Jumat, 20 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 7

BAGIAN TUJUH (PART 7 OF 12)
DALAM PELUKAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Kamar VIP tempat Hendra dirawat
mulai terlihat membosankan bagi
Alya, dia ingin segera pulang dan
membawa suaminya meninggalkan
kamar rumah sakit yang berbau
obat ini untuk kembali menjalani
hidup bersama di rumah sendiri.
Ibu muda yang cantik itu duduk
termenung di samping jendela
kamar sambil melamun,
pandangannya tak berpindah dari
halaman rumah sakit yang asri dan
dipenuhi pepohonan menghijau,
walaupun hari sudah gelap tapi
pemandangan taman tetap terlihat
karena nyala terang lampu hias di
taman. Malam mulai menggelayut
dan gelap menyelimuti hari.
Pandangan Alya beralih dari satu lampu ke lampu yang lain, setelah
bosan ia beralih memperhatikan pepohonan tinggi yang menunduk
seakan tertidur lelap di tengah malam yang sunyi.
Pikiran Alya termenung lebih jauh lagi, seperti apa kehidupan mereka
selanjutnya dengan keadaan Mas Hendra yang seperti ini? Separuh
tubuhnya sudah lumpuh, masa penyembuhannya akan berlangsung
lama, belum lagi pengaruh psikisnya pada Mas Hendra dan keluarga
mereka. Pekerjaan Mas Hendra memang masih bisa dikerjakan dari
rumah melalui internet bahkan perusahaan Mas Hendra sudah
mengatakan opsi pekerjaan tersebut bisa dikerjakan oleh Mas Hendra
selama sakitnya. Mereka tidak akan memecat Hendra, melainkan tetap
memperkerjakannya walaupun tetap berada di rumah karena
kemampuan Hendra memang tidak ada duanya dan dia sangat
dibutuhkan untuk tetap bekerja. Walaupun begitu, akan tetap butuh
waktu bagi mereka semua untuk menyesuaikan diri.
Alya menatap keluar halaman dengan pandangan yang makin
mengabur. Bagaimana dengan dia sendiri? Kuatkah dia menghadapi
semua masalah demi masalah yang makin lama makin besar dan
meremukkan seluruh jiwaraganya? Kuatkah dia untuk terus berada di
samping suaminya sementara hidupnya terus berada di bawah
ancaman pria tua busuk seperti Bejo Suharso? Keluhan pelan keluar
dari mulut Alya, wanita cantik itu hanya bisa berharap ini semua
segera berakhir.
Terdengar ketukan pelan dari pintu, Alya melirik ke jam dinding, siapa
gerangan yang mengetuk jam segini? Jam bezuk sudah lewat dan Alya
tidak menunggu siapapun termasuk Dodit, Anis ataupun Lidya
sementara Opi sudah dititipkan pada Bu Bejo. Siapa yang malam ini
datang? Susterkah? Jarang sekali suster masuk ke dalam ruangan jam
segini, biasanya mereka datang hampir tengah malam.
"Halo... halo... kamu sendirian ya sayang? Bagus! Ayo kita bersenang-
senang!"
Alya hampir menjerit ketika sosok gemuk Bejo Suharso masuk ke
dalam kamar sambil menyeringai. Dengan bantuan tangannya sendiri,
Alya membekap mulut agar tidak menjerit dan menimbulkan
kegaduhan. Pak Bejo datang seorang diri, pria tua itu bahkan dengan
berani menggeser kursi yang ada untuk memalang pintu kamar,
siapapun yang hendak masuk akan kesulitan membuka pintu kecuali
kursi itu disingkirkan. Alya meringkuk ketakutan di pojok ruangan.
Berulang kali wanita cantik itu melirik ke arah suaminya yang masih
lelap. Kepada siapa Alya harus minta pertolongan? Keringat deras
mengalir di dahinya.
"Ayo... ayo... tidak usah takut. Ini aku, sayang. Kekasihmu tercinta."
Bejo berjalan tegap ke arah istri Hendra yang pucat pasi dan
ketakutan, kangen sekali rasanya dia pada si molek ini.
Alya menggeleng. "Jangan mendekat! Jangan mendekat!!"
Alya bangkit dan mencoba melarikan diri, tapi tangan besar Pak Bejo
lebih cekatan dari gerakan Alya yang panik. Dengan satu sentakan,
Alya dilempar kembali ke pembaringan di samping tempat tidur Hendra
yang masih terlelap. Di kamar VIP itu, memang disediakan satu
pembaringan untuk tamu penunggu pasien.
"Jika kau mau semua ini berakhir, diam dan layani aku." bisik Pak Bejo
mengancam.
###
Lidya tidak bisa tidur malam ini, saat makan malam tadi Andi
mengatakan kalau dia harus pergi lagi selama seminggu ke luar kota.
Suaminya itu mengatakan kalau ternyata ada beberapa pekerjaan
kantor yang belum tuntas diselesaikan saat dia ke dinas di sana
seminggu yang lalu. Karena pekerjaan itu sifatnya mendesak, besok
Andi harus segera terbang lagi kesana dan membereskannya.
Sebenarnya bukan perpisahan selama seminggu dengan Andi yang
membebani batin Lidya, melainkan rasa takutnya kembali berdua saja
dengan ayah mertuanya yang cabul. Pantas saja Pak Hasan memaksa
Lidya menjadi budaknya seminggu ini, ternyata mertuanya itu sudah
lebih dahulu tahu kalau Andi akan pergi dinas lagi selama seminggu.
Membayangkan senyum ejekan menggaris di bibir Pak Hasan, ingin
rasanya Lidya menamparnya. Menjijikkan sekali! Orang yang tadinya
dianut sebagai pengganti orang tua, malah menjebloskannya ke
lembah hina.
"Mass...," Lidya menggelayut manja di pundak suaminya yang baru saja
naik ke ranjang. "Apa perginya tidak bisa ditunda? Mas Andi kan baru
saja pulang, belum sampai seminggu di rumah sudah pergi lagi."
"Maaf sayang, tidak bisa, aku tetap harus pergi besok. Kamu tahu
sendiri kan ini sudah masuk jadwal rutin akhir tahun anggaran,
pekerjaan di daerah menumpuk sementara teman kerjaku malah cuti
karena istrinya melahirkan, tidak ada orang lain lagi selain aku yang
bisa mengerjakannya, padahal rencananya bulan depan bos besar akan
datang dari Singapore, reportnya harus segera selesai dalam minggu
ini." bisik Andi yang sudah mulai memejamkan mata, dia lelah sekali
hari ini.
"Terus aku bagaimana?" desah Lidya lagi.
"Kamu bagaimana gimana? Kamu ya di rumah aja, aku kan cuma
seminggu, nggak lama, lagi pula ada Bapak di rumah. Dia bisa
menemani kamu selama aku pergi, kamu tidak perlu takut kesepian,
kalau butuh jalan-jalan tolong temani Bapak keliling-keliling cari
kontrakan baru. Siapa tahu bapak bosan di rumah terus."
Lidya merengut, kalau diberi kesempatan dan diperbolehkan, dia justru
ingin menghajar mertuanya yang dengan biadab telah memperkosa dan
mempermalukannya itu, tapi Lidya tentu saja tidak mungkin
melakukannya.
"Aku kan masih kangen," rayu Lidya manja sambil menciumi bagian
belakang leher suaminya. "baru beberapa hari kamu di rumah... malam
ini... kamu... kita..."
Andi yang tertidur sambil membelakangi Lidya geli diciumi oleh
istrinya, diapun membalikkan badan. "Aduh sayang, jangan sekarang
ya... aku capek sekali."
Setelah mendorong Lidya agar menjauh sedikit, Andi kembali berbalik
dan terlelap.
Lidya mencibir dengan kesal.
###
"Apa mau Pak Bejo?" tanya Alya geram. Dia menyimpan kekhawatiran
pada tatapan mesum lelaki tua itu.
"Buka resleting celanaku!" perintah Pak Bejo.
"Sinting! Gila! Pak Bejo pikir ini dimana? Ini rumah sakit! Bagaimana
nanti kalau ada orang masuk?" Alya mengeluarkan keringat dingin
karena tegang. "Lagipula aku tidak mau melakukannya di depan Mas
Hendra!!" tambah Alya. Si cantik itu mencoba mengelak dengan segala
cara namun pergelangan tangannya dipegang erat oleh Pak Bejo. Alya
buru-buru mencari cara lain untuk meloloskan diri dari situasi gawat
ini. "Aku akan layani Pak Bejo kalau kita sudah sampai rumah nanti!
Tidak di sini, tidak sekarang! Pokoknya aku tidak mau!"
"Aku tidak peduli. Kamu pikir selama ini aku tidak mengamati kegiatan
di rumah sakit ini? Aku lebih pintar dari yang kau kira, sayang. Suster
tidak akan datang ke kamar ini dalam waktu seperempat jam ke depan
dan sekarang bukan jam bezuk, jadi tidak akan ada orang lain di sini
kecuali kita berdua, Mbak Alyaku yang cantik jelita." Pak Bejo terkekeh
digdaya, "Coba lihat suamimu itu. Kasihan sekali kan kalau sampai
arah infusnya berbalik? Darahnya akan tersedot ke atas... hehehe. Kau
sadar tidak, mudah sekali kalau aku ingin menyakiti orang-orang yang
kamu cintai kapanpun aku mau. Kalau tidak ingin Mas Hendra
kucelakai sampai mampus di tempat ini juga, sebaiknya kau segera
buka resleting celanaku dan sedot kontolku sampai aku puas!"
Alya menatap Pak Bejo tak percaya, ia memutar otak mencoba mencari
jalan keluar dari situasi yang sedang ia hadapi, tapi memang tidak ada
jalan lain yang aman baginya kecuali melayani kemauan bajingan tua
ini. Keselamatan Mas Hendra lebih penting dari martabatnya yang
sudah tak ada harganya lagi. Alya akhirnya menurut, ia jongkok ke
bawah, membuka kancing lalu menarik turun kait resleting celana Pak
Bejo. Setelah dibuka, Alya menarik turun celana panjang berikut celana
dalam yang dikenakan oleh pria tua itu sampai ke betis. Kemaluan Pak
Bejo yang besar dan panjang meloncat keluar dari celana dalam yang
ia kenakan dan menampar pipi mulus Alya.
Ingin sekali rasanya Alya menendang kantung kemaluan Pak Bejo dan
melarikan diri dari ruangan ini, tapi melihat Hendra yang lelap tak
berdaya Alya tahu ia harus tunduk dan menuruti semua kemauan Pak
Bejo. pria tua itu menjambak rambut Alya dan menariknya ke belakang,
wajah Alya menengadah ke atas dan bertatapan mata langsung dengan
mata jalang Pak Bejo.
Wajah takluk Alya membuat Pak Bejo tersenyum puas. Dengan jari-jari
nakalnya, pria tua itu memainkan rambut indah Alya lalu dengan kasar
dia mendorong wajah Alya mendekati kemaluannya.
"Sedot." Bisik Pak Bejo, suaranya pelan namun tegas.
Alya tahu, dia harus segera melayani kemauan Pak Bejo saat ini juga
atau pria tua yang jahat itu akan menghajarnya seperti beberapa waktu
yang lalu. Pak Bejo memang tidak berperasaan, dia menyuruh Alya
mengoral kemaluannya tepat di hadapan sang suami yang masih lelap,
belum lagi kalau ada suster yang datang. Benar-benar nekat orang tua
tak tahu malu ini. Mereka berada cukup dekat dengan ranjang
penunggu pasien tempat Alya biasa tidur menemani Hendra.
"Kamu mau ketahuan orang? Mumpung sepi, cepat sedot." Gertak Pak
Bejo sekali lagi.
Alya melirik ke arah Hendra yang masih terlelap, lalu menatap sengit
mata Pak Bejo.
Alya mencondongkan badan ke depan dan membuka mulutnya
perlahan. Si cantik itu menelan batang kemaluan Pak Bejo dan
memainkan lidah di sekitar ujung gundulnya. Alya memegang kontol
Pak Bejo dengan lembut dan mengocoknya perlahan. Si cantik itu
mendorong Pak Bejo agar tidur terlentang di ranjang penunggu pasien
dan ia mulai menjilati seluruh batang kemaluan lelaki tua itu, mulai
dari kantungnya, lalu batang, sampai ke atas. Jilatan lidah Alya
membuat Pak Bejo terangsang dan belingsatan, enak sekali rasanya.
Nafas Pak Bejo kian berat, ia sangat menyukai perasaan berkuasa
seperti ini. Ia merasa seperti seorang raja yang sedang dilayani oleh
selirnya. Saat ini pria tua itu tahu apapun yang ia perintahkan pasti
akan dilaksanakan ibu muda yang seksi itu. Membayangkan wanita
secantik Alya melakukan hal-hal yang memalukan membuat Pak Bejo
terangsang. Kontolnya langsung ngaceng, bahkan akan meledak
mengeluarkan air mani seandainya tidak ditahan-tahannya.
Lama kelamaan, seluruh batang pelir Pak Bejo sudah tertelan oleh
Alya, kepalanya naik turun bersama gerakan mulutnya mengocok
kemaluan sang lelaki tua dari ujung gundul sampai kantung kemaluan.
Pak Bejo memiringkan kepala Alya dan menyibakkan rambut yang
menutup wajah cantiknya. Ia ingin melihat langsung kontolnya keluar
masuk bibir mungil wanita secantik Alya, pemandangan indah itu
membuatnya semakin terangsang.
Benar saja, hanya beberapa detik melihat Alya mengoral kemaluannya,
Pak Bejo sudah siap mencapai klimaks. Pria tua itu mengencangkan
cengkramannya pada rambut Alya dan menggerakkan kepala wanita
jelita itu seraya memompakan penisnya ke dalam mulut Alya. Si cantik
itu memberontak sesaat, tapi tatapan galak Pak Bejo meluruhkan
niatnya, nyali Alya menciut dan Pak Bejo pun membentaknya galak.
"Ayo dikulum terus! Kenapa berhenti?"
Walau kesal dan jengkel tapi Alya tak melawan sedikitpun. Si cantik itu
melumat kontol Pak Bejo seiring gerakan sang pria tua menggiling
kemaluannya memasuki tenggorokan Alya dengan gerakan yang sangat
cepat sampai-sampai si cantik itu tak sempat menarik nafas. Lama
kelamaan sodokannya makin cepat dan pendek sementara nafas Pak
Bejo terdengar mendengus-dengus. Alya yakin pria tua itu pasti akan
segera mencapai puncak kenikmatan.
"Mainkan kantungku," lenguh Pak Bejo sambil menggemeretakkan gigi.
Pria itu masih terus menyodokkan kemaluannya ke mulut Alya. Begitu
jari-jari lembut Alya menyentuh kantung kemaluannya, Pak Bejo tidak
kuat lagi, ia langsung mencapai klimaks dengan cepat. Diiringi
lenguhan panjang, Pak Bejo menyemprotkan cairan cintanya. Pria tua
itu memaksa Alya menerima semua semprotan pejuh dengan mulutnya,
tangan Pak Bejo bahkan memegang kepala Alya erat-erat agar si
cantik itu menelan semua semprotan air maninya tanpa ada yang
tersisa. "Telan!" desak Pak Bejo melihat Alya enggan menerima air
maninya, perintah Pak Bejo terpaksa dituruti oleh ibu muda yang
cantik itu karena takut dan ia ingin sesegera mungkin mengakhiri sesi
oral seks dengan orang tua bejat itu.
