saat membiarkan tangan Paidi membimbingnya, Alya
tidak membutuhkan dorongan apapun lagi untuk terus menikmati
kemantapan alat kelamin Paidi, ketika Paidi melepas tangannya, Alya
masih terus mengocok kontol pria kurus itu. Apa yang dimiliki
supirnya itu seakan - akan mengingkari hukum alam, bagaimana bisa
orang sekurus dan sehitam Paidi memiliki penis yang seperti ini?
Begitu besar dan panjang... tangan Alya bergerak turun ke pangkal
batang kemaluan Paidi, mengagumi ukuran kejantanan yang
sebelumnya belum pernah ia lihat. Nafas Alya makin berat, nafsunya
mengambil alih, birahinya makin meningkat. Alya tidak akan keberatan
kalau benda ini dicoba dimasukkan ke dalam liang kenikmatannya...
tapi... tapi...
Saat itulah Paidi mendorong jarinya yang panjang ke dalam bagian
terlarang milik Alya. Terpengaruh oleh rangsangan bertubi, Alya
mencoba menyikapi dengan kesadaran yang tersisa. Hanya ada satu
konsekuensi yang akan ia peroleh jika mengijinkan Paidi melakukan
rangsangan lagi, dan hal itu tidak boleh terjadi.
Alya berusaha menyadarkan dirinya sendiri. Dia telah menikah. Dia
mencintai Hendra, suaminya. Dia tidak mencintai Paidi, dia tidak
mencintai Pak Bejo. Tubuhnya hanya milik Hendra, suaminya. Dia tidak
boleh membiarkan ini semua berlanjut!
"Lepaskan aku!" tuntut si seksi itu. Tapi Paidi tidak menghiraukannya.
Bibir pria hitam dan kurus itu masih terus memagut leher putih mulus
milik Alya. Jari jemari Paidi menusuk lebih ke dalam. Kaki Alya
menggeliat dan menjepit tangan Paidi, ia berusaha menarik tangan
Paidi keluar dari selangkangannya.
"Ini sudah keterlaluan, kita tidak boleh melakukan ini! Aku ini istri
orang!"
Paidi malah nyengir ketika dia diingatkan bahwa tubuh molek yang
menggiurkan yang sedang menggeliat di bawah tubuhnya ini adalah
milik laki - laki lain, tubuh seorang majikan bahkan! Dengan nekat
Paidi memutarkan jarinya di bibir kemaluan Alya yang makin lama
makin basah, lalu menusukkan jarinya itu ke dalam memek Alya lebih
dalam lagi.
Ketika jari Paidi melesak masuk, tanpa sadar Alya meremas kemaluan
Paidi dengan kencang. Penis itu begitu besar dan keras, Alya seakan
tak mampu menggenggamnya utuh karena ukuran lingkarnya yang
sangat besar. Dia tak pernah menduga orang sekurus Paidi memiliki
penis yang sedemikian besarnya, ia sudah memperkirakan ukurannya,
tapi penis milik Paidi ini melebihi semua imajinasi lliarnya. Batang
kemaluan hitam besar milik Paidi berdenyut dalam genggaman tangan
Alya yang halus, si cantik itu bisa merasakan denyut yang bergerak di
urat yang bertonjolan di batang yang terisi oleh desakan darah dan
sperma yang siap diledakkan.
Paidi menarik jarinya dan merubah posisi. Ia mengangkat tubuhnya
sehingga Alya kini bisa melihat langsung ukuran sebenarnya batang
kemaluan laki - laki yang baru saja menindihnya. Mata indah si cantik
itu langsung terbelalak!
Luar biasa besarnya!
Jauh lebih besar daripada milik Hendra atau bahkan Pak Bejo!
"Ya Tuhan!" desis Alya yang terkejut.
Paidi nyengir. Dia bangga dan bahagia melihat reaksi majikannya yang
terkejut saat melihat ukuran kontolnya. Reaksi jujur yang ditunjukkan
oleh Alya sungguh sedap baginya. Rasa ketakutan karena tak ingin
ketahuan, perasaan bersalah, nafsu yang menggelegak yang sangat
terlihat di wajah Alya adalah keindahan sempurna bagi Paidi. Inilah
yang membuatnya terangsang hebat.
Alya memang bukan seorang perawan, tapi Paidi memperkirakan
tusukan pertama penetrasinya akan seret sekali, karena walaupun
sudah pernah berkali - kali melayani nafsu binatang Pak Bejo, memek
Alya masih sangat mungil.
Alya memandang penis Paidi dengan penuh ketakutan sekaligus
kekaguman. Seakan ia berhadapan langsung dengan seekor ular kobra
dan takut untuk menggerakkan tubuh sedikitpun. Bagi Paidi,
menyaksikan konflik batin ibu muda yang jelita itu sungguh suatu
kenikmatan yang tak terkira.
"Apakah ini yang anda inginkan selama ini?"
Alya menatap Paidi bingung, apa maksud kata - katanya itu?
Paidi tersenyum dan mengulangi lagi ucapannya, "setelah selama ini
ditiduri oleh laki - laki lemah seperti Pak Hendra dan laki - laki
brengsek seperti Pak Bejo... apakah ini yang ibu inginkan? Kejantanan
sejati seperti ini?"
Wajah Alya memerah karena malu. Ia marah dan kesal pada sikap Paidi
yang arogan, tapi memang benar apa kata supirnya itu - Alya sangat
tertarik mencicipi kejantanan milik Paidi yang luar biasa besarnya.
Warna merah jambu karena malu menutup pipi hingga ke dada Alya.
Kejantanan sejati... kejantanan sejati... kata - kata itu terus berulang di
otak Alya yang dipenuhi kekalutan.
Tidak mungkin ada penis sebesar itu! Terlalu besar! Ini semua pasti
rekayasa! Batin Alya dalam hati. Kalau mau hiperbola, tidak mungkin
ada penis yang batangnya hampir sama besarnya dengan pergelangan
tangan Alya! Ketika Paidi berpindah posisi dan kedua tangannya kini
berada di bawah rok Alya, ibu muda yang jelita itu bisa melihat
dengan jelas batang penis Paidi!
Alya terbata - bata melihat panjang penis Paidi. Tidak akan muat!
Benda ini tidak akan muat masuk ke dalam kemaluannya yang mungil!
Benda itu akan menghancurkan rahimnya! Batin Alya lagi.
"Terlalu besar..." desis Alya perlahan. Nafasnya kembang kempis, ada
desakan berat di dalam dadanya, di tenggorokan dan dalam pikirannya.
Panas menghentak - hentak membuat birahi Alya meninggi, ada
kehausan luar biasa yang ditimbulkan pemandangan indah yang
diberikan Paidi pada lubang kemaluan Alya. Paidi tersenyum penuh
kemenangan ketika dia menarik celana dalam Alya, wanita cantik itu
menggerakkan pinggulnya tanpa sadar, memudahkan Paidi melucuti
celana dalamnya yang mungil.
Alya telah menyerah kepada supirnya...
Alya telah ditaklukkan...
"Ya Tuhan! Apa yang... suamiku..."
Paidi tersenyum, lagi - lagi laki - laki kurus berkulit hitam itu
menempelkan bibirnya ke bibir tipis Alya, mengatupkan mulutnya ke
mulut Alya dengan satu ciuman penuh nafsu. Apapun kata - kata yang
hendak diucapkan Alya, semua permohonan dan penolakannya, luruh
oleh ciuman itu. Alya menggeser kepalanya mencoba menghindar dari
ciuman Paidi, tapi gerakan itu justru membuat Paidi mendapatkan
akses ke arah telinganya yang seputih pualam. Setelah gagal mencium
Alya, perhatian Paidi beralih ke arah lain. Bibir dowernya menyosor ke
daun telinga Alya. Lidah supir itu bergerak lincah menjelajahi tiap
sudut bagian dalam telinga Alya. Tubuh wanita cantik itu
menggelinjang geli ketika merasakan sentuhan lembut lidah Paidi pada
telinganya. Lidah Paidi bergerak lincah membuai Alya sementara
tangannya bebas bergerak di bawah roknya. Jari - jari nakal milik
lelaki kurus itu membelai tiap jengkal paha putih milik istri
majikannya.
Paidi tidak berhenti di bibir Alya, lidahnya menjilat pipi dan telinga si
cantik itu, masuk ke dalam daun telinganya, memutar dan merasakan
tiap sisi kecantikan parasnya. Dada kurus Paidi bisa merasakan
kehangatan yang dihadirkan buah dada Alya yang menempel
kepadanya, mendorongnya naik turun seiring emosi dan nafsu yang
menggelora di badan sang ibu muda. Alya tidak bisa menghindar dari
rangsangan hebat yang dilakukan Paidi pada telinga dan pipinya,
tubuhnya bergetar dan menggelinjang. Tangan Paidi merenggangkan
kedua paha Alya, mengangkat roknya sampai ke lekuk pinggul.
Pria itu memposisikan dirinya di antara kedua kaki sang majikan.
Alya menyadari bahaya yang tengah ia hadapi. Godaan lidah Paidi
yang terus menjilati wajah dan telinganya tak berbelaskasihan...
sekaligus menggairahkan. Lelaki kurus berkulit gelap itu benar - benar
tahu bagaimana caranya membuatnya bergairah! Sangat nakal, sangat...
terlarang. Alya memiringkan kepala, membuat telinganya jauh dari
jangkauan lidah Paidi, ia menatap pria yang tengah menggumulinya
dan hendak memintanya berhenti. Ia menatap mata Paidi... mata yang
penuh dengan hasrat dan nafsu.
Nafsu birahi untuk menggauli tubuh indah majikannya.
