Selasa, 17 Maret 2015

Eliza 14: Blind Date

I. Siapa?
Entah sejak kapan aku berada di ruangan yang asing bagiku ini. Nyala
sebuah lampu kecil di tengah langit langit tak cukup untuk menerangi
tempat ini, semuanya remang remang dan tak begitu jelas. Hawa
dingin yang kurasakan membuatku kadang menggigil, padahal saat ini
aku berpakaian lengkap. Aku mengenakan salah satu stel pakaian
santai yang cukup sering kupakai kalau aku berpergian ke mall.
Namun yang membuatku merasa takut, sekarang ini aku duduk di
sebuah kursi, tak bisa bergerak bebas. Kedua pergelangan tanganku
yang menyatu di belakang sandaran kursi ini terikat erat. Sedangkan
kedua pergelangan kakiku terikat erat pada ujung kiri dan ujung kanan
kaki kursi ini. Perutku ini juga terikat pada sandaran kursi, hingga aku
tak bisa ke mana mana lagi.
Oh, apa yang terjadi padaku? Apakah aku diculik?
Selagi aku berusaha mengingat ingat mengapa aku sampai berada
di tempat ini, tiba tiba pintu ruangan ini terbuka, dan aku melihat ada
seseorang yang masuk dan mendekatiku.
"Siapa?" tanyaku dengan sedikit panik.
Tak ada jawaban. Dan yang makin membuatku merasa ngeri,
pakaian orang itu serba gelap. Bahkan ketika ia sudah cukup dekat,
aku baru melihat kalau orang itu ternyata memakai topeng yang
menutupi bagian lingkar kedua matanya, hingga rasanya aku tak
mungkin bisa mengenali wajahnya.
"Kamu siapa? Ka... kamu mau apa...?" desisku ketakutan tanpa bisa
berbuat apapun.
Orang itu seperti tak perduli dengan pertanyaanku, ia malah
membelai rambut dengan lembut. Aku tertegun sejenak, dan belum
sempat aku berpikir atau berbuat sesuatu, tiba tiba wajah orang
bertopeng ini sudah berada sedekat ini di hadapan wajahku, hingga
membuatku terhenyak dan menahan nafasku.
Sempat kuperhatikan, bentuk bibir, dagu, hidung, dan lingkaran
serta bulu matanya, dan aku yakin kalau ia adalah seorang wanita. Aku
melihat ia tersenyum padaku, lalu ia mulai mencumbuiku wajahku
dengan lembut. Diperlakukan seperti itu oleh seorang wanita yang aku
tak tahu berwajah seperti apa, dan entah kukenal atau tidak, jantungku
berdegup kencang dan wajahku terasa panas.
Setelah beberapa lama, kini aku antara pasrah dan menikmati
cumbuan ini, dan tiba tiba bibirku dipagutnya dengan mesra. Aku
sudah tak bisa berpikir lagi. Dengan memejamkan mata, aku langsung
membalas pagutan wanita yang mengenakan topeng itu dengan penuh
perasaan.
Kami berdua saling berpagut dengan panas, dan baru berhenti
setelah akhirnya kami sama sama kehabisan nafas. Aku membuka
mataku, dan kini wajah kami berdua tetap saling berhadapan hingga
kami bisa saling merasakan hangatnya dengus nafas kami selagi saling
bertatapan seperti ini.
"Kamu siapa?" dengan suara pelan aku memberanikan diri untuk
bertanya lagi pada wanita itu, dan memang sebenarnya aku penasaran
ingin tahu siapa wanita yang baru saja bercumbu denganku ini.
Tapi jawaban yang kuterima hanyalah sebuah kecupan lembut pada
bibirku. Lalu ia meraba pipiku dengan mesra, membuatku merasa
sedikit jengah, namun aku hanya bisa pasrah saja. Dan aku
memejamkan mataku ketika ia mengecup pipi kananku, dan ia terus
melanjutkan cumbuannya sampai ke telinga kananku hingga aku
sedikit menggigil kegelian.
"Eliza... Cie Cie bukain bajumu ya," kudengar bisikan yang lebih
mirip desahan di telinga kananku.
Cie Cie? Cie Cie siapa? Aku menatapnya sejenak, heran karena ia
mengetahui namaku. Apakah aku juga mengenalnya? Tidak, aku tak
bisa mengenali suara Cie Cie ini. Tapi entah kenapa tiba tiba aku
merasa aman, dan tanpa ragu aku mengangguk pasrah.
Dan berikutnya ia membuka kancing bajuku, satu persatu. Ia
melakukan itu dengan perlahan, membuatku merasa begitu sexy saat
bajuku sudah terbuka sampai setengah bagian.
Remasan lembut pada kedua payudaraku ini membuatku terbakar
gairah. Dalam keadaan terikat di kursi seperti ini, aku balas mencium
leher Cie Cie itu yang kebetulan berada di hadapan wajahku selagi Cie
Cie itu mengecup telingaku.
"Ooh..." Cie Cie itu merintih mesra.
Kami kembali saling bertatapan, dan Cie Cie itu memagut bibirku
dengan penuh nafsu. Aku membalas pagutan itu dengan sejadi
jadinya.
"Cie... Cie Cie ini siapa?" aku bertanya lagi di tengah nafasku yang
memburu setelah kami saling melepaskan pagutan ini.
Lagi lagi ia mengecup bibirku dengan lembut tanpa menjawab.
Kemudian ia malah mengeluarkan sehelai kain hitam, yang lalu
dilipatnya beberapa kali hingga kain itu berukuran kecil dan
memanjang. Aku memejamkan mataku ketika ia menutupkan kain itu
pada kedua mataku, dan aku diam saja ketika kain itu dilingkarkan dan
diikatkan di belakang kepalaku.
Aku tak bisa melihat apa apa lagi. Kini aku hanya bisa pasrah
menunggu dan menebak nebak apa lagi yang kira kira akan dilakukan
Cie Cie itu padaku. Tiba tiba kepalaku jadi sedikit pening saat aku
mencoba mengingat mengapa aku sampai berada di tempat ini.
-x-
II. Penyesalanku Akibat Berpura Pura Tidur
"Yul... Yulita! Nanti Eliza bangun!" samar samar kudengar sebuah suara
yang kukenal, yaitu suara Cie Natalia!
"Nggak apa apa deh Nat... kalau bangun, biar nanti kuajak bercinta
sekalian," kudengar suara seorang gadis yang dipanggil dengan nama
Yulita itu, dan dari caranya memanggil Cie Natalia, sepertinya Cie
Yulita ini teman sebaya Cie Natalia.
Entah apa yang terjadi, sekarang ini aku sedang dalam keadaan
terbaring, bukan dalam keadaan duduk terikat. Walaupun kini tak ada
ikatan yang membelenggu kedua tangan dan kakiku, aku sedikit
merasa aneh dan kuatir, karena dari tadi rasanya aku tidak bergerak
sedikitpun, juga rasanya tak ada yang sempat memindahkanku untuk
berbaring di sini.
Eh? Di mana ini? Dan mengapa aku masih tak bisa melihat apapun?
Apa yang terjadi padaku?
Tapi sekarang aku mulai mengenali aroma ruangan ini. Aku masih
berada di kamar Cie Natalia. Dan aku mulai memikirkan tentang
perkataan Cie Natalia dan Cie Yulita tadi.
Seketika aku menyadari tadi itu semua cuma mimpi, dan kini aku
sudah terbangun. Dan mendengar suara Cie Natalia tadi, aku tahu ia
ada di dekatku, maka aku jadi merasa sedikit tenang.
Tentang mengapa aku tak bisa melihat, kini aku menyadari ada
sesuatu yang menempel dan menutupi pandangan kedua mataku.
Mungkin ini adalah kain hitam, seperti dalam mimpiku tadi, tapi
rasanya bukan kain biasa.
Sebuah kecupan lembut hinggap di bibirku. Aku hanya diam saja,
tak tahu harus berbuat apa.
"Yuul... kamu kok ngawur sih!" aku mendengar bisikan Cie Natalia
lagi.
Tapi kecupan ini malah berubah menjadi pagutan hingga aku
menahan nafas saat jantungku berdetak kencang dan gairah mulai
menghinggapi diriku.
Kalau yang disebut oleh Cie Natalia sejak tadi adalah Cie Yulita,
berarti yang sedang memagut bibirku ini adalah Cie Yulita. Dan aku
tetap diam, bahkan aku berusaha tak bereaksi sambil tetap menahan
nafasku.
"Yul... kamu gila ya? Jangan terusin ah!" Cie Natalia mulai
mengomel walaupun dengan nada berbisik.
"Mmmhh..." desah Cie Yulita di tengah nafasnya yang tersengal
sengal setelah melepaskan pagutannya yang kurasakan begitu mesra
itu pada bibirku.
Aku sendiri sudah hampir meronta karena dadaku terasa sesak,
bahkan mungkin aku akan terbatuk batuk kalau ciuman tadi
berlangsung beberapa detik lebih lama. Untung saja Cie Yulita sudah
melepaskan pagutannya pada bibirku. Dengan sebisanya aku mengatur
nafasku yang juga sempat tersengal ini, dan setelah aku berhasil
menenangkan nafasku, aku tetap berusaha untuk berpura pura masih
dalam keadaan tidur.
"Yul... kamu ini gimana sih! Liat tuh, hampir aja Eliza bangun!"
kudengar Cie Natalia mengomel dengan berbisik setelah mereka
berdua sempat terdiam beberapa saat, mungkin karena tadi mereka
melihat nafasku yang sempat tersengal sesaat.
"Tenang deh Nat, sleeping beautymu ini masih tidur kok," jawab
Cie Yulita pelan dengan nada yakin.
Saat itu juga aku merasakan belaian lembut pada rambutku, pipiku,
dan akibatnya getaran halus kembali menjalari tubuhku, menambah
siksaan padaku yang sudah cukup terangsang akibat pagutan bibir Cie
Yulita yang semesra itu pada bibirku tadi.
"Tapi Yul..." Cie Natalia kembali berbisik dengan nada kuatir.
"Nat... kamu kenapa sih?" tanya Cie Yulita balik dengan berbisik
pula. "Kamu cemburu ya?"
"Eh? Yu... Yul... mmmhh..." kudengar Cie Natalia merintih lemah.
Kini aku mendengar rintihan tertahan dari mereka berdua. Aku
membayangkan mungkin tadi itu Cie Yulita menyergap Cie Natalia, dan
sekarang ini mereka pasti sedang saling berpagut bibir dengan
panasnya. Dan, mereka tega membiarkan aku yang kini jadi sedikit
kecewa, karena sekarang ini aku sudah mulai terbakar gairah, namun
aku tak tahu harus berbuat apa dalam kesendirianku ini.
Tiba tiba aku jadi ingin tahu, seperti apa ya Cie Yulita itu? Apakah
ia juga secantik Cie Natalia?
Tapi aku tak bisa melihat apa apa, sedangkan kalau aku nekat
membuka kain yang menutup mataku ini dan mereka tahu kalau aku
sudah bangun, entah apa yang akan terjadi.
Mungkin saja kami bertiga jadi saling bermesraan dan bercumbu,
bahkan saling bercinta dengan panas malam ini.
Tapi mungkin juga kami bertiga malah menjadi canggung, karena
Cie Natalia itu masih sepupuku sendiri, dan aku juga belum mengenal
Cie Yulita.
Mengingat akan adanya kemungkinan yang terakhir itu, aku
memutuskan untuk tetap diam, karena selain aku tak ingin merusak
suasana, aku menyadari tadi itu aku amat menikmati sentuhan dan
cumbuan Cie Yulita pada wajahku saat aku dalam keadaan tak bisa
melihat apa apa. Dan aku menginginkan hal itu terjadi lagi.
Aku memang tak tahu bagaimana wajah Cie Yulita, bentuk matanya,
bibirnya, ataupun bentuk tubuhnya, tapi itu semua malah menambah
sensasi buatku saat Cie Yulita mencium bibirku tadi. Dan aku berharap
akan diperlakukan seperti itu lagi kalau Cie Yulita mengira aku masih
tidur.
"Ngghhk... Yuul..." rengek Cie Natalia mesra.
Sedang apa ya mereka?
Duh, kalau begini kan mereka itu membuatku makin iri aja.
"Mmphh... Yul... udah dong... Kalau Eliza sampai bangun, terus dia
liat kita begini, nanti aku kan yang repot!" kudengar suara Cie Natalia
memprotes.
Suasana jadi hening sejenak.
"Tapi Nat... aku..." Cie Yulita mengeluh.
"Udah, jangan terusin lagi, please Yul... besok besok kan masih
bisa?" protes Cie Natalia. "Lagian, sekarang ini udah jam dua belas
malam. Kamu nggak pulang ta Yul?"
Suasana kembali hening. Ternyata sekarang ini baru jam dua belas
tengah malam. Ini artinya aku cuma sempat tertidur sekitar hampir satu
jam saja.
"Ya udah deh... aku pulang sekarang. Tapi antarin aku sampai ke
mobil ya sayang..." rengek Cie Yulita.
"Iya iya..." jawab Cie Natalia dengan nada suara seperti menghibur
anak kecil yang manja.
'klik', kudengar handel pintu kamar ini terbuka, dan mereka
meninggalkanku sendirian di dalam sini setelah menutup pintu. Aku
menunggu beberapa saat hingga aku yakin mereka sudah turun ke
bawah, lalu aku meraba raba kain yang menempel dan menutupi kedua
mataku ini, mencoba untuk mencari tahu benda apakah ini, sampai
akhirnya aku menyadari dan bisa memastikan ini adalah sebuah
blindfold.
Tapi aku tak melepaskan blindfold ini, dan aku menaruh tanganku
ke dalam bedcover kembali. Jadi Cie Natalia tak akan tahu kalau aku
sudah bangun. Dan aku diam menunggu Cie Natalia kembali. Selagi
menunggu, aku memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Aku tertidur hampir satu jam. Aku jadi bertanya tanya, sejak kapan
dan seberapa lama Cie Yulita mencumbuiku? Apakah aku bermimpi
aneh seperti tadi itu karena aku memang sudah dicumbui seperti itu
oleh Cie Yulita saat aku masih tertidur?
Mungkin saja. Dan teringat akan hal itu, tiba tiba wajahku terasa
panas. Aku tak tahu apakah aku sempat benar benar membalas
pagutan Cie Yulita selagi aku masih tertidur tadi. Dan harus kuakui,
tadi itu saat aku dicumbui oleh Cie Yulita yang belum kukenal dan
juga belum kuketahui wajahnya selagi aku mengenakan blindfold ini,
adalah suatu sensasi baru bagiku. Dan aku amat menikmatinya.
Kemudian aku teringat saat Cie Natalia dan Cie Yulita saling
merintih. Aku cukup yakin kalau waktu itu mereka sedang berciuman.
Dan dari percakapan mereka yang tadi, aku rasa mereka memang
sudah terbiasa seperti itu, walaupun entah apakah juga sudah sejauh
seperti yang aku lakukan dengan Jenny, Sherly ataupun Cie Stefanny.
Dan teringat itu semua, nafasku jadi sedikit memburu seiring
gairahku yang kembali bergejolak. Tapi aku sadar kalau aku harus
cepat menekan gairahku ini. Bagaimana aku bisa tidur kalau semua hal
erotis itu memenuhi benakku?
Tiba tiba kudengar pintu kamar ini terbuka, lalu tertutup kembali.
"Eliza...?" aku mendengar Cie Natalia berbisik pelan memanggilku.
Aku diam, bingung entah aku harus menjawab atau tetap pura pura
tidur.
"Eliza..." Cie Natalia memanggilku lagi dengan suara yang sepelan
tadi.
Ingin rasanya aku bangun, memeluk Cie Natalia, memuaskan
gairahku yang bangkit akibat cumbuan Cie Yulita tadi, yang lalu
terputus di tengah jalan dan tak diteruskan itu. Tapi aku takut
membayangkan apa pikiran Cie Natalia tentang diriku kalau sampai ia
mengerti bagaimana tadi aku pura pura tidur walaupun dihujani ciuman
dan pagutan oleh Cie Yulita seperti itu.
Maka aku memutuskan untuk tetap berpura pura tidur, walaupun
sebenarnya aku ingin sekali bercumbu dengan Cie Natalia.
"Hmmh... untung deh kamu nggak sampai bangun gara gara Yulita
tadi," kudengar Cie Natalia yang berkata pelan dengan nada lega,
tampaknya ia sudah yakin kalau aku benar benar masih tidur.
Sesaat kemudian aku mendengar bunyi saklar lampu yang ditekan.
Tampaknya Cie Natalia sudah mematikan lampu utama kamar ini.
Aku segera memejamkan mataku ketika kurasakan Cie Natalia
perlahan melepaskan tali blindfold ini dari kepalaku. Aku berusaha
menekan gairahku, dan sebisanya aku tetap memejamkan mataku
dengan sewajar mungkin.
Namun, aku tak menyangka kalau sesaat kemudian Cie Natalia
malah membuat keadaan menjadi semakin sulit buatku.
"Tapi bukan salah Yulita... abisnya kamu memang cantik..." desah
Cie Natalia sambil membelai rambutku.
Dan sebuah kecupan yang begitu mesra pada bibirku membuat
perasaanku tersengat. Berikutnya ketika Cie Natalia mulai mencumbui
wajahku, perlahan sekali aku meremas sprei ranjang ini dengan kedua
tanganku. Sekuat tenaga aku bertahan agar aku tak menuruti
perasaanku untuk membalas ciuman dan cumbuan Cie Natalia, apalagi
sampai memeluk tubuh Cie Natalia yang pastinya sedang berada dalam
jangkauan kedua tanganku ini.
Entah sampai kapan aku kuat bertahan seperti ini. Pikiranku
melayang ke mana mana, apalagi aku tak pernah membayangkan
dicium dengan mesra seperti ini oleh Cie Natalia. Tapi untung akhirnya
Cie Natalia menghentikan cumbuannya.
"Tapi... kalau kamu sampai tahu Cie Cie seperti ini... Cie Cie takut
kamu nggak akan mau dekat sama Cie Cie lagi..." keluh Cie Natalia
yang lalu mengecup keningku.
Oh... kalau saja Cie Natalia tahu, aku amat suka diperlakukan
seperti ini olehnya. Kalau saja aku bisa memberitahunya... ingin
rasanya aku menjerit meneriakkan isi hatiku pada Cie Natalia, dan aku
mulai menyesal mengapa tadi aku harus pura pura tidur.
Kemudian Cie Natalia berbaring dengan perlahan di sampingku, dan
kini kami berdua berada di dalam bedcover yang sama. Beberapa kali
aku merasakan kulit tanganku bersentuhan dengan kulit tangan Cie
Natalia, dan rasanya tubuhku menggigil ketika aku harus kembali
berjuang menahan gairahku agar aku tidak berbuat sesuatu terhadap
Cie Natalia.
Entah berapa lama, akhirnya Cie Natalia sudah tertidur, aku tahu
dari nafasnya yang mulai berat. Kini tinggal aku sendiri yang harus
berjuang memadamkan gairahku.
Sejak tadi aku merasa sedikit kecewa, karena sebenarnya aku
sangat ingin bercumbu atau bahkan bercinta dengan Cie Natalia kalau
mungkin. Dari kata kata Cie Natalia tadi aku merasa punya harapan Cie
Natalia tidak menolak kalau aku mengajaknya bercinta denganku.
Tapi akal sehatku masih mampu mengingatkanku tentang tujuanku
menginap di rumah Cie Natalia.
Aku ingin bisa beristirahat dengan benar, paling tidak selama
beberapa hari. Walaupun jujur saja selama ini aku belum pernah
sampai merasa diperkosa oleh tiga pejantanku itu, tapi aku berpikir
tubuhku ini bisa remuk kalau harus terus menerus ngeseks dengan
mereka setiap hari.
Bahkan kemarin itu, setelah gairah mereka bertiga itu terbakar
hebat akibat kenakalanku, di sore harinya mereka berhasil
menangkapku, dan mereka melampiaskan dendam padaku hingga
membuatku tersiksa dalam kenikmatan. Dan mereka bahkan
membuatku pingsan, tak kuat menahan orgasme yang terus mendera
tubuhku. Masih terbayang dalam pikiranku waktu itu mereka bertiga
menggendongku begitu rupa dan dengan kompaknya mereka menjarah
tubuhku dengan seenak perut mereka sendiri.
Memikirkan semua itu, tiba tiba gairahku naik kembali. Dan hal ini
menyadarkanku untuk berhenti menambah siksaan pada diriku sendiri,
atau malah sampai bermasturbasi yang pasti semakin menguras
tenagaku. Sebaiknya aku segera tidur untuk memulihkan kondisi
tubuhku yang hancur hancuran ini.
Maka aku mencoba untuk mengusir semua bayangan tentang
kehidupan seksku yang tak karuan ini dari dalam benakku. Dengan
mencoba mengingat tentang pelajaran di sekolah, memikirkan tentang
ujian kenaikan kelas di akhir bulan depan, perlahan aku kembali
mengantuk, dan tak lama kemudian aku sudah kembali tertidur pulas.
-x-
III. Pagi Hari Yang Menyenangkan
Belaian lembut pada rambutku membangunkanku dari tidurku yang
nyenyak ini. Tapi aku masih sangat mengantuk untuk membuka mataku
dan melihat siapa yang akan menjarah tubuhku pagi ini. Aku masih
ingin menikmati tidurku selagi bisa tanpa memperdulikan ulah para
pejantanku yang akan segera berbuat sesuka hati mereka pada
tubuhku ini.
Tapi setelah beberapa saat lamanya, malah aku jadi sedikit heran.
Hanya belaian lembut pada rambutku? Mana remasan yang penuh
nafsu dari tangan tangan mereka pada kedua payudaraku? Apa yang
mereka tunggu, sehingga sampai sekarang ini masih belum ada
satupun jari tangan mereka yang tercelup masuk ke dalam liang
vaginaku?
Perlahan aku membuka mataku, dan aku sedikit terkejut ketika aku
melihat wajah Cie Natalia yang tersenyum manis padaku. Pikiranku
segera bercabang ke mana mana, dan aku jadi semakin bingung ketika
aku sadar bahwa kamar ini bukan kamarku.
Akhirnya aku mulai mengerti mengapa sekarang ini aku berada di
kamar Cie Natalia. Dan aku segera ingat kejadian tengah malam tadi,
tentang kecupan Cie Natalia pada bibirku. Tiba tiba aku sedikit jengah
dan wajahku terasa panas.
"Mmm... pagi Cie..." aku menyapa Cie Natalia dan mencoba bersikap
sewajarnya.
"Pagi Eliza... Sorry ya Cie Cie bangunin kamu, Cie Cie mau ajakin
kamu makan pagi," kata Cie Natalia pelan dan ia berhenti membelai
rambutku ketika aku menatap wajahnya.
Aku baru menyadari, Cie Natalia sudah berpenampilan rapi, dan
tentu saja ia jadi terlihat semakin cantik. Beberapa saat kemudian tiba
tiba aku melihat wajah Cie Natalia memerah, dan ia memalingkan
wajahnya, hingga aku sadar kalau tadi itu aku terlalu lama menatap
dan menikmati kecantikan wajah Cie Natalia.
"Eliza, kamu nggak marah kan Cie Cie bangunin kamu?" tanya Cie
Natalia pelan.
"Eh... nggak apa apa Cie," jawabku cepat sambil tersenyum malu.
Cie Natalia bangkit berdiri dan membuka gorden kamarnya. Sinar
matahari yang terang langsung menembus masuk ke dalam kamar ini,
membuatku menoleh ke arah jam dinding.
Aduh, ternyata sekarang ini sudah jam setengah delapan pagi!
Tanpa berkata apa apa lagi aku segera ke kamar mandi di kamar Cie
Natalia ini untuk menyikat gigi, lalu aku membersihkan mukaku
seperlunya dan sedikit merapikan rambutku supaya tak terlihat awut
awutan.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Cie Natalia yang
menungguku, duduk manis di tepi ranjang, dan sepertinya sedang
melamun, bahkan sepertinya ia tak menyadari aku sudah duduk di
sampingnya. Dan aku perlahan memegang pundak Cie Natalia.
"Ih kamu... Cie Cie sampai kaget," Cie Natalia menjerit kecil dan
memukul tanganku dengan perlahan.
"Aduh... hihi... hayo Cie Cie melamun yaa?" aku mulai menggoda Cie
Natalia.
"Eh... Cie Cie... enggak kok!" bantah Cie Natalia.
"Enggak apa sih Cie? Eliza kan cuma nanyain Cie Cie melamun apa
nggak. Eliza kan nggak tahu Cie Cie sedang ngelamun siapa?" kataku
sambil meleletkan lidah dengan senang.
"Emm..." Cie Natalia menatapku sambil menggigit bibir, lalu ia
menunduk dan tersenyum malu dengan wajah yang merona merah.
Aku mulai yakin Cie Natalia sedang melamunkan seorang lelaki
pujaan hatinya. Sebenarnya aku masih ingin terus menggoda Cie
Natalia, sekalian membalas yang kemarin malam saat Cie Natalia
menggodaku soal janjiku dengan Andy. Tapi aku kasihan juga melihat
Cie Natalia yang kini tersenyum malu tanpa bisa berkata apa apa,
hingga membuatku teringat akan keadaanku di saat aku digoda habis
oleh Jenny dan Sherly tentang Andy.
"Ya udah deh, ayo kita turun Cie," kataku sambil meraih dan
menggenggam tangan Cie Natalia, lalu aku menggandengnya turun ke
bawah menuju ruang makan.
Cie Natalia menurut saja, dan selagi menuju ruang makan kami
saling bercanda hingga suasana hari ini rasanya menyenangkan sekali.
Entah bagaimana dengan Cie Natalia, yang jelas aku merasakan
getaran halus yang menjalari tubuhku saat aku menggandeng tangan
Cie Natalia seperti ini. Tapi aku berusaha menekan perasaanku karena
aku tak ingin suasana ini jadi rusak gara gara aku.
Dan kemudian kami bersama sama menikmati sarapan pagi ini,
sementara aku diam diam mencuri pandang, menikmati kecantikan
wajah Cie Natalia. Sesekali aku menatap wajah Cie Natalia dengan
cukup lama saat pandangan mata Cie Natalia sedang tertuju ke arah
makanan atau minumannya.
Makin lama aku makin
terpesona dengan pemandangan indah di hadapanku. Rambut panjang
sebahu yang menghias wajah Cie Natalia itu amat halus dan indah.
Bibir Cie Natalia itu begitu mungil dan menggairahkan. Kulit Cie
Natalia itu begitu putih, rasanya jauh lebih putih dariku. Lalu kedua
mata itu...
"Hayo, kamu kok ngeliatin Cie Cie terus sih? Naksir ya?" tiba tiba
aku terkejut mendengar suara Cie Natalia yang ternyata sudah selesai
makan.
"Eh... iya... abisnya Cie Cie cantik sih," jawabku sambil meleletkan
lidah untuk memberikan kesan aku sedang balas menggoda Cie
Natalia.
"Dasar... Kalau gitu kamu jadi teman kencan Cie Cie ke gereja ya,"
Cie Natalia menggodaku lagi sambil tertawa.
Wajahku terasa panas dan aku merasa malu. Sepertinya aku terlalu
lama memandangi wajah Cie Natalia hingga akhirnya ketahuan oleh Cie
Natalia.
Duh, bodohnya aku...
Tapi aku juga merasa senang sekali, karena dengan menggodaku
seperti tadi, berarti ada kemungkinan Cie Natalia memang tidak
keberatan kalau aku memandanginya seperti tadi. Diam diam aku mulai
berharap, aku bisa semakin dekat dengan Cie Natalia.
Dan tentang ajakan Cie Natalia untuk menemaninya ke gereja, oh...
aku akan senang sekali... tapi...
"Aduh... masih sempat nggak Cie?" aku baru teringat soal ini, dan
sadar kalau aku tadi bangun kesiangan dan belum mandi, aku kembali
mencari jam dinding. "Jam berapa ya sekarang?"
"Tenang deh sayang," kata Cie Natalia. "Masih jam delapan lebih
sedikit kok. Nanti kita ke gereja ******** aja. Misa terakhir di sana kan
masih sekitar satu setengah jam lagi."
"Oh iya... untung deh... kalau gitu Eliza siap siap dulu ya Cie,"
kataku sambil menarik nafas lega, dan Cie Natalia mengangguk.
Aku dan Cie Natalia sudah selesai makan, dan kami menaruh piring
kotor kami di dapur. Setelah bergantian menggunakan wastafel untuk
membersihkan mulut dan mencuci tangan, kami berdua segera naik ke
atas menuju kamar Cie Natalia.
"Abis itu, kalau kamu nggak ada acara, kamu temanin Cie Cie pergi
cari kado buat teman Cie Cie yang ulang tahun ya?" ajak Cie Natalia
saat akan menaiki tangga.
"Iya Cie, Eliza nggak ada acara kok sampai waktu les balet nanti"
aku menerima ajakan Cie Natalia dengan senang hati.
"Thanks ya Eliza... kamu baik deh," kata Cie Natalia sambil
tersenyum, manis sekali.
"Nggak apa apa Cie, Eliza malah senang kok diajak jalan jalan,"
kataku dengan cepat untuk menutupi kecanggunganku karena saat ini
jantungku kembali berdegup kencang.
Aku dan Cie Natalia sudah berada di kamar Cie Natalia. Dan aku
membawa satu stel baju untuk berpergian dan juga handuk sebelum
masuk ke kamar mandi. Setelah selesai, aku mengeringkan tubuhku
dan berganti baju. Lalu aku membersihkan wajahku, dan memakai
bedak tipis di wajahku, dan tak lupa aku menyisir rambutku serapi
mungkin.
Diam diam aku menelan obat anti hamil yang tadi juga kubawa
bersama baju gantiku. Setelah semuanya selesai, aku segera keluar
dari kamar mandi dan menemui Cie Natalia yang sedang menonton TV
selagi menungguku.
"Cie... Eliza udah siap. Berangkat yuk," aku mengajak Cie Natalia
segera pergi
"Iya, ayo..." Cie Natalia mematikan TV melalui remote dan berdiri
sambil menatapku, tapi tiba tiba kata katanya terhenti.
"Auw... kalau udah rapi gini kamu makin cantik deh Eliza," sesaat
kemudian Cie Natalia memujiku. Tapi berikutnya ia juga menggodaku,
"Nggak rugi deh Cie Cie jadiin kamu teman kencan, meskipun cuma
sehari."
"Thanks ya Cie... aku juga senang kok jadi teman kencannya Cie
Cie," aku berusaha balik menggoda Cie Natalia.
