Kamis, 19 Maret 2015

Ranjang yang Ternoda 4

BAGIAN EMPAT
DALAM CENGKRAMAN PRIA TUA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Lidya menguap. Wanita cantik itu membolak-balik halaman tabloid
wanita yang sedang dipegangnya dengan bosan. Walaupun sudah
berusaha membaca dan konsentrasi, tapi susah sekali memahami apa
yang ditulis di tabloid itu karena dia tidak bisa fokus. Benaknya masih
dibebani perkosaan yang dilakukan Pak Hasan. Dia sangat trauma dan
ketakutan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa menceritakan
petaka yang menimpanya baik pada suaminya sendiri ataupun pada
pihak yang berwajib, dia takut kalau dia membeberkan semuanya,
situasinya akan lebih buruk lagi. Semalam suntuk Lidya berusaha tidur
tapi tak kunjung bisa memejamkan mata, dia takut sewaktu-waktu Pak
Hasan akan datang ke kamar dan menyetubuhinya lagi.
Selangkangannya masih terasa sakit setelah mendapatkan perlakuan
kasar kemarin.
Dasar panjang umur, pria tua busuk itu tiba-tiba saja muncul dan
berdiri di samping Lidya.
"Aku pengen jalan-jalan ke mall, Nduk."
Lidya meneguk ludah, dia diam saja dan pura-pura tidak mendengar.
Biasanya Pak Hasan akan pergi selama berjam-jam dan Lidya terbebas
darinya. Pria tua itu biasanya pergi begitu saja tanpa pamit, entah
kenapa hari ini dia pamit pada Lidya. Karena perasaannya masih kacau
balau, Lidya diam membisu.
Tidak mendapat tanggapan dari Lidya membuat marah Pak Hasan.
Dengan geram Pak Hasan mendekati menantunya yang sedang
membaca. Tabloid wanita yang sedang dipegang Lidya disambar Pak
Hasan dengan kasar sampai jatuh berserakan di lantai.
"Kamu dengar tidak? Aku mau mengajak kamu jalan-jalan ke mall!"
Ajakan Pak Hasan pada Lidya itu bagaikan petir yang menyambar di
siang bolong. Ke mall? Apa lagi yang diinginkan kali ini?
"Ke mall?" tanya Lidya sambil merapikan rambutnya yang jatuh ke
kening. "Ngapain kita jalan-jalan ke mall? Kebutuhan dapur dan yang
lain masih ada. Besok lusa Mas Andi juga sudah pulang... kita tidak
perlu..."
Wajah Pak Hasan memerah menandakan kemarahannya makin lama
makin memuncak.
Pak Hasan menarik tubuh Lidya dan memeluknya dengan kasar.
"Justru karena besok lusa Andi sudah pulang, aku mau menikmati
saat-saat terakhir bersamamu, Nduk! Aku tidak ingin menyakitimu lagi,
jadi sebaiknya kau turuti semua permintaanku tanpa mengeluh, atau
aku akan berubah pikiran! Hari ini kita mulai dengan jalan-jalan ke
mall karena aku pengen memamerkan menantuku yang cantik jelita
pada orang-orang sekota."
Pak Hasan mencium bibir Lidya dengan kasar bahkan menggigitnya
sampai menantunya itu kesakitan. Akhirnya setelah Lidya meronta-
ronta, Pak Hasan melepaskannya. "Aku juga tidak suka kamu bertanya
padaku dengan sinis! Lain kali pikir dulu sebelum mengajukan
pertanyaan!"
Lidya yang sudah lepas dari pelukan Pak Hasan meringkuk di sofa dan
menundukkan kepala, dia sangat ketakutan sampai-sampai tubuhnya
bergetar. "Aku minta ma-..."
"Maaf? Sudah seharusnya!" dengan sombong Pak Hasan memalingkan
muka dan duduk di sofa. "Ganti pakaianmu, dandan yang cantik! Aku
menunggu di sini, jangan lupa bawa uang yang banyak dan kartu
kredit. Siapa tahu aku ingin belanja-belanja."
Lidya melangkah lemas ke kamar atas, entah apa lagi maksud Pak
Hasan.
###
Paidi Sutrisno bukanlah orang yang beruntung. Di usianya yang sudah
mencapai angka 55, pria tua ini masih hidup berkekurangan. Masa
mudanya yang suram membuatnya sering keluar masuk penjara, dia
bahkan sangat terkenal sebagai preman pasar dengan sebutan Paidi
Tatto, tentunya karena tatto gambar wanita bugil yang menghias
sebagian besar punggungnya. Karena kehidupannya yang keras, Paidi
diceraikan oleh istrinya dan bekerja sebagai penjaga pintu sarang PSK.
Hanya sebentar bekerja di sana, Paidi terlibat perkelahian dengan
seorang pelanggan. Hal ini menyebabkan Paidi kembali masuk penjara.
Saat terakhir di penjara, Paidi berkenalan dengan seorang mantan
dosen yang berasal dari keluarga baik-baik dan dipenjara entah karena
masalah apa. Pria itu memberikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan
banyak hal pada Paidi. Berkat orang ini pulalah Paidi berani
menghapus semua tatto di tubuhnya walaupun akhirnya meninggalkan
bekas luka permanen di kulit punggungnya. Punggung Paidi yang
tadinya bergambar seorang wanita cantik berubah menjadi kulit carut
marut. Kemahiran Paidi berlipat ganda berkat pengetahuan yang
diberikan oleh pria itu.
Setelah keluar bui untuk yang terakhir kalinya di usia 45, Paidi
ternyata tak kunjung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Entah
karena sejarahnya yang buruk atau karena pengaruh krisis ekonomi. Di
jaman seperti sekarang ini, sangat susah mencari pekerjaan yang halal
dengan mudah. Apalagi Paidi tidak memiliki modal besar dan wajahpun
tidak menunjang, codet besar bekas luka menghias wajahnya sehingga
banyak perusahaan menolak memperkerjakannya.
Akhirnya, Paidi mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Paidi
memperoleh modal kecil dari temannya dan berjualan bakso keliling.
Paidi Tatto kini berubah menjadi Paidi tukang bakso.
Tubuh Paidi yang dulu gagah dan tegap kini kurus kering dan hitam
legam terbakar matahari. Wajahnya yang dulu bersih kini menjadi kurus
dan kasar, kulitnya tipis dan tulangnya terlihat menonjol di seluruh
badan. Paidi sadar masa-masa keemasannya sebagai preman sudah
sirna dan kini dia berniat melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk
membalas kebaikan sahabat yang telah memberinya pengetahuan dan
modal berjualan bakso. Demi mencari nasi untuk sekedar mengisi
perut, Paidi menjalankan pekerjaannya tanpa mengeluh. Tapi,
sesungguhnya tidak semudah itu Paidi berubah menjadi orang baik,
dia masih seorang pria oportunis yang menghalalkan segala cara,
dalam hatinya dia masih seorang penjahat.
Hidup Paidi akan segera berubah.
Beberapa malam yang lalu, Paidi baru saja pulang dari nongkrong di
warung kopi yang buka sampai jam dua pagi. Paidi sengaja lewat jalan
komplek yang sepi karena ada jalan tikus yang bisa lebih cepat sampai
ke pasar di seberang komplek. Paidi memang biasa begadang, jam dua
minum kopi, lalu pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk
bakso, dan paginya keliling lagi. Pasar di seberang komplek memang
sudah buka sejak jam empat pagi dan biasanya pembeli yang datang
jam segitu akan mendapatkan potongan harga yang lumayan langsung
dari distributor, apalagi barangnya masih segar dan fresh.
Malam itu, entah kenapa Paidi memilih untuk beristirahat sebentar di
pojok pengkolan jalan di dekat pos kamling. Kebetulan tempat Paidi
beristirahat agak pojok dan terlindung oleh bayangan. Jadi siapapun
yang melintas jalan akan terlihat oleh Paidi, namun sebaliknya, orang
itu tidak akan melihat si tukang bakso.
Paidi tidak akan pernah melupakan pemandangan indah yang lewat di
depannya.
Malam itu, Paidi melihat seorang bidadari berjalan terburu-buru
menuju ke pos kamling. Bidadari dalam balutan daster tembus
pandang. Rambutnya sebahu, kulitnya putih mulus, hidungnya
mancung, dadanya membusung dan pantatnya bulat menggemaskan.
Entah kenapa bidadari itu seperti ketakutan dan kebingungan.
Malam itu, Paidi memergoki Alya sedang menemui Pak Bejo.
###
Mall yang dituju taksi yang ditumpangi oleh Lidya dan Pak Hasan
berada di tengah kota. Sejak berangkat dari rumah sampai ke lokasi,
Pak Hasan lebih banyak diam. Untunglah Pak Hasan tidak turut campur
mendikte pakaian yang akan dipakai Lidya sehingga dia bisa pergi
menggunakan baju yang lumayan sopan. Lidya mengenakan rok mini
selutut dan baju yang tidak terlalu ketat. Walaupun berpenampilan
seadanya, Lidya masih tetap terlihat cantik mempesona.
Walaupun mulutnya terdiam, tapi tangan Pak Hasan masih tetap
beraksi. Duduk berdampingan dengan Lidya di kursi belakang, Pak
Hasan dengan nakal mengelus-elus kaki menantunya itu dengan
santai. Berulang kali Lidya merasa tidak enak karena melihat mata sang
sopir melirik ke belakang menggunakan kaca.
Bahkan Pak Hasan kadang nekat membelai paha Lidya yang mulus
atau sesekali meremas payudaranya. Wanita cantik itu sudah
memperingatkan mertuanya agar tidak nekat karena sang sopir bisa
melihat mereka. Tapi Pak Hasan hanya tersenyum. Beberapa kali suara
sang sopir meneguk ludah bisa terdengar dari belakang.
Akhirnya setelah menempuh jarak cukup jauh, Pak Hasan dan Lidya
sampai di pusat pertokoan yang dituju. Ketika Lidya hendak membuka
dompet untuk membayar taksi, Pak Hasan menggeleng. Dia melirik ke
arah argo dan memberikan uang dari kantong celananya.
Sang sopir melongo melihat uang pemberian Pak Hasan. "Wah, gak
salah nih, Pak? Duitnya kurang dong! Argonya aja segitu, masa
bayarnya cuma segini? Yang bener aja!" Wajah sang sopir memerah
karena merasa dipermainkan.
"Ini, ada kok..." Lidya kembali hendak membuka dompet. Tapi
tangannya diremas Pak Hasan yang langsung menggeleng dan melotot
galak, Lidyapun mengurungkan niatnya. Kenapa lagi Pak Hasan ini?
Mau cari perkara dengan sopir taksi? Keringat mulai menetes di dahi
istri Andi itu.
"Menurut mas sopir, menantu saya ini cantik tidak?" tanya Pak Hasan
tiba-tiba. Lidya langsung mengernyitkan dahi, perasaannya tidak enak.
Sang sopir meneguk ludah. Pandangannya beralih ke arah Lidya.
Bagaikan seekor macan yang siap menerkam mangsa, dia
memperhatikan Lidya dari atas ke bawah. "Gila, kirain tadi ini istrinya,
soalnya mesra banget, ternyata menantunya ya?"
"Menantu saya ini orangnya sangat pengertian dan baik. Dia senang
kalau bisa menghibur orang lain yang kesusahan, contohnya saya ini,
saya sudah lama jadi duda. Jadi bagaimana menurut mas, menantu
saya cantik tidak?" Pak Hasan mengulang pertanyaannya.
Lidya merasa jengah mendengar percakapan dua orang ini, apalagi
sang sopir kemudian memandang ke arahnya dengan remeh dan
tersenyum menjijikkan.
"Wah, Pak! Bukan cantik lagi namanya kalau yang seperti ini!" jawab
sang sopir taksi, "Cuantikkk!! Kayak bintang sinetron!"
"Bagaimana pendapat mas tentang tubuhnya, bagus tidak?" tanya Pak
Hasan lagi. Lidya sudah bersiap keluar dari taksi tapi ditahan oleh Pak
Hasan.
"Seksi, Pak!"
"Baiklah, bagaimana kalau untuk membayar kekurangan saya tadi, saya
tawarkan bibir menantu saya ini? Masnya boleh mencium dia selama
satu menit plus meremas susunya selama itu pula. Bagaimana?" tanya
Pak Hasan.
Sopir itu melongo.
