Kamis, 19 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 2

BAGIAN DUA
SERANGAN PARA PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Pak Hasan adalah mertua Lidya dan ayah kandung Andi. Usianya sudah
58 tahun, bertubuh gemuk, botak dan sudah menduda sejak 12 tahun
terakhir. Setelah kehilangan rumahnya yang berada di desa karena
tidak bisa membayar hutang yang menumpuk, Pak Hasan sedianya
akan ditampung sementara oleh Andi dan menantunya Lidya yang
sama-sama baru berusia 26 tahun sebelum nantinya mendapat rumah
kontrakan yang baru.
Pak Hasan mengetuk pintu depan dan menantunya yang ayu segera
menyambutnya. Si seksi itu hanya mengenakan daster tipis yang
menerawang, khas baju ibu-ibu rumah tangga. Tapi entah kenapa,
saat Lidya yang mengenakan baju itu, terlihat sangat menggairahkan.
Lidya terlihat sangat cantik dan segar.
"Lho? Bapak? Aku kira bapak baru akan datang besok lusa? Ayo
masuk dulu," kata Lidya sambil memutar badan. Walau tertutup daster,
tapi Pak Hasan bisa melihat jelas lekuk pantat sempurna milik Lidya
yang menerawang di balik daster. Lidya, seperti juga kakak-kakaknya
memiliki kecantikan natural yang sempurna. Walaupun menantu Pak
Hasan itu memiliki perangai yang manis, ceria dan suka bercanda, tapi
sosok ayu dan seksinyalah yang membuat setiap lelaki ingin
menidurinya.
"Mas Andi belum pulang, tapi sebentar lagi pasti datang."
"Tadi aku naik bis yang sore." kata Pak Hasan sambil mencari sofa
untuk duduk.
"Oh begitu. Istirahat dulu, Pak. Anggap saja rumah sendiri." Jawab
Lidya sambil membungkuk untuk mengambil cangkir yang ada di meja
di depan Pak Hasan. Karena daster yang dipakai Lidya sangat longgar,
gerakan ini membuat Pak Hasan bisa mengintip celah buah dada putih
ranum yang menggiurkan di balik BH Lidya.
Melihat keseksian menantunya, kemaluan Pak Hasan langsung
mengeras. Mertua Lidya itu segera menyembunyikan tonjolan di
selangkangannya karena malu. Setelah menata meja, Lidya duduk di
depan Pak Hasan dan menyilangkan kakinya, seakan memamerkan
kakinya yang putih, mulus dan jenjang dengan bulu-bulu halus yang
menggairahkan. Pak Hasan harus konsentrasi penuh untuk
mendengarkan pertanyaan Lidya.
"Jadi bagaimana perjalanannya? Capek yah, Pak?"
"Lumayan melelahkan. Lima jam perjalanan."
Mata Pak Hasan bergerak menelusuri seluruh lekuk tubuh Lidya, dari
atas sampai bawah, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Hampir 5
tahun sudah Pak Hasan tidak melakukan kegiatan seksual. Setelah
kematian istrinya, Pak Hasan sering memanggil pelacur saat masih
tinggal di desa. Tapi kemudian berhenti karena hutang-hutangnya kian
bertumpuk dan dia tidak bisa membayar seorang pelacurpun. Lidya
mulai sedikit rikuh dengan tatapan mata Pak Hasan yang seakan
menelanjanginya.
"Aku naik dulu ke kamar ya, Pak. Mau mandi sebentar lalu aku siapkan
makan malam. Bapak pasti sudah lapar kan? Anggap aja rumah
sendiri," kata Lidya sambil menaiki tangga. Mata Pak Hasan tidak lepas
dari goyangan pantat menantunya yang aduhai sampai ke atas tangga.
Walaupun sudah uzur, tapi Pak Hasan tetap laki-laki normal, dia butuh
melepaskan hasrat birahinya. Dia ingin masturbasi untuk melepaskan
gejolak nafsunya.
Saat itu telepon berbunyi. Pak Hasan mengangkatnya.
"Halo?"
"Halo, ini Bapak ya?", tanya suara di ujung, yang rupanya suara Andi.
"Iya, ini Bapak, Ndi," kata Pak Hasan.
"Pak, aku minta maaf aku nggak bisa pulang hari ini, soalnya aku
harus lembur di luar kota dan baru akan pulang sekitar hari Minggu
sore. Mendadak banget dan tidak bisa ditunda. Tolong pamitin ke
Lidya ya. Pesawatnya hampir berangkat, aku tidak bisa lama-lama.
Maaf tidak bisa menemani Bapak. Aku telpon kalau sudah sampai di
sana nanti."
"Baik, Ndi. Nanti Bapak sampaikan. Iya."
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Pak Hasan menutup telepon.
Pak Hasan berniat untuk membawa tas-tasnya yang berisi baju ke
kamar atas. Perlahan dia menaiki tangga, melewati kamar utama --
tempat tidur Lidya dan Andi. Terdengar deru suara air mengalir dari
kamar mandi yang terletak di dalam kamar utama. Pak Hasan
meletakkan tasnya di depan pintu kamar. Setelah berpikir keras, dia
memutuskan untuk memasuki kamar tidur utama pasangan Andi dan
Lidya.
Di atas ranjang terdapat celana jeans dan atasan kaos putih. Saat
mengambil kaos itu Pak Hasan mendapati BH dan celana dalam tipis
yang juga berwarna putih. Pak Hasan benar-benar tidak kuat lagi
menahan birahinya. Diambilnya celana dalam Lidya, dibukanya
celananya sendiri, dan mulailah ayah mertua Lidya itu coli dengan
menggesekkan celdam Lidya di kontolnya yang mulai keriput.
Detak jantung Pak Hasan makin cepat karena ia tahu menantunya
sedang mandi sementara dia coli menggunakan celana dalam yang
akan dipakai Lidya. Gerakan Pak Hasan makin meningkat cepat karena
saat coli Pak Hasan membayangkan enaknya menikmati tubuh Lidya di
ranjang dan bagaimana rasanya memeluk menantunya yang cantik itu.
Pak Hasan membayangkan asyiknya melihat tubuh molek Lidya
terhentak-hentak didera sodokan penisnya.
Pak Hasan mengintip sedikit ke kamar mandi. Lidya rupanya lalai dan
membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka, memudahkan akses
bagi mertuanya mengintip. Pak Hasan mendapati Lidya sedang
menyabuni buah dadanya yang besar dan kenyal.
"Wow. Tubuh si Lidya benar-benar indah. Sangat seksi," batin Pak
Hasan. "Seandainya mungkin, aku ingin masuk ke dalam sana dan
mengenthu menantuku yang aduhai itu."
Pak Hasan meneruskan colinya di celdam Lidya saat menantunya itu
membungkuk untuk menyabuni kakinya yang jenjang dan pahanya
yang mulus. Tak lama kemudian, Lidya bersandar pada dinding
sementara air shower membilas tubuhnya yang putih mulus. Tangan
kiri Lidya menangkup buah dadanya yang indah. Jari jemarinya mulai
mengelus dan menowel-nowel pentilnya. Pak Hasan terpana melihat
menantunya itu memainkan payudaranya. Tangan kanan Lidya
menuruni perutnya yang langsing dan masuk ke selangkangannya.
"Aaaaahhhhhh," Lidya mendesah kecil.
Tangan kiri Lidya yang penuh gelembung sabun itu kini memilin dan
meremas-remas pentil payudaranya hingga mengeras, lalu meremas
buah dadanya bergantian. Tangan kanan Lidya masih berada di
selangkangannya. Semakin mencondongkan tubuhnya ke belakang,
Lidya membentangkan kakinya sedikit. Pak Hasan bisa melihat jari
jemari lentik tangan menantunya keluar masuk memeknya sendiri. Pak
Hasan terpesona melihat si cantik Lidya menggunakan jempolnya
untuk menggosok dan menggerakkan daging menonjol yang ada di
ujung atas bibir vaginanya.
"Ah! Ah! Ah! Ehm! Ehm! Ooooohhh!!!" kaki Lidya melengkung saat si
jelita itu melenguh perlahan. Akhirnya tangan kirinya turun lemas ke
samping badannya, sementara jari-jarinya tangan kanannya berhenti
bergerak, namun tetap berada di dalam liang vaginanya.