Merasakan penisnya dikulum dan pejuhnya ditelan mentah-mentah
oleh Alya membuat Pak Bejo sangat puas. Setelah penis Pak Bejo
menembakkan peluru pejuhnya yang terakhir, pria tua itu meringis dan
menarik penisnya dari kuluman Alya. Beberapa tetes air mani kental
ikut terbawa saat ia menarik kemaluannya. "Bersihkan kontolku."
Perintah pria tua itu.
Dengan hati-hati Alya menjilat dan menelan setiap tetes pejuh yang
membasahi kemaluan Pak Bejo. Bibir si cantik itu belepotan air mani
sang pria tua, Alya memang sengaja tidak menelan seluruh cairan yang
keluar dari kemaluan Pak Bejo karena jijik, pejuh putih kental menetes
dari sela-sela mulutnya dan jatuh di atas lantai. Pak Bejo menepuk-
nepuk kepala Alya dan mengenakan kembali celananya dengan penuh
kepuasan.
"Memang enak seponganmu, Mbak Alya," kata Pak Bejo. "mungkin Mas
Hendra bisa sembuh dari lumpuhnya dan bangun dari tempat tidur
kalau kau sepong terus tiap hari."
Sambil tertawa terbahak-bahak Pak Bejo melangkah pergi
meninggalkan kamar tempat Hendra dirawat, Alya menatap kepergian
orang tua bejat itu dengan penuh kebencian. Beberapa orang suster
yang sedang duduk beristirahat di ruang administrasi menatap heran
langkah jumawa dan senyum sumringah Pak Bejo meninggalkan
bangsal, baru kali ini ada orang yang tertawa terbahak-bahak usai
mengunjungi pasien yang sakit parah, keterlaluan sekali orang ini.
Sepeninggal Pak Bejo, Alya membersihkan lantai yang basah oleh air
mani dengan tissue dan mencuci mulutnya di kamar mandi.
Tanpa sepengetahuan Alya yang telah masuk ke kamar mandi, setetes
air mata mengalir di pipi Hendra.
###
Andi memasuk-masukkan tasnya ke dalam mobil, bersiap hendak
berangkat. Matahari pagi terasa jauh lebih panas dari biasanya,
walaupun enggan meninggalkan istrinya yang jelita sendirian di rumah
lagi, Andi tetap harus berangkat.
"Yakin nih, Mas? Bakal seminggu lagi?" tanya Lidya sambil memendam
rasa kecewa. Belum tuntas rasanya ia melepaskan rasa rindu dan
mencari perlindungan pada suaminya, ternyata kini Andi harus pergi
lagi. "Apa nggak bisa dipercepat pulangnya?"
"Maunya sih begitu, sayang. Tapi ini kan perintah langsung dari
atasan, aku tidak bisa bilang tidak. Aku coba lihat nanti berapa banyak
pekerjaan yang numpuk, kalau memang bisa pulang lebih awal, aku
pasti pulang." Andi tersenyum lembut melihat istrinya cemberut, ia
tahu Lidya kecewa. Dengan penuh rasa sayang dikecupnya bibir sang
istri. "Aku janji, kalau pulang nanti akan aku bawakan oleh-oleh
makanan kesukaanmu."
Lidya masih tetap cemberut.
Tiba-tiba saja Pak Hasan datang dan dengan santai merangkul pundak
Lidya. Wanita cantik itu tentu terkejut sekali, berani-beraninya Pak
Hasan merangkulnya di depan Andi!
"Jangan khawatir, Bapak pasti akan menjaga istrimu baik-baik, Ndi."
"Iya, Pak. Untung saja ada Bapak di sini, jadi Lidya tidak akan
kesepian." Kata Andi.
Dasar bodoh, amuk batin Lidya, andai saja suaminya itu tahu, kalau
selama ini justru ayahnya yang telah memperlakukan Lidya seperti
seorang pelacur jalanan. Dengan gerakan sesopan mungkin, Lidya
menurunkan tangan Pak Hasan yang tadinya merangkul pundaknya.
"Aku pergi dulu yah, sayang." Pamit Andi, "Pak, titip Lidya ya."
"Iya. Hati-hati di jalan." Pak Hasan menyeringai. Ia sangat bahagia
diberi titipan yang sangat berharga oleh anaknya itu, seorang wanita
jelita yang seksi yang bisa ia tiduri kapan saja ia mau.
Lidya terdiam saat mobil Andi berangkat meninggalkan rumah.
Ketika mobil itu menghilang dari pandangan, tangan Pak Hasan
langsung beraksi, meremas-remas pantat bulat Lidya. Si cantik itu
menghardik mertuanya dan melangkah masuk ke rumah dengan sewot.
Pak Hasan meringis penuh kemenangan.
###
Dina mengejap-kejapkan matanya yang masih mengantuk. Semalam
suntuk ia tak bisa tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Pak
Pram dan Pak Bambang telah menyewakan satu kamar hotel mewah
yang semalam ia gunakan untuk beristirahat, tapi Dina tetap tak bisa
tidur, ia ingin tahu bagaimana kabar anak-anaknya, bagaimana kabar
Alya dan Lidya - adiknya dan bagaimana kabar Anton suaminya.
Proposal yang diajukan Pak Bambang adalah pisau bermata ganda
yang bisa membuat mereka sekeluarga hidup berkecukupan walaupun
hidup terpisah tapi juga akan membelenggu hidupnya sebagai istri
seorang idiot pewaris kekayaan seorang konglomerat yang sudah
sangat tua. Apa yang akan dilakukannya?
Langkah kaki Dina terasa berat menyusuri lorong hotel mewah menuju
kamar pertemuan yang berada di ujung. Dalam hati kecilnya, Dina
merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang hendak dihukum
mati. Ia memang bersalah, ia sudah bersedia melacurkan diri untuk
menyelamatkan kelangsungan hidup keluarga, ia berani menanggung
resiko sebagai wanita jalang yang mau melayani kemauan binal orang-
orang tua tak tahu diri. Ia merasa bersalah, karena telah mengkhianati
janji pernikahan dengan Mas Anton. Seandainya hari ini Anton
memutuskan untuk memberikannya pada Pak Bambang... sepertinya...
Dina rela...
Wanita cantik itu mengambil tissue dari kantong bajunya dan
menghapus airmata yang menetes perlahan membasahi pipi. Beberapa
orang penjaga melirik ke arah Dina dengan pandangan meremehkan,
bibir mereka tersungging menghina dan merendahkan, menambah
pedih sakit di dalam hatinya. Langkah kaki yang terasa berat membuat
pinggul Dina bergerak pelan, bagi para penjaga, gerakan pantat Dina
bagaikan suguhan pertunjukkan yang mengasyikkan, seandainya
wanita ini tidak lagi diinginkan oleh pimpinan mereka, ingin rasanya
mereka mencicipi tubuhnya yang indah.
Pintu besar ruang pertemuan dibuka lebar, beberapa orang menemani
Dina masuk ke dalam. Di dalam ruangan, terdapat sebuah meja besar
dengan kursi yang saling berhadapan. Di sisi jauh, Pak Bambang, Pak
Pramono, beberapa orang pegawai pemerintah berjabatan tinggi serta
beberapa orang asisten sudah sedari tadi menunggu Kedatangannya.
Sementara di kursi yang menghadap ke arah mereka, duduklah suami
Dina dengan kepala menunduk tanpa berani diangkat.
Dengan wajah lesu Dina duduk di kursi yang telah disediakan di
samping suaminya.
Pak Bambang dan Pak Pramono duduk dengan tenang sementara
asistennya mengeluarkan beberapa lembar berkas dan meletakkannya
di hadapan Anton dan Dina. Sepasang suami istri itu tidak saling
memandang dan terdiam membisu, perasaan keduanya kacau balau.
"Ini adalah berkas-berkas yang perlu ditanda-tangani seandai kalian
berdua bersedia menerima penawaran dari Pak Bambang. Dengan
menandatangani surat-surat ini, kalian berdua akan resmi bercerai
secara sah dan legal." Kata asisten Pak Bambang.
Dina dan Anton menatap tak percaya surat-surat yang berada di
hadapan mereka. Bagaimana mungkin Pak Bambang dan Pak Pramono
bisa menyediakan surat cerai bagi mereka dalam waktu yang sangat
singkat? Anton menatap geram kedua orang tua yang sangat kaya itu
dan yakin, surat ini bisa turun tentunya dengan menyogok petugas
pemerintah yang mengurusnya. Ada uang ada barang. Bagi orang
sekaya Pak Bambang, mudah sekali mendapatkan surat-surat yang
diinginkan, apalagi hanya surat cerai bagi kaum menengah sepertinya.
Mereka bahkan tidak perlu menghadiri sidang perceraian atau apapun,
hanya menandatangani surat-surat ini, pernikahan mereka sudah
berakhir. Urusan legalitas dan administrasi sudah ditangani oleh dua
pengusaha kaya yang memeras mereka itu, segala sesuatunya benar-
benar sudah disiapkan.
Tubuh Dina gemetar ketakutan melihat surat-surat di hadapannya
sementara Anton membolak-balik kertas dengan geram. Benar-benar
sudah lengkap semua yang dibutuhkan, tidak ada celah sedikitpun
bagi Anton dan Dina untuk berkelit.
"Keputusan sekarang berada di tangan kalian berdua." Kata Pak Pram.
Anton menatap Dina dengan pandangan sedih yang tak terkatakan,
Dina menatap suaminya kembali dan menggelengkan kepala. Anton
menunduk sedih tanpa mampu mengucap kata-kata. Tangannya
memegang pena dengan gemetar, Anton bingung, perasaannya
bimbang, apa yang harus ia lakukan? Manakah keputusan yang terbaik
bagi semuanya?
Mata Anton menatap surat-surat berisi pemberian modal usaha dan
surat tanah serta hak milik rumah dan tempat usaha yang akan
diberikan Pak Pramono bersamaan dengan surat cerainya. Anton
menatap Pak Bambang, Pak Pramono dan akhirnya ia melirik ke arah
cincin yang dulu ia sematkan di jari manis sang istri saat prosesi
pernikahan mereka.
"Baiklah, sudah saya putuskan." Kata Anton.
Dina menutup mata dan menarik nafas karena tegang, saat ini yang
bisa dilakukannya hanyalah berharap.
###
Aneh sekali rasanya memasak hanya mengenakan handuk yang melilit
di tubuhnya, Lidya merasa risih sekali, apalagi di belakangnya, Pak
Hasan menyantap sarapan di meja makan dengan wajah bahagia. Siapa
orang yang tidak senang, makan pagi ditemani seorang wanita cantik
laksana bidadari yang hanya mengenakan handuk sebagai penutup
tubuh. Apalagi handuk milik Lidya berukuran medium, hanya bisa
menutup sebagian balon buah dada dan berada tipis di atas paha, jika
dia merunduk sedikit, pasti selangkangannya akan terlihat dengan
jelas dari belakang. Dalam situasi normal, Lidya tidak akan mau
berpakaian senekat ini, tapi ini bukan situasi normal, Lidya sedang
berada di bawah kekuasaan sang ayah mertua yang bejat. Pria tua itu
menghendaki menantunya memasak dan menghidangkan sarapan
hanya dengan mengenakan handuk.
Lidya geram dan jengkel sekali pada sang mertua karena
memperlakukannya seperti pelacur hina. Yang lebih mengerikan lagi
adalah penyakit Pak Hasan yang suka memamerkan tubuh Lidya di
depan keramaian. Tempo hari saat berjalan-jalan di mall, Lidya bahkan
dipermalukan dengan dipaksa melayani dua laki-laki tak dikenal, yang
pertama seorang pengemudi taksi dan yang kedua seorang laki-laki
hidung belang. Entah apa lagi yang diinginkan Pak Hasan karena
seminggu ini dia harus bersedia dijadikan budak seks lelaki tua
mesum itu.
"Nduk, kamu masaknya sudah selesai belum? Makan siang kan masih
lama, apa tidak sebaiknya kamu selesaikan nanti saja memasaknya?"
tanya Pak Hasan setelah menyelesaikan sarapannya. Lidya yakin, pasti
si tua ini ada maunya.
"Sudah hampir selesai, Pak." Jawab si cantik itu dengan nada suara
datar.
"Aku tadi sudah mencuci baju dan celana, tapi belum aku jemur. Bisa
minta tolong dijemurkan sebentar di lantai atas?"
Bukan permintaan yang aneh-aneh. Tumben.
"Bisa, Pak. Setelah ini selesai."
Pak Hasan berdiri dan mensejajari menantunya, pria tua itu geleng-
geleng kepala. Andi memang benar-benar lelaki yang beruntung, lihat
saja perempuan mulus yang menjadi istrinya ini, kurang apa lagi?
Wajahnya cantik jelita, tubuhnya seksi seperti biola, kulitnya putih
mulus seperti pualam, rambutnya panjang dan hitam, payudaranya
montok dan kencang, pantatnya bulat dan memeknya masih sangat
rapat. Benar-benar spesimen perempuan yang sangat menggairahkan.
Dengan main-main Pak Hasan menepuk pantat menantunya pelan.
"Tentunya tidak baik menjemur pakaian di halaman belakang hanya
memakai handuk seperti ini." kata Pak Hasan. "Aku carikan baju
untukmu."
Lidya curiga, tapi diam saja dan hanya mengangguk mengiyakan. Pak
Hasan bersiul-siul aneh sambil melangkah meninggalkan dapur, Lidya
menarik nafas lega. Saat itulah tiba-tiba Pak Hasan membalikkan
badan dan melucuti kemeja yang sedang ia pakai.
"Hah, bodohnya aku ini. Semua bajuku kan sedang dicuci, bagaimana
kalau kau pakai dulu kemejaku ini saja?"
Lidya menunduk lesu, ini dia rupanya, si tua ini memang selalu ada
saja maunya. Dengan langkah malas Lidya mendatangi ayah mertuanya
dan menerima kemeja yang diberikan padanya. Kemeja itu adalah
sebuah kemeja putih tipis yang menerawang, seandainya dipakai pasti
akan terlihat sangat seksi.
"Bagaimana celananya?" tanya Lidya.
"Celana apa? Siapa yang menyuruhmu pakai celana?" Pak Hasan
belagak bodoh. "Aku hanya ingin melihatmu pakai kemeja ini dan
menjemur pakaian di atas sana. Tentunya tidak usah menggunakan BH
dan celana dalam pula, hari ini panas sekali, aku takut kamu
kepanasan, kasihan sekali."
Mulut Lidya menganga terheran. Dia tidak percaya mendengar
permintaan Pak Hasan. Mertuanya itu memintanya menjemur pakaian
di tingkat atas hanya mengenakan sehelai kemeja tanpa baju yang
lain? Bagaimana kalau nanti terlihat oleh tetangga sebelah rumah?
Rumah Andi dan Lidya memang cukup besar, dengan pagar tinggi
melindungi bagian tengah hingga belakang. Untuk menjemur pakaian,
Lidya biasa menggunakan lantai atas yang terbuka dan kosong.