Tubuh Lidya langsung lemas. Dia tidak menyangka Pak Hasan akan
menggunakan dirinya sebagai alat pembayaran. Geram sekali rasanya
Lidya karena diperlakukan seperti pelacur hina oleh mertuanya sendiri.
Tapi cengkraman tangan Pak Hasan yang tidak bisa dilepaskannya
menyadarkannya akan satu hal, dia harus melakukan apapun perintah
sang mertua, separah apapun perintahnya itu.
Sang sopir taksi yang bertubuh kurus dan berkulit gelap terbakar
matahari kembali meneguk ludah. Gila, kalau begini caranya orang ini
membayar, bisa kurang nanti duit setoran ke bos, tapi kapan lagi dia
bisa mencium orang secantik bidadari? Walaupun cuma semenit, tapi
bibir Lidya yang ranum itu membuatnya sangat nafsu, belum dekat
dengannya saja si otong yang di bawah sudah ngaceng, apalagi kalau
boleh mencium, wah, asoy sekali. Bininya di rumah jelas kalah jauh.
Hatinya bimbang, tapi nafsu akhirnya mengalahkan akal sehat sang
sopir.
Lidya makin merasa tertampar saat melihat sopir berwajah ketus itu
mengangguk sambil cengengesan. "Bolehlah, Pak. Sekali ini saja.
Kapan lagi saya bisa ngerasain yang begini?"
Pak Hasan tersenyum. "Silahkan mas sopir pindah ke kursi belakang,
saya yang akan menghitung waktunya."
Buru-buru sopir itu pindah ke belakang dan duduk di samping Lidya.
"Pak, aku..." Lidya mencoba memprotes.
Pak Hasan kembali mencengkeram lengan Lidya. Tidak ada gunanya
melawan pria tua yang busuk ini, Lidyapun menunduk pasrah.
Sang sopir tidak membuang waktu, begitu Pak Hasan mengangguk
memberi ijin sambil memegang erat tubuh Lidya yang sudah siap
meronta, dia langsung mencium bibir Lidya. Lidya memejamkan mata
karena tidak tahan melihat wajah sopir taksi yang sudah mupeng abis,
mulutnya yang terkatup perlahan-lahan dibuka karena ia takut Pak
Hasan akan menyakitinya seandainya ia menolak membalas ciuman
sang sopir.
Awalnya mereka berciuman dengan lembut, bibir sang sopir yang
sudah basah dan bau rokok membelai bibir Lidya yang ranum dan
membasahinya pelan-pelan. Lalu pria itu menghisap lembut bibir
bawah Lidya sebelum akhirnya benar-benar menangkupkan seluruh
bibirnya ke bibir Lidya. Menantu Pak Hasan itu melenguh kesakitan
saat kemudian sang sopir meremas buah dadanya dengan kasar dan
penuh nafsu. Karena ukuran buah dada Lidya lebih besar dari milik
istrinya, sang sopir makin bernafsu, remasan tangan sang sopir makin
lama makin cepat.
Lenguhan Lidya membuat mulutnya terbuka, sang sopir menyorongkan
lidahnya masuk ke mulut menantu Pak Hasan yang cantik itu. Lidah
sang sopir bertemu dengan lidah Lidya dan keduanya bertautan.
Perasaan takut mengkhianati suami dan rasa bersalah yang menebal
malah membuat Lidya makin pasrah. Dia sudah tidak tahu lagi mana
yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak. Bibirnya selalu
menjadi milik Andi sang suami, tapi kini, mertuanya dan bahkan
seorang sopir taksi tak dikenal telah mencicipi keranuman bibir Lidya.
Pak Hasan tersenyum kegirangan melihat menantunya kembali
melenguh, jelas sekali kalau Lidya lama kelamaan terangsang juga
walaupun pada awalnya menolak mati-matian. Dengan sengaja Pak
Hasan memberikan kesempatan pada sang sopir untuk menikmati bibir
Lidya lebih dari satu menit yang dijanjikan. Dari tonjolan besar di
selangkangan, terlihat jelas sopir itu pasti sudah ngaceng sedari tadi,
Pak Hasan terkekeh melihatnya.
Ciuman Lidya dan sang sopir taksi berakhir saat Pak Hasan menepuk
pundak sang sopir. "Oke, mas. Sudah satu menit lebih dua puluh
detik". Kata Pak Hasan sambil menunjuk jam digital di dashboard taksi.
"Yang dua puluh detik aku hitung bonus."
Sopir taksi itu mengangguk puas. "Wah, bapak beruntung sekali punya
menantu seperti ini, dicium semenit aja udah bikin blingsatan! Apalagi
kalau dipake!"
Sambil mengucapkan terima kasih, Pak Hasan dan Lidya keluar dari
taksi dan masuk ke dalam mall. Sopir taksi itu tidak bisa melepaskan
pandangan dari Lidya, sayangnya, beberapa saat kemudian ada
seorang penumpang masuk sehingga dia harus segera pergi Entah
kapan lagi dia bisa berjumpa dengan si cantik itu, mungkin inilah yang
dinamakan pengalaman sekali seumur hidup. Sopir itu menggelengkan
kepala mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi dan membawa
penumpangnya meninggalkan mall.
###
Anissa Wibisono merasakan kegembiraan yang meluap-luap seakan
meledak di dalam dadanya. Tunangannya, Dodit Darmawan masih
berada di belakang setir mobil saat Toyota Avanza hitam yang mereka
naiki mulai memasuki jalan menuju komplek perumahan yang cukup
terkenal di daerah pinggiran kota. Pepohonan yang rindang dan sejuk
menyambut mobil yang menggelinding dengan lembut di jalan yang
sepi. Anissa melirik ke arah Dodit dan mencubit paha tunangannya
dengan genit. Dodit melirik ke arah Anissa dan tersenyum penuh rasa
sayang.
Dodit sebenarnya agak ragu berkunjung ke rumah kakak Anissa,
mereka belum terlalu akrab sehingga dia khawatir kunjungannya akan
mengganggu kegiatan keluarga Mas Hendra. Tapi karena Mas Hendra
ditunjuk sebagai calon wali dari Anissa kelak di pernikahan mereka,
Dodit mau tidak mau harus mengakrabkan diri dengan Mas Hendra dan
Mbak Alya, dalam hatinya yang paling dalam Dodit berpikir mungkin
akan jauh lebih mudah mendekati putri kecil mereka, Opi.
Baru beberapa bulan bertunangan setelah hampir dua tahun pacaran
membuat pasangan Anissa dan Dodit kembali hot. Dodit yang juga
senior Anissa di kampus sudah lulus tahun lalu dan sekarang magang
di sebuah perusahaan swasta. Tahun ini Anissa juga dipastikan akan
lulus dan pernikahan yang sudah mereka nanti-nantikan akan segera
menjadi kenyataan.
Anissa sangat mengagumi Dodit dan bisa berkunjung ke rumah Mas
Hendra dan Mbak Alya bersama tunangannya tercinta sudah menjadi
keinginannya sejak lama. Karena kesibukannya, Mas Hendra sempat
menengok rumah lama. Atas perintah ibunya, Anissa dan Dodit diminta
berkunjung dan menginap selama akhir pekan di rumah Hendra agar
mereka bisa lebih akrab.
Dodit sedikit grogi, walaupun sudah bertunangan dengan Anissa, dia
masih grogi kalau disuruh bertemu dengan keluarganya, apalagi
weekend ini mereka berdua diminta menginap di rumah Mas Hendra.
Berulang kali Dodit melirik ke arah spion untuk memperhatikan
penampilannya.
"Kamu ganteng kok, sayang." Kata Anissa sambil membenahi make-
upnya sendiri. "Tampan, seperti biasa."
Wajah Dodit memang cukup lumayan, dia pantas bersanding dengan
Anissa yang cantik dan menggairahkan. Walaupun masih muda dan
tidak memiliki perawatan khusus, tapi tubuh Anissa benar-benar indah
dan menggiurkan. Didukung wajah cantik melankolis, kulit putih
mulus, buah dada menggunung dan rambut panjang sepunggung,
penampilan gadis ini sangat sempurna.
Dodit tertawa mendengar sindiran Anissa. "Ah, kamu ini. Aku kan
grogi, say. Ini pertama kali aku menginap di tempat Mas Hendra. Aku
harus tampil serapi mungkin. Takut tidak direstui nantinya..."
Anissa tersenyum manis dan dengan rasa sayang membelai rambut
Dodit. "Jangan khawatir, sayang. Mas Hendra dan Mbak Alya pasti
akan menyukaimu. Mudah-mudahan kamu juga bisa menyukai
mereka."
"Ah, sudah jelas aku menyukai mereka. Kakakmu orangnya baik hati
walaupun sedikit pendiam. Mbak Alya apalagi, sangat ramah dan baik
hati, cantik pula," Dodit merapikan kemejanya yang berkerut, "tapi
menurutku yang paling enak diajak ngobrol sebenarnya si Opi. Aku
sudah kangen ingin menemuinya."
Anissa tertawa. "Opi memang lucu, menggemaskan sekali. Aku juga
sudah kangen."
Mobil mereka melaju melewati sebuah komplek pemakaman.
"Tapi dengar-dengar, lokasi komplek perumahan ini cukup seram lho.
Aku dengar dari beberapa orang teman, katanya di tempat ini banyak
setannya." Kata Dodit dengan sengaja menakut-nakuti tunangannya
yang jelita, tentunya dia hanya bohong belaka. "Kalau tidak tahan,
boleh tidur seranjang denganku nanti malam."
"Ha ha! Dasar otak mesum! Aku tidak mudah kau takut-takuti seperti
itu!" Anissa tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Dodit, dengan
manja gadis itu menggelayut di samping Dodit. "Biarpun ada suster
ngesot dan hantu jeruk purut, aku punya pahlawan perkasa di
sampingku!"
Dodit tersenyum sipu, wajahnya memerah tapi dia meneruskan
godaannya, "Kalau tidak salah dengar pula, informasi ini berasal dari
sumber yang bisa dipercaya lho, kabarnya ada hantu cabul yang hobi
memangsa anak perawan orang!"
Dengan manja Anissa memukuli pundak tunangannya. "Udah ah!
Bercandanya nggak asyik! Mas Dodit jahat! Aku nanti nggak bisa
tidur!"
"Kamu kan masih perawan, say. Kalau aku jadi kamu... hmmm..." Dodit
tersenyum sok ngeri. "aku akan lebih berhati-hati nanti malam... lebih
baik aku tidur minta ditemani Mbak Alya atau... atau minta ditemani
sama Mas Dodit tersayang! Ha ha ha!"
Anissa mencibir dan menjulurkan lidah, wajahnya yang malu memerah,
makin manis saja gadis ini. "Huh, itu kan maunya Mas Dodit! Dasar
otak mesum!"
Entah kenapa, ada angin dingin yang bersemilir di udara dan
menghembuskan udara dingin di tengkuk Anissa dan Dodit. Perasaan
mereka menjadi tidak enak, seakan suatu hal yang buruk akan segera
terjadi.
Tiba-tiba saja Dodit menghentikan mobilnya. Dia mengedip ke arah
Anissa. "Kau tahu tidak, say. Kau terlihat sangat mempesona."
###
Lokasi pusat pertokoan yang didatangi oleh Pak Hasan dan Lidya
berada di tengah kota dan sangat ramai pengunjung. Hilir mudik orang
berjalan keluar masuk toko. Pandangan Lidya masih kabur, entah
karena pusing melihat banyaknya pengunjung mall atau perasaan
jengahnya yang tidak juga mau hilang setelah mencium seorang sopir
taksi yang tak dikenal. Dia merasa seperti seorang pelacur hina dan ini
semua karena ulah ayah mertuanya yang bejat.
Pak Hasan menarik tangan Lidya dengan kasar memasuki sebuah toko
baju yang cukup terkenal. Pria tua itu berkata, "Ayo, nduk. Kita cari
baju yang lebih cocok untuk pelacur seperti kamu."
Lidya menggeram kesal tapi tak bisa berbuat banyak, mertuanya
memang benar-benar tidak tahu malu, berani-beraninya dia
mengatainya pelacur, padahal ini semua ulahnya. Lidya hanya diam
saja di pojok saat Pak Hasan berkeliling dan menarik beberapa lembar
baju wanita, dia bahkan tidak malu saat mengambil beberapa helai
pakaian dalam untuk Lidya. Beberapa orang SPG menatap heran pada
pasangan aneh ini.