Senang sekali rasanya mendapatkan pujian dari Cie Natalia, dan
kata kata Cie Natalia tentang teman kencan tadi membuat jantungku
berdebar aneh.
Tiba tiba ponselku berbunyi, menunjukkan kalau ada sms yang
masuk. Dan aku langsung mengambil ponselku, berharap itu adalah
sms dari Andy.
'Pagi Eliza. Sorry ya kemarin aku keterusan nelepon kamu sampai
malam, nggak ingat deh kalau kamu masih butuh istirahat. Gimana
kamu Eliza? Moga moga kamu udah enakan, tapi kamu jangan lupa
istirahat yang cukup ya.'
Dengan hati berbunga bunga, aku langsung mengetik balasan untuk
sms dari Andy ini, supaya ia tidak mengkuatirkan keadaanku.
"Halo Eliza... gimana kamu pagi ini? Lagi ngapain? Udah makan
belum?" tiba tiba Cie Natalia yang sudah berada di hadapanku ini
mulai menggodaku.
"Cie Cieee..." aku merengek malu.
"Duh... yang lagi kasmaran... Lupa deh kalau udah mau berangkat ke
gereja. Eliza, kamu nggak usah bawa mobil deh, kamu ikut Cie Cie aja,
jadi kamu bisa balas sms kekasihmu itu di mobil," Cie Natalia kembali
menggodaku.
"Ya ampun! Sorry Cie," kataku sambil cepat memasukkan ponselku
ke dalam tasku, dan aku jadi malu dan merasa tak enak. "Ayo
berangkat Cie."
"Eeh... nggak apa apa kok Eliza, nggak usah sampai segitunya deh,"
kata Cie Natalia yang tersenyum manis, lalu ia menggandeng
tanganku. "Cie Cie cuman lagi godain kamu aja kok. Yuk!"
Aku menurut saja mengikuti Cie Natalia yang menuju garasi,
walaupun sekarang ini jantungku berdebar tak jelas. Selain gara gara
senyuman itu, kini... apakah benar sekarang ini Cie Natalia meremas
tanganku yang berada dalam gandengan tangannya? Atau ini cuma
perasaanku saja?
Semua ini tetap menjadi teka teki bagiku, karena belum sempat aku
bereaksi lebih jauh, kami berdua sudah berada di garasi, dan aku harus
rela melepaskan gandengan tangan Cie Natalia ini. Aku masuk ke
dalam mobil bersama Cie Natalia, dan kami berdua memulai aktivitas di
hari Minggu ini.
-x-
IV. Derita Dalam Gairah
"Akhirnya... selesai!" kata Cie Natalia dengan senang saat kami
selesai membungkus kado ulang tahun ini dengan rapi.
"Iya Cie, padahal tadi Eliza udah kuatir lho gara gara jalanan macet
waktu kita pulang tadi," aku menimpali kata kata Cie Natalia dengan
lega sambil bersandar di dinding.
"Cie Cie sih nggak kuatir, kan ada kamu yang bantuin Cie Cie.
Makasih ya Eliza," kata Cie Natalia yang tersenyum manis padaku, lalu
ia juga bersandar di sebelahku.
"Nggak apa apa deh Cie, tadi kan Cie Cie udah nraktir Eliza. Tapi,
besok Cie Cie juga harus nraktir Eliza lagi lho!" kataku sambil
tersenyum senyum.
"Memangnya Cie Cie punya hutang apa lagi sama kamu sayang?"
tanya Cie Natalia heran.
"Lhoo, kan nanti malam Eliza bantuin Cie Cie jagain piano?"
tanyaku balik sambil meleletkan lidahku.
"Ooh... jadi gitu ya?!" Cie Natalia mencubit kedua pipiku dengan
gemas.
"Aduh... iya Cie... ampun..." aku merengek manja sampai Cie Natalia
melepaskan cubitannya, dan kami berdua tertawa geli. Lalu kami
sempat bersantai dan mengobrol tentang beberapa hal, tentu salah
satunya adalah soal bagaimana kami menemukan boneka panda yang
dijadikan kado ini.
"Oh iya Eliza, kamu berangkat ke les balet nanti jam berapa?" tanya
Cie Natalia.
"Jam setengah lima kurang sedikit Cie," jawabku sambil melihat ke
arah jam dinding, ternyata sekarang masih jam tiga sore.
"Ow... kalau gitu masih ada waktu bentar ya," kata Cie Natalia
sambil melihat ke arah jam dinding.kamu mau bantuin Cie Cie bentar
kan? Yuk, ikut Cie Cie," kata Cie Natalia yang lalu bangkit berdiri.
Aku mengangguk dan ikut berdiri, lalu aku mengikuti Cie Natalia
yang masuk ke sebuah kamar. Cie Natalia menyalakan lampu di dalam
kamar ini, dan aku baru melihat kalau kamar ini adalah ruang olahraga.
"Eliza, kamu tunggu bentar di sini ya, Cie Cie mau ganti baju dulu,"
kata Cie Natalia.
"Iya Cie," aku menjawab sambil menganggukan kepalaku.
Cie Natalia masuk ke kamar mandi yang ada di ruangan ini. Aku
jadi bertanya tanya, apa Cie Natalia ingin berolahraga? Entah bantuan
apa yang diperlukan Cie Natalia dariku, yang jelas sekarang ini
jantungku jadi sedikit berdebar, karena aku mulai menebak nebak
pakaian seperti apa yang akan dikenakan Cie Natalia nanti. Apakah
aku akan melihat tubuh Cie Natalia terbalut sebuah pakaian senam
yang ketat seperti kostum baletku? Atau hanya kostum training biasa?
Eh? Mengapa aku sangat berharap Cie Natalia akan keluar dari
kamar mandi dengan pakaian senam yang ketat?
Aku segera berusaha mengalihkan pikiranku. Sambil menunggu aku
mengamati ruangan ini, yang seperti sebuah gym mini saja.
Fasilitasnya cukup lengkap. Sebuah treadmill, sepasang sepeda statis,
sepasang exercise ball, dan beberapa set alat latihan angkat berat
yang sepertinya untuk Ko Honggo.
Suasana di ruangan ini cukup hangat, aku tak melihat ada AC di
sini. Empat set lampu neon panjang ditambah dengan cermin yang
menutup satu sisi dinding, membuat ruangan ini jadi terang
benderang.
Aku mendengar sesuatu dan reflek aku menoleh. Mau tak mau aku
terpaku dengan pemandangan indah yang terpampang di hadapanku.
Tentu saja bukan karena aku melihat aktivitas Cie Natalia yang sedang
membeber matras.
Melebihi harapanku tadi, sekarang ini Cie Natalia hanya
mengenakan kostum training two piece yang ketat hingga aku bisa
melihat jelas keindahan lekuk pinggang Cie Natalia, juga perutnya
yang putih mulus dan begitu ramping itu benar benar membuatku
kagum.
"Iih... kamu kok ngeliatin Cie Cie terus sih? Udah dong Eliza, jangan
ngeledek Cie Cie terus. Cie Cie tau kok kalau badan Cie Cie ini agak
endut. Makanya Cie Cie harus berolahraga!" tiba tiba aku mendengar
Cie Natalia mengomel panjang pendek hingga aku terkejut setengah
mati.
"Eh... Cie Cie... enggak kok... aku nggak..." aku tergagap panik tak
tahu harus menjawab apa.
Aku tahu Cie Natalia hanya pura pura marah, namun lagi lagi dalam
hati aku mengomeli diriku yang mengulangi kebodohanku pagi tadi.
"Hihi... kamu ini... kok jadi tegang gitu sih? Cie Cie cuma godain
kamu aja kok," kata Cie Natalia sambil menyodorkan sebuah gulungan
plastik. "Kamu tolong bantuin Cie Cie pakai ini ya."
"Eh... i... iya Cie. Tapi... apa ini ya?" aku bertanya di tengah
kegugupanku.
"Masa kamu nggak pernah liat? Ini namanya body wrapping, Eliza.
Cie Cie kan nggak bisa balet seperti kamu, jadi Cie Cie olahraga di
rumah sendiri. Dan gunanya body wrapping ini, salah satunya bikin
badan berkeringat lebih cepat. Harapannya, lebih banyak lemak di
badan Cie Cie yang terbakar waktu Cie Cie berolahraga nanti. Yuk, Cie
Cie ajarin cara masangnya ya," kata Cie Natalia yang mulai membuka
gulungan body wrapping itu.
Ingin aku mengatakan kalau tubuh Cie Natalia itu jelas jelas sangat
ideal. Lekukan tubuhnya itu terlihat begitu kencang, dan tentu saja
sama sekali tak ada tumpukan lemak di sana. Tapi aku takut kalau Cie
Natalia malah menggodaku lagi.
Berikutnya, aku mengikuti petunjuk Cie Natalia untuk membalutkan
body wrapping ini ke tubuhnya, mulai dari kedua paha dan betis yang
indah itu, lalu perut yang rata dan sexy itu. Jantungku berdegup
semakin kencang, dan aku merasa tubuhku sedikit gemetar saat aku
membalutan body wrapping ini pada kedua lengan milik Cie Natalia ini.
"Thanks ya Eliza," kata Cie Natalia yang tersenyum sambil
memelukku ketika seluruh tangannya sudah terbalut dengan body
wrapping ini.
Walaupun hanya sebentar saja, tapi pelukan Cie Natalia tadi sudah
lebih dari cukup untuk menambah siksaan padaku yang sedang
berjuang menahan gairahku ini.
"Mmm..." aku hanya mengguman tanpa berani menjawab.
Hatiku meronta berdebat dengan akal sehatku. Saat ini aku sudah
terbakar gairah dan ingin sekali rasanya aku balas memeluk Cie
Natalia. Perasaanku mengatakan bahwa jalan sudah terbuka lebar
bagiku kalau aku ingin meluapkan isi hatiku pada Cie Natalia. Aku
membayangkan kami berdua sudah saling bercumbu, saling berpagut
bibir, atau bahkan bercinta di ruang fitness ini.
Tapi aku masih ingat tujuanku ke sini adalah mengistirahatkan
tubuhku selama beberapa hari dari berbagai aktivitas seks yang akhir
akhir ini sudah semakin keterlaluan. Dan aku juga masih sadar bahwa
Cie Natalia ini masih sepupuku sendiri.
Lalu kalau aku mengajak Cie Natalia bermesraan, apakah ia akan
pasrah saja dan melayani gairahku seperti Cie Stefanny? Bagaimana
kalau nanti Cie Natalia malah jadi canggung, atau marah padaku?
Tapi bukankah di malam kemarin itu, Cie Natalia sempat memagut
bibirku dengan begitu mesra ketika aku terpaksa pura pura tidur?
"Eliza, masih ada waktu kan sebelum kamu les balet? Temani Cie
Cie dulu yah. Kamu pakai aja alat fitness di sini yang kamu suka.
Treadmill, bola, terserah kamu deh. Cie Cie mau warming up dulu,"
kata Cie Natalia yang sudah mulai melakukan scretching.
Tapi perhatianku tertuju pada tubuh indah Cie Natalia yang kini
bergerak meliuk dan menggeliat di hadapan pandang mataku,
membuatku makin sulit menahan gairahku. Nafasku terasa makin
sesak, sedangkan aku tak tahu harus berbuat apa.
Tak lama kemudian aku melihat Cie Natalia mulai lari di atas
treadmill. Aku memutuskan untuk duduk santai di lantai dengan
bersandar di dinding ruangan ini, sambil menonton Cie Natalia.
Beberapa menit kemudian aku melihat body wrapping Cie Natalia
basah oleh keringat, sedangkan Cie Natalia sama sekali belum terlihat
lelah.
Aku jadi berpikir, masuk akal juga cara yang digunakan Cie Natalia
ini. Dan aku jadi ingin memakai cara yang sama seperti yang dilakukan
Cie Natalia ini. Tapi di rumahku kan tidak ada treadmill, masa aku lari
keliling rumah dengan mengenakan body wrapping?
Mungkin aku bisa meminta papa mama untuk membelikanku sebuah
ya? Harusnya papa mama juga nggak akan keberatan untuk
membuatkan satu ruangan khusus untuk berolahraga di rumah.
Lagipula mungkin kokoku tertarik juga.
Tiba tiba dalam pikiranku ini malah terbayang, bagaimana jadinya
kalau aku lari keliling di dalam rumahku dengan tubuhku dalam
keadaan terbalut body wrapping. Yang benar saja! Dalam keadaan
berpakaian lengkap pun aku harus sering menjadi obyek pesta seks
tiga pejantanku itu, lalu bagaimana nasibku kalau mereka melihatku
berpenampilan sexy dan menantang seperti Cie Natalia sekarang ini?
Sudah jelas kalau aku tak akan bisa berolahraga dengan benar,
karena tak akan butuh waktu lama sebelum para pejantanku itu segera
menangkapku. Lalu mereka mungkin akan langsung merobek robek
body wrapping yang membalut tubuhku, dan berikutnya aku harus
merelakan tiga liang kenikmatanku ini terisi penuh oleh penis mereka.
Atau aku bisa meminta mereka untuk membiarkan tubuhku tetap
terbalut body wrapping, hingga keringat yang keluar dari tubuhku akan
lebih banyak dari biasanya selagi mereka bertiga memuaskan hasrat
mereka. Itu berarti, lemak yang terbuang dari tubuhku juga semakin
banyak.
Duh, apa yang baru saja kupikirkan ini? Kok bisa bisanya aku
memikirkan manfaat body wrapping kalau aku terpaksa harus
'berolahraga' bersama tiga pejantanku itu? Memang masuk akal, tapi
aku jadi malu sendiri. Mestinya kan aku berpikir bagaimana caranya
supaya aku tak harus terus menerus melayani nafsu mereka itu
terhadap tubuhku?
Aku berusaha tak memikirkan hal itu lagi, dan aku kembali
memandang ke arah Cie Natalia yang ternyata sudah selesai
menggunakan treadmill. Sekarang ini aku bisa melihat bagian tubuh
Cie Natalia yang terbalut body wrapping itu begitu basah
dibandingkan dengan yang lainnya.
Walaupun begitu, aku tak menemukan tanda kelelahan yang
berlebihan dari Cie Natalia, malah wajahnya yang merona merah itu
terlihat segar sekali. Mungkin body wrapping itu memang membantu
olahraga yang dilakukan Cie Natalia menjadi lebih efektif untuk
membuang lemak.
"Eliza, masa kamu cuma nonton aja? Ayo dong, kamu coba aja alat
yang kamu suka," Cie Natalia berusaha mengajakku.
"Eh... enggak deh Cie. Takutnya kalau Eliza kecapekan, nanti sakit
lagi seperti kemarin," aku mencari alasan untuk menolak ajakan Cie
Natalia dengan halus. "Lagian, nonton Cie Cie olahraga kayaknya lebih
asyik deh."
"Oh iya ya! Sorry Eliza, Cie Cie sampai lupa kalau kamu kemarin
abis sakit," kata Cie Natalia yang kini jadi terlihat kuatir.
"Eh, nggak apa apa lah Cie, kemarin itu Eliza kan cuma kecapekan,"
kini aku yang jadi kuatir kata kataku tadi malah merusak mood Cie
Natalia untuk berolahraga.
"Abisnya kamu sih bikin hari ini jadi asyik buat Cie Cie. Ya udah
Cie Cie lanjutin dulu yah," kata Cie Natalia yang lagi lagi tersenyum
manis padaku.
"Iya Cie..." aku menjawab dengan nada yang kuusahakan sewajar
mungkin.
Aku sudah tak bisa memperhatikan olahraga yang dilakukan Cie
Natalia. Senyuman yang semanis itu, ditambah dengan pemandangan
yang menggairahkan di hadapanku ketika Cie Natalia menggerakkan
tubuhnya yang indah dan sexy itu, oh... aku tak ingin tersiksa lebih
lama lagi.
"Cie... Eliza mau ke kamar mandi dulu ya," kataku pelan.
"Lhoo... kan masih ada waktu setengah jam lagi Eliza?" tanya Cie
Natalia.
"Nggak... anu... perut Eliza sakit... Eliza ke atas dulu Cie," jawabku
dengan sedikit tergagap, mungkin karena aku berusaha mencari alasan
apa saja.
"Ooo... iya deh sayang," kata Cie Natalia.
Kata kata 'sayang' itu membuat jantungku berdetak makin tak
karuan.
Aku mengangguk sambil tersenyum, dan aku cepat cepat keluar
dari ruang fitness ini.
Setelah itu aku sempat bersandar pada dinding, dan secepatnya
aku berusaha menenangkan diriku dari gairah yang berkali kali tersulut
saat aku berada di dalam tadi. Perlahan nafasku mulai teratur kembali,
dan aku mulai bisa menguasai diriku. Maka aku segera ke atas, karena
aku memang sudah harus mulai bersiap untuk pergi ke les balet.
Saat menaiki tangga menuju ke kamar Cie Natalia, kembali
terbayang dalam anganku tentang Cie Natalia yang tadi terlihat begitu
sexy. Dan balutan body wrapping pada tubuh yang indah itu benar
benar membuat Cie Natalia tampak begitu menggairahkan bagiku.
Ya ampun, kenapa sih kok sulit sekali buatku untuk tidak
memikirkan Cie Natalia?
Sambil menekan gairahku, aku mulai menyiapkan semua
keperluanku untuk mandi, juga sekalian menyiapkan kostum baletku.
Sebisanya aku berusaha memikirkan yang lain, apa saja yang penting
bukan tentang Cie Natalia, juga bukan tentang semua hal yang bisa
membuat gairahku semakin terbakar. Aku tak ingin sampai lepas
kontrol dan bermasturbasi di dalam kamar mandi hingga orgasme
seperti kemarin.
Kini aku sudah berada dalam kamar mandi Cie Natalia. Perlahan aku
melucuti pakaianku satu per satu lalu aku menaruh semua pakaianku
tadi ke dalam keranjang. Dan aku sempat tertegun ketika aku melihat
bayangan tubuhku yang telanjang bulat ini di dalam cermin.
"Eliza... jangan... jangan bermasturbasi..." aku membisikkan kata kata
itu dalam hatiku, berusaha mengingatkan diriku supaya aku tidak
mulai menyiksa diriku sendiri.
Aku mengerti sekali akibatnya kalau sampai jari tanganku terlanjur
masuk dan menggoda liang vaginaku. Waktu itu tak akan ada satupun
yang bisa kulakukan untuk menghentikan kenakalan jari tanganku, lalu
akhirnya aku orgasme. Kalau itu terjadi, apa artinya aku menginap di
rumah Cie Natalia?
Sesaat kemudian aku menikmati guyuran air shower yang hangat.
Dan nampaknya aku berhasil menekan perasaanku setelah aku mandi
keramas hingga tubuhku terasa bersih dan segar. Paling tidak, untuk
saat ini aku sudah tak lagi didera keinginan untuk bermasturbasi.
Rasa lelah yang menderaku beberapa hari ini sudah tak begitu
terasa. Dan tak lupa aku membersihkan liang vaginaku yang sempat
terasa lembab. Mungkin saat aku terbakar gairah berkali kali akibat
membayangkan yang tidak tidak tentang Cie Natalia tadi, liang
vaginaku jadi basah oleh cairan cintaku.
Setelah semuanya selesai, aku mengeringkan rambutku dan juga
seluruh tubuhku, lalu aku memakai bra dan celana dalam. Dan aku
keluar dari kamar mandi untuk memakai kostum baletku, kostum yang
selalu membuatku merasa sexy.
Entah kenapa, tiba tiba aku jadi ingin sedikit berdandan. Maka aku
menyaputkan lipgloss tipis pada bibirku, dan juga sedikit bedak tipis
pada wajahku.
Lalu aku memilih kaus santai dan celana jeans untuk kupakai
selama perjalanan menuju ke tempat les balet. Tentu saja tidak lucu
kalau aku harus menyetir dengan mengenakan kostum balet, karena
aku tak mau lekuk tubuhku menjadi tontonan gratis para pengamen,
penjual koran ataupun pedagang asongan yang lalu lalang saat aku
terhenti di lampu merah nanti.
Setelah itu aku menyisir rambutku hingga rapi, dan saat aku sudah
siap untuk pergi, aku melihat jam dinding. Masih jam empat kurang
sepuluh menit. Kalau aku berangkat sekarang, aku akan sampai di
tempat les baletku kira kira jam setengah lima.
Berarti aku bakal menganggur kira kira setengah jam. Tapi tak apa
lah, daripada kalau aku tetap di sini, bisa bisa aku semakin menderita
karena harus menahan gairahku terhadap Cie Natalia. Maka aku segera
turun untuk berpamitan pada Cie Natalia. Ketika aku masuk ke dalam
ruang fitness, aku melihat Cie Natalia sedang asyik mengayuh sepeda
statis.
"Auw... cantiknya sepupuku yang satu ini," kata Cie Natalia ketika
tiba tiba ia menoleh ke arahku.
"Cie Cie ini... Cie, Eliza mau pergi sekarang ya," aku berpamitan
dengan wajah yang terasa panas.
"Iya... hati hati di jalan ya sayang. Mmm... oh iya jangan lupa lhoo...
nanti kan...?" kata Cie Natalia sambil menatapku seperti ingin
memastikan aku ingat tentang servis piano nanti.
"Iya, tenang deh Cie. Abis dari les balet nanti, Eliza langsung balik
ke sini kok, jagain piano Cie Cie supaya nggak dibawa lari sama
tukang servisnya. Asyik, besok ada yang nraktir Eliza lagi deh," kataku
sambil meleletkan lidah.
"Hihihi... awas ya kamu nanti kalau Cie Cie juga udah pulang," Cie
Natalia mengancam dengan mimik muka yang diserius seriuskan
namun malah terlihat lucu, dan sesaat berikutnya kami berdua tertawa
geli.
"Ya udah... dadah Cie," kataku sambil melambaikan tangan, dan
setelah Cie Natalia balas melambaikan tangannya, aku langsung keluar
dari ruangan yang sejak tadi berkali kali membuatku tersiksa ini, dan
aku melangkah menuju mobilku. Setelah mbak Lastri membuka pintu
gerbang rumah Cie Natalia, aku berangkat menuju tempat les baletku.
-x-
V. Insiden Di Ruang Ganti Dan Kamar Mandi
Setelah sempat merasa senang karena lalu lintas di jalanan hari ini
begitu lancar, kini aku jadi sedikit kecewa melihat rombong batagor
yang tidak dijaga oleh penjualnya itu. Masa sudah habis? Padahal
dengan satu bungkus batagor pasti akan membuat empat puluh lima
menit sebelum les balet ini jadi tak begitu membosankan.
Aku berusaha menghibur diriku sendiri, dengan berpikir bahwa aku
memang sebaiknya menjaga bentuk tubuhku agar tetap ideal, dan
salah satu caranya adalah dengan tidak mengemil. Dengan demikian
aku tak perlu merasa kecewa, bahkan aku merasa beruntung.
Tapi berikutnya aku merasa heran ketika aku melihat pak Agil
sedang berdiri mengobrol dengan salah satu tukang parkir yang
menjaga parkiran mobil di tempat les baletku ini.
Pembaca masih ingat dengan pak Agil? Buat yang lupa, atau tak
tahu tentang pak Agil karena belum sempat membaca dan mengikuti
semua serial Eliza High School Girl Series, silakan membaca serial
Eliza bagian ke 6 yah ^^
Sekarang ini sudah beberapa bulan sejak kejadian yang waktu itu,
ketika aku bersama Cie Elvira mampu 'menaklukkan' pak Agil. Aku
masih ingat waktu itu Cie Elvira sempat memaksa pak Agil supaya
berjanji untuk tidak akan menggangguku lagi.
Aku sangat berterima kasih kepada Cie Elvira, walaupun sebenarnya
bagiku sudah tak ada bedanya kalau pak Agil masih terus
menggangguku atau tidak. Toh setelah itu aku masih harus menjalani
kehidupanku sebagai betina dari tiga pejantan di rumahku, dan aku
malas mengingat tentang berapa banyak lelaki yang telah beruntung
mendapat kesempatan menikmati tubuku.
Kembali ke pak Agil tadi, yang membuatku heran adalah aku sempat
melihat mobil Cie Elvira yang sudah ada di areal parkiran. Biasanya
kalau Cie Elvira sudah datang, pak Agil pasti ada di dalam tempat les
baletku, menikmati tubuh Cie Elvira yang memang sengaja
menyerahkan dirinya pada pak Agil. Tapi kalau pak Agil sekarang ini
berada di luar sini, bukankah itu berarti bahwa saat ini tak ada yang
mengganggu Cie Elvira di dalam sana?
Tak ada sebungkus batagor untuk meredakan rasa bosan selama
aku menunggu di luar sini, dan aku mulai merasa risih saat aku
menyadari kalau pak Agil beberapa kali memandang ke arahku selagi ia
berbicara dengan tukang parkir itu. Mengingat les balet baru akan
dimulai sekitar empat puluh menit lagi, aku berpikir tak ada salahnya
kalau aku masuk ke dalam dan mengajak Cie Elvira mengobrol.
Maka aku turun dari mobil, dan setelah memastikan semua pintu
mobilku terkunci, aku segera masuk ke dalam tempat les baletku. Saat
melewati pak Agil, aku menghindarkan kontak mata dengannya. Selain
aku merasa tak ada perlunya, aku juga jadi sedikit takut kalau tiba tiba
pak Agil berubah pikiran setelah saling bertatap mata denganku, lalu ia
mengikutiku ke dalam dan memaksaku untuk melayaninya.
Untung hal yang kutakutkan itu tak terjadi hingga aku sampai di
pintu ruang ganti di tempat les baletku ini. Aku cepat cepat mencari
Cie Elvira di dalam ruang ganti, tapi anehnya aku tak berhasil
menemukan Cie Elvira. Tak ada siapapun dalam ruang ganti ini.
Oh, makanya pak Agil itu hanya berdiri berdiri di luar. Mana
mungkin orang bejat seperti dia itu mau melepaskan kesempatan untuk
menikmati tubuh Cie Elvira kalau Cie Elvira ada di dalam sini?
Tapi, ada dimana ya kira kira Cie Elvira sekarang?
Entahlah, aku pikir sebaiknya aku bersiap untuk latihan balet saja,
dan aku masuk ke dalam ruang yang paling pojok untuk melepas kaus
dan celana jeansku, yang kemudian kulipat rapi dan kumasukkan ke
dalam tasku. Dan aku sudah akan bersiap memakai sepatu baletku
ketika aku mendengar bunyi 'sreeek'.
Aku terkejut sekali ketika aku mendengar suara tirai di bilikku yang
tadi sudah kututupkan ini dibuka kembali. Siapa? Tenggorokanku
serasa tercekat dan aku cepat membalikkan tubuhku.
"Pak Agil!! Mau apa bapak masuk ke sini?" aku membentak dengan
suara pelan, walaupun sekarang ini aku jadi takut sekali.
Sama sekali bukan karena aku takut akan diperkosa, toh pak Agil
juga sudah beberapa kali menikmati tubuhku. Yang kutakutkan adalah
saat aku harus melayani nafsu bejat pak Agil, ada teman les baletku
yang lain yang datang dan melihat semuanya. Entah apa yang akan
terjadi padaku saat itu, yang jelas setelah itu rahasiaku tersebar ke
mana mana, dan mungkin nasibku akan semakin buruk.
"Tenang non Eliza. Waktu itu non kan juga tahu bu Elvira sudah
memaksa bapak untuk berjanji supaya nggak akan macam macam
sama non Eliza," kata pak Agil dengan santainya.
Aku diam setengah tak percaya. Tapi memang aku akan lebih
senang kalau pak Agil memang benar benar tak berbuat apapun
terhadap diriku.
"Tapi bu Elvira kan nggak bilang apa apa soal Vera dan... teman
teman non Eliza yang lain," sambung pak Agil lagi, dan ia masuk ke
dalam bilik ini.
Aku sempat terkesiap mendengar kata kata pak Agil yang barusan
ini. Apa ia bermaksud mengatakan kalau ia sudah mencicipi tubuh
beberapa teman les baletku selain Vera dan aku?
Dan saat aku menyadari kalau posisi pak Agil sudah sangat dekat
denganku, reflek aku langsung berusaha menjauhkan diriku dari pak
Agil hingga punggungku tersandar pada sekat di belakangku. Tapi
rasanya percuma saja, karena aku masih berada dalam bilik ini
bersama pak Agil. Kalau pak Agil mau, ia bisa dengan mudah berbuat
apa saja terhadapku sekarang ini, hingga aku merasa malu bercampur
tegang.
"Felina, Mei Ling, dan yang satunya itu... oh iya, Viany yang manis
itu. Aah... amoy amoy di sini memang sedap, walaupun jujur saja
rasanya memeknya non Eliza ini masih lebih sedap," bisik pak Agil di
telingaku.
Mereka? Viany yang selalu terlihat ceria itu? Bahkan yang Felina
kalem itu juga kena?
Dan orang ini memang benar benar kurang ajar ya! Apa perlunya
membandingkan nikmat yang ia peroleh dari liang vagina para korban
kebejatannya itu? Aku sama sekali tak tersanjung dengan pujian cabul
pak Agil tadi, bahkan aku jadi sangat mendongkol.
"Bapak ini memang kurang ajar! Apa salah kami sama pak Agil?"
aku bertanya dengan setengah membentak.
"Hehe... non Eliza ini... masa non nggak tahu?" pak Agil balik
bertanya, dan ia mendekatiku dengan senyuman mesumnya itu hingga
aku kembali berusaha melangkah mundur, tapi aku baru ingat kalau
tubuhku sudah tersandar di dinding sekat bilik ini ketika aku
merasakan punggungku tertahan.
"Salah mereka itu, ya sama seperti salahnya non," kata pak Agil
sambil menyergapku. "Sudah cantik... pintar ngeseks lagi."
Sesaat kemudian aku merintih kesakitan karena kedua payudaraku
yang berada di balik bra dan kostum baletku ini diremasi dengan kasar
oleh pak Agil. Dan selagi aku terus merintih, pak Agil mulai berusaha
untuk memagut bibirku. Aku tak bisa berbuat banyak untuk mengelak,
dan ia berhasil memagut bibirku tanpa perlawanan yang berarti dariku.
Lidahnya itu melesak masuk, mempermainkan lidahku, bahkan
kemudian pak Agil menyedot lidahku kuat kuat.
Diperlakukan seperti itu, perlahan aku melemas dan keinginanku
untuk melakukan perlawanan sudah lenyap entah ke mana. Yang ada
kini aku malah terbakar gairah dan mulai menikmati serangan french
kiss pak Agil. Kedua mataku kupejamkan selagi aku membalas
permainan lidah pak Agil.