Pak Hasan merasakan air maninya membanjir. Tangannya belepotan
sperma dan ia membersihkannya menggunakan celana dalam Lidya.
Terdengar suara shower dimatikan dan Lidya mulai keluar dari shower.
Secepat kilat Pak Hasan meletakkan celdam Lidya seperti sediakala
dan meninggalkan kamar itu. Pak Hasan menutup pintu kamar, namun
masih membuka sedikit celah. Saat sudah beranjak meninggalkan
tempat itu, terlihat Lidya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan
handuk yang terlilit di tubuhnya yang indah.
Pak Hasan sebenarnya bisa langsung orgasme hanya dengan melihat
Lidya setengah telanjang dan hanya mengenakan handuk, ternyata
mertua mesum itu jauh lebih beruntung daripada yang dia kira. Tak
sengaja, Lidya menjatuhkan handuknya ke lantai. Tanpa
sepengetahuan wanita ayu itu, sang ayah mertua yang nafsu birahinya
sedang memuncak ada di luar kamar sedang mengawasi tiap gerak-
geriknya yang molek. Karena memunggungi pintu, Pak Hasan bisa
menyaksikan pantat putih mulus Lidya yang sempurna.
Perlahan-lahan Lidya berbalik dan Pak Hasan hampir tak kuat
menahan nafsu. Baru kali inilah dia menyaksikan keindahan tubuh
Lidya secara langsung tanpa sehelai benangpun. Rambut di atas
kemaluan Lidya terlihat terawat karena dipotong rapi dan sangat
lembut, sementara payudara Lidya yang montok sangat ranum dan
besar. Si molek itu mengambil handuk lalu mengeringkan rambutnya
yang dikeramas. Karena bergerak cepat, buah dada Lidya bergoyang ke
kanan dan ke kiri dengan erotis. Pak Hasan meletakkan satu tas kresek
yang dibawanya dan mulai mengocok kontolnya lagi.
Saat Lidya usai mengeringkan rambut, istri Andi itu mengambil celana
dalamnya dengan sedikit membungkuk. Tentu saja Pak Hasan makin
puas karena bisa melihat lebih jelas ke arah lubang anus sang
menantu. Untung saja Pak Hasan kuat menahan diri, bisa saja ia
masuk ke dalam dan menyetubuhi Lidya dari belakang dengan paksa.
Warna merah muda anus mungil milik menantunya itu sangat
mengundang selera sang pria tua. Pak Hasan berandai-andai apakah
anaknya si Andi pernah menyodomi istrinya. Lidya mulai mengenakan
celana jeansnya dan kembali payudara si cantik itu bergoyang-goyang.
Pemandangan erotis ini makin lama makin memuaskan Pak Hasan. Tak
perlu waktu lama, sperma pria tua itu akhirnya meledak di dalam
celana.
Pak Hasan mengambil semua tasnya dan berjalan kembali ke kamar
untuk berganti pakaian. "Situasinya menarik sekali!", batin laki-laki tua
itu sambil membersihkan tangan dengan tissue. "Aku sendirian di
rumah selama beberapa hari dengan menantuku yang cantik jelita dan
sangat seksi itu! Aku harus mendapatkan tubuh Lidya! Aku harus
menanamkan penisku di memeknya yang wangi secepatnya!"
Entah apa yang akan dilakukan Andi seandainya dia mengetahui
rencana ayah kandung pada istri yang dicintainya.
###
Setelah hampir setengah jam menonton TV dan menghabiskan rokok,
Pak Bejo kembali mengajak Alya. "Sudah waktunya. Ayo."
"Ayo kemana?" tanya Alya.
"Sini. Berlutut di depanku." Perintah Pak Bejo sambil membuka
kakinya.
"Pak Bejo! Saya mohon, jangan suruh saya melakukan hal itu lagi!
Saya tidak pernah menyukai melakukan hal itu sebelumnya!"
"Oke. Oke." kata Pak Bejo. Pria tua itu sepertinya memahami dan
melangkah ke arah Alya.
Alya bahkan tidak punya kesempatan mengelak saat kemudian Pak
Bejo menampar pipinya dengan keras. Alya pun menangis tersedu-
sedu. Belum pernah seumur-umur dia diperlakukan dengan kasar oleh
seorang pria. Airmatanya meleleh dan isak tangisnya terdengar hingga
beberapa saat.
Pak Bejo kembali duduk di hadapan Alya.
"Berapa kali aku harus ngomong sama Mbak Alya kalau Mbak Alya
sudah tidak punya pilihan lain lagi? Mbak Alya harus menuruti semua
perintahku. Jadi ada baiknya kalau Mbak Alya juga mulai menikmati
apa yang aku perintahkan. Jadi merangkaklah kemari dan jangan
pernah membantah apa yang aku perintahkan lagi!" ancam Pak Bejo.
Kali ini tidak ada ulangan perintah. Dengan penuh kepasrahan, Alya
menyepong tetangganya yang mesum dan berusaha menahan diri agar
kali ini dia tidak mual lagi. Pak Hasan melenguh keenakan dan
sesekali tertawa terbahak-bahak menikmati enaknya disepong wanita
secantik Alya. Setelah usai menyepong, Alya duduk di lantai. Ia masih
berada di daerah selangkangan Pak Bejo. Wajahnya yang jelita hanya
beberapa centimeter saja dari kontol besar Pak Bejo. Si cantik itu
bahkan sudah terlalu takut dan malu untuk mengamati bentuk kontol
kebanggaan tetangganya itu. Pak Bejo tahu dia sudah menaklukan
wanita cantik bertubuh indah ini.
Alya melihat ke arah jam dinding dan langsung kaget. Opi sebentar
lagi pulang! Dengan buru-buru Alya melepaskan diri dari pelukan
mesra Pak Bejo dan berdiri.
"Pak Bejo, anda harus pergi sekarang. Opi sebentar lagi pulang dan..."
"Ijinkan aku menciummu sekali lagi." Kata Pak Bejo sembari melihat ke
selangkangan Alya dengan pandangan nafsu.
Alya mendekatkan tubuhnya ke Pak Bejo dan merenggangkan kakinya,
memberikan akses penuh pada pria tua itu untuk bisa mencium bibir
kemaluannya. Pak Bejo segera mengulum-ngulum bibir vagina Alya
dengan buas. Alya merem melek dan melenguh tak henti-henti.
Kenikmatan bercampur rasa bersalah menguasai istri Hendra itu.
Setelah beberapa saat menjilati, Pak Bejo bangkit.
Pak Bejo mulai berpakaian. Alya merasa aneh karena kini dirinya mulai
terbiasa dan tidak merasa malu lagi telanjang bulat dihadapan pria tua
ini.
"Aku akan kembali lagi. Mungkin besok, waktu yang sama. Saat
membuka pintu, aku harap Mbak Alya tidak mengenakan sehelai
benang pun. Besok aku akan memberikanmu kenikmatan yang terhebat
dan aku akan mengambil lubang keperawananmu yang tersisa."
Alya mengangguk karena berharap pria tua brengsek ini segera
meninggalkan rumahnya. Setelah berpamitan dan meremas-remas dada
Alya, Pak Bejo pun pergi. Alya menutup pintu rumah sambil menangis
tersedu-sedu. Dia ambruk ke kasur dan bertanya-tanya dalam hati.
Apa yang dimaksud begundal tua itu dengan 'lubang perawan yang
tersisa?'.
Tapi karena Opi hampir pulang, Alya memaksakan diri untuk bangun.
Dia mandi dan menggosok seluruh tubuhnya yang kotor. Dia telah
dijilati oleh lidah seorang pria yang tidak pernah ia bayangkan
sebelumnya akan menggaulinya. Alya membersihkan tubuhnya dan
mandi lebih lama dari biasanya.
Saat itulah dia sadar.
"Aku memang bodoh." Renung ibu rumahtangga yang jelita itu dalam
hati. Jangan-jangan yang dimaksud Pak Bejo adalah lubang anusnya?
Pasti akan sangat menyakitkan. Jari jemarinya yang lembut menelusuri
bagian belakang tubuhnya, mengitari pantatnya yang bulat. Dia
meremas pantatnya sendiri dan menangis sejadi-jadinya.