Akhirnya, Pak Hasan menarik lengan Lidya untuk ikut berkeliling
bersamanya. "Aku akan memilihkan baju yang terbaik dan bisa
membuatmu tampil seksi, nduk. Jangan khawatir, kau pasti akan
terlihat sangat mempesona. Baju yang sekarang kamu pakai itu
kesannya kuno, aku carikan yang baru." Kata Pak Hasan.
Lidya melotot galak dan disambut cengiran cabul sang mertua. Setelah
mengikuti Pak Hasan berkeliling dan mengambil beberapa baju,
akhirnya Lidya digiring ke kamar ganti. Sekilas lihat Lidya langsung
tahu jenis baju yang dipilih Pak Hasan, baju-baju yang hanya pantas
dikenakan seorang pelacur. Bahkan menurut Lidya, pelacur yang paling
menjijikkan sekalipun hanya berani mengenakan pakaian seperti itu
saat sedang 'menawarkan dagangannya', sementara Lidya akan
mengenakannya di dalam mall yang ramai pengunjung.
Lidya dan Pak Hasan masuk ke kamar ganti bersamaan. Lidya melirik
ke arah Pak Hasan, dia berbalik ke arah mertuanya dan memandangnya
heran, dalam hati Lidya bertanya-tanya kapan mertuanya itu akan
keluar dari kamar ganti. Pak Hasan menggelengkan kepala. "Aku tetap
di sini. Aku sudah pernah lihat kamu telanjang, apa salahnya
melihatmu berganti pakaian? Tidak perlu pura-pura sok suci. Ayo
cepat ganti!"
Dengan perlahan Lidya melucuti pakaiannya, walaupun air matanya
sudah di ujung pelupuk karena merasakan pahitnya nasib yang ia
alami, tapi wanita cantik itu berusaha menahan diri agar tidak
menangis. Dia tidak mau Pak Hasan lebih marah lagi. Satu persatu
pakaian yang dikenakan dilepasnya, sampai kemudian Lidya hanya
mengenakan BH dan celana dalam.
"Kamu memang benar-benar seksi, nduk. Bapak bangga punya
menantu seperti kamu." Celoteh Pak Hasan. "Dilihat saja enak apalagi
kalau ditiduri. Lezat sekali."
Pak Hasan menatap tubuh Lidya untuk beberapa saat. Saat
menantunya itu hendak mengambil pakaian, Pak Hasan menggeleng
dan melarang. Pria tua itu mengambil sesuatu dari dalam tumpukan
baju dan memberikannya pada Lidya, rupanya sebuah celana dalam
yang sangat mungil, g-string.
Lidya menatap tak percaya celana dalam yang diberikan Pak Hasan
padanya. Dia juga terheran akan dua hal. Satu adalah bagaimana
mertuanya itu bisa tahu ukuran celana dalamnya dan yang kedua
adalah ukuran celana g-string yang sekarang berada di tangannya.
Bagaimana mungkin barang sekecil dan semungil itu bisa dipakai?
Terlalu kecil untuk bisa menyembunyikan apa-apa. Celana itu bagaikan
tali kecil yang hanya melingkar di selangkangannya.
"Cepat dipakai." Desis Pak Hasan galak. Dia mencubit pantat Lidya
sampai memerah. Lidya meringis kesakitan dan mengangguk.
Dengan malas Lidya melepaskan celana dalam krem yang dipakainya
dan menggantinya dengan g-string. Ternyata celana kecil itu pas
sekali, bisa dirasakannya temali celana g-string itu menggaris bibir
kemaluannya. Hanya dengan mengenakan celana ini saja sudah bisa
membuat Lidya sangat terangsang. Wajah Lidya memerah karena malu
saat melihat Pak Hasan tersenyum cabul menatapnya di cermin.
"Masih ada yang kurang..." Pak Hasan memperhatikan tubuh
menantunya yang hanya mengenakan BH dan celana dalam. "Lepaskan
BHmu," perintahnya kemudian, "dadamu itu bagus, nduk. Dada seperti
itu seharusnya dibanggakan dan dipamerkan, bukannya malah
disembunyikan di balik BH yang sesak."
Belum sempat Lidya memprotes, Pak Hasan sudah melangkah ke
belakang Lidya, pria tua itu dengan cekatan membuka kait di bagian
belakang BH. Wajah Lidya memerah ketika BHnya jatuh ke lantai ruang
ganti. Tanpa perlindungan BH, payudara Lidya yang ranum
bergelantungan dengan erotis di dada wanita cantik itu.
Pak Hasan meraih ke tumpukan baju yang dibawanya dan mengambil
sebuah rok mini berwarna hitam, dia memberikannya pada Lidya untuk
segera dipakai. Lidyapun segera mengenakannya. Rok yang diberikan
Pak Hasan itu adalah rok mini yang paling pendek yang pernah dipakai
Lidya sepanjang hidupnya. Rok itu sama sekali tidak cocok dikenakan
seorang wanita dengan kaki jenjang seperti Lidya, karena jika dia
membungkuk sedikit saja maka orang-orang di belakangnya akan bisa
mengintip isi roknya dengan jelas dan gratis padahal dia hanya
mengenakan g-string tipis. Sementara bagian atas rok yang rendah
akan membuat orang lain bisa menikmati bagian atas celana dalam
yang dipakai Lidya dan celah pantatnya yang menggaris. Dia tidak
akan bisa berdiri dengan nyaman.
Lidya mendesah. Dia hanya bisa pasrah, dalam situasi normal, dia
hanya mau mengenakan pakaian seksi seperti ini di hadapan suaminya
seorang. Tapi saat ini Lidya tidak sedang berada dalam situasi yang
normal. Mertuanya yang bejat membuatnya tak bisa berbuat apa-apa
kecuali menurut padanya.
Lidya menarik baju dari tumpukan pakaian pilihan Pak Hasan. Sebuah
kemeja berwarna putih yang tipis. Tubuh Lidya bergetar ketakutan
melihat pakaian yang dipilih Pak Hasan itu. Jika dia tidak
diperbolehkan mengenakan BH, maka buah dadanya yang kencang dan
besar akan terbentuk jelas di kemeja, bagian lehernya juga rendah
sehingga akan mempertontonkan belahan dada Lidya, belum lagi
puting susunya pasti akan menjulang maju ke depan. Kemeja itu
membuat kemontokan dada Lidya bisa dinikmati oleh banyak orang.
Dia akan semakin terlihat seperti seorang pelacur murahan. Dengan
panik Lidya memilih baju lain dari tumpukan pakaian, ternyata semua
sejenis, malah beberapa pakaian ada yang lebih parah lagi.
"Aku tidak bisa mengenakan baju ini." Protes Lidya dengan keringat
mengalir deras di dahinya. "Tidak mungkin aku bisa mengenakan
pakaian seperti ini di luar sana. Pak, kumohon... kasihani aku... tolong,
Pak! Carikan baju yang lebih pantas! Aku ini masih menantumu, Pak!
Kumohon..."
"Itu baju bagus, nduk. Kenapa tidak mau? Kamu akan terlihat sangat
mempesona." Jawab Pak Hasan sambil menggeleng kepala menolak
protes Lidya. "Kamu harus memakainya. Kalau tidak mau, aku akan
membiarkanmu keliling mall tanpa menggunakan celana dalam. Pilih
mana?"
Lidya tidak percaya ini semua terjadi, ini sudah keterlaluan! Mertuanya
benar-benar sudah kehilangan akal sehat! Tidak saja dia sudah
memperkosa Lidya, memukulinya, menggunakan bibir dan dadanya
untuk membayar taksi, masih ditambah sekarang hendak
mempermalukannya di depan orang banyak! Emosi wanita cantik itu
memuncak dan wajahnya memerah, dia marah pada diri sendiri karena
lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak sanggup menjalani ini
semua. Bagaimana nanti seandainya ada orang yang dia kenal
melihatnya berjalan-jalan dengan pakaian seperti ini? Atau bagaimana
nanti seandainya Mbak Dina atau Mbak Alya melihatnya? Atau... atau...
"Aku tidak bisa melakukannya..." Lidya berbisik lirih.
Sayang Pak Hasan tak bergeming dan menatapnya galak. Tangannya
mencengkeram lengan Lidya hingga terasa sakit sampai ke tulang.
Tubuh Lidya bergetar ketakutan. Tidak mungkin ayah mertuanya itu
begitu tega, tapi Pak Hasan tidak main-main. Istri Andi itu akhirnya
pasrah dan hanya bisa menganggukkan kepala pertanda setuju. Ia
mencoba mengenakan pakaian yang dipilih oleh sang ayah mertua.
Dalam sekejap, pakaian Lidya sudah berganti. Pak Hasan memasukkan
pakaian yang tadinya dikenakan oleh Lidya ke dalam tas plastik. Saat
sudah menggunakan pakaian ala pelacur ini, barulah Lidya sadar
susahnya berjalan tanpa mempertontonkan bagian tubuhnya yang
mulus. Dia harus berhati-hati agar tidak mengangkat kaki terlalu tinggi
atau membungkuk terlalu dalam karena bagian pantatnya yang hanya
mengenakan celana dalam g-string akan terlihat jelas oleh orang di
belakangnya.
Kemeja yang dikenakan Lidya juga lebih mengerikan, kemeja itu
seharusnya dikenakan dengan kamisol melihat bagian lehernya yang
rendah, tapi Pak Hasan tidak mengijinkan Lidya mengenakannya,
seakan-akan belum parah, Pak Hasan juga membuka kancing teratas
kemeja Lidya sehingga belahan dadanya makin terlihat jelas, sangat
menggoda birahi laki-laki yang menatap. Buah dadanya yang montok
dan kencang menyeruak ke depan sementara pentilnya makin lama
makin menegang karena ac mall yang dingin. Tiap kali berjalan, Lidya
khawatir payudaranya suatu saat akan terpantul dan mental keluar
tepat di depan pengunjung mall. Jelas hal itu tidak diinginkan olehnya.
Akhirnya, setelah Pak Hasan puas, mereka berdua pergi membayar ke
kasir. Entah sial bagi Lidya entah kebetulan, seorang pemuda
tanggung sedang bertugas di meja kasir, kemana para pegawai wanita
yang biasa berjaga di kasir? Pak Hasan dan Lidya berdiri di depan
pemuda itu.
"Saya beli baju yang sudah saya pakai ini..." desah Lidya lirih. "Juga
celana dalam yang saya pakai sekarang..."
Saat melihat ke arah Lidya, rahang si pemuda seakan mau copot. Gila,
wanita cantik ini berani sekali berpenampilan seksi! Si otong di
selangkangan pemuda penjaga mesin kasir langsung ngaceng melihat
penampilan Lidya. Dengan hati-hati pemuda itu melepaskan tag harga
dan penjepit anti-maling dari baju dan rok yang dikenakan Lidya, dia
melakukannya sambil hati-hati sekali karena takut dianggap tidak
sopan, wangi tubuh Lidya membuatnya terbang ke awang-awang.
Untung saja Pak Hasan sudah melepaskan tag harga dari celana dalam
yang dikenakan Lidya sehingga dia tidak perlu mempertontonkannya
pada sang pemuda yang masih terlihat sangat lugu ini.
Beberapa orang customer laki-laki yang kebetulan menemani
pasangan mereka belanja juga tidak bisa melepaskan pandangan dari
Lidya sambil meneteskan air liur. Penampilan seksi Lidya benar-benar
membuat mereka nafsu. Lidya merasa malu dan memperhatikan pentil
susunya sendiri perlahan mengeras dan menyodok kemeja yang
dikenakannya. Dengan buru-buru Lidya mengeluarkan dompet dan
mengambil kartu kredit.
Pemuda yang menjadi kasir menggesek kartu kredit Lidya dengan
tangan gemetar. Beberapa kali dia salah memencet tombol karena
terganggu oleh pemandangan indah di hadapannya. Penisnya juga
makin ngaceng dan menghunjuk ke luar, pemuda itu dengan malu
mengempit otongnya sendiri. Keadaan ini makin membuat Lidya
khawatir, sayangnya makin khawatir wanita cantik ini, makin besar
puting payudaranya mengembang.
Pemuda kasir itu memberikan kesempatan bagi Lidya untuk
menandatangani berkas yang keluar dari mesin kartu kredit. Saat tanda
tangan, Lidya terpaksa membungkuk karena posisi kasir yang pendek.
