Selasa, 17 Maret 2015

Eliza 8: Suka Duka Ketika Liburan

Di hari Jumat ini, ketika sudah waktunya pulang sekolah, aku sudah
akan berdiri dari kursi ketika Jenny memintaku menunggu sebentar.
"El, jangan pulang dulu dong, bentar bentar! Kamu lagi mikirin apa sih
El? Gini aku jelaskan lagi ya, besok Senin, Selasa dan Rabu kita kan
libur.. yaaa aku tahu memang ada bazar, tapi kita bisa berlibur dulu
kan, jadi baru datang hari Selasa dan Rabunya gitu", Jenny berkata
panjang lebar. Aku terbawa oleh sikapnya yang selalu riang itu, dan
mendengarkannya sambil tersenyum.
"Gini nih Eliza, aku pinginnya, kita berlibur ke Tretes, tiga hari dua
malam saja. Jadi besok sore kita berangkat, terus senin sore baru
balik lagi ke Surabaya. Gimana El?", tanya Jenny. "Memangnya kita
mau pergi sendiri berdua Jen?", aku bertanya heran. "Ya nggak lah El,
kamu sih dari tadi nggak dengerin kita ngomong, ngelamun aja.. Lha
ini Siany, Bella dan Rini ngumpul sama kita di sini buat apa?", gerutu
Jenny, dan ketiga temanku yang lain itu memandangku dengan
cemberut.
Aku baru sadar kalau ada mereka bertiga ini yang sejak tadi ngobrol
dengan kami berdua. "Aduh.. sori ya.. jadi, kita berlima ya Jen?",
tanyaku lagi. Jenny mencubit kedua pipiku dengan gemas, "Nih anak
memang minta dijitaaak... Sherly juga ikut Eeel!". Aku mengeluh manja,
"Aduh Jen.. iya ampun...". Kami semua tertawa dalam suasana yang
riang. "Hei.. sori telat nih, aku tadi ada perlu bentar di kelas", Sherly
mendadak muncul mendekati kami yang masih duduk duduk di dalam
kelas dan menyapa kami semua.
"Sudah lengkap ya semua... Jadi gimana nih? Kita tidur di mana nanti
di Tretes? Sudah ada yang membooking vila? Atau kita tidur di hotel
Surya?", tanya Sherly setelah duduk bersama kami. Rini yang pada
kelas 1 SMA sekelas denganku, langsung bertanya padaku, "El,
langsung aja nggak pakai basa basi, kalau vila kamu dipakai nggak?
Kalau nggak dipakai, bisa nggak kita menginap di vilamu?". Aku agak
terkejut mendengar kata kata Rini. "Vilaku...?", aku mengguman dengan
ragu.
"Iya El, kalau di vilamu gimana? Selain Rini, nggak ada yang pernah ke
sana lho.. please yaa?", Sherly menambahkan. "Iya nih El.. itu ide yang
bagus kan. Kalau di vila Sherly, kayaknya bakal gak cukup..", seru
Jenny dengan bersemangat, tapi terhenti karena diam diam di bawah
meja aku menendang kakinya. Jenny rupanya sadar juga, mengapa aku
menendang kakinya. Jenny pasti baru ingat, aku pernah menceritakan
padanya kalau aku pernah dikerjain oleh penjaga vilaku, pak Basyir itu.
Rini yang jelas tak tahu apa apa, menceritakan kalau pada perpisahan
kelas 1 SMA dulu, semua siswi di kelasku menginap di vilaku,
sedangkan yang siswa menginap di vila Andi. Oh.. teringat kepada
Andi, aku jadi merenung. Orang yang telah menjatuhkan hatiku sejak di
kelas 1 dulu, tapi kini aku berlumuran dosa. Aku tahu, Andi sendiri
sebenarnya menaruh hati padaku. Sekarang kami sudah nggak sekelas,
tapi Andi sering mencariku, dengan alasan untuk pinjam buku
catatanku.
Aku yakin itu cuma alasan, karena aku tahu Andi sendiri adalah anak
yang rajin, tak mungkin dia perlu pinjam buku catatanku. Hal ini
memang yang membuat aku tadi melamunkan Andi, yang baru saja
meminjam buku catatan pelajaran Fisika dariku. Selain itu, Andi sering
salah tingkah kalau ada di dekatku, ia tak pernah mampu menatapku
lama lama. Oh seandainya saja Andi tau, aku juga suka padanya... tapi
kini, aku sudah berlumuran dosa.
"Gimana El?", pertanyaan Sherly membuyarkan lamunanku. "Oh... itu
ya", aku tergagap, dan memandang sekelilingku. Selain Jenny, mereka
semua terlihat berharap untuk menginap di vilaku, dan ini membuatku
tak enak untuk menolak. "Ya sudah, aku telepon penjaga vilaku dulu
yah, aku suruh siapkan dua kamar untuk kita. Kita tidurnya bertiga
bertiga ya?", kataku sambil mengambil handphoneku dari dalam tas
sekolahku, walaupun sebenarnya perasaanku tak karuan. Ini kan sama
saja seperti aku menyerahkan diriku kepada pak Basyir?
"Asyiik..", seru ketiga temanku, sedangkan Jenny tersenyum ragu,
sementara Sherly duduk di kursi sebelahku, ia memelukku dan berkata,
"Thanks ya Eliza". Aku agak tersengat, karena aku merasakan payudara
Sherly menekan payudaraku, membuat mukaku rasanya panas.
"Mmm...", aku memejamkan mataku, tapi aku langsung sadar aku tak
boleh larut oleh perbuatan Sherly ini. "Iya nggak apa apa kok Sher,
bentar aku telepon dulu nih", kataku sambil mencoba melepaskan
pelukan Sherly dengan agak panik, masa Sherly memelukku dengan
semesra ini di depan teman teman?
Sherly melepaskanku, mungkin sungkan juga karena di sini ada teman
teman kami yang lain. Kemudian aku segera menelepon penjaga vilaku,
pak Basyir. "Halo, pak Baysir ya... Pak, ini Eliza, besok aku dan teman
temanku mau menginap di vila, tolong siapkan kamarku dan kamar di
seberangnya ya, yang lain nggak usah.". Pak Basyir menjawab, "Beres
non Liza, aduh, senangnya bapak bisa lihat non Liza lagi...". Aku
segera memotong kata kata pak Baysir yang mulai melantur ini, "Ya
sudah, terima kasih pak".
Aku cepat cepat memutus pembicaraan ini dengan gelisah,
membayangkan besok saat aku menginap di vila keluargaku, berarti
aku mau tak mau pasti bertemu dengan pak Basyir. Jujur saja aku
bahkan masih merasa panas dingin kalau teringat aku dipermainkan
oleh pak Basyir sampai aku tak kuat dan memohon mohon untuk
diantar menuju orgasme, dan aku masih teringat jelas, di hari terakhir
sebelum pulang aku malah membuang harga diriku dan menyerahkan
tubuhku pada penjaga vilaku yang sudah tua itu.
Tapi aku tak mau memperlihatkan kegelisahanku kepada mereka. Aku
berusaha tersenyum pada mereka. "Ya udah, besok kita berangkat.
Tapi mobilku kan nggak cukup kalau diisi kita semua, bagaimana ini?",
tanyaku pada mereka. "Tenang aja, Eliza. Aku bisa bawa mobilku, jadi
kita bawa dua mobil ke sana. Rumah Rini kan dekat Jenny, jadi kamu
jemputin Jenny dan Rini aja El. Nanti aku jemput Siany dan Bella, terus
kita ketemuan di hotel Surya dulu ya, vilamu kan dekat sana El", kata
Sherly panjang lebar.
"Iya boleh", aku mengangguk setuju. Rini bertanya, "Besok kan kita
pulang lebih awal, jadinya kita berangkat jam berapa?". Siany langsung
menyambung, "Sebaiknya nanti malam kita sudah bersiap siap, besok
jam satu siang kita langsung berangkat, jadi kita nggak kemalaman
waktu sampai di vila nanti". Bella yang kutu buku itu bertanya juga,
"Kita nggak perlu bawa bantal guling tambahan?". Aku langsung
melarangnya, "Nggak usah Bel, di sana ada cukup bantal guling juga
selimut buat kita semua".
Maka semua sudah diputuskan, besok kami akan berangkat setelah
makan siang. Rini, Siany dan Bella berpamitan pulang duluan pada
kami. Jenny sendiri sudah menelepon sopirnya, "Pak Hari, aku nggak
usah ditunggu, aku nanti pulang sekolah ikut temanku saja, soalnya
ada perlu nih... ... ya sudah, makasih pak". Lalu dengan riang Jenny
berkata padaku, "El, abis ini temani aku beli camilan buat besok ya".
Aku sudah kembali terbawa oleh sikap Jenny yang riang ini, dan aku
mengangguk senang.
Ketika aku berdiri, Sherly juga berdiri dan menggandeng tangan
kananku, sedangkan Jenny juga sudah menggandeng tangan kiriku,
dan kami semua berjalan keluar dari kelas ini. Selain Jenny, kini Sherly
juga sudah menjadi teman akrabku sejak tiga minggu yang lalu ketika
aku mengantarkan buku titipan Jenny, dimana Sherly waktu itu bahkan
sudah akan menelanjangiku. Hal ini sempat membuatku teringat akan
perkosaan yang brutal terhadap diriku setelahnya di hari itu juga, oleh
9 anak SMP dan 3 anak STM itu.
Tapi kedua temanku ini tentu tak pernah mengetahui kalau aku sejak
tadi selain gelisah membayangkan nasibku besok malam di vila, aku
juga gelisah melihat Girno, satpam sekolah kami yang mondar mandir
di lorong depan kelasku ini, dan sesekali ia menatapku dari sana.
Maka ketika kami berpapasan dengan Girno yang menatapku dengan
pandangan lapar, aku hanya menundukan kepalaku dengan tegang
mengikuti gandengan Jenny dan Sherly, aku sungguh takut Girno akan
berbuat macam macam.
Untung saja tak terjadi apa apa sampai kami semua tiba di luar
sekolah. Aku akhirnya sudah tiba di depan mobilku. "Ya sudah El, aku
pulang dulu ya", kata Sherly sambil mencium pipiku. "Iya Sher, see
you", jawabku dengan muka yang terasa panas. Apalagi ketika di
dalam mobil, Jenny menggodaku, "Cieee.. mesra amat Sherly dengan
kamu, El?". Aku menunduk malu, dan menjawab, "Mana aku tahu Jen?".
Jenny tertawa sambil menggodaku, "Sherly jatuh cinta sama kamu kali,
El".
Aku segera mengalihkan topik yang gawat ini, "Ah kamu ada ada aja
Jen. Udah ah, kita kemana nih?". "Kita ke Bonnet aja Jen, beli camilan
yang banyaaak sekali, jadi kita nggak bakal mati kelaparan di vila
besok", kata Jenny dengan lucu, membuatku tertawa geli. "Ya nggak
sampai mati kelaparan lah Jen, paling juga kita cuma mati kebosanan",
godaku. Jenny tertawa dan menyambung, "Tapi kan jadinya nanti kita
tetap mati di vila? Nggak deh. Ya udah ayo kita berangkat El".
Aku segera menjalankan mobilku ke Bonnet, menemani Jenny
memborong banyak sekali makanan dan minuman ringan, dan setelah
kami membayar semua belanjaan yang sampai harus dibungkus dalam
4 plastik besar ini, aku mengantar Jenny pulang ke rumahnya. "Ya
udah, see you Eliza", pamit Jenny padaku. "See you Jenny", aku juga
pamit padanya dan menjalankan mobilku ke rumah. Aku harus segera
menyiapkan perlengkapan untuk berlibur ke vila besok.
Sampai di rumah, semua belanjaan itu tidak kuturunkan, karena toh
besok harus kubawa juga. Aku turun dari mobil, dan aku menggeleng
gelengkan kepalaku saat melihat Wawan dan Suwito yang sudah
mendekatiku dan menyergapku di garasi ini. Perbuatan mereka
menunjukkan kalau tak ada siapa siapa di rumah, dan aku hanya
pasrah mengikuti kemaua mereka saat aku digiring ke kamar mereka
berdua. "Kalian ini, nggak bisa kali ya melihat aku menganggur?", aku
mengomel pada kedua pembantuku ini.
"Habis, siapa suruh nona kok cantik begini", Wawan menggombal.
"Kurang ajar!, Terus memangnya kalau aku cantik itu berarti salahku?
Dan kalian jadi boleh berbuat begini padaku mmpph...", omelanku yang
kulontarkan dengan pura pura ini terputus ketika Suwito sudah
melumat bibirku dengan gemas. Tak lama kemudian baju dan rok
seragam sekolahku, berikut bra dan celana dalamku sudah berserakan
di lantai, dan Dan begitu aku terbaring di kasur, Wawan dengan tak
sabar sudah berada dalam posisi siap tempur.
Kedua pahaku diangkat ke atas dan dipeluk oleh Wawan, lalu dengan
cepat ia membenamkan penisnya dalam liang vaginaku, membuatku
melenguh pelan menahan rasa nikmat ini. "Non Eliza sendiri... yang
membuat kami tambah bernafsu gini... pakai pura pura ngomel segala...
nih...", kata Wawan di antara dengusannya, ia menatapku dengan
gemas penuh nafsu saat menghunjamkan batang penisnya kuat kuat.
"Annnnghhhh...", aku mengerang keenakan dengan manja, sedikit rasa
sakit yang yang bercampur dengan kenikmatan yang melanda
selangkanganku ini memaksa tubuhku menggeliat. Suwito
memanfaatkan terbukanya mulutku saat aku mengerang tadi, ia
langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku. Dengan erangan
dan lenguhan tertahan, aku kembali harus menjadi budak seks mereka
berdua, hal yang sudah biasa terjadi kalau aku pulang saat tak ada
papa, mama ataupun kokoku di rumah.
"Mmmppphh...", aku merintih keenakan saat Wawan makin kencang
memompa liang vaginaku. Tubuhku mulai bergetar, sementara Suwito
sendiri sudah melenguh lenguh, "Onnnggghhhh.. non Elizaaa....",
penisnya berkedut dan menyemburkan spermanya dalam mulutku. Aku
menelan semuanya, menjilati dan menyedot penis itu sampai Suwito
mengejang ngejang dan melolong lolong minta ampun, dan begitu aku
menghentikan seruputanku pada penis itu, Suwito ambruk lemas ke
lantai.
Dan kini Wawan menggenjotku dengan bebas, membuatku terus dihajar
badai kenikmatan, dan ketika akhirnya Wawan menyemprotkan
spermanya dalam liang vaginaku, aku sudah dibuatnya orgasme
sampai dua kali. Dengan lemas, aku membuka mulutku dan mengulum
penis Wawan. Setelah kubersihkan penisnya pembantuku yang
keranjingan ini, aku berdiri meskipun betisku rasanya pegal, lalu
kupungut baju seragamku dan kukenakan di depan mereka. Aku
mengancingkan bajuku dengan gerakan perlahan.
Sesekali aku melihat mereka berdua, dan aku tahu mereka meskipun
masih lemas karena baru ejakulasi, nafsu mereka sudah kembali
menggelora melihat amoy cantik yang telanjang di depan mereka
sedang mulai berpakaian. Setelah semua kancing bajuku terpasang,
aku mengenakan rok seragamku, sengaja aku berlama lama saat
menarik rok itu ke atas pinggang, membiarkan mereka melotot melihat
paha mulusku yang perlahan tertutup oleh rok abu abu ini.
"Sudah, aku naik dulu.. dasar kalian ini..", aku menggerutu dengan
suara manja, dan aku sengaja menatap mereka berdua dengan
pandangan menggoda, hingga mereka berdua melihatku dengan makin
bernafsu. Sengaja aku tak mengenakan bra dan celana dalamku, yang
kini baru kupungut dari lantai, lalu aku sengaja memutar tubuhku ke
arah luar kamar hingga rambutku berkibar mengikuti gerakan kepalaku,
yang aku tahu hal ini merupakan pemandangan yang terlalu indah dan
sexy buat mereka berdua.
"Wan.. nona kita itu kok bisa cantik kayak gitu ya?", kudengar suara
Suwito, lalu kudengar Wawan menambahkan, "Sudah cantik, sexy,
wangi lagi... memeknya itu lho, ngangenin...". Lalu kudengar Suwito
berkata lagi, "Non Eliza itu badannya kecil, tapi kuat sekali ya, bisa
tahan kita ajak main berlama lama". Duh, memang kalo orang dapat
pujian, harusnya bangga. Tapi kalau pujian yang macam begini ini,
kalau sampai terdengar ke telinga orang luar, mau ditaruh di mana
mukaku ini?
Aku mempercepat langkahku, mukaku rasanya panas, dan aku
menggigit bibir sambil tersenyum malu mendengar percakapan mereka.