Pasti akan sangat menyakitkan.
###
Setelah mandi dan membersihkan diri, Pak Hasan kembali turun ke
ruang keluarga. Dia duduk di sofa dan menonton berita di televisi,
berharap bisa sejenak melepaskan hasrat birahinya yang liar kepada
menantunya sendiri. Tidak lama kemudian, Pak Hasan mendengar
suara lembut dari atas tangga.
"Pak, siapa tadi yang telepon?"
"Oh, itu si Andi dari bandara," jawab Pak Hasan. "Katanya dia harus
langsung lembur dan berangkat ke luar kota malam ini juga. Baru
pulang hari Minggu sore. Untuk keperluan bisnis atau yang lain, Bapak
kurang paham."
Pak Hasan mendengar gerutu kecil dari Lidya tentang kebiasaan Andi
yang jarang pulang dan lain sebagainya. Tak lama kemudian Lidya
turun ke ruang keluarga. Pak Hasan hanya bisa menatap takjub
penampilan menantunya yang indah itu. Lidya memakai baju putih
tanpa lengan yang membuat buah dadanya yang besar terlihat
menonjol menantang dan celana jeans yang hampir-hampir tidak
sampai ke pinggulnya. Dari belakang, Pak Hasan bisa mencuri pandang
belahan pantat Lidya.
Pak Hasan mulai terangsang lagi saat membayangkan Lidya
menggunakan celdam yang tadi digunakan oleh Pak Hasan untuk coli.
Rambut indah panjang Lidya diikat kucir kuda dan membuat si cantik
itu tampak lebih muda. Pak Hasan menahan diri dan kembali menatap
layar televisi.
Lidya mulai menyiapkan makan malam sementara Pak Hasan
menyusulnya ke dapur untuk melihat apakah dia bisa membantu Lidya.
Sekitar dua puluh menit memasak dan bercakap-cakap, makanan pun
siap. Tak disadari oleh Lidya kalau sedari tadi Pak Hasan memanjakan
matanya dengan mengamati setiap lekuk tubuh Lidya dari atas sampai
bawah sementara Lidya memasak. Pantatnya yang bulat dan montok
itu makin terlihat sempurna karena ketatnya celana jeans yang
dikenakan. Saat mengambil bumbu di atas lemari, celana dalam putih
yang dipakai Lidya sedikit terangkat dan terlihat oleh Pak Hasan.
Lelaki tua itu puas melihat menantunya memakai celdam yang sama
yang dia gunakan untuk coli.
Pak Hasan langsung membayangkan nikmatnya menubruk tubuh Lidya,
membungkukkan tubuh si cantik itu ke depan, dan melesakkan
kontolnya ke dalam memek Lidya sementara tangannya meremas-
remas susunya. Lamunan itu sirna begitu Lidya berbalik dan
menghidangkan makan malam.
###
Tangan Dina bergetar hebat saat dia melepaskan kancing bajunya.
Pandangan mata Pak Pramono tidak lepas dari payudara Dina yang
masih tertutup kemeja, menunggu dengan penuh harap untuk
menyaksikan susu Dina dalam kondisi tidak tertutup sehelai benang
pun. Dina ingin berhenti, tapi terus membuka kancing dan melepas
bajunya. Bh dan isinya yang putih mulus dan montok menjadi
perhatian utama Pak Pramono. Dina meraih kancing BH di belakang
dan melepaskannya. Saat BH itu menggantung di atas payudaranya,
Dina mulai ragu-ragu dan berusaha menggunakannya menutup buah
dadanya. Dina melepaskan celananya sambil masih memegang BH.
Pak Pramono jelas menikmati pertunjukan ala striptease ini. Sudah
jelas bagi pria tua itu bagaimana malunya perasaan Dina, yang tentu
malah menambah nikmat rangsangannya. Saat buah dada Dina keluar
dari BH, Pak Pramono bisa melihat pentil payudara Dina sudah
membesar, tentu karena udara dingin. Saat melepas celana panjang,
Pak Pramono memperhatikan celana dalam yang dipakai Dina. Celana
dalam putih biasa saja. Hal ini justru menambah minat Pak Pram.
Lebih jelas lagi kalau Dina adalah seorang ibu rumah tangga yang
sederhana dan mungkin orang yang pernah melihat Dina dalam kondisi
setengah telanjang hanyalah Anton dan dirinya sendiri.
Dina menggigil ketakutan. Wanita cantik itu berdiri setengah telanjang
di hadapan pria asing yang juga bos dari suaminya. Satu tangan
mengapit BH yang sudah hampir copot agar tetap menutupi payudara
dan tangan yang satu lagi menangkup selangkangannya. Dengan satu
gerakan dilemparkannya BH ke samping sehingga Pak Pramono bisa
menyaksikan tubuh bugil istri pegawainya.
Pak Pramono menatap si cantik Dina dan menikmati ketidaknyamanan
wanita itu. Tapi dia kemudian menjadi tidak sabar. Pak Pramono
membuka tasnya dan melambaikan amplop manila ke arah Dina. Istri
Anton itu tahu apa yang dimaksud Pak Pramono dan mengambil nafas
sekaligus keberanian ganda. Dina menarik celana dalamnya ke bawah
secepat mungkin dan langsung menutup selangkangannya kembali
dengan tangannya. Dina kini sudah berdiri tanpa sehelai benangpun di
hadapan Pak Pramono, dan berusaha keras menutupi payudara dan
vaginanya.
"Letakkan tanganmu di samping," kata Pak Pramono dingin.
Dina tahu inilah saatnya. Saat-saat penentuan. Apakah dia akan
menunjukkan tubuh telanjangnya pada laki-laki di hadapannya ini?
Setelah mempertimbangkan resiko tidak melakukannya, Dina menarik
nafas panjang dan menyerah. Berdiri tegap dan bergetar hebat, Dina
akhirnya mempersembahkan keindahan tubuh telanjangnya yang luar
biasa mempesona pada pria selain suaminya. Dina membenci
pandangan asusila Pak Pramono pada dirinya, dia membenci
pandangan laki-laki tua yang sedang memuaskan diri dengan
menjelajahi sekujur tubuh Dina.
"Berbaliklah... perlahan," kata Pak Pramono.
Dina menurut, dia berbalik memutar badan. Pantatnya yang mulus
terangkat merangsang di hadapan Pak Pramono. Dina terus memutar
sampai dia kembali berhadapan dengan Pak Pramono.
"Aku tadi bilang berbalik. Bukan memutar," kata Pak Pramono galak.
Sekali lagi Dina memutar badan, tapi kali ini dia berhenti saat
pantatnya berada di depan Pak Pramono. Ruangan itu menjadi sunyi
dan bagi Dina semuanya menjadi lebih parah karena tidak bisa melihat
ke arah Pak Pramono. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-
laki tua itu. Bagi ibu muda yang cantik dan sederhana itu, kesunyian
ini seakan berlangsung amat lama.
"Renggangkan kakimu," suruh Pak Pramono. "Bagus. Sekarang
membungkuklah dan lihat kemari melalui sela-sela kakimu."
Dina menahan nafas saat dia melihat ke arah Pak Pramono di antara
sela-sela kakinya. Celana panjang sekaligus celana dalam Pak
Pramono sudah copot dan penisnya yang mengeras bagaikan
menantang langit. Tidak hanya keras, sepertinya kontol Pak Pramono
juga lebih besar - lebih besar dan panjang - daripada milik Anton.
Dina juga sadar kalau memeknya bisa dilihat jelas oleh Pak Pramono.
Angin semilir membelai bibir vaginanya yang terbuka menantang.
Sebelum ini belum ada satu orangpun yang pernah menyaksikan liang
kemaluannya seperti ini, bahkan suaminya sendiripun belum pernah.
Saat Pak Pramono memintanya mendekat, Dina berdiri tegak dan
menarik nafas lega. Tapi ketika dia berdiri di samping bos Anton itu
dengan bertelanjang bulat, wajah cantik Dina langsung memerah
karena malu. Dina melompat mundur ketika jari jemari Pak Pramono
mengelus bagian dalam paha mulusnya.
"Kembali ke sini dan buka kakimu lebar-lebar!"