Walaupun tidak akan terlihat langsung oleh tetangga-tetangga yang
berada di bagian depan rumah, namun keerotisan Lidya bisa terlihat
jelas oleh tetangga samping dan belakang seandainya mereka secara
tidak sengaja mendongak dan menatap ke atas.
"Apa ada masalah?" Pak Hasan mendekatkan wajahnya ke arah Lidya
sambil menatapnya galak. Lidya tahu, pria tua itu bisa menyakitinya
kapan saja ia mau, hanya satu cara untuk menghindari pukulannya
yaitu dengan menuruti semua permintaannya. Toh, Lidya sudah
bersedia menjadi budak seksnya untuk seminggu ini.
"Ti-tidak, Pak... tidak ada masalah..." Lidya menundukkan wajahnya
yang ayu.
Pak Hasan terkekeh lagi sambil menyerahkan kemejanya pada Lidya.
###
Sudah beberapa hari ini Anissa malas bangun dan keluar dari kamar. Ia
ingin pulang saja ke rumah, ia ingin menghindar sejauh mungkin dari
tempat terkutuk ini, tapi dengan kecelakaan yang menimpa Mas
Hendra, Anis harus siap merawat Opi jika Bu Bejo sedang berhalangan
karena Mbak Alya lebih sering berada di rumah sakit.
Walaupun sudah mandi dan makan, Anis lebih suka berdiam diri di
kamar, sejak diperkosa oleh Pak Bejo yang bejat, Anissa berubah total.
Perangainya yang tadinya manis dan ceria berubah menjadi seorang
gadis yang paranoid dan menutup diri. Anissa bahkan tidak mau
berlama-lama di luar kamar walaupun itu ditemani oleh Dodit
sekalipun.
Hari ini Dodit akan seharian berada di rumah sakit menemani Mbak
Alya karena kondisi Mas Hendra drop lagi. Bu Bejo sudah pulang dan
Opi sekolah, sepertinya hari ini Anis bisa sedikit tenang. Ia merasa
lelah karena setiap hari menangis, Dodit mengira Anissa menangis
karena mengkhawatirkan kakaknya yang masih berada di rumah sakit,
tapi gadis itu sebenarnya menangis karena meratapi nasibnya yang
malang, diperawani oleh seorang pria tua yang bejat menjelang hari
perkawinannya.
"Jangan melamun terus. Sudah makan belum?"
Kaget sekali Anissa mendengar suara itu, siapa yang tiba-tiba saja
masuk ke kamarnya? Apa dia tadi lupa mengunci pintu?
Sosok tua menjijikkan mendekati Anis dengan langkah penuh
keyakinan.
Suara Anissa tercekat dalam tenggorokan ketika ia melihat pria tua
yang telah merenggut kegadisannya tiba-tiba saja sudah berada di
dalam kamarnya! Ia tidak mendengar suara pria busuk itu masuk ke
dalam rumah. Dengan langkah arogan dan pandangan mata bengis
penuh nafsu birahi, Pak Bejo berjingkat-jingkat menuju ranjang Anis.
Mata pria tua itu bersinar-sinar jalang, membuat bulu kuduk si cantik
Anis merinding.
"Ya Tuhan, ini tidak mungkin... tidak mungkin terjadi lagi... tidak lagi..."
bisik Anissa pada diri sendiri. Gadis itu meraih selimutnya yang tebal
dan menutupi tubuhnya yang indah, tapi tentunya sia-sia saja. Dengan
sekali sentak, selimut itu melayang jauh ke pojok kamar, membiarkan
tubuh Anissa terbuka lebar untuk dinikmati sang pria tua yang bejat.
Pak Bejo menubruk tubuh gadis muda itu sebelum Anissa sempat
melarikan diri. Mereka sempat bergumul sesaat di atas ranjang
sebelum akhirnya Pak Bejo berhasil menangkup buah dada Anissa
yang ranum di balik kaos yang dikenakannya dalam cakupan jemarinya
yang kotor.
"Aku dengar seharian ini kamu tidak mau keluar kamar, anak manis?"
tanya Pak Bejo sambil memainkan payudara Anissa yang masih berada
di balik baju. "Kenapa? Kamu malu sudah tidak perawan lagi? Kamu
malu sudah bersetubuh denganku?"
"Dasar bajingan!" desis Anis geram.
"Aku tadi berbincang-bincang dengan Mas Doditmu. Dia mengira kamu
tidak ingin diganggu seharian ini karena sedang tidak enak badan dan
ingin beristirahat, dia sama sekali tidak tahu akulah penyebab semua
ini, dia tidak tahu aku sudah menjebol selaput daramu yang sangat
berharga itu. Dia tidak tahu kalau aku telah memperoleh keperawanan
pengantinnya yang cantik jelita." Pak Bejo terkekeh-kekeh saat
mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan Anissa itu, "Dia tidak
bisa menolongmu waktu kau kuperkosa, jadi jangan harap tunanganmu
itu akan menolongmu sekarang. Mas Doditmu itu sedang menunggu
Pak Hendra di rumah sakit, dia tadi bahkan menitipkan salam
untukmu. Katanya Non Anis yang cantik diminta minum obat supaya
lekas sembuh, makanya aku datang kemari untuk memberikan obat."
Air mata Anissa mulai turun, dia takut sekali.
"Karena disuruh mengantar obat, maka harus saya sampaikan toh?"
Pak Bejo terkekeh lagi. "Ini obatnya..." Dengan gerakan cabul, Pak Bejo
meremas selangkangannya sendiri dan menghunjukkan benjolan penis
di celananya ke wajah Anissa. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan
sebal, ia menghardik Pak Bejo karena kesal. Tapi Pak Bejo merenggut
rambut Anis dan menyentakkannya kuat-kuat sampai-sampai gadis itu
menjerit kesakitan. sekilas tercium bau minuman keras dari mulut Pak
Bejo, apakah pria tua itu sempat mabuk sebelum masuk ke kamarnya?
Anis tidak berani bergerak banyak karena takut oleh ancaman Pak Bejo.
Melihat mangsanya hanya pasrah, tangan Pak Bejo bergerak bebas
meremas-remas payudara ranum Anissa.
"Tolong kasihani aku, tinggalkan aku sendirian..." bisik Anissa lemah,
"tolong..."
"Rasanya Mas Dodit pasti akan sangat berterima kasih seandainya kita
berdua memberinya hadiah yang terindah yang akan selalu ia ingat
sepanjang hidup." Tangan Pak Bejo turun dari dada Anis ke perutnya,
tangan itu menepuk pelan perut langsing Anis, "Hadiah terindah
berupa seorang anak dari kekasihnya tercinta yang didapatkan dari
sperma seorang pria tua buruk rupa."
Anissa menutup mulutnya karena kaget dan takut, dia terhenyak
berdiri dari posisinya yang rebah di ranjang, dia memang sudah
diperkosa Pak Bejo, tapi gadis itu tidak akan mau dihamili oleh sang
pria tua yang menjijikkan itu! Dia tidak sudi! Sayang, walau sudah
berusaha bangkit, tapi tangan nakal Pak Bejo masih tetap erat
memeluk tubuh indahnya.
"Jangan! Saya mohon, Pak! Kita tidak bisa melakukan ini! Saya ingin
menikah dengan Mas Dodit, jangan hancurkan impian saya, jangan
hancurkan kehidupan saya!" air mata Anis menetes membasahi pipi.
Pak Bejo menarik tubuh Anissa dan memeluknya erat, gadis itu
terpaksa mundur ke belakang dan membiarkan tubuhnya bersandar di
perut gendut sang pria tua. Tangan Pak Bejo mulai beraksi, tangan
kanannya menyusuri buah dada ranum Anissa sementara tangan
kirinya menggosok-gosok selangkangan si cantik itu. Anissa sendiri
tak tahan diperlakukan penuh nafsu oleh Pak Bejo, gadis itu bisa
merasakan kejantanan sang pria tua digesek-gesekkan ke pahanya.
Dengan menggunakan mulutnya, Pak Bejo melalap daun telinga Anissa
sambil berbisik kepadanya. "Aku tidak melarang kamu menikah dengan
siapapun, Non Anis. Kamu boleh menikah dengan Dodit atau siapa
saja, aku hanya ingin menyetubuhimu tiap kali aku mau. Itu saja.
Layani aku dengan baik dan aku tidak akan mengganggu hubungan
kalian. Tapi kalau kau melawanku, aku bersumpah, kau tidak akan
pernah merasakan lagi yang namanya cinta kasih sejati! Akan kubuat
Mas Doditmu itu menderita!!"
Anissa bergetar ketakutan dalam pelukan si tua bejat, Pak Bejo bisa
merasakan gerakan tubuh gadis muda itu. Anissa makin bingung, ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Dengan sisa tenaga
yang ia miliki, Anissa menendang tulang kering kaki Pak Bejo dan
meloncat turun dari tempat tidur.
"Auuughh!! Lonthe!!!" maki Pak Bejo geram.
Pak Bejo menjerit kesakitan dan meraung penuh amarah mengejar sang
gadis yang lari ketakutan dalam keadaan panik. Karena harus memutari
ranjang untuk mencapai pintu, Anissa kalah cepat dari Pak Bejo yang
meloncati ranjang dengan beringas, gadis itu kembali tertangkap
olehnya. Dengan kekuatannya yang hebat, Pak Bejo menyeret Anis ke
tempat tidur. Dengan mudah ia memutar tubuh gadis muda itu dan
menghempaskannya ke ranjang. Pak Bejo kemudian melucuti
pakaiannya sendiri, sekali lagi Anis melirik ke arah pintu dan mencari
saat yang tepat untuk bisa melarikan diri.
"Jangan coba-coba." Bentak Pak Bejo saat melepas kemejanya. Ia tahu
apa yang sedang direncanakan oleh gadis muda itu. Karena Anissa
terus melawan, dengan terpaksa pria tua itu mengeluarkan pisau lipat
yang selalu ia kantongi. "Aku tidak mau menggunakan ini, manis. Tapi
kalau sampai kau melakukan hal yang aneh-aneh, aku terpaksa
mengiris-iris tubuhmu dan memberikannya pada anjing tetangga."
Kemarin, ancaman pisau inilah yang mengakibatkan Anissa kehilangan
keperawanannya. Kali ini ancaman pisau Pak Bejo kembali berhasil
berhasil melunakkan perlawanan Anis. Gadis itu terdiam pasrah tanpa
berani melawan, matanya menatap ngeri pada pisau yang diacungkan
oleh Pak Bejo sementara keringatnya mengalir deras. Dengan bebas
Pak Bejo mendapatkan keinginannya.
"Aduh, aku tidak tahan lagi, anak manis. Sejak datang ke rumah ini,
tubuhmu itu selalu membuat penisku ngaceng nggak turun-turun. Hari
ini aku jamin, aku akan memuaskanmu dengan baik sampai-sampai
kau tidak akan mampu berjalan tegak lima hari lima malam, hahaha.
Kau bisa memilih, kita melakukan hal ini bersama-sama dengan lembut
atau aku akan memaksamu melakukannya dengan kasar. Bagaimana?
Pilih yang pertama kan? Kalau setuju, buka pakaianmu itu pelan-
pelan!"
Anissa masih berbaring tanpa daya dan tak mampu mengucapkan kata-
kata. Semuanya berlangsung begitu cepat seperti mimpi buruk yang
tidak kunjung berakhir. Pak Bejo berdiri di depan Anis dengan gelisah
dan tak sabar, pria tua itu sudah melucuti pakaiannya sendiri sampai
hanya mengenakan celana dalam. Anis tahu Pak Bejo pasti akan
memperkosanya dengan cara yang paling menyakitkan seandainya dia
menolak. Satu-satunya jalan agar semua ini berlangsung tanpa rasa
sakit adalah menuruti semua kemauannya. Dengan berat hati Anissa
mencopot kaos dan mulai menelanjangi dirinya sendiri di hadapan
sang pemerkosa.
Satu persatu pakaian yang dikenakan Anissa dilepas, atasan, bawahan
dan BH yang ia kenakan semuanya sudah lepas. Gadis itu hanya
mengenakan celana dalam dan menggunakan pakaian yang tadi ia
lepas sebagai pelindung untuk menutup dadanya yang telanjang.
Anissa bergetar ketakutan sambil menyembunyikan diri dari pandangan
penuh nafsu Pak Bejo. Pria itu tidak kenal kompromi, ia mendekat ke
arah Anis, menarik pakaian penutup dada Anis dengan kasar dan
melemparnya jauh-jauh. "Sekarang celana dalamnya!" bentak Pak Bejo.
"Pak Bejo..." isak Anissa, "tidak bisakah kita..."
"Copot celana dalamnya, atau kau akan menyesal nanti," Pak Bejo
menatap Anis dengan galak sampai gadis itu ketakutan. Sambil terisak,
Anis melepaskan pelindung tubuhnya yang terakhir, celana dalamnya.
"Gadis pintar." senyum puas membentang di wajah pria cabul itu
ketika dia menatap jalang selangkangan Anissa yang telanjang,
"Sekarang berbaringlah ke ranjang dan buka kakimu lebar-lebar."
Anissa menelan ludah dengan rasa takut yang membuncah, tapi gadis
itu mengikuti perintah Pak Bejo. Setelah kembali berbaring di ranjang,
Anis membuka pahanya lebar, memberikan akses pada Pak Bejo
menatap liang kewanitaannya yang memerah. Anis melirik ke bawah
dan melihat Pak Bejo sedang melucuti celana dalamnya sendiri dengan
terburu-buru, penisnya yang berukuran besar melejit keluar seperti
cemeti. Nafas Anis makin berat ketika dia menyaksikan benda yang
sebentar lagi akan dilesakkan ke liang vaginanya yang masih rapat.
Benda itu benar-benar sangat besar, akan terasa sangat menyakitkan
seandainya dimasukkan ke dalam kemaluannya. Perut Anissa melintir
dan mual menyaksikan ukuran kemaluan Pak Bejo, karena takut, gadis
itu kembali menutup kakinya rapat saat Pak Bejo mulai merangkak di
atas ranjang mendekati mangsanya.
###
Anton meraih pena dan menandatangani surat cerai dengan tangan
gemetar. Tiap goresan di atas kertas bagaikan pisau yang merobek-
robek hati Dina. Seperti inikah akhir pernikahannya dengan Mas Anton?
Seperti inikah berakhirnya masa-masa susah senang yang telah
mereka arungi berdua bersama? Benarkah suaminya itu tega menjual
istri untuk melarikan diri dari hutang dan tanggung jawab? Walaupun
di kemudian hari Anton, Dina dan anak-anak tidak akan pernah
kekurangan uang lagi, tapi...
"Selamat tinggal... sampaikan maafku pada anak-anak... " bisik Anton
lemah, tidak ada kekuatan dalam ucapan itu. Suara Anton terdengar
seperti seorang lelaki yang sudah kalah perang. Anton menatap wajah
Dina untuk yang terakhir kali, lalu mencium wanita jelita itu dengan
penuh kasih sayang, sebuah ciuman terakhir. Dengan langkah tertatih
Anton meninggalkan ruangan sambil membawa file-file kepemilikan
modal, rumah dan tanah di kota lain yang diberikan oleh Pak Pramono.
Entah masa depan seperti apa yang akan ia hadapi nanti, yang jelas,
Dina dan Anton tidak akan pernah bertemu kembali.
