Jumat, 20 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 8

BAGIAN DELAPAN (PART 8 OF 12)
PERNIKAHAN DINA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Hari pernikahan adalah hari yang banyak ditunggu-tunggu oleh
pasangan yang saling mencintai. Hampir semua orang yang sedang
dilanda asmara akan beranggapan bahwa hari pernikahan adalah
sebuah hari besar dimana mereka akan melangkahkan kaki menuju
gerbang kebahagiaan yang sejati, dimana mereka bisa merasakan
nikmatnya hidup bersama orang yang paling dikasihi untuk selama-
lamanya. Hari pernikahan adalah ujung sempurna dari sebuah
hubungan asmara.
Sayangnya hal tersebut tidak berlaku bagi seorang wanita jelita yang
bernama Dina Febrianti. Baginya, hari pernikahan adalah bencana.
Esok lusa dia akan menikah.
Pernikahannya yang kedua.
Dengan seorang lelaki idiot yang tidak dia kenal sama sekali.
Dina tidak bisa mengelak dan menolak pernikahan yang telah
direncanakan ini. Dia hanya bisa pasrah menghadapinya, sebagaimana
ia juga pasrah menghadapi semua masalah yang datang bagaikan
badai yang menghantamnya bertubi-tubi. Suaminya sendiri telah pergi
dan menjual Dina pada laki-laki lain demi menyelamatkan diri dari
hutang yang bertumpuk. Anton adalah laki-laki brengsek dan mungkin
saja Dina beruntung telah berpisah dengannya. Kadang Dina heran
pada dirinya sendiri, bagaimana dia bisa bertahan menghadapi semua
masalah ini? Kalau saja tidak ingat pada anak-anaknya yang masih
kecil Dina pasti sudah bunuh diri sejak pertama kali dia disetubuhi Pak
Pramono yang bejat itu.
Dina hanya bisa pasrah menghadapi semua masalah ini. Yang akan
terjadi terjadilah. Suatu saat kelak, keadaan pasti akan menjadi lebih
baik.
Wanita jelita itu memperhatikan pantulan dirinya pada cermin yang
terdapat di kamarnya yang besar. Usianya memang sudah lebih dari 30,
tapi wajah dan tubuhnya masih bisa bersaing dengan remaja belasan
tahun. Dina masih cantik dan masih tetap seksi. Lekukan tubuhnya
yang matang sangat menggiurkan bagi seorang pria normal, wajahnya
yang cantik namun tidak membosankan menimbulkan kesan mendalam
bagi mata yang memandang, kulitnya putih bagaikan pualam, tubuhnya
harum bagaikan bunga, rambutnya yang sebahu menambah aksen
kedewasaan yang lembut yang didamba seorang pria. Dina adalah
seorang wanita yang mendekati kata 'sempurna'.
Walaupun tidak telanjang, keindahan tubuh Dina masih terlihat jelas di
cermin. Dina tidak tahu apakah dia harus berterima kasih ataukah
malah mengutuk semua karunia ini. Apakah kecantikan dan
keseksiannya merupakan anugerah atau justru kutukan? Saat ini Dina
sedang mencoba baju pengantin yang akan ia pakai esok lusa. Ia
mengenakan baju berwarna putih tulang yang sangat indah dan cantik.
Gaun putih yang diberikan oleh Pak Bambang sebagai baju pengantin
sangat pas ia pakai, selain menampilkan lekuk tubuhnya yang indah,
Dina makin terlihat bercahaya jika mengenakannya, pas sekali dengan
warna kulitnya yang seputih pualam. Dengan baju indah yang tentunya
harganya sangat mahal ini Dina bisa memamerkan pundaknya yang
halus putih mulus, leher yang sempurna dan belahan dada yang
aduhai. Dia pasti terlihat sangat cantik dengan baju pengantin ini, jauh
lebih cantik dari saat dia pertama kali menikah dulu.
Sungguh sayang, dia akan menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Bagaimana mungkin ia bisa mencintai calon suaminya kalau bertemu
saja belum pernah?
Walaupun terpaksa mencoba baju pengantin, tapi Dina tak bisa
memungkiri kalau baju yang sedang ia pakai sangatlah indah.
Bahannya halus dan nyaman digunakan, harganya sudah pasti sangat
mahal. Berulang kali Dina melenggak-lenggokkan badan di depan
cermin. Karena asyik mencoba baju seperti layaknya seorang calon
pengantin baru, perlahan-lahan Dina lupa kalau esok lusa dia akan
dinikahkan paksa dengan putra Pak Bambang yang idiot. Pak Bambang
memang hebat, dia bisa tahu pasti pakaian pengantin mana yang
bagus dikenakan Dina tanpa perlu memastikan ukurannya. Baju
tersebut membuat kemolekan tubuh mulus Dina makin bercahaya,
seperti seorang bidadari. Selayaknya seorang wanita yang menggemari
baju bagus, Dina menyukai gaun pengantinnya.
Kamar yang saat ini digunakan Dina berada di lantai atas villa raksasa
milik keluarga Pak Bambang, letaknya jauh di luar kota. Dina tidak
tahu dengan pasti di mana mereka sebenarnya berada karena Pak
Bambang masih merahasiakannya, Dina hanya tahu mereka berada jauh
di luar kota dan berada di lokasi yang asing baginya. Agaknya Pak
Bambang masih takut Dina akan ketakutan dan melarikan diri dari
pernikahannya nanti. Selain melarang Dina menggunakan telepon dan
melarangnya keluar villa, kakek tua itu juga membatasi pertemuan Dina
dengan anak-anaknya. Mereka hanya bertemu beberapa jam saja
perhari. Pak Bambang sengaja membatasi pertemuan itu agar Dina tahu
pasti, nasibnya dan nasib anak-anak berada di tangan laki-laki tua itu.
Sesudah pernikahannya dengan putra Pak Bambang, barulah Dina
bebas menemui anak-anaknya lagi. Anak-anak Dina dijadikan jaminan
supaya Dina tetap menurut kepadanya.
Terlalu asyik melamun dan mengamati dirinya sendiri di cermin
membuat Dina terlena dan lengah. Dia tidak menyadari ada sesosok
laki-laki tua masuk ke dalam kamarnya.
"Cantik."
Ungkapan kagum Pak Bambang membuat Dina kaget, ia terhenyak dan
mundur ke belakang.
"Kamu cantik sekali. Aku puas punya menantu seperti kamu." Wajah
Pak Bambang yang sudah terbakar nafsu birahi membuat Dina bergidik
ketakutan. Saat masih menjadi boneka Pak Pram saja kakek tua ini
dengan mudah bisa menidurinya, apalagi sekarang saat mereka tinggal
serumah. "Kalau nanti si Dudung absen meniduri istri barunya, Bapak
bersedia mengambil alih pekerjaan itu. Mempercepat memperoleh
keturunan." Katanya sambil terkekeh-kekeh.
"Ma-maaf... tapi saya sedang tidak ingin diganggu, bisa Bapak keluar
dulu sementara saya berganti...?" Belum sempat Dina melanjutkan, Pak
Bambang sudah maju ke depan mendekatinya. Kepala Dina menunduk
takluk, ia tidak berani melawan kakek cabul ini.
"Aku tidak akan mengganggumu bersolek."
"Saya hanya sedang mencoba baju, bukan bersolek..."
"Bagus! Itu artinya kamu sudah siap menikah dengan anakku esok
lusa, kamu sudah sadar dan menerima siapa kamu serta apa posisimu
sekarang. Jujur saja, aku akan jauh lebih lega kalau kamu akhirnya
dapat menikmati hidup bersama anakku, Dudung." Kata Pak Bambang.
"Tapi kalau melihatmu dengan baju itu, sayang sekali rasanya harus
memberikanmu pada Dudung... kamu terlihat sangat cantik dengan baju
pengantin."
"Terima kasih atas pujiannya, tapi..."
"Tidak perlu takut seperti itu, aku tidak akan menyentuhmu hari ini.
Aku masih lelah. Kecapekan gara-gara kemarin sore meniduri
sekretarisku yang baru. Aku tidak ingin penyakit punggungku kumat
gara-gara kebanyakan meniduri wanita cantik yang mengantri,
walaupun harus kuakui, tubuhmu yang indah itu benar-benar
menggiurkan." Kata Pak Bambang sambil menjilat bibirnya.
Dina mengeluarkan nafas lega, sepertinya dia selamat kali ini.
"Tapi tidak ada salahnya kalau kamu ingin memuaskan calon ayah
mertuamu dengan seponganmu yang nikmat itu." lanjut Pak Bambang.
Dina yang tadinya sudah lega kini menunduk kesal dan mengumpat,
sekali bejat ternyata tetap bejat, dasar laki-laki tua busuk! Melihat
Dina kesal, Pak Bambang tersenyum puas dan kembali menambahi.
"Sangat tidak sopan kalau kamu tidak menyuguhkan hidangan yang
menarik untuk calon mertuamu, kan, Mbak Dina?"
Dina mengangguk sambil menggemeretakkan gigi menahan jengkel.
Pak Bambang duduk dengan jumawa di tepi ranjang Dina. pria tua itu
lalu membuka celananya dan mengeluarkan kemaluannya dari dalam
celana dalam tanpa rasa risih sedikitpun. "Dihisap-hisap sedikit saja."
Katanya sambil menyunggingkan senyum tanpa dosa. "Seperti
biasanya."
Senyuman yang sangat menjijikkan dan membuat harga diri Dina jatuh
ke dasar lantai terbawah. Si cantik itu terhina sekali namun tak bisa
melakukan apa-apa, dia harus melakukan apapun yang diminta Pak
Bambang.
"Kamu punya wajah yang sangat cantik," kata Pak Bambang, "bibir
yang indah..."
Dina tidak ingin mendengar kata-kata gombal dari kakek tua itu lebih
panjang lagi, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan langkah
pelan ibu muda yang cantik itu berjongkok di hadapan calon ayah
mertuanya, perut Pak Bambang yang gemuk menggelambir membuat
Dina muak, tapi dia harus menahan diri agar tidak muntah di
hadapannya. Pria tua itu sendiri kegirangan melihat Dina sudah siap
mengulum kemaluannya.
Dengan jari jemari lentik yang terawat rapi Dina mengangkat kantong
kemaluan Pak Bambang dan memainkannya dengan lembut. Ketika
tangan kirinya sibuk mengelus kantung Pak Bambang, tangan kanan
Dina mengangkat batang kemaluannya. Jari jemari Dina yang sangat
halus dan lembut membuat kakek tua itu harus menggigit bibir agar
bisa menahan nafsunya yang menggelegak. Baru dipegang saja sudah
nafsuin, apalagi nanti kalau sudah masuk ke mulutnya...
Wajah Dina kian mendekati penis Pak Bambang, entah kenapa makin
lama dia semakin ingin mengulum kemaluan laki-laki tua itu. Dia malu
pada dirinya sendiri karena tak mampu mempertahankan harga diri dan
lemah pada nafsu birahi yang selama ini telah dilatih dan dibangkitkan
oleh Pak Pramono. Kemaluan Pak Bambang tidak menarik, keriput dan
terlihat tua, tapi seperti apapun bentuk penis Pak Bambang, Dina mau
tidak mau harus menikmatinya.
Pak Bambang terus mengamati wajah cantik dan jari-jari lembut yang
kini memegang alat vitalnya. Wajah Dina yang segar dan sangat cantik
membuat laki-laki tua itu hampir-hampir tak tahan.
Dina melirik ke atas, menatap wajah Pak Bambang yang diselimuti
nafsu birahi. Wajah laki-laki tua itu berkeringat deras, matanya
terbelalak tajam seakan hendak keluar dari wajahnya dan air liur
menetes pelan dari ujung mulutnya. Dina tahu pasti, wajah yang
sedang menatapnya bukanlah wajah yang tampan, wajah itu adalah
wajah seorang kakek tua bejat yang penuh nafsu dan berkuasa penuh
atas dirinya.
Mulut Dina terbuka, lidahnya keluar dan dengan lembut ia menjilat
bagian bawah batang kemaluan keriput milik Pak Bambang. Kakek tua
itu bergetar karena nikmat yang ia rasakan. Ia menatap tajam mata
indah milik Dina ketika ibu muda dua anak itu mulai memasukkan
ujung gundul kemaluan Pak Bambang ke dalam mulutnya yang mungil
dan perlahan menghisapnya.
"AAARRGHH!!!" teriak Pak Bambang. Kakek tua itu tak mampu
menahan dirinya lagi, ia merasa tubuhnya melayang dan melambung
tinggi ke awan, ia merasa dirinya bagaikan raja yang sedang dilayani
oleh hambanya. Rasa nikmat yang ia rasakan tak terucapkan, penis
tuanya yang lelah masih bisa diperlakukan dengan lembut oleh wanita
terhormat seperti Dina. Pak Bambang memejamkan mata ketika lidah
Dina mulai berputar di ujung kemaluannya.