Batin Alya dipenuhi perasaan yang berkecamuk dan menggelora. Dia
bingung, jantungnya berdebar kencang dan nafasnya kembang kempis
naik turun. Bukannya menolak laki - laki yang bukan suaminya, Alya
malah menggoyang pinggul karena tak tahan godaannya. Ia malu
sekali. Ia ingin memaki - maki dirinya sendiri yang tak mampu
menahan birahinya, namun ketika mulut Paidi mencium bibirnya, Alya
tak mampu melawan sedikitpun. Bibirnya yang indah membuka sedikit
untuk menerima serangan nafsu dari sang supir. Ketika lidah Paidi
masuk ke dalam mulutnya, lidah Alya menyambut dan keduanya segera
bertemu dalam pertempuran nafsu.
Ujung gundul penis Paidi menyentuh bibir vagina Alya, batang
kemaluan laki - laki tua itu siap dilesakkan ke dalam liang cinta sang
ibu muda yang jelita. Mata indah milik Alya menyala karena kaget.
Dengan pandangan bingung, wanita cantik itu menatap mata buas
penuh nafsu milik Paidi yang sedang memeluk dan menciuminya.
Paidi menatap mangsanya dengan senyum penuh kemenangan. Dia
sangat menyukai saat - saat seperti ini, saat di mana wanita yang
hendak ia tiduri menatap tak percaya kepadanya. Mata Alya terbelalak
lebar karena tahu penis hitam milik sang supir sudah siap masuk ke
dalam liangnya yang mungil. Paidi mendorong pantatnya ke depan dan
melepaskan ciuman dari mulut Alya.
"Ja - Jangan! Jangan...!! Kamu tidak boleh..." Alya mencoba melawan.
Paidi menusuk lagi. Akhirnya ia benar - benar menembus gerbang
kewanitaan Alya.
"Ahhhhhhhh!!!" jerit Alya tertahan.
Ia lalu berhenti. Paidi kaget sekaligus senang ketika tahu bahwa
memek Alya ternyata masih cukup sempit dan rapat, batang penisnya
yang masuk ke dalam liang kenikmatan Alya seperti dihimpit oleh
dinding basah yang rapat dan nyaman, memberikan kehangatan yang
lain daripada yang lain. Setelah tidur dengan Hendra dan Pak Bejo,
memek mungil itu masih tetap seperti milik seorang pengantin baru.
Paidi menggerakkan badan ke depan, menusukkan kontolnya ke memek
Alya lebih dalam lagi.
Masuknya batang penis Paidi yang menjajah vaginanya sedikit demi
sedikit membuat Alya secara refleks membuka kakinya lebar - lebar.
Paidi mengangkat pinggul Alya yang seksi dan mengangkatnya tinggi
sementara dia melanjutkan niatnya menumbuk sang bidadari. Hampir
tiga perempat bagian batangnya sudah masuk ke dalam, melewati bibir
vagina Alya yang basah dan merah. Paidi menusuk sekali lagi,
menambah kedalaman batangnya.
"Ooooooh... jangan... aku tidak kuat lagi!"
Paidi tertawa penuh kemenangan dan mendorong kemaluannya lagi.
Pinggul Alya mulai tersentak - sentak tak teratur di bawah pelukan
sang supir, kakinya yang jenjang meronta - ronta. Alya mencoba
mendorong tubuh Paidi, ia mencoba memberontak meskipun semuanya
sia - sia, Paidi masih tetap bertahan. Justru karena Alya
memberontak, batang kemaluan laki - laki kurus itu makin membenam
di dalam liang cintanya. Akhirnya si cantik itu menyerah, batang
kemaluan sang supir sudah terlalu dalam terbenam dan memeknya
sudah menangkupnya dengan erat, tak akan ada gunanya melawan
apalagi mencoba mendorong Paidi. Dia harus rela disetubuhi Paidi.
Kalimat itu membuat gemetar seluruh tubuh Alya. Dia tak mampu
berbuat apa - apa lagi! Dia hanya bisa pasrah! Dia akan segera
disetubuhi supirnya!
Nafsu birahi yang bercampur dalam benak sang ibu muda membuatnya
sangat bergairah. Ada perasaan aneh yang menyapu tubuh Alya, gairah
sensasi birahi yang menyelimuti dari ujung kaki hingga ke ujung
rambut. Ia mulai terbiasa dengan ukuran kemaluan Paidi. Memeknya
yang terus disiksa oleh kenikmatan mulai lengket pada batang penis
sang supir, dinding memek Alya mulai merenggang dan menyesuaikan
dengan ukuran penis yang menginvasi.
Namun... ketika Alya sudah bersiap, tiba - tiba saja Paidi berhenti.
Setelah beberapa detik tanpa ada gerakan, Alya akhirnya sadar Paidi
sudah berhenti menusuk. Ketika mata indah ibu muda yang cantik itu
melihat ke tubuh yang menguasainya, Paidi rupanya tengah terdiam
dan menikmati saat - saat yang sangat diimpikannya, yaitu saat
penisnya masuk ke dalam memek Alya. Vagina Alya meremas batang
penis yang ditusukkan ke dalam, menyebarkan sentakan birahi ke
seluruh tubuh Alya. Wanita cantik itu puas sekaligus malu karena
bagian dalam tubuhnya seakan membelai batang kemaluan Paidi.
Bagaimanapun caranya Alya mencoba untuk mengendalikan tubuhnya
sendiri.
Ketika Alya melihat ke atas, ia melihat Paidi menatapnya tajam,
merekapun saling bertatapan. Wajah Alya memerah karena malu.
"Su... sudah semua? A... apa sudah masuk semua?" tanya Alya.
Paidi menyeringai. "Belum."
Pria kurus berkulit gelap itu mengeluskan tangannya di lekuk pinggang
Alya, menikmati kehalusan kulit sang bidadari, naik ke atas, lalu
menggenggam erat lengan mungil ibu muda itu.
"Belum, ini belum masuk semua," tambah Paidi. Ia ketawa dan
menusuk lagi.
Betapa nikmatnya melihat wajah Alya yang terkejut oleh jangkauan
tusukannya. Kali ini Paidi memeluk erat Alya supaya posisi mereka
tidak berubah dan ia bisa menusuk lebih dalam. Paidi sangat menyukai
cengkraman vagina Alya yang seperti sarung tangan erat menangkup
batang kemaluannya. Tusukan penis panjang itu bagai melawan
dinding rahim Alya dan menembus terus ke dalam rintangan yang
sebelumnya belum pernah ditembus oleh penis lain.
"Ooooooh... Ya Tuhan... oooooh." Desah Alya.
Paidi melepas satu tangan dan meraih rambut panjang Alya, ia
menjambak rambut si cantik itu dan membuat kepalanya tertarik ke
belakang. Alya berteriak kesakitan, tapi rasa sakit itu seiring dengan
gelombang nikmat sodokan di selangkangannya. Vagina Alya meremas
penis Paidi tiap kali benda panjang yang keras itu masuk dan
mencoba menjajah ke dalam.
Beberapa sat kemudian, Alya bisa merasakan tamparan kantung
kemaluan Paidi yang mengenai pantatnya. Saat itulah Alya sadar, kalau
kantung kemaluan Paidi telah menempel di pantatnya, itu artinya
batang kemaluan sang supir telah masuk seluruhnya ke dalam
memeknya! Secara insting, Alya mulai menggoyang pantatnya.
Paidi menatap ke bawah, dia menikmati kecantikan alami Alya, dia
menikmati halusnya leher jenjang Alya, dia menikmati matanya yang
melebar dan nafasnya yang kembang kempis. Mata si cantik itu kabur,
Paidi memberi kesempatan pada Alya untuk mengembalikan kesadaran,
ketika akhirnya mata indah itu menatapnya tajam, Paidi tersenyum
penuh kemenangan pada Alya. Wanita cantik itu membalasnya dengan
senyuman lemah.
"Sekarang," kata Paidi, "saatnya menikmati memek Bu Alya."
Mata Alya terbelalak melebar, dia terkejut oleh situasi dan kata - kata
kasar yang dikeluarkan sang supir. Tapi Paidi lebih terkejut lagi ketika
dia merasakan kaki jenjang Alya melingkar di pinggangnya.
Paidi tersenyum lagi, kali ini Alya membalasnya dengan gugup.
Lalu Paidi mulai menyetubuhinya.
Alya melenguh dan mengembik penuh nafsu ketika Paidi menarik diri
dan kemudian menusuk dengan kekuatan penuh. Berulang kali Paidi
mengangkat pinggulnya dan menjatuhkan diri ke dalam selangkangan
Alya yang terbuka lebar. Paidi menikmati kelembutan paha dalam Alya
yang bagaikan sutra ketika majikannya ini mengikat pinggulnya dan
menariknya ke bawah. Majikannya yang seksi takluk akan kenikmatan
birahi di bawah pelukannya! Apakah ada yang lebih nikmat daripada
ini?
Tentu saja ada, bagi Paidi, kenikmatan puncaknya adalah ketika dia
menyemburkan spermanya dan berharap ia bisa menghamili wanita
sesempurna Alya. Itu akan jadi hal yang terindah baginya.
Paidi merenggut pundak Alya dan menikmati tiap jengkal kedalaman
memeknya, ia terus mendorong penisnya dan mengobrak - abrik
memek yang seharusnya hanya menjadi milik suami wanita cantik yang
kini meringkuk dalam pelukannya. Bagi Paidi, sesaknya memek Alya
adalah surga yang menjadi nyata.