Dina melepas kepergian suaminya dengan tertunduk lesu. Airmatanya
sudah kering dan ia tak mampu lagi menangis. Inikah kelanjutan
hidupnya? Menjadi menantu Pak Bambang yang pernah menidurinya?
Sebuah foto yang berada di atas meja menjadi ketakutan lain bagi
Dina, apakah ia akan bersedia menjadi istri seorang lelaki yang tidak
saja buruk rupa namun juga idiot?
Dina tahu, demi masa depan anak-anaknya dan demi kelangsungan
hidup mereka, itulah kehidupan baru yang harus dijalaninya. Di bawah
payung perlindungan Pak Bambang, Dina dan anak-anak tidak akan
pernah lagi hidup kekurangan, walaupun untuk mendapatkan semua
ini, dia harus menjual diri.
Dina menandatangani surat cerai dengan Anton. Ia tidak menangis
sama sekali.
Pak Pramono menyalami Pak Bambang atas keberhasilannya
mendapatkan seorang menantu yang sangat cantik dan seksi.
###
Lidya mengelap keringat yang menetes di kening. Akhir-akhir ini sinar
matahari sangat panas dan menusuk kulit. Si cantik itu geleng-geleng
melihat banyaknya cucian yang diberikan oleh Pak Hasan, sudah
berapa hari si tua itu tidak mencuci pakaian? Jangan-jangan dia
memang sengaja tidak mencuci baju agar bisa mengerjai Lidya? Satu
demi satu baju dan celana yang dijemurnya di tali-tali yang sengaja
dipasang.
Lidya sudah tidak mempedulikan lagi penampilannya yang seronok, ia
ingin semua pekerjaan hari ini segera selesai dan ia bisa istirahat. Ia
sudah tidak peduli lagi pada angin nakal yang berhembus dan
melambai-lambaikan bagian bawah kemeja yang ia kenakan. Si cantik
itu tidak mengenakan sehelai bajupun kecuali satu kemeja berukuran
besar yang diberikan oleh Pak Hasan. Saat angin berhembus meniup
bagian bawah tubuhnya, selangkangan Lidya terbuka dan menerima
langsung desiran angin yang mengenai kulit dan bibir kemaluannya.
Tanpa sepengetahuan Lidya, penampilan hotnya ternyata mendapat
perhatian langsung dari sebelah rumah. Seorang pembantu rumah
tangga yang kebetulan sedang membersihkan rumput secara tidak
sengaja melihat wanita cantik itu dengan pakaian seronok sedang
menjemur pakaian.
Pemandangan yang sangat indah.
Pembantu itu geleng-geleng kepala, dulu sewaktu pasangan muda
Andi-Lidya baru datang menempati rumah sebelah, Lidya langsung
menjadi perhatian banyak lelaki di sekitar sini, baik yang sudah
menikah maupun yang masih bujang. Penampilan wanita cantik itu
sangat modern dan hot, membuat setiap mata yang memandang
blingsatan, tapi baru sekali ini pembantu itu memperoleh hadiah yang
menyenangkan, tubuh seindah itu dipamerkan seenaknya, benar-benar
nekat Bu Lidya... seandainya saja dia bisa menikmati tubuh indahnya...
ah... mimpi...
Pembantu itu tak bergerak sedikit pun, hanya memandang setiap
gerakan gemulai Lidya. Tapi sayang pertunjukan itu tak berlangsung
lama, setelah sekitar sepuluh menit menjemur pakaian, Lidya turun
kembali ke lantai bawah. Sang pembantu tersenyum puas, ia memang
tidak akan pernah bisa mencicipi keindahan tubuh nyonya tetangga,
bagai pungguk merindukan bulan, tapi begini saja dia sudah puas.
Sang pembantu kembali melanjutkan tugasnya memotong rumput
dengan senyum tersungging di bibir.
Dari balik jendela kamar, Pak Hasan mengelus-elus dagu sambil
mengamati gerak-gerik sang pembantu tetangga. Beberapa saat
kemudian terdengar suara langkah kaki Lidya turun dari tangga dan
melewati Pak Hasan.
"Nduk, sudah selesai menjemurnya?"
"Sudah, Pak."
"Omong-omong, apa kamu kenal dengan pembantu tetangga sebelah
kiri kita ini?" tanya Pak Hasan sambil menunjuk rumah sebelah dari
jendela tempatnya bersandar. "Siapa namanya?"
"Pembantu sebelah? Yang laki atau perempuan?"
"Yang laki." Pak Hasan menunjuk ke luar jendela. "Itu, yang sedang
memotong rumput."
Lidya melihat keluar jendela dan mengenali sosok sang pemotong
rumput. "Mas Marto?" Lidya menatap mertuanya curiga, "Kenapa
memangnya?"
Pak Hasan hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ah nggak..."
Ada senyum aneh menghias bibir lelaki tua itu, senyum yang membuat
bulu kuduk Lidya berdiri. "Dulu kita pernah jalan-jalan ke mall.
Bagaimana kalau besok pagi kita jalan-jalan ke pasar, Nduk?" tanya
Pak Hasan sambil menyeringai lebar, "kita bisa beli sayur-sayuran dan
ikan segar."
Mata Lidya terbelalak ketakutan. Ke pasar? Kalau ingat apa yang
dilakukan Pak Hasan saat mereka pergi ke mall tempo hari, pergi ke
pasar bersama Pak Hasan bisa jadi hal yang menakutkan untuk Lidya.
Pak Hasan terkekeh melihat menantunya panik. Besok pagi pasti akan
menyenangkan sekali.
###
Ruang VIP tempat Hendra dirawat sangat sunyi siang itu, Alya dan
Dodit yang biasa menemani Hendra turut tertidur karena kelelahan.
Alya terlelap di pembaringan penunggu pasien di samping ranjang
Hendra, sementara Dodit duduk di kursi. Dodit lebih memilih menemani
calon kakak iparnya karena di rumah Anissa bertingkah laku aneh tidak
seperti biasanya. Gadis itu juga tidak menjawab SMS maupun
misscallnya, entah apa yang telah terjadi kepada gadis tunangannya
itu sehingga sikapnya berubah total. Sendirian saja di ruangan yang
sepi, Doditpun akhirnya tertidur, ia terlelap sambil duduk di kursi.
Setelah beberapa kali kepalanya tersentak ke bawah, Dodit terbangun
dari tidurnya. Saat ini dia masih berada di kamar VIP Mas Hendra.
Calon kakak iparnya itu masih tergolek lemah di ranjang rumah sakit,
tertidur oleh pengaruh obat yang menenangkan, entah kapan Hendra
bisa mulai sadar dan berinteraksi kembali, hari ini kondisi
kesehatannya sangat drop dan sempat mengkhawatirkan, namun
dokter sudah datang dan mengisyaratkan kalau Hendra hanya harus
beristirahat total.
Kamar VIP yang dihuni oleh Hendra memiliki fasilitas berlebih, terdapat
satu pesawat televisi, kamar mandi, lemari pendingin, bahkan terdapat
satu ranjang tambahan untuk penunggu pasien. Pembaringan itu
biasanya dipakai Mbak Alya, kalau harus bermalam, Dodit memilih tidur
di lantai beralaskan tikar tebal.
Siang itu Dodit tertidur saat duduk di kursi sementara Mas Hendra dan
Mbak Alya terlelap di ranjang masing-masing. Dodit merenggangkan
tangan dan menguap lebar-lebar, capek dan pegal sekali rasanya.
Tiba-tiba terdengar suara desahan.
"Ohh... ehhhmmm..."
Suara apa itu? Dodit melirik ke arah Mas Hendra, masih tetap tidur
dengan tenang, siapa yang tadi mendesah? Kali ini Dodit melirik ke
arah Mbak Alya. Pemuda itu langsung terkesiap dengan pemandangan
indah yang ia lihat. Alya yang sedang tidur nyenyak tanpa sadar
menarik rok yang ia kenakan hingga tersingkap ke atas. Mungkin
sekali, Alya juga tengah bermimpi sedang bermain cinta dengan
seseorang karena desahan-desahan erotis kadang terdengar lirih dari
mulutnya. Dengan pandangan yang menatap tajam ke arah paha mulus
Alya, Dodit menelan ludah.
Berulang kali Dodit mengusap muka dan berusaha menekan hawa
nafsunya, pemuda itu sudah mencoba mengalihkan pandangan ke
jendela, tabung oksigen, meja, keranjang buah, televisi, tapi tidak ada
satupun yang berhasil menghilangkan pikirannya yang mesum pada
Mbak Alya. Sekali lagi Dodit melirik ke arah Alya, alangkah indahnya
pemandangan yang ia saksikan. Paha mulus Mbak Alya sudah terlihat
utuh hingga sampai ke selangkangannya. Sedikit lagi rok itu tertarik ke
atas, Dodit pasti bisa melihat celana dalam yang dipakai oleh calon
kakak iparnya itu.
Dodit mengerang, batinnya berkecamuk, terjadi perang antara akal
sehat dan nafsu birahi. Dodit menggelengkan kepala mencoba
menghapus pikiran busuknya. Mbak Alya adalah calon kakak iparnya.
Calon kakak iparnya! Pemuda macam apa dia ini? Tidak tahu malu!
Sebentar lagi dia akan menikah dengan seorang gadis yang alim dan
manis yang telah susah payah menjaga keperawanan hanya untuk
dipersembahkan padanya, sedangkan dia malah nafsu melihat
keseksian kakak ipar tunangannya. Tidak, Dodit ingin menjadi pria
yang baik dan setia bagi Anissa.
Dodit mencari-cari bungkus rokok di dalam kantong sakunya, ia
menjumput satu batang, menjepit rokok itu dengan bibir lalu mencari-
cari korek gas di dalam saku lain. Satu-satunya cara untuk menghapus
pemandangan indah ini adalah dengan merokok di teras di luar kamar
dan...
Rokok Dodit jatuh ke atas lantai. Mulutnya menganga.
Rok Alya tersingkap makin naik, seluruh pahanya sudah bisa terlihat
dengan jelas, bahkan kini celana dalamnya pun sudah terlihat
seutuhnya. Celakanya, calon kakak ipar Dodit itu mengenakan celana
dalam yang tipis menerawang sehingga Dodit bisa melihat apa yang
ada di balik celana dalam. Mulut pemuda itu menganga karena
terkesima, sangat indah! Sangat indah sekali!
Pikiran alim Dodit sudah melesat meninggalkan raganya. Buru-buru
pemuda itu mengambil telepon genggamnya dan segera menyiapkan
handphone. Ia tidak akan melewatkan pemandangan seindah ini! Mas
Hendra dan Mbak Alya sudah sama-sama lelap dan tidak akan sadar
Dodit mengambil gambar-gambar seksi calon kakak ipar dengan
kamera telepon genggamnya. Pemuda itupun segera menggunakan
kamera handphone untuk mengambil gambar paha dan selangkangan
mulus Alya dari berbagai sudut.
Setelah puas mengambil gambar, Dodit melangkah masuk ke kamar
mandi, mengunci pintu dan membuka celananya. Ia melucuti celana
yang ia kenakan berikut celana dalamnya, setelah itu Dodit membasahi
kemaluannya dan mengambil sabun. Sambil membuka file gambar yang
berisikan pemandangan paha dan selangkangan Alya, pemuda itu
memuaskan birahinya dengan mengocok kemaluannya.
"Uhhhhmmm... Mbak Alya... ohhhhmmm... Mbak Alyaaaa..." desahan
memanggil nama calon kakak ipar keluar dari mulut Dodit. Seluruh
perasaan galau karena selalu gagal menggauli Anis tumpah ruah kali
ini dan yang menjadi fantasi pemuda itu tak lain adalah calon kakak
iparnya yang sangat seksi.
###
Sambil berlutut di hadapan kaki Anis yang ditutup rapat, Pak Bejo
menggeram. "Buka kakimu! Jangan main-main, anak manis! Aku tahu
kalau sebenarnya kau merindukan penisku yang keras ini menjejal di
dalam liang memekmu, kan?" tangan Pak Bejo menggenggam erat
pergelangan kaki Anissa. Gadis muda itu berusaha melawan dan
meronta, tapi Pak Bejo terlalu kuat, ia berhasil membuka paha Anis
dengan sedikit paksaan.
Anissa mengerang takut ketika Pak Bejo menarik pergelangan kakinya.
Kedua kaki Anis kini diletakkan di samping pinggul Pak Bejo. Pantat
Anis diangkat dari tempat tidur sementara pria tua itu meremas-remas
pantat sang gadis muda yang ketakutan di depannya. Pak Bejo
merenggangkan kaki Anis lebih lebar lagi dan ia membungkuk ke
depan, membimbing belalainya yang mulai membesar ke arah memek
Anis.
Anissa menahan nafas karena takut, ia merasakan kengerian
membuncah di dalam hati ketika bibir kewanitaannya bersentuhan
langsung dengan kontol besar Pak Bejo. Dengan senyum menggoda,
Pak Bejo mengoles-oleskan ujung gundul kemaluannya ke bibir bawah
vagina Anis, rangsangan itu membuat cairan cina Anis meleleh tanpa
bisa dibendungnya. Pak Bejo menggerakkan kontolnya naik turun dan
dengan sengaja dioles-oleskan ke bibir kemaluan sang dara, pria tua
itu seakan meratakan cairan cinta yang meleleh di bibir kemaluan Anis
ke seluruh bagian bibir vaginanya.
Akhirnya, dengan penuh nafsu, pria tua bejat itu menatap lekat mata
Anis. "Saatnya melakukannya, ya sayang?" Pak Bejo terkekeh sadis.
Anissa menggeleng dan mencoba meronta, tapi ia tidak mampu
berbuat banyak karena selain kakinya dijerat oleh kaki Pak Bejo, kini
giliran kedua lengannya ditahan di sisi ranjang oleh tangan sang lelaki
tua bejat. Ingin rasanya Anis berteriak, tapi ia tahu sia-sia saja
melawan pria tua menjijikkan ini.
Dengan satu sentakan penuh tenaga, Pak Bejo mendorong penisnya ke
depan, masuk ke dalam memek Anissa dengan satu tusukan yang
sangat menyakitkan, Anissa melenguh karena kaget dan merasa perih,
bibir memeknya terbelah dan vaginanya menelan batang kontol Pak
Bejo. Ukuran penis Pak Bejo yang besar memenuhi rapat liang
kewanitaan Anis. Tak mau menahan diri lagi, Pak Bejo terus
menyorongkan kemaluannya hingga ujung terdalam vagina Anissa.
Terdengar suara kecipak becek memek Anis, tak terasa, seluruh batang
kemaluan Pak Bejo telah melesak ke dalam. Anissa menarik nafas yang
terasa berat, matanya terbelalak dan ia bisa merasakan ukuran
sesungguhnya dari penis Pak Bejo yang kian lama kian membesar di
dalam memeknya.
"Hrghhh!! Bisa kau rasakan itu, manis? Memekmu yang rapet
meremas-remas kontolku!" Pak Bejo tertawa menghina, "pasti ini
pengalaman baru bagimu ya sayang? Enak kan dientoti terus sama Pak
Bejo? Kalau sudah merasakan kontolku, aku yakin kamu tidak akan
mau disetubuhi calon suamimu yang kontolnya seupil itu!"