Pak Bambang memang sering bermain cinta dengan wanita muda,
dengan istri atau bahkan dengan anak gadis orang. Tapi nikmat yang
ia rasakan tidak setulus ini, kelembutan wanita dewasa yang anggun
seperti Dina membuat Pak Bambang merasakan nikmat yang luar biasa.
Sementara bibir Dina terus bergerak mengulum dan lidahnya menjilat,
Pak Bambang mengelus rambut indah Dina yang lurus sebahu dengan
jari jemarinya yang gemuk. Kedua tangan Pak Bambang lama kelamaan
menjepit kepala Dina dan menyorongkannya maju mundur seiring
gerak hisapan si cantik itu. Dina tak melawan sedikitpun. Pak
Bambang mulai menggerakkan kepala Dina dengan cepat, mendorong
kemaluannya masuk ke kerongkongan ibu muda yang jelita itu dan
menariknya keluar, lalu mendorong masuk lagi secepatnya. Kakek tua
itu melakukannya berulang dan semakin lama semakin cepat. Ia sangat
menikmati kuluman bibir mungil Dina.
"Arrrggghhhh, ...enaknyaaaa!!" kata Pak Bambang yang mulai
kehilangan kontrol.
Dina tetap meneruskan sepongannya sementara Pak Bambang
menggerakkan pinggulnya agar bisa melesakkan penisnya dalam-
dalam ke mulut Dina. Jepitan tangan Pak Bambang di kepala Dina
makin rapat dan dorongannya makin dalam, hal itu membuat Dina
terbatuk-batuk.
"Aaaaggghh, aku mau keluar! Di dalam mulutmu! Aku mau keluarin di
dalam mulutmu!" kata-kata itu diucapkan Pak Bambang sambil
memejamkan mata dan menggemeretakkan gigi. "Yaaaaa!!
Yaaaaaaaaaa...!!! Ahhhhhhhh!!!"
Tanpa basa-basi, kontol Pak Bambang menyemprotkan cairan kental
ke dalam kerongkongan Dina seperti keran bocor. Dina harus berusaha
menelan air mani kakek tua itu agar tidak tersedak. Semprotan kontol
keriput itu hanya berlangsung beberapa detik, tidak terlalu lama dan
tidak banyak.
Pak Bambang mengangkat kepala Dina agar wajah si cantik itu
menatapnya. "Kamu cantik. Sungguh sangat cantik." Pak Bambang tak
pernah bisa menahan diri di hadapan wanita anggun yang jelita ini.
Setelah tetesan terakhir mani kakek tua itu turun, Pak Bambang
menarik kontolnya dari mulut Dina. Mulutnya tersenyum penuh
kepuasan.
Dina berdiri dengan goyah, ia meneguk semua mani Pak Bambang agar
tertelan ke perut, hanya itulah satu-satunya cara agar tidak tersedak.
Tanpa menunggu Pak Bambang yang masih dibuai kenikmatan, Dina
berjalan ke arah kamar mandi. Dia ingin berkumur dan membersihkan
mulutnya yang kotor oleh penis peyot si kakek tua bejat. Pak Bambang
mengawasi Dina yang melangkah pelan ke kamar mandi. Pantatnya
yang bulat dan buah dadanya yang kenyal membuatnya meneguk
ludah. Alangkah senangnya dia bisa memperoleh menantu seperti Dina
yang bisa dipakai kapanpun dia mau.
Pak Bambang tertawa penuh kemenangan.
###
Hari sudah semakin siang, jam dinding di ruang tamu sudah
berdentang sepuluh kali. Piring sarapan sudah dibersihkan oleh para
pembantu, menyisakan beberapa buah gelas bersih dan satu pitcher
minuman sari jeruk serta satu botol air putih mineral. Dina masih
duduk bermalas-malasan di balkon 'rumah' barunya. Rumah yang kini
ia tempati sangat besar dan mewah, mirip rumah-rumah yang sering
ditampilkan di sinetron-sinetron lokal. Belum pernah seumur hidupnya
ia membayangkan bisa tinggal di rumah sebesar ini, tapi apakah
pantas semua ini ia raih? Apakah pantas semua ia dapatkan? Apakah
pantas ia memperoleh semua ini dengan mengorbankan tubuhnya?
Dina mengelus bibirnya pelan, masih terasa di mulutnya - air mani
Pak Bambang yang meleleh membasahi bibir dan pipinya. Walaupun
baru kemarin ia melakukan oral seks dengan kakek tua bejat itu, tapi
sampai sekarang ia tidak bisa melupakannya. Masih bisa dirasakannya
penis keriput Pak Bambang keluar masuk mulutnya.
Dina memejamkan mata, mencoba menghapus semua kenangan buruk
yang mengganggunya. Ia kehilangan cinta, ia kehilangan martabat, ia
kehilangan harga diri, tapi demi kedua anaknya yang masih kecil, Dina
tidak mau kehilangan kewarasannya. Entah di mana, entah kapan, Dina
yakin, masih ada harapan.
Terdengar ketukan pelan di pintu kaca balkon, salah seorang pembantu
menemui Dina dengan langkah tertahan. Gadis yang manis dan masih
sangat muda, mungkin berasal dari desa. Dia berusaha sopan saat
menemui Dina.
"Maaf, Bu. Tapi Pak Bambang ingin mengajak Ibu makan di ruang
makan. Beliau juga berpesan agar Ibu mengenakan baju yang sudah
disiapkan." Kata sang pembantu.
Dina mengeluh kesal, mau apa lagi kakek tua itu sekarang? Dengan
malas Dina masuk ke dalam kamar dan melihat baju yang sudah
disiapkan oleh Pak Bambang tergeletak di atas ranjang. Ia sudah
menduga kakek tua cabul itu memberikan baju yang sangat seksi. Baju
yang diberikan Pak Bambang berupa rok terusan yang sangat ketat
bila dikenakan. Ujung bagian bawah hanya bisa menutupi sampai ke
paha, sehingga seandainya Dina membungkuk atau duduk maka
selangkangannya akan terlihat jelas. Sementara itu atasan baju
menutup dada agak rendah, baju ini tidak cocok dipakai dengan BH,
karena memang difungsikan untuk mempertontonkan belahan sekaligus
memamerkan kemolekan buah dada Dina. Baju yang sangat seksi dan
merangsang, bukan baju yang pantas dipakai seorang ibu rumah
tangga.
Sambil mendesah kesal Dina mengenakan baju pemberian Pak
Bambang.
Dina melangkahkan kakinya dengan berat hati ke ruangan yang
dimaksud sang pembantu. Ruangan itu berada di ujung villa, di lantai
bawah. Saat Dina melangkah anggun menuruni tangga, beberapa orang
pembantu Pak Bambang yang sedang membersihkan ruang tengah
berdecak kagum melihat kemolekannya. Mereka tahu Dina cantik, tapi
mereka kini jauh lebih kagum melihat keseksiannya. Ibu muda itu
cukup pantas kalau berprofesi sebagai artis sinetron atau model
pakaian dalam.
Dina membuka pintu ruang makan, melangkah masuk dan menutupnya
kembali.
"Ah. Dina! Akhirnya datang juga!" sambut Pak Bambang dengan
gembira.
Sambutan itu agak di luar dugaan Dina. Biasanya Pak Bambang jauh
lebih tenang dan cool. Ia tidak mengira laki-laki tua itu akan
menunjukkan perangai yang seperti ini.
"Ada perlu dengan saya, Pak?" tanya Dina sopan.
Pak Bambang mengayunkan tangan meminta Dina mendekat. Dengan
langkah perlahan wanita cantik itu mendekati sang kakek tua. Ia
melihat seorang laki-laki muda duduk di samping Pak Bambang.
"Perkenalkan. Ini Dudung, anak saya." Senyum Pak Bambang
terkembang. "Calon suami kamu."
Dina terperangah.
###
Dudung Haryanto adalah putra Pak Bambang Haryanto. Banyak yang
tidak menyangka kalau orang cerdas dan licik seperti Pak Bambang
memiliki anak idiot seperti Dudung. Walaupun keberadaannya
disembunyikan di sebuah tempat terpencil seperti villa yang kini
ditempati pula oleh Dina, tapi sebenarnya Pak Bambang sangat
menyayangi putranya ini. Pak Bambang bahkan 'membeli' Dina untuk
disandingkan dengan Dudung walaupun wanita cantik itu juga menjadi
obyek pemuasan nafsu birahinya.
Saat berhadapan dengan Dina, Dudung tidak berani menatapnya
langsung, pemuda itu hanya menunduk malu tanpa berani sedikitpun
mengangkat kepala. Walaupun kecantikan dan keseksian Dina membuat
kejantanannya bergolak dan membuatnya melirik sedikit demi sedikit.
"Dina," kata Pak Bambang sedikit ketus, wajahnya terlihat sangat
serius, "cepat beri salam pada calon suamimu."
Dina mendekati Dudung dan membungkuk sambil menawarkan jabat
tangan. "Saya Dina."
Dudung malah berbalik dan menjauhi Dina, ia tidak membalas jabat
tangan ataupun salam perkenalan Dina. Dudung membungkuk sambil
mengucapkan kata-kata yang tidak jelas dan sangat pelan.
Pak Bambang tersenyum lembut sambil mendekati anaknya yang
menggumam tidak karuan. "Dudung, ini Dina. Calon istri kamu."
Dudung masih tidak bereaksi.
"Dudung, ini Dina. Calon istri kamu. Cantik tidak?" ulang Pak Bambang.
Dudung masih terdiam.
"Dudung..."
"Ca-ca-cantik sekali." Tiba-tiba saja Dudung menjawab. Kata-katanya
terdengar berat dan terpatah-patah.
Walaupun begitu, tidak ada perubahan posisi, Dudung masih
membungkuk dan menghindari bertatapan langsung dengan Dina yang
berdiri di belakangnya.
Dudung bertubuh sedang, dengan rambut panjang yang acak-acakan.
Wajahnya tersembunyi di balik rambut, namun Dina bisa melihat kalau
Dudung adalah versi muda dari Pak Bambang. Keduanya mirip sekali!
Hanya saja kalau Pak Bambang sangat gemuk, Dudung biasa-biasa
saja. Yang jelas, Dudung bukanlah orang yang tampan. Tubuhnya
membungkuk seperti udang dan gayanya berpakaian sangat aneh,
seperti anak-anak. Kalau dilihat-lihat, mungkin Dudung dan Dina
sebaya.
"Dudung?" tanya Pak Bambang sekali lagi.
Dudung kembali terdiam tak menjawab.
Pak Bambang berdiri, lalu menggandeng Dina mendekati Dudung. Ibu
muda yang cantik itu masih belum tahu apa yang diinginkan Pak
Bambang, tapi tiba-tiba saja... Pak Bambang menarik tangan Dudung
dan meletakkannya di payudara Dina!
Dina menjerit lirih karena kaget.
Secara reflek Dina ingin melepaskan tangan Dudung dari dadanya,
namun ketika dia hendak menepis tangan lelaki idiot itu, Pak Bambang
menatapnya galak. Dina terpaksa menurut. Sial sekali... buah dadanya
harus dikorbankan untuk menarik perhatian Dudung!
Pada awalnya Dudung tersentak, ia kaget dan menarik tangannya saat
ditempelkan ke payudara Dina, apalagi si cantik itu tidak mengenakan
bra sehingga tangannya bisa langsung merasakan lekuk keindahan
buah dada Dina. Tapi ketika Pak Bambang mengulangi aksinya,
Dudung tidak menolak. Walaupun masih malu dan tidak mau
memandang ke arah Dina, tapi tangannya meremas dan menelusuri
buah dada Dina yang kenyal dengan liar.
"Ungghhh..." Dina mendesah. Ada perasaan campur aduk dalam dirinya,
antara sakit secara fisik dan bergairah secara khayal.
"Bagaimana, Dudung? Enak tidak?" tanya Pak Bambang pada anaknya
yang masih malu-malu.
Dudung belum menjawab, tapi butiran keringat mulai deras membasahi
wajahnya. Laki-laki dewasa yang masih seperti anak kecil itu
kebingungan harus menjawab apa. Untuk sesaat Dina merasa kasihan
pada Dudung, dia hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh
ayahnya yang bejat. Dudung tidak punya pendirian, harus selalu
dibimbing.
"E-enak..." tiba-tiba saja Dudung menjawab.
Pak Bambang dengan kasar menarik dan membuka baju Dina, kedua
balon buah dadanya kini terpampang dengan jelas di depan kedua
lelaki itu. Dina menjerit ketakutan, tapi remasan tangan Pak Bambang
di pergelangan tangannya membuat si cantik itu bungkam. Pak
Bambang mendekati Dina dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Dina berbicara dengan nada bergetar. "D-Dudung... i-ini susu saya..."