Sampai di kamar mandi, aku keramas dan membersihkan seluruh
tubuhku, dan yang pasti juga liang vaginaku. Setelah mengeringkan
rambutku dan juga tubuhku, aku memakai baju santai dan menyalakan
AC kamarku karena rasanya panas. Lalu aku mengepak bajuku
secukupnya dan keperluanku ke dalam tas, dan tas ini kusembunyikan
di dalam lemariku.
Hal itu kulakukan karena aku takut kalau sampai kedua pembantuku
yang keranjingan ini tahu aku akan pergi menginap selama 3 hari 2
malam di tretes, aku bisa diperkosa mereka sampai pagi. Aku lalu
berbaring di ranjangku, rasanya malas untuk turun makan siang. Dan
mungkin karena aku baru saja disuapi sperma Suwito yang berejakulasi
di dalam mulutku saat kuoral tadi, juga tambahan sedikit sisa sperma
di penis Wawan yang berejakulasi dalam liang vaginaku, jadi aku tak
merasa begitu lapar.
Maka aku memilih tidur siang, mengistirahatkan tubuhku yang baru
dipakai oleh kedua pembantuku untuk memuaskan hasrat mereka.
Mungkin salahku juga tadi telah menggoda mereka dengan keterlaluan,
dan aku harus membayar perbuatanku tadi karena aku lupa mengunci
pintu kamarku. Rasa nikmat pada selangkanganku perlahan
menyadarkanku dari tidur. Kurasakan liang vaginaku terbelah oleh
sebatang penis yang amat keras, dan penis itu terus melesak masuk,
membuatku menggeliat perlahan.
"Ngghh.. Wan... kamu itu memang kurang ajar kok... oooh...", aku mulai
mengomel di antara lenguhan dan desahanku, ketika aku sudah benar
benar terbangun dan melihat Wawan yang sedang asyik memompa
liang vaginaku. Kulihat jam di kamarku, sekarang sudah setengah lima
sore. Oh.. lama juga tadi tidur siangku. "Habis enak sih non Eliza",
jawab Wawan dengan penuh nafsu. Suwito yang baru datang, seperti
biasa mendekatiku dan meminta servis oralku. Aku hanya bisa pasrah
melayani mereka berdua yang baru berhenti menggumuliku ketika
mendengar deru mesin mobil orang tuaku di garasi.
Keduanya meninggalkanku yang masih tergolek lemas di atas
ranjangku. Dengan malas aku bangkit dan kembali masuk ke kamar
mandi untuk mandi keramas, juga membersihkan liang vaginaku.
Setelah aku mengeringkan rambutku dan tubuhku, aku memakai baju
tidur dan turun untuk menyapa papa mama dan kokoku, sekaligus
makan bersama. Di sela sela saat makan, aku menyampaikan maksudku
untuk berlibur bersama teman temanku ke vila besok selama tiga hari.
Papaku menanda-tangani surat permohonan yang aku buat untuk
meminta ijin tidak masuk pada hari Senin besok ini.
Setelah selesai makan, mamaku memanggilku sebentar. "Iya ma?", aku
bertanya ketika aku sudah berada di depan mamaku. "Eliza, ini buat
kamu liburan besok", kata mamaku sambil memberikan sejumlah uang
padaku. "Duh, terima kasih maa... Eliza tidur dulu ya ma", aku memeluk
mamaku yang tersenyum melihatku begitu senang, dan aku mencium
kedua pipinya dengan rasa terima kasih. Lalu aku kembali ke kamarku.
Aku belum begitu capai ataupun mengantuk, tapi aku tahu aku harus
menyimpan tenaga, karena besok aku pasti akan jatuh ke dalam
cengkeraman penjaga vilaku itu.
--ooOoo--
Aku sedang saling mengganggu dengan Jenny di kantin sekolah ketika
bel tanda berakhirnya jam istirahat yang kedua ini berbunyi. Kami
masuk ke dalam kelas dengan riang, karena hari ini sekolahku
memberlakukan jam pendek, 30 menit saja untuk setiap jam pelajaran.
Setelah jam istirahat yang ke dua ini, tinggal dua jam pelajaran saja,
yang artinya kami akan pulang satu jam lagi. Dan kelas kami makin
kacau ketika guru yang mengajar kimia menyuruh kami belajar sendiri.
Aku, Jenny, Rini, Siany dan Bella mengobrol tentang rencana kami
nanti sore. Selagi kami mengobrol, tiba tiba pak Edy, wali kelas kami
yang sekaligus guru geografi itu masuk ke dalam kelas. Kami semua
langsung diam, karena wali kelas kami ini termasuk galak. "Anak anak,
jangan terlalu ribut, nanti kalian mengganggu kelas lain! Jam pelajaran
saya yang berikut ini, kalian belajar sendiri". Maka kembali semua
teman temanku bersorak senang, hanya aku yang bersikap cuek, aku
memang muak pada wali kelasku ini.
"Eliza, saya minta kamu segera menuju ke ruangan saya. Ada beberapa
hal tentang bazar yang diadakan mulai besok Senin ini, yang bapak
ingin bahas dengan kamu selaku bendahara kelas!", kata pak Edy
kepadaku. Jantungku berdegup kencang, dan aku menjawab, "Iya pak".
Aku berdiri mengikuti Pak Edy, entah kenapa aku punya firasat buruk.
Sampai di ruangan pak Edy mempersilakanku untuk duduk. Aku
menurut saja walaupun jantungku terus berdegup kencang.
"Pak, apa apaan ini?", tanyaku panik ketika pak Edy mengunci pintu
ruangannya, lalu duduk di kursinya. Ia menatapku dan bertanya, "Eliza!
Kamu tahu salahmu?". Aku menggeleng perlahan. "Tidak tahu pak...
Apa saya pak? Saya sungguh tidak mengerti", jawabku dengan
bingung. Pak Edy berkata, "Saya tahu dari temanmu Siska yang juga
wakil bendahara di kelas, bahwa kamu besok Senin hendak
membolos".
Aku amat terkejut, "Lho pak, Senin besok itu kan cuma bazar, dan
bazar itu tiga hari lamanya. Harusnya tidak apa apa kan pak, jika saya
tidak datang sehari saja?". Tapi pak Edy terus menekanku, "Tidak apa
apa Eliza, kalau kamu bukan staff kelas. Kamu ini ketua bendahara
kelas! Kalau hari itu kelas membutuhkan dana untuk keperluan bazar,
siapa yang bertanggung jawab?".
Aku merasa alasan itu terlalu dibuat buat oleh wali kelasku ini. "Pak,
justru itu kan saya sudah menitipkan buku dan kas kelas pada Siska
selaku wakil bendahara. Lagipula, Selasa saya kan sudah masuk", aku
coba menjelaskan. "Tidak sesederhana itu Eliza. Kalau saya
memberikan ijin, nanti itu akan jadi perseden buruk buat yang lain.
Bisa saja nanti ketua koordinator yang mengatur stan kelas kita
seenaknya minta ijin seperti kamu, dan menyerahkan pada wakilnya!
Mau jadi apa stan kita di acara bazar nanti?".
"Pak, itu kan lain. Keberadaan ketua koordinator itu memang penting,
karena dia yang mengerti apa saja kebutuhan untuk mengatur
keberadaan stan. Kalau saya kan cuma bendahara, yang jelas sekali
tak ada kaitannya dengan bazar besok. Kalaupun memang ada dana
yang diperlukan, saya kira juga tidak segawat itu kalau saya tidak ada.
Lalu perlu apa ada wakil bendahara kalau saya harus selalu ada?
Lagipula pak, saya keberatan jika bapak bilang saya membolos, itu kan
surat permohonan saya yang sudah ditanda tangani orang tua saya?",
aku mulai terbawa emosi dan berkata dengan nada keras.
"Tidak bisa! Saya sudah memutuskan, kalau kamu harus hadir besok
Senin. Saya punya hak untuk menolak surat permohonan kamu, dan
orang tuamu akan saya telepon sekarang juga, supaya mereka bisa
membantu saya memastikan kamu datang besok Senin!", kata pak Edy,
dan ia sudah mengangkat telepon di mejanya. Aku mulai panik,
terbayang acara liburan yang berantakan gara gara wali kelas sialan
ini. "Pak Edy, saya mohon, biarkan saya minta ijin untuk satu kali ini
saja pak", kataku dengan memelas.
Pak Edy meletakkan gagang telepon, lalu menatapku dalam dalam.
"Kenapa saya harus menuruti keinginan kamu Eliza? Apa untungnya
buat saya", tanya pak Edy. Pertanyaan ini membuatku tersudut. "Apa
yang bapak inginkan?", tanyaku dengan suara pelan, aku sudah bisa
menebak apa yang diinginkan wali kelasku yang bejat ini. "Eliza, saya
cuma memberikan kamu satu kesempatan untuk memberikan tawaran
yang sekiranya bisa menyenangkan saya..", tanya pak Edy sambil
menyeringai mesum.
Jantungku berdegup kencang, aku tahu aku harus memberikan
penawaran terbaikku. "Baiklah pak...", aku memejamkan mata sesaat
untuk menguatkan hatiku, lalu aku berdiri, dan mulai melepas kancing
baju seragamku satu per satu. Kulepaskan baju seragamku dan juga
bra yang membungkus payudaraku. Lalu saat aku melanjutkan melepas
rok seragamku, pak Edy berdiri, rupanya ia sudah tak sabar lagi dan
mendekatiku. Kedua payudaraku yang sudah tak terlindung bra ini
diremas dengan kasar oleh pak Edy.
Aku menggigit bibir dan memejamkan mata menahan sakit, sambil
terus melepas rok seragamku. Ketika aku sudah membungkuk untuk
melorotkan celana dalamku, keadaan menjadi lebih buruk. Tiba tiba
aku melihat sebatang penis sudah mengacung tegak ke arah mulutku,
dan aku tahu siapa pemilik penis berukuran raksasa itu, Girno, satpam
sekolahku yang akhir tahun lalu merenggut keperawananku di UKS.
Dengan marah aku menoleh ke pak Edy yang masih asyik meremasi
kedua payudaraku dari belakang.
"Apa apaan ini pak Edy? Aah... Mmpphh...". Kata kataku tersumbat
ketika Girno sudah menolehkan kepalaku menghadap
selangkangannya, lalu menahan kepalaku dan menjejalkan penisnya ke
dalam mulutku. Aku hanya bisa mengerang tak jelas ketika penis
raksasa itu mulai menyodok sampai ke tenggorokanku. Girno
mengerang keenakan, sedangkan aku amat menderita. Dalam hati aku
mengutuk pak Edy, dasar guru biadab, masa sampai hati menjebakku
dan memperkosaku bersama satpam sekolah?
Pak Edy menghentikan remasannya pada kedua payudaraku, aku tahu
ia pasti sedang melepas celananya, untuk memamerkan
keimpotenannya itu. Aku yang sekarang dalam keadaan menungging,
tak perduli ketika merasakan penis pak Edy yang tentu saja masih
tetap kecil dan agak lembek itu kesulitan untuk menembus liang
vaginaku. Mungkin karena tak cukup keras, jadi pak Edy kesulitan
menerjangkan penisnya, tapi ia terus berusaha sambil mengeluh, "Kok
nggak bisa masuk ya?".
Mungkin jika aku tidak sedang sangat kesal oleh kebiadaban pak Edy,
dan juga menderita oleh sodokan penis Girno yang memompa
tenggorokanku, aku bisa tertawa geli karena ulah pak Edy yang konyol
ini. Setelah beberapa menit berusaha, akhirnya penisnya yang sedikit
lebih tegang daripada waktu pertama berusaha tadi berhasil membuka
bibir vaginaku. Perlahan penis yang pendek itu masuk membelah liang
vaginaku, dan pak Edy mengerang keenakan.
Mungkin karena pendek, kecil dan sedikit empuk, genjotan yang
dilakukan pak Edy ini tak begitu mempengaruhiku. Dan untung saja,
pak Edy masih tetap pak Edy, tak sampai tiga menit, ia sudah
mengerang panjang, "Oooohh...". Penisnya yang baru berkedut itu
langsung menyemburkan sperma membasahi liang vaginaku. Lalu wali
kelasku yang tak bermoral ini menarik lepas penisnya.
Aku tak tahu apa yang dia lakukan, karena mataku sudah mulai
berkunang kunang, sulit sekali bernafas dalam keadaan tenggorokanku
dipenuhi penis raksasa ini. Untungnya, melihat vaginaku sudah
menganggur, Girno menarik penisnya dari mulutku. Aku jatuh berlutut
dan terbatuk batuk sambil memegangi leherku, sakit sekali rasanya
tenggorokanku. Tapi aku tak bisa beristirahat, Girno segera
membalikkan tubuhku hingga aku terbaring telentang, dan ia berkata,
"Giliranku, non Eliza!".
Lalu dengan tanpa belas kasihan sama sekali, penis berukuran raksasa
itu diterjangkan Girno ke dalam liang vaginaku. Aku mengerang
panjang kesakitan. Meskipun sudah ada cairan sperma pak Edy yang
seharusnya sudah cukup membantu melumasi liang vaginaku, tapi
tetap saja penis sebesar milik Girno ini amat menyiksaku, rasanya
tubuhku seperti dirobek jadi dua bagian, kepalaku seperti mau pecah
saja.
"Paaak... tolong pelan pelan pak...", keluhku, dan Girno melambatkan
irama sodokannya, hingga aku perlahan mulai bisa beradaptasi.
Setelah rasa sakit di liang vaginaku mulai berkurang dan mulai timbul
rasa nikmat, tanpa sadar aku mulai melenguh. "Ngggh.. aduuh...", aku
melenguh ketika merasakan berulang kali dinding rahimku terkena
ujung penis Girno yang mentok sampai ke dalam. Aku mulai
menggeliat keenakan, walaupun aku mulai ngeri melihat Girno
menatapku dengan amat bernafsu.
"Dari kemarin...", kata Girno sambil menghunjamkan penisnya dengan
gemas. "Ngghh...", aku melenguh. "Melihat kamu... di kelas...", sambung
Girno sambil menarik penisnya sampai tinggal kepala penisnya yang
terjepit liang vaginaku hingga aku menggeliat. "Menunggu kamu
sampai lama...", kata Girno dengan gemas dan penisnya kembali
menghunjam dalam dalam. "Aduuuuh...", aku merintih antara keenakan
dan kesakitan, dan aku teringat kalau kemarin memang Girno sempat
memandangiku dari luar kelas.
"Kamu tahu kan...", Girno terus menyiksa diriku, ia menarik penisnya
sampai sebatas kepala penisnya. Dan tanpa memperdulikan aku yang
hanya bisa merintih, lagi lagi penis itu menghunjam begitu dalam saat
Girno berkata, "Kalau aku sudah sangat kepingin memek kamu?". Aku
menggeliat hebat dan melenguh, "Ngghh... ampun paak...". Aku mulai
kehilangan kesadaran dan sudah tak bisa mendengar dengan jelas lagi,
aku hanya bisa melenguh saat Girno entah meracau tentang apa sambil
terus membuat tubuhku tersentak sentak mengikuti irama hunjaman
demi hunjaman penisnya ke dalam liang vaginaku
Entah berapa lama Girno menyiksaku seperti ini, sampai aku merasakan
otot vaginaku mengejang dengan hebat, dan tanpa ampun lagi
akhirnya aku berkelojotan, kedua betisku melejang lejang.
"Ngggghhh... nggghhhh...", lenguhanku entah mungkin bisa terdengar
sampai ke luar ruangan ini, tapi aku sudah tak mampu menahan
kenikmatan yang melanda vaginaku, rasanya cairan cintaku di dalam
sana membanjir tak karuan mengiringi orgasme ini. Nafasku hampir
putus rasanya, dan aku merasa amat lelah.
Orgasme yang baru saja melandaku ini membuatku lemas, dan
untungnya Girno langsung orgasme beberapa detik kemudian.
Penisnya berkedut keras, dan siraman spermanya dalam rahimku
seperti meringankan rasa pedih yang sempat melanda vaginaku ini.
"Oooh.. enaknya... kesampaian juga akhirnya sejak kemarin kepingin
menikmati memek kamu, Eliza..", kata Girno dengan nafas tersengal
sengal. Aku tak menanggapinya, dan mengumpulkan segenap
kekuatanku lalu berdiri.
"Pak Edy, sekarang tolong jangan persulit saya pak. Bapak tadi sudah
berjanji", kataku dengan memohon. Dengan senyum yang menjijikkan,
pak Edy berkata, "Cium bapak dulu Eliza, dan kamu boleh pergi". Aku
yang sudah kepalang tanggung, menuruti permintaan guru bejat ini,
kucium bibirnya dan bau mulutnya yang tak enak segera menyerangku,
juga payudaraku diremasnya dengan kuat. Tapi aku bertahan sekuat
tenaga supaya tidak muntah. Dan setelah dia puas, selesailah
penderitaanku di ruang kerja pak Edy ini.