"Tidak mauu..." Anissa merintih, kesadarannya mulai melayang karena
rasa sakit yang ia rasakan mulai menguasai seluruh tubuhnya. Tangan
kotor Pak Bejo merenggangkan bokong Anissa dengan kasar, lalu
sambil menggemeretakkan gigi dengan gemas, Pak Bejo menusuk
memek Anis sekuat tenaga. Anis memejamkan mata, besarnya ukuran
penis Pak Bejo membuatnya merem melek, ia bisa merasakan tiap
sudut batang kemaluan pria tua cabul itu, tiap urat yang menonjol,
benjolan kecil atau permukaannya yang kasar, semua bisa ia rasakan.
Pak Bejo menggiling liang kewanitaan Anis dengan gelombang
serangan bertubi-tubi sampai akhirnya ujung gundul kontol Pak Bejo
menabrak ujung terdalam liang rahim gadis muda itu.
Anissa mengembik kesakitan, ukuran penis besar milik Pak Bejo
membuatnya tak bisa menahan air mata yang mengalir. Seakan-akan
sebatang tiang listrik dilesakkan ke dalam kewanitaannya. Sambil
meringis kesakitan, Anis berusaha meronta dan melepaskan diri dari
tusukan Pak Bejo. Selangkangannya terasa sangat panas dan nyeri,
namun ketika dia meronta, gerakannya malah membuat Pak Bejo makin
keenakan. Pria tua itu sudah gelap mata dan terus menusuk ke depan,
menimpakan seluruh berat tubuhnya ke badan Anissa.
"Oooohhhh, memekmu rapet bangeeet!" Pak Bejo terengah-engah
menyetubuhi Anissa. Ia menarik bokong gadis itu ke belakang dan
tubuh mereka saling menampar dengan penis yang masih tertanam di
dalam vagina Anis. Kemaluan Pak Bejo merenggang hingga ke ukuran
terbesarnya, ia menggoyangkan pinggulnya dan menggiling liang
kewanitaan Anissa sampai ke dalam leher rahimnya.
"Mas Dodit... maafkan akuuu... a-aku tidak kuat..." desah Anissa dalam
keputusasaannya, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar dan
menyerah dalam pelukan sang lelaki tua. Ia belum pernah merasakan
gelombang kenikmatan seperti ini menyapu seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan, Anissa mulai menggoyangkan pantat agar kemaluan
Pak Bejo bisa masuk ke dalam memeknya lebih dalam lagi.
Pak Bejo puas melihat takluknya Anissa. "Enak kan sayang? Enak kan
kontolku? Bisa kau rasakan gerakan kontolku di dalam liang rahimmu,
sayang? Bisa kau rasakan geliat kontolku di dalam liang yang telah
aku perawani? Bagaimana rasanya disetubuhi seorang pria sejati,
sayang? Berbaringlah dan rasakan kenikmatan permainan cinta yang
sesungguhnya." Tiap kata yang diucapkan Pak Bejo bagaikan pisau
yang menusuk perasaan Anissa, dia terhina sekaligus
menginginkannya.
Karena gerakan pantat Anissa itu melambat, Pak Bejo menarik pinggul
gadis itu dan memompakan tubuh mungilnya itu ke arah kemaluannya
yang masih tertanam di dalam memek. Pak Bejo menarik kemaluannya
keluar dari memek Anissa, menimbulkan rasa sakit karena gesekan
yang membakar dinding kewanitaan liang cinta Anis. Lalu dengan
kecepatan tinggi, pria tua bejat itu menumbuk vagina Anissa tanpa
ampun, berulang kali menusuk hingga terdengar suara kecipak
campuran air cinta Anis dan penyerangnya.
"Oghh! Ouughhhhh! Ougggggggghh!!" Anissa mengerang tak berdaya.
"Ahhhh!! Ahhhh!!"
Detik demi detik berlalu, Anissa memejamkan matanya, gerakan Pak
Bejo makin lama makin stabil, dia ingin seperti ini terus, nikmat luar
biasa yang berasal dari selangkangannya membuat Anissa terbang ke
angkasa, ia tidak ingin Pak Bejo berhenti. Ia ingin terus disetubuhi.
Sejenak Anissa lupa, bahwa pria yang tengah memberikan kenikmatan
ini bukanlah orang yang pantas menjadi suaminya.
Kontol tua Pak Bejo keluar masuk dengan mantap menyetubuhi memek
Anissa yang basah oleh cairan cinta. Ketika membuka matanya, Anissa
mengalihkan pandangan ke arah cermin yang berada di meja riasnya.
Bayangan yang berada di cermin membuat gadis itu bergidik ngeri.
Tubuh gemuk sang pria tua memeluk erat paha Anis sambil memaju
mundurkan pinggul untuk melesakkan kemaluan ke dalam vaginanya.
Anissa menatap cermin dengan pandangan tak percaya namun pasrah,
ia benar-benar sedang disetubuhi oleh Pak Bejo, orang yang juga telah
memerawaninya. Yang lebih menyakitkan lagi bagi Anissa adalah,
karena Pak Bejo adalah orang pertama yang memerawaninya, ia merasa
begitu nikmat bersetubuh dengan pria tua itu, ia ingin lagi... lagi... dan
lagi.
Nafas pria tua itu menjadi lebih pendek dan kembang kempis beberapa
menit kemudian, begitu juga dengan gerakan maju mundurnya yang
makin lama makin cepat. Ujung gundul kemaluan Pak Bejo makin
membesar dan bisa dirasakan perubahannya oleh Anissa. Gadis itu
membelalakkan mata dengan ngeri, inilah dia saatnya, pria tua itu akan
orgasme di dalam vaginanya! Bayangan tubuhnya yang seksi di bawah
pelukan lelaki tua gemuk buruk rupa yang menyemprotkan cairan
sperma hangat di dalam vaginanya membuat Anissa muak. Apa yang
akan terjadi seandainya ia hamil nanti?
"Ja-jangan di dalam... jangan... aku tidak mau hamil..." protes Anissa di
sela-sela desahan nafsunya.
"Diam saja, anak manis." Sergah Pak Bejo.
Saat yang dinanti pun tiba, Pak Bejo mengangkat kepalanya dengan
penuh kenikmatan, ia melolong pelan dan bulat matanya berputar ke
belakang hingga hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Pria tua itu
benar-benar mengalami sensasi kenikmatan yang luar biasa. Anissa
memang kalah jelita dibanding Alya yang jauh lebih feminin dan lebih
matang, tapi vaginanya yang masih rapat memberikan kenikmatan
hingga ke atas awan. Pak Bejo memeluk Anis erat-erat dan
menyemprotkan semburan hangat air maninya ke dalam memek dara
muda yang basah itu. Anissa hanya bisa terisak histeris karena dia
tidak ingin hamil oleh sperma pria busuk ini.
Pak Bejo ambruk ke atas tubuh Anissa. Gadis itu masih terus terbaring
di bawah tubuh Pak Bejo yang gemuk sambil menangis sesunggukan.
Ia bisa merasakan kontol Pak Bejo yang masih tertanam di dalam liang
rahimnya perlahan mengulir keluar. Mereka terdiam seperti itu untuk
beberapa saat lamanya sampai Anissa mulai merasakan berat tubuh
Pak Bejo membebaninya. Dengan tenaga yang tersisa, Anis bergerak ke
samping mencoba melepaskan diri dari pelukan Pak Bejo. Lelaki tua itu
mengerang malas dan ambruk ke samping dengan wajah memerah
karena kelelahan.
Puas sekali rasanya ia bisa menikmati tubuh Alya dan adik iparnya,
Anissa. Dua hari ini Pak Bejo merasakan nikmatnya hidup bagai
seorang raja yang memiliki banyak harem. Suara berkecipak menandai
lepasnya kemaluan lelaki tua itu dari bibir vagina Anis, air cinta yang
bercampur di dalam memek Anispun ikut menetes keluar, leleh seakan
menangis.
Anissa memejamkan mata di samping Pak Bejo tanpa berani
mengeluarkan sepatah kata, gadis cantik itu terbaring dengan kaki
yang terbentang lebar usai digauli dan air mata yang mengalir deras
membasahi pipi. Pak Bejo meringis puas sambil menatap tubuh
telanjang Anissa dari kepala hingga ke ujung jempol kaki. Keindahan
tubuh gadis muda ini telah menjadi miliknya.
"Bagaimana rasanya disetubuhi pria tua seperti saya, Non Anis?" Pak
Bejo terkekeh puas, "Kok diem aja? Pasti enak ya merasakan penis
besar seperti yang aku punya? Kalau nggak percaya, coba saja rasakan
punya Dodit, pasti kalah. Berani jamin."
Sambil tertawa terbahak-bahak, tangan Pak Bejo maju ke depan,
menyelip di antara paha Anis yang basah dan menangkup bukit
kemaluan lembut gadis itu. Anissa terisak lagi tanpa bisa berbuat
banyak. Ia hanya bisa membiarkan jari jemari nakal Pak Bejo
mempermainkan bibir vaginanya. Pria tua itu membuka lebar-lebar
bibir kemaluan Anissa sampai-sampai gadis itu merasa risih, apalagi
cairan cinta bercampur sperma Pak Bejo masih meleleh keluar dari
sela-sela bibir kemaluan Anissa.
"Wah wah! Banyak juga tadi aku nyembur, kasihan sekali kamu, anak
manis. Hahaha." Pak Bejo tertawa melihat spermanya yang putih kental
meleleh keluar dari memek gadis yang baru saja ia gauli. Pria tua bejat
itu berdiri meninggalkan ranjang, kontolnya yang besar terkibas
kesana sini. Setelah mengenakan celana dan baju, Pak Bejo melirik ke
arah Anissa dengan pandangan jumawa.
Untunglah kemudian Pak Bejo memutuskan untuk meninggalkan
Anissa. "Tubuhmu lezat sekali rasanya, anak manis. Besok pasti aku
datang lagi untuk mencicipimu. Siapkan memekmu dan usahakan kali
ini lebih bisa mengimbangi permainanku, jangan diam saja seperti
kayu. Hahaha." Tawa Pak Bejo bagaikan pisau yang mengiris-iris
perasaan Anissa. Pria tua yang menjijikkan itu bahkan masih tetap
tertawa saat telah melangkah keluar dari kamar Anis, seakan-akan
kata-katanya yang cabul adalah hal yang sangat lucu baginya.
Setelah Pak Bejo pergi, Anis berlari ke kamar mandi. Selangkangan
gadis itu terasa panas dan gatal, bibir vaginanya membengkak dan
basah oleh air mani Pak Bejo. Ia merasa sangat kotor. Anissa jongkok
di pojok kamar mandi dan membiarkan air shower menghujani
tubuhnya tanpa henti, jari-jarinya bergetar saat ia membuka perlahan
bibir vaginanya yang masih terasa sakit, sperma Pak Bejo menetes dari
dalam liang cintanya.
Anis ingin menyemprot bersih-bersih kemaluannya dengan air tapi
gadis itu tahu semprotan air yang masuk malah akan mendorong dan
memperbesar peluang sperma itu membuahi sel telurnya, ia bukan
gadis bodoh. Gadis itu terdiam di pojok sambil berharap sperma Pak
Bejo sudah keluar semua dari memeknya.
Matanya sembab karena tak berhenti menangis. Ia bingung, ia ingin
bertemu sekaligus ingin berpisah dengan Dodit, ia merasa kotor dan
tak berharga lagi baginya, ia hanyalah seorang gadis yang sudah
kehilangan kesucian akibat diperkosa seorang lelaki tua yang tidak
akan bertanggung jawab.
Tak kuat rasanya gadis itu menanggung semua beban, ingin rasanya ia
bunuh diri saja.
###
Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari
biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur
beberapa menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda
berkulit gelap menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak
tanpa mengeluh, sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya
menghitung karung dan meletakkannya di timbangan besar di mana
seorang lelaki lain mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali
mengelap keringat yang menetes dari dahi dengan menggunakan
handuk kecil yang ia selampirkan di leher, berkali pula ia menarik topi
kerucut yang ia kenakan dan ia kipas-kipaskan ke wajah untuk
memberikan angin.
"Panas banget si... hari ini." keluh sang pria paruh baya.
"Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo... apa tuh... yang
disebut-sebut di tipi itu ya?" timpal sang pengukur timbangan.
"Pemanasan global kali maksudnya?" jawab sang pria paruh baya
sambil mengerutkan kening.
"Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang
itu." Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.
Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur
timbangan. Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui
mereka, sosok yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang
sedang menurunkan karung beras berhenti bekerja karena takjub.
"Buset! Apaan tuh yang barusan, bang?" tanya sang pengukur
timbangan sambil mengucek mata. "Beneran kagak yang lewat?
Beneran yah?"
Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil
geleng-geleng tak percaya. "Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu
beneran."
Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang
menurunkan beras terpukau?
Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali
ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua
dengan mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang
berada sedikit jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko
berjalan-jalan di pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut
akan ketahuan beberapa orang kenalan atau tetangga.
Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya
berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar
pinggulnya, dia sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-
orang pasar, tapi mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal
ampun. Seperti waktu berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju
yang sama sekali tidak sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke
dalam pasar.
Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas
dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan
tipis. Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk
tubuh Lidya untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di
dalam pasar. Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan
seorang penonton pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola.
Buah dada Lidya bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring
gerakan lenggok pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena
sempitnya pakaian dan tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa
melihat ujung puting buah dada Lidya menjorok ke luar seakan minta
diselamatkan dari sempitnya pakaian yang ia kenakan. Ukuran buah
dada Lidya yang besar membuat pakaian itu sulit dikancingkan, ia
hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang dengan sengaja
mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing yang terbuka.
Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan
memaksa Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita
setinggi Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar
tanpa dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam
menimbulkan decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari
para penjual, khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya
hanya bisa melindungi kira-kira beberapa cm saja dari
selangkangannya, jika menantu Pak Hasan itu memaksa jongkok atau
membungkuk, orang yang berada di depan atau belakangnya bisa
melihat celana dalam jaring-jaring yang ia kenakan. Jaring-jaring itu
tidak melindungi apapun, karena seandainya cermat melihat dan
mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan membayang.
Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena
dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi
dari pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar.
Berbeda dengan keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo
hari, kala itu banyak lelaki yang melirik namun malu-malu
memandang. Tapi kini, hampir semua lelaki memandang ke arahnya
tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang menyiulinya dan berkomentar
menjijikkan.
"Pak, sudah ya pak... kita pulang saja... aku takut... malu..." bisik Lidya
pada sang mertua yang menggandengnya.
"Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa
harus malu?"
"Tapi itu kan di mall, ini pasar... lagipula..."
"Hh... apa bedanya mall dengan pasar?" senyum lebar menghiasi wajah
menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.
"Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada
di belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk." Kata
Pak Hasan sambil terkekeh pelan.
Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra,
tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa
lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar
adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat
pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang
banyak orang untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron
yang sedang dikejar-kejar oleh banyak wartawan.
Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada
yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti
cewek cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti
pualam bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas
rata-rata seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang
lebih hebat lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun
juga sangat menggugah nafsu birahi.
Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara
tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh
seorang ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar
berisi makanan anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang
membawa plastik berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil
berkali-kali merobek plastik hingga bertaburan karena tak bisa
berkonsentrasi. Singkat kata, kehadiran Lidya benar-benar membuat
heboh pasar kecil itu.
Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan
survey terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak
pemuda dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat
bilyard kecil yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian
besar laki-laki penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan
mengajak Lidya.
Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang
mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan
panik namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju
mertuanya ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan
mertuanya membawanya ke sarang preman pasar?
Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak
bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di
pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa
meja bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna,
tapi tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk
bermain judi kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di
ruangan itu tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke
ruangan dengan nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya
dengan lengan dan berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas,
tentunya usaha itu sia-sia.
"Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin 'mengamen' di sini."
Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang
memandangnya heran dan galak. "Saya tidak akan menyanyi atau
bermain gitar, tapi menantu saya ini hendak menghibur anda-anda
semua dengan menari. Ada yang mau lihat?"
Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan
girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan
beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.
"Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini?
Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa
masih belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku
bersedia masuk ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat
tidak akan ada orang yang menyentuhku lagi." bisik Lidya pada
mertuanya dengan geram, "Aku tidak mau melakukannya! Pokoknya
tidak!"
"Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini
peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri
anakku! Semua permintaanku harus kau turuti!" Bisik Pak Hasan di
telinga Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan
sekuat tenaga, Lidya mengernyit kesakitan karenanya, "Menarilah
dengan erotis, jangan lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu
striptease, cukup buka baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan
pantat pasti sudah cukup untuk membuat mereka puas."
"Ini gila... aku tidak mungkin..."
"Tidak mungkin apa, Nduk?"
Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan serigala-
serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan, jadi
apapun yang dia minta harus diturutinya.
"Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa
padaku." Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah
pasrah, ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi
Lidya, mimpi buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di
dekat pasar, di sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki
kasar biasa bermain bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang
dia tidak akan benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH
tipis dan celana dalam menerawang di depan banyak lelaki buas
seperti ini sama saja seperti menari telanjang, sama saja parahnya.
"Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari
ini kecuali milikku." Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan
sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya
ingin menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar
kalau sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya
semua perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena
ketakutan. Lidya menundukkan kepala karena malu yang luar biasa,
wajahnya memerah dan keringat dinginnya mengalir tanpa henti,
tangannya meremas-remas pinggiran rok mininya dengan cemas.
"Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan
menikmati pertunjukan gratis ini!" kata Pak Hasan, dia meletakkan satu
tape kecil yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja
bilyard kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.
"Goyang! Goyang! Goyang!" hampir bersamaan, para penonton
berteriak-teriak.
"Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil melenggak-
lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam saja,
tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan
meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada
orang-orang itu... bagaimana?" bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi
itu mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?
Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa
ia menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling
menonton keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume
musik yang sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan
badannya. Goyangan pinggul dan pantat bulat si cantik itu langsung
menghipnotis dan mempesona tiap orang yang menonton. Wajah
mereka langsung memerah menahan nafsu melihat wanita secantik
Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan mesum dan
siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar
mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah,
Lidya pernah mengikuti kursus modern dance.
"Buka! Buka! Buka!" teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada
pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri
sebelum para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan
gerakan perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu,
Lidya melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya
yang sentosa menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna
putih. Guncangan buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur
dan buah-buahan, ingin rasanya mereka melihat balon buah dada
Lidya meloncat keluar dari ketatnya bh yang menutupnya.
Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya
mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke
pojok ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya
mengenakan kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat
para preman pasar asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton
yang berada di ruangan itu pun bersorak sorai dan bertepuk tangan
melihat kemolekan Lidya. Dengan goyangan erotis yang mengundang
syahwat, Lidya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu. Lidya
sengaja beberapa kali memejamkan mata karena tak kuat menahan diri
yang ingin menangis menari setengah telanjang di hadapan mata para
lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya yang bulat
sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan
pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat
seakan mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru
meminta Lidya mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau
dua kali, tentu saja seruan itu selalu ditolaknya.
Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit
yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak
Hasan menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani
keringat yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih
pualam bagai digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit
mengagetkan Lidya, pria-pria buas dan kotor yang baru saja
menyaksikannya menari terlihat bagaikan serigala kelaparan yang
sudah siap menubruknya.
"Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa
berhenti? Merangsang pisan euy..." kata Pak Somad yang sehari-hari
berjualan buah-buahan segar.
"Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di
sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan
menantu saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada
ongkos yang harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya
ijinkan mendekatinya." Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat
orang-orang yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena
kecewa. Ia melemparkan baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk
dikenakan kembali.
"Yaaaah... masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya!"
keluh Pak Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya
yang juga kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam
celana, tangan itu tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan
paksa, akhirnya tangan itu ditarik keluar dengan kecewa.
Pemandangan indah adegan tari striptease Lidya memang membuat
pria itu tadinya tak tahan, dia tak peduli kalaupun harus coli di depan
teman-temannya.
"Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah
akhir dari pertunjukan ini." Pak Hasan tersenyum lebar mendengar
nada kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, "dia ini menantu
saya, boleh dilihat, tidak boleh dipakai."
"Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak?" tanya
Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan
melihat Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat
Ngadi lupa pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong
plastik berisi uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan
untuk istri di rumah dan modal berjualan mainan esok hari.
Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk
Pak Ramin. "Wah -wah, Ngadi... Ngadi! Jangan belagu kamu, punya
duit dari mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu
bayar pake apa? Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari
bulan kemarin!"
Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang.
Menggantikan posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di
pasar itu. Pria keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan.
"You minta berapa duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun
harganya aku bayar."
"Ha ha ha... aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam?" Pak Ramin ribut
lagi. "Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat... ha ha ha..."
Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah
Aseng yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari.
Dua orang laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati
Pak Ramin. Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani
berkomentar macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua
premannya yang terkenal ganas.
Pak Hasan menggelengkan kepala. "Sepertinya semua orang di sini
belum mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh,
dipakai jangan."
Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali lagi.
Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam.
"Ayolah, Pak." Kata Abah Aseng. "Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak
lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu.
Jadi gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak
tau terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak
turun tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di
pasar ini? You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku
yang rawat anak manis ini."
Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang
sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera
berlindung di balik tubuh Pak Hasan.
Pak Hasan tersenyum sinis. "Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma
dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup
menghadapi. Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih
dahulu." Dengan sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah
Aseng, tangannya bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan
sang juragan beras dan mencengkeram kantung kemaluannya tanpa
bisa dicegah. Abah Aseng langsung berteriak kesakitan, suasana pasar
yang tadinya ramai berubah menjadi senyap saat Abah Aseng
menjerit-jerit.
Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju,
Pak Hasan mencengkeram lebih erat lagi. "Kalau dua preman itu nggak
mundur, saya remuk bola Abah, bagaimana?"
Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan.
Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua
premannya meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-
sorai, baru kali ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng.
Mereka puas karena selama ini selalu menjadi bulan-bulanan dua
preman sang juragan beras. Abah Aseng segera lari terbirit-birit karena
malu di bawah sorak sorai para penjual.
"Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi
kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati
keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri
oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa
ditarik biaya apapun. Siapa yang mau?"
Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari
ke atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis,
semua ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti
Lidya. Siapa yang menolak?
"Siapa yang kau pilih, Nduk?" tanya Pak Hasan pada menantunya yang
sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, "harus dipilih salah
satu."
Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih?
Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya
jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan
santun. Mana yang harus dia pilih?
"A-aku tidak..." Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus
melayani satu di antara para penjual dan preman ini.
Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya
tahu apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.
"Siapa yang kau pilih, Nduk?" tanya Pak Hasan sekali lagi dengan
suara tegas.
"Di... dia." Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.
###
Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan
membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia
ingin di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan
istrinya harus pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik
itu. Wanita cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun
menatap awan yang beriringan di langit.
Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa
yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan,
suaminya cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti
sebelumnya, dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan
menjadi hamba seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka
akan melalui semua ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis
tersedu-sedu, hampir satu jam ia tak bergerak, hanya menangis dan
melamun.
Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit
kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan
membutuhkan tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas
tidak mau memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu.
Dimanakah ia bisa menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?
Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun
mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan
hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?
Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya
dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.
"Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?"
Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum
pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.
###
Ngadi menganga melihat rumah Lidya. Dia kagum sekali, ternyata Lidya
adalah seorang wanita yang mapan dan berkecukupan, tinggal di
kawasan perumahan kaum menengah ke atas yang tenang dan asri.
Apa yang dia lakukan bersama seorang bandot tengik seperti Pak
Hasan? Kalau tidak salah, kata pria tua itu wanita cantik ini adalah
menantunya? Orang gila seperti apa yang melacurkan menantunya
pada orang-orang pasar? Sudah kacau dunia ini.
Tapi segila-gilanya dunia, Ngadi masih waras, dia masih mau
ditawarin tubuh ranum seperti milik Lidya, dia belum gila.
Duduk di ruang tamu selama setengah jam seorang diri membuat Ngadi
melamun. Penjual mainan anak-anak itu tak puas-puasnya mengagumi
isi rumah Lidya dan Andi. Berkali-kali ia menggelengkan kepala saat
melihat foto mesra pasangan Lidya dan Andi, sungguh sayang wanita
secantik Lidya jatuh ke tangan bandot tua seperti Pak Hasan.
"Bagaimana, Pak Ngadi? Sudah siap?" tanya Pak Hasan seraya turun
dari tangga, "jamunya sudah diminum?"
Ngadi menganggukkan kepala, dia memang belum berganti pakaian
dan membersihkan diri, tapi dia sudah tidak sabar lagi ingin
menyantap hidangan utama yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh
Pak Hasan yaitu tubuh Lidya, sang nyonya rumah.
Pak Hasan tersenyum melihat ketidaksabaran Ngadi yang buru-buru
berdiri. "Sabar... kalau ingin diservis menantu saya, tentunya Pak
Ngadi harus mandi dulu yang bersih."
"Ma... mandi?"
"Iya, Lidya sudah menunggu di kamar mandi atas, diharapkan Pak
Ngadi mau mandi bersamanya. Silahkan."
Mulut Ngadi menganga lebar tak percaya. "Mak... maksudnya mandi
bareng Mbak Lidya?"
Pak Hasan mengangguk.
Mimpi apa Ngadi semalam? Mimpi kejatuhan durian mungkin? Setelah
seharian hanya bisa melamunkan kecantikan Lidya, dia tidak
menyangka akan diberi kesempatan mandi bersama wanita yang
secantik bidadari itu. Benar-benar beruntung dia hari ini!
"Be-bener ini, Pak? Saya nggak mimpi kan?" Ngadi masih belum
mempercayai keberuntungannya, "ng-nggak perlu bayar?"
"Nggak perlu bayar. Tapi ingat, hanya sekali ini saja." Kata Pak Hasan
sambil menepuk-nepuk pundak Pak Ngadi. "Oh iya, Pak Ngadi, meski
gratis pegang apa saja, tapi tetap tidak boleh penetrasi. Memeknya
tidak boleh diganggu-gugat oleh kemaluan Pak Ngadi, mengerti?"
"Wa-wah... sudah boleh mandi bareng saja saya sudah senang, Pak.
Saya nggak akan minta macam-macam." Kata Pak Ngadi jujur, penjual
mainan anak-anak itu benar-benar sudah tidak ingat lagi pada anak
istri. Siapa sih yang tidak mau ditawari mandi bersama seorang
bidadari?
Dengan diantarkan oleh Pak Hasan, Ngadi berjingkat menuju kamar
mandi yang terletak di kamar atas, kamar tempat pasangan suami istri
Lidya dan Andi menghabiskan waktu bersama. Kamar itu sangat bersih
dan harum, wangi semerbak juga tercium dari pintu kamar mandi yang
terbuka lebar. Pak Ngadi menahan nafas saat dia perlahan memasuki
kamar mandi yang sudah terbuka.
Tubuh indah Lidya terpampang jelas di depan matanya. Si cantik itu
telanjang! Pak Ngadi terbelalak tak percaya, ini semua benar-benar
terjadi?
Lidya berdiri bersandar ke tembok dengan wajah menunduk malu dan
lengan yang menutup buah dada dan kemaluannya. Walaupun begitu,
di bawah guyuran air shower yang membasahi sekujur tubuh indahnya,
Pak Ngadi bagaikan menatap keindahan seorang dewi.
Kejadian ini tentu saja disaksikan oleh Pak Hasan yang terus
memantau di dekat pintu, dia selalu berada di belakang Pak Ngadi
tanpa mau bergerak melindungi menantunya. Pria tua itu bahkan
memberi kode pada Lidya untuk menarik tubuh Pak Hasan mendekat.
"P-pak Hasan ma-mau mandi?" Lidya terbata-bata. Dia tahu
seharusnya dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara semanja dan
seseksi mungkin, tapi Pak Ngadi bukanlah suaminya, dia tidak
mungkin bersikap manja pada orang tak dikenal berwajah buruk dan
sekotor Pak Ngadi. Tapi bagi Ngadi, suara yang keluar dari mulut
Lidya itu bagaikan nyanyian merdu seorang bidadari.
"I-iya... saya mau mandi." Kata pria tua itu tergagap.
"Ma-Mau mandi b-bersama?" ajak Lidya. Berulangkali dia menatap Pak
Hasan yang berdiri di pintu agar mau menyelamatkannya dari situasi
canggung ini, tapi Pak Hasan bergeleng tanpa ampun. Hanya satu
jalan keluar bagi Lidya, yaitu mempercepat semuanya agar segera
selesai. Dengan gerakan pelan yang sangat erotis, Lidya mendekati
Pak Ngadi.
Pria tua yang biasa menjual mainan anak-anak itu melotot dan
menatap tak percaya gerakan tubuh Lidya, payudaranya yang besar
dan kencang bergerak menggelombang ketika si cantik itu berjalan.
Lidya kini tak peduli lagi apakah tubuhnya yang telanjang terlihat jelas
atau tidak. Pandangan Pak Ngadi juga tak lepas dari gundukan mungil
yang berada di selangkangan Lidya, karena rambut yang berada di atas
kemaluan dicukur bersih, gundukan bibir kemaluan Lidya bisa terlihat
jelas oleh Pak Ngadi yang langsung meneguk ludah karena menahan
nafsu.
"Saya lepas ya baju Pak Ngadi." Bisik Lidya perlahan. Ngadi hanya
pasrah, mau diapakan juga dia mau, asal oleh Lidya.
Dengan gerakan gemulai, Lidya melucuti satu demi satu pakaian yang
disandang Pak Ngadi dan meletakkannya. Berdiri sangat dekat dengan
wanita telanjang secantik Lidya membuat Pak Ngadi merinding, nafsu,
malu tapi mau. Buah dada Lidya yang masih kencang memompa
semangat Pak Ngadi, ingin rasanya dia menjamah, tapi rasa takut dan
segan membayangi. Akhirnya, seluruh pakaian Pak Ngadi telah dilepas.
Pria sederhana itu kini berdiri telanjang di depan Lidya. Kemaluan
Ngadi yang ukurannya sedang-sedang saja berdiri menantang di
hadapan Lidya, tegangnya penis Ngadi tentu adalah hasil pertunjukan
erotis Lidya. Walaupun situasinya sangat tidak menyenangkan, entah
kenapa Lidya merasa geli dengan keluguan Ngadi.