Aku terus terhanyut dalam pergumulan ini ketika kurasakan tangan
pak Agil itu meraba raba daerah selangkanganku yang terlindung
celana dalam plus kostum baletku. Jantungku berdebar keras, dan aku
mendesis lirih ketika salah satu jari jari tangan pak Agil itu menekan
kostum baletku. Oh, bagaimana kalau jari itu benar benar berhasil
masuk ke dalam liang vaginaku? Bukankah itu berarti jari itu akan
merobek stocking yang kukenakan ini?
Saat itu tiba tiba aku tersadar dari nuansa erotis yang
menghanyutkanku ini. Bukan harga mahal dari stocking ini yang
kupermasalahkan, tetapi aku pasti akan merasa sangat tidak nyaman
kalau nanti itu aku harus mengikuti latihan balet dengan stocking yang
berlubang pada daerah selangkanganku. Belum lagi aku akan repot
untuk mencari dan membeli stocking yang baru.
Maka dengan semua sisa tenagaku yang ada, aku langsung
mendorong tubuh pak Agil.
"Hentikan pak! Atau aku laporin bu Elvira!" aku mengancam pak
Agil di sela nafasku yang masih tersengal sengal.
"Hehehe... padahal non Eliza suka kan?" ejek pak Agil sambil
tertawa mesum, membuatku semakin malu hingga aku terdiam tanpa
bisa menjawab.
"Sayangnya bapak juga nggak bisa lama lama menemani non Eliza,"
kata pak Agil lagi.
Aku tetap diam, malas menanggapi kata kata yang rasanya amat
melecehkanku itu. Dan berikutnya aku sedikit heran melihat pak Agil
naik ke kursi yang ada di bilik ini. Kursi seperti itu memang terdapat di
setiap bilik yang ada di ruang ganti ini, dan kami para peserta les balet
di sini biasanya menggunakan kursi itu untuk duduk saat mengenakan
ataupun melepas sepatu balet.
"Non Eliza, kalau non mau, non bisa naik ke kursi ini. Di sini, ada
lubang kecil yang bisa dipakai untuk melihat ke dalam kamar mandi,"
kata pak Agil yang menunjukkan jarinya ke satu titik pada bagian kiri
atas tembok. "Sebentar lagi bapak mau ke sana."
Aku merenggutkan mukaku. Memangnya seleraku ini sudah segitu
rendahnya apa, sampai aku harus mengintip orang macam pak Agil ini
di kamar mandi???
"Sekarang ini bu Elvira lagi berada di dalam kamar mandi," kata pak
Agil.
Kini aku tertegun memikirkan kata kata pak Agil yang seperti
menjawab omelanku di dalam hatiku tadi. Jadi Cie Elvira berada di
kamar mandi? Sendirian? Sedang apa Cie Elvira di dalam sana?
Setelah pak Agil turun dan keluar dari sini, aku cepat merapatkan
tirai yang menutup bilikku ini. lalu dengan terdorong oleh rasa
penasaran, aku menguatkan hatiku dan naik ke atas kursi ini untuk
mencari lubang kecil yang dimaksudkan pak Agil tadi, lalu aku
mencoba mengintip dari situ.
Dan berikutnya apa yang kulihat dari lubang kecil itu membuatku
sangat terkejut.
Cie Elvira dan Vera,
mereka berdua sama sama telanjang bulat dan saling berciuman!
Lalu, siapa pria yang wajahnya diduduki Vera itu? Apakah ini
berarti suara kecipak yang samar samar kudengar sekarang ini berasal
dari jilatan lidah pria itu pada bibir vagina Vera?
Saat ini Cie Elvira dan Vera sendiri masih saling berpagut bibir
dengan panasnya. Dan tiba tiba saja aku merasa tak senang. Namun
perhatianku kembali tertuju pada mereka karena aku mendengar suara
ketukan yang cukup keras pada pintu kamar mandi.
"Bu Elvira, ini saya," aku mendengar suara pak Agil.
Cie Elvira berdiri hingga aksi saling pagut dengan Vera tadi
berhenti. Dan pak Agil langsung masuk ke dalam kamar mandi begitu
Cie Elvira membuka pintu itu. Aku sempat melihat Cie Elvira mengunci
pintu itu kembali, ketika aku mendengar Vera menjerit manja.
Ternyata pak Agil yang tiba tiba sudah berada di dalam kamar mandi
itu sedang menarik Vera hingga berdiri. Ketika pria itu juga ikut berdiri
sehingga aku bisa melihat wajahnya, aku menutup mulutku yang
ternganga ini dengan tanganku. Saat ini aku nyaris tak percaya dengan
pengelihatanku.
Pria itu kan... tukang batagor langgananku?
Sempat kulihat pak Agil memandang ke arahku tempatku mengintip
ini, dengan senyumnya yang memuakkan. Walaupun rasanya pak Agil
tak bisa melihatku, tapi aku jadi kesal bercampur malu. Pak Agil
seperti begitu yakin kalau aku pasti akan mengintip melalui lubang
yang baru saja diberitahukan padaku ini.
Tapi rasa penasaranku mengalahkan rasa malu yang melandaku
sekarang ini, hingga aku masih terus mengintip untuk mengetahuhi
lanjutan dari kegilaan yang akan dilakukan oleh pak Agil dan penjual
batagor itu terhadap Vera dan Cie Elvira di dalam kamar mandi tempat
les baletku ini.
"Pak Agiiil... Vera masih mau sama pak Bakir..." rengek Vera
walaupun kelihatannya Vera sama sekali tidak terlihat keberatan
diperlakukan seperti itu oleh pak Agil.
"Sudah... sama bapak aja, non Vera. Bapak lagi pengin sama non
nih," jawab pak Agil dengan suara yang dimesra mesrakan, dan kulihat
pak Agil kembali menatap ke arah tempatku mengintip ini.
"Iya deh... tapi pak Agil harus bikin ini Vera enak ya..." kata Vera
manja dengan jari tangannya yang menunjuk ke arah
selangkangannya.
Aku sampai tertegun mendengar kata kata Vera yang terakhir itu.
Berikutnya Vera mendesah dan merintih ketika tubuhnya dijarah
habis oleh pak Agil. Sedangkan Cie Elvira tak dibiarkan menganggur
oleh pak Bakir yang kini sudah mendekap tubuh guru les baletku itu
dari belakang. Dan sesaat kemudian aku melihat kedua mata Cie Elvira
yang indah itu terbeliak, lalu meredup sayu diiringi rintihan sexy Cie
Elvira saat tubuhnya terhentak hentak dalam kekuasaan pak Bakir.

"Ayo dong pak Agil... cepet
masukin... Vera udah gatel nih..."
rengek Vera.
Rasanya aku hampir tak
percaya kalau Vera bisa
mengucapkan kata kata sevulgar
itu. Dan gilanya, Vera tak
berhenti sampai di situ saja.
Sesaat kemudian, kedua tangan
Vera itu merayap turun mencari
penis pak Agil, dan berikutnya
Vera sendiri yang mengarahkan
penis itu hingga masuk dan
tertelan habis dalam liang
vaginanya.
"Ngghh..." sesaat kemudian
Vera melenguh manja, bahkan
Vera mulai menggerak gerakkan
tubuhnya, mencari kenikmatan
dari penis pak Agil yang sudah bersarang dalam liang vaginanya itu.
Semua adegan yang kulihat itu membuat jantungku berdetak tak
karuan. Rasanya tubuhku bergetar ketika kurasakan hawa panas
menjalari sekujur tubuhku. Ada apa sih dengan hari ini? Mengapa
sejak pagi hari tadi aku mengalami begitu banyak kejadian yang
membuatku harus terus tersiksa dalam gairah seperti ini?
-x-
VI. Di Balik Keceriaan Viany
Suara pintu kamar ganti yang terbuka itu membuatku berhenti
mengintip. Aku segera duduk di kursi kotak ini sambil menenangkan
nafasku yang memburu. Dan ketika aku mulai memakai sepatu baletku,
rasanya jantungku ini nyaris berhenti ketika tirai yang menutup bilikku
ini kembali dibuka. Siapa?
Ternyata yang membuka tirai sekarang ini adalah salah seorang
temanku di sekolah balet yang bernama Viany. Sekilas tentang Viany,
ia baru saja berulang tahun yang ke 17 di akhir bulan Januari yang
lalu. Viany memiliki tinggi badan sekitar lima senti lebih tinggi dariku.
Viany memiliki mata yang sipit. Wajah yang memiliki kecantikan khas
oriental itu hampir tidak pernah berhenti tersenyum, membuat Viany
selalu tampak ceria dan jenaka. Rambut yang lurus dan halus, hitam
panjang sampai ke setengah lengan itu selalu tertata rapi hingga
makin menambah pesona Viany.
Penampilan Viany selalu modis. Dengan kulitnya yang begitu putih,
memang bukan salah Viany kalau ia selalu tampak sexy dengan baju
apapun yang melekat di tubuhnya, apalagi kalau Viany mengenakan
kostum balet seperti ini. Namun sayangnya, semua karunia itu
mengantarkan Viany menuju nasib yang sangat buruk, yaitu menjadi
salah satu budak seks pak Agil yang bejat itu.
Viany adalah salah satu teman di sekolah baletku ini yang cukup
akrab denganku. Namun tetap saja aku menjadi kikuk ketika Viany
membuka tirai bilik kamar ganti ini selagi aku ada di dalamnya.
"Liza?" Viany yang kelihatannya sama terkejutnya denganku itu
menyapaku dengan nada tanya.
"Eh... halo Vian. Aku..." dengan sedikit tergagap aku membalas
sapaan Viany.
"Aduh... sorry ya Liiz, aku pikir nggak ada orang. Kok tumben sih,
masih kurang setengah jam gini kamu udah datang?" tanya Viany.
"Iya Vian, kebetulan tadi ada perlu ke rumah teman. Aku takut kena
macet, jadi dari sana aku aku langsung ke sini. Nggak tahunya malah
kepagian deh," aku menjawab dengan sedikit berbohong, daripada
nanti Viany malah bertanya yang macam macam padaku.
"Hihi... tapi untung deh kamu udah selesai ganti baju," kata Viany
yang lalu duduk manis di sebelahku.
Kali ini aku tak berani menanggapi perkataan Viany. Memangnya
apa yang akan dilakukan Viany kalau tadi aku sedang tidak memakai
baju ketika tirai bilikku ini dibuka Viany? Wajahku terasa panas,
jantungku berdebar keras. Aduh, apakah semua usahaku untuk
menekan gairahku sepanjang hari ini akan sia sia gara gara Viany?
"Liz, mereka tuh udah selesai belum?" tanya Viany yang menatapku
dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke tembok di belakang kami
berdua.
Tentunya yang ditunjuk jari Viany tadi adalah mereka yang berada
di dalam kamar mandi yang ada di balik tembok di belakang kami
berdua ini.
Apakah Viany berpikir kalau aku memang tahu tentang apa yang
sedang terjadi dalam kamar mandi sekarang ini? Aku memang sudah
mendengar tentang rahasia lain di sekolah baletku ini dari pak Agil,
bahkan tentang Viany sendiri yang juga harus menjadi korban
kebejatan pak Agil.
Tapi aku sama sekali tak menyangka kalau Viany bertanya seperti
itu. Apakah itu berarti Viany juga tahu tentang perbuatan pak Agil
kepadaku dan juga kepada yang lain?
"Mm... maksudmu Vian?" aku balik bertanya dengan hati hati.
"Duh... Liza, nggak ada yang perlu kamu sembunyikan deh. Toh kita
udah sama sama tahu kan?" kata Viany sambil memegang pergelangan
tanganku dengan lembut.
Sama sama tahu?
Tampaknya dugaanku benar. Tapi senyuman lembut dari Viany ini
membuatku salah tingkah. Apalagi ketika Viany tiba tiba menyandarkan
kepalanya di atas pundak kiriku. Mana genggaman tangan Viany pada
pergelangan tanganku ini tak dilepas lagi.
Aku tak tahu pasti mengapa Viany memegang tanganku dengan
cara seperti ini. Apa karena Viany menganggapku sebagai teman
senasib? Atau karena alasan yang lain? Memikirkan alasan yang lain
itu, tiba tiba aku kembali merasa tegang.
Sekali ini yang kutakutkan adalah kalau sampai aku dan Viany
terlibat adegan lesbian, kami berdua pasti akan mengeluarkan suara
rintihan ataupun lenguhan. Dan kalau kemudian pak Agil ataupun pak
Bakir yang berada di kamar mandi itu mendengar suara kami berdua di
sini, baik aku maupun Viany pasti akan mendapat masalah.
"Vian, kamu mau cerita nggak, gimana kamu bisa sampai jatuh ke
tangan pak Agil?" aku bertanya pada Viany untuk mengurangi
keteganganku. Dengan membuat Viany bercerita, aku berharap bisa
mengurangi kemungkinan akan terjadinya hal yang macam macam di
antara kami berdua.
Selain itu aku memang jadi ingin tahu bagaimana ceritanya hingga
teman sekolah baletku yang satu ini bisa sampai bernasib buruk
seperti diriku.
Viany diam sejenak sebelum mengangkat kepalanya sambil menatap
wajahku, lalu ia menundukkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
"Eh... sorry Vian," kataku dengan kuatir setelah melihat reaksi Viany.
"Kalau kamu nggak mau cerita ya nggak apa apa, aku nggak maksa
kok."
"Nggak... nggak apa apa kok Liz," kata Viany dengan senyumnya
yang aku tahu sedikit dipaksakan.
Dan sesaat berikutnya dengan suara pelan Viany mulai
menceritakan semuanya. Di hari minggu awal bulan ini, kebetulan papa
dan mama Viany ada janji untuk bertemu dengan seseorang pada jam
setengah lima sore. Viany sendiri tak keberatan untuk diantarkan lebih
pagi ke sekolah balet, maka hari itu Viany sudah menunggu di teras
sekolah balet ini sejak jam empat sore.
Itulah awal malapetaka buat Viany di sekolah balet ini. Rupanya
sama sepertiku, Viany dijebak pak Agil untuk masuk ke dalam.
"Waktu aku sadar kalau pak Agil berniat buruk terhadapku, semua
sudah terlambat," keluh Viany yang lalu kembali menyandarkan
kepalanya itu pada pundakku. "Aku sudah berusaha memohon dengan
segala cara supaya bajingan itu nggak memperkosaku. Tapi dia cuma
ketawa dan terus nelanjangin aku."
Kini aku yang menghela nafas panjang. Apa yang telah menimpa
Viany ini mirip sekali dengan pengalamanku. Dan aku tahu kalau saat
itu tak ada pilihan lain buat Viany selain menuruti keinginan pak Agil.
Sama sepertiku waktu itu, Viany pasti juga mengerti kalau ia
mencoba melawan dengan cara menjerit minta tolong, itu hanya akan
mengundang beberapa pedagang asongan dan tukang becak di depan
sana, yang mungkin malah dengan senang hati bergabung bersama
pak Agil untuk ikut menggilir Viany.
Tiba tiba aku teringat dengan pak Bakir, si penjual batagor yang
sekarang ini sedang ikut bersenang senang di dalam kamar mandi.
Apakah ia juga sudah pernah merasakan nikmatnya tubuh Viany?
"Waktu itu semua baju luarku udah lepas, tinggal baju dalamku
aja," tiba tiba Viany kembali meneruskan ceritanya. "Dan aku berusaha
untuk mempertahankan celana dalamku yang lagi ditarik tarik sama
pak Agil sambil terus memohon. Tapi pak Agil bilang gini, 'Sudah deh
non, kamu nggak usah terus ngelawan! Eliza lho waktu itu pulangnya
sampai nagih lagi ke bapak... masa kamu nggak kepingin?'"
Rasanya sekarang ini aku ingin sekali menampar wajah tukang sapu
sialan itu. Seenaknya saja dia bicara. Apa dia nggak tau kalau penis
Wawan itu jauh lebih enak? Duh, mengapa malah penisnya Wawan
yang kupikirkan?
"Waktu itu, sangking kagetnya abis dengerin kata kata pak Agil,
aku sampai lupa menahan celana dalamku, yang terus ditarik pak Agil
sampai lepas. Akhirnya aku nggak bisa apa apa lagi..." suara Viany
terdengar semakin lemah dan mulai sedikit serak. "Dan bajingan itu...
memperkosaku... Sakit sekali rasanya Liz... virginku hilang gitu aja..."
Kini rasa haru dan iba pada Viany memenuhi hatiku. Aku memeluk
Viany yang sudah mulai terisak menahan tangis.
"Cuma sama tukang sapu Liz... dia..." ucap Viany seperti berbisik
sangking sedihnya, dan aku amat merasakan nada tak rela dari kata
kata Viany tadi.
"Udah Vian... cukup... jangan cerita lagi..." aku berusaha
menenangkan Viany, tapi aku sendiri juga sudah tak mampu menahan
air mataku yang mulai meleleh melihat Viany yang tampak begitu
menderita karena ia masih sulit untuk menerima kenyataan yang
memang teramat pahit ini.
"Liz... aku ini udah punya pacar... kalau nanti dia nggak mau lagi
sama aku, itu salah siapa Liz? Salah siapaa...? Kan bukan salahku
Liiz..." kini tangis pilu Viany sudah tak terbendung lagi, hingga aku
cepat menyembunyikan wajah Viany ke dadaku supaya tak ada yang
bisa mendengar suara isak tangis Viany.
"Bukan salahmu Vian... bukan salahmu..." aku berusaha menghibur
Viany selagi aku sendiri juga berusaha menahan dan menghentikan
tangisku.
Dadaku terasa sesak akibat rasa marah yang amat sangat pada pak
Agil. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Apa sih
yang dipikirkan oleh bajingan itu? Apa dia tahu akan sampai sejauh
mana akibat perbuatan bejat yang dilakukannya terhadap Viany ini?
Lalu bagiamana dengan Cie Elvira? Apakah Cie Elvira tahu akan
semua ini?
Kira kira dua atau tiga menit kemudian, Viany mendongakkan
wajahnya, dan ia menatapku dengan kedua matanya yang masih
basah.
"Liz... sorry ya aku udah bikin kamu ikut nangis..." kata Viany, dan
kelihatannya ia sudah mulai mampu menguasai diri dari emosi yang
sempat melandanya itu.
"Nggak... nggak apa apa Vian," aku menjawab sambil tersenyum
dengan setulus hatiku.
Aku melepaskan Viany dari pelukanku, lalu mengambil sebungkus
tissue dari tasku. Aku mengambil dua tiga helai, dan sisanya
kuberikan pada Viany.
"Makasih ya Liza... kamu memang baik," kata Viany yang kini mulai
bisa tersenyum, walaupun dengan mata yang masih merah akibat baru
saja menangis.
Aku hanya tersenyum sambil menyusuti sisa air mataku dengan
tissue. Viany juga melakukan hal yang sama, dan beberapa saat
kemudian kami berdua sama sama tenang kembali.
"Liz... aku nggak percaya kok sama omongan pak Agil soal kamu
yang sampai nagih lagi itu. Aku tahu kamu bukan cewek murahan
seperti Vera itu," kata Viany pelan.
Aku termenung sejenak. Aku jadi teringat, waktu itu aku memang
sempat mempermalukan diriku sendiri, bahkan aku sampai
menganggukkan kepalaku ketika pak Agil bertanya apakah aku juga
mau dimandikan oleh pak Agil. Tapi hanya sampai sebatas itu. Aku tak
sampai minta minta untuk disetubuhi pak Agil seperti yang tadi telah
dilakukan Vera di kamar mandi itu.
"Makasih ya Vian," aku menundukkan kepalaku sambil tersenyum.
Kini Viany kembali menyandarkan kepalanya pada pundakku.
Kelihatannya sikap Viany yang suka bermanja manja ini memang sudah
pembawaannya, tanpa ada maksud lain. Aku jadi malu sendiri
mengingat tadi aku sudah mengira Viany yang tidak tidak.
"Liz... nanti malam kamu disuruh nunggu nggak?" tiba tiba Viany
bertanya padaku.
"Nunggu? Enggak tuh. Menunggu siapa Liz?" aku balik bertanya
pada Viany.
Viany mendongakkan kepalanya. Kini Viany duduk tegak sambil
menatapku dengan heran.
"Masa kamu nggak pernah disuruh pak Agil untuk tinggal dulu
setelah pulang, dan... terus..." Viany tak meneruskan pertanyaannya,
dan wajahnya yang cantik jelita itu merona merah.
Aku mulai mengerti maksud Viany. Berarti, entah sudah berapa kali
Viany disuruh pak Agil untuk tinggal setelah jam pulang sekolah balet,
dan nantinya setelah tempat ini sepi, pak Agil akan memaksa Viany
untuk melayani nafsu bejatnya terlebih dahulu sebelum
memperbolehkan Viany pulang.
Kini aku yang jadi merasa tak enak pada Viany. Tapi aku merasa
lebih tak enak lagi kalau aku berbohong pada Viany, maka aku memilih
untuk mengatakan apa adanya.
"Vian," aku mulai menjelaskan pada Viany. "Selama ini aku nggak
pernah disuruh tinggal dulu sepulang les balet. Terus terang aja Vian,
aku pikir aku ini adalah korban terakhirnya pak Agil, soalnya sejak itu
pak Agil nggak pernah menggangguku lagi. Tapi tadi ini, dia sempat
menakutiku"
"Oh...?" kata Viany yang terlihat tak begitu percaya padaku.
"Iya Vian," aku melanjutkan ceritaku. "Tadi aku kan datangnya
kepagian, tapi aku ngeliat mobil Cie Elvira udah ada, jadi aku masuk ke
dalam untuk mencari Cie Elvira. Waktu itulah pak Agil sempat
menggangguku sebentar, yaa... sekedar main cium dan raba gitu sih.
Waktu itu dia sempat cerita tentang kamu, juga Felina dan Mei Ling.
Dia juga ngasih tau soal lubang di dinding atas sini. Aku sempat
ngintip sebentar, dan aku nggak pernah menyangka, bapak penjual
batagor di depan itu ternyata..."
"Pak Bakir? Nggak usah heran deh Liz. Memang Vera udah
langganan sama dia," Viany menimpali ceritaku tadi dengan nada
sinis.
"Langganan?" tanyaku ragu.
"Iya Liz," jawab Viany. "Minggu lalu waktu aku nggak boleh pulang
dulu, kan malamnya aku harus ngelayani pak Bakir. Dan dia cerita
kalau hampir tiap minggu dapat jatah dari Vera. Kalau melihat tingkah
si Vera sih, aku percaya deh sama cerita pak Bakir itu."
"Terus, kamu udah berapa kali nggak dibolehin pulang dulu oleh
pak Agil, Vian?" tiba tiba aku jadi ingin tahu dan menanyakan hal itu
pada Viany.
"Sejak itu, aku baru dipaksa tinggal satu kali, tepatnya satu minggu
lalu. Tapi waktu itu aku nggak sendirian Liz. Felina, Mei Ling dan
Siska juga dipaksa untuk tinggal dulu," jawab Viany.
Siska? Ya ampun, apa masih ada lagi di antara teman kelas baletku
ini yang juga menjadi korban pak Agil?
-x-
VII. Rahasia Lain Di Sekolah Baletku
Tapi aku jadi berpikir, mengapa pak Agil begitu nekat memaksa
Viany, Mei Ling, Felina dan Siska untuk tinggal? Mana mungkin bandot
itu kuat ngeseks dengan mereka semua? Apalagi aku masih ingat
dengan jelas kejadian waktu itu, baru aku dan Cie Elvira yang cuma
berdua saja, sudah berhasil membuatnya terkapar dan minta minta
ampun.
"Vian, mmm... masa pak Agil itu... katakanlah ditambah pak Bakir,
apa mereka berdua itu kuat ngadepin kalian berempat?" tanyaku pada
Viany walaupun sebenarnya aku merasa malu menanyakan hal seperti
ini karena aku jadi terlihat tahu akan batas kemampuan pak Agil dalam
hal ngeseks.
"Oh, kamu nggak tau ya Liz? Kamu pernah liat kan, ada seorang
pengemis yang pergelangan tangan kanannya buntung, yang suka
lewat di depan sini? Kalau di sini udah pulang semua, pengemis itu
ikut sama tukang parkir, masuk ke dalam sini..." jawab Viany dan kata
katanya itu membuatku benar benar terkejut.
"Ya ampun? Pengemis itu? Vian... kamu... kamu udah pernah
digituin sama dia?" aku bertanya dengan perasaan ngeri.
"Aku sih belum pernah digituin sama pengemis itu Liz, tapi yang
lain sudah. Kalau nggak salah, minggu lalu itu giliran Mei Ling yang
harus main sama pengemis itu. Kalau aku waktu itu dipaksa main dua
kali. Yang pertama sama pak Bakir, abis itu ganti tukang parkir itu
yang nggituin aku," jawab Viany.
"Aduh Vian, kenapa tukang parkir itu juga? Jangan jangan tukang
becak di dekat sini itu...?" aku bertanya dengan tegang. Mengapa
sekolah baletku yang dulu aman aman saja, kini bisa mendatangkan
mimpi yang begitu buruk bagi murid murid sekolah balet ini?
"Selama ini, tukang becak itu nggak pernah ikut. Kalau tukang
parkir itu sih iya. Orang itu namanya Rizal. Dia itu yang paling
brengsek Liz. Sejak dia tahu kalau dia bisa gituin aku, dia malah narik
lima puluh ribu dari aku buat uang parkir," kata Viany dengan kesal.
"Hah? Sampai segitu Vian?" aku amat terkejut dan kini aku jadi ikut
kesal. Lima puluh ribu hanya untuk parkir? Itu kan pemerasan?
"Iya. Aku sempat tanya sama Felina, ternyata Felina sendiri sudah
ditarik segitu sejak pak Rizal bisa nggituin Felina. Aku yakin Mei Ling
dan Siska juga diperas seperti aku dan Felina oleh tukang parkir sialan
itu," jawab Viany.
Sama sepertiku, Viany juga sempat menghela nafas panjang, lalu
Viany melanjutkan ceritanya.
"Pak Bakir sih masih... mendingan Liz. Malam itu dia malah bilang
kalau aku boleh ambil batagornya berapapun yang aku suka, gratis.
Tapi nggak deh. Aku nggak tau dengan Felina, Mei Ling atau Siska,
tapi kayaknya aku sudah nggak mungkin deh mau nyamperin rombong
batagor pak Bakir lagi," kata Viany yang kini memainkan rambutnya
yang indah itu dengan jemari tangannya.
Dalam hatiku aku berpikir, ya tentu saja! Kalau aku jadi Viany, aku
juga nggak akan perduli dengan tawaran batagor gratis itu.Yang benar
saja, memangnya aku ini cewek macam apa sampai mau menukar
tubuhku dengan batagor?
Setelah mendengar cerita Viany, aku berpikir sebaiknya mulai
sekarang aku pun juga harus berada jauh jauh dari rombong batagor
pak Bakir. Tapi ada satu hal yang sejak tadi membuatku penasaran dan
ingin kutanyakan pada Viany.
"Vian, mmm... Cie Elvira?" tanyaku dengan hati hati.
"Iya Liz, aku udah tau kok tentang Cie Elvira dengan pak Agil,"
jawab Viany. "Tapi rasanya Cie Elvira nggak tahu tentang nasib kami
berempat ini. Maksudku, Felina, Mei Ling, Siska dan aku. Kalau Vera
sih, kata pak Agil udah lama sebelum Cie Elvira, mmm..."
Viany tak meneruskan kata katanya, kelihatannya ia sedang
memikirkan sesuatu.
"Oh iya, aku jadi ingat Liz. Vera itu ngaco deh. Minggu lalu itu, dia
itu lho udah pulang. Tapi nggak tau kenapa, selagi si Vera itu balik
lagi ke sini," kata Viany yang kini kembali terlihat kesal. "Jadinya Vera
kan ngeliat aku dan yang lainnya sedang digituin sama orang orang
itu. Dan kamu tau nggak? Dia itu bukannya nolongin, tapi malah
nelepon sopirnya dan disuruh masuk."
"Hah? Dia...?" aku bertanya sambil menggigit bibir.
"Iya. Memangnya dia pikir waktu itu di dalam sini lagi ada pesta
seks apa?" Viany mengomel dengan sedikit berapi api. "Jadinya bagi
dia sih memang pesta seks, tapi bagi aku dan yang lain ya
menyebalkan sekali. Gara gara Vera, jadinya tambah lagi satu bajingan
yang bisa maksain nafsunya ke kita kita. Tanya aja sama Siska yang
waktu itu terpaksa harus gituan sama sopirnya Vera itu. Huh, kalau
ingat itu rasanya aku masih ingin menampar tuh anak Liz!"
"Ssst... Vian!" aku cepat berbisik dan menempelkan jari telunjukku
ke bibirku yang kukatupkan.
Viany langsung menutup mulut dengan menggunakan tangan
kirinya, dan kedua matanya itu menatapku dengan terbelalak. Jadinya
Viany malah terlihat begitu lucu. Aku sampai tersenyum dan harus
menggigit bibirku untuk menahan diriku agar tak sampai tertawa geli
melihat tingkah Viany ini.
Tiba tiba aku mendengar suara pintu kamar ganti kami terbuka. Aku
memandang Viany dengan tegang. Masa tadi itu suara kami berdua
sampai terdengar ke kamar mandi di sebelah?
Viany sendiri juga terlihat tegang. Aku diam sejenak, namun aku
segera sadar bahwa tak ada gunanya aku bersembunyi di sini. Selain
itu aku merasa keadaan akan jadi lebih parah kalau siapapun orang
yang datang itu sempat melihatku di dalam sini berduaan dengan
Viany.
Maka aku memberi isyarat pada Viany supaya tetap di sini,
sedangkan aku sendiri segera keluar dari bilik ini. Sesaat kemudian
aku tertegun sekaligus lega karena yang ada di depan pintu sekarang
ini ternyata Cie Elvira.
"Liza?" Cie Elvira menyapaku dan aku merasa ia terlihat seperti
gugup.
"Halo Cie Vira," aku balas menyapa Cie Elvira sambil tersenyum,
sebuah senyuman lega.
Aku sempat memperhatikan keadaan Cie Elvira yang udah
mengenakan kostum baletnya itu. Keringat masih sedikit membasahi
leher dan juga wajahnya, hingga ada sebagian rambut yang menempel
pada kening dan kedua pipi Cie Elvira. Namun bagiku semua itu tak
mengurangi kecantikan Cie Elvira.
"Kapan kamu datang Liza?" tanya Cie Elvira.
Aku melihat jam tanganku, sekarang masih jam lima kurang
seperempat.
"Baru aja Cie," aku memilih berbohong. "Nggak sampai lima menit."
Cie Elvira tersenyum tipis, lalu ia merapikan rambutnya yang sedikit
awut awutan itu di hadapan cermin. Aku sendiri juga ikut merapikan
dan mengikat rambutku seperti Cie Elvira.