Tiba-tiba saja Dudung berbalik! Cukup cepat bahkan, sampai-sampai
Dina kaget dibuatnya. Kedua tangan Dudung langsung beraksi,
meremas, memilin dan memutar-mutar buah dada Dina dengan liar.
Kali ini Dudung beraksi tanpa bimbingan ayahnya dan tanpa rasa malu.
"E-enak... susu..." kata Dudung sambil menyeringai bahagia. "Susu...
susu..."
Tanpa basa-basi Dudung nyosor ke dada Dina, menangkup puting
susu Dina dengan mulutnya. Dengan buas, Dudung menyedot-nyedot
pentil payudara Dina yang kuncup. Kelakuan Dudung persis seperti
seorang bayi yang menetek pada bundanya.
"Aaaahh!!" Tubuh Dina bergetar, rasa nikmat dan geli membuatnya
gelisah, enak sekali pentilnya dikulum-kulum laki-laki berbibir
monyong seperti Dudung. Ukuran bibirnya yang besar membuat
payudaranya seperti dioles oleh sepon besar basah yang mengitari
balon buah dadanya. Entah harus senang atau malah risih,
membingungkan Dina. Ia tidak ingin terlena oleh orang seperti Dudung,
tapi ini enak sekali.
Tangan Dudung yang besar masih tak terhentikan, meremas dan
memilin buah dada Dina sebelah kanan sementara mulutnya nyosor
kesana kemari di dada kiri. Pak Bambang duduk di kursi yang agak
jauh dan membiarkan anaknya menikmati keindahan payudara ibu
muda yang cantik itu. Ini bukan pertama kalinya buah dada Dina
menjadi sasaran laki-laki asing, namun entah kenapa Dina tidak ingin
menghentikan Dudung menikmati tubuhnya. Entah kenapa pula Dudung
bersikap sangat agresif sekaligus kebingungan, gerakannya patah-
patah dan ragu-ragu, seperti seorang laki-laki penuh nafsu yang baru
pertama kalinya mengenal payudara wanita.
Dudung menggerakkan bibirnya berputar liar di sekitar pentil susu
Dina, lalu menangkupnya berulang, menghisap kenikmatan erotis yang
diberikan oleh buah dada ibu muda yang cantik itu. Tangan Dudung
tidak tinggal diam, bergerak bebas menyusuri perut dan pinggang
Dina, menambah sensasi erotis bagi mereka berdua. Dina hanya bisa
mendesah-desah menahan perasaannya. Ia menutup mata sambil
menggigit bibir bawah untuk mempertahankan diri.
Sayangnya lama kelamaan Dudung berubah menjadi semakin buas,
sedotan bibirnya pada payudara Dina mengencang dan menguat,
cenderung menggigit. Karena gemas, Dudung juga mencubit puting
dan meremas buah dada Dina kuat-kuat, tentu saja rasanya sakit
sekali.
Dina berusaha bertahan, tapi ketika Dudung menggigit puting
payudaranya, wanita cantik itu tak kuat lagi, ia menjerit kesakitan.
"Aaaaahhh!!"
Rasa sakitnya tak tertahankan, gigitan Dudung meninggalkan bekas
memerah di sekitar pentil Dina. Karena kaget mendengarkan teriakan
Dina, Dudung melepaskan gigitannya dan melompat mundur.
"Maaf! Maaf! Maaf! Maaf!" ulang Dudung berulang-ulang, wajahnya
ketakutan sekali.
"Ti-tidak apa-apa..." Dina berusaha meraih Dudung yang ketakutan, ia
khawatir Pak Bambang akan tersinggung melihat Dudung ketakutan
seperti ini.
Benar saja, pria tua itu bangkit dari kursinya dan mendekati Dina
dengan penuh amarah.
PLAAKK!!
Pipi kanan Dina memerah karena tamparan keras Pak Bambang. Wajah
pria tua itu berubah sadis, rahangnya mengeras. "Dengar baik-baik,
pelacur brengsek! Aku tidak peduli sekalipun pentilmu itu putus digigit
anakku! Pokoknya apapun yang dia mau, bagaimanapun caranya, harus
kamu berikan! Mengerti?! Jangan sekali-sekali membuat dia kaget atau
takut!"
"Tapi... tapi..." Air mata Dina mengalir, ia menutup dadanya yang
telanjang dan menggigil ketakutan.
"TIDAK ADA TAPI!" bentak Pak Bambang. Tangannya sudah diangkat,
bersiap menampar sekali lagi.
"Ja-jangan!"
Pak Bambang dan Dina sama-sama terkejut. Belum sampai Pak
Bambang menampar Dina, Dudung sudah menahan tangan sang ayah.
Rupanya ia tidak ingin Pak Bambang menyakiti Dina.
"Jangan. Jangan. Jangan..." Dudung menggelengkan kepala berulang
kali. "Jahat. Jahat..."
Pak Bambang menurunkan tangannya dan mendesah, ia mengeluarkan
nafas panjang dengan berat hati. Tangannya yang gemuk membelai
rambut Dudung dengan penuh rasa sayang. Wajahnya berubah menjadi
lembut. Dina akhirnya mengeluarkan nafas lega, dengan takut-takut ia
meninggalkan Pak Bambang dan Dudung berdua di ruang itu.
Beruntung, keduanya tidak mempedulikan kepergian Dina. Ibu muda
yang cantik itu segera lari ke kamarnya yang berada di atas.
Dina hanya bisa menangis.
###
Dina tidak ingin hari pernikahannya tiba, tapi tidak ada satu orangpun
di dunia ini yang bisa menghentikan atau memutar waktu. Mau tidak
mau, terpaksa atau tidak, hari ini, dia akan menikah dengan Dudung.
Awalnya Dina takut dan kecewa setelah melihat penampilan Dudung
yang kurang mengesankan, tapi kebaikan hatinya mengagetkan Dina. Ia
menghentikan Pak Bambang sebelum ia menampar Dina, itu
membuktikan walaupun Dudung bodoh dan idiot, ia bukanlah orang
yang jahat. Ada sedikit rasa tenang di batin Dina, kalaupun ia terpaksa
menikahi seorang lelaki idiot, setidaknya ia menikah dengan orang
idiot yang baik.
"Bagaimana, Mbak Dina? Sudah?"
Dina tersadar dari lamunannya. Ia sedang berada di kamar dan sedang
dirias oleh penata rias pilihan Pak Bambang, wajahnya kini terlihat
sangat cantik, ia bagaikan seorang artis yang sedang melakukan
pernikahan di sinetron atau film, cantik sekali. Seandainya nanti sudah
dipadu dengan gaun pengantin yang indah dan mewah, Dina akan
tampil sempurna bagaikan seorang ratu.
"Bagaimana menurut Mbak Dina, sudah cukup riasannya?" tanya penata
rias itu untuk kedua kalinya.
"I-Iya... sudah..." jawab Dina sambil memperhatikan dirinya di dalam
cermin. "Terima kasih."
"Mbak Dina ini cantik sekali, jadi saya tidak perlu mendandani terlalu
berlebihan, semua riasan saya hanya untuk memperjelas kecantikan
Mbak Dina saja." Kata penata rias itu lagi, sedikit terlalu cerewet.
"Saya iri sekali, bisa-bisanya Mbak Dina punya kulit yang halus, wajah
cantik dan rambut yang sesempurna ini. Wah, kalau saya, bukannya
Mas Dudung, saya lebih pilih bintang sinetron, penyanyi band terkenal
atau pengusaha kelas atas sebagai suami saya, Mbak. Ah, tapi itu kan
saya ya... bukan Mbak Dina. Nah, sekarang... kita pakai gaun
pengantinnya, ya?"
Dina hanya bisa tersenyum lemas mendengar komentar jujur dari sang
penata rias, seandainya bisa memilih, ia tidak akan memilih Dudung.
Sebelum gaun dipakai, tiba-tiba saja pintu kamar Dina terbuka dan
sosok seorang lelaki tua yang gemuk masuk ke dalam. Rupanya Pak
Bambang yang datang, entah apa maunya. "Kalian sudah selesai?"
Sang penata rias mengangguk dan menghampiri Pak Bambang. "Sudah,
Pak. Hanya tinggal menata rambut dan memakaikan gaunnya saja.
Mbak Dina ini cantik sekali, jadi riasan saya cukup sekedarnya,
wajahnya sudah sempurna dan..."
"Ya sudah, kamu keluar dulu sana, saya ingin bicara dengan Dina."
kata Pak Bambang ketus. Mata lelaki tua itu melirik ke arah beberapa
orang asisten sang penata rias, ia membuka pintu lebar-lebar,
menyuruh mereka semua keluar. "Saya ingin bicara dengannya sendiri.
Nanti kalau sudah selesai, kalian boleh masuk lagi."
Tak perlu diminta untuk kedua kalinya, sang penata rias dan
asistennya berbondong-bondong pergi ke luar meninggalkan Pak
Bambang dan calon menantunya di dalam kamar. Mereka semua takut
pada pria tua yang sangat kaya dan berkuasa ini.
Dina berpura-pura membenahi bedak di wajahnya untuk menghindari
bertatapan mata langsung dengan Pak Bambang.
"Dina." panggil Pak Bambang.
Dina menengok ke arah Pak Bambang dengan malas. "Ya?"
"Sebentar lagi kamu akan menikah dengan anakku, ijinkan aku
mencicipimu untuk yang terakhir kali sebelum kamu menikah."
Mata Dina terbelalak kaget.
"Angkat rokmu tinggi-tinggi dan buka celana dalammu, ini tidak akan
lama."
Tubuh Dina bergetar ketakutan. Sekarang? Bandot tua ini hendak
menyetubuhinya sekarang? Beberapa jam sebelum pernikahan dengan
anaknya dimulai?
"Buka!" Pak Bambang maju mendekati Dina yang ketakutan.
Ibu muda yang cantik itu kebingungan mencari beribu alasan, tapi
mulutnya tercekat, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya.
Apa yang harus dilakukannya? Sebentar lagi dia akan menikah!
###
Tempat pernikahan telah tertata, Dudung duduk sendiri di tengah
ruangan. Beberapa orang saudara mengitarinya dan menyiapkan
tempat duduk.
Dudung melihat ke arah jam tangannya berulang-ulang kali, ia gelisah
sekali, mana ayahnya? Kenapa tidak turun-turun? Ia tidak suka kalau
ada banyak orang yang mengerumuninya seperti sekarang ini, ia tidak
suka. Mana ayahnya? Dudung menggerakkan kerah bajunya dengan
sebal. Baju ini tidak enak dipakai, terlalu ketat, terlalu panas, ia tidak
suka. Ia ingin pakai kaos saja. Mana ayahnya?
Dua orang pembantu yang kebetulan berada di dekat Dudung saling
berbisik.
"Mana Pak Bambang? Mas Dudung sudah gelisah tuh."
"Katanya sih tadi ke atas, nyari Mbak Dina."
"Nyari Mbak Dina? Bukannya Mbak Dina baru dandan juga? Emang Pak
Bambang mau
ngapain?"
"Ngapain lagi coba? Ya pengen itu..."
"Astaga! Sekarang?"
"Iya. Sekarang."
"Gila. Bener-bener gila. Kasihan sekali Mbak Dina."
Hubungan Dina dan Pak Bambang memang sudah menjadi rahasia
umum, terutama di kalangan karyawan-karyawan kakek tua itu.
Kebanyakan dari mereka menyayangkan kemolekan Dina yang tersia-
sia karena harus melayani bandot tua seperti Pak Bambang. Hampir
semua karyawan bersimpati pada Dina.
###
Keringat Dina bercucuran, bola matanya yang indah berulang kali
mengawasi jam dinding yang berdetak pelan di atas dinding.
"Ja-jangan lama-lama..." bisik Dina. "Ki-kita sudah ditunggu... ah!"
Pak Bambang tidak menanggapi kata-kata Dina, ia putar tubuh calon
menantunya itu agar menghadap ke arah dinding dan
membelakanginya. Dengan gerakan ringan laki-laki tua yang sudah
dilanda nafsu syahwat itu mengangkat rok Dina, lalu menarik celana
dalamnya tanpa basa-basi. Celana dalam Dina yang mungil merosot ke
bawah melewati kakinya yang jenjang dan indah. Pantat bulatnya yang
putih kini tinggi menantang sang pria tua.
"Ja-jangan..." desah Dina lagi.
"Jangan apa?" kali ini Pak Bambang menanggapi dengan nada ketus.
Pria tua itu sedang melucuti celananya sambil menikmati keindahan
bibir kemaluan Dina yang terlihat jelas di selangkangan sang calon
menantu. "Buka kakimu lebar-lebar!"
Dengan gerakan patah-patah dan gelisah, Dina membuka kakinya.
Tubuhnya bergetar, sebagian karena takut, sebagian lagi
mengantisipasi kalau-kalau Pak Bambang melesakkan kemaluannya
tanpa pemanasan.