Kenikmatan yang terlalu berlebih membuat Alya tak kuat lagi, ia
melolong ketika cairan cintanya mengalir. Ratapan yang keluar dari
mulut Alya bertolak belakang dengan orgasme yang keluar dalam liang
kenikmatannya. Paidi merasakan getaran pada tubuh indah yang kini
berada di bawahnya, ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan lagi
genjotannya.
"Jangan Mas... sudah... sudah cukup... aku sudah keluar... sudah..."
Paidi hanya tertawa dan meneruskan gerakan maju mundurnya.
"Oh Tuhan! Sudahlah, Mas! Sudah cukup... aku tidak kuat lagi... kamu
dengar tidak? Aku sudah keluar... aku tidak kuat..."
Paidi tidak mempedulikan rengekan Alya dan meneruskan gerakannya.
Alya menggeliat dan meronta, mencoba mendorong tubuh Paidi. Tapi
pria kurus itu lebih kencang memegang tubuhnya, ia juga lebih kuat
dan lebih bernafsu. Tiba - tiba saja tubuh Alya mengejang, dengan
satu lolongan kalah, Alya sampai di puncak kenikmatannya yang
kedua. Wanita cantik itu tersentak - sentak dan bergetar akibat
sensasi luar biasa yang berasal dari tubuh bagian bawahnya. Si cantik
itu tidak percaya, kaget dan terkejut... belum pernah ia mengalami hal
seperti ini sebelumnya...
Alya ambruk dalam pelukan Paidi, kalah dan pasrah. Tidak ada
gunanya melawan. Paidi meneruskan aksinya menggoyang dan
menusuk memek Alya sekuat tenaga, memberikan serangan
bergelombang di antara selangkangan sang wanita idaman yang
mengikat pinggulnya dengan kaki yang jenjang.
Gelombang orgasme membuat Alya lemas, ia tidak lagi melawan dan
membiarkan Paidi melakukan apa saja dengan tubuhnya. Paidi adalah
seorang pria kuat yang telah mengambil apa yang ia inginkan dan dari
apa yang baru saja Alya alami, ia gembira sekali Paidi
menginginkannya.
Kehangatan yang lembek terasa di sekitar selangkangan dan pinggang
Alya, si cantik itu segera sadar kalau Paidi akhirnya mencapai puncak
orgasme. Semprotan pejuh Paidi melesat jauh ke rahim Alya, tubuh
wanita cantik itu bergetar seakan menunggu - nunggu bibit unggul
yang ditanam oleh pria kurus berkulit hitam yang bukan suami sahnya
ini.
Paidi menarik kontolnya dengan pelan, batangnya yang tebal dan
panjang penuh dengan lumuran cairan cinta yang tercampur dari
keduanya.
Untuk beberapa saat lamanya kedua tubuh telanjang itu diam tak
bergerak di atas sofa. Paidi mengguling ke bawah dengan lemas, ia
meninggalkan Alya yang masih diam tak bergerak. Sambil duduk dan
menyalakan rokok Paidi melirik ke arah wanita jelita yang baru saja ia
tiduri.
"Bagaimana? Ibu suka kan tidur sama saya?"
Alya mendengus keras dan berbalik, ia lebih memilih menatap tembok
karena tak ingin melihat wajah puas Paidi yang telah berhasil
menidurinya. Seluruh pikiran Alya terbagi menjadi dua bagian, saling
bercampur dan bertarung. Alya tidak bisa memilah diri dan
memutuskan apakah kenikmatan luar biasa yang telah ia raih sebagai
hasil memuncaknya birahi ataukah rasa putus asa yang sangat
mendalam yang saat ini sebenarnya ia rasakan. Dia gagal menjadi
wanita yang tegar dan mampu berjuang demi diri sendiri. Ia selalu
ditekan oleh keperkasaan lelaki bejat seperti Pak Bejo dan kini oleh
nafsu binatang supirnya sendiri. Alya telah kalah dan ditundukkan.
Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi? Alya tidak tahu dan dalam
hati kecilnya ia mungkin tidak peduli. Dia hanya tahu kalau dia kini
sedang berbaring di samping seorang laki - laki yang telah
membuatnya terbang ke langit ke tujuh dengan permainan cinta yang
fantastis, penuh rasa cinta yang menggebu dan nafsu yang
membuncah. Dia tidak peduli kalau laki - laki itu bukanlah suaminya
yang kini tergolek lemah tak berdaya di salah satu kamar. Alya juga
tidak peduli kalau laki - laki itu bukanlah pemerkosanya yang bejat
dan tidak tahu diri. Dia tidak peduli.
"Sebaiknya Bu Alya segera kembali ke kamar sendiri. Bapak mungkin
sudah menunggu."
Alya menatap laki - laki di sampingnya dengan pandangan lemah.
Entah kenapa dia lebih ingin menghabiskan malam ini bersama Paidi
daripada harus kembali ke kamar dengan Mas Hendra. Tapi itu
pemikiran yang salah dan bodoh. Si cantik itu bergegas bangkit dan
mengenakan pakaiannya kembali.
Suaminya pasti sudah menunggu! Dengan buru - buru Alya
mengenakan BH dan baju, ia mencoba mencari celana dalam tapi tak
kunjung menemukannya. Dengan kebingungan Alya mencari kesana
kemari, di mana celana dalamnya? Kemana tadi Paidi membuangnya?
"Celana dalamku...? Mana celanaku, Mas? Jangan diam saja! Ayo bantu
cari!"
"Seandainya kita hanya bisa bercinta malam ini, biarlah celana dalam
Ibu menjadi benda yang bisa saya bawa sampai kelak saya pergi, saya
akan menyimpannya sebagai benda paling berharga yang pernah saya
miliki." Kata Paidi dengan tenang, "lebih baik sekarang Ibu kembali ke
Pak Hendra."
Dengan langkah cepat Alya keluar dari kamar Paidi, melewati taman
dan masuk ke rumah induk, ia mencari Hendra ke kamar. Nafas Alya
yang kembang kempis mengejutkan Hendra yang tengah mengetik
dengan laptop. Hendra sudah bangun? Jangan - jangan ia sedang
menunggu Alya? Sambil berusaha mengembalikan perasaannya yang
kacau balau setelah disetubuhi Paidi, Alya duduk di samping sang
suami. Alya berkeringat dingin, semuanya hancur. Dunianya kembali
berantakan, bukan oleh ulah Pak Bejo... melainkan oleh ulahnya
sendiri... yang tergoda laki - laki lain!
"Kamu baik - baik saja?" tanya Hendra dengan suara dingin. Ia hanya
menatap Alya sekilas dan melanjutkan lagi pekerjaannya.
Alya memandang wajah Hendra dari samping dan menyesali
perbuatannya. Ia sangat menyesal... ia telah bersalah kepada suaminya,
ia telah mengkhianati cinta mereka. Bukannya berusaha meraih kembali
hati suaminya yang tengah terpuruk, ia malah jatuh ke pelukan laki -
laki lain! Ini lebih buruk daripada diperkosa Pak Bejo. Ini sama saja
dengan selingkuh! Sudah pasti, kesalahan ada di pundak Alya.
"Mmmm... aku baik - baik saja." jawab Alya lirih.
"Kamu kok kebingungan begitu? Apa ada yang kamu pikirkan?"
"A... anu... aku... aku tadi sakit perut... dan... aku dari kamar mandi...
dan...", Alya tidak kuat menanggung ini semua, lagi - lagi dia harus
berbohong kepada Mas Hendra. Yang lebih parah, kali ini dia menutupi
ulahnya sendiri yang mau - maunya menerima rayuan Paidi dan bukan
atas paksaan Pak Bejo. Dia benar - benar telah berubah menjadi
seorang wanita gampangan! Ingin menangis rasanya Alya kalau ingat
apa yang baru saja terjadi.
"Kamu sakit perut?"
"Mmm... sudah baikan... aku tidak apa - apa."
"Tidur saja kalau sakit."
"Iya mas..."
Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Hendra meneruskan
pekerjaannya tanpa mempedulikan kehadiran Alya. Dengan tubuh yang
masih gemetar ketakutan Alya berbaring di ranjang dan mencoba
memejamkan mata. Pengkhianatannya dan tanggapan dingin Hendra
membuat tubuhnya menggigil.
Tanpa sepengetahuan Hendra, setetes air mata mengalir di pipi Alya,
sementara setetes air mani yang tersisa mengalir di pahanya.
###
Pojok pos ronda di gang keempat sebelah selatan rumah Pak Bejo
sering digunakan sebagai tempat berkumpulnya para preman kampung.
Tempat ini sebetulnya sudah tidak pernah dipakai lagi karena warga
kampung lebih memilih menggunakan pos ronda yang ada di dekat
perumahan, yang pernah dipakai Pak Bejo menggauli Alya. Apalagi
karena para preman sering sekali menggunakan pos ronda ini sebagai
markas mereka kalau sedang bermain judi atau mabuk - mabukan,
maka tempat ini makin ditinggalkan dan dilupakan. Lokasinya juga
agak jauh dari rumah lain dan menempel di belakang gedung sekolah
bertembok tinggi, berbatasan dengan sebuah gang kecil yang langsung
menuju ke jalan besar. Jarang ada yang berani melewati gang kecil ini,
karena kalau ada yang lewat, para preman langsung beraksi meminta
retribusi. Karenanya, warga kampung lebih memilih memutar lewat
perumahan daripada harus melewati gang kecil ini. Tidak ada lagi
orang menyebut tempat ini Pos Ronda, mereka kini menyebutnya Pos
Preman.
Di tempat inilah Pak Bejo biasa menghabiskan waktunya.
Namun hari itu lain, hanya ada tiga orang saja yang berada di pos
preman itu, Badu, Jabrik dan Kribo, ketiganya anak buah Pak Bejo.