Dina berjalan gontai ke arah kursi tempat Pak Pramono duduk dan
memejamkan mata saat jari jemari Pak Pramono masuk ke vaginanya.
Kali ini walaupun tubuhnya menggigil, Dina tidak beranjak seinci pun.
"Memekmu kering. Aku pengen memekmu basah, masturbasi dulu!"
Dina tidak tahu seberapa jauh lagi dia bisa menahan malu. Bos
suaminya tengah memasukkan sebuah jari ke dalam memeknya dan
menyuruhnya bermasturbasi. Dina pertama kali bermasturbasi saat dia
masih remaja. Dina tahu perbuatan ini tidak baik untuk pertumbuhan
mental sehingga dia berhenti melakukannya. Tapi kini seorang pria
asing memerintahkannya bermasturbasi langsung dihadapannya.
Dina mencari lubang kemaluannya dengan jari tengah dan
menggosoknya dengan gerakan pelan. Wanita cantik yang
dipermalukan itu kemudian merasakan desakan jari jemari Pak
Pramono di dalam memeknya pada saat dia bermasturbasi. Dina tidak
tahu mana yang lebih memalukan - saat mata Pak Pramono menatap
jari tengahnya atau wajahnya. Kini jari jemari Pak Pramono makin
bebas keluar masuk liang vagina Dina karena cairan pelumas dinding
vaginanya mulai mengalir.
Pak Pramono mencabut jari jemarinya dan berkata. "Duduk di
pangkuanku."
Dina lega saat Pak Pramono menarik jemarinya sehingga Dina bisa
berhenti bermasturbasi. Dina mencoba duduk di pangkuan Pak
Pramono dengan sesopan mungkin, dia berusaha menutup kedua
kakinya dengan rapat. Tapi Pak Pramono menggeleng dan kaki Dina
segera dibuka lebar-lebar. Wanita cantik itu mencoba berdiri ketika
melihat penis Pak Pramono berdiri tegak menantang.
Pak Pramono tersenyum saat melihat Dina memalingkan wajah dan
berkata, "Masukkan ini ke dalam memekmu."
"Kumohon, Pak Pramono! Aku tidak bisa melakukan ini! Aku sudah
menikah! Ini- ini akan menjadi skandal! Ini zinah!", Dina merengek.
"Masukkan ini ke dalam memekmu, atau..."
Dina tahu dia tidak punya pilihan lain. Duduk di pangkuan Pak
Pramono, Dina mencoba melesakkan penis laki-laki mesum itu ke
dalam memeknya tanpa menyentuh batang kemaluan bos Anton itu.
Tapi usaha Dina gagal. Ibu rumahtangga yang cantik itu mendesah
kecewa dan dengan tertunduk malu meraih batang zakar Pak Pramono
dan menaikkannya ke atas. Dina memposisikan vaginanya di atas
kontol yang sudah menghadap ke atas lalu perlahan melesakkannya
sambil duduk di pangkuan Pak Pramono. Dina bisa merasakan kontol
yang besar dan gemuk itu meraja di liang rahimnya. Dina dan Pak
Pramono saling bertatapan saat kontol Pak Pramono melesak
seluruhnya ke dalam memek Dina.
Tangan Pak Pramono meraih buah dada Dina. Dielus dan diremasnya
buah dada putih mulus, molek dan montok itu. Jemarinya menjepit
pentil susu Dina dan memutar-mutarnya dengan kasar. Dina merasa
sangat malu saat pentil itu mulai membesar. Dina berusaha keras
menahan dirinya agar tidak terangsang dengan remasan dan perlakuan
Pak Pramono pada buah dadanya, tapi gagal. Payudara Dina menegang
dan pentilnya membesar.
Tangan Pak Pramono melepaskan buah dada Dina, tapi kini giliran
mulutnya yang nyosor ke susu putih mulus si Dina. Saat Pak Pramono
mengelamuti satu pentilnya, Dina bisa merasakan jari jemari Pak
Pramono menangkup bulat pantat Dina. Diangkat, lalu diturunkan, lalu
diangkat lagi, berulang-ulang. Pak Pramono bergeser ke pentilnya
yang lain, lalu menikmatinya untuk beberapa saat.
Setelah bosan, Pak Pramono menyandarkan kepala ke belakang dengan
menggunakan lengan sebagai bantalannya. Dengan posisi relaks, Pak
Pramono tersenyum sinis.
"Sekarang, genjot kontolku!", perintah Pak Pramono.
Mulut Dina menganga tak percaya, dia telah dilecehkan, dihina dan
diperdaya. Tapi wanita jelita itu melakukan apa yang diminta oleh Pak
Pram. Karena membutuhkan sandaran, Dina meraih pundak Pak Pram
dan perlahan mengangkat tubuhnya. Saat seluruh penis Pak Pram
hampir keluar dari memeknya, Dina menghentakkan tubuh ke bawah
dan kembali ke pangkuan Pak Pram. Lalu Dina naik lagi, lalu turun,
lalu naik, turun, naik turun, naik turun berulang-ulang.
Dina mengentoti Pak Pramono, bosnya Anton. Dinalah yang bergerak
naik turun, meskipun Pak Pram sekali-kali menggoyang pinggulnya
untuk menumbuk gerakan turun tubuh Dina, tapi ibu muda itulah yang
bekerja keras. Dinalah yang saat ini sedang menyetubuhi Pak Pram!
Meskipun hal itu saja sudah memalukan, tapi Dina kian tak punya
muka saat merasakan kehangatan yang nikmat merajai liang vaginanya.
Penis Pak Pram yang jauh lebih besar dari penis suaminya menjejal
liangnya yang sempit dan memenuhinya dengan nikmat. Gerakan naik
turunnya menjadi lebih cepat.
Pak Pramono mulai melihat perubahan pada wajah Dina. Pada awalnya,
Dina bersetubuh dengan perasaan malu dan sakit hati, tapi kemudian
perasaan itu berubah menjadi birahi. Pak Pram tahu Dina mulai
menikmati dientoti oleh pria tua itu. Bukan maksud hati Dina untuk
bersetubuh dengan Pak Pramono, tapi tubuh Dina mengkhianatinya
karena lama kelamaan ibu muda yang cantik itu mulai merasa
kenikmatan yang tiada tara walaupun awalnya dia dipaksa untuk
melayani bandot tua ini.
Pak Pramono mulai menelusuri tubuh istri Anton dengan satu tangan
dan akhirnya mencapai ujung kelentit kemaluan Dina. Saat Pak
Pramono menggosok klitoris Dina, mata istri Anton itu terbelalak dan
menatap Pak Pram tak percaya. Tapi Dina tetap meneruskan
gerakannya, naik turun dan membiarkan kontol Pak Pram menusuk tiap
jengkal ruas liang kemaluannya. Pak Pram tidak berhenti menggosok
klitoris Dina. Tak lama kemudian, Pak Pramono merasakan kuku jari
Dina menancap makin dalam di pundaknya. Gerakan Dina makin lama
makin cepat hingga Pak Prampun tidak sanggup lagi merangsang
klitoris Dina. Dina melepaskan lenguhan keras dan tubuhnya bergetar
hebat sebelum akhirnya berhenti. Dia sudah mencapai klimaks.
Pak Pramono menunggu Dina sampai si cantik itu membuka matanya.
Wajah Dina yang dilanda kepuasan memerah karena malu. Pak
Pramono menganggukkan kepalanya sebagai tanda agar Dina
meneruskan pekerjaannya. Maka wanita cantik itu kembali
menggunakan memeknya untuk memeras penis Pak Pramono. Dina
kembali menyetubuhi pria tua yang telah membuatnya orgasme. Tadi
Pak Pramono memang ingin memuaskan Dina agar ibu muda yang
cantik itu malu, tapi kini Pak Pramono hanya menginginkan
kepuasannya saja. Pak Pramono menarik bokong Dina dan
membimbing tubuhnya naik turun batang kemaluannya dengan lebih
cepat. Dia mendorong tubuh Dina turun ke pangkuannya dengan kasar
sementara pinggulnya bergerak sembari menggoyang si manis itu.
Makin lama makin cepat. Pak Pramono makin tersengal-sengal karena
keenakan.
Tak lama kemudian Pak Pramono orgasme. Dina duduk di pangkuan
Pak Pramono saat pejuh pria tua itu membanjiri liang senggamanya.