"Liza, nanti kamu langsung pulang ya," kata Cie Elvira selagi
membenarkan kuncir rambutnya.
"Iya Cie," jawabku singkat sambil memasang senyumku.
Setelah itu Cie Elvira keluar dari ruang ganti ini. Aku menarik nafas
lega, lalu aku kembali ke Viany yang masih berada di dalam bilik tadi.
Dan melihat ulah Viany, aku tersenyum geli dan menahan tawaku.
Kalau saja aku tidak takut akan kemungkinan terburuk yang bisa
terjadi, tentu aku akan sengaja mengagetkan Viany yang saat ini malah
sibuk mengintip kamar mandi lewat lubang di atas itu. Tapi aku tak
mau melakukannya, karena aku tahu akibatnya pasti akan sangat tidak
lucu buat aku dan Viany.
Maka aku hanya duduk di sebelah Viany yang segera sadar kalau
aku sudah kembali, dan ia langsung duduk di sebelahku.
"Liz, kamu tau nggak?" bisik Viany sambil menggelengkan
kepalanya. "Tadi aku liat Vera baru aja selesai main sama pak Agil.
Abis itu Vera masih sempat sempatnya ngisepin burungnya pak Agil
dan pak Bakir. Bener bener deh tuh anak!"
"Ha? Memangnya mereka masih mau terus?" tanyaku dengan heran.
"Bukannya sebentar lagi udah banyak orang?"
"Harusnya sih enggak Liz," jawab Viany. "Tadi waktu kamu udah
balik ke sini, aku liat pak Agil dan pak Bakir itu sudah siap siap keluar
dari jendela kamar mandi."
Aku dan Viany berhenti berbisik bisik ketika pintu kamar ganti ini
kembali terbuka. Sekali ini teman teman kami yang masuk,
kelihatannya mereka sudah mulai banyak yang datang, mungkin empat
atau lima orang. Dan seperti biasa, ruang ganti ini langsung menjadi
gaduh dengan celoteh teman temanku itu.
"Halo Vian. Eh... halo juga Eliza. Ih, sejak kapan kalian berdua ini
mesra amat seperti ini?" Felina yang tiba tiba sudah berada di
hadapanku dan Viany ini menyapa sekaligus menggoda kami berdua.
"Halo Felina," aku balas menyapa Felina sambil tersenyum malu.
"Memangnya kenapa Fel? Iri ya?" Viany balik menggoda Felina.
"Sedikit sih," jawab Felina dengan kalemnya, dan berikutnya kami
bertiga tertawa geli.
"Aku ganti baju di sini ya," tiba tiba Felina berkata sambil
menutupkan tirai di bilik ini, dan belum sempat aku dan Viany
menjawab, Felina sudah melepas semua pakaiannya di hadapan kami
berdua ini begitu saja.
Felina dan aku sama sama menginjak usia yang ke 17 di akhir tahun
lalu, ulang tahun kami terpaut hanya dua hari saja. Saat ini aku tak
bisa mengalihkan pandangan mataku dari Felina yang dengan cueknya
berganti baju di hadapanku dan Viany, dan Felina sama sekali tak
terlihat canggung.
Felina memiliki pembawaan yang kalem. Dan sama seperti Viany,
Felina ini memiliki kulit yang begitu putih. Ia memiliki rambut yang
panjang sampai ke siku tangannya. Rambut itu berwarna hitam dengan
sedikit highlight, membuat Felina tampak semakin cantik jelita. Kedua
payudara Felina itu yang tertutup bra berwarna putih susu itu mungkin
lebih besar sedikit dari milikku ini.
Ketika aku mulai mengira ngira tentang merk dari bra yang
dikenakan Felina, aku baru sadar kalau aku terlalu memperhatikan
Felina. Maka aku terpaksa mengalihkan pandanganku kepada Viany
dengan wajah yang terasa panas. Viany sendiri hanya tersenyum
manis padaku, dan ia malah menyandarkan kepalanya pada pundakku.
"Vian... nanti malam aku disuruh nungguin dulu. Kalau kamu?"
tanya Felina pada Viany dengan suara pelan.
"Aku disuruh minggu depan, Fel. Nanti malam sih nggak," jawab
Viany yang lalu balik bertanya pada Felina dengan suara yang sama
pelannya, "Kamu sendiri, minggu depan gimana?"
"Nggak tau deh Vian," jawab Felina dengan nada pasrah. "Aku
mesti liat nanti, maunya si Agil itu gimana. Kalau nanti aku disuruh
ikut lagi untuk minggu depan, ya mau gimana lagi...?"
Aku mendengar semua itu, dan aku merasa heran.
"Eh, kalian ini kok mau nurutin orang itu begitu aja?" aku bertanya
ingin tahu. "Memangnya dia bisa apa kalau kalian nggak perduli dan
pulang aja?"
"Yah, kamu nggak tau ya Liz?" keluh Viany. "Bajingan itu, pertama
kali abis gituin aku, pulangnya dia maksain aku menulis kata kata
'MILIK VIANY - UNTUK AGIL' pakai spidol hitam di bagian belakang
celana dalamku itu, sekalian dengan tanda tanganku juga. Terus,
celana dalamku itu disimpan sama pak Agil."
"Nggak cuma punya Viany saja, celana dalamku juga dia rampas
Liz," timpal Felina selagi Viany menghela nafas. "Dan aku juga disuruh
menulis namaku di sana seperti Viany."
"Yang bikin aku nggak bisa apa apa Liz, pak Agil itu sudah
mencatat alamat rumahku. Kalau aku nggak nurutin kemauannya, aku
takut celana dalamku..." Viany tak meneruskan kata katanya.
Aku sudah mengerti lanjutan cerita Viany, yaitu celana dalam itu
diantar ke rumah. Tubuhku jadi sedikit menggigil mendengar cerita
mereka ini. Ngeri rasanya membayangkan kalau aku harus tunduk pada
pak Agil itu karena celana dalamku dijadikan sebagai sandera. Aku jadi
teringat bagaimana dulu pak Agil mengancamku untuk tinggal di kamar
ganti ini sepulang les balet setelah merampas celana dalamku.
Diam diam aku merasa lega, karena aku bisa meminta kembali
celana dalamku yang sempat dirampas pak Agil. Kalau tidak, sejak saat
itu aku pasti sudah mengalami nasib yang sama dengan teman
temanku ini. Tapi tentu saja aku berusaha menyembunyikan
perasaanku yang terakhir ini dari mereka berdua.
"Udah dulu ah," tiba tiba Viany berdiri. "Kalau kita terus cerita
cerita di dalam sini, nanti malah nggak jadi balet deh. Yuk, udah
waktunya ke ruang latihan nih!"
Maka kami bertiga merapikan letak tas dan sepatu milik kami
masing masing sebelum keluar dari bilik ini. Entah dengan mereka
berdua, yang jelas semua cerita Viany dan Felina itu terus terbayang
dalam pikiranku, dan membuat perasaanku sekarang ini menjadi
sedikit kacau.
-x-
VIII
Nuansa Erotis Di Perjalanan Pulang
Latihan balet hari ini berjalan seperti biasa. Dan hari ini tidak ada
gerakan baru, kami hanya disuruh menyempurnakan gerakan terakhir
yang kami pelajari dari Cie Elvira. Dengan diselingi istirahat beberapa
kali, tanpa terasa aku dan sebelas teman les baletku yang lain ini
sudah berlatih selama satu jam hingga tiba saatnya bagi kami semua
untuk pulang.
Tapi mungkin tidak bagi Felina. Aku kembali teringat tentang
rahasia lain di sekolah baletku ini. Aku tak menyangka, hanya dengan
merampas celana dalam Viany, Felina, Mei Ling dan Siska, pak Agil
dengan otak cabulnya itu mampu menciptakan mimpi buruk yang
mengerikan hingga keempat temanku tak bisa berbuat apa apa selain
menuruti semua keinginan pak Agil.
Kenyataan bahwa penjual batagor di depan itu yang entah sejak
kapan juga ikut ikutan menikmati tubuh teman temanku, apalagi
ditambah dengan cerita Viany tentang tukang parkir yang tak tahu diri
itu dan juga pengemis yang bertangan buntung tadi, semua itu sudah
lebih dari cukup untuk membuatku takut berlama lama di sekolah
baletku ini. Selain itu, aku memang harus segera pulang untuk
membantu Cie Natalia dalam urusan servis piano di rumah nanti.
Maka ketika aku berada di ruang ganti, aku tidak berganti baju,
hanya mengganti sepatu baletku dengan sepatu biasa. Aku bermaksud
langsung pulang, dan tidak seperti sore tadi, aku tak perlu risih
walaupun mengendarai mobil dengan mengenakan kostum balet,
karena toh tak akan ada yang bisa melihat jelas ke dalam mobilku
dalam gelapnya malam.
"Vian, Felina, aku pulang dulu ya," aku berpamitan pada kedua
temanku ini.
"Iya Liz," kata Viany sambil tersenyum manis, sementara Felina
hanya menganggukkan kepalanya walaupun ia juga tersenyum padaku.
Aku segera keluar menuju mobilku. Saat membayar uang parkir, aku
membuka kaca jendela mobilku seperti biasa dan menyerahkan
selembar uang seribuan, lalu aku memasang wajah tersenyum ketika
pak Rizal mengucap terima kasih sebelum aku melajukan mobilku.
Memang aku berusaha bersikap sewajarnya di hadapan pak Rizal,
walaupun aku sudah tahu tentang perbuatan bejatnya itu pada Viany
dan yang lainnya, supaya tukang parkir itu tidak curiga yang macam
macam padaku.
Tiba tiba aku teringat kalau tadi Cie Elvira menyuruhku untuk
langsung pulang. Itu berarti malam ini Cie Elvira akan pulang telat.
Aku mengerti bahwa setiap kali Cie Elvira pulang telat seperti ini,
berarti Cie Elvira baru bertengkar dengan mama mertuanya itu. Dan
masalahnya adalah selalu sama, yaitu tentang kapan Cie Elvira akan
mempunyai anak. Setiap kali hal itu terjadi, Cie Elvira selalu
melampiaskan kekesalannya, dengan cara yang aku tahu sebenarnya
juga menyakiti dirinya sendiri itu.
Tapi kalau Felina juga disuruh pak Agil untuk tinggal dulu,
bukankah itu berarti Felina akan bertemu dengan Cie Elvira? Kalau
benar seperti apa yang dikatakan Viany bahwa Cie Elvira tak tahu apa
apa tentang mereka, apa yang akan dilakukan Cie Elvira kalau melihat
Felina nanti? Apakah Cie Elvira mau dan bisa menyelamatkan Felina?
Sadar kalau aku masih menyetir mobil, aku memutuskan untuk lebih
memperhatikan jalan raya yang hari ini bisa dibilang cukup lancar.
Hampir sepuluh menit berlalu saat aku terhenti di sebuah traffic
light. Sekitar satu menit kemudian, lampu merah itu sudah berubah
menjadi lampu hijau. Dan aku baru mulai melajukan mobilku ketika
dering ringtone ponselku sedikit mengejutkanku.
Tak ingin mendapat marah dari pengemudi mobil di belakangku
seperti kemarin, aku memilih untuk menepikan mobilku.
"Hai Liz," kudengar suara Viany yang riang itu dari ponselku.
"Hai Vian, kamu udah pulang?" aku balas menyapa sekaligus
bertanya pada Viany.
"Udah Liz. Tadi aku cuma sebentar menemani Felina, soalnya dia
suruh aku cepetan pulang. Aku pikir memang sebaiknya begitu sih.
Tapi abis bayar parkir, aku pura pura pulang, padahal aku muterin
sekolah balet, terus ini aku berhenti di seberang sini, agak jauh," kata
Viany.
"Terus, gimana Vian?" aku bertanya ingin tahu.
Sebetulnya tadi itu aku jadi sedikit heran, tapi sesaat berikutnya
aku merasa bisa mengira apa maunya Viany. Dan rasanya dengan
bertanya seperti tadi, aku pikir Viany akan merasa tidak canggung lagi
untuk terus bercerita padaku.
Dan memang Viany langsung melanjutkan ceritanya. Setelah Viany
sempat menunggu sekitar lima menit, ternyata bukan Cie Elvira yang
pukang, melainkan Felina. Seperti dugaanku tadi, malam ini Cie Elvira
memang pulang telat. Dan bukan hanya Cie Elvira saja, Vera juga ikut
ikutan pulang telat.
"Felina nggak jadi nunggu pak Agil, soalnya Cie Elvira pulang telat
Liz. Aku pernah diceritain Mei Ling, kalau Cie Elvira pulang telat, Mei
Ling bisa langsung pulang, soalnya pak Agil nggak berani berbuat
macam macam kalau ada Cie Elvira," kata Viany.
"Ow," aku baru mengerti ternyata pak Agil itu kucing kucingan
dengan Cie Elvira, dan hanya berani menyusahkan teman temanku itu
kalau Cie Elvira pulang cepat.
"Nah, tukang parkir sialan itu udah masuk. Liz, udahan dulu ya,"
Viany berpamitan padaku. "Tadi aku juga nunggu dia masuk, soalnya
aku takut dia bisa ngenalin mobilku, terus minggu depan dia tanya
tanya sama aku yang nggak nggak lagi."
"Oh iya deh. Hati hati di jalan ya Vian," kataku menutup
pembicaraan kami ini.
"Iya. Kamu juga ya Liz. Daaah..." kata Viany dengan nada yang ceria
seperti biasanya.
Aku tersenyum geli mendengar suara temanku ini. Entah siapa yang
lebih ceria antara Viany dan Jenny, tapi yang pasti bagiku sikap
mereka berdua itu sama sama jenaka. Dan aku sudah hampir menekan
tombol end call di ponselku ketika aku mendengar suara Viany yang
memanggil manggil.
"Iyaa... ada apa Vian?" aku bertanya sambil menahan geli karena
suara Viany yang panik itu terdengar lucu sekali.
"Liz... itu... aku ngeliat pengemis itu! Yang tangannya buntung itu!
Aku nggak berani jalanin mobil dulu Liz," kata Viany.
"Hah? Vian, kamu cepetan kunci pintu mobilmu dulu! Terus dia di
mana? Kamu nggak apa apa kan Vian?" kini ganti aku yang panik.
"Tenang deh Liz, enggak apa apa kok. Pintu mobilku sih sudah
terkunci dari tadi Liz. Dan... orang itu jauh kok dari sini, dia itu ada di
depan sekolah balet. Duh... makasih ya Liz, kamu itu memang baik deh,
masih sempat sempatnya mikirin aku," kata Viany dengan nada manja.
"Yee... aku kan ngeri kalau mbayangin kamu diapa apain sama
pengemis itu Vian," aku memprotes.
"Iyaa. Makanya itu, berarti kamu care sama aku kan?" Viany terus
menggodaku.
"Aku... duh iya deh. Terus, orang itu ngapain Vian?" aku tak tahu
harus berkata apa, tapi aku pikir sebaiknya aku mengalihkan
pembicaraan kami kembali ke pengemis yang bertangan buntung itu
sebelum Viany kembali menggodaku.
"Pengemis itu? Tuh, dia masih pura pura minta minta di depan
sekolah balet. Bentar lagi pasti dia pergi lewat sebelah kiri, dan... oh
iya... aku belum bilangin kamu ya Liz. Selain pak Agil, teman temannya
yang lain itu masuk ke dalam sekolah balet lewat jendela di kamar
mandi itu Liz," jawab Viany.
"Aduh..." aku hanya bisa mengguman sambil berpikir, mungkinkah
semua ini dimulai saat mereka mendengar lenguhan Cie Elvira yang
sedang digagahi oleh pak Agil di dalam kamar mandi? Atau jangan
jangan pak Agil sendiri yang memang merencanakan itu semua? Dan
sejak kapan Cie Elvira harus merelakan tubuhnya dinikmati oleh para
lelaki bejat itu?
Membayangkan bagaimana Cie Elvira harus rela melayani pengemis
buntung yang berwajah tak karuan itu, tiba tiba gairahku bergolak dan
jantungku berdegup kencang. Apa yang kira kira dirasakan Cie Elvira
saat pengemis buntung itu menjarah tubuhnya? Bagaimana ya rasanya
saat bagian yang buntung dari tangan pengemis itu menyentuh
tubuhku?
Tubuhku?
Mengapa jadi tubuhku?
Aku memejamkan mataku, tapi tangan buntung itu tak juga
berhenti, malahan mulai menyentuh dan meraba raba beberapa bagian
tubuhku yang lain. Getaran halus mulai menjalari tubuhku saat ujung
tangan yang buntung itu terus menyusuri seluruh kulit tubuhku.
"Liz...? Lizaa...?" tiba tiba suara Viany yang memanggil manggil aku
dari ponselku membuyarkan lamunan erotisku ini.
"I... iya Vian...?" aku cepat menjawab panggilan Viany.
"Iih... kamu ini. Ngelamun siapa sih kok aku dicuekin dari tadi? Aku
pamit pulang Liiiiz..." Viany mengomel sambil pamit pulang lagi
padaku.
"Duh... sorry ya Vian... iya deh, hati hati di jalan ya," kataku sambil
berharap Viany segera menutup telepon ini sebelum aku mulai
melantur.
"Iya... kamu juga ya Liz. Daah..." kata Viany dan sekali ini
pembicaraan kami lewat telepon ini benar benar berakhir.
Perlahan aku memejamkan mataku kembali, dan aku melihat ujung
tangan buntung itu ternyata masih berada di sini, menggerayangi
tubuhku dengan nakalnya. Tubuhku mulai menggigil diterpa rasa ngeri
yang bercampur gairah ketika aku merasakan tekanan dari ujung
tangan buntung itu pada salah satu puting payudaraku, sementara
remasan lembut pada payudaraku yang satunya lagi ini membuatku
makin tak berdaya dan menyerah terhadap semua rangsangan yang
mendera tubuhku ini.
Tapi selagi aku menikmati semua itu, kerasnya suara deru mesin
mobil yang lewat sedikit mengejutkanku. Ditambah dengan sekelebat
sinar lampu yang sempat menerpa wajahku ini, membuatku perlahan
membuka mataku. Sekarang tangan buntung itu menghilang, dan kini
yang nampak di mataku adalah kedua tanganku yang dengan nakalnya
menggoda kedua payudaraku sendiri.
"Mmmh..." aku merintih kecewa dan menurunkan kedua tanganku
ini.
Gairahku masih begini tinggi, namun aku tak tahu harus berbuat
apa. Aku berusaha mengatur nafasku yang tak beraturan, namun
rasanya semuanya menjadi semakin sulit ketika entah kenapa aku jadi
teringat akan Cie Elvira.
Akibatnya saat ini pikiranku malah dipenuhi dengan bayangan
tentang berbagai kemungkinan adegan seks yang saat ini terjadi antara
Cie Elvira dan para pejantan itu. Namun aku tak berani memejamkan
mataku, karena aku tahu bayangan tangan yang buntung itu akan
datang kembali untuk menyeretku dalam lamunan erotis seperti tadi.
Semua itu membuat aku menjadi bingung, karena aku tak tahu apa
yang harus kuperbuat selagi aku terus diamuk gairahku yang semakin
menjadi ini.
Oh, kalau saja saat ini ada Wawan di sampingku, ia tak mungkin
tega membiarkan nona majikannya menderita seperti sekarang ini.
Penisnya yang amat keras itu pasti sudah menusuk dan mengaduk
habis liang vaginaku ini, untuk membuatku tenggelam dalam lautan
orgasme.
"Ngghh..." aku melenguh lemah ketika aku merasakan tekanan
beberapa jari tangan pada bibir vaginaku yang masih terlindung celana
dalam dan juga kostum baletku ini.
Ketika aku menundukkan kepalaku untuk melihat apa yang terjadi,
aku hanya bisa pasrah melihat jari jari tanganku yang terus menari dan
menekan selangkanganku.
Perlahan rasa panas mulai menjalari seluruh tubuhku. Berikutnya
aku harus memejamkan mataku dan mendongakkan kepalaku hingga
tersandar di sandaran kepala jok mobilku saat aku harus menahan
nikmat. Sebuah jari tanganku itu berhasil menusuk selangkanganku
hingga sedikit tenggelam dalam liang vaginaku bersama celana dalam
dan kostum baletku.
"Waan... mmmhh..." aku menggeliat lemah dan merintih.
Nafasku mulai memburu, tubuhku terus bergetar dan sesekali
menggeliat ketika aku merasakan sebuah jariku yang lain juga ikut
melesak masuk menemani jariku yang satunya. Tak ada yang bisa
kulakukan untuk menghentikan kenakalan kedua jari tanganku itu. Saat
ini, tubuhku ini seperti bukan milikku lagi, bahkan aku hanya bisa
memandang heran saat tanganku yang satunya bergerak sendiri,
meraih ponselku yang tergeletak di jok kiri depan mobilku ini, entah
apa yang sedang diperbuat oleh tanganku ini.
"Halo...?" tiba tiba aku mendengar suara yang cukup kukenal.
"Halo...?" suara itu kembali memanggilku, dan berikutnya aku sadar
kalau itu adalah suara Sulikah, pembantu di rumahku.
Hah? Aku melihat ponselku, dan aku kembali terkejut. Mengapa aku
menelepon rumahku sendiri selagi aku dalam keadaan terbakar gairah
seperti ini?
Aku diam tak berani menjawab, bahkan aku menahan nafasku
karena rasa nikmat pada liang vaginaku yang masih sedikit tertusuk
oleh kedua jari tanganku ini membuatku ingin melenguh.
Dan tiba tiba wajahku terasa panas. Apakah tadi itu aku sudah
sebegitu inginnya untuk ngeseks, hingga di luar kesadaranku aku
sampai menelepon rumah dan mencari Wawan? Memang selama ini
Wawan adalah pejantanku yang paling mampu membuatku menjerit
keenakan sewaktu aku harus ngeseks. Dan aku tahu kalau sekarang ini
Wawan benar benar berada di sini, mungkin aku sudah memohonnya
untuk menggagahiku, menyetubuhiku sampai aku orgasme sejadi
jadinya.
Duh, mengapa aku sampai jadi seperti ini?
Lalu, bagaimana dengan ponselku ini? Kumatikan, atau kujawab?
Tapi kalau kujawab, apa yang harus kukatakan atau kutanyakan pada
Sulikah?
Setelah sempat meragu beberapa saat, akhirnya aku menggerakan
jari tanganku, memilih untuk menekan tombol end call di ponselku.
Aku menarik nafas panjang, perlahan kesadaranku mulai pulih, dan
akhirnya aku berhasil juga menghentikan kenakalan jari tangan dari
tanganku yang satunya ini.
Aku masih mengatur nafasku yang tak karuan ini sambil berusaha
untuk menekan gairahku, saat aku hampir menjerit kaget karena ponsel
yang masih kupegang ini berbunyi dan bergetar. Dari nadanya sih itu
adalah sms masuk, dan aku cepat cepat membacanya.
'Eliza, Cie Cie berangkat sekarang. Kamu udah pulang kan? Cie Cie
udah taruh amplop untuk ongkos servis di atas piano, tolong ya
sayang... Sorry ya jadi ngerepotin kamu, thanks ^^'.
Aku cepat membalas sms itu, mengabarkan pada Cie Natalia kalau
aku memang dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Mungkin aku akan
terlambat sedikit, tapi aku tak memberitahu Cie Natalia tentang
kemungkinan ini, supaya ia tidak merasa kuatir, toh tukang servis
piano itu sendiri juga belum tentu tepat waktu.
Lalu aku segera melajukan mobilku. Radio di mobil ini kunyalakan
dengan harapan bisa membantuku untuk mengalihkan pikiranku dari
semua bayangan yang menyiksaku sejak mendengarkan semua cerita
Viany tadi. Pasti akan tidak lucu kalau aku harus menyetir pulang ke
rumah Cie Natalia dalam keadaan terbakar gairah.
-x-
VIII
Tukang Servis Piano Itu Buta
Harapan tinggal harapan, entah kenapa aku tak berhasil
mengalihkan pikiranku dari bayangan tangan buntung itu. Hal itu
sungguh amat menyiksaku, terutama setiap kali aku harus
menghentikan mobilku kalau lampu merah pada traffic light menyala. Di
saat seperti itu, aku bahkan beberapa kali menggigit bibir sambil
memejamkan mataku, menikmati kenakalan ujung tangan buntung yang
terus merayapi seluruh tubuhku dan sesekali bahkan menggoda bibir
vaginaku.
Tapi lamunan erotis itu tak bisa kunikmati sepenuhnya, karena aku
kuatir kalau kalau nyala lampu merah pada traffic light sudah berganti
lampu hijau. Aku tak ingin kendaraan di belakangku sampai
membunyikan klakson kalau kalau aku tidak segera menjalankan
mobilku. Tampaknya hal itu masih cukup untuk mencegahku terseret
lebih jauh dalam lamunanku ini.
Akhirnya aku sampai di depan rumah Cie Natalia dengan selamat,
walaupun di sepanjang perjalanan pulang ini aku harus menyetir dalam
keadaan terbakar gairah. Kebetulan aku melihat seorang bapak yang
baru saja masuk dari pintu gerbang rumah Cie Natalia. Dan mbak Lastri
yang melihat kedatanganku, langsung melebarkan pintu gerbang yang
sudah terbuka sedikit itu.
Maka aku terus melajukan mobilku ke dalam garasi dan sempat
melewati bapak itu. Sekilas aku melihat ia mengenakan baju batik dan
celana panjang berwarna coklat. Ia juga membawa sebuah tas
berwarna putih yang tergantung di pundak kanannya. Tas itu terlihat
sudah agak lusuh dan kumal.
Aku sudah cukup yakin kalau bapak itulah yang akan memperbaiki
piano Cie Natalia, dan aku merasa lega karena ini berarti aku belum
terlambat pulang. Tapi ketika aku sudah memarkir mobilku di dalam
garasi ini dengan rapi, bayangan tangan buntung itu sempat kembali
melayang layang dalam pikiranku.
Hal itu membuatku menggigit bibirku, perlahan kedua mataku
meredup, sementara nafasku kembali memburu. Tanpa kusuruh, jari
tanganku ini bergerak sendiri meraba bibir vaginaku yang masih
terlindung celana dalam dan kostum baletku ini. Oh, bagaimana ya
rasanya kalau ujung tangan buntung itu benar benar menusuk masuk
ke dalam sini?
Tapi aku sadar kalau sebentar lagi aku harus berbicara pada bapak
tukang servis piano itu. Maka aku berusaha untuk menekan gairahku
dengan sebisaku, agar nanti aku tak berbuat sesuatu yang mungkin
akan mempermalukan diriku sendiri.
Dan tiba tiba aku teringat sesuatu yang membuatku sedikit terkejut
dan menyesal. Seharusnya sebelum pulang tadi, aku memakai baju
gantiku yang tadi. Kalau begini kan aku harus menemui bapak itu
dalam keadaan masih mengenakan kostum baletku seperti ini?
Bagaimana kalau penampilanku sekarang ini membuat gairah bapak itu
terbakar, lalu ia berbuat yang tidak tidak padaku?
Tapi bapak itu sudah berada di sini, dan sekarang ini tak ada
pilihan lain untukku. Maka aku terpaksa memberanikan diri untuk turun
dari mobilku.
"Malam pak. Bapak ini siapa ya?" aku langsung bertanya padanya
setelah menutup pintu mobilku.
"Malam non," jawab orang itu dengan sopan. "Nama bapak Sigit,
tukang servis piano panggilan. Bapak yang menyetel piano di sini
sejak tahun sembilan-puluhan."
"Ow gitu. Kalau gitu mari pak, ikut saya ke ruangan piano," aku
mengajak pak Sigit sambil melangkah ke dalam.
"Eh... non, tolong pelan pelan," kata tukang servis piano itu. "Bapak
ini nggak bisa melihat."
Kata kata itu membuatku terkesiap dan aku menghentikan
langkahku. Aku mulai memperhatikan keadaan pak Sigit, dan aku baru
sadar kalau ia mengenakan kaca mata hitam dan tangan kanannya
memegang sebatang tongkat penunjuk jalan. Keadaannya itu
membuatku merasa iba, tapi diam diam aku juga merasa lega, karena
itu berarti aku tak perlu kuatir lekuk tubuhku yang pastinya tercetak
jelas pada kostum baletku ini terlihat oleh pak Sigit.
"Maaf ya pak, saya nggak tau," aku berkata sambil mendekati pak
Sigit dan memegang tangan kirinya yang menganggur. "Mari pak, saya
bantuin ke dalam."
"Terima kasih ya non. Boleh bapak tau siapa ya nama non yang
baik hati ini?" tanya pak Sigit.
"Aduh, nggak segitunya kali pak. Boleh aja kok, nama saya Eliza,"
jawabku dengan sedikit senang mendengar pujian pak Sigit tadi.
Setelah kami sampai di dalam ruang piano, aku menyalakan lampu
ruangan ini dan terus membimbing pak Sigit sampai ke dekat piano
yang berada di tengah tengah ruangan ini, dan sebuah amplop putih
yang ada di atas piano seperti kata Cie Natalia di dalam SMS tadi. Aku
sempat memperhatikan piano milik Cie Natalia itu, sebuah piano dari
merk terkenal, dan masih terlihat mengkilat seperti baru.
"Ini pianonya, pak," kataku sambil membimbing dan meletakkan
tangan pak Sigit di atas piano.
"Terima kasih non Eliza," kata pak Sigit.
"Pak Sigit mau minum apa?" tanyaku sambil mengambil dan
memasukkan amplop itu ke dalam tasku, dan aku juga menyalakan AC
ruangan ini dari remote yang juga ditaruh di atas kap piano ini.
"Apa saja non, pokoknya yang dingin dingin," jawab pak Sigit.
"Kalau gitu saya ambilkan dulu pak," kataku dan aku segera menuju
ke dapur.
Ternyata di sana mbak Lastri memang sedang menyiapkan sebuah
baki dengan dua gelas sirup yang dingin. Dengan senang aku
mengucapkan terima kasih sekaligus menawarkan diri untuk
membawakan baki minuman itu, namun mbak Lastri tidak mengijinkan.
Setelah beberapa kali aku memaksa, barulah mbak Lastri mengiyakan.
Lalu aku langsung kembali ke dalam ruang piano tadi.
Saat aku kembali, ternyata pak Sigit sedang sibuk menekan nekan
tuts piano. Sepertinya ia sedang berkonsentrasi mendengarkan apakah
ada yang salah pada nada yang dihasilkan oleh setiap tuts piano yang
ditekannya. Aku sempat melihat dan memperhatikan, dari deretan tuts
yang ditekan bergantian secara berurutan, memang kurasakan ada
beberapa nada yang sumbang.