Botol minuman keras berserakan, asap rokok mengepul tinggi,
pemandangan yang biasa bagi warga kampung, walau sesungguhnya
bukanlah pemandangan yang sehat. Ketiga anak buah Pak Bejo itu
sedang asyik dengan kegiatan masing - masing sambil tertawa -
tawa. Entah apa ada yang lucu ataukah syaraf mereka sudah
terpengaruh minuman keras.
Jabrik dan Badu sedang bermain kartu sambil melempar - lempar uang
ribuan, sementara Kribo sibuk menikmati gambar artis - artis berdada
sentosa yang ada di dalam majalah khusus pria dewasa yang tadinya
ia rampas dari tas seorang anak SMA. Dari ketiganya, Kribo adalah
yang paling ditakuti, tubuhnya besar dan wajahnya sangar. Bisa
dianggap kalau dia ini tangan kanan Pak Bejo. Perhatian Kribo yang
sedang membuka - buka majalah terusik ketika dia melihat ada satu
sosok masuk ke gang mereka.
"Sst... duit! Duit!" bisik Kribo pada Badu dan Jabrik.
Kedua orang yang tadinya asyik dengan kartu mereka bangun dan
memasang wajah sangar.
"Siapa yang lewat?" bisik Badu.
"Bukan orang kampung." Jawab Jabrik. "Gak kenal."
"Abisin aja." Kata Kribo sambil kembali menatapi kemolekan artis yang
pernah tampil di iklan sabun mandi berpose menantang di dalam
majalah. Kalau hanya urusan kompas - mengompas mending dia
berikan saja kepada dua temannya itu, dia malas berurusan dengan hal
- hal sepele.
Badu dan Jabrik tertawa - tawa lagi karena mereka akan kembali
menuai uang. Anehnya, sosok yang baru saja datang itu bukannya
menjauh saat melihat mereka, dia malah mendekat bahkan berjalan
dengan langkah yang sangat cepat menuju mereka. Aneh sekali!
Bruk!!!
Tiba - tiba saja orang itu menendang Badu!
Tubuh Badu yang tak siap terlempar jauh menubruk tembok. Nasib
yang sama menimpa Jabrik yang juga terkejut melihat temannya
terlempar.
Brak!!!
Jabrik terlempar terkena tendangan dan jatuh tepat di samping Badu.
Kedua orang itu meringis kesakitan. Melihat kedua temannya terkapar,
Kribo dengan kesal melempar majalah yang ia baca dan mencabut
pisau lipat dari saku di celananya. Dia berjalan pelan ke arah Badu dan
Jabrik, lalu membantu mereka berdiri. Tiga lawan satu, kelihatannya
tidak seimbang tapi kedua kawannya sudah jatuh, orang ini harus
diwaspadai. Kribo meludah dan menatap orang itu dengan pandangan
seram. Badu dan Jabrik yang melihat Kribo sudah memegang pisau
ikut - ikutan menyiapkan pisau lipat mereka.
"Siapa kamu!? Kurang ajar! Berani - beraninya menantang kami!
Jangan sok jago! Tadi kami belum siap! Ayo maju!" teriak Badu,
walaupun menantang, ia sebenarnya gentar juga, dengan tangan
gemetar ia mengacung - acungkan pisau yang ia pegang ke arah
orang yang tiba - tiba saja datang.
"Banci! Beraninya pakai senjata!" ejek orang itu sambil mencibir.
Badu menggerutu geram ketika orang tak dikenal itu maju tanpa
mempedulikan pisau yang ia pegang. Badu tidak takut, toh dia tidak
sendirian. Kedua kawannya yang lain juga sudah siap menyerang lelaki
asing itu. Ketika komando Badu diteriakkan, mereka bertiga menyerang
membabi buta. Tapi dengan mudah dan sigap ia menghindari semua
serangan mereka. Orang itu sebenarnya tidak besar dan kekar, bahkan
kurus dan sangat hitam, wajahnya juga terlihat tua dengan keriput
yang tidak bisa disembunyikan. Tapi orang ini sangat liat dan lincah,
gerakannya cepat dan efektif, semua diperhitungkan masak - masak,
sepertinya dia sudah sering melakukan pertarungan jalanan semacam
ini.
Ketika serangan mereka dengan mudah dapat dihindari, Badu, Jabrik
dan Kribo merubah strategi dan mengepung sang lawan yang tidak
bersenjata. Kali ini mereka mengunci posisinya dari semua sisi.
Kribo berteriak kencang sambil menyergap maju, ia menusuk -
nusukkan pisaunya ke kepala sang lawan. Orang yang ia serang
berputar cepat menggunakan tumit kanan dan melambaikan tangannya
dengan keras - memukul tangkai pisau yang dipegang Kribo. Kaget
karena tiba - tiba saja kehilangan senjata, Kribo lengah. Dengan cepat
sang lawan menggunakan lengan bawahnya untuk mendesak leher
Kribo dan menjatuhkannya ke bawah. Kribo terbanting dengan keras
dan berteriak kesakitan. Kribo masih belum mau kalah, ia mencoba
menyepak lawannya menggunakan kakinya yang bebas. Namun orang
itu bukan orang biasa, ia melompat dan menubruk tubuh Kribo dengan
sangat keras. Satu pukulan di rahang dan satu sodokan sikut di perut
Kribo membuat pria berambut afro itu berteriak kesakitan. Kribo tak
mampu bergerak lagi.
Melihat Kribo gagal merubuhkan sang lawan, bahkan berhasil dibekuk
dengan sangat mudah, membuat Badu dan Jabrik saling berpandangan
dengan bingung. Dari mereka bertiga, Kribo adalah yang paling kuat,
ulet dan susah dilawan. Kalau Kribo saja jatuh, apalagi mereka berdua!
Keduanya berteriak kencang dan lari ketakutan. Mereka lari terbirit -
birit seperti baru saja melihat hantu.
Lawan mereka, tentu saja bukan hantu.
Orang yang mereka hadapi adalah Paidi. Dulu narapidana, lalu penjual
bakso, sekarang supir.
Pria tua kurus itu geleng - geleng melihat sifat pengecut Badu dan
Jabrik yang meninggalkan Kribo seorang diri. Ia melirik ke bawah dan
melihat Kribo meringis kesakitan, ia mengembik minta ampun. Kribo
tak bisa melarikan diri karena tubuhnya tak bisa digerakkan. Perutnya
mulas karena sodokan sikut dan rahangnya seperti mau copot.
Paidi mendengus, ia mencengkeram kaos Kribo dan mengangkatnya ke
atas.
"Dengar aku baik - baik dan jangan sampai lupa menyampaikan
pesanku ini, bocah ingusan," gertak Paidi. Ia menjelaskan tiap kata
dengan mendorong tubuh sang preman ke pagar besi yang tumpul,
pasti sakit sekali rasanya. "Aku akan melepaskanmu, dengan syarat
kau mau menyampaikan pesan kepada Bejo Suharso. Mengerti?
Mengerti tidak? Bagus! Bilang sama dia kalau Paidi tidak takut
menghadapi berapapun anak buah yang dia punya, karena aku juga
punya anak buah. Teman - temanku yang sudah lepas dari penjara
akan senang sekali kalau mereka punya 'kantung pasir' yang bisa
dipukuli untuk melepas penat selama dipenjara. Dia hanya preman
kampung yang sok aksi. Bilang sama dia kalau dia sampai berani
mendekati keluarga Hendra lagi aku tidak akan segan menghajarnya.
Mengerti?"
"I - iya, bang... ngerti... nanti saya sampaikan... ke... uhhh... ke Pak
Bejo."
Paidi melempar tubuh Kribo ke tong sampah yang langsung terguling
berantakan. Ia meninggalkan tubuh Kribo dan mengelap tangannya ke
kaos yang ia kenakan.
Dengan langkah yakin Paidi meninggalkan Kribo yang sudah tak
berdaya.
###
Hari ini, lagi - lagi Hendra memilih untuk berangkat ke kantor dengan
diantar oleh Paidi. Dia menolak diantar Alya ataupun mengerjakan
pekerjaannya di rumah, padahal pihak kantor sudah memberikan
kompensasi pada Hendra agar dia mengerjakan saja tugas - tugasnya
di rumah. Jurang antara pasangan suami istri serasi ini memang makin
melebar. Hendra sudah berubah, ia bukan lagi sosok yang tenang dan
mencintai istrinya, bahkan ada kesan kalau Hendra benci sekali pada
Alya. Entah apa sebabnya.
Sore itu, Alya yang sedih pulang ke rumah dengan kelelahan. Tadi Mas
Hendra sudah SMS kalau dia akan pulang besok, malam ini Mas
Hendra ingin berkunjung ke tempat saudara dan menginap di sana,
pulang kerja langsung dijemput oleh Anissa dan Dodit yang baru saja
berangkat. Setelah memandikan, makan dan menidurkan Opi, Alya
bersantai - santai di ruang tengah.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Alya
menyaksikan sinetron di televisi dengan pikiran yang menggelayut.
Entah sinetron apa yang sedang diputar di televisi itu, Alya sama
sekali tidak memikirkannya, ia hanya sedang pusing memikirkan semua
masalah yang menimpanya. Bukannya berkurang malah bertambah
semakin ruwet. Tapi mungkin itu juga gara - gara dia sendiri yang
lengah.