Aku mengambil tissue, dan melap cairan sperma yang belepotan di
selangkanganku. Sebenarnya ingin kulemparkan tissue yang baru
kupakai itu ke muka pak Edy, tapi aku tak ingin mendatangkan
masalah. Dengan sebal kubuang tissue itu ke tong sampah, lalu aku
mengenakan bra dan celana dalamku, juga baju dan rok seragamku.
"Terima kasih pak, saya keluar dulu", aku berpamitan, terpaksa sopan.
"Terima kasih kembali Eliza, terutama buat servisnya", kata pak Edy
dengan gaya mesumnya, diiringi tawa Girno.
Aku melangkah keluar dari ruangan wali kelasku, dengan langkah yang
kuusahakan sewajar mungkin. Rasa sakit pada selangkanganku belum
terlalu reda, dan masih cukup mengganggu saat aku harus
melangkahkan kedua kakiku ini. Aku tahu penampilanku pasti
berantakan setelah perkosaan tadi, dan aku tak boleh membiarkan hal
ini memancing pertanyaan dari teman temanku. Untung saja semua
orang masih ada di dalam kelas, jadi aku bisa segera ke toilet tanpa
ada yang melihat keadaanku.
Aku merapikan diriku sebentar lalu melihat jam tanganku. Tinggal
sepuluh menit lagi, bel pulang sekolah akan berbunyi. Berarti aku tadi
diperkosa lebih dari setengah jam. Entah apa dosaku harus menerima
semua ini. Hampir saja aku menangis, tapi aku cepat cepat
menenangkan diri, lalu kembali ke kelasku. Aku melihat Jenny dan
yang lain masih asyik ngobrol dengan seru, tapi kini aku tak begitu
tertarik untuk ikut mengobrol lagi.
"Hai.. lama amat kamu El?", tanya Rini ketika melihatku berjalan ke
arah mereka. Dengan senyum yang kupaksakan, aku cepat mencari
alasan, "Iya tuh, tadi sekalian membahas tentang perlu tidaknya
menarik kas lebih dari kita kita, buat jaga jaga seandainya ada dana
yang diperlukan stan kelas kita saat bazar nanti". "Dasar mata duitan.
Iuran bulanan untuk kas kelas kita itu sudah yang paling besar di
antara semua kelas. Bukannya dana di sana pasti sudah banyak?",
omel Siany.
Rini dan Bella hanya geleng geleng kepala, sedangkan Jenny diam
diam menggenggam tanganku di bawah meja, dan ia memandangku
iba. Aku teringat kalau aku pernah menceritakan perkosaan yang
menimpaku di UKS dulu pada Jenny, jadi mungkin Jenny tahu apa kira
kira yang baru saja terjadi padaku. Lalu ia berusaha mengalihkan
pembicaraan, "Sudalah, ngapain juga kita bicarain hal ini.. Oh iya,
kalian nggak ada yang lupa bawa pakaian renang kan?".
Rini menjerit kecil, "Aduh iya Jen. Duh, untung kamu bilang". Baru saja
kami sudah terlibat obrolan seru, yang mana membantuku melupakan
kejadian buruk yang baru saja menimpaku, bel pulang sekolah sudah
berbunyi. Setelah pembacaan doa dari interkom selesai, kami segera
meninggalkan kelas. Bahkan saat ini pun, rasa sakit masih mendera
selangkanganku saat aku berjalan. Maka aku berjalan agak pelan, dan
Jenny yang menemaniku tiba tiba menggandeng tangan kiriku, seakan
ingin menguatkan diriku.
Aku tersenyum penuh terima kasih pada Jenny, dan kami berjalan
beriringan ke tempat parkir. Kebetulan tadi sopirnya Jenny
memarkirkan mobilnya Jenny di sebelah mobilku. Saat akan
melepaskan gandengan tangannya, Jenny berbisik lembut padaku,
"Eliza, nanti di vila kamu jangan jauh jauh dari aku ya.. aku akan
jagain kamu dari penjaga vilamu". Aku memeluk Jenny, "Thanks ya
Jen.. kamu baik sekali". Setelah itu kami saling berpamitan, dan masuk
ke mobil masing masing.
Ketika mobil Jenny sudah jauh dari sini, aku masih diam, memikirkan
apa aku sebaiknya langsung pergi saja daripada pulang ke rumah, toh
tasku sudah ada di belakang sini, jadi aku sudah bisa berangkat
sekarang kalau mau. Hampir bisa dipastikan, aku akan seperti
menyerahkan diriku untuk digangbang di rumah oleh kedua
pembantuku jika aku pulang sekarang, dan aku sedang sangat tidak
mood setelah tadi terpaksa memilih diperkosa oleh wali kelasku.
Sedangkan pergi ke rumah Jenny juga bukan pilihan yang bagus, bisa
saja nanti buruh buruh di rumah Jenny beraksi, dan aku akhirnya
memutuskan untuk jalan jalan ke Tunjungan Plaza, sekalian makan
siang di sana. Di sana aku hanya berjalan tak tentu arah sampai
akhirnya aku makan siang, baru aku pergi menuju ke rumah Jenny.
Sampai di sana, aku melihat jam, sudah jam satu kurang sedikit, dan
aku belum melihat tanda tanda Jenny. Maka aku turun, hendak
memencet bel pintu rumah Jenny.
Tiba tiba kudengar klakson mobil, yang ternyata mobil papa mamanya
Jenny. Maka aku tak jadi memencet bel pintu, dan menyapa kedua
orang tua Jenny. "Suk, Ai..", aku menyapa sambil mengangguk sopan,
dan mereka juga menyapaku dengan ramah, "Halo Eliza...". Aku
melanjutkan berbasa basi sebentar, "Eliza mau ajakin Jenny pergi, apa
Jenny udah bilang sama Suk Suk atau Ai?".
Mamanya Jenny menjawab, "Oh sudah kok, Eliza. Kalau sama kamu, Ai
sih pasti boleh, tapi nanti kalian di sana jangan tidur terlalu malam ya,
jaga kesehatan, nanti pulang pulang malah sakit". "Iya Ai, makasih ya
Ai", kataku sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian Jenny keluar
membawa tasnya, dan menyapa papa mamanya sekalian pamitan, "Pa..
Ma.. pergi dulu ya..". Aku juga sekalian pamitan pada mereka berdua.
"Hati hati ya kalian. Jenny, kamu jangan gangguin Eliza kalo sedang
nyetir!", kata papanya Jenny.
Jenny terus masuk ke mobilku sambil menjawab, "Iyaaa beres paaaa...".
Aku tersenyum geli dan setelah melambaikan tangan pada kedua orang
tua Jenny, aku masuk ke dalam mobil. "Yuk berangkat", kata Jenny.
Aku segera menjalankan mobilku ke rumah Rini, yang kira kira sekitar
tiga kilometer dari sini. Jenny tiba tiba mengeluh dan memegangi
payudaranya yang sebelah kanan, "Aduh El.. sakit nih...". Ia
memandangku dengan memelas.
Aku sempat bingung, tapi aku segera bisa mengira apa yang baru saja
terjadi pada temanku ini. "Mereka lagi ya Jen?", tanyaku dengan iba.
Aku tahu buruh buruh Jenny itu "Iya lah El.. siapa lagi.. liat nih..",
gerutu Jenny sambil membuka dua kancing bajunya, lalu menyingkap
bajunya di bagian payudaranya yang kanan. Aku melihat memang
banyak merah merah bekas cupangan di sana sini, dan aku menggigit
bibir membayangkan tadi itu sakitnya seperti apa.
"Untung tadi kedengaran klakson mobil papaku, jadi mereka berhenti
sebelum makin menyakitiku. Lihat nih El.. puting susuku digigiti
mereka.. sakit nih...", kata Jenny dengan manja, ia kini menyingkapkan
branya dan memperlihatkan semua payudaranya kanannya. Aku melihat
payudara Jenny yang sebelah kanan ini, dan sempat memperhatikan
bentuk puting payudara yang mungil dan lucu itu.. tapi...
"Ya ampun Jen?? Kok kamu buka di sini sih??", aku baru sadar apa
yang sedang dilakukan Jenny, dan aku cepat cepat melihat ke depan.
Untung saja tak ada siapa siapa, karena kami memang sudah memasuki
kompleks perumahan dimana Rini tinggal. "Iya nih, aku lupa El,
abisnya aku cuma mau nunjukin ke kamu aja, nanti kalo ada Rini kan
nggak enak..", kata Jenny dengan manja sambil menutupkan bra dan
bajunya kembali. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang dan
mukaku terasa panas.
Aku tak yakin, hal ini apa karena aku baru saja melihat payudara
Jenny, atau karena kata kata Jenny yang manja tadi itu. Tapi aku
berusaha tak memikirkannya lagi, apalagi kami sudah sampai di
rumahnya Rini yang sudah menunggu dengan sebuah tas besar di
depan pintu. Setelah ia masuk ke dalam mobil dan saling menyapa
dengan aku dan Jenny, aku segera melajukan mobilku, menuju ke hotel
Surya di Tretes.
--ooOoo--
Perjalanan ke Tretes yang hampir dua jam ini sama sekali tak terasa,
karena dengan ikutnya Jenny yang memang selalu pandai membawa
keceriaan ini di mobilku, kami bertiga selalu terlibat obrolan lucu
maupun gossip. Akhirnya kami sampai di hotel Surya, dan ketika kami
berputar putar di parkiran, Sherly yang sudah menunggu kami segera
membunyikan klakson mobilnya, dan turun dari mobilnya. Aku
mendekatkan mobilku ke sana, lalu kami semua turun dari mobil.
"Gimana, kalian mau langsung ke vila, atau mau bersenang senang di
sini dulu?", aku bertanya pada teman temanku. "Kita langsung ke
vilamu saja El. Nanti kalau mau ke sini agak sorean juga bisa", kata
Sherly. "Ya udah, kalo gitu ikutin aku ya Sher, kita ke arah Tretes Raya,
dan terus ke bawah dikit, vilaku di sebelah kanan jalan", kataku. "Sip
deh bos", Sherly mengedipkan matanya padaku sambil tersenyum, dan
diam diam aku mengakui Sherly ini cantik sekali, dan aku balas
tersenyum padanya.
Kami semua masuk ke dalam mobil, dan Sherly mengikutiku dari
belakang ketika aku menjalankan mobilku ke arah vilaku. Ketika
sampai, aku tak perlu menekan klakson, karena penjaga vilaku sudah
menanti di pintu gerbang yang dia buka lebar lebar. Aku terus melaju
memarkirkan mobilku di tempat yang biasa, dan Sherly juga
memarkirkan mobilnya di sebelah mobilku. Begitu kami semua turun
dari mobil, celoteh riang yang amat ribut dari mereka semua segera
terdengar.
Aku tersenyum geli, membayangkan kalau sampai kami berenam
sekelas, entah bakal ribut seperti apa kelas kami saat jam kosong. Aku
segera membuka pintu utama, dan mereka semua masuk sambil
membawa barang barang mereka. "Gimana nih, yang semobil tetap
sekamar, atau diseling biar nggak bosan? Atau... kita undi saja!", usul
Jenny. Ada ada saja ini anak, tapi ide Jenny memang selalu menarik,
dan semua setuju untuk mengundi di kamar mana mereka nanti akan
tidur.
Jenny mengambil pensil dan kertas dari tasnya, dan kertas itu
dibaginya menjadi enam potongan kecil, dan tiga potong di antaranya
ditulisi huruf A dan tiga potong sisanya ditulisi huruf B. Lalu semua
potongan kertas itu digulung oleh Jenny, dan dimasukkan ke dalam
kantung baju seragamku. Aku jadi teringat, aku memang masih pakai
baju seragam sekolah, karena tadi aku tidak pulang dulu.
"Nah, sekarang semua ambil sepotong, kalau dapat A, tidur di kamar
yang di sebelah kiri", kata Jenny sambil menunjuk kamar yang biasa
kupakai. "Dan yang dapat B tidur di teras, hahahaha..", celetuk Sherly
dan kami semua tertawa. "Aku duluan ya", kata Jenny. Ia memasukkan
tangannya, mengaduk aduk gulungan kertas pada bajuku. Tentu saja
tangannya berkali kali menyenggol payudaraku yang kiri ini, hingga
aku menggigit bibir menahan diri supaya tidak mendesah, nafasku
menjadi lebih berat.
"Aku dapat B nih", kata Jenny saat membuka gulungan kertas yang dia
ambil dari kantung bajuku. Berikutnya Siany dan Bella yang merogoh
kantung bajuku, mereka tidak sampai mengaduk aduk gulungan kertas
ini seperti Jenny, namun tetap saja aku merasa gesekan tangan mereka
pada payudaraku yang kiri ini, dan ini membuat jantungku makin
berdegup kencang. Aku menahan tangan Sherly dan mencoba
melepaskan remasannya dari payudaraku, tapi aku tak mampu, rasanya
lemas sekali.
Dan keadaanku jadi makin kacau ketika Sherly yang merogoh kantung
bajuku. Dengan nakal Sherly meremas payudaraku. "Auwww.. Sheer...?",
aku mengeluh malu sekaligus terangsang, entah sudah merah seperti
apa mukaku yang rasanya panas ini. Teman temanku tertawa geli,
entah apa yang mereka tertawakan, perbuatan Sherly, atau aku yang
dibuat tak berdaya oleh Sherly ini. "Udah dong Sheer...", aku memohon
pada Sherly untuk menghentikan perbuatannya, karena makin lama aku
makin terangsang.
Entah setelah beberapa kali aku memohon, baru Sherly akhirnya
menghentikan remasannya pada payudaraku, lalu ia mengambil satu
dari dua gulungan yang masih tersisa di kantung bajuku. Aku terduduk
lemas di lantai, dan Jenny ikut duduk di sebelahku lalu ia
merangkulku. "Sher, kamu jahat ah. Masa Eliza mau kamu perkosa?",
Jenny menggerutu pada Sherly dengan nada bercanda, dan mereka
semua tertawa, kecuali aku yang semakin malu.
"Jen... kamu ini..", aku mulai mengomel, tapi aku terdiam saat Jenny
malah membelai dan menggeraikan rambutku ke belakang, lalu
menyandarkan kepalanya di pundak kananku. "Tapi bukan salah Sherly
sepenuhnya... salah kamu juga sih El, kok kamu bisa secantik ini...
sudah cantik... kalem... baik... mm.. rambut ini halus dan wangi..",
Jenny mengguman sambil menghirup rambutku, lalu ia menatapku
dengan pandangan mata yang sayu, sementara aku hanya bisa diam
tertunduk malu dipuji Jenny seperti ini.
"Lho Jen, kok jadi kamu yang lesbi sama Eliza sih? Hayo.. iri ya sama
Sherly?", goda Rini. Lagi lagi semuanya tertawa sementara aku hanya
bisa tersenyum malu. Kemudian Jenny berdiri dan bertanya, "Jadi
gimana, siapa yang hari ini tidur sekamar denganku?". Maka kami
semua membuka gulungan kertas milik kami, dan hasilnya hari ini
Jenny sekamar dengan Siany dan Rini, sedangkan aku sekamar dengan
Bella dan Sherly! Oh, aku kuatir, jangan jangan nanti Sherly lupa diri
dan menggumuliku di depan Bella.
Tapi... yah bagaimana nanti saja lah, selagi mereka semua masuk ke
kamar yang sudah ditentukan sekaligus menaruh tas mereka, aku
teringat tasku masih ada di mobil, dan aku keluar menuju mobiku yang
bagasinya masih terbuka. Ketika aku mengambil tasku, kurasakan
pantatku diremas oleh seseorang. Gaya meremas yang kurang ajar
seperti ini, aku sudah tahu siapa pemiliknya..
"Pak Basyir...", kataku dengan suara pelan sambil menoleh ke arahnya.
"Tolong jangan menyusahkan Liza, ini kan ada teman teman, kalau
kelihatan mereka gimana? Nggak lucu kan?", sambungku dengan ketus
walaupun masih dengan suara yang pelan. "Tapi non, bapak sudah
kangen memeknya non.. sudah lama nih", pak Basyir masih terus asyik
meremas pantatku. "Elizaa...", aku mendengar Jenny berseru dari dalam
vila. "Iya Jeen?", aku langsung menjawab sambil mencoba menepis
tangan pak Basyir.
"Kamu di manaa?", Jenny berseru lagi. "Aku di taman Jen, di bagasi
mobil", lagi lagi aku berseru menjawab sambil menepis tangan pak
Basyir yang masih saja menggerayangi pantatku. "Kamu lagi ngapain
El? Toiletnya di mana sih, temani aku dong, antarkan ke sana
sebentar...", seru Jenny yang dari suaranya aku tahu kini ia sudah ada
di teras. Tentu saja hal ini menyelamatkanku walaupun untuk
sementara, dan pak Basyir segera melepaskan remasan tangannya dari
pantatku.