Saat itulah satu buah dada Lidya tiba-tiba saja melompat keluar dari
dalam kemejanya.
"Ya Tuhan!!" desah si pemuda yang langsung terperanjat.
Dengan cekatan Lidya merapikan kemejanya dan memasukkan buah
dadanya kembali ke dalam sebelum ada orang yang melihat. Walaupun
hanya beberapa detik saja, tapi pemuda kasir itu jelas sangat
beruntung. Wajah Lidya memerah karenanya dan secepat mungkin
meninggalkan meja kasir setelah urusan pembayaran usai. Pak Hasan
terkekeh bahagia saat mereka akhirnya sampai di luar toko.
"Kamu lihat tidak tadi wajah bocah itu?" Pak Hasan tertawa cekakakan
sambil menggandeng Lidya yang pucat pasi menuju tempat lain.
Seandainya mungkin, Lidya ingin pingsan saat ini juga.
Berjalan-jalan di sebuah mall besar yang ramai oleh pengunjung
dengan mengenakan busana minim jelas bukan ide yang baik menurut
Lidya. Berkali-kali wanita muda yang cantik itu membenahi rok dan
baju yang dikenakannya agar tidak terlalu mencolok. Tapi seperti
apapun usaha Lidya untuk membenahi, kemolekannya mengundang
birahi. Kepalanya terus menunduk karena Lidya tidak mau dikenali oleh
teman atau siapapun yang kebetulan berjumpa dengannya. Seandainya
tidak kenalpun, Lidya tetap merasa malu dengan penampilannya yang
seronok. Entah mana yang lebih parah, berjalan di tengah mall dengan
pakaian seperti pelacur atau sekalian saja telanjang. Yang jelas saat
ini Lidya merasa dirinya sangat telanjang.
Seorang satpam garuk-garuk kepala karena indahnya pemandangan
yang disajikan oleh Lidya. Walaupun sudah sering melihat seorang
wanita cantik berpakaian seksi, baru kali inilah satpam itu melihat
cewek yang sepertinya perempuan baik-baik mengenakan baju super
minim. Kalau saja RUU Anti Pornografi & Pornoaksi disahkan, Lidya
pasti akan langsung ditangkap polisi.
"Pak, sudah saja ya, Pak. Kita pulang saja." Wajah Lidya memelas
memohon ampun pada ayah mertuanya. Wanita cantik itu terus
meratap manja. "Aku malu sekali. Kita pulang saja."
Pak Hasan menggelengkan kepala sambil tersenyum sadis. "Baru
masuk kok sudah mau pulang?"
"Aku malu sekali..."
"Sini, mendekat kesini, nduk!"
Satu-satunya cara bagi Lidya untuk menutupi kejengahan dan rasa
malunya yang membuncah adalah dengan merapatkan tubuhnya
dengan sang ayah mertua. Pak Hasan tertawa saat sang menantu yang
seksi itu mendempel erat. Pak Hasan merangkul pundak Lidya
sehingga mereka berdua nampak seperti sepasang kekasih. Beberapa
orang yang berpapasan atau nongkrong di pinggir koridor menatap
heran ke arah sepasang manusia ini. Bagaimana mungkin bidadari
secantik dan seseksi Lidya mau bergaul dengan pria gemuk buruk rupa
seperti Pak Hasan?
Saat mereka berjalan berdua, Pak Hasan memperhatikan banyak laki-
laki tua muda yang sedang berjalan-jalan melirik penuh minat ke arah
Lidya. Buah dadanya yang terpantul naik turun bisa dilihat dengan
jelas, sementara kaki Lidya yang jenjang terlihat seksi dan sangat
mulus dengan rok super mini yang dikenakannya. Beberapa orang
meneteskan air liur melihat kemolekan menantu Pak Hasan itu. Makin
bangga mertua bejat itu pada menantunya.
###
Dodit menghentikan mobil tidak begitu jauh dari gerbang utama
komplek perumahan kakak kandung Anissa. Tunangannya yang lugu
itu terheran-heran.
"Lho? Kok berhenti, Mas? Apa ada yang salah?" tanya Anissa.
Dodit tersenyum. "Tidak ada yang salah. Kamu manis sekali, say.
Manis dan seksi."
Dodit menggeser posisinya duduk agar bisa sedikit mendekati Anissa.
Gadis itu langsung bisa melihat perubahan ukuran gundukan di
selangkangan Dodit. Tangan Dodit membawa jari-jemari Anissa ke arah
gundukan itu. Sembari dibimbing oleh Dodit, tangan Anissa mengelus
kemaluan tunangannya yang makin lama makin membesar di balik
celana. Tangan Dodit sendiri tidak diam begitu saja. Dia mengelus
seluruh tubuh Anissa dari atas sampai ke bawah.
Dengan berani Dodit menciumi wajah dan leher sang kekasih.
"Mas Dodit! Jangan Mas! Apa yang Mas lakukan?" tanya Anissa sambil
merem melek, walaupun sepertinya menolak, tapi gadis cantik itu
cukup menikmati serangan tangan dan banjir ciuman dari Dodit.
Dengan penuh semangat Dodit meremas-remas buah dada Anissa yang
montok dan menggemaskan. Anissa berusaha mendorong Dodit
menjauh tapi tunangannya itu jelas lebih kuat.
Anissa melenguh keenakan saat Dodit mengecup dan melesakkan
tangannya ke balik baju yang dikenakan Anissa. Tangan Dodit kian
merajalela di balik baju yang dikenakan gadis cantik itu. Dengan nekat
tanpa takut ketahuan orang yang kebetulan lewat, Dodit menyelipkan
tangan ke balik BH Anissa yang masih dikenakannya dan memainkan
pentilnya dengan memilin dan meremas gumpalan dagingnya yang
indah. Berulang kali Anissa melenguh.
Baju Anissa terbuka dan BHnya terangkat naik. Dodit makin leluasa
menikmati bagian dada dari Anissa yang memang besar dan indah itu.
Makin lama makin tidak kuatlah Dodit menahan gejolak nafsu
birahinya, dia menggumuli Anissa dan mencoba melepaskan kancing
celana jeans tunangannya. "A-aku ingin bercinta denganmu, say..."
bisik Dodit lirih di telinga Anissa. Laki-laki muda yang sudah horny itu
memeluk tubuh indah Anissa dan mengulum bibirnya dengan nafsu,
kedua tangannya bergerak bebas meremas-remas gundukan indah
buah dada Anissa.
Anissa menggelengkan kepala, walaupun merasa panas dan siap
bercinta, tapi Anissa tidak mau menyerah pada nafsu birahinya.
Dengan sedikit memaksa, Anissa mendorong Dodit menjauh. "Jangan,
Mas. Aku mohon... sudah cukup, jangan melakukan sesuatu yang akan
kita sesali nantinya... aku tidak bisa... aku mohon, kalau Mas Dodit
benar-benar mencintaiku... Mas harus menghargai keputusanku untuk
mempertahankan milikku yang berharga sampai pernikahan kita
nanti..."
Dodit mundur sambil ngos-ngosan. Nafasnya tersengal dan tidak
teratur. Dodit memandang ke arah Anissa dengan kesal.
###
Pak Hasan meninggalkan Lidya sendirian duduk seorang diri di sebuah
bangku panjang di depan toko yang menyediakan peralatan elektronik.
Pria tua itu cekikikan melihat kegelisahan sang menantu dari jarak
jauh. Pria busuk ini memang sengaja membiarkan Lidya sendirian, dia
ingin melihat menantunya yang cantik itu digoda laki-laki lain. Dengan
pakaian yang super seksi seperti itu, pasti mudah bagi Lidya
memperoleh perhatian seorang lelaki, apalagi yang hidung belang.
Tanpa mengenakan pakaian seksipun Lidya sudah mampu membuat
mata seorang pria terpukau, bagaimana seandainya dia mengenakan
baju super seksi?
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Lidya. Duduk di depan sebuah
toko elektronik yang ramai dikunjungi oleh laki-laki berbagai usia
dengan pakaian seperti seorang pelacur murahan membuatnya ingin
lari. Tapi Lidya takut dengan ancaman Pak Hasan yang tidak saja bisa
menghajar tubuhnya secara fisik tapi juga menghancurkan masa
depannya bersama Andi. Dia hanya bisa pasrah dan berharap
mertuanya itu segera keluar dan menjemputnya. Saat ini Lidya hanya
ingin segera pulang ke rumah.
Untungnya Lidya membawa handphone. Walaupun simcard yang
tadinya berada di dalam hp sudah dicabut dan disita oleh Pak Hasan
sebelum mereka berangkat ke mall, tapi dia masih bisa
menggunakannya untuk kamuflase. Tidak peduli berapa jumlah lelaki
yang menggoda ataupun nanar menatapnya seperti akan menelan
tubuh indah Lidya bulat-bulat, wanita cantik itu berkonsentrasi
menatap layar mini di hpnya dan berpura-pura memencet tombol.
Sialnya, bukannya cuek, malah makin banyak pria-pria nakal yang
memperhatikan Lidya. Seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun
keluar dari toko yang dimasuki Pak Hasan dan langsung berdiri di
depan Lidya. Pria itu membawa tas jinjing plastik yang berisi mainan
anak-anak. Lidya yang melirik diam-diam langsung tahu kalau pria ini
pasti sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil,
tapi sepertinya dia pergi sendirian. Lidya makin gelisah, dia berusaha
menyilangkan kakinya sesopan mungkin untuk menutup bagian
selangkangannya yang terbuka lebar. Tapi dengan cara itu, kini
pahanya yang mulus bisa dinikmati oleh sang lelaki hidung belang
yang sedang memanjakan mata.
Lidya kian jengah, dia terus menanti-nanti Pak Hasan yang tidak
kunjung keluar dari toko elektronik. Paha mulus Lidya sudah
melambai-lambai seakan minta dielus, walaupun sudah berusaha
sebisa mungkin untuk menutupinya, penampilannya tetap terlihat
seronok. Mata wanita cantik itu memerah karena menahan air mata.
Lidya melirik lagi ke arah sang pria hidung belang, ia berharap pria itu
sudah pergi. Ternyata dugaan Lidya salah, orang itu malah makin
mendekat. Terlihat jelas dari posisi Lidya, sebuah gundukan kian
membesar di bagian selangkangan pria itu. Lidya memalingkan
wajahnya yang memerah karena malu.
Pria hidung belang itu memutari etalase toko seperti seorang anak
kecil yang tersesat, berputar tanpa arah yang jelas, tapi satu hal yang
pasti, pandangan matanya selalu kembali ke arah paha Lidya yang
putih mulus tanpa cacat. Entah harus khawatir atau malah bangga,
Lidya sedikit menyunggingkan senyum karena sikap orang itu malu-
malu. Tapi Lidya tidak mau bermain api, dia segera membenahi posisi
duduknya dan berpura-pura tidak memperhatikan.
Orang itu ternyata malah mendekati Lidya dengan berani. Dia mengira
senyuman Lidya tadi ditujukan untuknya!
Lidya mengejapkan mata tak percaya dan menahan nafas saat pria itu
datang mendekatinya.
"Sedang menunggu teman?" tanyanya, "saya juga. Boleh saya duduk di
sebelah anda? Rasanya capek sekali berdiri di sini."
Lidya mengangkat bahu dengan cuek, jantungnya mulai berdetak
dengan kencang, matanya bergerak mencoba mencari Pak Hasan.
Kemana lagi pria tua brengsek itu? Lidya makin gelisah dan ingin
segera pergi dari sini. Pria yang genit itu duduk di samping Lidya. Dia
sengaja duduk sedikit merapat ke arah si cantik. Lidya bisa merasakan
senggolan-senggolan kecil di daerah pinggul dan pantatnya.
"Wah, hp seri **** ya?" tanya pria genit itu lagi sambil menunjuk telpon
genggam yang dipegang Lidya. "Saya selalu ingin memiliki hp seperti
itu. Sayang di tempat ini sangat susah mendapatkan hp seperti yang
anda miliki, hp seri baru stoknya terbatas. Padahal saya tidak peduli
dengan harganya yang mahal. Berapapun harganya, pasti saya beli.
Saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, kalau saya
menginginkan hp, harus yang memiliki fitur lengkap. Kebetulan hp itu
memiliki fitur-fitur seperti yang saya butuhkan."