Alya menggelengkan kepala, dalam benaknya kini berulang - ulang
adegan permainan cintanya dengan Paidi yang tak bisa hilang. Ia tahu
ia hanya bisa sekali itu saja bermain cinta dengan Paidi dan memang
sudah menjadi niat Alya untuk tidak mengulanginya lagi. Besok, Alya
memutuskan untuk memecat Paidi, ia tidak ingin mengulangi
kesalahannya menjadi budak Pak Bejo yang bejat itu. Hanya sekali itu
saja ia mau melayani Paidi... ya, hanya sekali itu saja ia... mmm... tapi...
kenapa rasanya ia rindu sekali pada pelukan laki - laki tua itu?
Kenapa... tidak! Tidak boleh! Ia tidak mau!
Benak Alya yang kacau memang diakibatkan oleh retaknya
hubungannya dengan Hendra dan perubahan mental akibat
berulangkali ditiduri Pak Bejo, gairah seksual Alya menjadi meledak -
ledak, ia membutuhkan permainan cinta yang tidak pernah lagi
disediakan oleh Hendra. Paidi yang tiba - tiba saja hadir dalam
kehidupannya adalah sosok yang sama sekali berbeda dengan Pak
Bejo. Paidi mungkin tidak setampan Hendra, tubuhnya cenderung
kurus dengan wajah jelek yang keriput dan kulit yang gelap terbakar
matahari. Tapi anehnya... ada sesuatu yang lain dalam diri Paidi yang
membuat Alya merinding jika berdekatan dengannya. Mungkin akibat
terlalu sering berkencan dengan Pak Bejo membuat pandangan Alya
terhadap seorang laki - laki bergeser. Ia tidak lagi menganggap
ketampanan adalah segalanya.
Alya menggelengkan kepala, ia sudah melamun terlalu jauh.
"Kesepian ya, sayang?"
Alya terkejut mendengar suara jelek itu. Suara Pak Bejo!! Alya segera
membalikkan tubuh dengan cepat, benar! Pak Bejo ada dibelakangnya!
Kurang ajar! Kapan dia masuk? Bagaimana dia bisa masuk? Oh iya, dia
masih memegang duplikat kunci rumah!
"Sejak kapan Pak Bejo ada di dalam rumah?" desis Alya geram.
"Keluar! Bapak tidak diundang masuk ke rumah ini!"
"Ha ha ha, sejak kapan aku butuh undangan untuk menikmati memek
kamu yang manis itu, sayang?" tawa Pak Bejo sambil mengelap air
liurnya yang menetes. Ia benar - benar sudah rindu pada tubuh molek
Alya. Ibu muda cantik itu memiliki tubuh yang sangat menggiurkan
dan membuatnya kangen. Seperti seorang perantau yang ingin selalu
kembali pulang ke rumah, sekali merasakan kehangatan tubuh sang
bidadari, dia ingin selalu menikmatinya. "Tahu rasa kamu sekarang!
Sendirian saja di rumah tanpa Mas Hendramu yang cacat dan supirmu
yang sok jago itu!"
Tanpa menunggu aba - aba dari siapapun, Alya bergerak cepat dan
segera berlari menuju kamar. Kalau ia sudah sampai di kamar, dia akan
mengunci pintu sehingga Pak Bejo tidak bisa masuk.
Sayang, laki - laki tua gemuk itu lebih cepat.
Dengan gerakan tak terduga yang lincah Pak Bejo menubruk Alya.
Tidak menunggu lama, pria tua itu dengan paksa mencoba membuka
baju sang ibu muda. Alya mencoba berteriak, namun mulutnya lalu
dibekap oleh Pak Bejo, ia bahkan tidak bisa meronta karena eratnya
pelukan sang preman kampung. Nasibnya kini ada di tangan Pak Bejo!
Lagi - lagi dia akan diperkosa!
Pak Bejo mendengus - dengus seperti babi, nafsunya sudah
memuncak hingga ke ujung ubun - ubun. Dia sudah tidak tahan, sekali
dia bisa memasukkan penisnya ke memek Alya, dia akan memuntahkan
semua pejuhnya di dalam perut ibu muda yang cantik itu! Dia akan
hamili istri Hendra yang molek itu! Kalau sudah hamil, Alya pasti akan
selalu merindukan ayah anaknya!
Alya yang tak berdaya meringkuk dalam pelukan Pak Bejo. Air matanya
kembali mengalir walaupun mulutnya kini terkatup rapat. Ia tetap tidak
mau membuka mulut saat Pak Bejo menyorongkan bibirnya untuk
mencium bibir mungil Alya.
Pak Bejo yang sudah tak tahan melucuti bajunya sendiri, ia
melepaskan celana dan membuka kancing bajunya, ia ingin segera
menelanjangi Alya ketika tiba - tiba... terdengar suara dari jarak yang
tidak begitu jauh.
"Lepaskan Bu Alya! Bajingan tengik!"
Suara itu lagi! Sial banget! Itu suara Paidi! Pak Bejo menoleh dan
mendesis kesal. "Kurang ajar!! Lagi - lagi kamu! Lonthe ini milikku!
Dasar Anj..."
Plaaaaaaaaakkkk!!!
Belum sampai Pak Bejo menyelesaikan kata - kata yang ia ucapkan,
Paidi sudah menamparnya dengan sangat keras. Begitu kerasnya
hingga tubuh Pak Bejo terlempar dari atas tubuh Alya. Si cantik itu
meringkuk ketakutan, dia lega sekali melihat kedatangan Paidi.
"Sudah saya bilang, lepaskan! Jangan salahkan saya kalau saya jadi
gelap mata! Saya minta dengan sangat untuk yang terakhir kalinya,
tolong hormati majikan saya! Jangan berani - berani mendekatinya
lagi! Selama ada saya disisinya, tidak akan saya biarkan siapapun juga
menyakitinya! Mengerti!? Saya harap Pak Bejo sadar kalau Pak Bejo
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh keluarga ini! Pergi jauh - jauh dan
jangan pernah kembali lagi!!" bentak Paidi dengan galak.
Melihat ketangguhan dan kekerasan hati Paidi, Pak Bejo mau tak mau
gentar juga melihatnya. Ia sudah mendengar berita Kribo yang dihajar
oleh lelaki ini tempo hari. Dengan langkah gemetar, preman tua itu
meninggalkan Alya dan Paidi.
"Kau... kau... bajingan! Tunggu pembalasanku! Tunggu saja!" Pak Bejo
memegangi pipinya yang memerah karena kerasnya tamparan Paidi.
Pria gemuk itu langsung berlari tunggang langgang tanpa
mempedulikan pakaiannya yang masih belum dikenakannya dengan
benar.
Paidi mendengus. Orang seperti Pak Bejo kadang memang tidak boleh
diberi hati. Dia harus diberi pelajaran supaya tidak memperlakukan
orang lain dengan semena - mena. Dasar preman kampung tidak tahu
diri! Belum cukup rupanya dia menghajar anak buahnya tempo hari.
Paidi menengok ke belakang dan melihat ke arah Alya yang duduk
bersimpuh dengan lemas. Pakaiannya terkoyak dan matanya berkaca -
kaca. Dia memandang ke arah Paidi dengan pandangan yang tak bisa
dijelaskan dengan kata - kata.
Dengan lembut Paidi berjongkok di depan Alya, dia merapikan rambut
dan baju Alya. "Orang itu sudah pergi, Bu. Semua akan baik - baik
saja mulai sekarang. Saya akan melindungi ibu."
"Sudah pergi...?"
"Iya. Pak Bejo sudah pergi, semua pasti baik - baik saja. Ibu tidak apa
- apa kan?"
Alya menggeleng. Dia masih belum bisa mempercayai kejadian yang
baru saja ia alami.
"Bagus kalau begitu. Mari saya bantu berdiri." Kata Paidi sambil
mencoba mengangkat lengan Alya.
Tapi Alya tak bergeming, ia memandang ke arah Paidi dengan
pandangan yang sayu dan lemah. Matanya yang berkaca - kaca kini
mulai meneteskan air mata. Wanita cantik itu akhirnya tak kuat lagi, ia
menangis dan berteriak keras dalam pelukan Paidi.
Dengan lembut Paidi mengelus - elus punggung dan rambut
majikannya yang sangat indah. "Jangan khawatir, Bu. Mulai sekarang
saya akan selalu melindungi Ibu. Orang itu tidak akan saya ijinkan
mendekati Ibu lagi. Saya tidak akan membiarkan orang itu menganggu
wanita yang saya cintai."
Tadinya Alya terus saja menangis, menumpahkan semua kekesalan dan
penat yang ia rasakan dalam pelukan supirnya. Namun ia tersentak
ketika mendengar kata - kata cinta keluar dari mulut Paidi. Alya
mundur dari pelukan Paidi, ia menghapus air mata yang leleh di pipi.
Keduanya terdiam beberapa saat lamanya, saling memandang dan
mendalami perasaan masing - masing.
"Ka... kamu... apa yang kamu...?" tanya Alya dengan terbata - bata.
"Saya mencintai Bu Alya." Jawab Paidi dengan bersungguh -
sungguh.
"Be... benarkah?"
Paidi mengangguk, sudah kepalang basah, ia tidak akan mundur lagi.
Ia benar - benar telah mencintai Alya. Tidak masalah kalau ia ditolak
dan harus mengundurkan diri menjadi supir keluarga karena toh Alya
telah berkeluarga, yang penting, ia telah melindungi wanita yang ia
cintai dan membuktikan cintanya tidak hanya sekedar keinginan yang
berlandaskan nafsu semata.
Alya masih terus menatap mata Paidi dengan pandangan berlinang.
Lalu... dengan kekuatan yang entah datang dari mana, Alya
menyorongkan kepala ke atas, menarik kepala Paidi ke bawah, dan
mencium bibirnya dengan lembut.