Dina merasa malu, dia merasa dirinya sangat rapuh karena menyerah
pada Pak Pramono. Dina merasa diperkosa, tapi lebih malu lagi, karena
Dina merasa dirinyapun telah mencapai titik klimaks yang belum
pernah dirasakannya selama ini. Walaupun awalnya terpaksa, Dina kini
juga merasa bersalah pada Anton. Dia merasa dirinya telah ternoda
dan bersalah karena mencapai orgasme.
Dina duduk terdiam penuh rasa malu pada diri sendiri saat Pak
Pramono mulai kembali sadar dari kenikmatan orgasmenya. Perempuan
molek itu itu bisa merasakan penis Pak Pramono mulai mengecil dan
keluar perlahan dari memeknya sementara dia duduk di paha sang pria
tua. Dengan posisi kaki terbentang, Dina bisa merasakan pula cairan
mani Pak Pramono meleleh keluar dari lubang memeknya. Dina tidak
bergerak sama sekali karena takut pada pria tua yang bengis itu. Pak
Pramono membuka matanya dan tersenyum puas. Dia mendorong
tubuh Dina ke samping.
Mengambil nafas dalam-dalam, Pak Pramono berkata. "Aku
berterimakasih atas kerja samanya. Selama kamu terus menerus
memberikan kepuasan padaku, maka aku jamin Pak Anton tidak akan
pernah disentuh oleh pihak yang berwajib. Heh heh heh. Besok,
datanglah ke Hotel Elok di Jalan Surabaya jam dua siang dan masuk ke
kamar 224. Aku akan menunggu Mbak Dina untuk kesepakatan kita
selanjutnya."
Dina hanya memandang diam ke arah Pak Pramono saat pimpinan
Anton itu mengenakan baju kerjanya dan bangkit. Dina duduk di
ranjang tanpa berkeinginan untuk menutupi ketelanjangannya. Untuk
apa? Dia baru saja bersenggama dengan pria tua ini dan Pak Pramono
sudah melepaskan pejuh di dalam rahimnya. Apa akan ada perbedaan
berarti kalau sekarang Pak Pram melihatnya bugil?
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Pak Pramono meletakkan
amplop dan celana dalam milik Dina ke dalam tas kerja lalu berjalan
pergi meninggalkan rumah Anton dan Dina.
###
Lidya sudah hampir terlelap ketika dirasakannya angin semilir masuk
melalui selimutnya yang tebal. Baru disadarinya ternyata selimut itu
diangkat oleh seseorang. Lidya yang masih terpejam tersenyum
gembira, ternyata Andi tidak jadi berangkat ke luar kota.
Saat membalikkan badan, barulah disadari bahwa bukan Andi
melainkan Pak Hasan yang berada di samping tubuhnya! Karena sangat
mengantuk, Lidya lambat bereaksi, dan dengan cekatan Pak Hasan
langsung memeluk tubuh menantunya.
Gesekan tubuh telanjang mereka menyadarkan Lidya akan gawatnya
situasi yang sedang dihadapi. Lidya pun segera mendorong tubuh Pak
Hasan dan berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Pak Hasan
hanya tersenyum sinis dan menelikung tangan Lidya hingga dia tidak
bisa berkutik. Tubuh keriput Pak Hasan menindih tubuh mulus Lidya
sehingga istri Andi itu terengah-engah. Semakin Lidya memberontak
dan mencoba melepaskan diri sergapannya, semakin Pak Hasan
terangsang.
"Bapak! Lepaskan aku! Apa yang bapak lakukan di sini?" tanya Lidya.
###
Malam itu, rasa bersalah yang amat besar membuat Alya tidak bisa
tidur. Dia tidak pernah bisa memaafkan dirinya karena memiliki nafsu
birahi liar yang tersembunyi di balik kesetiaannya. Dia tidak pernah
memaafkan dirinya sendiri yang menjadi hamba nafsu dan terlena oleh
perkosaan yang dilakukan Pak Bejo. Awalnya dia mengira itu semua
terjadi karena rasa takut, tapi perasaan nikmat itu tidak bisa ia
bohongi. Seluruh kejadian bersama Pak Bejo terulang bagaikan film di
benak Alya.
Apakah dia seorang korban yang pasrah? Saat itu dia teringat kalimat
yang pernah diucapkan oleh Bu Bejo. "Mbak Alya belum mengerti apa-
apa.". Saat ini Alya baru sadar kenapa Bu Bejo bertahan walaupun
didera semua penyiksaan fisik yang dilakukan oleh Pak Bejo. Pak Bejo
memberikan kenikmatan seksual yang tidak ada bandingannya. Itu
sebabnya Bu Bejo pasrah oleh perlakuan kasar sang suami. "Bahkan
terhadapku pun dia kasar." Pikir Alya. Dan seperti Bu Bejo pula, Alya
harus melalui siksaan fisik luar biasa sebelum akhirnya menikmati
puncak nafsu liarnya yang terpendam.
Dinginnya malam tak tertahankan. Alya melangkah keluar dari kamar
dan duduk termenung sendirian di ruang depan. Berusaha
menenangkan pikirannya yang kalut.
Bagaimana mungkin Alya mengkhianati Hendra demi nafsu birahi
sesaat? Ibu rumah tangga yang cantik itu tidak bisa membayangkan
hidupnya tanpa Hendra. Mereka saling mencintai satu sama lain.
Hendra sangat mencintai Alya. Tapi apa yang bisa diharapkan Hendra
dari istrinya? Alya telah ditiduri oleh tetangga mereka yang bejat dan
berhati busuk. Dia pasti akan sangat shock jika tahu apa yang telah
terjadi. Alya berusaha keras agar tidak menangis. Dia tidak akan
mengijinkan Pak Bejo melakukan apapun pada tubuhnya lagi. Alya
adalah milik Hendra. Istri sah Hendra. Alya tidak mau dirinya berakhir
sebagai istri simpanan atau bahkan budak seks laki-laki busuk seperti
Pak Bejo.
"Maafkan aku, Mas Hendra. Aku berharap Mas mau memaafkan aku.
Aku berjanji tidak akan mengkhianati kepercayaan Mas Hendra lagi."
Gumam Alya pada dirinya sendiri. Dia berharap bisa menyelesaikan
urusan dengan Pak Bejo besok. Dia akan menutup pintu rumahnya
kuat-kuat supaya lelaki busuk itu tidak akan bisa masuk dan
menodainya lagi. Dia ingin Pak Bejo tahu apa yang mereka lakukan
kemarin tidak ada artinya bagi Alya. Istri Hendra itu merasakan beban
yang ia pikul perlahan-lahan terangkat.
###
"Itu pertanyaan bodoh, menantuku sayang," Kata Pak Hasan. "Kurasa
kau tahu pasti apa yang sedang aku lakukan. Birahiku sedang tinggi
dan aku bosan onani. Aku pengen memek yang enak, jadi aku masuk
ke sini."
"Gila!! Aku ini menantumu!!" protes Lidya. "Ini tidak mungkin! Bapak
tidak bisa..."
"Memangnya siapa yang akan menghentikan aku?" tanya Pak Hasan.
"Tidak ada orang lain di sini. Kamu boleh berteriak kalau mau tapi aku
yakin tidak akan ada orang yang akan masuk dan menjebol tembok
untuk menyelamatkanmu. Dan kau lihat sendiri, aku juga jauh lebih
kuat daripada kamu."
"Jika bapak memperkosaku, aku akan lapor pada polisi!" ancam Lidya.
"Bisa saja kau lakukan itu. Tapi menurutmu, bagaimana perasaan
Andi?"
"Apa maksud bapak?"
"Seandainya kamu berani pergi ke polisi dan mengaku diperkosa oleh
ayah mertuamu sendiri, Andi akan hancur perasaannya. Istrinya yang
cantik dan mempesona diperkosa oleh ayahnya sendiri. Apalagi aku
akan mengarang sebuah cerita kepadanya kalau istrinya, Lidya yang
jelita merayu ayah mertuanya. Bahkan jika dia mencoba untuk tidak
mempercayai ceritaku, dia tidak akan pernah percaya lagi padamu.