"Pak, tolong bantuin aku nih", kataku sekalian menggunakan
kesempatan ini untuk meminta bantuan pak Basyir. "Tolong bawakan
tasku dan empat tas plastik ini ke kamarku ya pak, aku antar Jenny ke
kamar mandi dulu", kataku sambil meninggalkan pak Basyir, yang mau
tak mau harus menuruti permintaanku. "Iya, ayo aku antar Jen", kataku
sambil berjalan mendekati Jenny. Aku tersenyum lega dan
menggandeng tangan teman terbaikku ini, menunjukkan toilet utama di
vilaku.
"Kamu nggak diapa apain kan sama penjaga vilamu itu El?", bisik
Jenny padaku. Aku menggeleng, "Nggak Jen, tapi nggak tahu lagi
kalau kamu nggak manggil aku tadi, mungkin lama lama dia bisa
ngisengin aku". Jenny tersenyum lega, dan aku berkata dalam hati,
kalau nggak terlalu parah, mungkin lebih baik aku sembunyikan dari
Jenny saja. Setelah menunjukkan toilet utama pada Jenny dan Jenny
melihat lihat dalamnya, kami langsung kembali ke ruang tengah,
memang Jenny cuma pura pura saja mau ke toilet.
Dan saat kami sudah ada di ruang tengah, kebetulan pak Basyir baru
saja menaruh plastik yang berisi makanan kecil yang kemarin dibeli
oleh Jenny. "Pak, sekalian tolong tutupkan bagasi mobilku ya, terima
kasih", aku sekalian minta tolong pak Basyir supaya menutupkan
bagasi mobilku, jadi aku nggak perlu keluar lagi untuk melakukan hal
itu, yang mana mungkin beresiko aku akan mengalami pelecehan oleh
pak Basyir seperti tadi.
Lalu tanpa memperdulikan penjaga vilaku yang sudah keluar
melakukan permintaanku,, aku memasukkan tasku ke dalam kamar, aku
mulai bersenang senang dengan teman temanku setelah kami mengatur
semua yang diperlukan, seperti memasukkan bahan untuk memasak ke
dalam kulkas dan menaruh makan ringan di meja. Aku menyempatkan
diri berganti baju santai, rasanya risih juga menjadi satu satunya yang
memakai baju seragam sekolah di antara kami semua.
Kami semua berkumpul di ruang tengah ini, membicarakan rencana
kegiatan kami hari ini. Dan sore ini kami berjalan jalan ke atas,
menikmati beberapa makanan kecil di sekitar hotel Surya dan
sekitarnya. Setelah matahari benar benar tenggelam, kami membeli
sate dan bakso agak banyak untuk dibawa pulang ke vila. Sampai di
vila, teman temanku segera berkumpul di meja makan, sedangkan aku
ke belakang sebentar untuk mengambil piring dan sendok garpu yang
diperlukan.
Saat aku menumpuk piring ke enam, pak Basyir sudah ada di
sebelahku. "Non Liza, jangan lupa ya non, nanti malam temani bapak",
kata penjaga vilaku ini, dan lagi lagi ia meremasi pantatku. "Apa apaan
sih pak? Kenapa aku harus menemani bapak?", aku bertanya dengan
ketus. "Daripada bapak yang menemani non Liza nanti malam, kan
nggak enak sama teman teman non yang lain?", kata pak Basyir
dengan nada yang penuh kemenangan.
Aku tahu memang aku tak akan bisa lolos, tapi aku tak pernah
menduga pak Basyir akan mengancamku seperti ini. Aku hanya bisa
menahan kesal ketika ia menyambung, "Bapak tunggu non Liza sampai
jam dua malam, kalau non Liza nggak datang untuk menemani saya,
terpaksa saya yang akan menemani non ke kamar". Lalu pak Basyir
meninggalkanku, ia bahkan tak membantuku mengangkat piring piring
dan sendok garpu ini ke dalam.
Aku sedikit menggigil, nanti malam aku harus menyerahkan diriku pada
pak Basyir. Aku menenangkan diri sebentar, lalu masuk membawa
semua yang sudah kusiapkan ini. Aku tak perlu membawa gelas karena
semua gelas disimpan di lemari yang ada di sebelah kulkas. Setelah
semuanya siap, kami semua segera makan malam, dan celoteh riang
dari teman temanku membuatku ikut larut dalam suasana ceria ini.
Setelah makan dan membawa semua piring kotor ke belakang, kami
bergantian mandi membersihkan diri.
Setelah kami semua selesai mandi dan berganti baju tidur, kami
beristirahat di ruang tengah dan menonton DVD yang dibawa oleh
Sherly. Kini sudah jam delapan malam, berarti enam jam lagi sebelum
aku harus melayani bandot tua di belakang itu. Sedangkan aku sendiri
sudah mengantuk, mungkin aku kecapaian setelah diperkosa oleh wali
kelasku dan satpam sekolahku tadi siang, hingga tanpa sadar aku
tertidur ketika teman temanku sedang asyik nonton DVD.
--ooOoo--
"Eliza... bangun El", sayup sayup aku mendengar suara Sherly.
Kurasakan rambutku dibelai lembut oleh Sherly, hingga aku makin
malas bangun, malah menyandarkan kepalaku di pundak Sherly. "El,
pindah kamar yuk, masa kamu tidur di sini?", Sherly mencoba
membangunkanku. "Mmm...", aku masih belum bangun benar dan
menjawab sekenanya. Setelah terdiam beberapa saat, tiba tiba
kurasakan tangan Sherly merayapi tubuhku, dan kemudian tangan itu
sudah meremasi payudaraku dengan lembut.
"Oh.. Sheer..", keluhku dengan suara pelan. Perlahan aku membuka
mataku, dan begitu aku mengangkat kepalaku, Sherly segera memagut
bibirku. Aku hanya pasrah saja mengikuti kemauan Sherly, tapi itu
karena aku belum sadar benar dari tidurku. Begitu aku mulai sadar,
aku terkejut dan mencoba melepaskan pagutan bibir Sherly dengan
panik. Sherly yang mungkin terkejut dengan perubahan reaksiku yang
tiba tiba ini, melepaskan pagutannya dan memandangku dengan penuh
pertanyaan.
"Kenapa El?", tanya Sherly. "Nanti ketahuan teman teman Sher",
jawabku pelan, walaupun nafasku mulai memburu. "Sher, nanti di
kamar kan ada Bella, tolong kamu jangan begini ya Sher. Nanti kalau
dia sampai tahu kita seperti ini, kan nggak enak, juga nanti kan bisa
bisa dia cerita sama teman sekelasku yang lain", aku mencoba
memberikan pengertian pada Sherly. Untungnya Sherly mengangguk
sambil tersenyum, dan berkata, "Iya nona cantik, tapi sekarang aku
cium kamu satu kali dulu yah".
Dan Sherly mencium bibirku dengan mesra sekali, membuatku lemas
dan hanyut dalam ciumannya. Tak hanya mencium bibirku, Sherly
kembali meremas kedua payudaraku, dan aku hanya bisa pasrah, tak
ada lagi perlawanan dariku karena aku sudah amat terangsang.
Perlahan aku mulai membalas ciuman Sherly, dan aku juga meremas
payudaranya, ini adalah pertama kalinya aku meremas payudara
seorang wanita. Sherly menatapku sayu, kelihatan sekali ia juga
terangsang, pasrah saja ketika aku terus meremasi payudaranya yang
rasanya begitu empuk tapi kenyal ini.
Yang terjadi kemudian, kami malah bergumul, saling memeluk dengan
erat, dan yang pasti ciuman kami makin memanas. Tapi aku cepat
menghentikan Sherly yang sudah menyusupkan tangannya di balik
celana dalamku. "Sher.. jangan, nanti kita bisa ketahuan teman teman",
aku mencoba membujuk Sherly. Aku tahu aku pasti tak tahan untuk
tidak melenguh jika Sherly mengaduk aduk liang vaginaku. Dan
untungnya Sherly bisa mengerti, ia menarik keluar tangannya dari balik
celana dalamku. "El.. tapi kapan kapan, aku boleh ya", kata Sherly
yang terus memandangku dengan sayu, hingga aku merasa jengah.
Aku mengangguk dengan tak yakin. Sherly kembali menciumi wajahku,
bahkan berlanjut ke leherku. Aku harus menahan sekuat tenaga untuk
tidak merintih. Entah berapa lama kami berdua larut dalam kemesraan
yang seharusnya tak boleh terjadi ini. Kami terus saling memeluk, diam
diam aku melihat jam dinding. kini sudah jam satu pagi, satu jam lagi
sebelum aku harus ke tempat pak Basyir. Maka aku tahu aku harus
segera mengajak Sherly untuk tidur sekarang juga, jadi nanti aku bisa
mengendap keluar tanpa ketahuan olehnya saat aku harus ke kamar
penjaga vilaku di luar sana.
"Sher, udahan yuk, kita tidur sekarang ya", kataku pada Sherly, yang
mengangguk sambil tersenyum, dan kami berdua segera melepaskan
pelukan kami, lalu masuk ke dalam kamar. Bella sudah tertidur pulas di
ranjangku, dan karena memang di tiap kamar ranjangnya cuma ada
satu, maka kami berdua naik ke ranjang ini dengan pelan, karena tak
enak kalau sampai membangunkan Bella. Bella sendiri tidur di pinggir.
Sherly membaringkan tubuhnya di tengah ranjang, dan aku berbaring
di sebelahnya.
Melihat Bella sudah tidur, Sherly memelukku, meremasi payudaraku
dan menciumi rambutku. Aku hanya pasrah dan menggigit bibir
menahan nikmat, tapi untungnya tak lama kemudian Sherly sudah
tertidur. Aku lalu melihat jam, setengah jam lagi paling lambat, aku
sudah harus ada di kamar pak Basyir, maka aku memutuskan untuk ke
sana sekarang saja. Aku memindahkan tangan Sherly yang menindih
payudaraku, dan pelan pelan aku akhirnya bisa melepaskan diriku dari
pelukan Sherly.
Perlahan aku turun dari ranjang, dan dengan langkah yang kuatur
perlahan sekali, aku membuka pintu kamarku dan setelah aku keluar
kamar, kututup kembali pintu kamarku, dan semua itu kulakukan nyaris
tanpa suara. Lalu aku keluar dari bangunan utama vilaku ini, menuju
kamar penjaga vilaku yang mesum itu. Tanpa mengetuk pintu, aku
langsung masuk ke dalam kamar pak Basyir. Buat apa juga bersopan
sopan pada orang yang tak tahu diri seperti dia ini?
"Wah akhirnya non Liza datang juga, bapak sudah nggak sabar nih",
seru pak Basyir girang. Aku hanya diam, malas menanggapinya.
Karena aku ingin semua ini cepat selesai, aku segera melepaskan
semua pakaianku hingga aku telanjang bulat. Pak Basyir juga
melakukan hal yang sama, dan sesaat kemudian aku sudah berbaring
di tempat tidur pak Basyir, yang segera ikut naik dan menindih
tubuhku. Ia menyibakkan rambutku sambil berkata, "Non Liza.. non
cantik sekali". Aku hanya diam saja tak perduli.
Lalu pak Basyir mulai mengecup bibirku, lalu berlanjut ke leherku dan
kedua puting payudaraku. Aku tetap diam saja, menekan semua
perasaanku supaya aku bisa menerima cumbuan dari orang yang
umurnya sangat tua dibandingkan diriku ini. Dengan demikian aku
sama sekali tak merasa terpaksa atau sedang diperkosa, bahkan
perlahan aku bisa menikmati semua cumbuan ini. Setelah puas
mencumbuiku, pak Basyir mempersiapkan diri untuk menyetubuhiku,
kepala penisnya sudah menempel di bibir vaginaku. Perlahan, liang
vaginaku terbelah oleh penis pak Basyir yang terus membenamkan
penisnya dalam dalam.
"Ngghh..", aku melenguh pelan, dan tubuhku sedikit menggeliat saat
liang vaginaku menerima tusukan penis pak Basyir. Bandot tua ini
terus memompa liang vaginaku dengan senyum kemenangan,
sedangkan aku hanya bisa membuang muka, malu rasanya melihat
penjaga vilaku sedang melecehkanku seperti sekarang ini. Tapi aku tak
ada keinginan untuk melawan ataupun berontak, karena kini otot liang
vaginaku mulai mengejang setelah diaduk aduk oleh penis pak Basyir,
rasanya nikmat sekali.
"Oh... non Liza... memekmu memang enaak..", erang pak Basyir yang
makin cepat menggenjotku. Aku heran melihatnya seperti akan segera
orgasme, tapi ini kesempatan buatku. Dari hanya pasrah, aku mulai
menggerakkan pinggulku, menyambut tiap hunjaman penis pak Basyir
pada liang vaginaku. "Nnggghh...", aku melenguh keenakan, karena
kurasakan liang vaginaku tertusuk sangat dalam oleh penis pak Basyir,
sedangkan pak Basyir sendiri tak kuat lagi, tubuhnya mulai
berkelojotan.
"Ohh... non Lizaaa...", erang pak Basyir panjang, dan penisnya yang
berkedut keras menyemprotkan cairan spermanya membasahi liang
vaginaku, dan ia langsung ambruk menindihku. Aku belum orgasme,
tapi aku memang sedang tak ingin. Kudorong tubuh pak Basyir yang
masih menindihku hingga penisnya yang sudah loyo itu terlepas dari
jepitan liang vaginaku. Ia terguling di sampingku, nafasnya tersengal
sengal dan senyuman penuh kepuasan terukir di wajahnya yang sudah
mulai penuh dengan keriput itu.
Aku beranjak duduk, sambil mengatur nafasku yang memburu. "Udah
puas kan pak.. Liza kembali dulu", kataku pada pak Basyir. "Non, masa
cuma satu ronde? Bapak kan kangen sama memek non..", protes pak
Basyir, hingga aku yang sudah turun dari ranjang untuk memakai baju,
terpaksa kembali duduk di ranjang. "Pak, jangan lama lama, satu ronde
lagi saja ya.. Liza juga mau tidur", aku mengingatkan pak Basyir agar
jangan keterusan memperkosaku sampai pagi. "Iya non", kata pak
Basyir sambil mendekapku.
Aku membaringkan tubuhku di sebelah pak Basyir, dan membiarkan
pak Basyir menyusu sepuasnya pada kedua payudaraku dengan
bergantian. Aku memejamkan mataku, entah kenapa aku sudah
mengantuk, padahal tadi aku sempat tertidur agak lama waktu bersama
teman temanku menonton DVD di ruang tengah. Pak Basyir
menindihku, menciumi wajahku, mataku, pipiku, dan melumat bibirku
dengan begitu bernafsu. Aku agak heran, orang setua pak Basyir ini
bagaimana masih memiliki gairah setinggi ini...
Kurasakan perlahan penis pak Basyir yang menempel di bawah perutku
perlahan mulai membesar, kelihatannya pak Basyir sebentar lagi akan
memulai ronde ke dua. Aku menggeliat sebentar supaya lebih nyaman
sebelum tubuhku harus tersentak sentak lagi oleh tusukan penis pak
Basyir pada liang vaginaku sebentar lagi. "Non Liza... memeknya non
Liza bapak masukin lagi ya", kata pak Basyir. Dengan ketus aku
menjawab, "Biar Liza jawab jangan juga, tetep bapak masukin kan?
Buat apa sih pak Basyir pakai nanya? Cepat masukin sana!". Jengkel
juga aku melihat penjaga vilaku yang pura pura lugu itu.
"Jangan marah non Liza, bapak kan permisi dulu supaya non Liza
nggak kaget", kata pak Basyir dengan cengengesan. Aku membuang
mukaku mengarahkan pandanganku ke jendela, dan sesaat aku sempat
agak panik ketika aku melihat bayangan berkelebat, dan aku tak bisa
yakin apakah tadi itu bayangan seseorang yang berkelebat, atau hanya
karena ada daun jatuh yang menutupi sinar lampu di halaman yang
mengarah ke kamar ini. Tapi aku tak bisa berlama lama memikirkan hal
itu, karena sesaat kemudian kurasakan liang vaginaku kembali terbelah
oleh penis penjaga vilaku ini.
"Anngghh..", aku melenguh pelan menahan nikmat, sekali ini pak
Basyir dengan tepat mengaduk liang vaginaku di satu titik yang
memberiku perasaan nikmat yang luar biasa. "Oooh..", aku merintih
keenakan, dan pak Basyir makin bersemangat memompa liang
vaginaku. "Heghh.. Non Liza... enak yaa?", lagi lagi pak Basyir
melecehkanku saat aku menggeliat hebat, dan aku hanya bisa
melenguh dan merintih, "Ngghhh... mmhhh.. iyah paak...". Tubuhku
terus tersentak sentak mengikuti irama genjotan pak Basyir, sampai
akhirnya aku merasa selangkanganku seakan hendak meledak.