Paidi kaget sekali melihat reaksi Alya ini, ia tidak mengira majikannya
itu akan menciumnya. Namun Alya adalah wanita yang sangat diidam
- idamkannya. Mendapat ciuman dari Alya bagaikan mendapat
anugerah yang tak ternilai harganya. Paidi membalas ciuman Alya
dengan sapuan lembut di bibir. Mereka saling melumat dan
memberikan nafas, menyapu bibir dan lidah dengan kelembutan.
Setelah lama tak merasakannya, baru kali inilah Paidi sadar, ia telah
memperoleh apa yang telah ia damba selepas kehidupan kelamnya, ia
telah memperoleh cinta.
Setelah cukup lama mereka berciuman lembut, Alya akhirnya melepas
bibir Paidi.
Paidi terdiam tak mampu bicara, bibirnya bergetar karena merasakan
keindahan yang telah lama ia idam - idamkan.
"Mas..."
"I... Iya, Bu?"
"Maukah kamu tidur lagi denganku?"
Pandangan mata Paidi terbelalak kaget.
###
Ketika masuk ke kamar Paidi, Alya baru sadar kalau ternyata kamar
supirnya itu sangat bersih dan rapi. Ia tidak sempat memperhatikan
ketika masuk ke tempat ini tempo hari. Barang - barangnya disusun di
pojok, tempat tidurnya juga sangat bersih, sepreinya harum seperti
baru dicuci. Kamar yang sebelumnya dijadikan gudang itu juga sangat
wangi. Alya jadi semakin kagum dengan pria yang telah
menyelamatkannya dari cengkraman Pak Bejo ini. Walaupun punya
masa lalu yang bisa dibilang tidak menyenangkan, Paidi adalah pria
yang mengagumkan. Paidi memang telah menceritakan masa lalunya
yang kelam, menjadi seorang penghuni bui karena kesalahannya yang
fatal. Kini Paidi ingin memperbaiki kesalahannya itu.
Bagaikan pengantin yang baru saja menikah, tanpa diminta Paidi
mengangkat tubuh Alya dan meletakkan tubuh indahnya dengan
lembut di atas ranjang. Walaupun awalnya kaget, namun Alya menuruti
saja kemauan lelaki tua perkasa itu. Kain seprei yang bersih dan harum
membuat Alya tidak merasa jijik, ia bahkan sangat kagum dengan
kerajinan dan kebersihan Paidi, sungguh sangat jarang laki - laki
seperti ini. Paidi duduk di samping Alya yang terbaring. Dengan berani
istri Hendra itu menyentuh pundak laki - laki kurus dan tua yang
rebah disampingnya. Ia menyentuh pundak Paidi tanpa melepaskan
pandangan dari mata pria yang pernah berjualan bakso itu. Tangan
lembut Alya meraih bagian belakang kepala Paidi dan menariknya ke
bawah, lalu bibir seksi si cantik itu mengecup bibir sang supir.
Ciuman lembut Alya yang tulus mengoles bibirnya bagaikan obat untuk
semua lelah, gelisah dan keluh kesah yang pernah Paidi keluarkan
seumur hidupnya. Olesan lembut bibir mungil majikannya itu juga
membuat tubuh Paidi bagaikan disentak aliran listrik berjuta volt,
seandainya dia adalah sebuah baterai hidup, Paidi sudah langsung
tercharge dengan energi hingga penuh. Bibir mereka berdua saling
mengelus, saling menimang, beruntai, berjalin, menikmati sentuhan
pelan dan nikmat yang tak bisa diungkap dengan kata.
"Mmmhh..." desah Alya manja. Ia memejamkan mata dan membiarkan
bibir Paidi menari di atas bibirnya yang lembut, membiarkan bibir tebal
dan keras sang sopir menyelimuti bibirnya yang ranum. Olesan bibir
Paidi tidak seperti bibir Hendra yang lembut atau bibir Pak Bejo yang
kasar dan menuntut.
Lama pagutan bibir mereka tak saling lepas, Paidi mulai mengeluarkan
lidahnya yang bagai ular. Lidah Paidi membuat Alya makin tak berkutik
dan tenggelam sepenuhnya dalam pelukan sang sopir.
"Mas?" tanya Alya ketika bibir mereka lepas sejenak.
"Hmm?"
Alya tak buru - buru menjawab karena kembali menikmati lidah dan
bibir Paidi.
"Aku... mhh... mmhh... mau... tanya..."
"Hmm?"
Kembali bibir Paidi menggelayut di bibir sang kekasih namun kali ini
Alya menolaknya.
"Iiihhh... Mas nakal! Aku kan mau tanya sesuatu yang penting, jangan
digangguin dulu!"
"Habis bibir kamu menggemaskan, mungil dan mengundang, aku jadi
tidak tahan." Kata Paidi sambil tersenyum. "Baiklah, kamu mau tanya
apa, sayang?"
"Bagian mana dari tubuhku yang paling Mas Paidi suka? Akan
langsung aku berikan sekarang juga." Kata Alya sambil menggigit bibir
bawahnya dengan genit.
"Aku suka semuanya."
"Ah, jawaban gombal."
"Kalau begitu... aku suka dari ujung kaki sampai ujung rambut."
"Hi hi hi, aku nggak percaya. Mana ada yang suka ujung kaki aku."
"Aku suka."
"Bohong."
"Eh, gak percaya? Baik aku buktiin!"
Paidi membalik badannya dengan cepat tanpa mempedulikan protes
Alya yang tertawa.
"Aku kan cuma becanda, Mas!"
Paidi membuktikan kesungguhannya dengan menciumi jempol dan
jemari kaki Alya. Si cantik beranak satu itu adalah wanita yang amat
memperhatikan kebersihan, sehingga Paidi tidak sedikitpun merasa
jijik karena kaki Alya sangat mulus dan bersih. Mirip kaki seorang bayi
yang lembut dan suci. Paidi mencium dan menjilat - jilat kaki sang
kekasih dengan sepenuh hati. Alya bergetar karena rangsangan Paidi
ini.
"A... aku percaya, Mas... aku percaya..."
Sambil tersenyum puas Paidi mengelus lembut betis sang bidadari.
Tentu saja pria tua itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia
mengeluskan tangannya dari bawah ke atas, naik ke arah paha mulus
Alya. Kaki Alya yang jenjang membuat Paidi terkagum - kagum, begitu
mulus, indah dan putih, sangat sedap dipandang. Alya memiliki
karunia yang sangat lengkap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki,
semua indah dan sempurna.
Tapi bidadari itu kini tengah dilanda nafsu birahi yang meledak -
ledak, ia tidak mau tangan Paidi hanya mengelus - elus betis dan
pahanya saja, ia ingin lebih. Sambil berbaring di ranjang, Alya
memberanikan diri mengelus batang kemaluan Paidi yang masih
tersembunyi di balik celana. Tangannya yang lembut bergerak naik
turun dengan perlahan, membuat sekujur tubuh Paidi merinding
keenakan. Siapa yang tidak mau penisnya dikocok wanita semolek
Alya? Hanya dengan melihat pandangan mata Alya yang berbinar, Paidi
tahu kalau Alya merindukan permainan cinta yang sebenarnya, bukan
perkosaan brutal ala Pak Bejo, atau hubungan dingin tanpa perasaan
seperti yang ditunjukkan Hendra. Paidi akan membuat si cantik ini
menikmati seks yang indah bersamanya.
Perlahan Paidi menurunkan celana berikut celana dalamnya. Batang
kemaluannya menegak kencang di hadapan wajah cantik Alya.
"Mas... aku ingin... mmm... boleh aku...?" tanya Alya malu - malu.
"Mmm... bolehkah?"
Alya tidak melanjutkan kata - katanya saat ia melihat Paidi mengernyit
keenakan. Elusan lembut jemari Alya pada batang kemaluan Paidi
membuat mantan penjual bakso itu bergetar dan menggelinjang tak
kuasa menahan nafsu. Hal itu membuat Alya tersenyum tertahan,
seperkasa apapun Paidi, ia ternyata tidak tahan dengan jari - jarinya
yang lembut.
Sembari menikmati elusan lembut jemari Alya pada penisnya, Paidi
melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia ingin bersentuhan langsung
dengan kulit mulus Alya, tanpa terhalang baju mereka. Seakan
mengerti kemauan Paidi, Alya mengikuti dengan melucuti pakaiannya
sendiri. Ia berhenti sebentar mengelus penis Paidi untuk membuka
baju. Pria tua itu mengerang kecewa ketika Alya berhenti menyentuh
kemaluannya, namun karena ia mendapati Alya sudah tak berbusana
ketika ia membuka mata, Paidi tak mengeluh sedikitpun.
Paidi berdecak kagum ketika kembali bisa menikmati keutuhan tubuh
molek Alya. Benar - benar seorang bidadari yang turun dari langit,
sempurna tiada duanya. Bila dibandingkan dengan bintang sinetron,
mungkin Alya lebih cantik dan seksi, kini bayangkan jika tubuh
sesempurna itu dipersembahkan untuk pria seperti Paidi! Pandangan
matanya tak ingin lepas dari kesempurnaan Alya, wajah cantik lembut
dengan rambut yang terurai indah, kulit mulus seputih susu yang
memancarkan keharuman mewangi, payudara sempurna yang sintal
dan menggairahkan, pinggang ramping, pantat bulat, semua - untuk
Paidi.
Alya diam saja tanpa mempedulikan kekaguman Paidi kepadanya dan
meneruskan 'pekerjaannya' memainkan kemaluan Paidi.