Diam diam aku jadi penasaran, apakah orang buta seperti pak Sigit
ini benar benar bisa memperbaiki piano Cie Natalia?
Aku tak ingin menggangu pekerjaan pak Sigit, maka aku memilih
untuk menunggu sampai ia selesai dahulu, baru aku akan menawarkan
minuman ini padanya. Dengan perlahan aku menaruh baki minuman
yang kubawa pada meja kecil di ujung ruangan ini, dan tasku juga
kuletakkan di sebelahnya.
Melihat sofa yang indah di samping meja itu, aku merasa senang.
Berarti aku bisa bersantai di sana selagi menunggu selesainya servis
piano ini. Lalu aku berjongkok di depan meja ini dan mengambil
ponselku yang berada di dalam tasku untuk menemaniku selama
menunggu pak Sigit selesai bekerja.
Tepat pada saat tanganku menyentuh ponselku, bunyi dering
ringtone ponselku yang cukup keras sekaligus getarannya membuatku
sangat terkejut hingga secara reflek aku menarik tanganku yang masih
berada di dalam tasku ini. Akibatnya tasku ikut tertarik dan
menyenggol salah satu gelas minuman yang ada di atas baki ini.
Beruntung aku masih cukup cepat menggerakkan tanganku yang
kiri dan berhasil menahan gelas minuman itu hingga tidak sampai
jatuh dan pecah, tetapi cukup banyak tumpahan air minuman dingin
dari gelas itu yang mengguyur baju balet yang kukenakan ini, hingga
bagian depan dari baju baletku ini basah kuyup. Bahkan aku merasa
bagian depan celana dalamku juga basah terkena tumpahan ini.
Aku mengeluh perlahan sambil menggigit bibirku, menahan rasa
dingin dari air minuman yang membasahi baju baletku ini. Aku tahu
bahwa sebaiknya aku cepat berganti baju kalau aku tak ingin
mendapat sakit flu, apalagi sebentar lagi AC di ruangan ini akan
membuat hawa semakin dingin.
Sayangnya itu berarti aku harus mandi dahulu kalau aku tidak mau
baju gantiku juga kotor dan lengket dengan air sirup. Dan itu juga
berarti aku harus meninggalkan pak Sigit yang sedang memperbaiki
piano itu untuk sekitar lima belas sampai dua puluh menit, padahal
aku sudah berjanji pada Cie Natalia untuk membantunya menunggui
tukang servis piano.
Maka dengan sedikit kesal aku terpaksa berusaha mengeringkan
baju baletku ini untuk sementara, dan aku mengambil sebungkus
tissue yang masih utuh dari dalam tasku. Namun tiba tiba saja
terlintas sesuatu hal di pikiranku yang menurutku adalah sebuah ide
yang bagus, yaitu baju baletku plus bra yang sudah basah kuyup ini
sebaiknya kulepas, dan kulit tubuhku yang basah kuseka pakai tissue
ini hingga kering, lalu aku bisa memakai baju gantiku yang ada di
dalam tasku ini, tanpa bra juga tidak apa apa. Tak ada yang perlu
kukuatirkan tentang pak Sigit, toh ia buta dan tak akan dapat
melihatku.
Tapi tepat sebelum aku melepas bagian atas baju baletku, terlintas
satu hal lain yang membuat jantungku hampir berhenti berdetak dan
tenggorokanku serasa tercekat. Bagaimana kalau aku terlanjur berganti
baju di sini begitu saja, lalu ternyata pak Sigit itu sama sekali tidak
buta? Bukankah itu berarti aku seperti melakukan striptease di
hadapannya?
Memikirkan itu semua aku jadi ragu ragu untuk meneruskan niatku
berganti baju di sini. Aku berpikir cepat, dan aku memutuskan untuk
lebih baik bertanya pada Cie Natalia terlebih dulu. Maka aku
mengambil ponselku dan bertanya lewat SMS pada Cie Natalia,
tentang apakah ia tahu kalau pak Sigit memang buta.
Dengan harap harap cemas aku menunggu jawaban Cie Natalia.
Semoga suasana di pesta ultah teman Cie Natalia itu tidak terlalu
hingar bingar sehingga Cie Natalia masih bisa mendengar dering
ringtone SMS masuk dari ponselnya dan menjawab pertanyaanku tadi
secepatnya, karena aku sudah mulai tersiksa dengan rasa dingin.
"Non Eliza," tiba tiba pak Sigit memanggilku setelah ia berhenti
menekan nekan tuts piano. "Bapak bisa minta tolong non untuk
bantuin bapak?"
"Saya? Bantuin gimana ya pak?" tanyaku dengan ragu.
"Non Eliza cuma perlu menekan tuts tuts ini kalau bapak minta,
mulai dari yang paling kanan. Nanti non ganti ke tuts di sebelah
kirinya setiap bapak bilang selesai. Bapak sendiri akan menyetel senar
piano ini dari belakang," jawab pak Sigit.
"Mmm... sepertinya bisa sih. Saya coba bantuin ya pak," kataku dan
aku segera beranjak ke arah piano sambil membawa ponselku, juga
sebungkus tissue yang nantinya mungkin akan kuperlukan.
Karena aku pikir bunyi dering ringtone ponselku mungkin bisa
mengganggu kerjanya pak Sigit, aku memutuskan untuk mengubah
profile di ponselku ke mode silent.
"Oh iya, saya hampir lupa. Apa bapak mau saya ambilkan minum
dulu?" aku menawarkan minuman yang masih ada satu gelas itu pada
pak Sigit.
"Terima kasih non, tapi nanti saja, bapak belum haus," tolak pak
Sigit. "Oh iya, sepertinya tadi itu ada gelas yang hampir jatuh, dan
juga ada air yang tumpah. Kalau dari bau sirup yang bapak cium
sekarang ini, sepertinya baju yang non Eliza pakai ini ketumpahan air
minuman. Mungkin non ingin ganti baju dulu sebelum balik ke sini dan
bantuin bapak?"
Aku terkejut mendengar kata kata pak Sigit itu dan hal ini makin
membuatku curiga kalau sebenarnya ia hanya pura pura buta.
"Pak Sigit, maaf saya bertanya seperti ini. Pak Sigit kan nggak bisa
melihat? Gimana caranya bapak sampai bisa tahu kalau baju saya ini
ketumpahan minuman?" tanyaku dengan cepat.
"Buat orang buta seperti bapak ini," jawab pak Sigit sambil
membuka kacamata hitamnya, "bunyi air yang tumpah ke kain tadi itu
terdengar jelas. Dan waktu non Eliza berdiri di dekat sini, bapak
mencium harumnya bau sirup. Jadi bapak tahu air minuman yang non
bawa tadi itu tumpah di bajunya non."
Sekarang aku bisa melihat mata pak Sigit yang sejak tadi tertutup
kacamata hitam. Diam diam aku bergidik ngeri karena bola mata itu
terus bergerak tak menentu. Dan melihat bagian yang harusnya
berwarna hitam dari mata pak Sigit itu ternyata berwarna kelabu dan
sedikit pudar, aku mulai yakin kalau ia memang buta.
"Wah, kalau gitu pendengaran pak Sigit tajam sekali yah," aku
memuji dengan kagum sebelum aku menjawab pertanyaan pak Sigit
yang tadi. "Oh iya pak Sigit, ini tumpahannya cuma sedikit kok, jadi
saya nggak perlu ganti baju sih."
"Kalau begitu bapak mulai sekarang saja ya non?" kata pak Sigit
yang sudah berdiri sambil membawa tasnya.
"Iya pak," jawabku singkat dan aku duduk di kursi piano yang baru
ditinggalkan pak Sigit ini.
Sebenarnya aku ingin mengganti bajuku, tapi aku sedikit berbohong
pada pak Sigit karena rasanya tak enak juga kalau aku sampai
membuat pak Sigit menunggu. Jadi aku berpikir soal ganti baju ini
kulakukan nanti saja sekalian setelah urusan servis piano ini selesai.
Lagipula, setelah aku yakin pak Sigit memang buta, aku bisa saja
sementara menggunakan kaos yang ada di dalam tasku sebagai baju
gantiku kalau aku mau. Dan tentu saja aku tak mungkin mengatakan
pada pak Sigit kalau aku berniat untuk berganti baju di sini.
Dengan hati hati aku menaruh ponselku di bagian atas piano yang
kapnya sudah terbuka ini, sedangkan bungkusan tissue ini kutaruh di
pinggir kursi piano ini. Pak Sigit sendiri mengeluarkan dua buah alat
dari dalam tasnya yang kumal itu, dan dengan membawa dua alat itu,
ia beranjak menuju ke bagian belakang piano.
Dan sesaat kemudian tangan kananku sudah sibuk menekan tuts
tuts piano ini sesuai permintaan pak Sigit, kadang ia minta aku
menekan dengan biasa, kadang keras. Hampir di setiap jeda sebelum
aku diminta menekan tuts lagi, selalu diselingi dengan suara senar
yang dikencangkan. Kadang aku juga mendengar suara ketukan. Duh,
rumit juga yah ^^"
Setelah proses penyetelan piano ini berlangsung sekitar lima menit,
tiba tiba aku melihat layar ponselku berkedip, dan aku cepat
mengambil ponselku. Ternyata ada SMS yang masuk dari Cie Natalia,
dan aku langsung membacanya.
Ternyata isinya adalah jawaban Cie Natalia untuk pertanyaanku
tadi, yaitu pak Sigit memang buta, dan sekalian Cie Natalia titip salam
untuk pak Sigit. Selain itu Cie Natalia juga ngucapin thanks karena aku
sudah repot repot menggantikannya jagain piano. Aku tersenyum dan
membalas SMS itu.
Namun jawaban Cie Natalia itu mengingatkanku kepada penyebab
aku menanyakan hal itu. Tiba tiba saja aku kembali merasakan
dinginnya AC yang sudah cukup lama menyala ini, dan membuat
tumpahan dari air minuman yang sangat dingin pada baju baletku ini
terasa semakin dingin.
-x-
IX
Deritaku Selama Piano Itu Diservis
Maka aku teringat kembali pada ideku tadi. Jadi, bagaimana ya?
Apakah aku langsung berganti baju di sini saja selagi pak Sigit
menyetel piano ini? Atau sebaiknya aku menunggu sampai servis piano
ini selesai dan pak Sigit pulang?
Kalau aku memilih yang pertama, paling tidak aku mengenakan
pakaian kering dan rasa dingin ini tak akan terus menyiksaku.
Dan kalau aku memilih yang kedua, dengan kondisi tubuhku yang
masih belum pulih sepenuhnya dari kelelahan akibat terlalu sering
orgasme ini, aku mungkin sekali akan terkena sakit flu yang pasti akan
lama sembuhnya, padahal sebentar lagi aku harus menghadapi ujian
kenaikan kelas. Gimana nih?
Setelah beberapa saat aku bimbang di antara dua pilihan ini,
akhirnya aku memutuskan untuk memilih yang pertama. Tapi entah
kenapa walaupun aku tahu pak Sigit itu buta, dan ia bahkan sibuk
dengan bagian dalam piano ini, tetap saja aku merasa jantungku
berdegup kencang saat aku mulai membuka baju baletku ini.
Rasa dingin yang makin menyiksa ini membuatku tak punya pilihan
lain. Setiap kali pak Sigit sibuk menyetel senar, aku melanjutkan
usahaku untuk menarik lepas baju baletku ini, hingga akhirnya tinggal
bra saja yang melekat pada setengah tubuhku bagian atas ini, karena
baju baletku ini sudah jatuh sampai ke pinggangku.
Eh... pak Sigit memang tak akan bisa melihatku dengan kedua
matanya yang buta itu. Tapi tadi itu, ia bisa tahu bajuku ketumpahan
air minuman hanya dengan mendengar saja. Lalu, apakah ia juga bisa
mendengar kalau aku sudah membuka baju baletku yang ketat ini?
Dengan tubuhku yang sudah dalam keadaan setengah telanjang,
memikirkan semua itu membuatku merasa tegang. Bagaimana kalau
pak Sigit ternyata juga bisa mengenali suara terlepasnya baju?
Perlahan aku menggigit bibirku dan tiba tiba aku merasa malu sekali.
Kalau benar seperti dugaanku, bukankah itu berarti aku sama saja
seperti sedang melakukan striptease di hadapannya sekarang ini?
"Tekan lagi non," tiba tiba aku mendengar suara pak Sigit.
"Eh, i... iya pak," aku menjawab di tengah kegugupanku.
Sambil menekan tuts piano yang terakhir kutekan sebelum aku
berhasil melepas bagian atas baju baletku tadi, aku terus memikirkan
situasi sekarang ini. Rasaya suara pak Sigit ketika menyuruhku
menekan tuts piano tadi terdengar wajar wajar saja. Dan proses
penyetelan piano ini terus berlangsung tanpa ada hal yang aneh dari
pak Sigit.
Ah, mungkin aku terlalu curiga yang tidak tidak. Sepertinya aman
saja bagiku untuk berganti baju di sini walaupun ada pak Sigit. Maka
selagi pak Sigit kembali sibuk menyetel senar piano, aku berdiri dari
kursi piano ini dengan perlahan untuk menarik lepas rok baletku, rok
yang sedikit transparan ini. Dan rok ini kutaruh di atas kursi piano.
Masih dalam keadaan berdiri, aku sempat harus menekan tuts piano
lagi sebelum akhirnya aku berhasil melepaskan baju baletku yang lalu
kutaruh di atas rok baletku tadi. Semua itu kulakukan dengan hati hati
dan kuusahakan tanpa suara, dan kini aku hanya tinggal mengenakan
bra, celana dalam dan stocking saja.
Ow, harusnya sekarang ini aku dan tubuhku merupakan
pemandangan indah bagi pak Sigit (duh, narsisnya kumat deh). Dan
entah apa yang akan terjadi padaku kalau saja pak Sigit bisa melihat
aksi striptease yang kulakukan ini. Kalau saja yang berada di
hadapanku sekarang ini adalah Wawan cs, maka tak akan butuh waktu
lama sebelum tubuhku ini diterkam dan dimangsa habis oleh mereka.
Lalu bagaimana dengan pak Sigit yang sedang sibuk menyetel
piano ini? Ah, dia kan juga lelaki, sama seperti ketiga pejantanku itu.
Kalau benar pak Sigit bisa melihat apa yang kulakukan sekarang ini,
servis piano ini akan lebih lama selesainya karena ia pasti lebih
memilih untuk sibuk denganku.
Memikirkan semua itu, aku merasa geli dan menahan senyumku,
namun jantungku tetap berdebar dengan kencang. Bagaimanapun juga,
memikirkan tubuhku yang hanya terbalut pakaian dalam seperti ini di
hadapan seorang lelaki, membuatku sedikit merasa risih bercampur
ngeri.
Tiba tiba rasa dingin yang sempat kulupakan itu kembali lagi,
bahkan kini terasa lebih menusuk, terutama di kulit dada dan perutku
yang sempat tersiram tumpahan air minuman tadi. Sebisanya aku
menyeka bagian tubuhku yang basah ini dengan tissue yang tadi
sempat kubawa sebelum aku membantu pak Sigit.
Setelah menempuh semua kesulitan ini, akhirnya aku berhasil
mengeringkan tubuhku, dan semua tissue yang telah kupakai itu
kutaruh di atas tumpukan kostum baletku. Namun aku justru merasa
lebih kedinginan. Aku baru sadar, penyebabnya adalah AC yang
membuat hawa di ruangan ini menjadi semakin dingin, ditambah
dengan tubuhku yang hanya mengenakan pakaian dalam seperti ini.
"Pak Sigit, tolong berhenti sebentar yah," kataku pada pak Sigit.
"Saya mau m... minum."
Dan aku tersenyum lega karena aku merasa alasanku yang tiba tiba
terpikir ini tepat sekali. Kan tidak mungkin aku mengatakan pada pak
Sigit kalau aku ingin memakai kaosku karena aku baru melepaskan
kostum baletku ini?
"Oh iya iya. Silakan non Eliza," jawab pak Sigit dan ia
menghentikan penyetelan senar yang sedang dilakukannya itu.
"Bapak mau saya ambilkan minum juga?" aku sekalian menawarkan
minuman tadi pada pak Sigit.
"Oh, nanti saja non. Tanggung, ini sudah tinggal 8 senar lagi. Dan
bapak belum haus," lagi lagi pak Sigit menolak.
Aku berpikir sejenak. Delapan tuts, kalau setiap tuts rata rata satu
menit atau lebih, berarti masih sekitar sepuluh menit lagi. Maka aku
tetap memilih untuk memakai kaos gantiku tadi daripada terus
menggigil kedinginan sampai selesainya servis piano nanti.
"Kalau gitu saya minum dulu sebentar ya pak," kataku lagi.
Pak Sigit mengiyakan saja, dan setelah mengambil tumpukan
kostum baletku yang kutaruh di kursi piano ini, aku segera menuju ke
meja tempat dimana tasku sedang duduk manis menungguku. Aku
sempat menoleh ke arah pak Sigit, entah kenapa tiba tiba aku merasa
takut kalau ia mengintipku.
Tapi gara gara itu aku jadi melihat ponselku berkedip, hingga aku
cepat menaruh tumpukan kostum baletku ini di samping tasku, lalu
dengan masih dalam keadaan hampir telanjang bulat seperti ini, aku
melangkah kembali ke piano untuk mengambil ponselku.
Dan ternyata ada sebuah SMS masuk, dari Cie Stefanny? Aku cepat
membuka SMS itu.
'Eliza, sorry ya, besok Cie Cie nggak bisa ngelesin kamu. Soalnya
Cie Cie capek sekali, rasanya perlu istirahat. Tapi hari Kamis nanti,
kamu langsung les dua kali, buat gantiin yang besok. Nggak apa apa
ya sayang? Abisnya kamu juga sih, ngenalin Cie Cie ke Jenny dan
Sherly. Dua anak itu... duh, mereka itu nggak kalah nakal deh sama
kamu.'
Aku memejamkan mataku, mencoba mengatur nafasku yang
memburu akibat membaca SMS dari Cie Stefanny itu. Jenny, Sherly,
kalian apain aja Cie Stefannyku ini sampai kecapekan seperti itu? Dan,
mengapa aku kalian tinggalkan sendiri seperti ini?
Tiba tiba semua adegan mesra antara aku dan Cie Stefanny di
malam hari itu melayang dalam anganku. Juga tentang kegilaan yang
kami lakukan bersama Jenny dan Sherly pada keesokan harinya hingga
ketiga pejantanku itu terkapar lemas.
Akibatnya, nafasku jadi makin memburu. Sekujur tubuhku serasa
bergetar halus dan gairahku naik dengan cepat.
Aku bergidik ngeri karena tiba tiba saja aku menyadari tangan
kananku sudah meraba dan meremasi payudaraku sendiri, walaupun
dengan lembut. Aku membelalakkan kedua mataku sambil menatap ke
arah pak Sigit.
Duh, untung pak Sigit tak bisa melihat apa yang sedang kulakukan
sekarang ini. Tapi ketika aku berusaha menghentikan kenakalan
tanganku, entah kenapa tanganku yang satunya ini seperti tak mau
kalah, dan mulai meraba bibir vaginaku yang serasa makin berdenyut
saja.
Sekuat tenaga aku menahan diriku agar tidak mendesah, apalagi
merintih. Aku benar benar tersiksa karena gairahku makin menjadi,
hingga di dalam hati aku memohon pada kedua tanganku ini untuk
menghentikan kenakalan mereka. Namun keduanya seperti tak mau
mendengar, bahkan seolah malah saling berlomba untuk menggoda
tubuhku. Perlahan tapi pasti, rasa panas mulai menjalari sekujur
tubuhku ini.
"Non Eliza, katanya tadi mau minum?" tiba tiba suara pak Sigit
mengejutkanku, membuat kenakalan kedua tanganku ini terhenti.
"Eh... enggak jadi pak," jawabku dengan tegang, dan tiba tiba saja
aku berubah pikiran. "Rasanya lebih baik sekalian nanti aja, cuma
kurang delapan tuts kan pak?"
"Iya non. Kalau gitu bapak lanjutkan ya?" tanya pak Sigit lagi.
"Iya pak," jawabku sambil kembali duduk di kursi piano dan
menaruh tangan kananku di deretan tuts piano.
Sambil kembali membantu pak Sigit menyetel piano ini, aku
membalas SMS Cie Stefanny tadi. Dengan susah payah aku menuliskan
jawabanku di ponselku ini karena aku harus menekan semua gairahku
akibat kenangan erotis bersama Cie Stefanny yang sempat melayang
dalam anganku tadi.
Aku mengiyakan tentang masalah les yang diundur, jadi hari Kamis
nanti aku akan les dua kali, tapi aku tak mengatakan apa apa tentang
rasa penasaranku akan kegilaan yang dilakukan kedua temanku pada
Cie Stefanny. Aku hanya mengatakan kalau aku udah kangen sama Cie
Stefannyku tersayang ini, dan meminta padanya untuk menjaga diri dan
nggak terlalu capek, jadi nggak sampai sakit.
"Tekan... tekan... ya, selesai," kata pak Sigit mengakhiri servis piano
ini.
Hampir bersamaan dengan itu, aku melihat ponselku berkedip.
Ternyata ada SMS yang masuk dari Cie Stefanny lagi.
"Sama sama, pak," jawabku singkat, sambil membuka SMS itu.
'Thanks ya sayang. Cie Cie juga kangen sama kamu, murid les Cie
Cie yang paling pintar, paling cantik, paling baik, dan paling nakal :p'
Aku tersenyum sambil menggigit bibirku saat membaca SMS Cie
Stefanny itu. Senang sekali rasanya mendapat semua pujian dari Cie
Stefanny itu, dan kata kata paling nakal dalam SMS itu membuatku
tersenyum geli.
Suara denting peralatan milik pak Sigit membuyarkan lamunanku.
Ternyata pak Sigit sedang menyimpan semua peralatannya yang tadi
digunakan untuk menyetel piano ini ke dalam tas yang kumal itu. Hal
itu menyadarkanku bahwa servis piano ini sudah selesai.
"Non Eliza, silakan dicoba pianonya," kata pak Sigit yang sudah
berdiri sambil membawa tasnya.
Hah? Mencoba piano? Sekarang? Dalam keadaan hanya
mengenakan pakaian dalam seperti ini? Tapi apa alasanku untuk
menolak permintaan pak Sigit ini?
"Eh... tapi pak, saya udah lama nggak main piano," aku mencoba
mengelak.
"Ah, non Eliza jangan merendah," kata pak Sigit memaksaku. "Dari
cara non menekan tuts piano tadi, bapak yakin kok kalau non ini
pandai main piano."
"Duh, makasih deh pujiannya pak," jawabku dengan sedikit senang.
"Tapi, apa bapak nggak mau minum dulu?"
Aku masih berusaha mencari kesempatan supaya paling tidak aku
bisa memakai kaos yang ada di dalam tasku itu selagi aku harus
mencoba piano. Rasanya tidak lucu kan kalau aku harus bermain piano
dengan penampilan yang amat sexy seperti ini di hadapan pak Sigit?
"Bapak sih masih belum haus," jawab pak Sigit. "Tapi non Eliza
tadi kan nggak jadi minum ya? Kalau gitu silakan non minum dulu."
"Iya pak. Kalau gitu, saya minum sebentar ya," jawabku cepat
dengan rasa lega.
Tepat pada saat itu, aku sempat memperhatikan ponselku yang
kembali berkedip. Maka tanpa menunggu jawaban pak Sigit, aku segera
beranjak menuju ke arah tasku sambil membawa ponselku ini. Ternyata
ada SMS dari Cie Natalia.
'Eliza, kamu mau nggak ikut Cie Cie karaoke? Daripada kamu
sendirian di rumah, sayang. Kalau kamu mau, Cie Cie bisa jemput
kamu dulu. Servis pianonya udah selesai kan?'
Aku menghela nafas sambil melihat ke arah jam dinding. Rasanya
nggak enak juga kalau aku ikut Cie Natalia pergi. Aku kan nggak kenal
dengan teman teman Cie Natalia? Lagipula, sekarang sudah jam
delapan malam. Kalau mereka baru akan ke karaoke sekarang, lalu jam
berapa mereka baru pulang? Aku tak mau tidur terlalu malam dengan
kondisi tubuhku yang masih didera rasa capek seperti ini.
Memang aku akan sendirian lagi, tapi tentu saja hal itu bukan
merupakan masalah besar bagiku. Maka aku cepat membalas SMS Cie
Natalia ini, memberitahunya kalau servis piano ini mungkin masih agak
lama baru selesai, dan aku sendiri sudah mulai mengantuk, jadi aku
nggak usah dijemput.
Lalu aku meneguk minumanku, dari gelas yang sebagian isinya
sempat tumpah ke baju baletku tadi, hingga membuatku berpenampilan
sexy seperti sekarang ini. Rasa segar melegakan tenggorokanku yang
sempat terasa kering. Sesaat kemudian lagi lagi ponselku berkedip.
'Duh, sorry ya Eliza, kamu jadi sendirian lagi deh. Ya udah, nanti
kalau kamu udah benar benar mengantuk, kamu tidur aja dulu seperti
kemarin. Thanks ya, kamu udah mau repot bantuin Cie Cie. Besok Cie
Cie traktir kamu apa aja yang kamu mau, sayang.'
Membaca SMS Cie Natalia ini, aku menggigit bibirku dan nafasku
kembali tak beraturan. Aku masih ingat sekali tentang kejadian tadi
malam, dan hal itu membuat jantungku berdegup kencang. Dengan
susah payah aku berjuang menahan deru nafasku, karena aku kuatir
kalau pak Sigit mendengar nafasku yang makin memburu ini, lalu ia
jadi bertanya yang macam macam padaku.
Namun semua kejadian tadi malam itu tetap melayang dalam
pikiranku. Lalu, kalau nanti aku tidur lebih awal seperti kemarin,
apakah kejadian tadi malam itu akan terulang kembali?
Membayangkan semua itu, perlahan tapi pasti aku kembali terbakar
oleh gairahku sendiri. Aku memejamkan mataku, kedua tanganku ini
kusilangkan di depan dadaku. Aku tak perduli dengan traktiran yang
dijanjikan oleh Cie Natalia tadi, karena saat ini aku hanya ingin
dipeluk mesra oleh Cie Natalia.
Tapi sentuhan tanganku pada dadaku ini, membuatku makin
tersiksa. Ketika aku merasakan kulit tanganku bergesekan dengan bra
yang masih menutup kedua payudaraku ini, aku sudah tak tahu apa
yang sebaiknya kulakukan untuk meredam gairahku yang serasa
hampir meledak ini.
Di tengah rasa dingin yang cukup menyiksa ini, aku ingin sekali
mendapatkan kehangatan, entah dari Cie Natalia ataupun Cie Yulita
yang mencumbuiku seperti malam tadi. Atau dari Cie Stefanny yang
mau membalas cintaku. Atau dari dua kekasihku itu, Jenny dan Sherly
yang begitu menyayangiku.
Atau mungkin tiga pejantan yang ada di rumahku itu, pak Arifin,
Suwito dan terutama Wawan yang selalu membuat tubuhku menggeliat
keenakan di bawah tindihannya. Atau pak Sigit, yang memelukku dari
belakang sambil meremasi kedua payudaraku ini dengan lembut, saat
aku mencoba piano yang baru diservis olehnya itu.
Eh? Mengapa jadi pak Sigit?
-x-
X
Akibat Dari Air Minum Yang Tumpah
Aku terkejut saat menyadari apa yang sempat kupikirkan tadi
tentang pak Sigit. Perlahan aku membuka mataku, dan aku menemukan
pak Sigit yang saat ini sudah berada di samping piano, dan dengan
sabar menungguku.
Dalam keadaan terbakar gairah seperti ini, aku tak tahu harus
berbuat apa. Aku terus memandang ke arah pak Sigit. Tiba tiba, kedua
kakiku ini bergerak sendiri, melangkah tanpa perintahku, dan aku
hanya pasrah saja ketika kedua kakiku ini mengantar tubuhku yang
setengah telanjang ke hadapan pak Sigit yang masih berdiri diam di
samping piano.
"Pak Sigit... saya sudah selesai minum," aku berkata dengan suara
pelan, dan aku terkejut sendiri menyadari kenekatanku sekarang ini.
"Nah, kalau non Eliza tidak keberatan, coba non mainkan satu atau
dua lagu," kata pak Sigit.
"Mm... saya coba mainkan satu lagu aja ya pak," kataku menawar.
"Nggak apa apa, terserah non mau main berapa lagu. Mari, bapak
ingin dengar," kata pak Sigit.
Dengan sedikit ragu, aku duduk di kursi piano. Setelah sempat
memikirkan beberapa lagu, akhirnya aku memutuskan untuk
memainkan sebuah instrumen lagu yang dulu sering kumainkan ketika
aku masih ikut les piano, yaitu lagu "Ave Maria", yang digubah oleh
Bach dan Gounod, dan dipopulerkan oleh seorang pemain piano
ternama, Richard Clayderman.
Entah apa aku memainkan lagu ini dengan baik, karena aku merasa
tak bisa berkonsentrasi penuh selama jemariku menari di atas tuts
piano. Selain aku terganggu oleh rasa dingin, pak Sigit yang mondar
mandir di belakangku itu membuatku kembali teringat dengan anganku
tadi.
Dan saat ini, ia kan sudah berdiri di belakangku. Lalu, apa yang ia
tunggu? Mengapa ia tak segera memeluk tubuhku yang sesekali
menggigil kedinginan ini, dan kapan ia akan meremasi kedua
payudaraku dengan lembut? Apa ia sama sekali tak tergoda dengan
penampilanku saat ini yang begitu sexy? Apa nanti ia tak akan
menyesali pilihannya untuk melewatkan rejeki yang ada di hadapannya
ini begitu saja?
Aku menggigit bibirku, dan sesekali aku menoleh ke arah pak Sigit
dengan tatapan memohon. Namun aku sadar bahwa ia tak akan
memenuhi harapanku, karena ia memang tak bisa melihat semua ini.
Maka dengan sebersit rasa kecewa, aku memilih berkonsentrasi dengan
permainan pianoku, membiarkan pak Sigit menikmati alunan musik
yang kumainkan ini.
Ternyata suara piano ini memang sudah tidak aneh dan sumbang
seperti tadi. Bahkan dentingannya terdengar jernih. Akhirnya aku
selesai memainkan instrumen lagu ini. Ada sedikit rasa bangga yang
menyusup dalam hatiku karena aku merasa masih bisa bermain piano
dengan baik, padahal aku sudah berhenti les piano sejak lulus SMP
dahulu.