Lidya mengangguk dan mengangkat bahu, dia masih cuek dan tidak
peduli apa yang dikatakan laki-laki di sebelahnya. Pria itu mendekat
dan makin nekat, kini lengan mereka bersinggungan dan saling
menempel sisinya. Lidya berusaha menyembunyikan hpnya karena toh
telpon genggam itu menyala tanpa simcard. Dia tidak ingin ketahuan
oleh si hidung belang ini sedang berpura-pura. Untungnya pria hidung
belang itu lebih tertarik memperhatikan paha dan belahan buah dada
Lidya yang putih mulus dan menggoda daripada hp yang sedang ia
sembunyikan.
Sekali lagi, pria hidung belang itu masih terus mencoba mendekati
Lidya.
"Hpnya bagus, cocok dengan pemiliknya yang cantik." puji si hidung
belang dengan rayuannya. "Anda sangat cantik."
"Terima kasih." Jawab Lidya mencoba ramah.
"Sebelumnya belum pernah saya memuji seorang wanita yang baru
saya temui seperti saat ini." Kata si hidung belang lagi. "Tapi anda
benar-benar mempesona."
"Terima kasih. Saya beruntung menjadi yang pertama yang pernah
anda puji." Jawab Lidya. Dia menarik nafas lega karena sepertinya
orang ini cukup sopan untuk tidak berbuat yang aneh-aneh di tengah
keramaian.
"Saya tidak tahu apa yang merasuki diri saya, mudah-mudahan anda
tidak tersinggung." Kata pria itu lagi.
"Ah tidak." Jawab Lidya pendek. "Saya tidak tersinggung."
Lidya berusaha membenahi caranya duduk agar pria di sebelahnya
tidak bisa menikmati pahanya yang putih mulus dengan bebas.
Matanya masih terus mencari Pak Hasan. Kalau hanya digoda oleh
laki-laki sudah jadi langganan bagi Lidya, yang membedakan kali ini
adalah caranya berpakaian. Dengan busana yang ia kenakan, Lidya
seakan seperti seorang pelacur yang sedang menunggu pelanggan.
Memalukan sekali!
"Saya juga sangat menyukai pakaian yang anda kenakan, sangat
modern dan seksi. Jujur saja saya sangat kagum dengan kecantikan
anda. Apakah anda seorang model iklan atau bintang sinetron?" pria
itu mulai berani melancarkan serangan.
"Bukan. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa."
Kata-kata 'ibu rumah tangga' membuat lelaki itu sedikit terkejut. Jarak
mereka merenggang. Lidyapun akhirnya bisa menarik nafas lega. Tapi
pria itu masih juga belum mau menyerah.
"Apa anda sedang menunggu suami anda?" tanya laki-laki itu.
"Tidak." Kali ini Lidya menjawab jujur. "Suami saya sedang berada di
luar kota. Saya bersama ayah mertua saya."
Di saat genting, Lidya malah keceplosan mengatakan hal-hal jujur
pada laki-laki ini, tapi memang Lidya mulai kebingungan mencari
kata-kata karena ditelan oleh perasaan gelisah yang makin lama makin
membuncah, dan pada akhirnya, dia mengatakan hal jujur di saat dia
harus berbohong. Keringat si cantik mengalir deras. Laki-laki itu
merasa kembali mendapatkan angin, dia merapat lagi, kali ini bahkan
agak mendesak tubuh Lidya.
"Wah, kalau begitu suami anda adalah seorang pria yang sangat
beruntung karena memiliki seorang istri yang cantik dan seksi yang
juga sangat sayang pada mertua." Katanya. "Saya selalu berharap istri
saya berani mengenakan pakaian yang lebih membuat saya bergairah
tapi dia selalu menolaknya."
"Saya yakin istri anda punya alasan sendiri." Jawab Lidya sambil
menjauh.
Lidya tidak berani menatap mata laki-laki di sebelahnya, pria itu
menatapnya nanar seperti ingin menjilat seluruh tubuh Lidya. Lidya
ingin pergi, dia ingin cepat-cepat meninggalkan pria ini, dia takut
sekali, tapi Lidya jauh lebih takut pada Pak Hasan sehingga dia tidak
beranjak meninggalkan bangku.
"Tentunya kaki istri saya yang gemuk tidak bisa dibandingkan dengan
keindahan kaki anda yang langsing. Suami anda benar-benar seorang
laki-laki yang beruntung." Kata pria itu lagi. "Sayang dia tidak
mempedulikan anda dan pergi ke luar kota sendirian..."
"Dia sedang dinas keluar kota ."
"...mungkin saja. Tapi hari ini, di mall ini, pasti banyak orang yang mau
meninggalkan istri mereka dan mengajak anda pulang ke rumah."
"Anda sungguh berani mengatakan hal itu."
Pria itu tersenyum penuh percaya diri, tangannya perlahan mengelus
lengan Lidya yang putih mulus, dia benar-benar yakin Lidya akan jatuh
ke tangannya. Si cantik itu mulai jengah, kata-kata orang ini terdengar
sopan dan terpelajar, sayang kelakuannya menjijikkan.
"Apakah anda termasuk pria tidak mempedulikan istri anda?" tanya
Lidya menantang. Dia menepis tangan pria hidung belang tak dikenal
yang mulai keterlaluan itu.
"Bagaimana pendapat anda? Apa anda mau saya ajak pulang?" tanya
pria itu sambil cekikikan, wajahnya terlihat sangat nafsu dan
menjijikkan. Dalam benaknya pasti sudah terbayang beribu macam cara
menunggangi Lidya. Dia pasti sudah gatal ingin melesakkan batang
kemaluannya dalam-dalam di liang rahim si cantik ini.
"Maaf sobat. Tapi nampaknya menantu saya tidak tertarik pada anda."
Sebuah suara menyelamatkan Lidya.
Pak Hasan sudah datang.
Beberapa hari ini Lidya merasa jijik dan marah pada mertuanya, baru
kali ini dia merasa sangat lega Pak Hasan datang dan
menyelamatkannya dari godaan seorang lelaki hidung belang. Lidya
segera bangkit dan berlindung di balik tubuh Pak Hasan. Laki-laki itu
tahu diri dan mundur teratur sambil memasang muka masam. Tapi dia
masih sempat melirik ke arah Lidya dan menjilat bibirnya penuh nafsu.
Dasar hidung belang!
Pak Hasan memeluk pinggang menantunya dan mereka berjalan lagi
menyusuri lorong-lorong mall. Karena sudah diselamatkan dari lelaki
iseng dan terlindungi, Lidya diam saja saat tangan mertuanya itu nakal
meraba dan meremas-remas pantatnya saat mereka berjalan bersama.
Lidya seakan sudah tidak peduli seandainya ada orang yang saat itu
menatap mereka.
Satu perasaan bangga memenuhi batin Pak Hasan. Seumur hidupnya,
dia belum pernah memiliki suatu hal yang bisa dibanggakan. Kini, saat
berjalan bersanding dengan seorang wanita yang masih muda, cantik
dan seksi yang bisa ditunggangi setiap saat, banyak lelaki
menatapnya iri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Pak Hasan bisa
memamerkan sesuatu yang membuat orang lain ingin menjadi dirinya.
Pak Hasan benar-benar puas.
"Bagaimana rasanya, nduk?" bisik Pak Hasan di telinga Lidya.
Sekujur tubuh wanita jelita itu merinding karena bisikan Pak Hasan
disertai pula dengan ciuman dan jilatan kecil di telinganya.
"Ra-rasanya apa, Pak?" Lidya menggelinjang geli.
"Bagaimana rasanya digoda laki-laki?"
"Bu-bukan yang pertama kali. Aku tidak suka..." Lidya tidak
meneruskan kalimatnya karena sekali lagi Pak Hasan mengendus
telinganya yang wangi. Lidya tidak bohong, walaupun terkesan
sombong tapi memang dia sudah sering sekali digoda laki-laki hidung
belang. Sebenarnya Lidya benci sekali pria semacam itu, karena
meskipun Lidya sudah mengenakan pakaian yang sopan, tidak seksi
dan tidak menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah, masih banyak
yang mendekatinya dengan tidak sopan. Kali ini situasinya sedikit
berbeda, karena Lidya jelas-jelas menggunakan pakaian seksi yang
mengundang birahi, dia bagaikan seorang pelacur yang sedang
menawarkan dagangan dengan mempertontonkan keindahan lekuk
tubuhnya. Lidya meneruskan kalimatnya dengan lirih sambil
memejamkan mata sesaat ketika lidah Pak Hasan nekat menjelajah
daun telinganya di tengah keramaian mall. "...tidak suka..."
"Kamu tidak suka digoda?"
"Ti-tidak..."
Pak Hasan menyeringai jahat.
###
"Kamu kecewa, Mas?"
Dodit yang sedang merapikan bajunya terdiam membisu. Bagaimana
dia harus menjawab pertanyaan Anissa itu? Jujur saja dia kecewa
karena tidak bisa melampiaskan nafsu birahinya yang sedang
memuncak, tapi di sisi lain, dia juga sangat bangga pada kekasihnya
karena masih menjunjung tinggi nilai dan budaya timur yang kini
sudah mulai luntur. Sangat jarang menemui gadis seperti Anissa.
"Kamu pasti kecewa ya, Mas?" Anissa mengulangi pertanyaannya.
Dodit tersenyum dan mengelus rambut tunangannya yang panjang dan
indah dengan mesra. "Kenapa harus kecewa? Aku bangga sama kamu,
say. Di jaman sekarang ini, susah sekali menemukan gadis yang masih
memandang penting keperawanan seperti kamu. Aku bangga dan
merasa terhormat. Pernikahan kita sudah hampir tiba, jadi kenapa
harus kecewa? Aku hanya perlu sabar dan menunggu sebentar lagi."
Anissa tersenyum mendengar perkataan Dodit. Dia tidak tahu apakah
Dodit berbohong untuk sekedar menenangkan dirinya atau benar-benar
jujur, tapi Anissa yakin Dodit pria yang baik, dia bersedia menunggu
sampai datang hari pernikahan mereka untuk bisa bersatu dengannya.
Anissa tahu saat ini Dodit sudah sangat horny, tapi kemampuannya
mengendalikan diri memang pantas diacungi jempol. Dia dengan
bangga akan menyerahkan segalanya untuk Dodit di hari pernikahan
mereka. Dia akan memberikan miliknya yang paling berharga,
kegadisannya yang sudah dia jaga sejak kecil.
"Terima kasih, sayang," kata Anissa sambil lembut mengecup pipi
Dodit, "kau tahu seandainya kau teruskan, aku tidak akan bisa
menolakmu karena aku sangat mencintaimu, tapi aku ingin malam
pertama kita benar-benar menjadi malam pertama yang sangat
berharga."
Dodit tersenyum dan balas mengecup pipi Anissa, dia kembali terdiam
dan membisu. Dodit memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil.
###
"Pak, kenapa kita harus mencarinya? Dia menjijikkan! Dia
menggodaku... dia... dia..." kata-kata Lidya patah-patah karena bingung
mencari kata yang cocok. Dia kesulitan berjalan cepat sambil tetap
mempertahankan pakaiannya agar tidak terbuka dengan vulgar,
meskipun saat ini dia sudah seperti seorang pelacur hina.
"Itu sebabnya kita harus menemuinya! Bapak akan memberinya
pelajaran berharga!"
Pak Hasan mencari-cari pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya.
Setelah berkeliling dari lantai ke lantai, mereka menemukannya sedang
duduk di sebuah restoran siap saji, dia segera menarik tangan Lidya
dan menghampirinya. Lidya yang sudah berharap tidak akan bertemu
lagi dengan orang itu menjadi sangat kecewa, bagaimana mungkin di
mall sebesar dan seramai ini, Pak Hasan bisa menemukan orang itu
lagi?
"Selamat siang, mas." Kata Pak Hasan. Orang itu memang lebih muda
dari Pak Hasan, dengan pandangan curiga dan ragu pria hidung belang
yang tadi menggoda Lidya menatap ke arah Pak Hasan dan
menantunya.
"Ya?" pria genit itu mengernyitkan dahi.
"Kenalkan, nama saya Hasan dan ini menantu saya, Lidya." Kata Pak
Hasan sambil mengajak pria mupeng itu bersalaman.
"Saya Nyoto." Pria itu masih menjawab dengan pendek, tapi dia tidak
melewatkan kesempatan untuk menjabat tangan Lidya dan
mengelusnya sedikit. Pria itu terkekeh pelan menikmati halusnya
tangan Lidya. Si cantik itu sendiri ingin mati rasanya.