Paidi buru - buru sadar dari rasa kagum yang membuatnya terbengong
- bengong dan segera kembali ke posisi semula, ia berbaring dan
membiarkan wajah Alya tepat berada di depan penisnya sementara ia
sendiri berhadapan langsung dengan kaki sang bidadari. Saat itulah
pria tua yang perkasa itu menurunkan wajahnya hingga ke kaki sang
bidadari. Alya meringis keenakan saat Paidi beraksi, tanpa malu -
malu pria tua yang pernah berjualan bakso itu menjilati dan menciumi
ujung - ujung jemari kaki Alya. Paidi melakukan aksinya dengan
sangat pintar dan membuat Alya menggelinjang, ibu muda satu anak
yang statusnya adalah istri orang itupun tak kuasa menahan desahan
demi desahan yang terus menerus keluar dari bibir mungilnya.
"Auhhhhhmmm, Masss... geli mass... jangan... aaaaahhhh..." tangan Alya
tak beranjak dari batang kemaluan Paidi, terus meremas dan mengocok
penisnya yang besar dan hitam sementara sang supir mencumbu dan
mengulum jari - jari kaki dan betisnya. Melihat Alya keenakan, Paidi
menarik kaki wanita cantik yang mulus dan jenjang itu ke bawah.
Jengkal demi jengkal sisi - sisi kaki Alya dicumbui dengan buas oleh
Paidi, si cantik itu makin tak tahan dibuatnya, kakinya bergerak tak
menentu arah, menyepak kesana kemari. Paidi tersenyum, dengan
tangannya yang berotot dipegangnya kaki Alya erat - erat, lalu
dijilatinya seluruh bagian kaki Alya yang sangat putih dan indah itu.
"Aaaahh, Massss... ouuuhhh, jahaaaat... geli ahhhh!!"
Paidi melanjutkan ciuman dan jilatannya tanpa memperdulikan desahan
manja sang ibu muda. Alya memejamkan mata menahan nafsunya yang
menggelegak hebat karena foreplay yang dilakukan oleh Paidi. Semua
perasaan jijik yang selama ini dipelihara karena tidur dengan laki -
laki yang tidak ia sukai ia lepaskan dengan bebas bersama Paidi. Laki
- laki ini memang bukan Hendra, tapi paling tidak ia bukan Pak Bejo.
Alya melenguh dan mengembik tanpa malu, membiarkan suaranya
lepas menyebar ke seluruh penjuru rumah. Seluruh penat dan stress
karena masalah Pak Bejo dan Hendra membuat Alya menyerahkan
seluruh tubuhnya pada Paidi.
Paidi kini tak hanya menggunakan lidah dan mulutnya saja, tangannya
bergerak menyentuh paha Alya dan mengelus - elusnya lembut. Tak
pernah ia membayangkan sebelumnya kalau ia mampu melakukan hal
ini selepas keluar dari penjara, yaitu mengelus - elus paha mulus
seorang wanita cantik dan terhormat seperti Alya.
Istri Hendra itu masih memejamkan mata, ia membiarkan saja tangan
Paidi bergerak nakal menyusuri pahanya yang putih mulus sampai ke
pangkal paha. Setelah bagian bawah kaki Alya yang jenjang basah
oleh ciuman dan jilatan bibir dan lidah Paidi, kini giliran paha mulus
Alya yang diserang.
Ibu muda satu anak itu membuka pahanya lebar - lebar
memperlihatkan keindahan bibir kemaluannya yang merekah merah
muda, kuncupnya yang mungil mempesona Paidi. Ia kagum Alya masih
memiliki bentuk vagina yang indah padahal sudah memberikan
keperawanan pada Hendra, melahirkan Opi dan tidur berkali - kali
dengan Pak Bejo.
Jari jemari Paidi bergerak lincah menyusuri daerah sekitar kemaluan
Alya tanpa sekalipun menyentuh bibir vaginanya. Tubuh Alya
menggelinjang karena menahan nafsu yang kian lama kian tak
tertahankan. Sekali - sekali Paidi menyentuhkan jarinya ke bibir
kemaluan Alya seakan tak disengaja.
"Ahhhh!! Ahhh!!" desah Alya manja, tubuhnya bergetar hebat tiap kali
Paidi memancingnya. Tak tahan oleh perlakuan sang supir, Alya
melenguh panjang, kepalanya bergerak makin tak terkendali ke kanan
kiri sementara matanya masih terus terpejam. Melihat gerakan erotis
dan lenguhan manja sang majikan, Paidi makin berani. Dengan nekat
pria kurus berkulit gelap itu mendorong kepalanya masuk ke pangkal
paha Alya.
"Aaaaaaaaaaahhhh!!!" Alya kembali mengeluarkan desahan panjang.
Paidi terus melaksanakan niatnya menguasai daerah kemaluan Alya
dengan bibir dan lidahnya. Hisapan, ciuman dan jilatan silih berganti
menyerang sang ibu muda. Belum sampai kemaluan Paidi masuk, liang
cinta Alya sudah mulai basah. Bahkan Paidi bisa melihat tetesan air
cinta mengalir tipis dari bibir mungil kemaluan sang kekasih. Alya
mengangkat pantatnya, meminta bibir Paidi terus mengelus bibir
vaginanya. Dengan lembut Paidi menyusuri rambut kemaluan Alya
yang lembut. Paidi paling suka dengan wanita seperti Alya, dia
merawat rambut kemaluannya dengan mencukurnya rajin, baunya juga
sangat wangi dengan aroma khas. Paidi sengaja menggoda Alya
dengan menghembuskan nafas ke liang memeknya tanpa menyentuh.
Alya tak tahan lagi, dia sodorkan bibir kewanitaannya ke mulut Paidi.
Dengan kedua jarinya, Paidi membuka sedikit mulut kemaluan Alya.
Iapun segera mencari titik kelemahan sang ibu muda - klitorisnya.
Ketika tonjolan kecil yang mematikan itu berhasil ditemukan, Paidi
memperlancar aksinya menaklukkan Alya. Jilatan, hisapan dan
sedotannya membuat tubuh Alya melonjak - lonjak bagai kuda liar
yang sangat binal. Paidi bahkan harus memegang erat tubuh Alya agar
tak terlonjak jatuh dari ranjang. Paidi melumat lembut kelentit sang
wanita cantik yang ada dalam pelukannya, ciumannya lalu beralih ke
sisi luar bibir vagina dan akhirnya ke bawah, masuk ke dalam liang
cintanya. Sekali lagi Alya melonjak ke atas dan mendesis dengan
keras, wajahnya yang cantik terlihat histeris namun ia berusaha keras
menahan teriakannya.
"Mas! Sudah, Mas! Aku tidak kuat lagi! Masukkan! Ayo! Masukkan..."
Paidi tidak begitu saja menuruti permintaan Alya. Ia mainkan dulu
lidahnya di bibir memek Alya. Gerakan kaki sang bidadari makin tak
tertahan, ia menendang kesana kemari tanpa sasaran. Kepalanya
berpaling ke kanan dan kiri dengan mata terpejam dan keringat yang
terus bercucuran. Alya mengambil bantal dan menggigit ujungnya
untuk menahan kenikmatan yang terus ia rasakan. Ketika Paidi
menyedot cairan cinta yang menetes keluar dari memek Alya, rasa
gelinya ia alirkan dengan menggigit ujung bantal.
Lidah Paidi makin berkuasa. Ia mendorong lidahnya masuk ke memek
Alya, menjilat dinding yang ada di dalam, menari dan bergoyang tanpa
ampun. Jari jemari Paidi membuka sedikit bibir memek Alya agar
lidahnya bisa lebih leluasa.
"Sudah, Mas! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi!" desis Alya untuk
yang kesekiankali.
Paidi mengangkat kepala dan tubuhnya, kini ia membenamkan bibirnya
ke telinga sang bidadari. Orang yang pernah menjadi narapidana itu
terus membisikkan kata - kata mesra ke telinga Alya, sementara
tangannya asyik memainkan pentil susu yang sudah sangat menjorok
keluar. Istri Hendra itu sudah sangat bernafsu, wajahnya memerah
karena sangat menginginkan kemaluan Paidi. Ia mengelus dada Paidi
dan meminta dengan pandangan memelas. Paidi tahu apa yang
diinginkan oleh majikannya yang jelita itu, ia segera mengambil posisi.
Paidi kembali mengincar klitoris milik Alya. Benda mungil yang
menjorok tepat di dalam area kemaluan sang bidadari itu dijilatnya ke
kanan dan kiri, digerakkan naik turun. Bagi seorang wanita, titik
kelemahan inilah yang membuatnya tak tahan menerima godaan laki -
laki. Begitu pula bagi Alya, tubuhnya melejit dan pantatnya diangkat
tinggi - tinggi, cairan cintapun meleleh membasahi bibir kemaluan si
cantik itu. Ketika Paidi nekat menyeruput cairan cinta Alya, istri
Hendra itupun menggelinjang keenakan dan meronta.
"Masssss... ahhhhh... ooooohhhhmmm... jangan dimaininnnn..." Alya
merem melek keenakan, dia sudah tidak tahan lagi. "Ayo masukkan,
Mas! Cepeeeet!! Aku tidak tahaaaan!!" rengeknya manja.
Dengan hati - hati Paidi menaiki tubuh sempurna milik Alya, putihnya
kulit mulus Alya yang bagai pualam membuat pria tua kurus itu
terkagum - kagum. Kontras sekali kulit bidadari ini dengan kulitnya
yang hitam legam. Apalagi melihat payudara sempurna yang tak puas
- puas remas dengan gemas. Betapa kagetnya Paidi ketika Alya nekat
menarik batang kemaluannya yang sudah mengeras.
"Ouuuughhhh, besar sekali... ehmmmm... masukin, Masssss!!