"Benar kan seperti yang saya katakan, non Eliza memang pandai
bermain piano," kata pak Sigit yang sudah berada di samping kananku
ini dengan suara pelan.
"Makasih pak," aku kembali merasa senang mendapat pujian pak
Sigit.
Setelah itu kami berdua diam beberapa saat, sebelum aku teringat
untuk kembali menawarkan minuman, sekalian membayarkan ongkos
servis piano yang sudah dititipkan oleh Cie Natalia tadi.
"Oh iya, mari pak, silakan minum dulu," kataku pada pak Sigit.
"Saya ambilkan ya pak?"
"Iya non, terima kasih," jawab pak Sigit
Aku segera berdiri dan melangkah ke arah meja tadi. Gelas yang isi
minumannya masih utuh itu kuambil untuk kuberikan pada pak Sigit.
Saat itu aku kembali sadar dengan keadaanku. Entah kekacauan seperti
apa yang akan terjadi, kalau misalkan pak Sigit ini tidak buta, dan
melihatku yang dalam keadaan nyaris telanjang ini dengan santainya
menawarkan minuman padanya.
"Aduh," aku nyaris menjerit karena terkejut setengah mati. "Maaf
pak Sigit... saya nggak sengaja."
Entah apa yang tadi sedang kulihat, tiba tiba gelas yang kubawa ini
membentur dada pak Sigit, hingga air minuman itu membasahi
bajunya, bahkan sampai ke celananya. Untung aku memegang gelas
dengan cukup kuat hingga gelas itu tidak sampai terjatuh dan pecah.
Tapi aku kesal sekali, kenapa aku hari ini begitu ceroboh? Masa dalam
satu jam ini saja aku sudah menumpahkan air minum untuk kedua
kalinya?
"Nggak apa apa non. Non sendiri gimana?" tanya pak Sigit.
"Saya... saya nggak apa apa," jawabku dengan sedikit tergagap.
"Maaf pak, saya nggak sengaja. Saya bantu keringkan sedikit ya pak."
"Oh, nggak usah non, nggak apa apa. Cuma gini aja kok," kata pak
Sigit.
"Tapi bajunya pak Sigit jadi basah gini," kataku dengan rasa
bersalah, dan tanpa memperdulikan pak Sigit, aku mulai menyeka
bagian yang basah dari bajunya itu.
"Aduh, jadi ngerepotkan non Eliza," kata pak Sigit. "Terima kasih ya
non yang baik."
Aku tersenyum mendengar kata kata pak Sigit. Ia selalu memujiku,
membuatku merasa sedikit malu bercampur senang. Aku terus menyeka
bajunya pak Sigit ini, setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk
meringankan rasa bersalahku.
"Sudah non Eliza," kata pak Sigit dan ia memegang kedua
pergelangan tanganku yang sibuk menyeka bajunya yang masih basah
itu. "Bapak jadi nggak enak."
"Tapi pak..." aku masih mencoba menyeka baju pak Sigit, namun
aku sedikit terkesiap merasakan kuatnya cengkeraman tangan pak Sigit
pada kedua pergelangan tanganku ini.
"Sudah, terima kasih non Eliza," kata pak Sigit. "Aduh, tangan non
ini, halusnya. Eh... maaf non... bapak sampai lancang pegang tangan
non... maaf ya non."
Saat itu juga pak Sigit melepaskan pegangannya pada kedua
pergelangan tanganku. Ia terlihat tegang dan kikuk. Aku tersenyum
kecil, ada sebersit rasa senang juga dalam hatiku mendengar pujian
pak Sigit tentang halusnya tanganku ini.
"Nggak apa apa deh pak. Masa pegang tangan gitu aja udah
lancang?" kataku sambil kembali menyeka baju pak Sigit. "Saya bantu
keringkan sedikit lagi ya."
Sekali ini pak Sigit hanya diam saja, tidak menolak lagi. Aku terus
menyeka sampai aku merasa baju itu sudah tidak sebasah tadi. Namun
aku melihat celana pak Sigit itu juga basah. Maka aku berjongkok dan
mulai menyeka bagian yang basah dari celana itu.
Beberapa saat kemudian, aku merasa melihat di bagian tengah
celana itu seperti ada yang bergerak dan mendesak dari dalam.
Wajahku terasa panas, karena aku tahu apa yang sedang terjadi. Aku
tahu apa yang bergerak di dalam situ.
Reflek aku membuang muka, mengalihkan pandanganku ke tempat
lain. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku tak perlu melakukan hal itu,
karena toh pak Sigit tak tahu apa yang baru saja kulihat ini.
Maka aku mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun aku jadi ingin
tahu, mengapa tiba tiba penis pak Sigit itu meronta bangun? Sesaat
kemudian, kerasnya cengkeraman pak Sigit pada kedua pergelangan
tanganku tadi malah terbayang dalam pikiranku. Dan, ia mengaku telah
lancang memegang tanganku.
Aku menggigit bibirku sambil tersenyum kecil. Pak Sigit, ternyata
sebenarnya ia menginginkanku. Tapi ia tak berani berkata ataupun
berbuat yang macam macam padaku.
Rasanya aneh juga. Maksudku, kalau dibandingkan dengan semua
pejantan yang pernah menikmati tubuhku. Yang kualami selama ini,
setiap ada pejantan yang menginginkan tubuhku, mereka tidak akan
sungkan untuk langsung menerkam diriku, menggagahiku, bahkan
memperkosaku.
Dan entah dari mana datangnya, tiba tiba sebuah ide yang sangat
nakal tercetus dalam benakku.
"Pak Sigit, saya bantuin keringkan celana dalamnya bapak ya,"
kataku pelan.
Tanpa menunggu jawaban, aku mulai membuka kepala sabuk yang
melingkar di celana pak Sigit, lalu aku membuka kancing dan resleting
celana pak Sigit. Perlahan tapi pasti, aku mulai diamuk gairahku,
mungkin karena baru pertama kali ini aku menelanjangi seorang pria
dengan maksud untuk menggodanya.
Tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Setelah semuanya terbuka,
aku menurunkan celana panjang pak Sigit. Dan tidak ada yang menarik
bagiku dari celana dalam pak Sigit yang masih terpasang di
selangkangannya itu, selain tonjolan yang cukup besar pada bagian
depannya.
Sambil menggigit bibirku, aku meneruskan kenakalanku ini.
"Oh..." kudengar pak Sigit merintih perlahan ketika aku menyeka
tonjolan di celana dalamnya itu dengan tissue.
"Aduh, maaf ya pak. Sakit ya?" tanyaku pura pura kuatir.
"Eh... enggak non... anu..." pak Sigit hanya mengguman tak jelas.
Aku menahan tawa melihat reaksi pak Sigit. Saat ini, penis pak
Sigit itu pasti sudah ereksi sejadi jadinya, karena aku merasa tonjolan
itu bahkan sedikit lebih besar dibandingkan dengan tadi saat aku baru
membuka celana panjangnya.
Namun tiba tiba aku jadi sedikit penasaran. Memangnya, sebesar
apa ya penisnya pak Sigit itu?
"Pak Sigit, yang di dalam sini ini juga basah ya?" tanyaku sambil
membelai tonjolan pada celana dalam pak Sigit itu dengan lembut.
"Mmm... kalau gitu, saya bantu keringkan dulu ya pak?"
"Eh... non... i... e..." pak Sigit hanya gelagapan tanpa menjawab.
Entah pak Sigit hendak berkata apa , tapi aku tak perduli. Seperti
tadi, tanpa menunggu jawaban pak Sigit, aku mulai melucuti celana
dalamnya itu. Aku mengaitkan kedua jari telunjukku di ujung kiri dan
kanan, lalu celana dalam itu kutarik ke bawah dengan perlahan, hingga
benda nakal yang sejak tadi terus bergerak dan membuatku penasaran
itu mulai terlihat olehku.
Aku terus melucuti celana dalam pak Sigit, hingga kini celana
dalam dan celana panjang pak Sigit itu tergeletak di lantai, melingkar
di kedua pergelangan kaki pak Sigit.
Ternyata penis itu besar juga. Mungkin bahkan lebih besar sedikit
dari punya Wawan. Melihat penis pak Sigit yang teracung ke arah
wajahku ini, nafasku kembali memburu. Aku merasa penis itu seperti
mengancamku, memaksaku untuk memberikan servis oralku, atau ia
akan mengaduk aduk liang vaginaku hingga aku menggeliat dan
melenguh keenakan.
Namun ancaman penis itu sama sekali tak terdengar menakutkan
buatku. Sekarang ini aku malah ingin menggoda pemiliknya. Sesuai
"janjiku" tadi, aku mengambil tissue dan menyeka rambut kemaluan
pak Sigit yang ternyata juga sedikit basah. Setelah bagian itu kurasa
sudah cukup kering, barulah aku memberikan perhatianku pada penis
yang sempat kucuekin itu.
Bagian pertama yang kuseka dari penis itu adalah kepalanya. Saat
itu aku baru menyadari, ternyata penis itu benar benar tegang. Aku
mencoba menekan penis itu ke bawah sedikit, tapi penis itu langsung
kembali mengacung ke posisi semula saat aku melepaskan tanganku,
diikuti suara keluhan pak Sigit yang membuat aku mendongakkan
kepala.
Melihat keadaan pak Sigit, aku kembali merasa geli hingga aku
harus menahan tawaku. Bagaimana tidak, baru kali ini aku melihat ada
pejantan yang kelihatan gelisah dan tegang ketika aku sibuk dengan
senjata andalannya.
"Pak, ini kok jadi besar gini sih?" tanyaku sambil terus menyeka
ujung kepala penis itu dengan tissue.
"Uh... anu non... itu..." pak Sigit tak menjawab dengan jelas.
Aku kembali memandang penis itu. Ukuran penis itu memang
besar, tapi apakah juga keras seperti punya Wawan? Dengan perlahan
namun penuh rasa ingin tahu, aku menggenggamkan tanganku pada
batang penis itu.
Denyutan urat urat penis yang kurasakan itu membuat jantungku
berdegup semakin kecang, apalagi ketika aku merasa penis pak Sigit
itu makin mengeras saja. Dan saat ini, kerasnya batang penis itu
rasanya hampir sekeras milik Wawan. Entah bagaimana rasanya kalau
liang vaginaku yang mungil ini diaduk aduk oleh penis pak Sigit itu,
pasti rasanya enak sekali.
Tapi, bagaimana caranya supaya hal itu terjadi? Masa aku yang
meminta minta pada pak Sigit untuk menggagahiku, seperti yang tadi
dilakukan oleh Vera terhadap pak Bakir? Rasanya aku belum setega itu
untuk menghancurkan harga diriku sampai tak bersisa di hadapan pak
Sigit.
"Aah..." pak Sigit kembali mengerang.
Aku memejamkan mataku, dan itulah kesalahanku. Semua bayangan
tentang penis itu malah tergambar dengan jelas di hadapanku,
membuatku makin tenggelam dalam gairah. Dan ketika aku membuka
kedua mataku, aku tak mau melepaskan pandanganku dari penis itu.
Aku... aku menginginkan penis itu!
"Pak Sigit, burung ini boleh saya bersihkan nggak?" tanyaku sambil
membelai penis pak Sigit.
"Boleh non!" seru pak Sigit cepat. "Boleh... boleh..."
Ih, semangat sekali menjawabnya?! Ingin rasanya aku menggoda
pak Sigit tentang hal itu, tapi aku merasa kasihan kalau ia sampai
merasa malu dan suasana erotis ini jadi rusak.
Maka tanpa berkata apa apa lagi, aku mulai membelai penis itu
beberapa kali, lalu kuseka dengan tissue yang masih baru. Berikutnya,
dengan sedikit menahan malu, aku memberanikan diriku untuk
memajukan wajahku dan mendekatkan bibirku pada kepala penis pak
Sigit itu.
Hmm... bau sirup ^^
Aku sempat mendongak untuk menatap pak Sigit. Kepalanya
bergerak gelisah dan raut wajahnya itu terlihat menunggu dengan
penuh harap. Aku tak tega membuat pak Sigit menunggu lebih lama
lagi, perlahan aku membuka bibirku sedikit, lalu aku mengecup kepala
penis itu.
"Oh... oooh..." erang pak Sigit.
Aku memejamkan mataku, dan dari sekedar mengecup, kini aku
mulai mencucup kepala penis itu, sementara pemiliknya makin sibuk
mengerang dan merintih. Lalu aku menggunakan lidahku untuk
memanjakan penis pak Sigit. Ujung lidahku yang sudah menyentuh
kepala penis pak Sigit itu kugerakkan memutar dengan perlahan,
kusapukan ke seluruh bagian kepala penis itu sampai beberapa kali.
"Ohh... oooooh..." pak Sigit mengerang semakin panjang sambil
membelai rambutku. "Makasih non... makasih banyaak... oooh..."
Mendengar ucapan terima kasih di antara erangan dan rintihan pak
Sigit, sebenarnya aku jadi merasa malu sekali. Tak pernah terbayang
olehku, bagaimana seorang gadis terpelajar seperti diriku, dengan tak
tahu malu memberikan servis oral kepada seorang pria tua yang
bahkan baru kukenal satu dua jam yang lalu ini, yang kulakukan begitu
saja, tanpa diminta ataupun dipaksa olehnya.
Ada sedikit rasa menyesal saat aku menyadari bahwa aku telah
mempermalukan diriku sendiri seperti sekarang ini. Tapi semua sudah
terlanjur, nasi sudah menjadi bubur. Maka tanpa menjawab apa apa,
aku malah memajukan kepalaku, hingga sedikit demi sedikit batang
penis itu makin tertelan dalam mulutku.
"Oooh... aduh... enaknya non..." kini penikmat servis oralku ini mulai
meracau.
Aku memilih untuk tak perduli dengan segala reaksi pak Sigit.
Bahkan aku mulai menghisap batang penis itu beberapa kali, lalu aku
memaju mundurkan kepalaku, mulai dari dengan gerakan yang
perlahan sampai dengan sedikit cepat seperti ini, hingga penis itu
mengaduk rongga mulutku. Sesekali aku menghentikan gerakan
kepalaku ini, memberikan kesempatan pada penis itu untuk merasakan
nikmatnya kuluman mulutku.
Setelah beberapa saat, dengan perlahan aku menarik kepalaku ke
belakang sampai penis yang terbenam dalam mulutku ini tinggal
setengahnya, dan bagian yang masih berada dalam mulutku ini
kembali kumanjakan dengan lidahku.
Ketika mulutku terasa penuh oleh air ludahku sendiri yang
tercampur dengan sisa sirup tadi, dan mungkin juga tercampur dengan
sedikit getah penis pak Sigit, aku menelan semua cairan itu karena aku
tak ingin sampai tersedak. Setelah itu aku kembali menarik kepalaku ke
belakang, dan kini tinggal kepala penis itu saja yang masih terbenam
dalam mulutku.
Aku sempat memberikan beberapa hisapan dan cucupan pada
kepala penis itu, lalu aku mengatupkan bibirku dengan rapat. Dengan
perlahan aku menggerakkan tubuhku ke belakang, hingga penis yang
masih terjepit oleh bibirku itu sedikit demi sedikit terlepas seluruhnya
dari kulumanku.
Sebuah keluhan yang penuh dengan rasa kecewa pun terdengar.
Aku membuka kedua mataku sambil mengatur nafasku yang sedikit
tersengal ini. Ketika aku menatap pak Sigit, aku merasa ia terlihat
seperti orang yang sedang kehilangan sesuatu. Tapi aku meneruskan
niatku untuk sedikit jual mahal.
"Pak Sigit, burungnya udah bersih," kataku pelan. "Saya bantuin
pakai celananya ya pak?"
"Non Eliza yang baik... bapak boleh minta tolong nggak?" tanya pak
Sigit dengan suara bergetar.
Suara itu, kini aku merasakan suara pak Sigit diwarnai nafsu yang
menggelegak, hingga jantungku berdebar kencang karena aku sudah
tahu "pertolongan" seperti apa yang diinginkan oleh pak Sigit dariku.
"Minta tolong apa pak?" aku bertanya balik dengan suara pelan.
"Tolong non... kasihan burungnya bapak," kata pak Sigit, masih
dengan suara bergetar seperti tadi.
"Mmm... gimana cara nolongin burung yang kasihan itu pak?"
tanyaku nakal walaupun wajahku jadi terasa panas.
"Cara... non... bapak ingin... main sama non," pak Sigit menjawab
terbata bata.
Wajahku jadi terasa semakin panas. Tentu saja aku tahu dengan
jelas apa maksud kata "main" dari dikatakan pak Sigit itu.
"Main? Pak Sigit mau main apa?" tanyaku pura pura tak mengerti.
"Tapi ini kan udah malam pak, lain kali aja yah? Saya udah capek, ini
juga baru pulang dari les balet..."
"Oh, non Eliza capek ya? Mau nggak non bapak pijitin?" tanya pak
Sigit dengan cepat.
"Aduh, makasih pak, nggak usah repot repot deh," aku menolak
dengan ragu. "Saya cuma capek biasa kok. Abis istirahat dan tidur,
besok juga hilang capeknya."
"Tapi non, bapak juga bisa mijit badan untuk hilangkan capek dan
pegal. Kalau non mau, bapak pijitin dulu non. Nanti sebelum non
tidur, capeknya pasti sudah hilang. Mau ya non?" pak Sigit
menawarkan dengan nada penuh harap.
-x-
XI
Blind Date Yang Panas
Aku diam dan memikirkan tawaran pak Sigit itu. Sepertinya aku
tertarik juga untuk merasakan servis pijatan pak Sigit, yang katanya
bisa menghilangkan capek dan pegal pada tubuhku. Sekarang ini Cie
Natalia dan teman temannya itu mungkin baru sampai ke tempat
karaoke, dan paling sedikit mereka akan berkaraoke selama satu jam.
Jadi, mungkin masih aman untuk menikmati pijatan pak Sigit
sampai satu jam ke depan.
"Gimana non?" pak Sigit menginginkan jawabanku.
"Mmm... berapa tarif satu jamnya pak?" aku bertanya balik.
"Nggak usah non. Bapak cuma kepingin itu... Mau ya non?" tanya
pak Sigit dengan suara memelas hingga aku merasa tak tega untuk
mempermainkannya lebih lama lagi.
"Iya deh pak... aww..." aku hampir menjerit kaget karena pak Sigit
langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dan saat itu juga ia
memajukan mukanya untuk mencari bibirku.
Kejadian itu berlangsung terlalu cepat, hingga aku jadi sedikit
panik dan tak tahu apakah aku harus mengelak atau pasrah.
"Mmmhh..." aku merintih tertahan ketika bibirku sudah terpagut.
Dalam hati aku mengeluh. Gawat deh, sepertinya tinggal tunggu
waktu saja sebelum pak Sigit mengetahui keadaanku, tentang tubuhku
yang hanya mengenakan bra, celana dalam dan stocking saja seperti
ini.
Pagutan pada bibirku ini hanya berlangsung sebentar, karena
sesaat kemudian pak Sigit sudah mencumbui sekujur wajahku.
Sementara itu aku merasa pelukan kedua tangan pak Sigit pada
pinggangku ini semakin erat, seolah ia takut aku akan mencoba
melarikan diri darinya.
"Mmmhh... pak... katanya mau mijitin Eliza??" aku memprotes di
tengah rintihanku.
"Maaf non... bapak sudah kepingin sekali..." bisik pak Sigit di
telinga kananku yang memang kebetulan sedang menjadi korban
cumbuannya.
"Ooh..." sesaat kemudian aku mengeluh pasrah karena seluruh daun
telinga kananku sudah berada dalam kuluman mulut pak Sigit.
Pandangan mataku mulai meredup seiring dengan makin
memburunya nafasku. Saat ini aku sudah menyerah pada nikmatnya
sensasi yang kurasakan dari cumbuan pak Sigit. Getaran halus
menjalari sekujur leherku. Kedua tanganku tergantung lemas, tenagaku
lenyap entah ke mana.
Sesaat kemudian pak Sigit mengendurkan pelukannya pada
pinggangku, hingga aku merasa sedikit lebih lega sewaktu bernafas.
"Hmm... rambutnya non Eliza ini... harumnya..." desah pak Sigit
sambil menciumi rambutku.
Aku diam saja membiarkan pak Sigit yang malah asyik dengan
rambutku. Kedua tangan pak Sigit itu membelai seluruh rambutku, dan
setelah beberapa saat, aku merasakan ikat rambutku dipegang pegang
dengan beberapa ujung jarinya.
"Non... bapak lepas ikat rambutnya ya?" tanya pak Sigit.
"Kenapa pak?" aku bertanya heran.
"Bapak suka sekali sama rambutnya non Eliza. Sudah halus,
lembut, harum lagi. Bapak jadi ingin merasakan dan membayangkan
gimana indahnya rambut non pas lagi digerai," pak Sigit menjelaskan
alasannya dengan panjang lebar. "Boleh ya non?"
"Iya deh," kataku sambil tersenyum senang. "Pak Sigit yang mau
ngelepasin, atau saya aja?"
"Non aja ya? Kalau bapak, takutnya nanti non kerasa sakit kalau
sampai ada rambut non yang ikut ketarik," jawab pak Sigit.
Aku mengangkat kedua tanganku ini ke belakang kepalaku, dan
selagi aku mulai melepas ikat rambutku, tiba tiba kedua tangan pak
Sigit yang melingkar di pinggangku ini merayap naik dengan perlahan
ke atas punggungku, sampai akhirnya kedua tangan itu menemukan
tali bra yang melingkar di sana.
"Non Eliza... non nggak pakai baju?" tanya pak Sigit dengan nafas
yang memburu.
"Iya pak," jawabku pelan, sementara jantungku berdegup kencang.
"Kenapa non?" tanya pak Sigit lagi, sedang kedua tangannya itu
mengikuti lingkar tali bra yang kukenakan ini, merayap ke arah dadaku.
Mendengar pertanyaan pak Sigit itu, wajahku jadi terasa panas, dan
aku hanya bisa mendesah sambil menggeliat pelan ketika kedua
payudaraku yang akhirnya ditemukan oleh tangan pak Sigit ini mulai
mendapat remasan lembut.
"Tadi baju Eliza kan ketumpahan sirup, emmh..." aku menjawab
tersendat di antara rintihanku. "Terus jadi basah, dan dingin..."
"Terus?" desak pak Sigit.
"Terus Eliza lepas aja sekalian, aaw..." aku merintih sambil
menggeliat kesakitan ketika pak Sigit tiba tiba meremas kedua
payudaraku dengan cukup keras.
"Ada apa non?" tanya pak Sigit sambil tersenyum lebar.
"Pak Sigit jahat," aku mengomel manja.
"Maaf ya non. Gimana nggak gemas, bapak sudah dari tadi merasa
aneh, soalnya waktu terakhir bapak ada di deket non, bukan cuma bau
sirup saja sudah berkurang banyak, tapi bapak juga nggak mencium
harumnya bau baju non Eliza tadi," kata pak Sigit.
"Gemas sih gemas... tapi jangan keras keras dong, sakit pak," aku
kembali mengomel walaupun dengan suara pelan karena aku merasa
malu sekali.
Pak Sigit tertawa mendengar omelanku ini, dan ia membelai
payudaraku dengan lembut.
"Sejak tadi bapak sebenarnya sudah pingin tahu," sambung pak
Sigit. "Apa benar non Eliza berani buka baju di depan bapak?"
Wajahku terasa panas, dan aku tak berani berkata apa apa.
Pak Sigit terus membelai payudaraku dengan lembut. Saat ini aku
merasa begitu sexy, dengan adanya tangan pak Sigit yang terus
menikmati empuknya kedua payudaraku yang masih tertutup bra ini
selagi kedua tanganku masih sibuk melepaskan ikat rambutku.
Sesaat kemudian rambut panjangku ini jatuh tergerai ke belakang
punggungku. Tapi pak Sigit masih saja asyik meremasi kedua
payudaraku, bahkan kini aku merasa remasan demi remasan yang
kuterima ini dilakukan olehnya dengan penuh nafsu.
Apakah pak Sigit memang lebih suka bermain dengan kedua
payudaraku ini daripada dengan rambutku, atau ia tak tahu kalau aku
sudah melepaskan ikat rambutku sesuai dengan permintaanya tadi?
Maka aku memutuskan untuk memberitahu pak Sigit tentang
rambutku ini dengan cara yang kurasa cukup menggoda. Kedua
tanganku ini kulingkarkan di belakang lehernya, lalu aku sedikit
menundukkan kepalaku hingga sebagian rambutku jatuh tergerai di
depan dadaku dan membelai tangan pak Sigit.
Tapi pak Sigit tak bereaksi seperti yang kuharapkan, ia masih saja
asyik memainkan kedua payudaraku ini.
"Pak... ikat rambut yang tadi itu udah Eliza lepas," kataku pelan.
"Hmm..." pak Sigit hanya mengguman.
Walaupun begitu, tangan kanannya pak Sigit yang tadinya asyik
meremasi payudara kiriku ini segera beralih melingkar ke belakang
pinggangku. Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, lalu selagi
tangan kirinya tetap mememasi payudara kananku, tangan kanannya
yang mendekap tubuhku itu mulai membelai rambutku yang sudah
tergerai ini dengan lembut. Aku hanya menggeliat pasrah membiarkan
tubuhku dijarah pak Sigit, dan dengan perlahan aku menyandarkan
kepalaku di pundak kirinya.
"Rambutnya non Eliza ini benar benar halus," puji pak Sigit. "Bapak
yakin, non Eliza ini pasti anak perempuan yang cantik."
"Ah pak Sigit ini... dari tadi muji Eliza terus deh," kataku dengan
rasa senang yang sepertinya tak bisa kututupi.
Rasanya kami ini seperti sedang berkencan saja, bahkan seperti
sebuah hot blind date saja alias kencan buta yang panas. Aku seperti
datang menemui orang yang sama sekali tak pernah kukenal,
sedangkan sampai sekarang pak Sigit bahkan tak tahu aku ini
berwujud seperti apa. Dan, siapapun pasti tahu, bahwa dalam keadaan
seperti ini, kencan ini pasti akan berlanjut ke hubungan seks.
Mendengar omelanku tadi, pak Sigit hanya tertawa, lalu kedua
tangannya yang tadinya sibuk sendiri sendiri itu, dengan kompaknya
sama sama merayap turun sampai ke samping pinggangku, lalu
merayap lagi ke belakang, meraba bongkahan sepasang pantatku yang
masih terbungkus celana dalam dan stockingku ini.
"Non... rasanya, celana yang non pakai ini ketat sekali ya?" tanya
pak Sigit dengan heran. "Bahannya juga tipis dan halus sekali,
seperti... stocking! Apa non hanya pakai stocking?"
"Iya pak, ini memang stocking..." jawabku dengan sedikit malu.
"Tapi... Eliza masih pakai celana dalam kok."
"Oh Tuhan... kalau saja bapak masih bisa melihat..." keluh pak Sigit
selagi kedua tangannya itu mulai meraba raba kedua pahaku. "Apa
warnanya stocking ini?"
"Warna kulit pak... jadi nggak terlalu kentara kalau Eliza lagi pakai
stocking... ssshh..." jawabanku terhenti karena aku harus merintih
akibat ulah pak Sigit yang tetap sibuk dengan kedua pahaku.
Pak Sigit tak berkata apa apa lagi, tiba tiba ia sudah merayapkan
tangannya ke bagian atas tubuhku, kembali ke belakang punggungku.
Sesaat kemudian aku merasakan pak Sigit mencoba membuka kaitan
tali bra yang kukenakan ini. Jantungku berdebar kencang menyadari
diriku akan ditelanjangi oleh pak Sigit, namun walau sudah berusaha
cukup lama, ternyata ia tak segera berhasil melepaskan kaitan itu,
hingga aku tersenyum geli.
"Pak, Eliza bukain deh," kataku pelan.
"Sambil ciuman sama bapak ya non," kata pak Sigit yang lalu
segera merayapkan tangannya ke atas mencari kedua pipiku, lalu ia
mengarahkan kepalaku hingga wajah kami saling berhadapan, dan aku
belum sempat menjawab ketika pak Sigit sudah memagut bibirku
dengan ganas.
"Mmmh..." aku merintih tertahan sambil memejamkan mataku.
Dalam keadaan terbakar gairah, aku membalas pagutan pak Sigit
yang sudah kembali memeluk pinggangku. Selagi kami saling berpagut,
aku tak lupa untuk melepaskan kaitan tali bra di belakang punggungku
ini, dan aku sengaja menyentuhkan bra ini ke tangan pak Sigit dengan
perlahan sebelum kujatuhkan ke lantai.
Hasilnya, pak Sigit langsung menarik tubuhku dan mendekap erat,
sementara pagutannya pada bibirku ini jadi semakin ganas. Lidah pak
Sigit melesak masuk ke dalam mulutku, mengait dan membelit lidahku,
lalu lidah itu tega meninggalkan lidahku sendirian begitu saja. Tanpa
bisa kutahan, lidahku sudah terjulur untuk mencari kehangatan di
dalam mulut pak Sigit
Tapi akibatnya lidahku malah tertangkap di dalam sana. Pak Sigit
mencucup dan menyedot lidahku kuat kuat tanpa belas kasihan.
Bahkan aku merasa cukup banyak air ludahku terseruput oleh pak Sigit
hingga aku sedikit gelagapan.
Diperlakukan seperti itu, beberapa saat kemudian nafasku mulai
sesak. Aku tak bisa mendorong dada pak Sigit, karena tubuh kami
melekat seperti ini. Maka aku berusaha menekan nekan kedua lengan
pak Sigit, sebelum akhirnya ia sadar dan melepaskan pagutannya pada
bibirku.
Aku sampai terbatuk batuk karena kehabisan nafas, dan selagi aku
berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal ini, aku kembali
menyandarkan kepalaku pada pundak kiri pak Sigit.
"Non... bapak lepasin stockingnya ya?" desah pak Sigit sambil
menghirupi rambutku.
"Mmm..." aku mengguman pelan sambil menganggukkan kepalaku.
Pak Sigit melepaskan tubuhku dari pelukannya, lalu berjongkok dan
mulai mencoba menarik turun stockingku ini. Sebenarnya aku sedikit
takut kalau pak Sigit akan merobek stockingku, tapi karena hal itu
ternyata dilakukannya dengan perlahan dan hati hati, aku diam saja
walaupun jantungku terus berdebar kencang menyadari aku akan
segera telanjang bulat di hadapan pak Sigit.
Beberapa saat kemudian, hanya celana dalamku saja yang masih
melekat pada tubuhku. Dan pak Sigit sudah mulai meraba raba seluruh
bagian celana dalamku ini, seolah ia sedang berusaha menggambarkan
tentang bentuk celana dalam yang kukenakan ini.