Aku, tentu saja akan menceritakan bagaimana enaknya menyetubuhimu
dan membuatmu orgasme. Semua detail akan aku ceritakan. Semua
kenikmatan yang tidak pernah ia bisa berikan kepadamu. Oh ya,
sayang. Jika kau cerita pada Andi atau polisi tentang perkosaan ini,
kau akan menghancurkan hidupnya."
Lidya terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya menganga lebar
karena tiap perkataan Pak Hasan ada benarnya.
"Bapak tidak peduli pada Andi? Apa yang akan dirasakannya?" tanya
Lidya dengan lirih. "Bapak benar-benar ingin menyakiti putra bapak
sendiri?"
"Bukan aku yang akan menyakitinya. Kamu yang akan menyakiti
perasaannya. Aku sih cuma pengen ngentotin kamu. Kalau kamu tidak
cerita apa-apa sama dia, semua beres. Semua senang."
"Kecuali aku."
"Oh, kalau sampai kamu tidak puas bercinta denganku, namaku bukan
Hasan." Kata lelaki tua itu dengan bangga. Dengan berani dia mencium
bibir Lidya.
Ciuman yang disosorkan oleh Pak Hasan bukanlah ciuman mesra
seperti yang biasa diberikan oleh Andi pada Lidya. Ciuman Pak Hasan
sangat kasar dan penuh nafsu, dengan buas Pak Hasan memaksa
lidahnya masuk ke mulut Lidya, lalu mengeluarmasukkan lidahnya
dengan cepat. Gerakan lidah Pak Hasan seirama dengan gerakan
pinggulnya yang mendorong ke depan. Sekali lagi Lidya berusaha
mendorong tubuh Pak Hasan. Kali ini usahanya hampir berhasil. Pak
Hasan yang tidak siap terdorong mundur. Namun saat Lidya berusaha
lari dari ranjang, Pak Hasan menarik kaki sang menantu dan
merentangkannya lebar-lebar. Pria tua yang sudah kehilangan akhlak
itu menarik lutut Lidya dan menjepitkan pinggangnya di antara dua
paha Lidya.
Si cantik itu bisa merasakan jembut kasar Pak Hasan menyentuh bibir
kemaluannya. Memek Lidya yang lama kelamaan basah bisa dirasakan
oleh kulit Pak Hasan yang langsung menyentuh selangkangan Lidya.
Istri Andi itu berusaha mendorong mundur mertuanya. Tak henti-
hentinya Lidya memukul dan menampar Pak Hasan, tapi apa daya
seorang wanita lemah? Pak Hasan tidak mempedulikan perlakuan Lidya
dan meremas payudara sang menantu. Pria tua itu tidak lagi berlaku
lembut pada buah dada Lidya. Dengan kasar diremas-remas dan
dipelintirnya pentil susu Lidya. Lidya merasa malu saat kemudian
puting susunya malah makin mengeras. Pak Hasan tidak melewatkan
hal ini dan memelintir pentil Lidya dengan jari-jari tangannya. Lidya
tidak berkutik, sambil merem melek dia melenguh keras. Pak Hasan
mencium pentil Lidya dan menjilatinya dengan penuh nafsu.
Hangatnya mulut Pak Hasan terasa begitu nikmat sehingga Lidya lupa
melawan. Dengan sadis Pak Hasan memangsa buah dada Lidya dengan
lidahnya, sesuatu yang sudah dia idam-idamkan sejak lama. Pak
Hasan menjilati pentil Lidya lalu menciumi buah dadanya. Kenikmatan
yang dirasakan oleh Lidya begitu tinggi sehingga istri Andi itu
melenguh keras dan menjambak rambut Pak Hasan. Dengan wajah
senang dan puas, Pak Hasan tertawa terbahak-bahak penuh
kemenangan.
"Susumu bagus sekali, nduk," kata Pak Hasan. "Aku selalu
memperhatikan buah dadamu dan bertanya-tanya bagaimana rasanya
kalau dijilati. Tidak begitu besar dan tidak terlalu kecil. Cukupan.
Sempurna. Pentilnya juga mempesona, lumayan besar."
Lidya yang tersinggung oleh ejekan itu mulai melawan Pak Hasan lagi,
kali ini si cantik itu bahkan berteriak-teriak meminta tolong. Sia-sia
saja, tidak ada yang mendengar teriakan Lidya. Pak Hasan tertawa-
tawa dan terus meremas payudara Lidya. Dijilati dan digigitinya susu
putih Lidya, pria tua yang sangat nafsu itu berusaha menelan seluruh
buah dada Lidya ke dalam mulutnya. Dia bahkan meremas payudara
Lidya dan berusaha menelan keduanya bersama-sama. Walaupun
tindakannya kasar, tapi Lidya mulai merasakan sensasi kenikmatan
yang aneh dan kesulitan menolak Pak Hasan.
Pak Hasan mengagetkan Lidya saat mertuanya itu berbalik dan berlutut
di atas tubuhnya. Kepala Pak Hasan menghilang di antara paha Lidya
dan kontol Pak Hasan bergelantung di atas wajah cantiknya. Penis Pak
Hasan sangat berbeda dengan milik Andi. Milik Pak Hasan jauh lebih
pendek dan tebal, warnanya juga lebih hitam kemerahan. Lidya
bergidik saat membayangkan kontol Pak Hasan memasuki tubuhnya.
Rasa ngeri dan ketakutan membuat Lidya mengeluarkan cairan pelumas
yang membanjir di selangkangannya. Lidya menggigit bibirnya saat
tiba-tiba saja mulut Pak Hasan menjelajahi selangkangannya yang
basah. Pak Hasan mulai mencium, menjilat dan menghisap memek
sang menantu. Tangan Pak Hasan merenggangkan kaki jenjang Lidya
supaya mendapatkan akses bebas ke vaginanya. Direntangkannya
lebar-lebar sehingga Lidya tidak bisa menolak perlakuan ini.
Pak Hasan dengan mahir menggunakan lidahnya menjilati klitoris
Lidya, lalu pada bibir vagina dan akhirnya lidah Pak Hasan menjelajah
ke dalam liang cinta Lidya. Ia menjilat dengan gerakan memutar dan
menusuk, membuat Lidya menggelinjang keenakan. Pak Hasan bahkan
menggunakan giginya untuk menggigit-gigit kecil klitoris Lidya. Istri
Andi itu masih terus berteriak dan melawan, bergerak mengelilingi
tempat tidur dengan sekuat tenaga. Tapi Lidya sudah tidak tahu lagi,
apakah teriakannya itu teriakan takut atau teriakan penuh nikmat.
Tiba-tiba saja Lidya mengalami orgasme. Kenikmatan menguasai
tubuh indahnya, Lidya bergetar hebat saat mencapai puncak. Sebuah
kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Tubuh Lidya
tergolek lemas. Tapi bahkan saat orgasme itu sudah menghilang, Pak
Hasan belum selesai menikmati tubuh molek Lidya.
Pak Hasan membalikkan badan dan sambil menarik pinggul Lidya,
dilesakkannya kontolnya yang besar ke dalam nonok sang menantu.
Lidya merem melek karena tidak bisa menahan kenikmatan yang
diberikan oleh mertuanya. Seluruh memeknya seakan terulur sampai
batas dan terisi penuh oleh kontolnya. Lidya bisa merasakan denyutan
demi denyutan kontol sang mertua di dalam liang cintanya. Vaginanya
terus memeras penis sang mertua yang keluar masuk dengan cepat.
Tiap kali digerakkan, seakan tusukan Pak Hasan makin ke dalam,
membuat Lidya mendesah-desah karena tak tahan. Desahan si cantik
itu membuat Pak Hasan makin cepat memompa vagina Lidya.
Akhirnya Lidya mencapai puncaknya lagi, tubuhnya yang sempurna
melejit karena mengeluarkan cairan cinta. Lidya bisa merasakan air
mani Pak Hasan juga tumpah di dalam rahimnya.
Pak Hasan jatuh menimpa Lidya, tubuh mereka menggigil dan
bermandikan keringat. Akhirnya dia berdiri dan keluar dengan santai
dari kamar Lidya, meninggalkan istri Andi itu terlentang telanjang di
kasur.