"Jangan takut pak, saya tidak menggigit kok... kecuali diminta..." bisik
Lidya sambil menggigit bibir bawahnya. "Ayo mandi sama saya."
Si cantik itu kaget sendiri setelah mengatakan pernyataan erotis itu.
Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa terucap dari mulutnya? Apa
yang terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah mulai menyukai affair
semacam ini setelah berhari-hari 'dididik' oleh Pak Hasan? Tidak... ia
tidak mau... Mas Andi... tolong... Mas Andi...
Perubahan wajah Lidya terlihat jelas, ia mundur beberapa langkah dan
menjauhi Pak Ngadi, kali ini sekali lagi Lidya menutupi buah dada dan
kemaluannya. Sikap Lidya yang berubah-ubah membuat Ngadi
bingung, pria tua itu berbalik menghadap Pak Hasan tapi mertua Lidya
menggeleng.
"Maju saja, Pak Ngadi. Silahkan." Kata Pak Hasan. Pak Ngadipun
kembali berbalik dan mendekati Lidya yang menyudut di pojokan.
Setelah menyuruh Ngadi untuk maju, Pak Hasan mengambil kursi tepat
di depan pintu kamar mandi dan duduk menghadap ke dalam, apapun
yang terjadi di dalam, ia bisa menyaksikannya. Mertua Lidya itu
melucuti celananya sendiri dan siap mengocok kemaluannya. Ada
perasaan aneh yang bisa merangsang Pak Hasan saat ia melihat
menantunya yang seksi berada dalam pelukan lelaki lain yang bukan
suaminya. Ia pasti akan sangat menikmati pertunjukan ini.
"Sa... saya mandikan ya, Mbak Lidya..." kata Ngadi perlahan.
Lidya yang ternyata tengah meneteskan air mata mencoba
menyembunyikan tangisnya lewat guyuran air yang turun dari shower,
ia tidak mau Pak Hasan marah dan menghajarnya nanti. Mendengar
suara lugu Pak Ngadi yang mendekatinya, Lidya hanya bisa
mengangguk dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Sebelum
peristiwa ini terjadi, selama hidupnya Lidya hanya pernah mandi
bersama dengan satu orang lelaki, yaitu Andi suaminya. Merinding
juga rasanya mandi dengan lelaki tak dikenal seperti Pak Ngadi.
Air yang turun dari shower menghujani dua tubuh telanjang yang
saling berhadapan, perlahan-lahan Lidya membalikkan badan karena
malu, namun melepas kedua lengan yang menyembunyikan buah dada
dan kemaluannya. Si cantik itu memejamkan mata menanti gerakan
Ngadi. Penjual mainan anak-anak itu bergerak perlahan, dia tak puas-
puasnya mengagumi keindahan tubuh Lidya yang molek. Bagian
belakang tubuhnya pun sangat putih dan mulus tanpa bercak
sedikitpun, berbeda dengan tubuhnya yang kotor dan bopeng-bopeng.
Tangan Pak Ngadi menyentuh punggung Lidya perlahan. Inilah untuk
pertama kalinya mereka bersentuhan. Lidya mengeluarkan desahan
pelan, ia berharap Pak Ngadi tidak mendengarnya. Walaupun tidak
mendengar desahan erotis Lidya, Ngadi bisa merasakan getaran pelan
dari tubuh wanita seksi yang sedang memunggunginya. Dengan
perlahan, Pak Ngadi menggosok punggung Lidya dengan tangannya, ia
mengambil sabun dan mengoleskan pelan di punggung seputih pualam
milik istri Andi itu.
Melihat kepasrahan Lidya, Ngadi makin berani, tangannya bergerak ke
depan dan perlahan-lahan meraih payudara Lidya yang sedari tadi
membuatnya terpesona. Dengan dua tangan dari kiri dan kanan, pria
tua itu menangkup buah dada Lidya yang besar dan kencang. Lidya
meringkik lirih ketika Ngadi meremas balon buah dadanya. Pria tua itu
makin mendekat dan memeluk tubuh Lidya dari belakang. Kini Ngadi
menggosok punggung Lidya dengan dadanya, hal ini makin membuat
Lidya terangsang hebat. Terlebih ketika dirasakannya kemaluan Ngadi
terselip tepat di tengah-tengah lembah pantatnya. Pria tua itupun
dengan nakal menggerakkan pinggul agar kontolnya menggesek-gesek
pantat Lidya.
Lidya merengek lebih keras, gesekan kontol di pantat dan remasan
tangan di payudara makin ditingkatkan, membuatnya tak mampu
bertahan. Si cantik itu masih memejamkan mata ketika ia berbalik.
Dengan sengaja ia mengeraskan aliran shower agar memancar lebih
keras. Berhadap-hadapan dengan Lidya membuat kontol Ngadi makin
menegang, ia memeluk wanita seksi itu erat-erat. Dengan bantuan
sabun, Ngadi mengoles-oles buah dada Lidya, ia menggerakkan
payudara Lidya naik turun di dadanya sendiri.
Lidya melenguh menahan nafsu, ia akhirnya bergerak naik turun tanpa
diminta, menjadikan buah dadanya yang bersabun sebagai penggosok
dada Ngadi. Pria tua itu sendiri tak berhenti, ia meremas pantat bulat
si jelita dan mulai berani menciumi tubuhnya. Bibir Ngadi bergerak dari
wajah namun menghindari bibir seksi Lidya, Ngadi menciumi setiap
jengkal kulit mulus Lidya yang basah oleh siraman air dari shower,
mulai dari lehernya yang jenjang, lalu turun ke dada yang masih
belepotan sabun. Sambil membersihkan buah dada Lidya dengan
tangan, ia juga menciumi kedua balon payudara si cantik itu dengan
penuh nafsu, kali ini ia menghindar dari puting payudara Lidya.
Ciuman Ngadi berlanjut ke daerah perut, terus turun sampai akhirnya
ke bibir kemaluan Lidya. Kali ini Ngadi tak menghindar.
Dengan kepasrahan penuh birahi, Lidya menahan dirinya dengan
menyandarkan tangan ke tembok kamar mandi. Ngadi berjongkok
hingga kepalanya tepat berada di depan kemaluan Lidya. Air terus
mengalir membasahi tubuh mereka berdua, sementara Pak Hasan
menyaksikan adegan demi adegan sambil mengocok kemaluannya
sekuat tenaga.
Ngadi mengelus-elus paha mulus Lidya lalu menciuminya bergantian,
kiri ke kanan, kanan ke kiri, terus menerus. Ciuman itu tak berhenti
dan makin lama makin masuk ke arah selangkangan.
"Ohhhhmmm... esssstttt..." desah Lidya tak berdaya saat bibir
vaginanya mulai tersentuh lidah nakal Pak Ngadi.
Dengan menggunakan jemarinya, Ngadi membuka bibir memek Lidya
yang berwarna merah muda dan menjejalkan lidahnya masuk ke dalam
liangnya. Sodokan lidah Lidya yang hangat ditambah guyuran air
shower membuat sensasi erotis yang lain daripada yang lain, Lidya
makin tak mampu menguasai dirinya sendiri, si cantik itu merem melek
diperlakukan sedemikian rupa oleh Ngadi.
Selang beberapa saat kemudian, giliran bibir Ngadi yang asyik
mempermainkan seputaran selangkangan Lidya.
"Mmmmhhhh! Sssttthhh... oooohhh..." desahan Lidya terus menguat.
Melihat Lidya sudah tak kuat lagi, Ngadi malah melanjutkan
serangannya dengan mempermainkan tonjolan klitoris Lidya. Dijilatinya
tonjolan itu dengan lidahnya. Tubuh Lidya bergetar tak berdaya, ia tak
tahan lagi, tubuhnya menggelinjang tanpa mampu ia hentikan.
"Yaaaaaaaaaaaaaahhhh..." Lidya menjerit lirih ketika ia akhirnya
mencapai kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang hebat dan menegang
lalu ambruk ke depan. Untunglah Pak Ngadi sigap dan segera
menangkap tubuh Lidya agar tidak sampai jatuh.
"Aduh... aku... lemas... sekali..." kata Lidya dengan suara lirih.
Sambil berhati-hati, Pak Ngadi mengangkat tubuh Lidya ke pinggir,
mematikan keran shower dan mengelap seluruh tubuh Lidya dengan
handuk. Pak Ngadi mengangkat tubuh telanjang Lidya yang sudah
tidak basah dan berniat hendak menggendongnya ke ranjang. Si cantik
itu sebenarnya keberatan, tapi tatapan mata galak Pak Hasan
menundukkannya. Dengan berani penjual mainan anak-anak yang
beruntung itu mulai mengangkat tubuh Lidya.
"Kuat kan, Pak? Tubuh saya berat." bisik Lidya. Dia khawatir penjual
mainan bertubuh kurus ini akan menjatuhkannya. "Kalau tidak kuat
saya jalan sendiri saja..."
"Kuat kok, Mbak. Peluk saya erat-erat ya." Kata Pak Ngadi.
Malu-malu Lidya memeluk Pak Ngadi, si cantik itu menautkan kedua
lengannya ke leher sang penjual mainan saat dia digendong ke arah
ranjang. Untunglah jarak antara kamar mandi dan ranjang Lidya
tidaklah jauh. Wangi tubuh Lidya membuat Ngadi memiliki ekstra
semangat, baru kali ini dia menggendong tubuh seorang wanita cantik
yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Buah dada Lidya yang
berukuran besar menempel di dada tipis Ngadi, menimbulkan percikan
tenaga ekstra di hati sang penjual mainan.
Di pojok ruangan, Pak Hasan masih terus menyaksikan aksi sang
penjual mainan dan menantunya, tangannya juga masih terus bergerak
mengocok kemaluannya. "Nduk, kamu tidur tengkurap saja." Kata Pak
Hasan.
Lidya tidur tengkurap sesuai perintah Pak Hasan saat Ngadi
meletakkannya di ranjang, matanya terpejam menanti serangan Ngadi
selanjutnya. Pria setengah baya berkulit gelap mengkilap dan bertubuh
kurus yang baru saja menggendong Lidya itu akhirnya naik ke atas
ranjang, Ngadi bergerak dengan malu-malu mendekati istri Andi yang
cantik itu. Perlahan-lahan Ngadi memulai serangannya dari ujung jari
kaki Lidya. Ngadi belum pernah melihat jari-jari kaki yang mulus,
lembut dan terawat seperti milik Lidya, sangat berbeda dibandingkan
dengan jemari istrinya yang kotor dan keras karena jarang mengenakan
sandal. Ngadi mencium dan menjilati satu persatu jari-jari kaki Lidya.
"Ehhhhmmm..." erang Lidya. Matanya masih belum terbuka tapi bibirnya
tak kuat menahan rangsangan geli jilatan lidah Pak Ngadi.
Satu persatu jari-jari kaki Lidya dijilati oleh sang penjual mainan
anak-anak sambil tak lupa mengelus-elus lembut telapak kaki Lidya
yang putih. Ciuman Pak Ngadi naik ke betis, pria tua itu menikmati
jengkal demi jengkal tubuh mulus Lidya, biarpun ini istri orang, tapi
nikmatnya bukan main. Setelah puas menciumi satu kaki, Pak Ngadi
beralih ke kaki yang lain, serangannya sama, mencium dan menjilati
jemari kaki sang dewi.
"Engghhh..." Lidya menutup kepalanya dengan bantal, ia tidak tahan
pada serangan Ngadi ini, membuatnya gelagapan. Pak Hasan yang
masih duduk di kursi tak terlalu jauh dari ranjang tersenyum puas
melihat menantunya keenakan, ia masih mengocok penisnya sendiri
dengan gerakan ringan yang makin lama makin cepat.
Pak Ngadi meneruskan lagi, ia menggerakkan bibirnya menelusuri kaki
Lidya hingga sampai ke paha. Pria tua itu sangat kagum, ini baru
namanya paha, sangat sempurna, putih mulus tanpa cela. Ngadi
menikmati detik demi detik, ia tahu ia hanya sekali ini saja bisa
menikmati keindahan tubuh Lidya, itu sebabnya dia tidak ingin
terburu-buru. Ini yang namanya sekali seumur hidup. Dia merasa
sangat beruntung tadi Pak Hasan menyuguhkan jamu kuat yang
diminumnya sebelum naik ke atas dan mandi bersama Lidya.
"Ohhhhh... ehhhmm..." Lidya tidak mau mengakui, tapi ciuman yang
dilancarkan Pak Ngadi mulai dari jari kaki naik sampai ke paha
membuat wanita jelita itu belingsatan, tak berdaya sekali dia rasanya.
"Ohhhhh..." sekali lagi Lidya mengerang kala Pak Ngadi menjilati
pahanya. Pria tua itu nekat naik hingga sampai ke perbatasan paha
dan gunung pantat mulus Lidya.
Lidya menggelengkan kepalanya karena tak tahan ketika bibir dan lidah
Pak Ngadi akhirnya sampai di gundukan pantatnya yang kencang dan
bulat.
"Ouggghhsssttt... essssstt..." desah Lidya berulang-ulang, suara erotis
yang keluar dari wanita secantik Lidya menambah semangat Ngadi.
Pria tua mulai naik lagi, kali ini tangannya ikut bergerak, meremas-
remas pantat Lidya yang montok dengan gemas. Lidya belum mau
membuka matanya, tapi ia tak tahan dan menahan jeritannya.
Punggung Lidya menjadi sasaran selanjutnya, tubuh istri Andi ini
sangat seksi, merangsang di setiap jengkalnya. Benar-benar bagaikan
tubuh seorang dewi yang turun dari khayangan, sempurna tanpa cela.
Kini tubuh yang indah itu menggelinjang di bawah sapuan lidah Ngadi
yang menggerayangi bagian punggungnya. Pria yang sehari-hari
bekerja sebagai penjual mainan anak-anak itu sepertinya sudah sering
melakukan ini pada sang istri, dia mahir sekali melakukannya.
Sebaliknya, Lidya yang belum pernah merasakan lidah maut Pak Ngadi
pun takluk dan tak bisa bertahan. Pak Ngadi naik lagi, lidahnya kini
menyapu pinggir sela lengan dan dinding buah dada Lidya.
"Ouuuugghhhhh... asssstttt... eessssssssttt..." mulut Lidya mendesah-
desah, tubuhnya menggelinjang, tapi ia masih tetap tak mau membuka
matanya.
Pak Ngadi yang tadinya takut-takut mulai percaya diri, gelinjang tubuh
dan desah nafas Lidya membuatnya yakin, walaupun wanita ini
secantik dewi dan seindah bidadari, tetap saja dia seorang perempuan
biasa, pasti bisa ditaklukkan. Ngadi mengangkangi tubuh Lidya dengan
penis yang diarahkan ke belahan pantatnya.
Sampai di sela bokong mulus Lidya, penis pria setengah baya itu
sengaja diselipkan di tengah lalu digosok-gosokkan naik turun. Saat
tangan Ngadi mengelus-elus kelembutan pinggang Lidya, bibir dan
lidahnya menjelajah punggung, naik ke pundak, lalu bagian belakang
leher dan akhirnya sampai di daun telinga. Daun telinga adalah salah
satu titik kelemahan Lidya, lidah Ngadi bergerak lincah menggoyang
daun telinganya. Semua rangsangan ini membuat si cantik itu takluk, ia
pasrah sepasrah-pasrahnya.