"Jangan apa?" ulang Pak Bambang.
"Ti-tidak..." Dina menggelengkan kepala dengan takut.
"Buka kakimu! Lebih lebar!"
Karena takut, tanpa sadar Dina malah menutup kaki dan mengunci
selangkangannya. Hal ini tentu saja membuat Pak Bambang jengkel.
Dia menampar pipi pantat Dina keras-keras!
PLAKK!! PLAKKK!! PLAKKK!!
Dina yang takut dan kesakitan membuka kembali kakinya, memberikan
akses pada Pak Bambang untuk bisa segera melanjutkan niatnya.
Tubuh Dina bergetar ketika tangan-tangan Pak Bambang mulai
menyentuh dan meremas pantatnya. Lalu...
"HNGHHHHH!!!" Dina memejamkan mata dan menggigit bibirnya kuat-
kuat. Sakit! Sakit sekali rasanya!
Tiba-tiba saja Pak Bambang melesakkan kemaluannya! Tanpa
pemanasan dan tanpa aba-aba! Liang kenikmatan Dina belum
sepenuhnya mengeluarkan cairan pelumas sehingga masih kering dan
rapat. Penis Pak Bambang yang mendesak masuk membuat Dina
sangat kesakitan!
"ANNGHHH!! Sakit!!!" desah Dina, ia mengerang berulang, tubuhnya
mengejang dan berontak. Tapi Pak Bambang sudah siap, ia erat
mengunci tubuh Dina dan mendorongnya ke depan - ke arah tembok.
Karena tidak tahan, Dinapun menjerit. "Sakit!!! Sakit!!"
Pak Bambang tidak peduli, walaupun air mata menetes di pipi Dina dan
merusak make-up tipis yang tadi dioleskan oleh penata rias, Pak
Bambang tetap melaksanakan niatnya. Dengan ganas kakek tua itu
memaju-mundurkan pinggulnya, menusukkan kemaluannya dalam-
dalam ke memek Dina yang rapat. Kenikmatan bagi Pak Bambang,
siksaan luar biasa bagi Dina.
Dina memejamkan mata menahan sakit, ia menggigit bibir, mencoba
memberontak, merenggangkan kaki, tapi tidak ada yang bisa membuat
permainan Pak Bambang jauh lebih nyaman baginya. Dia juga tak
mungkin berteriak minta tolong karena tidak ada yang bisa
menghalangi niat Pak Bambang menyetubuhinya. Setelah beberapa
saat lamanya penis laki-laki tua itu keluar masuk liang kenikmatannya,
Dina merasakan cairan pelumas mulai meleleh membasahi dinding
vaginanya. Sayang sakit yang tak tertahankan masih terus terasa.
Pak Bambang menyetubuhi Dina dengan ganas, ia lepaskan semua
penat yang ia rasakan dengan memanfaatkan tubuh calon menantunya
yang aduhai. Semua cara ia lakukan untuk bisa meraih kepuasan
tertinggi, ia meremas buah dada Dina, menciumi punggung dan
tengkuk lehernya sembari berulangkali menghunjamkan batang
kemaluan ke liang kenikmatan sang bidadari dari arah belakang. Tubuh
ibu dua anak itu memang masih sangat sintal dan padat, menggiurkan
sekali, tak rela rasanya Pak Bambang kalau dia harus menikmati
keindahan tubuh Dina ini untuk terakhir kali. Walaupun resmi akan
dinikahi Dudung, ia akan terus mencicipi kenikmatan sang bidadari
setiap ada kesempatan! Kemolekan Dina terlalu sayang untuk
dilewatkan!
Gerakan pinggul laki-laki tua gemuk itu makin lama makin cepat, ia
memompa sekuat tenaga dengan gerakan bertubi, menumbuk memek
Dina tanpa kenal henti. Untuk lelaki seumur Pak Bambang, hal ini
sebenarnya luar biasa sekali, siapa sangka kakek tua gemuk itu masih
punya tenaga ekstra?
Selagi kelaminnya bekerja keras, mulut Pak Bambang tak mau kalah, ia
mencium dan menjilat bagian belakang leher dan telinga Dina,
membuat bidadari itu merintih dihajar nafsu birahi. Rengekannya
bagaikan musik yang merdu bagi sang lelaki tua, membuatnya semakin
meningkatkan kekuatan tumbukan kontolnya pada liang kemaluan sang
ibu muda. Walaupun awalnya kesakitan, namun lama kelamaan Dina
bisa merasakan kenikmatan yang muncul dengan cepat.
"Paaaakkk!!!" jerit Dina tak kuat menahan nafsu birahinya yang
mendesak keluar, matanya merem melek merasakan kenikmatan,
tubuhnya bergetar dan bibirnya tak lelah mengeluarkan desahan. Ia
ingin berteriak, tapi tak bisa. Kedua lengannya bertumpu ke dinding
sementara calon mertuanya terus memompanya dari belakang, pipinya
sampai menempel ke tembok dan berulangkali terhantam karena
kuatnya dorongan dari belakang. Dina benar-benar tak kuat lagi, dia
ingin teriak... "Paaaakk!!"
Pak Bambang merasakan tubuh Dina mengejang, kedua mata Dina naik
ke atas dan hampir-hampir memutar ke belakang. Si cantik itu telah
sampai ke ujung kenikmatannya. Kini giliran Pak Bambang, dia hampir
sampai ke titik penghabisan, dia pastinya tak mau kalah. Gerakan laki-
laki tua itu menggila, ia pompakan semua tenaganya, ia fokuskan pada
kemaluannya.
"Harrrrghhh!!!!!"
Letupan sperma kental melesat ke dalam liang rahim Dina, berulang-
ulang. Puas sekali Pak Bambang. Memek Dina yang tadinya sudah
basah kini makin banjir oleh campuran cairan cinta mereka berdua.
Pijatan liang kenikmatan pada penis Pak Bambang mulai mengendur,
tubuh gemuk laki-laki tua yang kelelahan itu ambruk dan bersandar di
punggung Dina.
Air mata tipis meleleh di pelupuk mata sang bidadari, Dina malu sekali.
Dia tidak ingin diperlakukan seperti ini terus menerus. Tapi dia tidak
bisa mengingkari kenikmatan yang ia rasakan, bagaimana mungkin ia
mengaku terpaksa, kalau dia juga mencapai orgasme?
Pak Bambang menarik keluar kemaluannya dengan satu sentakan
kasar, Dina sampai mendesis dibuatnya. Habis manis sepah dibuang.
Setelah merasa puas, laki-laki tua itu berdiri dan memakai kembali
celananya tanpa peduli pada Dina yang ambruk kelelahan. Air mani Pak
Bambang meleleh dari sela-sela memek Dina, turun hingga sampai ke
paha.
"Bersihkan dirimu, sebentar lagi kamu akan menikah." Kata Pak
Bambang ketus. "Besok kita lanjutkan lagi."
Dina diam saja, dengan tenaga yang tersisa ibu muda yang cantik itu
menyeret tubuhnya ke atas ranjang dan rebah di sana. Ia tak berkutik
lagi karena lelah.
Ketika Pak Bambang melangkah keluar dari kamarpun, Dina tak
beranjak.
Dina hanya bisa menangis tanpa suara.
###
Pak Bambang keluar dari kamar Dina dengan langkah kaki jumawa dan
wajah yang sangat puas. Ia segera disambut penata rias dan para
asistennya yang rupanya sudah menunggu sedari tadi.
"Bagaimana, Pak? Sudah selesai bincang-bincangnya?" tanya sang
penata rias.
"Sudah. Sana masuk, bereskan yang tadi." angguk Pak Bambang.
"Baik, Pak..." Sang penata rias melambaikan tangan mengajak para
asistennya masuk ke kamar sementara Pak Bambang meninggalkan
tempat itu.
"AH!" Sang penata rias menjerit!
Ia melihat Dina tertelungkup di atas ranjang pengantin dengan make-
up berantakan dan baju yang acak-acakan. Calon pengantin itu nyaris
telanjang!
Apa yang baru saja terjadi?
Apa yang Pak Bambang lakukan pada menantunya?
Sang penata rias rupanya belum mengetahui rahasia umum yang
beredar di kalangan pembantu Pak Bambang.
Penata rias itu menjadi lemas karena harus mengulangi semuanya dari
awal, terlebih lagi wajah Dina kini acak-acakan. Secantik apapun Dina,
butuh waktu untuk mengembalikan semuanya seperti semula.
###
Matahari bersinar cerah, mendung yang menggantung sepanjang siang
kemarin tidak nampak sedikitpun pagi ini. Awan yang berarak tipis tak
mampu menghalangi terangnya sinar mentari yang menerawang
menembus langit biru. Burung-burung berkicauan sepanjang pagi,
mereka bertengger di ranting-ranting pohon mendendangkan pujian
hari yang indah.
Villa besar milik keluarga Haryanto yang berdiri megah di atas bukit
sejuk hari ini ramai oleh mobil-mobil mewah yang parkir di sepanjang
halaman hingga ke jalan raya. Siapapun yang mengenal Bambang
Haryanto, hadir hari itu di villa keluarganya yang megah. Tenda
berwarna biru dan putih penuh hiasan digelar di halaman, meja penuh
santapan lezat tak pernah sepi dikelilingi para tamu. Para tamu tidak
tahu kalau Pak Bambang punya seorang anak yang sebelumnya tidak
pernah terlihat di kota, tapi tahu-tahu sekarang akan menikah.
Hari itu adalah hari pernikahan Dudung Haryanto dan Dina Febrianti.
Prosesi pernikahan diadakan di ruang tamu di dalam villa. Pak
Bambang duduk dengan santai di depan meja pernikahan sementara
Dudung yang gembira tak mampu menutupi keceriaannya. Dudung
yang sudah berjumpa dengan Dina bahagia sekali mendapatkan
seorang pengantin wanita yang sangat cantik. Pak Bambang juga sama
bahagianya, ia melakukan semua ini demi Dudung. Melihat putra yang
paling dikasihi sekaligus paling memalukan itu bahagia membuat Pak
Bambang menarik nafas lega dalam-dalam, tugas untuk merawat
Dudung kini ia serahkan pada Dina.
Pak Bambang terkekeh sendiri kalau teringat dia baru saja mencicipi
pengantin wanita yang cantik. Pasti butuh waktu agak lama bagi Dina
untuk mempersiapkan diri lagi setelah Pak Bambang menyetubuhinya
beberapa saat yang lalu. Petugas KUA yang sudah ditunjuk dan disuap
oleh Pak Bambang duduk dengan tenang memeriksa semua berkas-
berkas catatan yang ada di meja pernikahan.
Akhirnya, Dina datang diiringi kedua putranya yang membawa bunga
dan saudara-saudara jauh Dudung. Wanita dewasa yang cantik jelita
itu semakin nampak seksi dalam balutan baju pengantin berwarna
putih tulang yang sangat indah. Kalau saja ada orang yang memeriksa,
bercak-bercak pejuh Pak Bambang yang tadi bertebaran di sekujur
paha dan selangkangan Dina mungkin saja menempel di baju
pengantinnya. Si cantik itu hanya bisa membersihkan diri di beberapa
bagian saja.
Dudung makin ngiler melihat calon pengantinnya datang, seksi sekali
memang Dina saat itu. Langkah kakinya anggun memasuki ruang
pernikahan. Walaupun kepalanya tertunduk dan wajahnya pucat, tapi
semua orang yang berada di tempat itu setuju, Dina Febrianti menantu
Pak Bambang adalah wanita yang sangat cantik dan seksi. Mereka juga
sangat kasihan sekali melihat wanita secantik Dina disandingkan
dengan pria seperti Dudung.
Dina duduk di samping petugas dari KUA, di depan Dudung.
Prosesi pernikahan dimulai.
###
Dina menangis. Ia menangis sejadi-jadinya.
Prosesi pernikahannya telah berlangsung dengan lancar tanpa
gangguan dan kini namanya telah tertera resmi dalam buku penikahan
dan catatan sipil sebagai istri dari Dudung Haryanto. Bukankah
seharusnya ia bahagia? Sebaliknya, ia sakit hati sekali, ia merasa
hancur, ia merasa kotor seperti seorang pelacur. Ia berharap Anton
akan datang dan menghentikan pernikahan ini, ia berharap mantan
suaminya akan datang dan menyelamatkannya. Tapi tak seorangpun
datang untuk menyelamatkannya, tak ada seorangpun yang peduli, tak
ada yang berani.
Dina tidak peduli kalau make-upnya berantakan dan wajahnya
belepotan, ia tidak peduli kalau ia berubah menjadi jelek seperti orang-
orangan sawah sekalipun. Ia hanya ingin pergi dari tempat ini bersama
kedua anaknya dan kembali bersatu dengan Alya dan Lidya. Sayang
semua itu tidak bisa ia lakukan, ia terjebak dalam genggaman laki-laki
tua brengsek tapi kaya raya bernama Bambang.