Saat Pak Hasan akhirnya tertidur, Lidya memutuskan untuk mandi
keramas dan mengganti seprei yang baru saja dipakainya untuk
melayani nafsu ayah mertuanya. Dia mencoba melupakan apa yang
terjadi tapi getaran yang terasa di tubuhnya tak kunjung menghilang.
Lidya tahu dia tidak mungkin mengatakan sejujurnya apa yang terjadi
pada Andi ataupun pada pihak yang berwajib. Lidya tak punya bukti
apapun dan dia takut kalau Andi bertanya padanya apakah Lidya
menikmati bersetubuh dengan ayah mertuanya. Andi selalu tahu saat
Lidya berbohong jadi dia pasti tahu kalau Lidya mendapatkan sensasi
kenikmatan lain saat bersetubuh dengan Pak Hasan. Lidya tidak akan
menceritakan apapun pada suaminya.
Saat membersihkan kamar keesokan paginya, Lidya menemukan
sepucuk kertas di atas meja riasnya. Surat dari Pak Hasan.
"Aku berharap bisa tidur denganmu lagi, Lidya sayang. Kalau aku
sudah tidak kecapekan tentunya. Membayangkannya saja sudah
membuatku nafsu. Aku berjanji akan lebih perkasa."
Walaupun Lidya berharap Pak Hasan hanya mengancam, tapi dia tahu
mertuanya itu bersungguh-sungguh. Istri Andi itu gemetar ketakutan.
Dia membayangkan ayah mertuanya akan menyetubuhinya lagi setiap
ada kesempatan dan tidak ada satupun yang bisa dilakukan si cantik
itu untuk menghentikannya.
###
Dina memasukkan kunci dan membuka pintu kamar hotel nomor 224.
Sesuai dengan petunjuk yang ia peroleh dari Pak Pramono. Lampu
kamar langsung menyala saat ia masuk. Dina lalu menaruh jaket dan
tas jinjing yang ia bawa di dalam lemari pakaian. Memperhatikan
ruangan kamar hotel, Dina tahu dia datang lebih awal daripada Pak
Pramono. Dina melangkah ke arah jendela dan memperhatikan mobil-
mobil yang berlalu-lalang di jalan dengan perasaan yang campur aduk.
"Kupikir kamu tidak jadi datang."
Dina kaget dan hampir melompat saat suara berat di belakangnya
terdengar. Dina tidak perlu membalikkan badan untuk tahu siapa yang
datang.
"Aku tidak punya banyak pilihan kan, Pak Pramono?"
"Siapa bilang? Jalan hidup kita selalu tergantung pada pilihan." Kata
pria yang sangat percaya diri itu sambil memasukkan tas dan jaket ke
dalam lemari. Dia meredupkan cahaya lampu supaya lebih temaram dan
romantis.
Dina melirik ke arah jari jemarinya. Cincin emas putih yang melingkar
di jari manis sebagai lambang pernikahannya dengan Anton
membuatnya bergetar ketakutan. Demi cinta dan kesetiaan. Dina
membalikkan badan. Tangannya memeluk pinggang seakan hendak
menghangatkan badan yang kedinginan.
"Tidak ada yang memaksa Mbak Dina datang kemari. Ingat itu baik-
baik." Kata Pak Pramono sambil mendekati istri Anton. Sekitar satu
meter jarak mereka, Pak Pram berhenti. Dina berusaha menantang
pandangan tajam Pak Pramono, namun dia tidak sanggup. Pandangan
mata Dina turun ke lantai.
"Apa yang Bapak inginkan?"
"Mbak Dina tahu apa yang aku inginkan."
"Aku membencimu! Orang tua berhati busuk!" Desis Dina sengit.
"Bencilah aku sesukamu, sayang. Aku malah lebih suka kamu benci
daripada kamu cintai.", Dengan jarinya yang hitam Pak Pramono
mengelus pipi dan rahang Dina yang halus mulus. "Sangat sempurna.
Cantik sekali."
Dina menarik wajahnya dan mundur ke belakang. Tapi Pak Pramono
segera menahan Dina dengan menarik kembali bagian belakang leher
Dina, mendekatkan tubuh moleknya ke depan.
"Aku sudah menginginkanmu sejak pertama kali kita bertemu, Mbak
Dina. Begitu tenang, sopan, penuh percaya diri. Tapi aku bisa melihat
watak aslimu."
"Watak asli? Apa yang anda maksud?"
"Aku tahu sejak pertama kita bertemu, kamu ingin tidur denganku.
Kamu ingin aku menusukkan batang penisku dalam-dalam di liang
cintamu yang sempit itu. Kamu ingin menelan kontolku yang besar dan
panjang lalu menelan semua pejuhku. Iya kan, sayang?"
"Dasar gila." Kata Dina sambil mencoba menjauh.
"Gila?" Pak Pram membiarkan Dina menjauh hingga jarak mereka ada
sekitar dua meter.
"Mungkin aku gila. Tapi saat ini, aku yang pegang kendali. Saat ini,
tubuhmu yang indah itu adalah milikku!" Kata Pak Pramono sambil
tersenyum penuh kemenangan.
"Pak Pramono, saya mohon. Pertimbangkanlah perasaan Mas Anton!"
"Anton? Apa menurutmu dia memikirkanku saat dia mencuri uang
perusahaan?"
Dina terdiam tak berdaya.
"Memang tidak. Jadi beritahu aku, Mbak Dina tersayang, apa
menurutmu aku harus menghentikan tindakanku ini?"
"Seharusnya."
"Bah! Tidak akan! Dia sudah mencuri dariku, jadi aku akan mengambil
miliknya yang paling berharga! Istrinya yang cantik jelita!"
"Apa anda akan membuka rahasia ini pada Mas Anton?" tanya Dina.
"Tergantung. Menurutmu apa yang akan terjadi jika dia mengetahui
istrinya sudah melayani bosnya bermain cinta?"
"Dia pasti minta cerai."
"Apa Mbak Dina mencintai Pak Anton?"
"Sangat. Mohon pertimbang..."
"Aku kan sudah bilang. Mbak Dina harus menuruti semua perintahku
kalau ingin semua ini berakhir dengan baik bagi semua pihak. Anton
tidak akan dipecat dan tidak akan masuk penjara. Aku dapat hiburan
gratis dari seorang wanita yang cantik jelita dan molek, sedangkan
Mbak Dina sendiri siapa tahu akan mendapatkan seorang keturunan
yang berasal dari spermaku."
Dina menundukkan kepala. Airmatanya mengalir.
"Semudah itu. Aku menginginkan tubuh Mbak Dina. Tiap kali aku
butuh, aku telpon atau sms, Mbak Dina melakukan apa yang aku minta,
dan Anton tidak perlu tahu apa yang kita lakukan."
"Aku menjadi budak seks Pak Pramono?"
"Aku ingin kau melayaniku, sayang. Aku ingin kau menerima apa saja
yang ingin aku lakukan pada tubuhmu yang lezat itu selama aku belum
bosan. Setelah merasa bosan, aku akan melepaskanmu dan Anton."
"Aku tidak bisa melakukannya."
"Tentu saja bisa."
"Aku belum pernah mengkhianati suamiku."
Pak Pramono tersenyum sinis dan mengingatkan Dina. "Belum pernah?
Lalu apa yang kita lakukan kemarin? Wah-wah, anda benar-benar
seorang istri yang sempurna. Cantik, setia dan baik hati pula."
Air mata semakin menggenang di pipi Dina.
"Kemarilah, sayang."
Perlahan Dina bergerak mendekati Pak Pramono. Airmata mulai deras
menuruni pipi ibu muda yang cantik itu. Dengan mata berkaca-kaca
Dina menatap Pak Pramono.
"Cium aku."
Dina membungkuk dan mencium bibir Pak Pramono.
"Dingin sekali. Kamu bisa lebih baik dari itu." Kata Pak Pram saat Dina
mundur.
Sambil meletakkan tangan di pundak Pak Pram, Dina membungkuk
sekali lagi dan menangkup bibir hitam Pak Pram dengan bibirnya yang
merah mungil. Dina bisa merasakan bibir Pak Pramono membuka dan
lidahnya menjelajah ke dalam mulut Dina. Tangan Pak Pram memeluk
pinggang langsingnya dan menarik tubuh Dina agar lebih mendekat.