Tapi akibatnya aku harus menggigit bibir, karena semua rabaan itu
membuat gairahku terasa makin menyiksa. Apalagi ketika jari jari
tangan pak Sigit itu mulai menari nari pada bagian depan celana
dalamku. Getaran halus menjalari seluruh tubuhku, dan aku merasakan
denyutan yang nikmat di dalam liang vaginaku ini. Kedua pahaku
kurapatkan hingga jari tangan pak Sigit terjepit di antara pahaku.
"Pak Sigit..." aku merengek ketika aku udah tak tahan dengan
siksaan ini.
"Iya non?" tanya pak Sigit dengan lagak pilon.
"Nggh..." aku melenguh tanpa menjawab karena pak Sigit justru
menekan nekan, menggoda bibir vaginaku yang berada di balik celana
dalamku ini.
"Kenapa non?" pak Sigit mengulangi pertanyaannya.
"Ngg... nggak apa apa kok," jawabku dengan mendongkol, namun
nafasku makin memburu dan pandangan mataku jadi semakin redup.
"Kalau gitu, ini bapak buka aja ya non?" tanya pak Sigit sambil
menarik narik celana dalamku.
"Mmm..." aku malas menjawab, karena toh apapun yang jadi
jawabanku, hasilnya akan sama saja.
Sesaat kemudian pak Sigit segera melucuti satu satunya pakaian
dalam yang masih melekat pada tubuhku ini. Kini aku sudah telanjang
bulat, dan tiba tiba pak Sigit menubrukku dan membaringkan tubuhku
ke lantai.
"Pak, sebentar dong," aku memprotes. "Masa bapak tega biarin
Eliza tidur di lantai yang dingin gini? Nanti Eliza kan sakit?"
"Jadi gimana non?" tanya pak Sigit yang kelihatan sudah tak sabar
lagi.
"Ya di situ aja," kataku sambil menunjuk sofa itu. "Di sofa kan
masih lebih baik."
"Waduh, non Eliza lupa ya? Bapak kan nggak bisa lihat?" pak Sigit
balik memprotes.
"Eh iya. Maap, lupa," kataku dengan sedikit merasa bersalah. "Ya
udah, abis ini Eliza anterin pak Sigit ke sana. Tapi tolong bantuin Eliza
bangun dong?"
"Beres non," kata pak Sigit sambil mengulurkan tangannya, dan
begitu aku menyambut tangan itu, ia segera menarikku hingga aku
berdiri di hadapannya.
Lalu dengan masih berpegangan tangan, aku melangkah mundur
dan membimbing pak Sigit menuju ke sofa. Tiba tiba aku teringat baju
pak Sigit yang tadi ketumpahan air minum. Tentu baju itu masih
sedikit basah.
"Pak, bajunya nggak dilepas saja?" tanyaku setelah kami sudah
sampai di depan sofa.
"Oh iya non... iya iya," kata pak Sigit.
Selagi pak Sigit buru buru melepas kemeja batiknya, aku duduk di
sofa itu dan berbaring telentang, menyajikan tubuhku yang sudah
telanjang bulat ini pada pak Sigit.
-x-
XII
Sengsara (Menjadi Budak Seks) Membawa Nikmat
Tanpa menunggu lama, pak Sigit yang kini juga telanjang bulat itu
naik ke sofa untuk mencari tubuhku. Begitu menemukanku, Pak Sigit
langsung menyerbu dan menindihku. Aku hanya bisa merintih manja
selagi cumbuan pak Sigit menghujani wajahku, sementara sepasang
payudaraku yang malang ini kembali menjadi sasaran remasan kedua
tangannya itu.
Setelah menggumuliku sebentar, pak Sigit meraih pergelangan kaki
kananku, lalu ia menaikkan kaki kananku ini ke sandaran sofa.
Berikutnya pak Sigit memajukan badannya sambil menaruh kaki kiriku
di samping pinggangnya, hingga bibir vaginaku kini sudah berhadapan
dengan kepala penis pak Sigit.
Aku menggigit bibir saat pak Sigit dengan nafsu yang berkobar
mulai menggesek gesekkan ujung senjatanya itu pada bibir vaginaku.
"Non... kok udah basah kayak gini?" guman pak Sigit.
"Mmm... nggak tau deh..." jawabku dengan wajah yang terasa panas,
dan aku malu sekali karena aku merasa seperti diingatkan bahwa sejak
dari sekolah les balet tadi, aku terus menerus terbakar gairah.
"Bapak masukin sekarang ya?" tanya pak Sigit lagi.
Belum juga aku menjawab, aku merasakan kepala penis itu mulai
membelah bibir vaginaku yang tadinya masih terkatup rapat. Jantungku
berdegup semakin kencang. Aku merasakan kedua pahaku dan otot
perutku di bagian bawah ini sampai sedikit mengejang saat batang
penis berukuran raksasa itu mulai memaksa untuk mengisi liang
vaginaku.
"Aaw... ngghh..." aku merintih dan melenguh nikmat.
"Aduuh... seretnya nooon..." pak Sigit meracau tak karuan saat
penisnya sudah tenggelam dalam liang vaginaku.
Dengan liang vaginaku yang sudah terpaku oleh penis yang begitu
keras itu, aku hanya bisa diam menunggu waktu sebelum didera
nikmat orgasme. Pak Sigit sendiri sempat mendiamkanku beberapa
saat sebelum ia mulai menggerakkan pinggulnya untuk memompa liang
vaginaku yang saat ini sebenarnya sedang terasa begitu penuh.
"Mmmh..." aku merintih dan menggeliat keenakan di bawah tindihan
pak Sigit.
Selagi kami bersetubuh aku sempat memperhatikan wajah pak Sigit
yang kira kira berusia empat puluhan ini. Dan aku mulai mengomel
dalam hatiku. Duh, orang ini, mengapa juga ia melepas kacamatanya?
Walaupun juga terlihat jelek, rasanya masih mendingan waktu ia
memakai kacamata hitam daripada sekarang. Sudah begitu, matanya itu
bergerak liar seperti jelalatan, hingga membuatku makin bergidik ngeri.
Dan aku nyaris menjerit ketika tiba tiba wajah itu sudah begitu
dekat dengan wajahku, mencari bibirku. Karena aku tak mungkin bisa
menghindar, aku memejamkan mataku kuat kuat. Jantungku berdegup
kencang saat aku merasakan pagutan pada bibirku.
Sementara itu, tusukan penis pak Sigit pada liang vaginaku makin
menghebat. Rasa panas sudah menjalar ke seluruh tubuhku, bahkan
rasa ngeri yang sempat menghinggapiku tadi itu sudah lenyap dan
berganti dengan gairah yang makin memuncak. Apalagi kemudian pak
Sigit menambah semua sensasi yang menyiksaku ini dengan
memberikan remasan pada payudara kiriku.
Maka dengan penuh gairah, aku membalas pagutan pak Sigit itu
dengan sepenuh hatiku. Aku tak keberatan saat lidah pak Sigit mulai
membanjir memasuki mulutku, bahkan hal itu serasa menambah nikmat
yang kurasakan saat berpagut bibir dengannya.
"Mmmh... ngghhh..." aku merintih dan melenguh keenakan karena
saat ini Pak Sigit sendiri makin bersemangat menghunjam hunjamkan
penisnya ke dalam liang vaginaku ini hingga terasa begitu ngilu dan
nikmat sekali
Beberapa saat kemudian liang vaginaku berdenyut tak karuan, dan
sangking enaknya aku mulai menggelepar hingga pagutan pada bibirku
terlepas. Tubuhku mengejang hebat, kedua kakiku melejang tak
karuan. Perutku sampai terangkat saat tubuhku tersentak sentak
diterjang badai orgasme.
"Aaah... angghkk..." aku mendongak tak kuasa menahan nikmat, aku
meremaskan telapak tangan kananku ini sekenanya ke sofa, sedangkan
telapak tangan kiriku ini kutekankan di bagian bawah perutku.
Sesaat kemudian tubuhku seperti kehilangan tenaga, dan aku cuma
bisa terbaring pasrah dengan tubuh yang sesekali tersentak saat pak
Sigit masih terus menggenjot liang vaginaku.
"Kenapa non?" tanya pak Sigit di antara dengusan nafasnya yang
memburu.
"Mmm... enak..." aku mengguman pelan.
"Nanti bapak keluarin di dalam sini ya non?" tanya pak Sigit
dengan bernafsu. "Pasti lebih enak lagi.".
"Terserah..." aku tidak membantah.
Dengan penuh semangat pak Sigit terus menggagahiku, hingga aku
kembali tersiksa oleh rasa ngilu yang begitu nikmat pada liang
vaginaku ini. Walaupun nafasku kembali tersengal sengal akibat
gairahku terus terbakar, tapi saat ini aku sudah terlalu lemas untuk
menggeliat keenakan.
"Non, gantian bapak yang tiduran ya?" tiba tiba pak Sigit bertanya
dan ia menghentikan gerakannya.
"Mmmh... Eliza udah capek pak," aku merintih pelan mencoba
menolak.
"Nanti kan bapak pijitin," pak Sigit memaksa.
Dengan malas aku mencoba berdiri, tapi aku lupa sama sekali kalau
penis pak Sigit masih bersarang di dalam liang vaginaku. Akibatnya
saat aku sudah hampir dalam posisi duduk, liang vaginaku teraduk
dengan sukses, hingga aku melenguh keenakan dan kembali roboh ke
sofa.
"Pak... lepasin dulu dong burungnya," aku mengomel pada pak Sigit
dalam keadaaan terangsang.
"Waduh, tadi bapak kira non nggak mau," kata pak Sigit membela
diri. "Sebentar non."
"Ngghh..." aku kembali melenguh saat kepala penis itu tertarik
keluar dengan perlahan dan akhirnya lepas dari liang vaginaku..
"Kenapa non?" tanya pak Sigit yang menyeringai lebar, sepertinya
ia senang telah menaklukanku seperti ini.
"Nggak... nggak apa apa," aku menjawab dengan hati yang
mendongkol.
Aku kembali mencoba berdiri, lalu pak Sigit yang mungkin
merasakan kalau aku sudah meninggalkan sofa, dengan santainya
menggantikan posisiku dan berbaring telentang di atas sofa itu.
"Ayo non," kata pak Sigit yang menungguku dengan penisnya yang
tegak mengacung.
Diperlakukan seperti layaknya seorang budak seks seperti ini, entah
kenapa gairahku malah semakin terbakar. Tanpa menjawab ataupun
membantah, aku naik ke sofa dan bersiap untuk menunggangi penis
pak Sigit itu, walaupun tubuhku sudah terasa seperti remuk.
"Iya... gitu... aah..." pak Sigit merintih dan meracau saat aku
memasangkan kepala penisnya itu pada liang vaginaku.
"Ngghh..." ganti aku yang melenguh nikmat selagi pak Sigit terus
merintih, saat aku menurunkan badanku dan memaksa liang vaginaku
untuk menelan penis itu.
Pak Sigit tak membiarkanku diam berlama lama, karena sesaat
kemudian satu sentakan dari tubuhnya membuat kedua mataku
terbeliak karena liang vaginaku serasa dipaku dari bawah. Aku kembali
melenguh dan kepalaku terdongak pasrah, seiring dengan tertekuknya
punggungku ke belakang.
Namun kedua tanganku ini ditangkap dan ditarik oleh pak Sigit ke
arahnya. Maka tubuhku kembali maju ke depan hinga rebah dan
menindih tubuhnya. Dan pak Sigit tak membiarkan bibirku
menganggur, ia segera mendekap tubuhku dan mencari bibirku lagi.
Saat ini kalaupun aku ingin, tak ada yang bisa kulakukan untuk
mengelak, dan akhirnya pak Sigit berhasil menemukan bibirku.
"Mmmh... mmmhhk..." aku merintih dan melenguh karena pak Sigit
sudah memagut bibirku sambil mulai menggerakkan pinggulnya dan
memompa liang vaginaku.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menggeliat pasrah saat
tubuhku tersentak sentak dipermainkan pak Sigit. Rintihanku yang
tertahan ini membuat gairahku makin bergolak, apalagi sekarang ini
liang vaginaku terasa enak sekali.
Semua itu masih ditambah dengan ganasnya pagutan bibir pak
Sigit. Lidahnya menyeruak masuk ke dalam mulutku, dan ia menyedot
semua air ludahku dengan sekuat kuatnya. Pandanganku sudah
meredup, kedua tanganku tergeletak lemas di samping kepala pak
Sigit.
Saat ini pak Sigit sepertinya benar benar ingin menikmati diriku
sepenuhnya. Ia memeluk pinggangku dan menghunjam hunjamkan
penisnya sepenuh tenaga, sambil meminum habis air ludahku.
Akhirnya aku memejamkan mataku, pasrah membiarkan diriku menjadi
mainan pak Sigit. Pelan tapi pasti, nafasku jadi semakin tak beraturan.
Dipompa habis habisan seperti itu, liang vaginaku berdenyut tak
karuan, dan dengan cepat aku kembali menyerah dilanda orgasme.
"Aah... aduh paaak..." aku menjerit keenakan karena pak Sigit terus
memompa liang vaginaku tanpa belas kasihan. Ia seperti tak perduli
betapa aku sedang menggeliat tak karuan karena tubuhku luluh lantak
diterjang badai orgasme.
"Nggghh..." aku hanya bisa melenguh lenguh, ketika cairan cintaku
serasa terus membanjir. Tubuhku mengejang ngejang susul menyusul,
sedangkan kedua betisku melejang tak karuan. Hampir semenit aku
tersiksa dalam kenikmatan ini, sebelum akhirnya tubuhku ambruk
menindih pak Sigit.
Saat ini aku sudah malas untuk mengatakan sesuatu. Nafasku
tinggal satu satu, dan seluruh sambungan tulang di tubuhku ini serasa
terlepas. Keringatku sudah membanjir deras, aku bahkan sudah tak
merasakan dinginnya AC di ruangan ini.
"Capek ya non?" tanya pak Sigit.
"Mmm..." aku hanya mengguman pelan.
"Bapak terusin ya," tanya pak Sigit lagi.
"Terserah..." aku menjawab dengan lemah.
Dan pak Sigit kembali menggerak gerakkan pinggulnya. Dalam hati
aku bertanya tanya, apakah pak Sigit ini memang seperti Wawan yang
bisa memaksaku orgasme berulang ulang sebelum ia sendiri mencapai
kepuasannya?
Yang jelas penis itu tetap keras seperti tadi, dan akibatnya
gairahku yang memang belum turun ini kembali terbakar. Aku merintih
dan melenguh, namun aku sudah tak bisa berbuat apa apa lagi untuk
menikmati semua ini. Tak ada tenaga yang bisa kupakai untuk sekedar
meremaskan jemari tanganku pada sofa ini, apalagi untuk menggeliat
keenakan seperti tadi.
Dengusan nafas pak Sigit makin jelas terdengar. Ow, akhirnya... aku
merasa sedikit lega karena aku sudah merasa capek sekali, dan aku
berharap pak Sigit sudah berejakulasi sebelum aku harus orgasme lagi.
Tapi celakanya, pak Sigit makin bersemangat menggenjot liang
vaginaku. Sodokan demi sodokan yang kurasakan pada liang vaginaku
ini makin menghebat seiring dengan dengusan nafas pak Sigit yang
makin tak karuan.
"Aaah... aduh paak..."
"Kenapa nooon... ooooh..."
"Nggggh... enaak... rasanya masuk semuaa... ngghhh..."
"Suka ya noon... errgh..."
"Iyaah..."
Setelah sempat saling meracau, tiba tiba pak Sigit mengangkat
dadanya hingga tubuhku yang menindihnya ini juga sedikit terangkat.
Akibatnya penis pak Sigit melesak semakin dalam seakan hendak
mencari dinding rahimku.
"Paak..." aku hanya bisa merintih sangking enaknya.
Jawaban pak Sigit hanyalah dengusan dan geraman, selagi ia
melakukan gerakan seperti sit up. Aku semakin menderita, karena
hunjaman demi hunjaman penis pak Sigit pada liang vaginaku ini jadi
semakin terasa nikmat.
"Ngggh... ampun paaak..." aku meracau di antara lenguhanku.
Dan seperti tadi, pak Sigit hanya menjawab dengan dengusan dan
geramannya. Pandanganku mulai meredup, rasa panas kembali
menjalari tubuhku. Aku menyandarkan kepalaku di pundak kiri pak
Sigit dengan pasrah. Aku merasakan air ludahku mengalir dari sudut
kiri bibirku, perlahan membasahi bagian daguku.
Dalam keadaan hancur hancuran seperti ini, aku masih disiksa
dengan rasa ngilu yang amat nikmat pada liang vaginaku. Akhirnya aku
mendapatkan orgasme lagi untuk yang ke sekian kalinya. Aku hanya
bisa merintih dan melenguh, selagi tubuhku tersentak sentak dalam
pelukan pak Sigit. Seluruh otot perutku terasa mengejang, dan kedua
betisku terus melejang tak karuan.
"Aduh... memeknya non Elizaa... enaknyaa..." racau pak Sigit.
"Burung bapak seperti diurut urut di dalam sini"
"Nggghh..." aku hanya bisa melenguh keenakan.
Tiba tiba pak Sigit menghentikan gerakan sit up yang sejak tadi
dilakukannya itu, saat penisnya terhunjam begitu dalam pada liang
vaginaku.
"Eeerrgh... nooon... bapak keluarin... di dalam yaaah..."
"Iyaa paak..."
"Kalau non hamil..."
"Biar ajaaah..."
"Huu... huoooh..." pak Sigit melolong panjang, tubuhnya
berkelojotan, dan aku merasakan cairan hangat menyemprot liang
vaginaku sampai beberapa kali.
Setelah tertekuk beberapa saat, tubuhku ambruk menindih pak
Sigit. Aku menyembunyikan wajahku di pundak kanan pak Sigit,
sementara kedua tanganku tergeletak lemas di samping kiri dan kanan
begitu saja. Kini tinggal desah nafas kami berdua yang bersahut
sahutan memenuhi ruangan ini.
"Udah keluar non..." kata pak Sigit dengan suara lemas
"Mmm..." aku mengguman tanpa daya, karena tenagaku serasa
tersedot habis, bahkan aku terlalu lemas untuk sekedar melepaskan
penis pak Sigit yang masih asyik mengisi liang vaginaku ini.
-x-
XIII
Nikmatnya Pijat Plus Plus
Sudah sekitar setengah jam ini aku harus rela menjadi budak seks
pak Sigit. Rasa capek yang hari ini sempat berkurang, kini kembali
mendera tubuhku, terutama pada bagian betisku yang kembali terasa
begitu pegal. Aku jadi teringat dengan tawaran pijat pak Sigit yang
tadi.
"Pak Sigit... ayo tanggung jawab!" aku menagih janji pak Sigit yang
kini memeluk tubuhku dan sibuk membelai rambutku. "Tadi pak Sigit
bilang mau mijitin Eliza untuk ngilangin capek. Tapi sekarang Eliza
malah jadi capek gini gara gara pak Sigit."
"Oalah, tak kiro tanggung jawab ngawinin non mari metu nang
njero maeng," kata pak Sigit sambil tertawa. "Tiwas bapak wis seneng
non."
"Yee... maunya!" aku mencibir sambil terus berusaha mengatur
nafasku.
(Untuk yang tak mengerti, pak Sigit mengatakan bahwa dia mengira
tanggung jawab yang kumaksud adalah mengawiniku, karena tadi ia
sudah mengeluarkan spermanya di dalam liang vaginaku. Dan dia
sudah terlanjur senang : p)
"Oh iya, non Eliza punya minyak tawon?" tanya pak Sigit.
"Nggak punya sih," jawabku heran. "Memangnya buat apa pak?"
"Supaya lebih licin waktu mijat non," jawab pak Sigit. "Jadi kulitnya
non nggak sampai sakit kalau kena gesek jari tangan bapak."
Tiba tiba aku teringat dengan Vaseline body lotion yang ada di
dalam tasku.
"Mmm... Eliza punya body lotion," kataku pelan. "Kalau pakai itu
boleh nggak?"
"Kalau bisa bikin kulit non licin, boleh saja non," jawab pak Sigit.
"Eliza ambilin bentar ya," kataku pelan.
Aku mengangkat tubuhku yang masih menindih pak Sigit ini,
hingga penis yang sudah lunak dan makin mengecil itu terlepas dari
jepitan liang vaginaku. Dan hal itu membuatku menggigit bibir
menahan nikmat. Dengan sedikit tertatih, aku melangkah ke arah tasku,
untuk mengambil sebotol Vaseline body lotion berukuran kecil, yang
memang selalu kutaruh di dalam situ.
"Ini pak," kataku sambil memberikan botol Vaselineku yang
tutupnya sudah kubuka.
"Oke non, ayo bapak pijitin," kata pak Sigit. "Non Eliza tidur di sofa
dulu, tengkurap ya."
Dengan mengumpulkan sisa tenagaku, aku melangkah ke sofa
untuk berbaring tengkurap di atasnya, setelah itu aku mencari posisi
yang paling nyaman.
"Pak Sigit," kataku pelan. "Tolong pijitin betis Eliza dulu yah?"
"Beres non," jawab pak Sigit. "Tapi sekalian saja, bapak mulai dari
telapak kaki dulu ya?"
"Mmm... terserah deh," jawabku pasrah.
Sesaat kemudian pak Sigit mulai memijit telapak kaki kananku. Aku
mendesis pelan karena rasanya sedikit sakit. Tapi setelah hampir lima
menit, entah aku yang mulai terbiasa atau pak Sigit mengurangi
tekanan dari pijitan tangannya, perlahan aku mulai bisa menikmati
pijatan pak Sigit. Mungkin juga karena pak Sigit sudah mulai
menggunakan Vaseline untuk melicinkan kulit tubuhku yang akan
dipijit.
Dan harus kuakui, pijitan pak Sigit membuat rasa pegal yang
mendera betisku kananku itu sudah berkurang banyak.
"Enak kan non?" tanya pak Sigit.
"Iya..." jawabku pelan sambil tetap memejamkan mataku.
Pak Sigit meneruskan pijitan itu sampai ke belakang pahaku, dan
makin terbuai saja. Rasanya memang nikmat sekali, membuatku ingin
kaki kiriku juga mendapat pijitan seperti ini sekarang juga. Dan seperti
tahu akan harapanku, tak lama setelah itu pak Sigit beralih ke telapak
kaki kiriku. Sama seperti tadi, dari awalnya aku merasa sedikit sakit,
lama lama pijitan itu terasa nikmat.
Dan aku berpikir pijitan ini akan berlangsung wajar saja, sampai
ketika pak Sigit selesai memijit paha kiriku dan beralih ke sepasang
bongkahan pantatku. Ketika pjitan sampai ke arah bawah di antara
kedua pahaku, aku tahu pak Sigit sengaja menyentuhkan jari jarinya
sampai beberapa kali pada bibir vaginaku.
"Mmmh..." aku merintih pelan.
"Kenapa non?" tanya pak Sigit sambil menghentikan pijitannya.
"Jangan be..." aku tercekat sejenak. "Jangan begitu pak."
Hampir saja aku berkata jangan berhenti.
"Begitu gimana ya non?" tanya pak Sigit yang kini malah
meneruskan kenakalannya.
"Sssh..." aku mendesah. "Ya itu pak..."
"Ini kenapa non? Enak?" tanya pak Sigit yang terus menggoda bibir
vaginaku.
"Iya... tapi..." aku terkejut dengan jawabanku tadi dan wajahku
terasa panas sekali.
Pak Sigit tertawa panjang, dan aku mulai menderita akibat sentuhan
sentuhan nakal pada bibir vaginaku itu.
"Mmmhh..." tiba tiba aku merintih panjang karena salah satu jari
pak Sigit dengan perlahan melesak masuk mengisi liang vaginaku, dan
dengan cepat gairahku terbakar lagi ketika jari yang nakal itu
mengaduk aduk vaginaku sampai kembali terasa ngilu.
"Lho pak... katanya... ngghh... mau mijitin??" aku memprotes di
antara lenguhanku.
"Ya ini kan lagi mijitin, non," jawab pak Sigit dan tangan satunya
mulai memijit belakang pinggangku.
"Tapi... itu..." aku merengek tak tahu harus berkata apa. "Aaah..."
Jari pak Sigit menusuk begitu dalam, lalu mengaduk dengan tanpa
belas kasihan. Aku merintih keenakan, kedua tanganku kugenggamkan
pada dudukan tangan di sofa ini. Rasa ngilu yang mendera liang
vaginaku makin menjadi jadi, dan aku mulai menggeliat keenakan,
ketika jari tangan itu tiba tiba meninggalkan liang vaginaku begitu
saja.
"Ooh..." aku mengeluh kecewa, tapi pak Sigit pura pura tidak tahu
dan ia meneruskan pijitannya pada belakang pinggangku, padahal
nafasku masih tersengal sengal akibat ulah jari tangannya itu tadi.
Aku jadi teringat dengan perlakuan pak Basyir padaku sewaktu di
villa dulu. Dengan menahan rasa kecewa yang bercampur dengan
gairah, aku membiarkan pak Sigit terus memijit tubuhku. Sulit sekali
memadamkan gairahku ini, terutama ketika pak Sigit memijit bagian
pinggir punggungku.
Aku tahu pak Sigit memang beberapa kali dengan sengaja
menyentuhkan ujung jari jari tangannya pada payudaraku. Namun kali
ini aku tak berkata apa apa, karena aku tak mau membuat pak Sigit
malah makin bersemangat menggodaku seperti tadi. Aku hanya bisa
menggigit bibir menahan gairahku dan kembali meremaskan kedua
telapak tanganku sekenanya pada sofa ini.
"Ayo non, berbaring telentang," kata pak Sigit setelah cukup lama
memijit punggungku.
Jantungku berdegup kencang. Tadi waktu masih tengkurap saja,
pak Sigit sudah mencuri curi kesempatan untuk membuatku
terangsang, apalagi kalau aku harus telentang. Aku tahu kalau
sebentar lagi tubuhku akan dijarah habis oleh pak Sigit, tapi aku tak
membantah, dan perlahan aku membalik badanku, hingga sekarang aku
sudah tidur telentang di sofa ini.
Setelah aku tidak bergerak gerak lagi, pak Sgiit mulai mencari
kakiku. Ia menemukan pergelangan kaki kiriku, dan tangannya terus
merayap ke telapak kakiku. Sesaat kemudian aku mulai merasakan
pijitan di telapak kaki kiriku itu, dan seperti tadi, pijitan itu terus
merayap hingga ke paha kiriku ini.
Ketika kedua pahaku sudah selesai dipijit, jantungku berdegup
kencang. Kenakalan apa lagi yang akan dilakukan pak Sigit terhadap
tubuhku?
Ternyata dugaanku meleset, karena pak Sigit malah mencari tangan
kananku. Lalu ia memijit dengan lembut, mulai dari lengan atas sampai
ke lengan bawah.
"Tangannya non Eliza ini halus sekali ya," kata pak Sigit sambil
membelai punggung telapak tanganku.
"Masa sih pak?" kataku sambil tersenyum kecil.
"Iya non. Bapak yakin yang punya ini pasti nona yang cantik
sekali," kata pak Sigit lagi.
"Gombal deh," kataku dengan menahan geli. "Memang ada
hubungannya?"
"Ya ada non," jawab pak Sigit sambil meraba wajahku. "Kulit muka
non ini juga sehalus tangannya non ini, jadi bapak nggak mungkin
salah!"
"Ah... bapak bisa aja," kataku dengan hati senang walaupun aku
tahu pak Sigit sedang menggombal.
Berikutnya pak Sigit ganti memijit seluruh tangan kiriku. Aku benar
benar terbuai, rasanya nyaman sekali. Kalau saja aku memikirkan
keadaan tubuhku yang telanjang bulat seperti ini, aku pasti menuruti
rasa kantukku dan tidur begitu saja.
Setelah kedua tanganku selesai, pak Sigit mulai memijit kedua
pundakku hingga ke leher. Beberapa kali aku merintih nyaman,
menikmati pijitan pak Sigit ini. Namun ketika pijitan itu beralih ke
bagian dadaku, keadaanku kembali kacau karena terbakar gairah.
"Eh... sssh... mmmhh..." aku mulai sibuk mendesah dan merintih.
Kedua payudaraku yang malang ini kembali menjadi mainan pak
Sigit. Rasanya hanya sebentar saja ia benar benar memijit, lalu
berikutnya aku hanya merasakan rabaan dan belaian lembut pada
kedua payudaraku ini Sudah gitu, nih orang pakai senyum senyum lagi,
membuat hatiku makin mendongkol.
Tapi entah kenapa aku tak tega juga untuk menegur pak Sigit.
Mungkin karena aku merasa iba dengan keadaan matanya yang buta.
Maka aku hanya diam saja, membiarkan pak Sigit yang sekarang ini
duduk di samping kiriku untuk berbuat sesuka hatinya pada kedua
payudaraku ini.
Ketika pak Sigit mulai menurunkan kepalanya, aku sudah tahu apa
yang akan ia perbuat. Jantungku berdegup kencang dan nafasku mulai
memburu. Kedua mataku kupejamkan dan jemari tanganku kuremaskan
pada sofa ini.
"Ssshh..." aku mendesah nikmat ketika ia sudah berhasil
menemukan puting payudara kiriku ini dan memagut dengan ganas.
"Eh... sakit pak..." aku merintih ketika tiba tiba pak Sigit beberapa
kali meremaskan tangan kanannya kuat kuat pada payudara kiriku
selagi ia mencucup putingku ini.
"Maaf non, bapak lagi pingin nyusu," kata pak Sigit. "Kok nggak
bisa keluar ya susunya non? Padahal bapak pingin sekali minum
susunya non Eliza."
"Ngghh..." aku melenguh dan menggeliat pelan. "Ya mana bisa pak...
Eliza kan belum punya bayi... aduuh..."
"Masa nggak bisa sih non?" tanya pak Sigit dengan nada tak
percaya, dan ia kembali mencucup puting payudaraku kuat kuat.
"Aaaww..." aku merintih lemah.
"Kalau gitu bapak coba satunya aja," kata pak Sigit.
"Eh... pak... jangan... ooooh..." aku kembali merintih ketika ganti
puting payudara kananku yang menjadi korban pagutan bibir pak Sigit.
Setelah hampir setengah menit pak Sigit mencoba meminum susu
dari puting payudara kananku ini, dan tentu saja tak berhasil, barulah
ia menyerah.
"Wah, kok nggak bisa ya?" keluh pak Sigit.
"Ya nggak bisa lah pak," aku menggerutu dengan hati mendongkol.