"Mbak Dina? Mbak Dina ada di dalam? Mas Dudung sedang menunggu
sendirian di luar, kasihan dia, masih banyak tamu yang ingin
bersalaman. Ayo cepat keluar!" panggil salah seorang saudara dari luar
kamar mandi.
"I-iya... sebentar." Jawab Dina terbata-bata. Buru-buru wanita cantik
itu mencermati cermin yang ada di kamar mandi dan membenahi make-
upnya yang berantakan karena menangis.
Tak lama kemudian, Dina keluar dari kamar mandi dan menemani
Dudung yang masih terus menemui beberapa orang tamu. Beberapa
kali Dudung berteriak-teriak ingin masuk ke kamar karena capek dan
bosan, tapi Pak Bambang selalu melarang. Untunglah Dina keluar dan
menemaninya, karena setiap kali bersanding dengan pengantin
barunya, Dudung menjadi pendiam dan sangat sopan.
###
Lampu dinyalakan sedikit temaram, beberapa batang lilin dinyalakan di
pojok ruangan, lagu-lagu lama yang melodius dan menyejukkan penuh
syair cinta dinyalakan dari satu CD player. Ranjang besar sudah tertata
rapi. Wangi bunga yang semerbak mengharumkan seisi ruangan. Kamar
pengantin yang sempurna. Entah siapa yang telah merapikan ruangan
ini, mungkin penata rias yang siang tadi mendandani Dina.
Dina duduk terdiam di ujung ranjang, ia sendirian.
Bukannya takut ataupun khawatir, tapi Dudung tak nampak batang
hidungnya sejak acara tadi siang. Mungkin dia kelelahan. Dina juga
sudah sangat lelah, baik pikiran maupun fisik. Menurut Dina akan lebih
baik kalau Dudung tidak datang ke kamar pengantin malam ini. Dina
akan sangat bahagia kalau diperbolehkan tidur sendiri tanpa harus
melayani suami barunya. Dia tidak peduli ini malam pertama atau
bukan.
Dina merebahkan diri ke atas ranjang, ia memejamkan mata, lelah
sekali rasanya hari ini, banyaknya tamu yang datang membuat Dina
harus selalu tersenyum dan memasang wajah bahagia. Ia lelah harus
berbohong sepanjang hari, apalagi vaginanya masih terasa nyeri
karena diperkosa Pak Bambang pagi tadi.
Lalu, ketika Dina merasa aman, pintu kamarnya terbuka. Satu sosok
masuk ke dalam dengan langkah ragu. Pintu kamar ditutupnya.
"Di... Dina?" bisik suara asing itu selembut mungkin.
"Mas Dudung?"
"I... Iya... Dudung."
Dina bangkit dari tidurnya. Tapi sosok Dudung tetap tidak bergerak,
pria itu masih berdiri di dekat pintu, seakan-akan takut mendekat ke
ranjang. Dina menunggu dan duduk terdiam di atas ranjang.
Dina menunggu.
Dan menunggu.
Masih menunggu.
"Mas Dudung?"
"I... Iya?"
"Kenapa berdiri di situ terus? Mas Dudung mau tidur kan?"
"I... Iya..."
Masih dengan langkah ragu, Dudung bergerak maju ke arah ranjang. Ia
duduk di tepi pembaringan, dengan tubuh membelakangi Dina.
Dina duduk menjauh, dia hanya berharap laki-laki bodoh ini sudah
terlalu lelah sehingga mereka tidak perlu bermain cinta.
"Mas Dudung capek?"
"Iya..."
"Mas Dudung mau tidur?"
Dudung menggelengkan kepala dengan semangat.
"Katanya capek?" tanya Dina. "Kalau capek tidur saja, ya?"
"Ka-kata bapak... Du-Dudung... Dudung harus masukin kontol ke
memek Dina sebelum tidur... boleh?"
Dina terhenyak, dasar kakek tua, tidak bisa membiarkannya beristirahat
dengan tenang!
"Iya... tentu saja boleh, kita kan sudah suami istri? Tapi aku lelah
sekali... kita bisa melakukannya besok. Hari ini kita tidur saja, ya?"
"Ka-kata bapak... Du-Dudung... Dudung harus masukin kontol ke
memek Dina sebelum tidur..."
Dina jengkel. Wanita cantik itu akhirnya merebahkan diri tanpa
mempedulikan Dudung. Dia ingin tidur! Kalau Dudung ingin
menidurinya, maka dia akan meniduri wanita yang sudah tidur. Dina
memejamkan mata dan membiarkan Dudung terdiam di tepi ranjang.
Dina heran juga, walaupun bodoh - Dudung sepertinya tahu apa fungsi
alat vital laki-laki dan perempuan. Dasar, anak bapak sama saja, batin
Dina menggerutu.
"Ka-kata bapak... Du-Dudung... Dudung harus masukin kontol ke
memek Dina sebelum tidur..." ulang Dudung lagi. Kali ini Dudung tidak
diam saja, dia bergerak dan mendekati Dina yang berusaha untuk tidur.
Dengan gerakan patah-patah karena takut akan mengganggu Dina,
Dudung mulai membuka baju Dina.
Dina yang tidak tahu harus berbuat apa terdiam ketika Dudung
membuka baju dan celananya. Dina diam tanpa perlawanan, ia seolah
berubah menjadi boneka yang pasrah dilucuti busananya. Walaupun
bodoh, tidak perlu waktu lama bagi Dudung untuk menelanjangi Dina.
Setelah selesai melepas semua pakaian Dina, Dudung melucuti
pakaiannya sendiri. Telanjang dan tersenyum polos, Dudung
membungkuk di antara selangkangan Dina, batang kemaluannya yang
ukurannya luar biasa besar menggelantung di bawah, siap disentakkan
ke dalam memek Dina. Dudung mencoba merenggangkan kaki Dina, ia
menikmati pemandangan indah yang dipamerkan bibir vagina ibu muda
yang cantik itu.
"Mas Dudung...! Apa... apa yang...?" Dina menjerit tertahan, dia berusaha
melepaskan diri dari pelukan Dudung, setelah sekian lama, akhirnya
Dina sadar. Betapa terkejutnya Dina ketika dia melihat ukuran alat
kelamin Dudung yang menggantung. "Jangan, Mas!"
"Kenapa... kenapa Dudung tidak boleh? Apa gara-gara punya Dudung
besar? Dina takut? Nanti Dudung paksa supaya bisa masuk..."
"Jangan! Ya Tuhan! Jangan... jangan kamu paksakan!" kata Dina
kebingungan, bagaimana caranya menolak laki-laki bodoh ini? "Aku
tidak bisa... aku... punyaku sempit sekali... punya Mas Dudung besar
sekali... tidak bisa masuk! Punyaku tidak bisa menerima barang sebesar
itu!"
"Tapi... tapi... tapi Dudung tidak tahan! Du... Dudung mau... mau... mau
memasukkan ini... ke situ..." kata Dudung terpatah-patah, kepalanya
menggeleng dan mengangguk dengan gerakan patah-patah. Pria bodoh
itu menunjuk ke arah kontolnya sendiri lalu menunjuk ke bibir vagina
Dina. "Du-Dudung mau... Dudung kepingin... Dudung... Dudung tidak
mau menyakiti Dina, beneran... pasti enak... beneran. Dina cantik. Dina
mau kan?"
Dina menggeleng, dia berusaha mendorong Dudung agar menjauh. Tapi
pria bodoh itu diam tak bergeming. Secara tak sengaja Dina melihat
wajah Dudung. Betapa kagetnya Dina melihat wajah laki-laki itu.
Dudung terlihat sangat sedih dan terpukul, wajahnya memerah dan
siap menangis. Melihat perubahan wajah Dudung membuat Dina
menghentikan dorongannya.
Dudung sesunggukan, ia menyingkir dari atas tubuh Dina dan duduk di
tepi ranjang.
Dina terdiam.
Di hadapannya kini, seorang pria dewasa tengah terisak-isak karena
penolakannya, sangat berbeda dengan ayahnya yang pernah memaksa
dan memperkosa Dina. Kenapa Dina menolaknya? Apa yang telah
terjadi pada Dina bukanlah kesalahan Dudung... apalagi Dudung telah
resmi menikahinya, sehingga sebenarnya dia berhak atas tubuh Dina.
Dina menundukkan kepala, berpikir keras sementara Dudung masih
sesunggukan.
Dengan satu desahan panjang Dina menggeleng kepala dan menepuk
pundak Dudung. Dia yakin akan menyesali keputusannya ini...
"Kamu mau melakukannya, Mas? Sekarang?" Dina memandang ke arah
Dudung dengan pandangan mata pasrah. Dudung terhenyak kaget, ia
menghapus air mata yang mengaliri pipinya. Dina bertanya lagi,
"Kenapa? Kenapa kamu ingin melakukannya denganku, Mas?"
"Du-Dudung mau karena... karena... karena Dudung suka Dina. Dina
cantik."
"Kamu suka sama aku, Mas? Suka atau sayang?"
"Dudung sayang Dina. Dina cantik... Du-Dudung tidak mau menyakiti
Dina. Janji! Tidak sakit... Dina pasti senang. Pasti..." wajah Dina yang
cantik bersinar membuat Dudung makin bersemangat, dalam keluguan
dan kebodohannya ia tidak sadar bahwa ia mungkin mencintai Dina
sejak pertama kali bertemu dengannya.
Dina tidak bisa melepaskan pandangan dari benda menggantung yang
ada di selangkangan Dudung, ukurannya, bentuknya... ah! Bagaimana
mungkin ia bisa tertarik pada alat vital Dudung? Apakah dia akhirnya
bersedia digauli Dudung karena kasihan dan terpaksa, atau karena dia
ingin segera merasakan batang kemaluan Dudung itu di dalam
memeknya?
Dina tahu dia tak akan pernah bisa menjelaskan pada siapapun,
bagaimana dia bisa tertarik pada manusia aneh bernama Dudung ini.
Dorongan seksual menggebu dalam batinnya menjadi gairah liar tak
tertahankan yang mengurung perasaannya sendiri. Dina hanya
mengangguk pasrah pada pria idiot yang berdiri tegak di hadapannya.
Ibu muda yang cantik itu bahkan membuka kakinya lebar-lebar,
mengeluarkan desahan mesra penuh irama kala batang kemaluan
raksasa milik Dudung menyentuh paha bagian dalamnya. Sentuhan
ringan ujung gundul kemaluan Dudung mengalirkan sensasi dahsyat ke
seluruh bagian tubuh Dina, melejitkan nafsu birahinya sampai ke
tingkat yang tak terkatakan. Dina hanya terdiam, memejamkan mata
dan menunggu.
Dudung yang bodoh tidak tahu bagaimana caranya membuai seorang
wanita, dia tidak mengerti bagaimana caranya melakukan permainan
cinta sejati. Dia tidak tahu bagaimana melakukan pemanasan. Dudung
mengulurkan jarinya ke dalam selangkangan Dina, membiarkan jarinya
masuk dan mencubit bibir kemaluan sang istri yang berwarna merah
jambu, dia melakukannya dengan kasar - tanpa mengelus dan tanpa
rabaan.
Dina melonjak kaget ketika jari-jari Dudung yang ukurannya sangat
besar mengobrak-abrik pukinya yang kini mulai basah. Dina malu pada
dirinya sendiri, Dudung belum melakukan apa-apa tapi kemaluannya
sudah mulai basah. Hanya dengan melihat penis Dudung yang besar
itu, Dina tak mampu menahan nafsu birahinya. Dudung sendiri
sekarang mulai maju, penisnya yang mengeras bagai baja seperti tak
sabar ingin segera menjajah liang kenikmatan milik Dina. Wanita cantik
itu sendiri juga tak sabar, ia ingin Dudung segera melakukannya, ia
ingin penis itu segera masuk ke vaginanya yang dahaga. Tanpa ada
seorangpun yang meminta, Dina mengangkat kakinya lebih tinggi,
memberikan Dudung akses yang lebih bebas, si cantik itu telah
menunggu.
"Ma... masukkan saja, Mas." Desis Dina, tangannya mencengkeram dan
kukunya menancap di pundak Dudung. "A... aku menginginkannya...
berikan padaku... berikan pada istrimu ini..."
Kata-kata Dina bagaikan musik yang indah bagi Dudung, belum pernah
ia mendapatkan seorang wanita yang mau ia perlakukan seperti ini
sebelumnya. Senyumnya yang manis mengundang Dudung untuk
segera melakukan apa yang mereka berdua inginkan. Dengan satu
lolongan yang keluar dari mulut Dudung, kepala gundul kontol raksasa
miliknya mulai masuk ke dalam liang kenikmatan Dina, sedikit demi
sedikit, perlahan-lahan sekali.