"Aaaaahhh... paaak... akuu... ouughh.. ngggghhhh...", aku melenguh
lenguh keenakan tak kuasa menahan terjangan badai orgasme yang
melandaku, tubuhku menggeliat hebat, kedua betisku melejang lejang
sementara kedua tanganku meremas sprei dengan kuat, yang
merupakan ekspresiku untuk menahan nikmat, dan celakanya genjotan
pak Basyir sama sekali tidak mereda. "Aaduuh paaak.. ampuuun...", aku
mengerang tak kuat menahan nikmat ini, tubuhku mengejang hebat
sebelum perlahan aku mulai melemas tak berdaya di bawah
keperkasaan penjaga vilaku ini setelah cairan cintaku membanjir.
"Non Liza.. enak ya?", ledek pak Basyir. Aku sudah tak mampu
menjawab, hanya mengangguk lemah. Tulangku rasanya copot semua,
dan aku hanya bisa pasrah ketika pak Basyir terus melecehkanku.
Betisku dijilatinya hingga aku kegelian, sementara penisnya yang
masih keras itu tetap bersarang di dalam liang vaginaku dengan
gerakan memompa yang perlahan. Entah mengapa di ronde ke dua ini
pak Basyir malah makin perkasa, padahal di ronde pertama tadi ia
sudah ejakulasi tanpa sempat membuat aku orgasme.
Aku merasa seolah olah sebuah batangan kayu atau besi sedang
keluar masuk di liang vaginaku, yang membuatku tak bisa bergerak
bebas. "Pak.. kok masih.. belum keluar sih? Liza capek nih..", keluhku.
"Bentar lagi non.. sabar ya...", kata pak Basyir. Aku diam saja, dan pak
Basyir terus melanjutkan memompa liang vaginaku. Ia terus
memandangi wajahku, hingga aku menjadi jengah dan membuang
muka, walaupun aku tak bisa kemana mana karena tubuhku masih
berada di bawah tindihan pak Basyir.
Tak lama kemudian, kurasakan penis pak Basyir mulai berkedut di
dalam sana, dan ia mengerang panjang menyebut namaku, "Non
Lizaaaa... oooooh". Semprotan sperma yang cukup banyak kembali
membasahi rahimku. Aku menggeliat menahan nikmat, dan kemudian
terkulai seiring ambruknya pak Basyir menindih tubuhku. Masih belum
puas, pak Basyir melumat bibirku dan melesakkan lidahnya ke dalam
mulutku, membuat aku kembali harus menelan air ludah pemerkosaku.
Setelah pak Basyir melepaskanku karena kehabisan nafas, ia ambruk
terguling di sebelah kananku. Aku menarik lepas tanganku yang
tertindih badannya yang penuh keringat. "Non Liza.. teman teman non
Liza itu mau nggak main sama bapak?", tanya pak Basyir. Aku
langsung meradang dan membentak penjaga vilaku ini, "Pak, jangan
macam macam ya! Belum cukup apa bapak memperkosa Liza seorang
saja?".
"Sabar non Liza, bapak kan cuma berandai andai. Misalnya, teman non
Liza yang tadi siang ngeremasin susunya non", kata pak Basyir sambil
meremas payudaraku. Aku terkejut, ternyata tadi pak Basyir sempat
mengintip kami, dan aku tahu yang ia bicarakan adalah Sherly.
"Anaknya cakep, rambutnya indah, badannya seksi, bapak jadi pingin
tahu apa dia juga sehebat non Liza kalau main sama bapak", sambung
pak Basyir.
Dadaku rasanya sesak, ingin rasanya aku menampar pak Basyir karena
kata katanya yang amat merendahkanku itu. Tapi belum lagi aku
berbuat apapun, pak Basyir sudah melanjutkan, "Yang tadi manggil
manggil non di teras itu juga cakep, rambutnya panjang seperti punya
non Liza, badannya juga kecil seperti non Liza. Mungkin memeknya
juga enak seperti non Liza", kata pak Basyir sambil menerawang, tapi
tangannya tak berhenti meremasi payudaraku.
Yang barusan ia impikan adalah Jenny, dan aku semakin jengkel. "Pak
Basyir, sebaiknya bapak bisa menjaga kelakuan bapak. Kalau sampai
bapak berulah dan teman teman Liza tahu tentang hal ini, berarti
nggak ada gunanya rahasia ini Liza jaga, toh Liza nanti akhirnya malu
juga karena rahasia ini pasti tersebar ke mana mana. Dan karena sudah
nggak ada bedanya lagi, saya pasti akan meminta papa untuk memecat
bapak!", aku mengancam dengan keras.
Mendengar ancamanku, pak Basyir keder juga, dan berkata, "Iya non
Liza, bapak janji nggak akan mendekati kedua teman non Liza itu.
Kalau yang tiga itu sih.. bapak nggak berminat, mereka kurang menarik
buat bapak . Tapi kalau kedua teman non Liza sendiri yang mendekati
bapak, non Liza jangan menyalahkan bapak lho..". Mendengar kata
kata pak Basyir, aku sedikit lega, walaupun agak muak juga.
"Pokoknya bapak jangan berani berani mendekati kedua teman Liza
itu! Besok Liza mungkin agak terlambat datang ke sini!". Aku lalu
menepis tangan pak Basyir yang masih meremasi payudaraku, dan aku
berdiri lalu mengenakan bra dan celana dalamku juga baju tidurku,
dan aku keluar dari kamar tidur penjaga vilaku itu menuju kamarku
sendiri. Aku tak langsung tidur, tapi aku mengambil baju tidur, bra
dan celana dalamku yang baru, dan juga handuk kecilku, kemudian
aku menuju ke dalam kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, aku kembali menelanjangi diriku, dan aku
membersihkan liang vaginaku dari sperma penjaga vilaku itu. Sambil
kusemprot dengan air shower, liang vaginaku kukorek sebisanya
sambil menggigit bibir menahan nikmat, lalu kuberi cairan pembersih
vagina hingga vaginaku terasa nyaman dan pasti berbau wangi ^^
Lalu tubuhku kuseka dengan handuk kecilku yang sudah kubasahi
dengan air dan sedikit sabun. Aku membersihkan seluruh tubuhku dari
keringat hasil persetubuhanku dengan pak Basyir tadi, dan tubuhku
mulai terasa nyaman. Setelah aku mengeringkan tubuhku dan memakai
bra, celana dalam dan baju tidurku yang baru, aku menyimpan semua
pakaian kotorku dalam kantung plastik. Lalu aku segera masuk ke
dalam kamar, dan aku berhasil membuka dan menutup pintu kamarku
dengan nyaris tanpa suara.
Aku melihat Bella dan Sherly sudah tertidur lelap, dan dengan hati hati
aku naik ke ranjang dan membaringkan diri di sebelah Sherly. Aku
masuk ke dalam selimut untuk menghangatkan diri. Tiba tiba, seperti
tadi, Sherly memelukku, erat sekali, hingga nafasku rasanya sesak. Dan
herannya, nafas Sherly terasa berat, seperti orang yang sedang
terangsang. Tapi aku tak berani banyak bergerak, dan akhirnya aku
tertidur dengan nyaman dalam pelukan Sherly yang mungkin sedang
bermimpi sesuatu ini...
--ooOoo--
Aku masih amat mengantuk ketika tiba tiba aku mulai merasakan
remasan lembut pada payudaraku yang kiri. "Eliza...", aku mendengar
bisikan Sherly. "Mmm...", aku menjawab dengan mata terpejam dan
masih ingin menikmati tidurku. "Kamu cantik...", bisik Sherly mesra,
kurasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa pipiku. Walaupun
aku masih memejamkan mata, aku tersenyum malu. "Mmm... Thanks
Sher..", jawabku manja dan membenamkan mukaku di dada Sherly
hingga menempel di tengah payudaranya.
"Bella sedang ke toilet kok El.. kamu tenang aja, Bella itu kalau ke
toilet, lama..", bisik Sherly sambil terus membelai rambutku. Aku
sempat agak terkejut saat teringat di sini ada Bella. Tapi mendengar
kata kata Sherly, aku terus memejamkan mata dan menggerak gerakkan
kepalaku menikmati empuknya payudara Sherly. Ia tak mengenakan bra
hingga aku bisa merasakan tonjolan puting payudaranya.
"Eliza.. kamu nakal.. auuw..", keluh Sherly dengan manja ketika aku
sengaja mencium tonjolan itu yang ada di balik baju tidur ini.
"Biarin..", jawabku dengan masih terkantuk kantuk. Ini memang
sekalian untuk membalas perbuatan Sherly kemarin padaku. Aku
kembali membenamkan mukaku di tengah payudara Sherly, rasanya
begitu nyaman. Sherly mendekapku, dan kudengar detak jantungnya
kencang sekali.
Tapi ketika kudengar suara pintu kamar mandi di belakang terbuka,
aku tahu kalau aku dan Sherly harus segera menghentikan semua ini.
"Sher.. Bella..", kataku, yang langsung dijawab Sherly, "Iya, kita
udahan dulu deh". Sherly melepaskan pelukannya padaku, dan aku
segera menaruh kepalaku di atas bantal. Aku membuka mata dan
melihat jam, ternyata sudah jam setengah enam pagi. Masih sempat
kudengar bisikan Sherly sebelum Bella masuk, "Nanti kita lanjutin ya
Elizaku". Aku tersenyum geli mendengarnya.
Pintu kamarku terbuka, dan Bella yang sudah memakai baju
trainingnya, masuk sambil menyapa kami berdua, "Hai.. kalian udah
bangun ya? Met pagi". Kami berdua membalas sapaan Bella, dan
beberapa menit kemudian aku membuka selimutku dan duduk sebentar
sementara Sherly masih tiduran di dalam selimut. "Oh iya, yang di
kamar sebelah udah pada bangun semua nggak ya? Kalau pagi pagi
gini kita jalan jalan di luar, udaranya segar lho", kataku.
Baru saja aku berkata begitu, pintu kamarku sudah terbuka dan Jenny,
Rini dan Siany masuk bergabung bersama kami. Jenny langsung
memegang tanganku dan menarikku berdiri, "Ayo El, katanya kemarin
mau jalan jalan pagi ini?". Aku tersenyum dan menjawab, "Baru saja
aku mau ngecek kamu udah bangun belum Jen". Jenny mencibir,
"Yang baru bangun siapa coba? Aku Rini dan Siany sudah pakai baju
training, Bella juga.. kamu dan Sherly ini aja yang.. hayooo... jangan
jangan kalian...".
Aku mencubit lengan Jenny, "Jangan jangan apa Jen?". Jenny
mengaduh dan minta ampun, "Ampun El.. nggak.. nggak kok". Kami
semua tertawa kecuali Jenny yang mengeluh manja, "El.. sakit nih..
kamu jahat". Jenny mengusap usap lengannya yang tadi aku cubit,
dan aku hanya mencibir, "Biarin". Lalu aku segera ngambil pakaian
olah ragaku dan aku sudah hendak pergi ke kamar mandi untuk
berganti pakaian ketika Sherly berkata, "Mau ke mana El? Kalau ganti
baju, di sini aja, kita kan sama sama cewek?"
Aku agak ragu, dan selagi aku tak tahu harus bagaimana, aku yang
sudah hampir keluar pintu ini ditarik oleh Rini kembali ke tengah. "Iya
El, ganti di sini juga kenapa?", tanya Rini. Dengan ragu aku melepas
baju tidurku, dan untungnya semuanya termasuk Sherly dan Jenny
bersikap wajar saja sampai aku selesai memakai baju trainingku,
bahkan Sherly juga langsung berganti pakaian. Dan akhirnya kami
semua sudah siap, lalu keluar bersama sama, berjalan jalan di pagi
hari menikmati udara segar di Tretes.
--ooOoo--
Kami sudah berjalan jalan lebih dari setengah jam ketika aku melihat
ada seorang wanita yang sedang berjongkok dan memijit mijit
pergelangan kakinya. Kebetulan kami berjalan mendekati wanita itu,
dan aku bermaksud menanyakan keadaannya. "Emm.. Eh? Cie.. ", aku
menyapanya dengan ragu ragu, aku yakin pernah melihat wanita ini.
"Hai.. Eliza kan? Lupa yaa.. aku Liana, pegawai di kantor pak Alan",
sapa wanita yang ternyata Cie Liana, pegawai papiku ini.
"Oh iyaa.. hai Cie Liana... oh ya, kenapa kaki Cie Liana?", aku bertanya
pada Cie Liana. "Oh nggak apa apa kok Eliza, cuma capai aja kok,
thanks ya", kata Cie Liana. "Oh iya Cie, kenalkan ini teman temanku",
aku memperkenalkan semua temanku satu per satu. "Wah senang ya
bisa kompak gini, iri deh Cie Cie sama kalian", kata Cie Liana setelah
selesai berkenalan dengan semua teman temanku.
Sherly memandang Cie Liana dengan kagum. Cie Liana, seorang wanita
yang kira kira sudah berumur 26 tahun, wajahnya manis dan terutama
matanya indah, pasti membuat pria tak akan bosan memandangi Cie
Liana yang mengenakan baju training yang lumayan ketat hingga
menonjolkan lekuk tubuhnya yang indah. Rambutnya yang panjang
sampai ke siku tangannya itu diikat dengan model ekor kuda, membuat
Cie Liana tampak semakin manis.
"Memangnya Cie Cie sendirian aja ke sini?", tanya Sherly. "Iya nih,
akhir minggu, refreshing dua hari satu malam, jadi Cie Cie nggak
kepikiran untuk bawa teman", kata Cie Liana.Kami sempat mengobrol
sebentar, dan kemudian kami bersama Cie Liana melanjutkan jalan
jalan pagi ini. Cie Liana cepat sekali akrab dengan kami semua, dan
pada saat pulang, kami melewati vila yang ternyata tempat Cie Liana
menginap, yang mana kebetulan ada di dekat vilaku.
"Ini vila tempat Cie Cie menginap, kalau kalian nggak buru buru,
mampir sebentar ya?", kata Cie Liana. "Nanti siang aja Cie, sekalian
kami mau buat pudding siang nanti. Cie Cie mau kan?", tanya Sherly.
"Aduh makasih lho. Kalian menginap di mana?", tanya Cie Liana. "Itu
cie, dari sini kelihatan yang pintunya putih", kataku sambil menunjuk
ke pintu vilaku yang kelihatan dari sini. "Oh dekat ya.. ya udah deh,
Cie Cie tunggu ya puddingnya", kata Cie Liana sambil tersenyum
manis sekali dan melambaikan tangannya.
Kami membalas lambaian tangannya dan kami segera kembali ke vila.
kini matahari masih belum menyengat, dan terbayang betapa
senangnya jika kami menceburkan diri ke kolam renang di vilaku.
Begitu sampai, aku segera mengambil beras secukupnya dan
melakukan semua yang diperlukan untuk memasak nasi pada rice
cooker. Setelah semua beres, aku mengetuk pintu kamar, "Haloo, aku
mau masuk". Dan terdengar jawaban dari dalam, "Masuk aja El, nggak
dikunci kok".
Dan ketika aku masuk ke dalam kamar, aku terpukau melihat Sherly
yang memakai pakaian renang minim, yang hanya menutup payudara
dan selangkangannya saja. Kulihat tubuhnya yang putih mulus, begitu
indah dan menggairahkan, perutnya yang begitu rata dan pinggangnya
yang ramping, benar benar sempurna. Aku dikejutkan oleh Bella yang
menggodaku, "El, kamu kok ngeliatin Sherly kayak gitu sih? Hayo
naksir ya?". Aku gelagapan dan mencoba membantah, "Nggak, aku..
aku..".
Bella tertawa dan makin menggodaku, "Ya udah, aku keluar dulu deh
El, jadi kamu bisa bermesraan sebentar dengan Sherly". Ya ampun, aku
tak tahu harus menjawab apa. Dan setelah Bella keluar dari kamar, aku
langsung berganti pakaian renang. Begitu aku selesai memakai pakaian
renangku, Sherly mendekatiku, lalu memelukku dengan erotis, dan ia
berbisik mesra padaku, "Eliza.. hari ini kamu harus ma jadi milikku..
aku pasti dapatin kamu...".
Aku tak bisa bereaksi apapun, dan aku makin lemas ketika Sherly
memagut bibirku sambil mempererat pelukannya, dan kurasakan
payudara itu menekan payudaraku dengan tepat, hingga aku merasa
tersengat, aku hanya bisa pasrah dalam pelukan Sherly. Cumbuan
bertubi tubi dari Sherly membuatku hampir tak bisa berpikir jernih, tapi
aku sadar kalau ini terus berlanjut, kami bisa ketahuan oleh yang lain.
Aku nggak tahu dengan Sherly, tapi aku tak bisa membiarkan teman
temanku mengetahui kemesraan kami berdua yang tidak wajar ini.