"Kan tadi Eliza udah bilang kalau belum punya bayi. Lagian,
memangnya Eliza ini sapi ya pakai diperas seperti itu??"
"Aduh maaf ya non," kata pak Sigit. "Abisnya bapak tadi kepingin
sekali."
Baru saja minta maaf, pak Sigit sudah kembali mengulum puting
payudara kiriku. Bahkan ia membelai dan meremasi payudara kananku
ini dengan kedua tangannya. Sekali ini aku hanya bisa memejamkan
mataku, merintih dan menggeliat pasrah.
Ketika akhirnya pak Sigit puas menjadikan kedua payudaraku ini
sebagai mainannya, ia beralih memijat perutku dengan lembut.
Rasanya nyaman sekali, hingga walaupun gairahku belum sepenuhnya
reda akibat ulah pak Sigit tadi, kini aku kembali mengantuk. Aku terus
memejamkan mataku dan merintih perlahan, menikmati pijatan pak
Sigit.
Tapi lagi lagi hal itu cuma berlangsung sebentar. Ketika pijatan itu
mengarah makin ke bawah perutku, aku mulai sibuk mendesah, karena
bibir vaginaku sudah menjadi korban kenakalan jemari pak Sigit.
"Mmhh..." aku merintih perlahan. "Pak... tadi kan udah..."
"Udah apa non?" jawab pak Sigit dan ia malah makin bersemangat
menggoda bibir vaginaku dengan jari jarinya itu.
Aku menggeliat pelan, rasa panas kembali menjalari seluruh
tubuhku. Dan ketika jemari itu mengintip liang vaginaku beberapa kali,
jantungku berdegup kencang, karena aku sudah tahu apa yang akan
terjadi pada liang vaginaku ini.
Dan memang beberapa saat kemudian, salah satu jari tangan pak
Sigit tenggelam ke dalam liang vaginaku.
"Aduh... pak... kok dimasukin lagi sih..." aku merengek.
"Abisnya hangat hangat enak non," jawab pak Sigit.
"Ngaco ah... aaah..." aku tak bisa mengomel lebih lama karena jari
jari itu mulai bergerak mengaduk liang vaginaku.
Makin lama gerakan jari pak Sigit di dalam sana menjadi semakin
liar, membuatku menggelepar dan menggeliat keenakan.
"Pak... udaah..." aku meracau di tengah penderitaanku ini.
Dan jawaban yang kuterima dari pak Sigit membuat kedua mataku
terbeliak. Tanpa belas kasihan pak Sigit malah memasukkan satu
jarinya yang lain, hingga liang vaginaku harus menelan dua jari
tangannya sekaligus. Kedua kakiku mengejang sesaat, aku hanya bisa
menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat saat dua jari itu mulai
mengaduk aduk liang vaginaku.
"Ngggh... ampun paak..." aku melenguh keenakan saat cairan cintaku
harus kembali membanjir.
Dengusan nafas pak Sigit mengiringi orgasme yang menderaku. Ia
begitu bersemangat mengaduk aduk liang vaginaku. Akibatnya tubuhku
mengejang tak karuan, dan aku hanya bisa melenguh keenakan karena
didera orgasme yang datang susul menyusul. Seluruh tubuhku terus
tersentak hebat, dan tenggorokanku serasa tercekat hingga aku sulit
sekali bernafas.
Aku makin tersiksa karena otot perutku ini mengejang dan
mengejang. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Entah sudah berapa
banyak cairan cinta yang mengalir keluar dari liang vaginaku yang
terasa ngilu tak karuan ini.
"Nggh..." aku melenguh lemah dan tubuhku tergeletak pasrah ketika
akhirnya pak Sigit menghentikan adukan kedua jarinya pada liang
vaginaku ini.
Nafasku tersengal sengal tak karuan. Denyutan demi denyutan otot
liang vaginaku masih begitu terasa. Sesekali tubuhku tersentak kecil
menikmati sisa orgasmeku. Rasanya lemas sekali, sambungan tulang
tulang di tubuhku ini sepertinya sudah terlepas semuanya. Jemari
kedua tanganku ini kuremaskan sebisaku pada sofa ini.
-x-
XIV
Pembantaian Terakhir
Dengusan nafas kami berdua masih cukup keras, ketika tiba tiba
aku mendengar suara pak Sigit yang memanggilku.
"Non Eliza?"
"Mmm..."
"Itu... burung bapak bangun lagi."
"Burung itu kok nakal sekali sih pak?"
"Nggak tau non, tapi bapak jadi kepingin sekali main sama non
Eliza lagi."
"Duh, lagi?"
"Iya non, satu kali iniii aja. Toh abis ini bapak kan belum tentu
bisa ketemu non lagi?"
Aku menghela nafas panjang dan membuka mataku untuk melihat
penis pak Sigit itu. Ternyata penis itu memang sudah kembali tegak
mengacung. Tiba tiba liang vaginaku terasa ngilu ketika aku
membayangkan penis itu akan kembali mengisi liang vaginaku ini.
"Mmmh..." aku merintih pelan. "Iya deh."
Setelah menjawab permintaan pak Sigit, aku pikir ia akan segera
menindih tubuhku dan menggenjot liang vaginaku dengan penuh
nafsu. Tapi ternyata dugaanku salah. Pak Sigit memang naik ke sofa
dan menindih tubuhku, namun ia hanya menempelkan kepala penisnya
pada bibir vaginaku, sementara ia mencari wajahku, lalu mencumbuiku
dengan mesra.
Diperlakukan dengan lembut seperti ini, aku jadi merasa senang.
Maka aku memeluk punggung pak Sigit dan balas mencumbu wajahnya
dengan sepenuh hatiku. Gairahku naik dengan cepat dan jantungku
berdegup kencang, apalagi saat aku merasakan kepala penis pak Sigit
itu bermanja manja pada bibir vaginaku.
Makin lama, aku merasa pak Sigit makin bernafsu mencumbui
wajahku. Bahkan kemudian ia mencari bibirku, lalu memagut dengan
ganas. Aku sedikit gelagapan, namun berikutnya aku bisa menguasai
diri, bahkan aku mulai balas memagut bibir pak Sigit.
"Mmmh... mmmm..." aku merintih dalam keadaan terbakar gairah.
Tiba tiba pak Sigit menghentikan pagutannya. Lalu ia menarik
tubuhku hingga aku terduduk di hadapannya.
"Non Eliza, bapak haus," kata pak Sigit.
"Eh? Pak Sigit mau minum?" tanyaku ragu. Air minum di kedua
gelas yang kubawa tadi itu kan sudah habis.
"Iya non," jawab pak Sigit. "Mau minum air ludahnya non. Boleh
nggak non?"
Mendengar permintaan pak Sigit ini, perasaanku benar benar
tersengat. Aku menundukkan wajahku sejenak, namun kemudian
dengan penuh gairah aku memeluk tubuh pak Sigit dan menindihnya.
Lalu aku memagut bibir pak Sigit dan melesakkan lidahku ke dalam
mulutnya.
Jantungku berdegup kencang sekali saat pak Sigit yang balas
memeluk tubuhku ini mulai mengulum lidahku. Aku merasa semua air
ludah di lidahku ini diseruput habis olehnya. Ciuman ini benar benar
panas dan gairahku makin terbakar saja.
"Mmmhh..." aku merintih manja ketika akhirnya pagutan kami
terlepas, dan aku menyembunyikan kepalaku di pundak kiri pak Sigit.
"Non Eliza," pak Sigit memanggilku.
"Iya..." desahku pelan dengan pandangan yang makin meredup.
"Bapak masih haus," kata pak Sigit mesra. "Pingin minum lagi. Tapi
sambil main ya non?"
Tanpa menjawab, dengan tenaga yang tersisa, aku mengangkat
pinggulku sedikit dan menggerakkan tangan kiriku ke tengah tubuhku
dan pak Sigit, mencari penisnya yang sudah merindukan liang
vaginaku ini. Setelah aku menemukannya, aku memasangkan kepala
penis itu pada bibir vaginaku.
"Ngggh..." aku melenguh nikmat ketika pinggulku ini kuturunkan
hingga penis pak Sigit kembali mengisi liang vaginaku.
"Ooooh..." rintih pak Sigit. "Enaknya noon..."
Dan aku tidak melupakan permintaan pak Sigit. Sesaat kemudian
aku mengangkat wajahku yang sejak tadi kusandarkan di pundaknya,
lalu bibir kami kembali saling berpagut. Dengan penuh penyerahan, aku
melolohkan air ludahku ke dalam mulut pak Sigit selagi ia mulai
menggenjot liang vaginaku.
Rintihan dan desahan kami berdua saling bersahutan memenuhi
ruangan ini. Kami bersetubuh dengan panas, gerakan kami berdua
makin liar. Dan aku melenguh tertahan saat pak Sigit kembali
menyiksaku dengan gerakan sit up seperti tadi. Hunjaman penis yang
berukuran raksasa itu jadi semakin terasa, membuatku menggeliat
keenakan dalam pelukan pak Sigit.
"Mmmhhh... anggghhkk..." punggungku sampai terdongak ketika aku
melenguh sejadi jadinya.
"Enak ya non? Heenggh!" geram pak Sigit.
"Iya... enak..." aku meracau dengan tubuh yang terus menggeliat.
"Kenapa... kok enak non... eeergh..." geram pak Sigit yang
mempererat pelukannya pada pinggangku sambil menghunjamkan
penisnya dengan begitu dalam pada liang vaginaku ini.
"Aaawww... soalnya burung itu... masuk semuah..." aku terus
meracau tak karuan menikmati rasa ngilu yang makin menjadi pada
liang vaginaku ini.
Tiba tiba pak Sigit memeluk punggungku, lalu ia beranjak duduk
hingga aku juga duduk di hadapannya dengan penisnya yang masih
menusuk liang vaginaku. Gerakan pak Sigit itu membuat liang vaginaku
teraduk penisnya yang terus berdenyut itu, hingga tubuhku bergetar
hebat. Aku memejamkan mataku menikmati semua itu, dan aku terlalu
malas untuk mengatupkan bibirku yang masih ternganga ini walaupun
aku merasakan air ludahku mulai mengalir dari ujung kiri bibirku.
Dalam posisi duduk seperti ini, pak Sigit menggoyangkan
pinggulnya maju mundur, hingga kepalaku terdongak ke belakang saat
rasa nikmat yang amat sangat itu mendera liang vaginaku. Aku tak
bisa ke mana mana, karena pelukan pak Sigit begitu erat, tapi aku
memang tak berniat untuk melepaskan diri, dan dalam keadaan
terbakar gairah aku malah balas menggoyangkan pinggulku, hingga
liang vaginaku makin teraduk aduk oleh penis pak Sigit.
"Ngggh... ngggghh..." aku melenguh panjang saat aku harus kembali
takluk pada terjangan badai orgasme untuk yang ke sekian kalinya ini.
Tubuhku menggeliat hebat. Kepalaku terkulai ke depan, tersandar di
pundak kiri pak Sigit. Jemariku kuremaskan pada kulit punggung pak
Sigit. Nafasku tersengal tak karuan. Kini aku mulai kelelahan, rasanya
aku sudah capek sekali dan mengantuk. Aku tak juga mengatupkan
bibirku walaupun aku merasa air ludahku kembali mengalir dari ujung
bibir kananku, rasanya saat ini aku begitu lemas untuk melakukan
apapun.
Belum juga orgasmeku reda, pak Sigit memajukan badannya dan
menindih tubuhku. Aku menggeliat lemah karena penis pak Sigit yang
sejak tadi tertanam dalam liang vaginaku ini kembali bergerak
mengaduk dan memompa. Aku merintih ldan menggeliat perlahan,
namun makin lama rasa ngilu pada liang vaginaku ini semakin
menyiksaku.
"Aaaah... paaaak... aduuuh..." akhirnya aku kembali meracau dan
sekali ini aku harus menjerit keenakan. "Nggghhh... ampun paaak..."
Tubuhku menggeliat dan mengejang hebat, kedua kakiku melejang
lejang tak karuan. Cairan cintaku serasa membanjir begitu banyak. Aku
merasa mataku terbuka, tapi aku tak melihat apa apa. Dan aku masih
terus dihajar badai orgasme ini ketika pak Sigit mulai mendengus tak
karuan.
"Heengggh... enaknya noon..." pak Sigit juga mulai meracau.
Aku sudah tak bisa menanggapi, tubuhku terus tersentak dan
nafasku tersengal sengal.
"Eerrghh.. huaaaah..." geram pak Sigit selagi tubuhnya berkelojotan,
dan aku kembali merasakan semburan cairan hangat dalam liang
vaginaku.
Aku tergeletak lemas di sofa dalam keadaan ditindih pak Sigit,
dengan penisnya yang masih mengisi liang vaginaku. Tubuh kami
berdua basah oleh keringat, walaupun sebenarnya AC ruangan ini
dingin sekali. Sementara itu pak Sigit terus mencumbui wajahku, dan
aku hanya memejamkan mataku sambil berusaha mengatur nafasku.
-x-
XIV
Ketika Tukang Servis Piano Itu Pulang
Setelah istirahat beberapa saat lamanya, akhirnya aku merasa
tenagaku sedikit pulih.
"Pak Sigit, berat ah," kataku sambil mencoba mendorong tubuh pak
Sigit yang masih enak enakan menindihku.
"Oh iya, maaf non," kata pak Sigit. "Abis enakan tidur di badannya
non daripada di sofa."
"Yee... Eliza kan bukan kasur," aku memprotes. "Ayo pak... turun
dong."
Pak Sigit tertawa, lalu ia melepaskan tindihannya hingga penis itu
juga ikut tertarik lepas dari liang vaginaku, membuatku sempat
mendesis lirih. Lalu ia turun dan duduk di sampingku.
"Pak, liat nih, Eliza capek lagi gara gara bapak," aku mengeluh
pelan. "Tolong pijitin kaki Eliza lagi ya? Tapi jangan pakai gituan lagi
pak."
"Iya non, cuma pijit saja kok," kata pak Sigit. "Bapak janji."
Sambil memijit kakiku, pak Sigit mulai mengajak aku mengobrol.
"Non Eliza, kalau piano ini sudah waktunya diservis lagi, non mau
nggak, datang lagi untuk nemenin bapak?"
"Mmm... nggak janji deh pak. Lagian, waktu itu kan belum tentu
rumah Cie Natalia ini kosong lagi seperti sekarang?"
"Kalau gitu, saya bisa ketemu sama non Eliza lagi nggak?"
"Nggak tau juga sih. Memangnya kenapa pak?"
"Bapak pasti kangen sama non Eliza."
Aku diam tak tahu harus menjawab apa mendengar kata kata pak
Sigit yang terakhir ini. Pak Sigit sendiri juga diam sambil meneruskan
pijitannya pada kedua betisku. Sekitar lima menit kemudian, rasa pegal
pada betisku sudah berkurang banyak.
"Udah pak, pegalnya udah hilang. Terima kasih," kataku pada pak
Sigit.
"Iya non," kata pak Sigit dengan nada sedih.
"Kok sedih gitu sih pak?" tanyaku sambil beranjak duduk, dan
dengan iba aku memandang pak Sigit.
"Sungguh bapak berharap bisa ketemu non lagi," jawab pak Sigit.
"Dari semua langganan bapak, cuma non Eliza yang memperlakukan
bapak sebaik ini."
Aku sedikit terharu mendengar kata kata pak Sigit. Dan aku
langsung membantu pak Sigit yang meraba raba lantai mencari
pakaiannya. Ketika aku memakaikan celana dalam pak Sigit, aku
melihat sisa cairan putih di ujung kepala penis pak Sigit, sedangkan
batang penisnya itu basah mengkilat, pasti oleh cairan cintaku. Dan
tiba tiba saja gairahku kembali bangkit hingga nafasku jadi sedikit
memburu.
"Pak Sigit," aku berkata pelan sambil membelai penis pak Sigit.
"Eliza boleh bersihkan burung ini sebelum bapak pulang?"
"Boleh non Eliza," jawab pak Sigit cepat. "Terima kasih non yang
baik."
Tanpa berkata apa apa lagi aku memajukan wajahku hingga kepala
penis itu berada dalam kuluman mulutku. Penis itu sudah tak sekeras
tadi. Perlahan aku menggunakan lidahku untuk menjilat bagian
ujungnya, lalu aku mencucup kepala penis itu dan menyeruput semua
sisa sperma pak Sigit yang tadi disemprotkan ke dalam liang vaginaku.
"Oooh..." pak Sigit mulai meracau. "Katanya jangan pakai gituan...
oooh... terus noon..."
Mendengar racauan itu, aku menahan geli. Tapi aku terus
membersihkan kepala penis itu dengan lidahku. Setelah kurasa cukup,
aku memajukan wajahku lagi, lalu mengulum cairan cintaku sendiri
yang membasahi penis itu. Batang penis itu kujilat memutar, hingga
pemiliknya berkelojotan. Reflek aku memeluk kedua paha pak Sigit
dengan kedua tanganku, karena aku tak ingin penis itu sampai lepas
dari kulumanku sebelum aku selesai membersihkan semua cairan
cintaku yang menempel di sana.
"Aduuh... aduh nooon... eeergghh..." pak Sigit menggeram keenakan
menikmati servis oralku ini.
Aku terus menghisap penis itu sampai kurasa sudah bersih dari
semua cairan cintaku, lalu dengan mengatupkan bibirku erat erat, aku
menarik kepalaku menjauh, hingga akhirnya penis itu terlepas
seluruhnya dari kuluman mulutku. Melihat penis itu terkulai lemas, aku
hampir tak kuat menahan geli.
"Ooooh... oooh..." rintih pak Sigit.
"Iya iya, udah selesai kok pak," kataku sambil mengelap penis pak
Sigit dengan tissue.
"Lagi juga nggak apa apa non," kata pak Sigit.
"Ih, udah bersih kok," jawabku sambil membelai penis itu terakhir
kali, sebelum aku membantu pak Sigit memakai semua
pakaiannya.
Setelah itu, aku membantu mengambilkan tas dan tongkat milik pak
Sigit. Ketika aku memberikan kedua barang itu, tiba tiba aku teringat
sesuatu.
"Pak Sigit, abis ini bapak pulang naik apa?" tanyaku ingin tahu.
"Ada tukang becak yang masih tetangga bapak, yang biasa jemput
bapak dengan becaknya. Dia selalu menjemput bapak kira kira satu
setengah jam setelah antar bapak datang ke tempat langganan," jawab
pak Sigit.
"Ooo..." aku mengguman pelan
Dan tiba tiba saja jantungku berdebar kencang. Aku ingat kalau
sampai sekarang aku tidak mengunci pintu ruang piano ini. Kalau saja
tadi tukang becak yang menunggu pak Sigit itu sampai masuk ke
dalam sini, lalu melihat aku sedang ngeseks dengan pak Sigit, entah
bencana seperti apa yang akan menimpa diriku.
"Ya sudah, bapak pulang dulu ya non," pak Sigit berpamitan
padaku, menyadarkanku dari lamunanku.
"Iya... eh pak, tunggu sebentar," aku menahan tangan pak Sigit.
"Eliza anterin bapak ke depan, tapi Eliza pakai baju dulu ya."
"Oh iya. Makasih non yang baik," kata pak Sigit.
Aku tersenyum kecil. Yang pertama kucari di lantai adalah celana
dalamku. Aku mengenakan benda mungil itu, lalu aku membuka tasku
untuk mengambil kaos ganti dan celana jeansku yang ada di dalam
sana, tapi perhatianku tertuju pada amplop putih, titipan Cie Natalia
tadi.
Dan teringat dengan Cie Natalia, tiba tiba aku merasa ngeri sekali.
Aku tak berani membayangkan apa yang terjadi kalau sampai tadi itu
Cie Natalia tiba tiba masuk ke dalam sini dan melihat aku sedang
ngeseks dengan pak Sigit. Duh, aku harus cepat berpakaian nih.
"Aduh, maaf pak... Eliza sampai lupa. Ini pak, ongkos servis piano
yang dititipkan Cie Natalia," kataku sambil memberikan amplop itu
pada pak Sigit.
"Oh iya... bapak sendiri juga lupa. Habisnya, bapak mikirin non
terus. Terima kasih ya non Eliza," kata pak Sigit yang lalu memasukkan
amplop itu ke dalam tasnya.
"Sama sama pak," jawabku sambil mengenakan kaos ganti dan
celana jeansku itu dengan sedikit terburu buru.
Setelah aku berpakaian dengan pantas, aku mengumpulkan bra dan
kostum baletku yang sedikit basah itu, juga stockingku yang ikut
berserakan di lantai dan ikat rambutku yang tadinya sempat kulepas
itu, lalu aku menyimpan semuanya ke dalam tasku. Tak lupa aku
sekalian memasukkan ponselku itu ke dalam tasku.
"Mari pak, Eliza anterin keluar," kataku pada pak Sigit.
"Non Eliza, boleh nggak bapak minta cium sekali saja sebelum
pulang?" tanya pak Sigit penuh harap.
"Iya deh, boleh," kataku dengan menahan geli. "Tapi sekali aja ya
pak?"
Aku melingkarkan tanganku ke belakang leher pak Sigit sambil
menyerahkan bibirku padanya. Pak Sigit mencium bibirku dengan
penuh perasaan, hingga aku memejamkan mata menikmati kemesraan
dan hangatnya ciuman pak Sigit itu.
"Makasih non," kata pak Sigit. "Makasih."
Aku menundukkan kepalaku tanpa menjawab. Tangan kiri pak Sigit
itu kugandeng, dan ia kutuntun sampai keluar ke pintu gerbang. Di
sana, mbak Lastri sedang menunggu di pintu gerbang yang terbuka
sedikit itu, kelihatannya ia sedang mengobrol dengan seseorang.
Setelah aku melangkah hingga cukup dekat dengan mbak Lastri,
aku baru bisa melihat bahwa mbak Lastri sedang berbicara dengan
seorang tukang becak. Tampaknya ia adalah tetangga pak Sigit yang
sudah menunggu di sini untuk menjemput.
Jantungku kembali berdegup kencang. Saat ini aku merasa sedikit
tegang karena teringat dengan kedua payudaraku yang tidak tertutup
oleh bra. Aku berharap pak Sigit yang baru saja menikmati tubuhku ini
tidak sampai hati untuk berbuat macam macam di hadapan tukang
becak itu, apalagi sekarang ini ada mbak Lastri. Belum lagi kalau Cie
Natalia tiba tiba muncul.
Setelah sedikit basa basi dan pak Sigit akhirnya pulang, aku merasa
lega dan segera masuk ke dalam rumah, menuju ke kamar Cie Natalia.
Aku menyiapkan handuk, satu stel baju tidur dan tentu saja bra dan
celana dalamku, lalu aku masuk ke dalam kamar mandi yang ada di
dalam kamar Cie Natalia.
Dengan cepat aku mandi keramas sepuasku, membersihkan tubuhku
dari semua sisa keringat dan Vaseline yang melekat pada tubuhku.
Tentu saja aku tak lupa membersihkan liang vaginaku yang tadi
sempat terisi sperma pak Sigit sampai dua kali, sebelum akhirnya aku
mengeringkan rambutku dan juga sekujur tubuhku dengan handuk
yang kubawa tadi.
Diam diam aku bersyukur karena aku tadi pagi aku tidak lupa
minum pil anti hamil. Setelah selesai, aku mengenakan semuanya, bra,
celana dalam, dan juga baju tidurku. Saat ini kakiku sudah tak terasa
begitu pegal. Mungkin karena pijatan pak Sigit sebelum pulang tadi
benar benar manjur.
Tiba tiba aku teringat, ruang piano tadi. Terutama sofa yang
menjadi saksi bisu adegan panas antara diriku dengan pak Sigit di
dalam ruang piano tadi. Bagaimana kalau mbak Lastri sekarang ini
masuk ke ruang piano untuk mengambil baki dan gelas minuman yang
masih ada di sana, lalu ia melihat sisa sisa tanda persetubuhanku
dengan pak Sigit yang mungkin tertinggal di sofa itu?
Memikirkan hal itu, aku cepat mengambil sekotak tissue dan
sebotol spray pewangi ruangan yang ada di meja Cie Natalia itu, lalu
dengan jantung berdebar aku melangkah dengan sedikit cepat menuju
ke ruang piano. Ketika aku menyalakan lampu, jantungku serasa
berhenti berdetak, karena baki minuman dan gelas gelasnya itu sudah
tidak ada lagi.
Yang pertama kuperhatikan adalah sofa itu. Jangan sampai sofa itu
ternoda oleh ceceran sperma ataupun cairan cintaku. Untung sofa itu
berbau Vaseline, jadi aku rasa mbak Lastri tak akan curiga yang tidak
tidak.
Setelah aku memastikan tak ada sisa ataupun tanda dari
persetubuhanku dengan pak Sigit, aku menyemprotkan pewangi ke
tengah ruangan ini. Lalu aku mematikan lampu dan keluar dari sini,
untuk kembali ke kamar Cie Natalia.
Selagi melangkah ke sana, tiba tiba aku teringat tawaran Dedi. Ia
mengatakan kalau ayahnya adalah tukang pijat tuna netra yang ahli
menghilangkan rasa pegal dan capek. Dan aku baru saja merasakan
dipijat oleh pak Sigit yang juga seorang tuna netra, rasanya memang
nyaman sekali.
Tampaknya waktu itu Dedi memang tidak berbohong padaku.
Setelah menutup kembali pintu kamar Cie Natalia, aku mengembalikan
pewangi ruangan ini sambil terus melamun. Mungkin kelak aku akan
mencoba untuk pijat di tempat ayahnya Dedi.
Tapi tiba tiba aku berubah pikiran. Yang benar saja! Dengan pak
Sigit yang cuma satu orang pun, tadi aku sampai orgasme berkali kali
saat mendapatkan servis pijat plus plus. Lalu apa yang akan terjadi
padaku kalau sampai aku nekat menerima tawaran Dedi untuk dipijit
oleh ayahnya yang juga seorang tuna netra itu?
Aku sangat yakin, Dedi tak akan diam saja melihat aku menikmati
pijitan ayahnya. Mungkin sekali ia akan menggagahiku selagi ayahnya
memijit payudaraku, lalu ganti ayahnya yang menggenjotkan penisnya
pada liang vaginaku selagi Dedi memaksaku membersihkan penisnya
dengan mulutku.
Memikirkan semua itu, tiba tiba liang vaginaku terasa berdenyut
denyut. Dan pikiranku makin kacau ketika aku membayangkan bahwa
mungkin saja aku akan dipaksa oleh mereka untuk menginap. Bisa
bisa aku mati orgasme akibat digilir oleh mereka ayah dan anak itu
sampai berkali kali sepanjang malam.
Tiba tiba ketika aku merasakan sentuhan jari tangan pada
selangkanganku. Aku segera melihat ke bawah, dan mendapati jari
tanganku yang mulai menggoda bibir vaginaku ini, membuatkuku
segera tersadar dari lamunan erotisku ini.
Duh, mengapa juga aku teringat sama si kurang ajar itu? Aku
mengomeli diriku sendiri dan berusaha memikirkan hal yang lain,
sambil memasukkan semua baju gantiku ke keranjang baju kotor. Lalu
aku memastikan tas sekolahku sudah siap untuk besok.
Aku sempat melihat jam dinding, sekarang sudah jam setengah
sepuluh lebih sedikit. Aku tak lupa mengambil ponselku yang masih
berada di dalam tasku, untuk mengganti profilnya ke mode general,
dan saat itu aku baru tahu ada SMS yang masuk beberapa menit yang
lalu.
'Eliza, hari ini kamu udah istirahat dengan baik kan? Jangan terlalu
capek ya, nanti kamu bisa sakit lagi, apalagi sebentar lagi kan ada
ujian.'
Dengan hati yang berbunga bunga, aku cepat membalas SMS dari
Andy, memberitahunya kalau aku seharian ini sudah beristirahat
dengan baik. Aku juga sudah merasa lebih segar. Tak lupa aku
mengucapkan thanks di akhir balasanku.
Mendapat perhatian Andy seperti ini, aku merasa bahagia hingga
aku tersenyum senyum sendiri. Tapi tiba tiba hatiku meronta pilu
karena aku merasa telah membohongi Andy. Kedua mataku membasah
dan aku hampir menangis.
Baru beberapa jam yang lalu, saat aku dengan tak tahu malu telah
menggoda seorang tukang servis piano yang buta, mulai dari
bertelanjang tubuh di hadapannya, lalu memberikan servis oral
padanya hingga nafsunya bangkit terhadapku, dan melayani
keinginannya untuk ngeseks denganku.
Aku masih ingat bagaimana aku sempat meracau tak karuan
menikmati persetubuhan kami hingga orgasme sampai berkali kali di
dalam pelukannya. Dan yang paling parah dari semua itu, aku bahkan
menerima tawaran pak Sigit untuk menukar tubuhku sebagai imbalan
untuk servis pijat plus plusnya.
Lalu, apa bedanya aku dengan pelacur? Apakah aku masih layak
untuk mendapatkan semua perhatian Andy? Apakah aku masih layak
untuk menjadi kekasihnya? Apakah aku pantas untuk bermimpi menjadi
istrinya? Bukankah Andy berhak untuk mendapatkan perempuan yang
mampu mempersembahkan kesucian tubuhnya pada Andy di malam
pertamanya sebagai pengantin?
Memikirkan semua itu, aku semakin terbenam dalam kesedihanku.
Perlahan air mataku mulai jatuh membasahi kedua pipiku. Apalagi
ketika ada lagi SMS yang masuk dari Andy, yang mengucapkan
selamat tidur padaku.
Perhatian Andy yang harusnya membahagiakan diriku ini malah
membuat hatiku semakin sakit. Aku membalas SMS itu dalam isak
tangisku, setelah itu aku merebahkan diri di atas ranjang Cie Natalia
dan menyembunyikan tubuhku ke dalam bed cover.
"Andy... I'm sorry," keluhku dalam hati, dan tangisku pun makin
menjadi.
Aku memejamkan mataku, namun wajah Andy yang tersenyum malu
malu saat melihatku malah tergambar semakin jelas dalam pikiranku.
Aku sadar bahwa aku tidak pantas menjadi kekasih Andy, tapi aku tak
tahu harus bagaimana kalau aku sampai kehilangan dia. Maka aku
hanya bisa menangis sedih, menyesali keadaanku sekarang ini.
Entah sudah berapa lama aku menangis hingga akhirnya aku merasa
lelah dan mengantuk. Dalam kesedihanku ini, perlahan aku mulai tak
ingat apa apa lagi dan aku sudah tertidur pulas, mengistirahatkan
tubuh dan pikiranku dari hari yang melelahkan ini, setidaknya supaya
aku cukup kuat untuk menjalani hari esok.
- BERSAMBUNG -

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.