Awalnya ujung gundul kemaluan Dudung hanya menyentuh bibir
kemaluan Dina saja, walaupun begitu vagina si cantik itu sudah basah
dan siap menerima serangan. Ketika Dudung benar-benar bersiap
melesakkan kemaluannya, mata Dina terbelalak melebar. Ujung kontol
Dudung dioles kesana kemari, bibir vagina, rambut kemaluan, paha
dalam, seluruh bagian sensitif di sekitar memek Dina dirambahnya.
Dudung tidak tahu mana yang enak dan mana yang tidak. Ia hanya
mengamati perubahan wajah Dina saja. Lalu dengan satu hentakan
pinggul yang kuat, pria bodoh itu memakukan batang penisnya ke
dalam liang kenikmatan Dina yang elastis, merenggangkan dinding-
dindingnya ke batas maksimal.
"Aaaaaaaaaahhhhh!!!" teriak Dina, gabungan rasa sakit dan kenikmatan
yang dirasakannya tak terkatakan. Ia hanya bisa melolong tanpa daya.
"Ooooohhhhhmmm... enaaaaaaakkkkghhhh..."
Luar biasa, kontol Dudung baru masuk hanya beberapa senti saja ke
dalam memeknya, tapi Dina sudah melolong tak berdaya. Tubuh Dina
bergetar hebat merasakan batang kemaluan yang kerasnya bagai kayu
mulai dilesakkan ke dalam kemaluannya, diiringi dengan nafas yang
kembang kempis, Dina mengangkat pinggul dan pantatnya agar
Dudung lebih leluasa. "Terus... terus, Mas," bisik Dina yang sudah tak
mampu menahan diri lagi. "Tidak apa-apa... pelan-pelan saja... jangan
-... jangan terlalu cepat..."
Dudung yang sudah sangat bernafsu tidak bisa mendengar kata-kata
Dina, pria bodoh itu melanjutkan niat buasnya. Ketika penisnya
ditusukkan, rasa sakit menyengat Dina. Si cantik itu mulai memukul-
mukulkan tangannya ke pundak Dudung, perihnya tak tertahankan lagi,
apa yang awalnya nikmat berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa.
Tapi Dudung sudah terlanjur berubah menjadi pejantan yang buas
tanpa ampun, saat itu tiba-tiba saja Dina merasa bodoh. Ia menyesal
merasa siap menerima kemaluan Dudung yang sangat besar itu. Kini,
batang yang keras bagai baja itu telah melesak masuk dan akan terus
masuk sampai ujung terdalam. Siap tidak siap, mau tidak mau, Dina
harus menahannya. Ukuran kemaluan Dudung yang besar seakan
membuat dia hendak merobek bibir kemaluan Dina ketika penisnya
ditanam dalam-dalam di memek sang istri.
"Gakkghhh!! Aghhh!! Ahhh!" Dina melenguh berulang, tenggorokannya
tercekat. Rasa sakit yang tak tertahan membuatnya berontak secara
reflek, namun sia-sia, Dudung sudah berubah menjadi makhluk
mengerikan yang memangsa tubuhnya dengan buas. Tidak ada kata
berhenti atau istirahat, Dudung melanjutkan niatnya, mengobrak-abrik
memek sempit Dina dengan batang kemaluannya yang raksasa. Dina
mengeluarkan air mata, sungguh dia tidak tahan, dia sudah mencakar,
memukul, mendorong, tapi Dudung tetap memompanya. Teriakan Dina
juga tak digubris. Si cantik itu berharap dia bisa segera pingsan, lebih
baik tak sadarkan diri daripada merasakan sakit yang seperti ini.
"Ja-jangan menangis, Dina," pinta Dudung dengan suara memelas, "...
ka-kalau Dina diam saja, Dudung cepat selesai. Kalau diam saja, Dina
pasti merasa enak, soalnya Dudung juga enak. Sebentar lagi selesai,
janji! Jangan menangis... jangan menangis..."
Dina mendengarkan permintaan Dudung yang memelas itu dan
membuka matanya. Pandangan matanya buram dan kabur karena baru
saja menangis. Rasa sakit itu tidak seberapa... batin Dina, setelah
semua yang terjadi... setelah pernikahannya dengan Dudung yang
diawali tanpa dasar cinta, ini semua tak seberapa. Bukanlah Dudung
yang bersalah, tapi ayahnya. Pak Bambanglah yang telah memaksa
mereka menikah. Dina merasa tidak enak hati pada Dudung, pria ini
tidak mengenal siapapun kecuali Dina dan Pak Bambang dalam
hidupnya. Pria yang kesepian dan tak punya teman. Dia tidaklah
sebodoh yang Dina kira, Dudung bahkan sangat cermat dan perhatian,
walau kadang terlalu sensitif. Dudung memang bukan suami yang
sempurna, tapi Dina bisa belajar mencintai. Ketika Dudung
menusukkan lagi kemaluannya ke dalam vagina Dina, si cantik itu
memilih memejamkan mata dan menggigit bibirnya tanpa mengeluarkan
suara. Lebih baik dia yang kesakitan, daripada Dudung tahu rasa sakit
yang ditimbulkan karena bersetubuh dengannya.
Batang kemaluan Dudung tidak berhenti berdenyut dan membesar,
seakan-akan batang itu adalah balon gas yang terus membesar,
bedanya kontol Dudung yang besar lebih mirip batang baja daripada
balon gas. Kontol Dudung terus saja mendesak ke dalam bagian
terdalam kemaluan Dina yang menolak kehadiran benda asing itu.
Dudung mengira kalau dia sudah selesai menancapkan kontolnya, Dina
akan merasa nyaman dan bisa menikmati permainan cinta mereka.
Sayang tidak seperti itu keadaan sebenarnya. Dari gayanya -- walaupun
ada kesan malu-malu - Dina bisa memperkirakan kalau ini bukanlah
pertama kalinya Dudung bermain cinta. Entah dengan siapa dulu dia
bercinta... tapi bagi Dina sendiri, dari semua 'lawan main'nya, barang
milik Dudunglah yang paling besar.
'Ampuuuun!' batin Dina, sungguh dia bisa merasakan setiap senti
desakan kontol Dudung dalam liang rahimnya. Kali ini, kemaluan
Dudung amblas lebih dalam dari sebelumnya, tanpa ampun menusuk
terus ke dalam, sakitnya terasa sampai ke perut si cantik itu. Batang
penis Dudung yang keras bagai baja menjajah dan mengobrak-abrik
dinding lembut memek Dina, mendesak ke dalam bagaikan paku. Dina
tidak ingin berteriak lagi, tapi sungguh dia tidak tahan... dia tidak
tahan kalau begini terus... dia tidak tahan kalau Dudung tidak berhenti!
Gaya permainan buas ala Dudung membuat Dina terombang-ambing
tanpa daya, namun detik detik berikutnya hal yang mengejutkan Dina
terjadi.
Dudung menggoyang penisnya dan memompa keluar masuk, sekali,
dua kali, tiga kali... terus menerus tanpa henti! Dina mulai merasakan
sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, sesuatu yang tidak
pernah terlintas dalam benaknya... kenikmatan yang luar biasa. Terus...
terus... terus... jangan berhenti... Dina tidak mau Dudung mengakhiri
permainannya, enak... enak sekali... jangan berhenti...
Dina tidak percaya ini, setelah semua rasa sakit yang ia terima dan
genjotan tanpa ampun dari Dudung, akhirnya ia menerima semuanya
dengan penuh kenikmatan. Ia ingin Dudung melanjutkannya tanpa
henti, Dina membuka kakinya lebar-lebar, ia ingin Dudung masuk lebih
dalam! Lebih dalam! Ia percaya suaminya yang tidak begitu pintar ini
ingin membuktikan kalau dia menyayangi Dina, mencintainya... sepenuh
hati...
Tiba-tiba saja, denyutan batang kontol Dudung terhenti. Ujung gundul
penis yang tadinya melesak ke dalam tiba-tiba saja terdiam. Dudung
menarik batang kemaluannya dengan perlahan. Dina sudah bersiap
melepas, ia merenggangkan kakinya dan memejamkan mata... tapi...
tiba-tiba saja... dengan satu sodokan penuh tenaga, Dudung
mendorong kemaluannya kembali masuk ke dalam!
"Aaaaaaaaaaaaahhhhh!!!" Dina menjerit kesakitan.
Seluruh batang kontol Dudung amblas ke dalam memek Dina,
semuanya masuk ke dalam, dari ujung gundul sampai batas terbawah.
Kantong kemaluan Dudung menampar bagian bawah bibir memek Dina
sampai ke lubang anusnya. Ya Tuhan! Dudung benar-benar
melakukannya... pria bodoh itu memasukkan semuanya sampai ke
dalam!
"Sa-sakit?" tanya Dudung yang terkejut mendengar jerit kesakitan
Dina.
"Sakit..." erang Dina.
Dudung memperlambat gerakannya. Wajahnya berubah, ia merasa
bersalah.
"Ooooohhhh..." Dina melenguh perlahan.
Dudung mengubah gaya permainannya. Dia tidak sebuas seperti awal
serangannya, dia kini lebih lembut, sepertinya pria bodoh itu mulai
sadar kalau apa yang telah dia lakukan tadi menyakiti Dina dan kini ia
berusaha memperbaiki kesalahannya. Dudung memegang lengan Dina
dan mengelusnya lembut, bukannya berusaha memaksa kemaluannya
masuk secara bertubi, Dudung kini menunggu agar Dina bisa
menyesuaikan diri. Dengan sabar pria bodoh itu memperhatikan tubuh
Dina mulai relaks dan bisa membiasakan diri dengan ukuran kemaluan
Dudung yang memang di atas rata-rata lelaki Asia pada umumnya.
Dudung tidak melakukan ini semua karena ia pintar, ia melakukannya
secara refleks, intuisi laki-laki yang entah sejak kapan ia miliki.
Dina tidak percaya apa yang baru saja terjadi pada dirinya, seluruh
batang kemaluan Dudung telah amblas! Masuk ke dalam liang
kenikmatannya! Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan olehnya...
batang sekeras baja itu kini berada di dalam tubuhnya, masuk ke
dalam liang rahimnya, menyodok seakan hendak mengoyak perut. Dina
membuka mata dan menatap kekasih barunya dengan pandangan
penuh pengertian, ia berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih
dirasakannya, rasa sakit yang ditimbulkan oleh sesaknya desakan
batang kejantanan Dudung di dalam vagina mungilnya.
Setelah gerakan lembut keduanya berinteraksi, otot-otot kemaluan
Dudung yang tadinya lemas kini mulai mengeras kembali. Dina
mengerang perlahan, ia takut Dudung akan menghentikan gerakannya
kalau tahu dia kesakitan. Dengan sekuat tenaga, Dina berusaha
bertahan, ia sampai menggemeretakkan gigi karenanya. Entah
bagaimana Dudung merasa curiga, ia memperhatikan Dina, menunggu
dan bergerak maju mundur kembali. Rasa sakit yang tadi begitu
menyiksa Dina kini sudah mulai banyak berkurang, sekali lagi wanita
cantik itu memaksakan senyum pada Dudung. Lagi dan lagi, luapan
cinta keduanya saling bertumbukan, tersalurkan melalui tumbukan
sebuah batang kemaluan yang sekeras baja. Dudung memperlakukan
tubuh Dina dengan penuh kelembutan dan rasa sayang, ia bergerak
pelan, memutar pinggul dan penisnya, menggiling kemaluan Dina
dengan tumbukan yang sebisa mungkin tidak menyakitkan, sampai
akhirnya dinding memek Dina yang elastis merenggang dan bisa
menyesuaikan ukuran dengan kontol Dudung.
Dina merasakan kegairahan yang makin lama makin memuncak,
membuatnya bingung dibuai kenikmatan yang tak seharusnya terjadi.
Dina tidak mampu berpikir dengan jernih, tubuhnya terasa melayang ke
atas awan. Ibu muda yang cantik itu membiarkan tubuhnya lepas, ia
ikuti kemana saja suami barunya akan membimbing. Dina berharap
perlakuan yang begitu nyaman dan enak ini tak akan pernah berakhir.
Bidadari jelita itu membentangkan kakinya lebar-lebar, membiarkan
lututnya membuka dan mengimbangi gerakan maju mundur suaminya
yang idiot dengan hempasan pantat penuh nafsu. Wanita cantik yang
tadinya jijik pada suaminya itu kini tergila-gila. Ia mengerang dan
menjerit, membiarkan tubuh dan pikirannya terbebas.
Setiap hentakan yang dilakukan Dudung membuat Dina makin mabuk
oleh kenikmatan yang diberikan suaminya. Kantung kemaluan sang
pria idiot menumbuk kuntum liang anus sang istri tanpa kenal lelah
sementara jembutnya yang lebat mencambuk kelentit Dina. Enak sekali
rasanya. Sangat enak sekali.