"Saya lihat tadi Mas Nyoto tertarik dengan menantu saya, apa benar?"
"Kalau iya kenapa?" Nyoto menjilat lidahnya ke arah Lidya dengan
sengaja, membuat Lidya makin jengah. Dia menarik-narik ujung baju
Pak Hasan dan mengajaknya pergi, tapi rupanya mertuanya itu punya
rencana lain.
"Yah, menantu saya ini rupanya juga sangat tertarik pada anda.
Bahkan dia tadi mengatakan kalau seandainya diberikan kesempatan
sebentar saja dia ingin merasakan kehangatan yang mungkin bisa anda
berikan padanya. Berulang kali dia meminta untuk kembali
dipertemukan dengan anda." Kata Pak Hasan sambil melirik Lidya
puas.
Lidya benar-benar ingin mati, dua pria ini pantas dibunuh. Seandainya
bisa, dia ingin mengambil sebilah pisau dan menancapkannya di dada
Pak Hasan dan Nyoto. Pria yang bernama asli Sunyoto itu bagaikan
baru saja menjadi pemenang undian berhadiah, dia hampir-hampir
melompat dari kursinya dan hendak memeluk Lidya. Tapi Pak Hasan
menghentikannya.
"Tapi tentu saja, saya tidak bisa mengijinkan Mas Nyoto memakai
menantu saya ini, karena biar bagaimanapun juga, dia masih menantu
saya dan istri sah dari anak saya. Saya tidak akan mengijinkan
siapapun juga menidurinya." Kata Pak Hasan sambil menatap Nyoto
galak.
Nyoto yang ternyata cukup pengecut kembali duduk ke kursinya. Pria
genit itu menatap Pak Hasan heran. "Kalau tidak boleh dipakai, buat
apa ditawarin?"
"Berhubung anak saya sedang keluar kota, menantu saya ini sangat
kesepian. Bagaimana kalau Mas Nyoto bermain-main sebentar dengan
buah dadanya? Seperti yang mas Nyoto lihat, Lidya tidak mengenakan
BH dan ingin dibelai-belai sebentar di kamar kecil." Kata Pak Hasan.
Perlahan Lidya meneteskan air mata. Dia sudah tidak mampu lagi
berucap ataupun mengeluarkan protes. Penghinaan Pak Hasan sudah
hampir membuatnya pingsan, dia sama sekali tidak mengira mertuanya
itu akan menyerahkannya pada pria menjijikkan ini.
Nyoto melonjak lagi. "Berapa perlu saya bayar untuk melakukan itu?"
"Mas Nyoto hanya perlu membelikan makan siang untuk kami berdua."
"Setuju." Nyoto langsung mengangguk. Dia meraih dompet dan
mengeluarkan lembaran ratusan ribu pada Pak Hasan. "Terserah kalian
mau makan di mana."
Dengan buru-buru Nyoto menggandeng lengan Lidya dan menariknya
ke kamar kecil di ujung gang yang untungnya sedang sepi. Dia tidak
peduli lagi dengan makan siangnya yang belum habis di restoran siap
saji tadi. Dia lebih bernafsu menikmati buah dada Lidya. Pak Hasan
tertawa sambil mengikuti mereka berdua dari belakang.
Nyoto tidak menunggu terlalu lama, saat berada di gang menuju kamar
kecil yang sepi, dia segera menubruk Lidya. Dengan kasar dia
membuka kancing baju kemeja Lidya dan tidak mempedulikan airmata
yang menetes di pipi wanita cantik itu. Lidya benar-benar sudah tidak
bisa berbuat apa-apa lagi kecuali pasrah.
"Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, yah?" kata Nyoto sambil terkekeh
pada Lidya. "Untung sekali kamu punya mertua yang pengertian. Dasar
sombong, rasakan sekarang pembalasanku!"
Dengan sekali sentak, kemeja Lidya terbuka lebar. Perempuan cantik
itu menjerit lirih tak berdaya, tangisannya makin menjadi. Buah dada
Lidya meloncat keluar tepat di hadapan Nyoto dan pentilnya yang
menunjuk ke depan mempesona pria genit itu. Lidya kembali menjerit
dan terisak saat Nyoto dengan kasar meremas buah dadanya dengan
gemas dan memainkannya dengan nakal. Lidya bisa merasakan jari
jemari Nyoto melingkari pentilnya dan perlahan memencetnya. Karena
tubuh Lidya dan Nyoto berdempetan, Lidya bisa merasakan gumpalan
kemaluan di selangkangan Nyoto makin lama makin membesar.
Cukup lama Nyoto meremas-remas buah dada Lidya dan mereguk
kenikmatan darinya, sebelum ada orang yang melewati gang itu,
akhirnya Pak Hasan menghentikan ulah cabul Nyoto pada menantunya.
Nyoto mengangguk tanda mengerti dan menghentikan serangannya
pada dada Lidya. Wanita cantik itu jatuh luruh ke lantai sambil terus
menangis terisak-isak.
"Maaf, Mas. Waktunya habis." Kata Pak Hasan.
"Wah... nanggung sekali, Pak. Saya belum menjilatinya, saya belum
menikmati buah dada itu seutuhnya." Nyoto ngos-ngosan menahan
birahi yang sudah hampir memuncak. "Saya ingin lebih, saya ingin
menidurinya."
Nyoto meraih dompet dan bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang
ratusan ribu lagi. Pak Hasan tersenyum dan menggeleng. "Maaf sekali,
tapi perjanjian adalah perjanjian. Dia masih menantu saya, Mas. Saya
masih harus menghormati dia."
Nyoto menunduk kesal, dengan setengah membentak, dia mendorong
Pak Hasan. "Berapapun saya bayar, Pak! Berapapun!! Saya punya ATM,
kartu kredit, semua buat Bapak! Saya hanya ingin memeknya! Saya
ingin memek menantu bapak ini! Sekali saja!!"
Pak Hasan menyeringai marah dan balas mendorong Nyoto, di luar
dugaan, ternyata Pak Hasan jauh lebih kuat dari pria yang sedang
birahi ini. "Saya sudah katakan berulang-ulang, perjanjiannya hanya
soal buah dada Lidya, bukan memeknya! Dia bukan pelacur!!"
Nyoto menunduk lagi. Akhirnya emosinya perlahan menyurut. Dengan
langkah lemas dia meninggalkan Pak Hasan dan Lidya. Di luar dugaan,
Pak Hasan mendatangi Lidya dan memeluknya mesra. Lidya memeluk
Pak Hasan erat dan menangis sejadi-jadinya. Pak Hasan mengelus-
elus rambut Lidya dan memberinya penghiburan. Walaupun merasa
aneh, Lidya sedikit merasa terlindung ulah sikap Pak Hasan yang tiba-
tiba baik ini.
Nyoto ternyata masih belum menyerah. Dia mengeluarkan kartu nama
dari dalam dompetnya dan menaruhnya di lantai. "Seandainya bapak
butuh uang dan berniat melakukan perjanjian lagi, silahkan hubungi
saya. Saya bukan orang yang kaya raya, tapi berapapun saya bayar
untuk bisa menikmati memeknya."
Pak Hasan menatap Nyoto sambil meringis sadis. Dia mengambil kartu
nama itu dengan terkekeh. "Yah, kita toh tidak tahu kapan butuh uang.
Siapa tahu Lidya suatu saat nanti kangen pada Mas Nyoto."
Lidya kaget dengan ucapan mertuanya dan mendorongnya menjauh.
Pak Hasan dan Nyoto tertawa berbarengan.
"Kurang ajar! Kalian anggap apa saya ini? Barang dagangan? Pelacur
murahan?" Lidya menjerit marah. Kesabarannya sudah habis. "Pak,
saya ini menantumu! Istri dari anakmu! Teganya kamu melakukan ini
semua?"
Plakk!! Tamparan Pak Hasan mendarat di pipi Lidya. Bekas merah
merona tertinggal di pipi mulus wanita cantik itu. Lidya kembali
menangis tak tertahankan.
"Jangan pernah bicara kurang ajar di depan kenalan baru!" bentak Pak
Hasan. "Maafkan menantu saya, Mas Nyoto. Seandainya dia nanti
merindukan remasan-remasan anda, pasti saya hubungi anda lagi."
"Baik, saya tunggu telpon anda." Kata Nyoto sambil menyeringai puas.
Sebelum pergi, pria genit itu mengerlingkan mata pada Lidya yang
masih menangis.
Lidya menatap mertuanya ketakutan.
"Bersihkan wajahmu di kamar kecil. Benahi make-upmu! Kuberi waktu
sepuluh menit. Kalau selesai dalam sepuluh menit, kita pulang. Kalau
tidak, akan aku cari orang lain lagi untuk meremas-remas buah
dadamu!"
Lidya segera lari ke kamar kecil dengan terburu-buru.
###
"Bang! Baksonya tiga ya, Bang!"
"Iya Bu!"
Akhir-akhir ini Paidi sering lewat di komplek rumah di sekitar pos
kamling lokasi dia memergoki wanita cantik idamannya. Pagi siang
malam Paidi berkeliling untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok
bidadari yang kemarin lusa dia lihat. Wanita itu sangat cantik dan
terlihat seperti wanita baik-baik. Paidi tidak habis pikir apa yang
dilakukan wanita seperti itu malam-malam di pos kamling. Bisa
dipastikan wanita cantik itu adalah warga komplek ini, itu sebabnya
Paidi bersemangat mencarinya. Walaupun nanti kalau sudah bertemu,
Paidi tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Hari ini, Paidi kembali berusaha mendapatkan jawabannya. Kebetulan
sekali ada tiga orang ibu-ibu komplek yang sedang ngerumpi dan
membeli bakso dagangannya. Dengan hati-hati Paidi mendekati
mereka dan berpura-pura memotong-motong sayuran, Paidi
menguping pembicaraan ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol, siapa
tahu ada informasi yang bisa dia simpan.
"Eh, Bu Syamsul, katanya Pak Bejo punya cewek simpanan baru lho."
"Cewek simpanan? Pak Bejo yang gemuk itu? Pak Bejo Suharso? Masa
sih, Bu? Siapa yang mau sama Pak Bejo? Istrinya aja nolak-nolak!"
Ibu-ibu itu tertawa.
"Bener kok, Bu. Ini gosip dari Bu Bejo sendiri. Katanya akhir-akhir ini
Pak Bejo jadi lebih sering dandan dan lebih wangi. Dia jadi lebih
memperhatikan diri. Kalau dulu boro-boro dia mau pakai minyak
wangi, sikat gigi aja jarang!"
"Ah, Bu Tatang ini..."
"Kalau berita itu bener, saya jadi heran sendiri. Siapa sih wanita bodoh
yang mau sama Pak Bejo? Meskipun di depan orang kelakuannya baik,
tapi sebenarnya itu kedok karena di belakang dia punya perangai dan
watak yang jelek! Busuknya kan sudah terkenal sampai kemana-mana!
Kasihan istrinya."
"Iya tuh, saya juga sering ngeri kalau melihat Pak Hendra dan Bu
Hendra mempercayakan rumah dan anak pada Pak Bejo. Mungkin
mereka satu-satunya warga yang tidak tahu seperti apa Pak Bejo
sebenarnya."
"Yah, kalau soal itu sih, awalnya juga tidak ada yang tahu, Bu
Syamsul. Soalnya Bu Bejo kan orangnya baik banget! Suka menolong
dan ramah. Bu Hendra juga baik, tidak pernah mencurigai orang dan
sifatnya lemah lembut, jadi saya yakin keluarga Pak Hendra pasti
mempercayai keluarga Pak Bejo."
"Eh, jangan-jangan cewek simpenan Pak Bejo itu Bu Hendra yah?"
Ibu-ibu itu kembali tertawa.
"Ah, Bu Tatang ini ngaco terus! Mana mau Bu Hendra sama Pak Bejo!
Suaminya saja cakep banget, belum lagi Pak Bejo itu gemuk, botak dan
jelek! Buat apa Bu Hendra yang cantik dan seksi itu selingkuh sama
Pak Bejo? Kalau beneran mau selingkuh kan dia bisa cari laki-laki lain
yang lebih cakep? Ah ada-ada saja."