Cepeeettt!!"
Tentu saja Paidi tidak ingin begitu saja menyodokkan penisnya ke
memek Alya walaupun dia sangat ingin. Dengan gerakan ringan,
digoyangkan ujung gundul penisnya ke bibir kemaluan Alya tapi selalu
ditariknya batang kemaluan itu ketika Alya ingin membimbingnya
masuk ke dalam.
"Aaaahhh! Gimana sih!! Ayoooo, aku sudah tidak tahaaaann!!!" rengek
si cantik.
Dengan hati - hati batang kemaluan Paidi ditarik oleh Alya masuk ke
dalam liang kemaluannya. Bagi Paidi, ini yang namanya mimpi menjadi
kenyataan. Sang majikan yang cantik jelita dan seksi sangat bernafsu
menikmati kemaluan supirnya yang buruk rupa, kurus dan hitam legam.
Alya sudah tidak ingat lagi statusnya sebagai istri Hendra ataupun ibu
Opi, ia hanya ingin disetubuhi saat ini - - disetubuhi oleh penis
raksasa Paidi!
Penis Paidi melesak masuk dengan mudah karena memek Alya sudah
sangat basah, cairan pelumas yang keluar di dalam liang kenikmatan
Alya membanjir dengan deras, memudahkan batang kemaluan Paidi
melesak masuk ke dalam. Alya mengerang dan menggoyangkan
kepalanya ke kiri dan kanan, ia menderita dalam kenikmatan. Ketika
melihat Alya sedikit kesakitan, Paidi menunda menyodokkan penisnya,
tapi Alya justru mengangkat pantatnya, ingin segera digenjot.
Paidi memaju mundurkan pinggulnya dengan perlahan, ia takut
menyakiti vagina Alya. Tapi wanita cantik itu sudah terlalu tenggelam
dalam kenikmatan birahi yang tanpa ujung. Paidi tak puas - puasnya
memandang kecantikan dan kemolekan wajah dan tubuh Alya. Lekuk
tubuhnya yang sempurna, buah dadanya yang kenyal, pinggang
ramping dan kulit putih mulus sang majikan. Ia bagaikan berada di
awang - awang, tak percaya ia ternyata berhasil menikmati keindahan
tubuh istri Hendra yang sangat seksi ini.
"Masss... aku nggak tahan... terussss... aaaahhhh..." Alya merengek
manja.
Paidi tidak mampu menjawab karena merem melek keenakan. Memek
Alya meremas - remas kemaluannya, memilin dan menggilingnya
dalam liang kenikmatan yang sempit dan lembab. Ia tidak menyangka
memek ibu satu anak ini masih begitu sempit dan nikmat, penisnya
seakan disedot ke dalam tubuh Alya. Memek si cantik itu lama
kelamaan makin basah oleh cairan kenikmatan yang keluar dari dalam,
membuat goyangan penis Paidi seakan menumbuk liang yang becek.
Desahan manja dan kecantikan Alya membuat Paidi makin tak kuat
menahan nafsunya. Dengan penuh tenaga pria tua kurus berkulit gelap
itu mempercepat gerakan menumbuknya. Alya makin kebingungan,
sakit sekaligus enak sekali rasanya, ia tidak tahu harus berbuat apa.
Alya hanya bisa mengimbangi gerakan memilin Paidi dengan
menggerakkan pinggulnya maju mundur. Kemaluan Paidi yang
ukurannya sangat besar memenuhi liang kenikmatannya dengan penuh,
hanya dengan menggerakkan pinggulnya sedikit, penis itu sudah
sampai di ujung terdalam dinding memek Alya, si cantik itupun
belingsatan dan merem melek keenakan.
Tempat tidur Paidi makin tak berbentuk, sepreinya acak - acakan,
bantal dan gulingnya terjatuh entah kemana. Makin lama, kedua insan
yang sedang bercinta itu semakin dekat ke puncak kenikmatan. Paidi
berusaha keras menahan orgasme, ia tak ingin terlalu cepat
mengeluarkan air maninya, ia masih ingin menikmati memek Alya yang
nikmatnya bagaikan surgawi. Tapi ia tak bisa mengingkari kekuatannya
sendiri, dengan sekuat tenaga, Paidi menyodokkan penisnya berkali -
kali ke dalam memek Alya yang menjerit - jerit penuh kenikmatan.
Akhirnya Paidi mengeluarkan satu lolongan panjang, ia meremas bahu
Alya kuat - kuat. Ia hampir sampai di puncak kenikmatan.
Alya yang tahu Paidi sudah hampir orgasme juga tak mau kalah, ia
menggerakkan tubuhnya dengan gerakan menggila dan mendaki jalan
nikmat menuju puncak. Alya sudah tidak peduli lagi dengan posisinya
sebagai majikan Paidi ataupun statusnya sebagai istri Hendra dan ibu
satu anak. Ia hanya ingin memuaskan birahinya secara alami, tanpa
paksaan, tanpa tuntutan. Alya mengangkat kakinya dan mengapit
pinggul Paidi, ia sodokkan pantatnya ke atas untuk melesakkan penis
Paidi lebih dalam lagi. Akhirnya si cantik itu sampailah ke ujung
perjalanan permainan cinta ini, ia mengerang tanpa terkendali.
"Masssss! Massss! Aku mau keluaaaaaar!!" jerit Alya panik, ia tak kuat
lagi menahan orgasme. "Ahhhhhh! Aaahhhh!!!"
"Ahhhhmmm!! Ayo sayang! Kita sama - sama keluar! Aaahhh!!! Alyaku
sayaaaang!!"
Semprotan demi semprotan air mani mengalir deras di dalam memek
Alya, bercampur dengan cairan cinta yang memancar dari dalam.
Cairan kental meleleh dari ujung bibir kemaluan sang ibu muda,
membuktikan penyatuan kedua tubuh insan berlainan jenis ini.
Desah nafas kelelahan berpacu dari mulut Alya dan Paidi yang masih
berpelukan dalam ketelanjangan, keringat deras membanjir di seluruh
tubuh mereka, kemaluan Paidi masih bertahan di dalam liang lembut
Alya. Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdua hanya terdiam,
membiarkan waktu berlalu dan mencoba memperoleh kembali nafas
mereka yang kembang kempis.
Tangan Paidi menggenggam erat tangan Alya, untuk sesaat sekalipun,
ia tidak mau melepaskannya. Ia ingin terus bisa melakukan ini, ia ingin
terus bisa menikmati keindahan tubuh sang majikan... ah bukan... ia
ingin terus bisa menikmati tubuh indah sang kekasih pujaan. Ya,
walaupun di mata orang luar mereka adalah majikan dan sopir, tapi
Paidi dan Alya kini resmi menjadi sepasang kekasih.
Mata mereka saling berpandangan, mencoba menyelami perasaan
masing - masing. Paidi tahu, walaupun ada kepuasan dalam diri Alya,
namun matanya yang indah itu tak bisa berbohong. Ia menyimpan
kesedihan yang teramat dalam. Paidi tahu apa yang mereka lakukan ini
salah, Alya adalah istri sah Hendra dan ia mungkin telah menggoda
wanita cantik itu untuk berselingkuh. Mungkin apa yang mereka
berdua rasakan bukan cinta, mungkin hanya nafsu... tapi... seandainya
diijinkan, ia ingin selalu bersama... selamanya.
Alya menatap mata Paidi tajam, entah kenapa ia terlihat ragu hendak
mengungkapkan sesuatu. "Mas, aku... bolehkah aku menanyakan
sesuatu? Sebenarnya aku malu... tapi..."
"Boleh saja, sayang. Mau tanya apa?"
"Mas... emmm, sudah capek belum?... emm... mau... lagi?" Alya
mengedip genit dan tersenyum manja.
Paidi tertawa geli. Ia memeluk bidadarinya erat - erat tanpa sedikitpun
keinginan melepas tubuh indahnya. "Apapun yang kamu minta,
sayang. Apapun yang kamu minta."
Dengan manja Alya mengangkat tangan Paidi dan membiarkan
jemarinya mengelus pantatnya yang bulat, Alya kemudian
menggoyangnya tanpa merasa malu. "Mau coba dari belakang?" tanya
si cantik itu dengan senyum nakal.
Ini bukan kali pertama baginya, dan jelas bukan yang terakhir.
Malam pun terasa panjang untuk mereka berdua.
###
BAGIAN SEMBILAN
TAMAT

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

2 komentar:

mana lanjutanya..bagian sembilan asik ni soalnya

permisi kakak2 numpang promo ya
yang suka main poker dan domino online, mari gabung di sini bersama kami di www.saranapelangi.com. kini hadir dengan 7 permainan yang dapat dimainkan dalam 1 website. dapatkan jackpot hingga ratusan juta setiap harinya. gak mau kalah teruskan main poker dan domino online ? ayo buruan gabung bersama kami di www.saranapelangi.com

Saranapelangi.com adalah satu - satunya Website Dengan Player VS Player Tanpa Menggunakan Bot (tanpa ROBOT) 100% Fair Play!!!

Hot Promo Dari SaranaPelangi!!!
*Bonus Rollingan Sebesar 0,5%
*Bonus Refrensi Sebesar 20%

Tunggu Apalagi?!, Ayo Gabung Dan Main Bersama Kami!!!


Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami di www.saranapelangi.com atau melalui android kami.

- BBM : 2B47BB9C
- CALL : +855964972098
- WEECHAT : saranapelangi
- SKYPE : saranapelangi
- EMAIL : saranapelangi99@yahoo.com
- FACEBOOK : saranapelangi99@yahoo.com

WWW.SARANAPELANGI.COM

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.