Tiba-tiba Dudung berhenti dan menarik keluar kemaluannya. Dina
menggeleng kepalanya keras-keras, dia lalu merubah posisi agar
Dudung lebih nyaman, ia berbalik, merendahkan tubuhnya ke bawah
hingga buah dadanya tergencet. Doggie style, siapa tahu Dudung
menyukai posisi ini, ia berniat memuaskan Dudung sebisa mungkin,
bukankah itu tugas seorang istrii? Permukaan karpet yang kasar
merangsang pentil payudara Dina hingga menjorok ke depan. Dina
mengembik penuh kenikmatan saat batang kemaluan Dudung yang
sangat besar kembali melesat masuk ke dalam liang kewanitaannya
tanpa bisa dihentikan.
Dina melejit nikmat ketika batang penis Dudung digenjotkan di dalam
kemaluannya, wanita cantik itu tidak percaya penis raksasa milik
Dudung bisa masuk ke dalam memeknya. Ia sudah pernah merasakan
milik Anton, milik Pak Pramono dan milik ayah Dudung, tapi semua
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pria idiot yang kini telah
resmi menjadi suaminya ini.
Ujung gundul penis Dudung mengoles-oles dinding dalam kewanitaan
Dina. Belum pernah ada lelaki yang pernah melesakkan penis sedalam
Dudung, nyeri dan sakit yang dinikmati oleh Dina bagaikan gadis yang
sedang diambil keperawanannya. Si cantik itu menjerit-jerit dengan
bingung, sebenarnya dia kesakitan atau malah keenakan. Saat ini Dina
sudah tidak peduli lagi siapa sebenarnya Dudung, suami barunya yang
idiot itu menyimpan keperkasaan yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Dina bagaikan seorang budak seks yang duduk berlutut
dan membiarkan seorang pria bodoh menggenjot memeknya dari
belakang, menanamkan nafsu birahinya dalam-dalam di liang
kenikmatan yang diberikan oleh Dina. Setelah selama ini dipermainkan
oleh pria-pria hidung belang, baru kali inilah Dina tahu bagaimana
rasa nikmat yang sesungguhnya. Tidak ada pria yang bisa menandingi
Dudung dalam hal memuaskannya, tidak ada. Dina tahu dia ingin selalu
menikmati kebersamaan dengan Dudung seperti ini, dia ingin selalu di
samping Dudung, Dina ingin selalu menghentakkan tubuhnya yang
indah di atas penis tegak milik Dudung. Dina sudah dibuat terpukau
oleh penis raksasa Dudung.
Dina tidak ragu sedikitpun. Ada sesuatu yang mendesak dan
membuncah dalam hatinya yang membuat si seksi itu hampir-hampir
gila karena nafsu birahi yang menggelegak. Dina ingin menghisap
seluruh kemaluan Dudung dengan memeknya! Malu rasanya Dina
mengaku pada dirinya sendiri kalau dia ingin terus menikmati batang
penis laki-laki itu! Awalnya dia kalap dan panik ketika Dudung
mendekati dan akhirnya menidurinya, tapi semua kini berbalik. Dia
ingin menikmati permainan cinta dengan Dudung, dia menginginkan
Dudung. Dia membutuhkan Dudung.
Kenikmatan dalam tubuh Dina makin lama makin memuncak menuju
sebuah ujung yang tak ingin ia capai dengan cepat. Dina tahu inilah
saatnya ia merasakan kenikmatan puncak itu! Kenikmatan yang tidak ia
dapatkan dari mantan suaminya yang pengecut dan telah menjualnya.
Dudung mengerang hebat dan Dina bisa merasakan batang penis suami
barunya menegang dengan sangat keras di dalam liang kewanitaannya.
Tak perlu waktu lama bagi Dudung untuk segera menyemprotkan air
maninya yang putih lengket ke dalam memek wanita cantik yang kini
sudah ia miliki itu.
Semprotan pejuh Dudung menggila di dalam memek Dina, memenuhi
seluruh ruang liang kewanitaan sang istri hingga luber keluar,
membasahi pinggul dan kantung kemaluannya sendiri.
Tanpa malu-malu Dina memutar-mutar pantatnya dan mengisi seluruh
rahimnya dengan sperma kiriman Dudung. Si cantik itu tidak ingin
permainan seks yang indah ini segera berakhir, dia ingin Dudung tetap
menyetubuhinya selama mungkin. Tapi sekuat apapun Dina berusaha
bertahan, dia tetap seorang wanita biasa. Dengan satu teriakan sekuat
tenaga, Dina melepaskan seluruh kenikmatan puncak yang bisa ia
rasakan, kenikmatan yang telah dihantarkan oleh seorang lelaki idiot
yang ternyata bisa memuaskannya. Dina merasakan tubuhnya meledak
akibat aliran sensasi erotis yang dilepaskan, si cantik itu lalu terisak-
isak saat mengeluarkan seluruh kegembiraannya yang meluap-luap,
sampai-sampai inti sari kehidupannya seakan ikut tersedot keluar.
Saat semua usai, kedua insan berbeda jenis itu ambruk terkulai tak
berdaya.
Puas.
Dudung memeluk Dina dengan penuh rasa sayang.
Dina memejamkan matanya, ia benar-benar lelah, seluruh badannya
terasa linu, tapi ia tidak akan memungkiri, rasa nikmat yang diberikan
Dudung benar-benar berbeda. Dia jauh lebih perkasa dari pria
manapun yang pernah menidurinya.
"Dina... masih... sakit?" tanya Dudung setelah terdiam lama. Matanya
yang polos menatap Dina takut, ia tidak mau wanita cantik yang berada
di hadapannya ini kesakitan. Ia sangat menyayanginya, ia merasa
bersalah tadi sempat menyakiti Dina.
Dina tersenyum lembut sambil membelai rambut Dudung, "sedikit."
"Dina sudah hamil?"
"Hah?" terkejut Dina mendengar pertanyaan Dudung. "Hamil? Maksud
Mas?"
"Se-setahu Dudung... kalau sudah memasukkan ke dalam, terus
selesai, terus hamil, terus punya anak."
Dina tidak tahu apakah harus tertawa atau sedih mendengarnya.
Dengan lembut Dina mengecup dahi Dudung. "Tidurlah, Mas..." bisiknya
pelan. "Kalau hari ini gagal, besok kita coba terus sampai aku hamil..."
Dudung menurut, pria dewasa yang masih seperti anak-anak itu
meringkuk dalam balutan selimut dan pelukan bidadari.
Dua orang yang kelelahan itu akhirnya terlelap.
###
Pak Bambang membalik kalender duduk yang ada di meja kerjanya,
hari telah berganti, memasuki bulan baru. Tidak terasa cepatnya waktu
berlalu, sudah tiga bulan lebih sejak Dina menikah dengan Dudung.
Betapa enaknya punya menantu yang cantik dan seksi seperti Dina,
tiap seminggu sekali, Pak Bambang selalu meminta Dina datang dan
melayani nafsu syahwatnya. Seakan-akan Dina memiliki dua orang
suami.
Dengan perlahan, laki-laki tua itu melangkah menuju jendela dan
melihat ke luar. Di taman villa yang asri, Dina, kedua anaknya dan
Dudung sedang berpiknik. Sejak kemarin Dina memasak roti kesukaan
kedua anaknya dan membuatkan steak kesukaan Dudung. Entah
bagaimana Dina bisa berbincang-bincang dengan Dudung yang idiot
itu, tapi makin hari, Dudung terlihat semakin dewasa. Dia semakin
terlihat normal. Ketelatenan dan keikhlasan Dina merawat Dudung lama
kelamaan membuat Pak Bambang terharu.
Setelah apa yang telah dia perbuat pada Dina, setelah semua masalah
yang bertubi-tubi ditimpakan pada wanita cantik itu, dia membalasnya
dengan perbuatan yang mulia. Pak Bambang geleng-geleng kepala.
Dalam hati kecilnya yang terdalam, dalam hati yang ternyata masih
berperasaan, Pak Bambang mulai merasakan penyesalan.
Dudung bermain bola dengan kedua putra Dina, mereka tertawa dan
bahagia. Dina bertepuk tangan dan tertawa lepas ketika kedua
putranya berhasil mengalahkan Dudung. Kalau saja tidak mengenal
Dudung, mereka terlihat seperti keluarga biasa saja. Keluarga yang
bahagia.
Pak Bambang terbatuk.
Ia tersenyum melihat kebahagiaan Dudung dan bahagia telah
menemukan wanita yang tepat untuknya. Mulai hari ini, Pak Bambang
tidak akan memanggil Dina ke kamarnya lagi. Biarkan dia menjadi milik
Dudung seorang. Semoga mereka berdua membangun kehidupan yang
jauh lebih baik dari hari ini.
Pak Bambang kembali ke meja kerjanya.
###
Pak Bambang menyalakan lampu kamarnya dan duduk di depan meja
kerja sambil memegang pena dan beberapa carik kertas kosong. Apa
yang ia saksikan beberapa minggu belakangan ini telah mengubah
semua pandangannya, ia tidak menduga kehadiran Dina akan membawa
perubahan besar dalam keluarganya, terutama pada Dudung, tapi
nyatanya itulah yang terjadi. Dudung berubah menjadi laki-laki yang
lebih baik, lebih menurut dan pada saat-saat tertentu Pak Bambang
yakin, walaupun Dudung bukanlah orang yang pintar, paling tidak ia
bukan orang jahat seperti dirinya.
Semua itu berkat Dina.
Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Dina meladeni Dudung
dengan penuh kesabaran dan telaten. Ia berharap Dina mulai luluh dan
jatuh cinta pada putranya yang lugu itu. Dina bisa membuat Dudung
melakukan hal-hal yang sebelumnya tak pernah ia lakukan dalam
kemampuannya yang terbatas.
Semua berkat Dina.
Dina yang telah ia perkosa dan permalukan. Dina yang telah ia gagahi
di depan suaminya sendiri. Dina yang ia paksa cerai. Dina yang ia
paksa menikahi Dudung.
Bukannya dendam, Dina malah memberikan semua yang terbaik untuk
Dudung dan keluarganya.
Pak Bambang terbatuk-batuk.
Akhir-akhir ini batuknya lebih terasa sakit di dada. Berat dan
menyesakkan.
Pak Bambang menulis dengan tenaganya yang lemah sambil terbatuk-
batuk. Sebuah surat yang panjang. Kalau ada yang bisa ia lakukan
untuk Dina, mungkin inilah yang terbaik. Setelah semua yang ia
paksakan pada Dina, mungkin inilah cara terbaik untuk membayarnya.
Pak Bambang meraih pesawat telepon di mejanya dan memencet
beberapa tombol. Terdengar nada tunggu, lalu suara di ujung
mengucapkan kalimat sapa.
Pak Bambang terbatuk-batuk sebelum berbicara. "Bud, ini aku,
Bambang. Iya. Aku sudah menyelesaikan suratnya. Kelak bisa kamu
ambil di tempat yang sudah kita janjikan di kamarku. Kalau bisa ajak
juga Randy atau anak-anakku yang lain saat mengambilnya. Oke? Ya,
begitu saja. Terima kasih."
Pak Bambang meletakkan gagang telpon di tempatnya dan kembali
terbatuk-batuk.
Pria tua itu tercenung ketika membaca kembali surat yang baru saja ia
tulis.
Ia tersenyum dan sekali lagi terbatuk-batuk.
Kali ini batuknya mengeluarkan darah.
###
Pak Hasan sedang asyik membaca menonton acara televisi ketika
telepon berdering. Jengkel juga dia diganggu malam-malam begini.
Dengan langkah gontai orang tua itu berjalan menuju meja telepon dan
mengangkat gagangnya.
Pak Hasan mengangkat telepon dengan malas, "Halo? Siapa ini?"
"Ini Dina, Pak. Lidyanya ada?"
"Ooh, Mbak Dina. sebentar, saya panggilkan Lidya ya."
Dina menunggu sesaat di ujung telepon yang satu lagi.
Dalam hati, Dina iri pada Lidya. Rupanya Pak Hasan benar-benar betah
tinggal di rumah adiknya itu, menemani sang menantu yang kesepian
ditinggal suaminya saat sibuk bekerja. Baik benar mertua Lidya itu,
tidak seperti mertuanya yang kalau malam malah menyuruh
menantunya melayani keinginan bejatnya.
Seandainya saja Dina tahu.
Terdengar suara langkah kaki yang lari dan suara Lidya di ujung
telepon, nafasnya kembang kempis. "Ha-halo?"
"Halo. Lidya? Ini Mbak Dina."
"Eh? Mbak Dina!!! ini bener Mbak Dina??" Suara Lidya yang terkejut dan
gembira terdengar sangat jelas di telepon. "Aduh, Mbak! Mbak Dina
kemana aja? Aku sama Mbak Alya khawatir sekali! HP Mbak Dina
dimatiin, HP Mas Anton juga. Telpon rumah nggak diangkat, rumah
kosong... Mas Andi malah sudah menghubungi bagian orang hilang di
kepolisian. Mbak Dina baik-baik saja kan? Mbak Dina kemana aja?