"Bener, Bu Syamsul. Bu Hendra itu bener-bener tipe ibu rumah tangga
idaman di komplek kita. Masih muda, cantik, seksi, setia, baik, ramah,
sopan, udah gitu lemah lembut pula. Gak ada kurang-kurangnya.
Suami saya aja sering diam-diam melirik nakal kalau sedang
berpapasan di jalan dengan Bu Hendra."
"Wah, suami saya juga, Bu Sani. Kalau sudah ketemu Bu Hendra, itu
mata kayaknya nggak mau lepas-lepas! Dilalapnya sampai habis
penampilan Bu Hendra dari atas ke bawah! Kakinya yang jenjang,
kulitnya yang putih mulus, bodinya yang aduhai, buah dadanya yang
indah, wajahnya yang cantik, semua ditelan mentah-mentah. Dasar
laki-laki, kalau sudah lihat yang bening lupa sama istri sendiri!"
Ibu-ibu itu tertawa lagi.
Paidi mengangguk-angguk sambil memainkan mangkok baksonya. Pria
itu sepertinya mulai menemui titik terang.
Paidi mencatat informasi yang didapatkannya dari percakapan ibu-ibu
itu dalam benaknya. Sepertinya ada seorang wanita yang sangat cantik
dan seksi yang tinggal di komplek ini dan menjadi idola tidak saja bagi
kaum pria tapi juga kaum wanita. Perempuan itu adalah istri dari
seorang warga komplek yang bernama Hendra, apakah mungkin dia
wanita yang dia lihat malam itu?
Paidi jelas berniat mencari tahu.
###
Lidya masuk ke kamarnya dengan langkah lunglai. Badannya lemas
dan capek, wajahnya kuyu, seluruh kekuatannya telah diserap habis
oleh kegiatannya sehari bersama Pak Hasan. Dia sudah tidak bisa lagi
menangis sedih karena sangat lelah. Dia hanya ingin bisa tidur dengan
tenang malam ini.
Lidya menatap dirinya sendiri dalam cermin, dia seolah melihat
seorang pelacur yang sudah kelelahan melayani pelanggan. Tidak
nampak lagi sosok wanita cantik yang ceria seperti dahulu, tidak ada
lagi senyum tersungging di bibirnya yang mungil. Semua hilang karena
ulah mertua yang cabul.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Pak Hasan masuk sambil
cengengesan.
Untuk beberapa saat lamanya Lidya berdiri kebingungan tanpa tahu
apa yang sebaiknya ia lakukan. Mulutnya sudah terbuka, tapi tak
kunjung keluar kata-kata yang bisa ia ucapkan. Seluruh pikirannya
sudah kabur. Akhirnya Lidya hanya berkata lirih. "Apa yang Bapak
inginkan? Aku capek sekali."
"Apa yang aku inginkan? Kamu ini benar-benar bodoh atau cuma
pura-pura saja, nduk? Tidak usah pakai basa-basi, langsung dibuka
saja bajumu." Perintah Pak Hasan. "Sejak tadi pagi aku menahan diri
tidak memakai memekmu, sekarang saat yang tepat"
Wajah Lidya berubah menjadi muram. Dalam hatinya dia sudah
berharap Pak Hasan tidak akan menyetubuhinya lagi malam ini.
Harapannya jelas tidak terwujud. Lidya berusaha meyakinkan dirinya
sendiri. Mertuanya yang cabul itu sudah pernah menidurinya beberapa
kali dan pakaian yang dikenakannya sendiri saat ini sangat terbuka,
apalah bedanya kalau saat ini dia bugil atau tidak?
Senyum yang tersungging di bibir Pak Hasan makin melebar saat
melihat Lidya melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.
Seluruh pakaian yang dibelinya siang tadi di Mall akhirnya terlepas
dari tubuh sang menantu. Kemeja tipis menerawang tanpa BH, rok mini
hitam yang seksi dan celana dalam g-string super kecil jatuh satu
persatu ke lantai.
"Indah sekali." Pak Hasan tertawa puas menyaksikan menantunya
sendiri berdiri telanjang bulat dan kedinginan dihadapannya. Pria tua
itu juga meringis melihat Lidya berusaha keras menutupi rasa malu
luar biasa yang ditimbulkan karena berdiri tanpa sehelai benangpun di
depan mertuanya sendiri. "Berbaliklah, nduk. Aku ingin melihat
pantatmu."
Lidya menggigit bibir bawahnya dengan geram dan menurut pada
perintah Pak Hasan. Wanita cantik itu berbalik dengan sangat perlahan
sehingga mertuanya bisa melihat dengan jelas gelombang gerakan
erotis yang ditimbulkan oleh pantat Lidya. Pantat sang menantu
sangat mempesona Pak Hasan. Pantat yang bulat, putih mulus dan
tanpa cacat, kemolekan yang sempurna.
"Menakjubkan." Kata Pak Hasan. Matanya nanar menatap keindahan
bokong sang menantu. "Berbaringlah di ranjang dan buka kakimu
lebar-lebar. Aku pengen ngentot sekarang."
Lidya menahan nafas karena terkejut dan mulai panik. Dia berusaha
menghindar dari Pak Hasan. Setelah seharian mendapatkan rangsangan
demi rangsangan, Lidya takut dia mulai rindu pada kontol sang mertua
yang beberapa hari ini telah membuatnya orgasme berkali-kali. Hal ini
berusaha dihindarinya sedini mungkin. Dia tidak mau tenggelam dalam
nafsu pada sang mertua. Dengan rasa takut yang amat sangat, Lidya
berusaha menghindar. Dia masih memiliki kesadaran untuk menolak.
Walaupun sudah pernah diperkosa, Lidya tetap menolak untuk pasrah.
Tapi apalah daya seorang wanita lemah sepertinya? Apalagi kini Lidya
sudah bugil di hadapan sang mertua.
"Baiklah, sepertinya kau mendapat kesulitan berkomunikasi dengan
Bapak, ya nduk?" kata Pak Hasan sambil tersenyum lebar. "Bagaimana
kalau kita adakan perjanjian saja?"
"Pak, aku mohon. Cukuplah apa yang Bapak lakukan ini. Perbuatan
kita sangat nista, Pak. Ijinkan aku..."
"Shhh, jangan ribut to, nduk. Kita buat perjanjian saja ya? Soalnya aku
masih penasaran sama tubuhmu yang seksi itu," kata Pak Hasan.
Wajahnya terlihat sangat sadis dan membuat Lidya bergidik ketakutan,
tamparannya siang tadi di mall masih terasa panas di pipinya, "Kali ini
kau akan memperbolehkanku menyetubuhimu tanpa perlawanan. Tidak
hanya itu saja, kali ini kau juga harus membuatku orgasme dan kalau
kau tidak bisa membuatku orgasme secepat mungkin, ah, resiko ada di
tanganmu..."
Lidya menatap Pak Hasan heran. "Kenapa resiko ada di tanganku?"
"Oh ya, Lidya sayang. Ada sesuatu yang lupa aku sampaikan padamu."
Lidya menatap mata ayah mertuanya dengan pandangan bertanya-
tanya. Tubuhnya yang telanjang menggigil terkena angin. Lidya
berusaha menutup ketelanjangannya dengan memeluk dirinya sendiri.
Tangan kanan menyilang menutupi pentil dan tangan kiri menutup
gundukan lembut di selangkangan.
"Aku bohong soal Andi." Kata Pak Hasan.
Jantung Lidya berdetak kencang, perlahan rasa takut menyebar di
seluruh tubuhnya. Pak Hasan tersenyum menghina, dia bergerak
mendekati Lidya dan memeluk tubuh menantunya itu erat-erat.
Tangan-tangannya yang nakal mengelus dan meraba lekuk-lekuk
tubuh Lidya. Wanita cantik itu masih tak bergeming, kedua tangannya
juga masih berusaha menutup auratnya. Pak Hasan terkekeh, dia
dengan berani menyentakkan tangan kanan Lidya dan meremas-remas
payudaranya perlahan.
"Andi pulang hari ini. Dia baru saja telpon dari bandara." Kata pria tua
itu.
Mata Lidya terbelalak.
"Dia akan segera sampai di rumah."
Dengan panik Lidya mencoba melepaskan diri dari pelukan ayah
mertuanya. Menantu Pak Hasan yang cantik itu menjerit-jerit dan
menangis tak tertahankan, dia berusaha menarik tubuhnya dari kuncian
sang mertua namun tidak berhasil. Tubuhnya yang indah dan basah
oleh keringat tak bisa lepas dari pelukan Pak Hasan.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Andi sudah mau pulang! Kita tidak boleh
terlihat seperti ini! Kumohon, Pak! Kasihani aku! Kasihani akuuu!!"
Pak Hasan meringis sadis dan tak memberi ampun sedikitpun. Gerakan
tangannya meremas buah dada Lidya malah makin kencang.
"Aduh, sial sekali! Aku lupa mengunci pintu depan!" goda Pak Hasan.
Lidya menjerit-jerit ketakutan. Pelukan Pak Hasan makin erat.
"Bagimana menurutmu, nduk? Aku janji akan segera melepaskanmu
begitu aku mencapai klimaks. Sebaiknya kita segera bersetubuh
dengan cepat karena Andi hampir sampai. Aku tidak berani menjamin
apa yang akan dilakukan anakku itu padamu seandainya dia pulang
mendapati istrinya yang cantik jelita telanjang bulat digauli oleh
bapaknya sendiri. Jujur saja, aku tidak peduli seandainya Andi pulang
dan menemui kita dalam posisi seperti ini, tapi aku yakin pendapatmu
pasti sebaliknya. Pasti kau ingin ini semua cepat selesai, iya kan?"
"Ba-bapak benar-benar sudah gila... aku... aku tidak bisa
melakukannya! Mas Andi... mas Andi sudah mau pulang! Ti-tidak akan
sempat! Kita tidak akan sempat ber..." Lidya menjerit putus asa,
tubuhnya yang telanjang kian bersinar indah karena derasnya kucuran
keringat bercampur dengan air mata. Wajahnya yang menunjukkan rasa
takut dan gelisah malah membuat Pak Hasan kian terangsang dan
bergairah. Pria tua itu melepaskan pelukannya dan berdiri di dekat
ranjang.
"Tidak sempat bercinta, maksudmu? Kalau begitu, tidak ada waktu lagi
untuk berpikir, nduk," kata Pak Hasan sambil menyeringai, "Andi bisa
setiap saat pulang ke rumah. Berapa jam sih waktu yang dibutuhkan
untuk sampai ke sini dari bandara?"
"Tidak bisa. Tidak sempat. Tidak ... aku tidak mau!" Lidya terus
menggeleng. Pikirannya kalut. Dia meremas-remas jemarinya dengan
perasaan gelisah.
"Waktu terus berjalan, nduk," Pak Hasan terkekeh menghina,
"Sebenarnya kau tidak punya banyak pilihan, kalau tidak mau
melayaniku, ya berarti kau lebih memilih kuperkosa saja. Karena kalau
itu yang kau mau, aku tidak yakin Andi bisa menerima kenyataan yang
harus dihadapi. Bayangkan, istri dan ayahnya..."
"Hentikan!! Jangan bapak teruskan kata-kata itu!!" Lidya makin panik.
Desah nafas Lidya yang memburu kian keras terdengar, bahkan sampai
ke telinga Pak Hasan. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya
yang cepat terdengar berat. Lidya berusaha mencari jalan keluar dari
situasi ini tapi sepertinya tidak ada pilihan yang bisa
menyelamatkannya.
Lidya menundukkan kepala dengan pasrah. Tidak ada jalan lain.
Lidya berbisik lirih memohon maaf kepada suaminya. Sambil terburu-
buru Lidya segera menghampiri Pak Hasan, menarik celana pendeknya
dan meraih tongkat kemaluan kebanggaan sang mertua. Mata Lidya
terbelalak melihat ukuran penis Pak Hasan yang terlihat jauh lebih
besar dari sebelumnya.
"Nah, gitu kan enak, bagaimana kontolku, nduk? Pas di tanganmu
yah?" Pak Hasan tertawa melihat menantunya akhirnya mau
melayaninya tanpa paksaan. Selama ini Pak Hasan hanya berhasil
memperkosa Lidya, belum bisa membuat menantunya yang cantik itu
bercinta dengannya dengan kesadaran sendiri. Kali ini akhirnya apa
yang diimpikannya menjadi kenyataan.