Lidah mereka beradu dan Dina memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian ciuman itu berakhir. Dina merasa mulutnya
sudah sangat kotor.
"Boleh juga." Kata Pak Pramono sambil duduk di ranjang. "Sekarang
buka bajumu. Aku ingin melihatmu bugil."
Dina memang sudah pernah telanjang di hadapan pria ini, satu-
satunya lelaki yang pernah menidurinya selain suaminya sendiri. Tidak
ada jalan keluar kecuali menuruti semua permintaannya. Tangan Dina
segera membuka kancing bajunya. Satu persatu pakaian Dina melorot
ke lantai. Baju, rok, sepatu dan rok dalam sudah dilepas oleh Dina.
Kini di hadapan Pak Pramono berdiri seorang ibu rumahtangga yang
amat molek yang hanya mengenakan celana dalam dan BH.
"Tubuhmu memang benar-benar seksi." Kata Pak Pramono, matanya
nanar ingin segera melahap tubuh Dina. "Aku sudah sering meniduri
banyak wanita, tapi tubuhmu adalah yang paling indah yang pernah
aku entoti."
Dina mencoba menutupi ketelanjangannya karena risih.
"Bukankah aku sudah bilang aku ingin melihatmu bugil?"
Dina mendesah pasrah dan mulai melepas BHnya. Perlahan-lahan Dina
meloloskan BH melalui kedua lengannya dan melemparkannya ke dekat
pakaian di lantai. Dina membungkuk dan melepas celana dalamnya.
"Lemparkan celdamnya." Kata Pak Pramono.
Dina melempar celdamnya ke tangan Pak Pramono. Pria tua itu segera
mencium dan menghirup bau memek Dina yang masih tertinggal di
celana dalamnya.
"Hmmmmm... harumnya." Kata Pak Pramono sambil memasukkan
celdam Dina ke kantong celananya sendiri.
"Pak Pramono......"
Tanpa banyak bicara Pak Pram kembali menganggukkan kepala ke arah
Dina. Dia masih duduk di pinggir ranjang.
"Berlutut di depanku, Mbak Dina."
Dina berjalan perlahan ke arah Pak Pramono dan duduk berlutut di
hadapannya. Dina tidak pernah menikmati oral seks. Anton sering
menyuruhnya tapi Dina selalu menolak dengan berbagai alasan. Dina
tidak pernah mau menelan sperma suaminya.
"Keluarkan burungku dari sarang, Mbak Dina. Aku kok ingin lihat
kontolku diciumi oleh bibir semerah bibir anda."
Dina membuka celana Pak Pram dan menarik semua ke bawah berikut
celana dalamnya. Kontol Pak Pram langsung terbebas dan berdiri
tegak di depan wajah Dina. Walaupun sudah pernah melihatnya, Dina
selalu terkejut melihat kontol Pak Pram. Penis ini memang Pak pram
begitu panjang, besar dan bertonjolan urat halus.
"Pak Pram......"
"Anda sudah pernah melakukan oral seks, kan?"
"Sudah. Hanya untuk Mas Anton. Tapi aku tidak suka melakukannya."
"Sayang. Sesudah melakukannya denganku, Mbak Dina tidak akan ragu
lagi untuk melakukan oral seks."
Dina terus memperhatikan penis Pak Pram. Dia hanya pernah
memasukkan satu penis ke dalam mulutnya dan itu adalah milik
suaminya sendiri. Tapi hari ini, sambil berlutut di hadapan penis Pak
Pramono, istri yang tadinya setia itu harus melayani nafsu hewani
sang pria tua. Dina mengeluarkan lidah dan menjilat ujung gundul
kontol Pak Pram, merasakan lendir yang keluar dari rekahan dengan
lidahnya. Perlahan-lahan, ditelannya seluruh kontol Pak Pram.
"Ah, enaknya......" desis Pak Pram. Tangannya meraih rambut Dina dan
menguntainya lembut. Dia mendorong penisnya lebih jauh ke dalam
mulut Dina.
Dina menutup mata dan mencoba menahan diri agar tidak tersedak
oleh desakan kontol Pak Pram yang terus didorong masuk ke
tenggorokan. Dina berusaha keras agar bisa bernafas saat Pak Pram
mulai mendorong pinggulnya. Kini kontol Pak Pram terbenam dalam di
mulut Dina. Tangan Pak Pram memegang kepala Dina dan
membimbingnya agar bisa mengocok penis Pak Pram dengan mulut.
Tiap kali menarik kepala Dina, hidung si cantik itu terbenam sampai ke
dalam keriting jembut Pak Pram.
"Terus sayang. Enak banget disepong istri orang!" kata Pak Pram
sambil terus menggerakkan kepala Dina pada kontolnya.
Dina meletakkan tangannya di paha Pak Pram agar bisa meraih
keseimbangan. Jari jemari Dina bisa merasakan sentuhan bulu-bulu
kaki Pak Pram yang keriting.
"Pakai lidah." Perintah Pak Pram sambil memompa lebih kencang.
Dina menggunakan lidahnya untuk memijat seluruh batang penis Pak
Pram. Suara berkecap mulut Dina memenuhi ruangan yang sepi. Dina
memejamkan mata, dia tidak ingin melihat dirinya sendiri menelan
kontol Pak Pram.
"Ampun, Mbak Dina! Enak banget! Aku mau keluar nih!"
Dina berusaha menarik mulutnya, tapi Pak Pram menjambak rambut
Dina dan memaksanya terus menelan kontolnya yang besar. Dina
menggelengkan kepala dan berusaha melepaskan diri dari tangan Pak
Pram. Dina tidak mau Pak Pram orgasme di dalam mulutnya. Dina bisa
mendengar suara tawa pria tua itu ketika akhirnya pejuh Pak Pram
meledak di dalam mulutnya. Pak Pram membanjiri tenggorokan istri
Anton dengan spermanya.
"Telan." Kata Pak Pram dengan geram, kontolnya dilesakkan sampai ke
ujung.
Dina tidak bisa menahan lagi dan dengan satu tegukan, dia menelan
semua muntahan sperma Pak Pramono.
"Anak baik." Kata Pak Pramono sambil mengendurkan pegangannya
dan membiarkan Dina jatuh ke lantai dengan lemas.
Dina menundukkan kepala, dia tidak bisa menghentikan air mata yang
terus jatuh menuruni pipinya yang putih mulus. Bibirnya memar dan
mulutnya terasa sakit usai mengoral penis Pak Pramono. Tenggorokan
Dina juga terasa lecet karena dipaksa menelan kontol besar sampai ke
ujung. Dina menunggu sampai Pak Pramono menyuruhnya mengenakan
baju. Dia ingin segera pergi meninggalkan kamar ini. Pulang ke rumah,
mandi besar lalu tidur. Dina ingin segera meninggalkan semua mimpi
buruk ini.
Jari jemari Pak Pramono mengelus dagu sembari mengangkat wajah
Dina.
"Mbak Dina kok menangis? Tidak menyukai oral seks?"
"Tidak." Kata Dina pelan.
"Mbak Dina pintar sekali melakukan oral seks. Seharusnya bangga
bukannya malah menangis. Belum pernah aku orgasme secepat itu."
"Saya mohon Pak Pram, bolehkah saya pergi sekarang?"
"Pakai bajumu dulu."
Wajah pria itu berubah menjadi sopan. Dina segera berdiri dan
mengenakan pakaiannya.
"Pak Pram, celana dalam saya?" tanya Dina yang sudah bersiap
mengenakan rok.
"Itu milikku sekarang. Beli yang baru."
Dina tidak ingin berdebat dengannya. Setelah usai mengenakan
pakaian, Dina langsung bergegas berdiri dan mengambil tas serta
jaketnya di lemari. Dina sudah membuka pintu saat Pak Pramono
memanggilnya.
"Mbak Dina."
Dina terhenti di koridor. Dia hanya melirik sedikit ke belakang.
"Aku akan menghubungimu lagi."
Dina tidak mengatakan apa-apa dan melangkah pergi meninggalkan
Pak Pramono. Dia amat bersyukur Pak Pram tidak menidurinya hari ini.
###
Bagaimana nasib Dina, Alya dan Lidya selanjutnya?
BAGIAN DUA
TAMAT

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.