Anak-anak bagaimana?"
"Semua sehat-sehat saja. Tapi..." suara Dina terputus.
Lidya mengerutkan kening. "Tapi apa, Mbak?"
"Ceritanya panjang. Terlalu panjang bahkan." desah Dina. "Aku ingin
bertemu dengan kalian, kamu dan Alya. Aku kangen sekali."
"Sama, Mbak! Kami juga..." Lidya menghela nafas sejenak. "Aku kangen
sekali, Mbak."
"Jangan khawatir. Aku akan segera pulang. Semua akan baik-baik saja
mulai sekarang." Kata Dina penuh keyakinan. "Semua akan baik-baik
saja."
"Syukurlah kalau begitu, Mbak."
Kedua wanita jelita itu menarik nafas lega, hampir bersamaan.
Angin sejuk berhembus membuai wajah Dina. Untuk pertama kali sejak
berbulan-bulan, harapan yang tak pernah berhenti ia gantungkan,
akhirnya datang juga kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Seperti
kalimat yang ia ucapkan untuk menenangkan Lidya tadi, semuanya
akan baik-baik saja. Dina yakin sekali.
###
Siapa yang bisa menduga nasib manusia? Kadang berada di atas
kadang jatuh ke bawah, terdengar klise memang karena kata-kata
tersebut selalu diulang dalam setiap pergulatan hidup manusia, tapi
memang seperti itulah kenyataannya. Hidup manusia seperti roda yang
berputar. Kala seorang berada di bawah, dia selalu memimpikan
puncak kejayaan yang berada di atas. Sebuah impian yang kadang bisa
menjadi pemicu semangat untuk bergerak maju dan menggapai
prestasi. Sayang kala dia sudah berada di atas, setelah meraih semua
yang ia impikan, seorang manusia sering lupa pada semua hal yang
mendukungnya, hal-hal kecil yang telah membantunya, semua harapan
yang dipikulkan ke pundaknya. Ia lupakan semua yang telah membantu
menapaki tangga kejayaan.
Bambang Haryanto dulunya adalah seorang pekerja keras, ia sempat
bekerja sebagai tukang koran dan tinggal dari kontrakan murah ke
kontrakan murah lainnya. Ia hidup sederhana dengan istrinya, seorang
wanita sederhana yang berjualan gado-gado untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka dikaruniai beberapa orang anak,
sayangnya anak yang paling bungsu dan paling mereka sayangi
menderita keterbelakangan mental. Hal yang membuat hidup keluarga
Pak Bambang semakin susah dan menderita. Tapi saat itu, Pak
Bambang tak pernah berhenti berusaha dan mengeluh, sedikit demi
sedikit mereka menabung, uang yang tidak seberapa ia gunakan untuk
membeli barang dagangan di pasar dan dijual ke perumahan.
Lama kelamaan, karena jujur dan suka bekerja keras, banyak warga
perumahan yang bersimpati dan membantu keluarga Pak Bambang.
Warung gado-gado istrinya menjadi lebih besar dan laris. Pekerjaan
demi pekerjaan serabutan diberikan pada Pak Bambang sampai
akhirnya ia dipercaya menjadi karyawan sebuah perusahaan distributor
yang sedang berkembang yang kebetulan dikelola oleh salah seorang
warga perumahan. Berkat usaha kerasnya perusahaan tersebut sukses
besar dan posisinya pun makin lama makin meningkat seiring prestasi
dan jasanya pada perusahaan.
Berbekal pengalaman dan modal yang ia miliki, Pak Bambang
mendirikan perusahaan sendiri. Berkat kerja keras dan relasi yang
melimpah, Pak Bambang menuai sukses besar. Perusahaannya maju
pesat bahkan mampu mengalahkan tempat kerjanya yang lama. Ia kini
dikenal sebagai Raja Midas kecil, pengusaha yang punya sentuhan
emas.
Sayang gelimang harta yang makin sering menghampiri tak mampu
menyelamatkan nyawa istrinya yang terkena penyakit ganas. Setelah
sempat menikmati sejenak kehidupan mewah, istrinya meninggal
dunia. Hal ini sangat memukul Pak Bambang, ia begitu menyayangi
istrinya yang setia. Rasa kehilangan yang amat sangat dirasakannya
membuat Pak Bambang lupa diri, ia berubah menjadi lelaki dingin yang
kejam.
Sepeninggal sang istri, Pak Bambang lalu menikahi banyak wanita dan
terus memangsa gadis muda yang cantik sebagai pemuas nafsu
birahinya. Ia kucilkan anaknya yang idiot di sebuah villa terpencil
karena malu atas keberadaannya. Ia gusur perumahan yang dulu
menjadi tempatnya mencari uang untuk didirikan kompleks industri
yang sangat luas. Ia buat perusahaan lamanya gulung tikar. Ia menjadi
predator yang buas dalam dunia usaha, kekayaannya tak terhitung.
Pak Bambang melupakan masa lalunya.
Tapi semua kekayaan yang ia dapat semasa hidup tak mampu
membahagiakannya. Ia tak mampu mengatur nasib yang ia jalani.
Beberapa hari setelah merayakan ulang tahun ke-73, Pak Bambang
meninggal dunia, meninggalkan kerajaan bisnis yang sangat besar ke
tangan keluarga.
Tubuh kakek tua pendek yang sudah beruban itu terbujur kaku di
dalam petinya. Inilah pertama kalinya Dina melihat ayah mertuanya itu
tak berdaya. Dudung menjerit-jerit dan menangis melihat jenazah
ayahandanya diangkat untuk dikebumikan di samping istri pertamanya.
Istri-istri muda Pak Bambang datang untuk memberikan penghormatan
terakhir sekaligus meminta hak waris, untunglah Pak Bambang sudah
menitipkan surat warisan pada sang pengacara yang juga kawan
dekatnya.
Dina menepuk-nepuk bahu suaminya yang menangis tersedu-sedu.
Dina tahu, kini dia bebas. Tak ada lagi pria tua yang membelenggunya
dalam jeratan nafsu birahi. Namun walaupun ia kini bebas, Dina tak
akan mengkhianati cinta Dudung, dibandingkan Anton yang telah
menjerumuskan keluarga mereka dalam hutang yang tak bisa dilunasi
dan menjualnya pada laki-laki lain, Dudung mencintainya dengan
segala kepolosannya, dengan segala kejujurannya. Dina tak akan
meninggalkan Dudung. Apalagi anak-anak juga sudah mulai menyukai
ayah baru mereka ini, walaupun mereka menganggap Dudung sebagai
teman, bukan ayah.
Hanya satu dendam yang masih menyala dalam hati Dina. Dendam
pada laki-laki yang telah menghancurkan rumah tangganya,
menghancurkan hidupnya sebagai istri setia dan ibu yang baik bagi
anak-anaknya, menghancurkan kepolosannya sebagai wanita baik-baik
yang tak ternoda.
Hanya tinggal satu orang lagi yang menjadi incarannya.
Pak Pramono.
###
"Setelah melihat keabsahan wasiat pemilik perusahaan sebelum beliau
meninggal, kami memutuskan untuk mengadakan rapat ini guna
mengumumkan bahwa kami dari pihak notaris dan badan hukum telah
menerima dengan sah keputusan terakhir pemilik perusahaan sesuai
tertera di surat wasiat. Sebelum meninggal Almarhum Pak Bambang
telah memilih orang yang beliau pertimbangkan tepat untuk selanjutnya
menggantikan beliau memimpin perusahaan ini."
Terdengar desahan bisik dari peserta rapat.
"Pemilik seluruh asset dan juga pimpinan perusahaan yang baru
adalah..."
Desahan bisik mereda, menunggu pengumuman.
"...Ibu Dina Febrianti."
Terdengar suara kaget dan terkejut dari mimbar rapat.
Semua orang kaget mendengar keputusan itu. Mereka tahu Almarhum
Pak Bambang telah menunjuk siapa pengganti pemilik perusahaan
raksasa ini dalam surat wasiat yang ia tulis, tapi mereka tidak
menduga orang tersebut adalah Dina. Terlebih karena mereka semua
sudah mengenal siapa Dina, istri dari putra idiot Pak Bambang.
Memang Dina adalah menantu kesayangan Pak Bambang, tapi mereka
benar-benar kaget mengetahui wanita itu mewarisi semua kejayaannya.
Mereka bahkan kaget mengetahui nama wanita itu tertulis di surat
wasiat Pak Bambang. Bagaimana mungkin seorang wanita asing yang
tidak tahu apa-apa tentang manajemen bisa menangani perusahaan
sebesar ini?
Sebagian besar karyawan mengira perusahaan akan dipegang oleh
Randy Haryanto, putra Pak Bambang dari istri kedua yang selama ini
banyak membantu sang ayah. Itu sebabnya banyak petinggi yang
memberikan 'upeti' untuk menjilat Randy. Mereka ingin dipertahankan
di lingkaran utama manajemen puncak perusahaan. Bagaimana
mungkin skenario itu bisa berubah?
Dengan penuh kebanggaan Dina berdiri di hadapan semua orang yang
hadir, memberikan senyuman termanisnya. Wanita jelita itu tersenyum
bangga. "Mulai sekarang, semua akan berubah." Katanya tegas. Ia
mengeluarkan secarik kertas dari tas yang ia bawa, "Saudara ipar saya,
Bapak Randy Haryanto telah dipindahtugaskan ke cabang kita di luar
negeri atas permintaan pribadi. Oleh karena itu saya kemudian diberi
wewenang menjalankan perusahaan ini, sesuai dengan wasiat yang
ditulis oleh mendiang Pak Bambang."
Orang-orang yang selama ini menjilat pada Randy mendesah kesal.
Mereka tahu Randy terlibat dalam skandal penggelapan dana
pemerintah, itu sebabnya sebelum ia diciduk pihak berwenang, Randy
dibuang ke luar negeri. Mereka memang sudah memperhitungkan
kemungkinan itu, tapi tidak menyangka akan secepat ini Randy hijrah.
Mereka menggeleng-geleng kecewa, hilang sudah uang untuk
menyuap, sia-sia saja usaha mereka selama ini.
"Sebelum berangkat ke luar negeri, Pak Randy memberikan saya
catatan berikut," kata Dina sambil mengangkat kertas berisi daftar
nama,"isinya adalah daftar nama orang-orang yang berusaha menyuap
Pak Randy, melakukan tindak korupsi dan merugikan perusahaan tanpa
pernah menerima hukuman."
Beberapa orang terhenyak kaget.
"Nama-nama yang disebut silahkan kembali ke meja kerja, mengemas
berkas-berkas dan barang pribadi, lalu mengambil uang pesangon
yang saya sediakan di lobby depan dan pulang saat ini juga. Kalian
saya pecat!" Kata Dina tegas. "Terhitung mulai hari ini, kalian
dinyatakan tidak bekerja di perusahaan ini lagi. Terima kasih atas kerja
keras kalian selama ini, semoga mendapatkan pekerjaan lain yang jauh
lebih baik."
Rapat itu berubah menjadi ramai. Orang-orang yang selama ini bekerja
dengan jujur dan bersih bertepuk tangan sementara mereka yang
pernah melakukan kesalahan menjadi risau dan gelisah.
Dina telah menancapkan kukunya. Tidak akan ada satu orangpun kini
yang akan mempertanyakan kepemimpinannya. Dan yang lebih penting
lagi...
Dendam akan ia balaskan.
###
BAGIAN DELAPAN
TAMAT

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

1 komentar:

permisi kakak2 numpang promo ya
yang suka main poker dan domino online, mari gabung di sini bersama kami di www.saranapelangi.com. kini hadir dengan 7 permainan yang dapat dimainkan dalam 1 website. dapatkan jackpot hingga ratusan juta setiap harinya. gak mau kalah teruskan main poker dan domino online ? ayo buruan gabung bersama kami di www.saranapelangi.com

Saranapelangi.com adalah satu - satunya Website Dengan Player VS Player Tanpa Menggunakan Bot (tanpa ROBOT) 100% Fair Play!!!

Hot Promo Dari SaranaPelangi!!!
*Bonus Rollingan Sebesar 0,5%
*Bonus Refrensi Sebesar 20%

Tunggu Apalagi?!, Ayo Gabung Dan Main Bersama Kami!!!


Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami di www.saranapelangi.com atau melalui android kami.

- BBM : 2B47BB9C
- CALL : +855964972098
- WEECHAT : saranapelangi
- SKYPE : saranapelangi
- EMAIL : saranapelangi99@yahoo.com
- FACEBOOK : saranapelangi99@yahoo.com

WWW.SARANAPELANGI.COM

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.