"Sher... jangan sekarang Sher...", aku mulai meronta perlahan dari
dekapan Sherly. "Nanti ketahuan yang lain...", keluhku tanpa daya
ketika Sherly meremas kedua payudaraku begitu aku lepas dari
dekapannya. Tepat ketika Sherly melepaskan remasannya pada
payudaraku, pintu kamarku terbuka dan Jenny masuk dan memanggil
kami berdua, "Ayo dong, kalian jangan pacaran melulu dong, nanti aja
pacarannya kalo udah selesai renang".
"Kamu ini Jen, awas ya kalau ketangkap", aku langsung pura pura
marah dan mengejar Jenny yang lari keluar sambil tertawa, dan aku
terus mengejarnya sampai kami berdua mencebur ke kolam renang.
Aku sudah tak berminat mengejar Jenny, air yang dingin ini sungguh
menyegarkan dan aku berenang sepuasnya. Mereka berenang santai
sambil terus berceloteh, hanya aku sendiri yang sibuk menyelam dan
berenang sampai aku agak lelah.
"Eh bentar nih, aku mau minum dulu.. haus juga nih. Kalian juga mau
kan? Aku bawain lima Aqua botol buat kalian ya", kataku ketika aku
merasa agak haus. "Iyaa. Thanks ya El", kata mereka hampir
berbarengan. Aku tersenyum, lalu naik dan masuk ke dalam ruang
tengah untuk mengambil minuman, dan aku minum sampai hausku
terpuaskan, aku langsung menghabiskan setengah botol air minum.
Aku mengambil lima botol air minum Aqua dari kulkas dan kutaruh di
meja sebentar. Tepat ketika aku menutup pintu kulkas, tiba tiba
sebuah tangan menerobos dari belakang melewati celah pahaku,
kemudian dengan cepat tangan itu sudah mencengkeram
selangkanganku. Aku baru akan bereaksi ketika mulutku sudah dibekap
oleh tangan yang satunya lagi. Aku tahu ini pasti ulah pak Basyir,
yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Aku tak berani banyak bergerak dengan lima botol Aqua yang kudekap
dengan kedua tanganku, dan pak Basyir dengan leluasa meremasi
daerah selangkanganku, dan menggunakan jarinya mencari cari dan
menekan bibir vaginaku, sementara kurasakan hembusan nafas pak
Basyir yang hangat menerpa leherku ketika ia sedang menciumi
rambutku yang basah ini.
"Emmphh...", aku menggeleng gelengkan kepalaku menahan nikmat
yang melanda selangakanganku ketika jari tangan pak Basyir dengan
tepat menusuk sebagian liang vaginaku. Tubuhku mengejang kaku,
merespon tusukan tusukan kecil yang dilakukan pak Basyir. "Empph..
ahhh.. pak.. jangan sekarang...", aku merintih dan memohon pak Basyir
untuk menghentikan semua ini. "Non Liza...", desah pak Basyir dengan
nafas memburu dari belakangku. "Bapak kangen..", sambung penjaga
vilaku ini.
"Jangan gila pak, apa apaan sih, udah lepaskan Liza!", bentakku pelan.
Aku makin panik karena pak Basyir tak juga melepaskanku, ia malah
membalikkan tubuhku menghadap ke arahnya, lalu tiba tiba ia
berjongkok dan menjilati vaginaku yang tertutup oleh baju renangku
ini. "Ohhh.. pak... jangan...", keluhku tak berdaya, aku tak bisa berbuat
apa apa karena aku harus mendekap botol botol Aqua ini, daripada
nanti terjatuh dan mengundang perhatian yang lain.
"Oooohh...", aku mendesah menahan nikmat ketika pak Basyir di bawah
sana dengan rakus melumat vaginaku, untungnya baju renangku
memang basah, jadi tak akan mencolok kalau bagian yang itu basah
oleh ludah penjaga vilaku. Sesekali tubuhku tersentak, aku tak bisa
berjalan mundur karena kedua pahaku dipeluk oleh pak Basyir. Aku
benar benar tak berdaya dan sudah dalam kekuasaan penjaga vilaku
ini, ketika tiba tiba kudengar Jenny memanggil manggilku.
"Elizaaa... kamu kok lama kenapaa? Aku bantuin deh ambil botolnya",
kata Jenny dengan suara yang cukup keras untuk terdengar sampai ke
dalam sini. Aku seperti tersadar dan seolah mendapat kekuatan untuk
melepaskan diri dari pak Basyir. Aku meronta sekuatnya, dan dekapan
pak Basyir pada kedua pahaku terlepas, demikian juga dengan lumatan
pak Basyir pada vaginaku. Tubuhku masih bergetar menahan nikmat,
sementara pak Basyir tak menunjukkan tanda tanda akan berhenti.
Dalam keadaan tersengal sengal, dengan kesal aku berkata pada pak
Basyir dengan penuh ancaman, "Bapak jangan nggak tau aturan ya!
Bisa nggak nunggu sampai nanti malam? Tolong pak Basyir jaga
kelakuan bapak, jangan lupa diri pak, Liza ini masih anak majikan
bapak! Kalau bapak sampai tega mempermalukan Liza di depan teman
teman Liza, maka bagi Liza nggak ada yang perlu Liza pertimbangkan
lagi dan jangan salahkan Liza kalo Liza minta papa untuk memecat pak
Basyir!"
Pak Basyir keder juga, "Iya non.. saya ke belakang dulu.. maaf non,
abis non ngangenin sih". Wajahku panas mendengar kata kata pak
Basyir. Untung ia sudah keluar ketika Jenny sampai ke dalam ruangan
ini dan aku sendiri sudah berhasil mengatur nafasku dan bersikap
sewajarnya. "El.. kamu digangguin bapak itu lagi?", tanya Jenny
dengan berbisik bisik. Aku mengangguk dan berkata, "Iya Jen, untung
kamu tadi panggil panggil.. thanks ya Jen".
Jenny memelukku dan berkata, "Tenang El, aku pasti jagain kamu".
Aku merasa nyaman dipeluk seperti ini, dan ketika Jenny melepaskan
pelukannya aku memandangnya dengan penuh rasa terima kasih. Kami
berbagi lima botol Aqua ini dan bersama sama membawa semuanya ke
tempat kolam renang. Dan sebelum sinar matahari mulai menyengat,
kami semua sudah puas berenang, dan kami bergantian mandi pagi
sebelum melanjutkan acara kami hari ini.
Tentu saja kami makan pagi dulu, dan kali ini aku mengajak Jenny
membantuku di dapur menghangatkan makanan kaleng yang kami
bawa kemarin. Sebenarnya untuk menghangatkan makanan kaleng itu
tak begitu repotnya, tapi aku meminta Jenny menemaniku daripada
aku nanti harus pasrah dilecehkan pak Basyir. Sementara itu teman
temanku yang lain menyiapkan piring dan sendok garpu di meja
makan, dan kami makan pagi dalam suasana yang santai.
Setelah makan pagi selesai dan piring piring kotor sudah kami
letakkan di belakang, kami melewatkan pagi ini dengan melakukan
berbagai kegiatan yang menyenangkan, seperti main kartu, tebak
tebakan, menyanyi bersama dan yang paling seru, menggosip ^^ dan
tak terasa sekarang ini sudah jam dua belas siang. "Gimana, jadi bikin
pudding?", aku bertanya pada teman temanku. "Jadi dong!", seru
Jenny, dan Sherly langsung beranjak dari duduknya sambil berkata,
"Jangan lupa, kita buat agak banyak, kan udah janji dengan Cie Liana
tadi".
"Iya, aku ingat kok Sher", kataku padanya, dan kami semua segera
sibuk. Selagi mereka mempersiapkan bahan bahan untuk membuat
pudding, aku ditemani Jenny menyiapkan nasi dan makan siang kami.
Setelah rice cooker menyala, aku dan Jenny bergabung membantu
menyiapkan bahan bahan untuk membuat pudding, dan setelah
semuanya siap, kami semua makan siang dulu, baru kemudian
kegiatan pembuatan pudding itu kami lanjutkan.
Kami membuat banyak sekali, selain untuk diberikan pada Cie Liana,
juga untuk kami makan malam nanti. Kami pasti begadang di malam
terakhir liburan di vilaku, yang juga malam terakhir bagi pak Basyir
untuk menikmati tubuhku dalam acara liburan ini. Aku mencoba tak
mengingat ngingat keadaanku yang nanti harus melayani pak Basyir,
kini aku hanya ingin bersenang senang dengan teman temanku.
Akhirnya beberapa cetakan pudding selesai, dan sambil menunggu
pudding pudding itu mengeras, kami semua beristirahat sambil
menonton DVD. Entah film drama apa yang ditonton mereka, aku tak
berkonsentrasi dan lebih banyak melamun. Aku merenungi keadaan
diriku. Terbersit perasaan sedih, mengapa aku bisa tertimpa berbagai
perkosaan yang tak habis habisnya. Dan yang paling membuatku
merasa kotor dan terhina, adalah gangbang sekaligus bukake yang
menimpaku tiga minggu yang lalu.
Masih teringat jelas olehku, betapa sakitnya liang vaginaku, betapa
lemasnya kedua kakiku hingga aku bahkan sempat tak punya tenaga
hanya untuk berdiri saja. Bagaimanapun aku masih bersyukur, mereka
tak menyekapku untuk dijadikan budak seks mereka. Kembali terngiang
di telingaku suara suara melecehkan dari anak anak SMP dan STM
yang menggagahiku waktu itu. Tak terasa air mataku menitik, sakit
sekali hatiku rasanya jika teringat itu semua.
Aku terkejut sendiri, dan cepat cepat kuhapus air mataku yang sudah
mengalir di pipi ini. Tapi lagi lagi aku terkejut, teman temanku semua
juga sedang menangis. Ternyata film dari DVD yang sedang ditonton
mereka ini adalah jenis cerita sedih, dan ini benar benar
menyelamatkanku. Apa jadinya jika sekarang ini mereka sedang
menonton film komedi dan aku malah menangis seperti ini?
Aku hanya mengarahkan pandanganku ke TV, tapi pikiranku terus
melayang layang. Aku teringat saat terenggutnya keperawananku di
ruang UKS, perkosaan yang akhirnya membuatku larut dan
menyerahkan diri. Demikian juga halnya di rumah, berawal dari
perkosaan, akhirnya aku memilih memberikan para pembantu dan
sopirku kesempatan untuk menikmati tubuhku selagi situasi
memungkinkan, dan yang terjadi akhir akhir ini aku malah amat
menikmati persetubuhan dengan mereka bertiga.
Lalu buruh buruh Jenny yang juga pernah mendapat kesempatan untuk
menikmati tubuhku, lalu penjaga vilaku ini yang berhasil membuatku
memohon mohon untuk diantar menuju orgasme. Di sekolah baletku,
aku harus memuaskan seorang tukang sapu, lalu aku merasakan
berciuman dengan sesama wanita bersama Cie Elvira dan Sherly, lalu
anak anak SMP dan STM yang membuatku menderita sengsara itu, dan
kini aku kembali jatuh ke tangan pak Basyir. Lamunanku terhenti ketika
Sherly mematikan DVD, dan aku tak perlu terlalu berusaha untuk tidak
terlihat terkejut, karena semuanya masih sibuk menangis sedih.
"Sedih ya film ini...", komentar Rini sambil menghapus air matanya. "Eh
udah dong, masa kalian mau nangis terus? Gimana, ayo kita lihat
pudingnya", aku mencoba mencairkan suasana. "Iya nih", kata Sherly
sambil tersenyum, dan kami semua ke meja untuk melihat pudding
kami. Ternyata sudah siap untuk dimakan walaupun agak hangat.
"Ayo, aku temani kamu antar pudding itu El", kata Sherly. "Iya boleh.
Tapi kita cicipin dulu nih, ntar kuatirnya rasanya nggak enak", kataku
pada mereka.
"Waah.. enaknyaa", kata Jenny, dan ia menyambung lagi, "Udah kasih
aja, pasti Cie Cie itu senang. Aku tambahin dulu es buahnya ya".
Jenny menambahkan es buah dari kaleng yang sudah dingin sekali
karena dimasukkan ke dalam kulkas sejak kemarin, dan setelah
pudding buah ini siap, aku dan Sherly pergi ke vila tempat Cie Liana
menginap tadi, meninggalkan Jenny dan yang lain yang memamerkan
saat saat mereka menikmati es pudding itu. Entah apa yang mereka
lakukan setelah ini sambil menunggu kami kembali, mungkin
beristirahat, mungkin tidur siang atau sekedar tidur tiduran sambil
mengobrol.
"El, Cie Liana itu cakep abis ya", kata Sherly. "Iya Sher..", aku
menjawab sambil tersenyum. "Tapi kamu masih lebih cakep kok El",
goda Sherly sambil tersenyum nakal. "Ih.. apaan sih Sher.. udah ah, ini
kita udah sampai", kataku agak malu. Kami mencari cari bel, tapi tak
menemukan. Dan ketika aku akan mengetuk, Sherly mendorong pintu
vila ini dan ternyata terbuka, tak dikunci. "Gimana ini Sher?", tanyaku
pada Sherly, yang menjawab, "Ya kita masuk aja, toh maksud kita kan
baik, mau ngasih pudding ini".
Aku berpikir, benar juga kata Sherly. Maka aku dan Sherly masuk
sekalian melihat lihat. Sempat aku memperhatikan jam tanganku, sudah
jam tiga sore. Tiba tiba, aku menangkap suara desahan dan rintihan
wanita, juga geraman dari pria, yang mungkin lebih dari satu. Aku
tercekat, tanpa sadar aku hanya ikut ketika Sherly sudah menarik
tanganku dan ia berhenti di pojok tembok. Sherly mulai mengintip
halaman belakang vila ini. Aku mau tak mau mendengar suara desahan
wanita yang makin jelas itu, dan aku berbisik, "Siapa Sher?". Sherly
menjawab dengan nada suara yang tak percaya, "Cie Liana.. El..!?".
Jawaban Sherly itu amat mengejutkanku, dan aku memaksa diri untuk
ikut mengintip. Aku tercekat ketika melihat Cie Liana sedang tiduran di
kursi panjang, tubuhnya telanjang bulat dengan pakaian yang
berserakan di teras belakang ini dengan vagina yang tertancap penis
seorang laki laki yang penampilannya terlihat seperti penjaga vila di
sini, sementara satu tangan Cie Liana sedang sibuk mengocok penis
seorang laki laki yang aku rasa pernah melihatnya. Ya, laki laki itu
adalah sopir Cie Liana.
Aku tertegun melihat pemandangan yang harusnya tak asing buatku,
karena keadaanku memang tak berbeda dengan Cie Liana, menjadi
pemuas nafsu seks penjaga vila, sopir, malah aku masih harus rela
menjadi pemuas nafsu dari beberapa orang yang tidak sedikit
jumlahnya. Cie Liana kelihatan seperti menderita ketika penis itu
melesak dalam dalam pada liang vaginanya, tapi ketika penis itu
ditarik sampai hampir keluar, aku merasa sepertinya kedua kaki Cie
Liana menjepit pinggang laki laki itu seolah Cie Liana tak rela penis itu
sampai keluar dari liang vaginanya.
"Ngghhh.. Aaaduuuh...", kudengar lenguhan dan erangan Cie Liana
ketika liang vaginanya diaduk aduk sampai pinggang Cie Liana
terangkat angkat, dan aku bisa membayangkan bagaimana rasanya,
karena aku sendiri sudah pernah mengalami yang seperti itu. Wajah
Cie Liana yang mengekspresikan kesakitan saat liang vaginanya
disodok dalam dalam membuatku kuatir. "Sher.. menurutmu, apa Cie
Liana.. diperkosa?", tanyaku dengan tak yakin.
"Ya nggak lah El, mana ada orang diperkosa tapi kakinya malah
disilangkan melingkari pinggang pemerkosanya? Itu sih persetubuhan
namanya", jawab Sherly sambil terus melihat ke arah Cie Liana yang
sedang tersentak sentak digenjot oleh laki laki itu. Mukaku rasanya
panas, teringat aku sendiri sudah beberapa kali terlibat persetubuhan,
yang pada awalnya selalu dimulai dari perkosaan, dan akhirnya aku
harus larut dalam kenikmatan, malah kadang aku sampai mencari
kenikmatanku sendiri.
Aku melihat Cie Liana yang sedang digenjot habis habisan tiba tiba
menarik penis dari sopirnya yang sedang dikocok oleh tangan Cie
Liana, kemudian Cie Liana melahap penis itu dan mengoralnya. Kini
aku jadi yakin, kalaupun tadinya awalnya Cie Liana memang diperkosa,
sejak Sherly dan aku melihat kejadian ini, keadaan Cie Liana pasti
sudah mulai menikmati adukan pada liang vaginanya. Wajah Cie Liana
yang mengekspresikan penderitaan itu besar kemungkinan karena
penis dari laki laki yang mengaduk liang vagina Cie Liana itu begitu
besar dan panjang.