Ngadi masih belum selesai, dibaliknya tubuh Lidya agar menghadap ke
atas. Lidah pria tua itu beraksi lagi, berawal dari serangan di leher
depan, menuruni pundak sampai ke sela ketiak, turun lagi ke lengan
sampai ke telapak tangan dan akhirnya berhenti di jari-jari Lidya.
Ciuman bibir dan jilatan lidah Ngadi tak pernah berhenti, terus
bergerak tanpa kenal lelah menguasai tubuh Lidya. Inilah yang
dinamakan mencicipi tubuh seorang wanita dengan arti yang
sebenarnya.
"Auuuuuhhmmm... esssssttt... eehhhgg..." walau tak mau mengakui dan
merasa terpaksa melayani orang yang bukan suaminya, tapi kalau
Lidya mau jujur, dia puas sekali dengan foreplay yang dilakukan Pak
Ngadi. Siapa sangka orang seperti itu bisa melakukan foreplay seenak
ini?
Lidah mungil Lidya merekah, seakan minta dicium, tapi Ngadi belum
mau melakukannya. Pria tua itu terdiam sejenak karena takjub dengan
kemolekan bagian depan tubuh Lidya, terutama bagian dadanya.
Selama ini Ngadi harus puas dengan dada istrinya yang seperti papan
cucian, ia tak mengira, akan datang hari dimana dia akan diberi
kesempatan mencicipi payudara sempurna seorang bidadari. Pria tua
itupun memanfaatkan waktunya yang longgar selama mungkin,
dijilatinya gunung payudara Lidya tanpa menyentuh ujung pentilnya.
Buah dada Lidya yang montok dilalap habis oleh Ngadi, istri Andi yang
sudah pasrah itu hanya bisa mendesah penuh nikmat saat payudaranya
dioles-oles oleh Ngadi. Pentil Lidya sudah mengeras sedari tadi, ujung
payudara itu menonjol ke atas, memohon dikulum secepatnya.
Pak Ngadi makin berani, melihat puting susu yang bentuknya
sempurna itu mau tak mau ia nafsu juga. Diawali hembusan nafas yang
ditebarkan ke puting agar terasa hangat, Pak Ngadi menowel ujung
pentil Lidya dengan ujung lidahnya, melontarkan nafsu Lidya bangkit
sampai ke puncak.
"Uaaaaaaahhhh!!" Lidya membelalakkan matanya! Tubuh si cantik itu
menggelinjang tak karuan. Pak Hasan makin kagum pada orang tua
yang kini sedang menikmati tubuh menantunya ini, luar biasa juga
kemampuannya, ia ternyata mampu menundukkan menantunya yang
jelita dengan lidahnya yang lincah.
Bangkitnya nafsu birahi Lidya membuatnya tak bisa begitu saja
membiarkan Ngadi terus berlama-lama, tanpa takut-takut Lidya
mengangkat payudaranya dan menyodorkan putingnya pada Pak Ngadi.
Melihat istri Andi itu menyerah pada nafsu membuat Pak Hasan ingin
bertepuk tangan. Hebat, sungguh hebat penjual mainan anak-anak ini!
"I... ini... tolong... cepat..." desah Lidya, ia memejamkan matanya
kembali dan menunggu Pak Ngadi menghisap pentilnya yang sudah
menjorok. Ngadi melirik ke arah Pak Hasan, meminta persetujuan.
Ketika Pak Hasan mengangguk, pria tua itu memberanikan diri,
bibirnya menelan pentil payudara Lidya dan menghisap-hisapnya
dengan buas.
"AAAAAAAAAHHHH!!!" Lidya setengah berteriak, matanya terbelalak
karena nikmat yang ia rasakan. Setelah seharian memamerkan tubuh di
pasar, kini seorang penjual mainan anak-anak berhasil mendapatkan
akses ke pentilnya. Pentil yang selama ini hanya diperuntukkan sang
suami tercinta dan direnggut paksa oleh mertuanya yang bejat. "Ah!
Ah! Auuuhhh!! Esssstt!" Lidya menahan semua nafsu yang sudah siap
meledak di selangkangannya, digigitnya bibir bawah untuk membantu
menahan semua getaran nafsunya.
Pak Hasan akhirnya tak tahan hanya melihat saja menantunya yang
bugil itu dipermainkan oleh seorang pria yang baru mereka kenal tadi
pagi. Dengan langkah hati-hati agar tak mengganggu proses foreplay
Pak Ngadi, Pak Hasan duduk di pinggir ranjang dengan rasa ingin tahu
yang berlipat. Tangan Pak Hasan bergerak maju menyelip di antara
paha Lidya, dengan lihai ia meraba-raba bibir memek sang menantu
sambil memijit tonjolan di bibir atas vagina Lidya yang ternyata sudah
basah.
"Eyaaaaaaagghhhh!! Uaaahhh! Aaahhh!! Jangaaaaan!!" Lidya tersentak
kaget sekaligus mengalami kenikmatan yang luar biasa ketika jemari
Pak Hasan bermain di sekitar mulut vaginanya. Belum usai serangan
yang dilakukan Pak Ngadi, kini Pak Hasan sudah datang.
Pak Ngadi menyelipkan tangan kirinya ke punggung Lidya dan menarik
tubuhnya ke atas, sementara tangan kanannya masih tetap beraksi
meremas-remas payudara kanan dan kiri silih berganti. Begitu posisi
mereka berhadapan, Pak Ngadi melumat bibir mungil Lidya dengan
penuh nafsu. Bibir yang tadinya mendesah berulang-ulang itu kini
terdiam dalam dekapan sang lelaki tua. Lidya yang sudah tak ingat
apa-apa lagi menyerahkan dirinya penuh kepada kedua lelaki tua. Ia
pasrah ketika Pak Ngadi melumat bibirnya, bahkan Lidya membalas
ciuman sang penjual mainan dengan permainan lidah yang saling
memilin.
Sementara Pak Ngadi mencium Lidya dengan hot, Pak Hasan
menggerakkan jemarinya di selangkangan sang menantu dengan
lincah. Digesek-gesekkannya jari tengahnya di bibir vagina Lidya
sementara jari telunjuknya memainkan klitoris yang menonjol. Lidya
sudah lupa diri, si cantik itu memaju mundurkan pinggul karena tak
tahan, ia ingin memeknya segera ditembus sesuatu yang keras dan
panjang.
Lidah Pak Ngadi beraksi sepuasnya di mulut Lidya, menjelajah masuk
dan menjilati seluruh liang mulut si cantik itu. Bibir Lidya juga tak
tinggal diam, ia mengulum dan melumat bibir Pak Ngadi yang besar,
lidah si cantik itu juga masuk ke mulut Pak Ngadi, bau rokok murahan
yang tersebar dari kerongkongan lelaki tua itu tidak membuat Lidya
berhenti, ia terus menerjang, menjilat dan melumat.
Pak Hasan naik ke atas ranjang dan bersiap untuk melesakkan penis
ke dalam memek sang menantu, penisnya yang sudah keras seperti
kayu ditempelkan dan dimainkan di mulut vagina Lidya, ia belum mau
memasukkannya, ia ingin menggoda si cantik itu. Pak Ngadi yang tahu
si empunya cewek sudah siap melakukan penetrasi bergeser ke
samping memberi tempat pada Pak Hasan untuk beraksi. Lidya
mengerang dan mendesah, ia bingung sekaligus menikmati. Ia lupa
pada suaminya, ia lupa pada statusnya sebagai seorang istri, ia lupa
semuanya, ia hanya ingat ia sedang bermain cinta dengan dua orang
lelaki tua yang perkasa yang memberinya kenikmatan tiada tara.
Pak Hasan bersiap, diangkatnya kontolnya yang kini bagaikan tiang
bendera dan dengan satu tusukan pelan, masuklah kemaluannya ke
dalam liang kewanitaan Lidya. Wanita jelita yang tak berdaya itu
menggelinjang dan kebingungan, dia menjerit lirih di bawah serangan
Pak Ngadi yang belum juga berhenti menciumi bibir dan meremas-
remas payudaranya.
"Iiiiihhh... ehmmm... aaaahhh! Ahhhh!! Ahhh!!" desi Lidya berulang kala
Pak Ngadi melepaskan pagutannya.
Pak Hasan menarik Lidya dan mengaitkan kakinya yang jenjang di
pinggangnya. Bagian atas tubuh Lidya sudah kembali turun ke ranjang,
walau masih dipermainkan oleh Pak Ngadi, sementara kakinya kini
mengait pinggang sang mertua. Pak Hasan akhirnya mulai
menggerakkan pinggul untuk menyetubuhi sang menantu, ia bergerak
maju mundur dengan pelan.
Walaupun Lidya dan Andi adalah pasangan yang belum terlalu lama
menikah, intensitas hubungan intim antara Lidya dan suaminya
termasuk jarang. Andi lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah dan
tidur dengan istrinya. Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Hasan, karena
memek Lidya masih terasa rapat bagaikan seorang perawan. Entah
karena jarang bermain cinta dengan suaminya ataukah karena kontol
Andi hanya sebesar tusuk gigi sehingga tidak mampu merenggangkan
dinding dalam kemaluan si cantik itu.
"Heeeeennghhhgghhh!!" Pak Hasan menggemeretakkan gigi dengan
gemas saat ia mulai meningkatkan kecepatan tumbukannya.
Tubuh Lidya yang bergerak naik turun sesuai sodokan Pak Hasan
dimanfaatkan oleh Ngadi, pria tua itu menyodorkan kemaluannya ke
wajah Lidya. Si cantik itu awalnya jijik dengan kemaluan Pak Ngadi
yang bentuknya tidak karuan, hitam, keras dan panjang. Dari segi
ukuran, mungkin Pak Hasan lebih unggul. Tapi Lidya sudah tenggelam
dalam nafsu birahi, ia tahu apa maksud Pak Ngadi menghunjukkan
kontolnya. Segera saja Lidya meraih penis hitam itu dan
memasukkannya ke mulut.
"Ughhhhhoooooohhh..." sekarang giliran Pak Ngadi yang merem melek
keenakan. Siapa yang tidak mau kontolnya disepong seorang dewi
bermulut indah seperti Lidya?
Pak Hasan makin getol memaju mundurkan pinggulnya, enak sekali
rasanya memompa vagina menantunya yang masih sangat rapat ini.
Tangan kirinya meremas-remas buah dada kiri Lidya sementara
payudara yang kanan menjadi santapan tangan Pak Ngadi.
Pak Hasan terus menggenjot vagina Lidya dengan beringas, nafas pria
tua yang sangat bernafsu itu tersengal-sengal karena ingin segera
mencapai kenikmatan maksimal. Desah nafas tiga orang yang tengah
bercinta itu menjadi musik indah pencapaian kenikmatan seksual. Pak
Ngadi yang keenakan dioral oleh Lidya merem melek, ia makin tak
tahan sepongan si cantik itu, apalagi setelah melihat wajah Lidya yang
mempesona menelan bulat-bulat kontolnya yang hitam dan panjang.
"Huuuungghhhh!!!" akhirnya diiringi satu lenguhan panjang, Pak Ngadi
mencapai orgasme. Ia tak kuat lagi bertahan.
Semburan pejuh Pak Ngadi tersebar ke seluruh permukaan wajah
cantik Lidya, lalu ke dada dan akhirnya perut, cukup banyak cairan
putih kental yang dikeluarkan ujung gundul kemaluan pria tua itu.
Lidya tersengal-sengal mengatur nafas, baru kali ini dia bermain
dengan dua orang pria yang sama-sama mahir bercinta, hebatnya dua
laki-laki ini bukanlah suaminya, tubuh si cantik itu mengejang, dan
pantatnya terangkat kuat-kuat. Bola mata Lidya berputar ke belakang,
sampai hanya bagian putihnya saja yang terlihat, rupanya si cantik itu
juga telah mencapai tingkat kepuasan maksimal.
Setelah Ngadi dan Lidya selesai, giliran Pak Hasan, ia merasakan air
cinta membanjir di dalam liang kenikmatan Lidya, tapi mertua bejat itu
terus saja menyodokkan kemaluannya dalam-dalam, tak mau berhenti.
Tak terlalu lama menggoyang memek Lidya, akhirnya Pak Hasan juga
mencapai ujung tertinggi tingkat kenikmatannya.
Meledaklah air mani Pak Hasan di dalam memek sang menantu. Pria
tua itu mengejang, mengeluarkan semua birahinya dalam tumpahan air
mani yang mengalir deras membanjiri memek Lidya. Benar-benar puas
dia kali ini, untuk pertama kalinya Lidya bersedia melayaninya tanpa
melawan dan menangis. Menantunya itu benar-benar telah berubah
dan bersedia dijadikan budak seksnya. Setelah mengeluarkan penisnya
dari vagina Lidya diiringi bunyi letupan kecil, Pak Hasan ambruk ke
ranjang.
Pak Ngadi tidak mempercayai keberuntungannya. Walaupun ia memang
tidak diijinkan memasukkan penisnya ke memek Lidya, tapi disepong
wanita secantik bidadari seperti istri Andi itu adalah mimpi yang
menjadi kenyataan. Inilah pengalaman sekali dalam seumur hidup yang
tak akan dilupakannya. Setelah tak lagi lelah nanti, ia akan memakai
pakaiannya dan pergi dari rumah ini, kembali ke kehidupannya yang
sederhana dengan membawa memori terindah yang pernah
dirasakannya.
Lidya terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Tubuhnya yang telanjang
kini basah kuyup oleh semprotan air mani yang dikeluarkan oleh Pak
Hasan dan Pak Ngadi. Mata si cantik itu terpejam, makin kotor saja
dirinya - ia bahkan mulai menikmati permainan gila mertuanya ini,
sampai kapan Pak Hasan akan memperlakukannya dengan hina seperti
ini? Sampai kapan semua ini akan terjadi? Apa yang akan terjadi esok
hari?
Perlahan wanita cantik yang kelelahan itu terlelap dan tenggelam
dalam tidurnya.
###
Bagaimana nasib mereka selanjutnya?
BAGIAN TUJUH
TAMAT

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

1 komentar:

permisi kakak2 numpang promo ya
yang suka main poker dan domino online, mari gabung di sini bersama kami di www.saranapelangi.com. kini hadir dengan 7 permainan yang dapat dimainkan dalam 1 website. dapatkan jackpot hingga ratusan juta setiap harinya. gak mau kalah teruskan main poker dan domino online ? ayo buruan gabung bersama kami di www.saranapelangi.com

Saranapelangi.com adalah satu - satunya Website Dengan Player VS Player Tanpa Menggunakan Bot (tanpa ROBOT) 100% Fair Play!!!

Hot Promo Dari SaranaPelangi!!!
*Bonus Rollingan Sebesar 0,5%
*Bonus Refrensi Sebesar 20%

Tunggu Apalagi?!, Ayo Gabung Dan Main Bersama Kami!!!


Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami di www.saranapelangi.com atau melalui android kami.

- BBM : 2B47BB9C
- CALL : +855964972098
- WEECHAT : saranapelangi
- SKYPE : saranapelangi
- EMAIL : saranapelangi99@yahoo.com
- FACEBOOK : saranapelangi99@yahoo.com

WWW.SARANAPELANGI.COM

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.