Lidya tidak menjawab sindiran Pak Hasan. Matanya berulang kali
menatap ke arah jendela dengan takut. Lidya segera mulai mengocok
kontol Pak Hasan. Jemari lembut Lidya bergerak cepat mengocok
penis Pak Hasan naik turun dengan harapan pria tua yang bejat itu
segera mencapai klimaks.
"Ayo cepat, cepat..." desis Lidya, matanya terus beralih dari jendela ke
kemaluan Pak Hasan. Lidya makin tidak sabar dan bertanya-tanya
butuh waktu berapa lama lagi Pak Hasan akan menembakkan
spermanya.
"Menyenangkan, sayang," kata Pak Hasan, "Tapi percayalah, kalau
cuma begini terus aku tidak akan cepat mencapai klimaks."
Lidya mulai merasa pening. Dia benar-benar sangat stress. Pandangan
matanya terus beralih dan berputar, cukup lama dia menatap penis Pak
Hasan yang besarnya luar biasa itu. Mertuanya itu benar, kalau hanya
begini saja pasti akan memakan waktu yang sangat lama.
"Dasar!" teriak Lidya kalut, dengan serta merta dia melepaskan
pegangan pada kontol Pak Hasan dan menarik celana pendek sang
mertua sampai ke bawah. Kontol besar milik mertuanya itu
bergelantungan di depan wajah Lidya.
Lidya menarik nafas panjang karena lagi-lagi harus melakukan hal
yang tidak begitu disukainya. Seandainya ini Andi, Lidya akan
melakukannya dengan sukarela dan penuh rasa cinta, tapi kontol di
depan wajahnya ini justru milik ayah dari Andi, mertuanya sendiri.
Lidya menarik batang penis Pak Hasan yang menegang dan berukuran
besar. Si cantik itu sempat melirik ke arah mertuanya yang tersenyum
meringis dengan wajah menghina. Lalu sambil mencoba menahan
nafas agar tidak tersedak, kepala Lidya maju ke depan dan mulutnya
membuka. Perlahan lidahnya yang mungil mulai menjilat ujung gundul
kepala penis Pak Hasan. Gerakan Lidya makin lama makin cepat, dia
berusaha menelusuri setiap jengkal penis Pak Hasan dengan lidahnya
itu. Pak Hasan mendesah penuh kenikmatan.
Lidya menggelengkan kepalanya dengan jengkel karena penis Pak
Hasan tidak segera mencapai klimaks walaupun dia sudah berusaha
keras. Panik mulai merasuk ke dalam diri Lidya.
"Memang enak dijilati seperti itu, sayang," kata Pak Hasan, "tapi aku
tidak akan mengeluarkan sperma dan mencapai kepuasan maksimal
hanya dengan cara seperti itu. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi Andi
akan segera pulang..."
"Ahhhhhhhh!" Lidya menjerit keras-keras karena panik dan bingung.
Setelah berpikir keras dan tak kunjung mendapat solusi, akhirnya
Lidya menyerah. Tubuh indah wanita cantik itu pasrah dalam
mendekap sang mertua yang bejat. Pak Hasan makin bergairah saat
merasakan gesekan buah dada Lidya pada tubuhnya, baru kali inilah
Lidya mau memeluknya. Menantunya yang cantik itu kini sedang
meletakkan penis Pak Hasan tepat di pintu masuk surgawinya. Dengan
jemarinya yang lentik, Lidya memasang penis sang mertua tepat di
bawah lubang memeknya.
"Nah, gitu dong! Dari tadi kek!", Pak Hasan terkekeh-kekeh dan
menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan santai.
Lidya sempat ragu-ragu ketika dia mulai merasakan ujung kepala
kontol mertuanya mengelus bibir vaginanya dengan lembut, tapi
perasaan ragu itu hilang karena Lidya kemudian teringat apa yang akan
terjadi seandainya dia tidak segera melayani Pak Hasan. Setelah
menarik nafas panjang dan memejamkan mata menahan sakit, Lidya
menurunkan badannya dan merasakan batang kemaluan sang mertua
perlahan memasuki lubang vaginanya.
Kedua orang yang tengah bersenggama itu melenguh bersamaan.
Mereka mendesahkan gairah dengan alasan yang berbeda. Lidya
mendesahkan rasa gelisahnya karena telah melayani seorang pria yang
bukan suaminya. Wanita itu merasa bersalah dan tidak berdaya karena
diharuskan melayani ayah mertuanya sampai dia bisa orgasme dan ini
semua berlangsung karena paksaan mertuanya yang bejat itu.
Lenguhan panjang Pak Hasan adalah lenguhan kepuasan. Kebalikan
dari apa yang dirasakan oleh Lidya, Pak Hasan merasa sangat puas
bisa menyetubuhi menantunya yang memiliki tubuh luar biasa seksi
itu. Semua paksaan dan intimidasi yang dilakukannya pada Lidya
akhirnya berbuah juga, Lidya akhirnya mau melayaninya. sebenarnya
Lidya tidak ingin ini semua terjadi karena Pak Hasan yang
menyuruhnya melakukannya. Pria tua bejat itu amat menyukai
kekuatan, dia bangga bisa membuat seseorang melakukan hal-hal
yang di luar kebiasaannya, melakukan suatu hal yang biasanya tidak
pernah atau tidak mungkin akan mereka lakukan dalam kondisi normal.
Lidya meremas pundak Pak Hasan karena rasa nikmat yang dia alami
sudah di ambang batas. Wanita jelita itu bisa merasakan rasa hangat
yang melanda seluruh tubuhnya. Cengkraman Lidya di pundak sang
mertua membuat tubuh indah Lidya bergerak naik turun dengan
kecepatan tinggi mengendarai penis Pak Hasan. Tidak pernah
terbayangkan dalam benak Lidya dia akan bersetubuh dengan Pak
Hasan, apalagi harus memberikan pelayanan ekstra.
Pak Hasan makin menikmati permainan kali ini. Sudah dua kali dia
bersetubuh dengan menantunya yang bohay itu, tapi baru kali ini Lidya
sendiri yang mau melayaninya tanpa harus diperkosa. Pak Hasan
menyandarkan tubuh ke belakang dan memejamkan mata menikmati
detik demi detik saat memek Lidya naik turun dengan cepat
mengendarai batang penisnya yang berdiri tegak menjulang ke atas.
Batang kemaluan Pak Hasan mulai basah oleh cairan cinta Lidya. Buah
dada Lidya yang indah mental ke atas dan ke bawah seiring gerakan
tubuhnya. Keringat yang mengucur deras membasahi tiap inci bagian
tubuh Lidya termasuk di puting susunya yang menegang ke depan.
Lidya berusaha mengenyahkan semua pikiran erotis dan nafsu birahi
yang melanda seluruh badannya. Namun sebuah perasaan aneh
membuatnya terangsang secara perlahan. Perasaan itu adalah wujud
ketidakmampuannya untuk mengendalikan situasi, Lidya yang biasanya
ceria dan enerjik itu kini berada dalam kendali seorang pria yang
seharusnya menjadi figur ayah, bukannya malah melesakkan penisnya
dalam-dalam ke tubuhnya. Tiap kali penis Pak Hasan melesak masuk
dan menghantam dinding vaginanya dengan penuh kekuatan, Lidya
mengeluarkan desahan demi desahan menyuarakan kenikmatan, tapi
Lidya tidak akan mau mengakuinya.
Lidya berusaha keras membuat pria tua ini segera mencapai klimaks.
Dia menggunakan seluruh kekuatan dan kecepatannya. Lidya bahkan
mencoba melakukan gerakan-gerakan erotis yang selama mungkin
bahkan belum pernah dia praktekkan pada suaminya sendiri. Wanita
cantik itu sesekali memutar pinggulnya, membuat gerakan melingkar
tiap kali bibir memeknya sudah menyentuh ujung batang penis Pak
Hasan.
"Bagus sekali, nduk!" pria tua itu tertawa puas. "Begitu baru enak!
Kenapa nggak dari tadi? Ayo teruskan! Teruskan!"
Lidya tidak akan sudi menjawab kata-kata sang mertua. Dia
melanjutkan gerakan naik turun mengendarai batang kemaluan Pak
Hasan dengan kecepatan yang makin meningkat. Makin lama makin
cepat. Lidya menghantamkan pantatnya ke arah paha Pak Hasan yang
gemuk, mengocok penis keriput sang mertua dengan memeknya dan
berusaha keras membuat pria tua bejat itu mencapai titik akhir
permainan cinta mereka.
Makin lama Lidya makin berani mengangkat pantatnya lebih tinggi dan
menghantamkannya ke bawah dengan kekuatan penuh dan kecepatan
tinggi. Lubang vagina Lidya yang sudah basah oleh cairan cinta
menelan seluruh batang kemaluan gemuk milik Pak Hasan. Lidya
meneriakkan jeritan kekecewaan dan rasa panik, tapi bagi Pak Hasan,
teriakan itu terdengar seperti kenikmatan yang makin memuncak.
Lidya melakukannya berulang-ulang kali, ia mengendarai batang
kemaluan mertuanya dengan kecepatan tinggi seperti kesetanan. Lidya
menghantamkan memeknya ke bawah sampai ke batas pangkal
kemaluan Pak Hasan dengan keras. Naik turun naik turun. Berulang-
ulang.
Pak Hasan serasa berada di nirwana. Pria tua itu menjerit dan
melenguh dengan puas, dia sangat menikmati setiap detik saat memek
menantunya yang cantik meremas penisnya yang besar dan menyukai
tiap kali bibir memek Lidya mengatup dan menjepit batangnya saat
tubuh indah Lidya naik turun dengan cepat. Sungguh sangat nikmat.
"Hampir!!" teriak Pak Hasan.
"Cepaaat! Cepaaaaat!!" jerit Lidya panik. Lidya memperkirakan sang
mertua akan segera mengeluarkan air maninya. Seluruh desah dan
tangisannya adalah karena paksaan Pak Hasan, tapi entah kenapa
Lidya tidak yakin lagi. Dia tidak yakin apakah dia sudah berhasil
membuat mertuanya itu mencapai klimaks, atau malah dirinya sendiri
yang keenakan dan mendapatkan kepuasan batin.
Lidya masih bergetar dan tidak mampu mengembalikan kesadarannya
dengan sempurna. Penis Pak Hasan masih terus berdenyut dan
bergerak maju mundur tanpa terhenti di liang cintanya. Campuran
antara kenikmatan dan rasa bersalah membuat Lidya tidak mampu
melakukan apa-apa, seluruh tubuhnya lemas.
Cairan bening mengalir melalui sela-sela memek Lidya yang kini
tersumpal oleh batang penis mertuanya sendiri. Lidya tidak peduli
apakah dia sudah mencapai orgasmenya atau belum. Dia tidak peduli
seandainya cairan cintanya meleleh, kalaupun benar dia sudah klimaks,
istri Andi itu tidak ingin mengetahuinya. Lidya hanya punya satu
keinginan saat ini dan itu adalah membuat Pak Hasan orgasme. Tubuh
indah wanita muda itu terus bergerak naik turun, membiarkan penis
sang mertua merajai liang cinta yang seharusnya hanya diserahkan
pada sang suami.
Bibir memek Lidya menjepit kontol Pak Hasan lebih erat lagi dan sang
mertua melenguh keenakan, mertua bejat itu kembali melesakkan satu
sentakan keras ke dalam vagina Lidya. Gerakan tubuh Lidya yang turun
ke bawah disambut oleh gerakan pinggul sang mertua yang
mendorong batang kemaluannya ke atas. Sekali lagi Pak Hasan
melenguh puas sebelum akhirnya menembakkan spermanya ke dalam
vagina sang menantu.
"Akhirnyaa... keluaaar..." desah Lidya lemas. Seluruh tubuh wanita jelita
itu basah oleh keringat dan dia juga terengah-engah kelelahan. Lidya
hampir-hampir tidak bisa bernafas.
Terdengar bunyi bel berdentang.
Pak Hasan tersenyum mesra menatap menantunya yang ketakutan
mendengar bel itu. Mertua bejat itu mencium bibir Lidya dan menampar
pipi pantatnya dengan lembut. "Itu, anakku sudah pulang." Kata pria
tua itu. "Sana kau sambut suamimu, Nduk."
Lidya segera bergegas melepaskan diri dari pelukan Pak Hasan. Dia
buru-buru mengenakan pakaiannya dan berlari ke bawah menuju pintu
depan.
###
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
BAGIAN EMPAT
TAMAT

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.