"Ooooh... Bu Lianaaaa...", erang sopirnya Liana itu, dan Cie Liana
melepaskan kulumannya pada penis sopirnya yang langsung
mengocok penisnya sendiri dan sesaat kemudian, spermanya
berhamburan menyemprot wajah Cie Liana, sebagian semprotan itu
mengenai rambutnya juga. Dan kini ganti Cie Liana yang melenguh
lenguh, "Nggghh... ngghhh... aduuhhh...". Tubuh Cie Liana berkelojotan,
untung sopirnya menahan dan menjaga gerakan tubuh Cie Liana yang
mungkin sekali sedang mengalami orgasmenya itu, hingga tak sampai
terjatuh dari kursi yang menopang tubuh Cie Liana itu.
Tak lama kemudian Cie Liana melemas bersamaan dengan suara
geraman dari laki laki yang beruntung menikmati liang vagina dari Cie
Liana itu. Laki laki itu lalu mencabut penisnya, lalu ia cepat cepat
beranjak dan mengarahkan penisnya ke payudara Cie Liana sambil
terus mengocok penisnya sendiri. "Aaah...", erang laki laki itu saat
spermanya tersemprotkan keluar membasahi kedua payudara Cie Liana.
Kini kedua pejantan yang menggagahi Cie Liana sudah terpuaskan, dan
Cie Liana sendiri kelihatan lemas, wajah dan payudaranya belepotan
sperma dan nafasnya tersengal sengal. Nampak laki laki yang baru
menyetubuhi Cie Liana itu mengelus-elus kedua payudara Cie Liana
sehingga cipratan spermanya merata. Sesaat kemudian bibir Cie Liana
dipagut dengan buas oleh sopirnya. "Mmmphhh... mmmm...", Cie Liana
membalas pagutan itu dan melingkarkan kedua tangannya di leher
sopirnya, mesra sekali kelihatannya.
Sungguh pemandangan yang indah dan sexy, juga kontras sekali. Cie
Liana yang begitu cantik dan berkulit putih mulus bak pualam, saling
berpagut begitu ganas dengan sopirnya yang berwajah amburadul
dengan kulitnya yang hitam tak terawat, dan kulit dari kedua insan
yang berasal dari strata sosial yang amat berbeda itu, bergesekan dan
menyatu dengan indahnya. Pemandangan ini membuatku jantungku
berdegup kencang dan aku mati matian berusaha menekan gairahku
yang meninggi ini.
Tanpa kusadari tiba tiba Sherly sudah mendekapku dari belakang dan
menarikku ke arah tembok. Sherly dengan kejam merangsangku habis
habisan di saat aku sendiri sudah terangsang melihat live show
persetubuhan tadi. Aku tak berani bersuara, hanya bisa diam tak tahu
harus berbuat apa selain mati matian menahan diriku untuk tidak
mendesah. Aku menggigit bibir dan menggeliat menahan nikmat ketika
tangan Sherly yang kiri sudah menyusup pada bagian depan celana
dalamku, dan jari tangannya dengan cepat menemukan liang vaginaku,
lalu menusuk dan mengaduk aduk liang vaginaku.
Tangan kanan Sherly sendiri bergantian meremasi kedua payudaraku,
dan aku mulai mengejang akibat terangsang begitu hebat. "Nggh..
Sheer..", aku melenguh perlahan dan mencoba melepaskan diriku dari
dekapan Sherly. Setelah berhasil, dengan nafas yang memburu aku
cepat ke arah pintu masuk vila ini, dan Sherly mengikutiku ke sana.
"Kenapa El?", tanya Sherly dengan senyum menggoda. Aku tersenyum
malu tak kuat membalas tatapan Sherly yang sayu dan penuh hasrat
padaku.
"Sher... kita jangan begini di sini, nanti kalau ketahuan Cie Liana kan
nggak enak", aku berbisik lembut, mencoba memberi pengertian pada
Sherly. "Ya udah, kamu sendiri yang bilang kita jangan begini di sini,
artinya nanti ditempat lain yang memungkinkan, kamu harus mau.
Pokoknya hari ini kamu harus jadi milikku, Eliza", jawab Sherly dengan
mesra. Aku tak tahu harus menjawab apa, malu sekali rasanya, dan aku
hanya bisa menunduk malu seperti ada seseorang yang mengajakku
untuk menikah saja.
"Gimana ini El, masa kita mau menunggu Cie Liana dan mereka itu
bermain satu ronde lagi?", tanya Sherly. Aku sendiri juga bingung, dan
tiba tiba Sherly sudah berseru dengan suara keras, "Permisii.. Cie
Liana, aku Sherly yang tadi Cie, lagi sama Eliza nih..". Dan terdengan
suara Cie Liana dari halaman belakang tadi, "Iyaaa.. tunggu bentar di
sana ya, Cie Cie bentar lagi keluar". Aku dan Sherly saling
berpandangan, seolah bersepakat untuk pura pura tak terjadi apa apa.
Tak lama kemudian Cie Liana menemui kami, dengan pakaian yang
terpasang lengkap dan cukup rapi, hanya saja agak kusut di sana sini.
Wajah Cie Liana merah sekali dan tubuhnya berkeringat cukup banyak
seperti orang yang baru berolahraga cukup berat. Rambutnya yang tadi
diikat itu kini dibiarkan bebas tergerai, indah sekali rambut Cie Liana
itu dengan highlight di beberapa bagian, hingga Cie Liana terlihat
semakin cantik, dan aku terus memandangi Cie Liana dengan terpukau.
Tapi aku agak terkejut ketika aku melihat sedikit bekas sperma pada
bagian atas rambut Cie Liana, yang tadi disemprotkan oleh sopirnya
itu. Dan sekilas aku juga bisa melihat beberapa warna merah bekas
cupangan di bagian leher Cie Liana dari sela sela rambutnya,
membuatku menahan nafas dan berusaha seolah olah aku tak melihat
apapun. Aku juga berharap Sherly tak membahas apa yang kami lihat
tadi saat kami sempat mengintip tadi, dan tampaknya Sherly memang
belum cukup gila untuk melakukan itu.
"Hai.. kalian...?", tanya Cie Liana dengan ragu. "Ya Cie Liana, lupa ya?
Tadi kami kan janji mau bawain Cie Liana pudding?", goda Sherly. "Oh
iya yaa.. ayo masuk", kata Cie Liana mengajak kami mampir sebentar.
"Aduh, sorry ya Cie, aku dan Eliza udah ditungguin yang lain, kami
lagi akan mengadakan game nih.. Cie Cie mau ikut?", kata Sherly.
"Oh, jangan deh Sherly, nanti Cie Cie malah menggangu saja. Lagipula
Cie Cie mau istirahat nih", tolak Cie Liana dengan halus. Aku agak
heran tentang game yang Sherly maksud, tapi aku tahu aku tak boleh
membuat suasana menjadi canggung, maka aku mengikuti kemauan
Sherly dan tersenyum pada Cie Liana.
"Ini Cie, puddingnya", aku memberikan pudding buatan kami ini. "Ya
udah kalo gitu, thanks ya puddingnya. Mmm, Eliza, tempatnya pudding
ini, Cie Cie pindah sekarang, atau besok Cie Cie titipkan ke pak Alan?",
tanya Cie Liana. "Oh nggak usah repot repot Cie, besok aja titipkan
papiku", jawabku. Cie Liana mengangguk dan berkata, "Thanks ya
pudingnya.. aduh ngerepotin deh... dan aduh.. kelihatannya enak nih,
kalian buat sendiri ya? Wah kapan kapan Cie Cie mesti belajar sama
kalian nih!".
Aku dan Sherly tersenyum mendengar pujian Cie Liana. "Ya Cie Liana,
belum dicoba kok udah bilang keliatannya enak... ntar nyesel lho udah
berharap harap, nggak tahunya puddingnya kurang enak", kata Sherly
dan Cie Liana tertawa, sungguh cantik sekali Cie Liana waktu tertawa
seperti ini. "Ah kamu itu ada ada aja, Cie Cie ini udah senang sekali
dikasih pudding gini", kata Cie Liana. Kami semua tersenyum, dan
Sherly berpamitan pada Cie Liana, "Ya udah, kami pamit dulu Cie,
sampai ketemu lagi ya". Setelah aku juga berpamitan, kami segera
keluar dari vila tempat Cie Liana ini dan kembali ke vilaku.
Di tengah perjalanan, aku merasa seperti disambar petir ketika aku
mendengar bisikan Sherly, "El, kamu kok sampai seperti orang bingung
gitu sih waktu tadi lihat Cie Liana digituin sama penjaga vilanya?
Bukannya, tadi malam kamu sendiri juga bersenang senang dengan
penjaga vilamu? Dan dari percakapan kalian, aku yakin sekali kalau
tadi malam itu bukan pertama kalinya kamu menyerahkan dirimu
kepada penjaga vilamu, El".
"Hah? Kamu ngomong apa sih Sher?", aku tergagap dan mencoba
mengelak. "El, aku tahu kok, penjaga vilamu itu nyebutin aku waktu
dia berkata, seperti teman non Liza yang tadi siang ngeremasin
susunya non", kata Sherly dengan senyuman yang bukan merupakan
senyuman kemenangan, sinis ataupun dingin, tapi senyuman itu
begitu penuh hasrat. Dan aku langsung lemas, tak tahu apa yang harus
kulakukan. Rahasia ini sudah terbongkar, bukan karena kesalahan pak
Basyir, melainkan karena Sherly sendiri yang tahu. Rupanya bayangan
yang kemarin kulihat sekelebat itu memang bayangan orang, yaitu
Sherly.
"Sher.. siapa lagi yang tahu tentang ini?", aku bertanya dengan panik.
"Jangan kuatir nona cantik, aku nggak ngasih tahu siapa siapa kok,
dan waktu itu yang mengintip cuma aku sendiri. Yah sebenarnya
kemarin, aku ingin dapatin kamu El. Waktu kamu keluar dari kamar, aku
kira kamu ke toilet, dan aku kira aku bisa dapatin kamu di sana. Tapi
tak tahunya, kamu bukannya ke toilet, malah ke kamar penjaga vilamu.
Ya aku jadi ingin tahu, apa yang kamu lakukan di dalam sana", kata
Sherly panjang lebar.
Aku makin terpojok. Masih untung, setidaknya cuma Sherly sendiri
yang tahu sekarang ini. "Sher.. jangan bilang yang lain ya, please..",
aku memohon pada Sherly. Dengan tersenyum geli, Sherly berkata,
"Aduh Eliza.. ngapain juga aku ngomongin ke yang lain.. kita ini sama
sama udah nggak suci, buat apa aku harus merusak nama baikmu...
kalau kamu mau pun, kamu harusnya juga udah cerita cerita tentang
keadaan kosku yang rusak, yang kamu pasti bisa menduga duga dari
kunjunganmu yang terakhir itu. Nah, meskipun sama sama nggak suci,
tapi aku yakin kita sama sama nggak ember, jadi kamu tenang aja ya".
Aku sedikit lega. Sherly kemudian mendekat dan berbisik di telingaku
dengan mesra, "Tapi nanti, kamu mandi sama aku ya El.. aku ingin
kamu...". Aku mengangguk lemah dan menggigit bibir dengan senyum
menahan malu. Sesampai di vila, aku masuk ke dalam kamar diikuti
Sherly, dan aku tak menemukan Bella. Tapi aku mendengar suara ribut
yang amat riang dari kamar seberang, dan ketika aku melihat toilet,
ternyata kosong. Dan terdengar tawa dari Bella dari kamar seberang,
menandakan ia sedang ada di dalam sana.
"El, kalo gitu, kita mandi sekarang aja..", kata Sherly senang. Dengan
perasaan tak karuan, aku mengambil baju ganti dan handuk, dan
Sherly juga melakukan yang sama. Lalu kami berdua masuk bersama ke
dalam kamar mandi, dan setelah pintu tertutup dan terkunci rapat, juga
baju ganti dah handuk kami tergantung di tembok, dengan sangat
bernafsu Sherly menyergapku, dan mencumbuiku. Aku memejamkan
mata berusaha membiasakan diri, karena aku tahu pasti, ini bukan
untuk yang terakhir kalinya aku harus bercumbu dengan Sherly.
Perlahan aku membalas cumbuan Sherly, yang makin membakar nafsu
temanku ini. Tak lama kemudian Sherly sudah melucuti bajuku, dan
aku sendiri mencoba melakukan yang sama walaupun agak canggung.
Setelah kami berdua telanjang bulat, kami kembali berpelukan dan
saling memagut bibir dengan ganas. Aku sendiri sudah mulai dalam
keadaan terbakar nafsu, lidahku kulesakkan ke dalam mulut Sherly dan
saling bertaut dengan lidahnya di dalam sana sampai kami saling
melepaskan diri karena kehabisan nafas.
"El, aku tahu kok, penjaga vilamu itu bilang kalau aku dan Jenny yang
mau sama dia, kamu nggak boleh menyalahkan dia", kata Sherly. Aku
teringat betul, pak Basyir memang sempat berkata seperti itu. "Dan
penjaga vilamu itu benar El, kamu nggak boleh nyalahin dia, kalau aku
yang deketin dia", kata Sherly, membuatku tak percaya dengan
pendengaranku sendiri. "Hah? Kamu gila ya Sher? Kamu...?", aku
memandangi Sherly mencoba memastikan temanku ini sedang
bercanda atau tidak.
"Abisnya, waktu itu aku lihat walaupun penjaga vilamu itu sudah tua,
tapi kemarin dia begitu perkasa dan bisa membuat kamu orgasme
sampai kamu kelihatan nggak kuat nggak kuat gitu El. Aku jadi
kepingin ngerasain kenikmatan yang sampai seperti itu", kata Sherly,
membuatku ternganga. "Tenang aja Sher, kita udah sama sama nggak
virgin kok", bisik Sherly sambil menusukkan satu jarinya pada liang
vaginaku dan menggerak gerakkan jari itu dengan lembut, namun
seperti mengorek seluruh dinding vaginaku.
"Nggghhh..", aku melenguh dan menggeliat, perasaanku sangat
tersengat, baik oleh rangsangan fisik yang baru saja dilakukan Sherly
dengan menusuk liang vaginaku menggunakan jarinya, juga oleh
perkataan Sherly tadi tentang keadaanku kemarin ketika aku tak
berdaya di bawah keperkasaan pak Basyir, juga masalah kami berdua
sudah sama sama sudah nggak virgin. Dan aku jadi membayangkan
bagaimana beruntungnya pak Basyir yang akan mendapatkan Sherly
dan aku di malam nanti, yang entah kenapa membuatku makin
bergairah.
Aku balas menusuk liang vagina Sherly dengan jariku, dan sesaat
berikutnya bibir kami kembali saling berpagut. Puting payudara kami
saling menempel, dan perlahan kami menurunkan badan dan tiduran di
lantai kamar mandi sambil terus bergumul. Aku membiarkan Sherly
berbuat sesuka hatinya padaku. Pagutan bibir kami terlepas, dan aku
hanya bisa menggigit bibir dan menggeliat pelan menahan nikmat
ketika Sherly mulai mencucup puting payudaraku.
Rambutku basah oleh air yang membasahi lantai kamar mandi ini.
Sherly memandangku dengan penuh nafsu sambil berbisik, "Kamu sexy
abis El kalau rambutmu basah gini". Lalu dengan sangat bernafsu
Sherly menciumi seluruh wajahku sementara kedua pergelangan
tanganku yang sudah direntangkan lebar lebar ini dicengkeram erat
oleh Sherly seolah olah ia sedang memperkosaku. Perasaan tak
berdaya karena aku tak bisa menggerakkan kedua tanganku sementara
ada Sherly yang terus mencumbuiku, membuatku dalam keadaan
terangsang hebat.
"Sher...", keluhku. "Iya.. El..?", tanya Sherly dengan suara yang
menggigil layaknya orang terbakar nafsu. "Masukin... Sher..", aku
memohon. "Iya..", kata Sherly sambil memagut bibirku, dan tangan
kanannya melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan kiriku,
lalu Sherly mengarahkan tangannya ke selangkanganku. Awalnya
Sherly mengaduk aduk liang vaginaku hanya menggunakan satu jari,
dan itu sudah cukup untuk membuatku terbeliak dan mengerang
menahan nikmat. Kini satu lagi jari Sherly melesak masuk menguak
liang vaginaku, hingga tubuhku yang tertindih tubuh Sherly ini
mengejang hebat.
"Aaaangghh..", aku mengerang ketika Sherly memainkan dua jari
tangannya di dalam liang vaginaku. Aku merasa seolah olah liang
vaginaku sedang diserang dua penis kecil, yang mengaduk aduk
dinding liang vaginaku kesana kemari, dan aku terus menggeliat
keenakan. "Sheer... am..puuun...", aku orgasme dengan hebat, rasanya
cairan cintaku keluar dengan sangat banyak. Sherly tiba tiba beranjak
melepaskan tindihannya pada tubuhku, dan ia segera mencari liang
vaginaku.
"Auuuughh.. Sheeer... aaaahhh... nggghhhh", aku melenguh sejadi
jadinya ketika Sherly mencucup bibir vaginaku, ia menyedot semua
cairan cintaku. Sedangkan tubuhku terus mengejang dan menggeliat
sampai akhirnya melemas. Aku benar benar kelelahan, kini aku sudah
tak berdaya, nafasku tinggal satu satu. "Sher... udah dulu.. nggak kuat
Sher..", aku memohon. "Mmmm...", guman Sherly, tapi sepertinya ia
mengabulkan permohonanku, dan berbaring di sampingku sambil
memelukku.
"El.. kapan kapan kamu ke kosku.. nginap yah... kita lanjutin sampai
puas...", kata Sherly. Aku hanya mengangguk pasrah sambil beringsut,
aku meletakkan kepalaku di atas payudaranya Sherly, menikmati
keempukannya. Sherly membelai rambutku, dan aku terbuai dalam
kenikmatan ini, rasanya aku ingin sekali tidur dalam keadaan seperti
ini. Gesekan antara pipiku dan puting payudara Sherly membuat
gairahku bangkit, aku mencium dan mencucup puting payudaranya
Sherly walau dengan agak canggung.
Sherly menggeliat dan mengeluh, "Auuw.. El.. kamu nakal...". Aku
tersenyum geli dan terus mencucup puting payudara itu sepuasnya.
Kini ganti Sherly yang terus menggeliat seperti cacing kepanasan.
"Ngghhh.. aduh Eel..", keluh Sherly. Aku tak perduli, tenagaku sudah
mulai kembali dan kini saatnya aku yang bersenang senang. Perlahan
kumasukkan jari telunjukku dari tanganku yang kanan ke dalam liang
vagina Sherly sambil menatap wajahnya untuk melihat reaksinya.
Sherly menatapku sayu dan penuh penyerahan, membuatku sedikit
merasa canggung dan jantungku berdegup kencang. aku belum terlalu
terbiasa dengan semua ini, dimana aku sampai seintim ini dengan
sesame wanita. Jariku benar benar terbenam dalam liang vagina
seorang wanita, dan kurasakan denyutan yang begitu sexy, aku
membayangkan bagaimana perasaan para laki laki yang pernah
membenamkan penis mereka pada liang vaginaku. Ia mengejang
perlahan selama jari tanganku terus melesak ke dalam liang vaginanya
yang terasa begitu hangat dan basah oleh cairan cintanya.
Perlahan, jari tengahku kulesakkan ke dalam liang vagina Sherly,
membuat ia terbeliak menahan nikmat selama proses tenggelamnya
jariku yang kedua ini ke dalam liang vaginanya. "El... aduuuuh...", keluh
Sherly, tubuhnya menggeliat kaku, sementara tangan kirinya mencoba
menyingkirkan tanganku yang sedang mengantarnya menunju
kenikmatan, dan tak berhasil sama sekali karena tenaga Sherly sudah
tidak ada, tubuhnya sudah di luar kuasanya sendiri.
Aku mengerti sekali keadaan Sherly, sekarang ini ia dalam situasi yang
sama seperti aku jika liang vaginaku sedang diaduk aduk hingga aku
kehilangan semua tenaga untuk meronta, hanya bisa menggeliat
mengikuti adukan pada liang vaginaku.. Tangan kanan Sherly tak bisa
terlalu ia gerakkan karena tertindih badanku. Dan tangan kiri Sherly
terlalu lemah untuk menyingkirkan tanganku. Aku sudah berkuasa atas
tubuh Sherly sepenuhnya, kini tinggal aku ingin memaksanya segera
orgasme atau tidak. Tapi aku malah ingin mencoba untuk
mempermainkan nafsu birahi Sherly.
Aku mempercepat adukan jariku pada liang vagina Sherly, dan ketika
kurasakan Sherly hampir orgasme, aku cepat menghentikan adukan
jariku. "Ngghh.. Eel.. kamu jahat..", keluh Sherly manja. Aku menciumi
wajahnya seperti yang dilakukan Sherly tadi padaku, kemudian liang
vaginanya kembali kuaduk aduk dengan cepat. Saat Sherly hampir
orgasme, lagi lagi aku menghentikan adukan jariku. "Eeel.. ayo
dooong.. kamu tega ya...", keluh Sherly dengan memelas, membuatku
tak tahan lagi dan ingin segera melihat temanku ini orgasme dengan
hebat.
Aku mempercepat adukan jariku hingga Sherly orgasme. "Ngggh...
Elizaaa... aaauh...", Sherly melenguh sambil memelukku saat ia dalam
keadaan orgasme hingga aku merasakan sentakan tubuhnya, rasanya
jariku seperti diremas di dalam liang vaginanya. Kukeluarkan jariku dan
kujilat di depan Sherly dengan pandangan menggoda. Sherly terlalu
lemas, ia hanya bisa tersenyum gemas padaku. Kini aku berniat
membalas perbuatan Sherly yang terakhir.
"Aaaah.... ampun Eeeeel...", erang Sherly ketika aku mencucup bibir
vaginanya. Tubuh Sherly mengejang dan berkelojotan, tangannya
berusaha mendorong kepalaku agar cucupanku terlepas, tapi Sherly
terlalu lemah untuk melakukan itu. Akhirnya kurasakan Sherly
melemas, ia pasrah saat aku menyedot habis cairan cintanya. Dan rasa
cairan cinta Sherly ternyata begitu nikmat, sesekali kulesakkan lidahku
ke dalam liang vagina Sherly untuk mendapatkan semua cairan cinta
Sherly yang masih ada di dalamnya.
Sherly terus mengerang keenakan.Setelah puas, barulah aku
melepaskan cucupanku, lalu membaringkan diriku di sebelah Sherly
yang masih tersengal sengal. "Aduh... El.. kamu nakal juga ya...", kata
Sherly di sela nafasnya yang memburu. Aku tersenyum geli, mengingat
perlakuan beberapa orang yang pernah menikmati tubuhku kuterapkan
pada Sherly sekarang ini.
"Udah Sher, kita mandi beneran yuk. Nanti ketahuan yang lain lagi",
aku mengajak Sherly untuk mengakhiri aksi lesbian kami ini. "Bentar
ah.. aku masih capai tau!", omel Sherly manja. Aku hanya tertawa geli,
dan aku sudah bisa berdiri dengan benar, lalu aku mulai mandi di
depan Sherly yang masih tiduran dan menatapku. Kusabuni seluruh
tubuhku dengan gaya yang menggoda, sesekali payudaraku dan
vaginaku kututupi dengan tangan, membuat Sherly memandangku
dengan gemas.
"Awas kamu El...", Sherly berusaha berdiri dan aku menyiramnya
dengan air dingin. "Aduh.. ampuun Eeel...", Sherly memohon mohon
dan berusaha menghindar, aku melihat tubuhnya menggigil kedinginan.
Aku tertawa senang dan mendekatinya, lalu menyabuni seluruh
tubuhnya dengan lembut. Sherly memandangku dengan mesra, ia
menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. "Thanks ya El", bisiknya.
Aku tersenyum dan mencium pipinya, dan ketika aku memeluknya
dengan perasaan sayang, Sherly tiba tiba menangis terisak perlahan.
"Sher.. kamu kenapa?", tanyaku cemas. "Nggak apa apa El, aku cuma
senang dan terharu, kamu baik sekali sama aku. Aku sudah takut kamu
akan memandang rendah aku setelah kamu tahu kelainanku dan juga
setelah apa yang sudah kulakukan padamu, tapi.. kamu..", Sherly tak
meneruskan kata katanya, ia memelukku dengan erat sambil menangis.
Aku terharu juga hingga menitikkan air mata. "Sher...", gumanku dan
aku balas memeluknya.
Tak ada lagi nafsu birahi yang melandaku untuk saat ini. Aku
menenangkan Sherly yang menangis makin mengguguk. Setelah Sherly
mulai tenang, kami melanjutkan mandi ini, dan setelah saling
mengeringkan tubuh kami dan berganti baju, kami keluar dari kamar
mandi sambil bergandengan tangan. Ternyata Jenny dan yang lain tak
ada yang menyadari kedatanganku dan Sherly. Mereka masih di dalam
kamar seberang entah asyik menggosip apa. Aku melihat jam, kini
sudah jam lima sore.
Aku mengetuk pintu dan berseru, "Halooo, kita makan malamnya apa
niih?". Terdengar jeritan senang dari dalam, "Kalian udah kembali
yaaa...". Dan beberapa saat kemudian Jenny sudah keluar dari kamar
lalu berkata, "El, sesuai rencana kita waktu di kelas, kita adain
barbeque yuk nanti malam, nanti kan malam terakhir di sini...".
Sherly segera bersorak senang, "Iya ya.. asyik juga tuh!". Rini berkata.
"Udah kalo gitu kita beli bakso dan sate seperti kemarin aja deh. El,
minta tolong penjaga vilamu untuk cegatin bakso dan sate sekarang
dong!". Aku mengangguk dan memanggil pak Basyir. "Pak Basyiiir...",
aku berseru ke arah kamarnya, kamar yang menjadi saksi perbuatan
mesumku dengan penjaga vilaku ini. Tak lama kemudian dengan
tergopoh gopoh pak Basyir datang ke ruangan ini, dan bertanya, "Ada
apa non Liza?".
"Tolong pak, kalau ada tukang sate dan tukang bakso, cegatin satu
dan minta untuk masuk ke sini yah. Nanti bapak juga saya belikan
kalau bapak mau", kataku yang segera disambut dengan senang oleh
pak Basyir, "Baik non Liza, terima kasih". Ia segera keluar, dan tepat
setelah keempat temanku selesai mandi, pak Basyir sudah kembali
ditemani seorang tukang sate dan seorang tukang bakso. Kami segera
menyerbu dan makan secukupnya, tak lupa aku menyuruh pak Basyir
memesan sesuka hatinya.
Setelah selesai, aku memberikan sejumlah uang lebih pada pak Basyir
dan berkata, "Pak, ini tolong bayarkan, sisanya bapak simpan aja". Pak
Basyir menerima uang itu dan mengucap terima kasih, lalu kami
istirahat sebentar sambil mengobrol ke sana kemari. Tiba tiba kami
melihat Cie Liana diantar pak Basyir masuk ke ruangan tengah ini.
"Hai..", sapa Cie Liana.
"Hai juga Cie...", kami semua menyapa Cie Liana, yang kali ini
berpenampilan santai, dengan rambut yang tergerai . "Eliza, ini tempat
pudding tadi, udah Cie Cie cuci bersih kok", kata Cie Liana. "Aduh Cie,
ngapain repot repot? Mestinya biarin aja.. gimana Cie, enak nggak
puddingnya tadi?", tanyaku pada Cie Liana. "Aduh, enak lho. Kamu
harus ajarin Cie Cie, Eliza! Nanti kalau ke kantor papamu, jangan lupa
ajarin Cie Cie ya", kata Cie Liana samil tersenyum manis. "Aduh, Eliza
bukan yang ahli gitu Cie, ini juga bikinnya bersama teman teman
semua kok", kataku sambil tertawa senang.
Kami terlibat obrolan yang tak ada habisnya sampai jam delapan
malam, dan sudah tiba saatnya kami menggelar barbeque. "Cie, kita
kita mau barbeque nih. Cie Liana ikutan ya?", tanyaku. "Aduh, Cie Cie
harus pulang sekarang nih, ntar kemalaman, besok dimarahin papamu
kalo telat El", tolak Cie Liana. "Aduh.. sayang deh, biar aku yang
bilang sama papa aja, supaya Cie Liana libur sehari", aku setengah
merajuk. "Hei.. jangan El, hahaha kamu lucu deh. Lain kali aja El, Cie
Cie pasti ikut ya", kata Cie Liana.
Maka aku dan yang lain mengantar Cie Liana keluar ke mobilnya yang
sudah diparkir di halaman vilaku. Aku sempat melihat pak Basyir
sedang bercakap cakap dengan sopirnya Cie Liana, dan aku sempat
melihat mereka tertawa tawa sambil memandangi Cie Liana. Aku kesal
sekali melihat sopirnya Cie Liana itu, pasti ia sedang bercerita tentang
perbuatannya di atas sana saat menggagahi Cie Liana. Ingin sekali aku
menampar sopir yang kurang ajar ini, tapi aku tahu aku harus menahan
diri.
"Pak Sardi, ayo antar aku pulang sekarang", kata Cie Liana pada
sopirnya yang masih tertawa tawa dengan pak Basyir itu. "Baik bu
Liana", kata pak Sardi itu dan ia segera duduk di belakang setir mobil
Cie Liana. "Ya udah, Cie Cie pamit dulu ya", kata Cie Liana yang masuk
ke dalam mobilnya. Cie Liana duduk di belakang dan melambaikan
tangan ke arah kami, dan kami balas melambaikan tangan pada Cie
Liana, lalu mobil itu melaju keluar dari halaman vilaku.
"Ya udah, kita mulai barbeque sekarang?", tanyaku. "Iya, masa tahun
depan?", goda Jenny, dan kami semua tertawa. Sesaat kemudian aku
dibantu oleh mereka semua, mengeluarkan semua perlengkapan yang
biasa digunakan keluargaku kalau mengadakan barbeque ke halaman
belakang. Celoteh riang dan canda tawa mengiringi acara barbeque
kami ini, dan kami memanggang berbagai macam bahan barbeque
sesuka hati mulai daging sampai marshmallow.
Lama juga kami mengadakan barbeque ini, dan aku sempat melihat pak
Basyir memperhatikan aku, Jenny dan Sherly. Pak Basyir pasti tak tahu
betapa beruntungnya dia nanti, Sherly akan menyerahkan diri padanya.
Aku sempat teringat tadi ia entah berbicara apa dengan pak Sardi.
Panas juga aku mengingat mereka berdua tertawa tawa seperti itu.
Tapi aku tak boleh larut dalam emosi ini, sekarang ini waktunya
bersenang senang.
Maka aku mencoba tak memikirkan hal itu, dan acara ini kami
lanjutkan sampai kami semua puas sekali. "Aduh.. kenyangnyaa..",
kata Bella dengan senyum puas. Aku pun sudah merasa amat kenyang,
dan teman temanku yang lain pasti tak jauh beda, karena semua sudah
berhenti memanggang. Rasanya jadi mengantuk, dan kami
menghentikan acara barbeque ini. "Udah ah, kita istirahat di dalam
yuk, sambil nonton DVD terakhir", ajak Sherly mengakhiri malam
terakhir liburan ini.
Kami semua masuk ke dalam, meninggalkan peralatan barbeque yang
besok akan dibersihkan oleh pak Basyir. DVD itu dinyalakan setelah
kami semua ada di ruang tengah. Aku hanya menonton sambil lalu,
dan ternyata itu adalah film komedi. Selagi teman temanku tertawa
geli, aku yang memang tak begitu memperhatikan karena terlalu lelah
dan mengantuk, dan akhirnya lagi lagi aku tertidur.
--ooOoo--
"El.. bangun El", aku mendengar suara yang aku tak yakin suara siapa.
"Mmmm...?", aku membuka mata dan ternyata Jenny yang
membangunkanku. "Ayo tidur di kamar dong.. kamu kecapaian ya kok
ketiduran di sini lagi?", katanya lagi. "Iya..", jawabku dengan masih
mengantuk, dan aku memaksakan diriku untuk bangun. Jenny
membantuku berdiri lalu mengantarku ke kamar. Tanpa sengaja
payudaraku tertekan oleh tubuhnya Jenny dan mendatangkan rasa
nikmat, tapi aku hanya diam saja, walaupun sebenarnya aku ingin
memeluk Jenny untuk merasakan kehangatan darinya.
"Sherly mana Jen?", tanyaku ketika aku tak mendapati Sherly di
kamarku. "Lagi di kamar mandi El", jawab Jenny. Lalu setelah saling
pamitan untuk tidur, Jenny menuju kamar seberang dan aku
merebahkan diriku ke ranjang. Bella sudah tidur, sedangkan Sherly
entah kapan kembali. Aku melihat jam, sudah jam 12 malam. Masih ada
waktu satu jam lebih sebelum aku harus kembali menyerahkan diriku
pada penjaga vilaku, dan aku memutuskan untuk bermain game di
handphoneku sebentar setelah berganti baju tidur, sekalian menunggu
Sherly kembali dari kamar mandi.
Setelah satu jam berlalu aku baru sadar, Sherly benar benar tak
kembali. Aku memutuskan untuk menyusulnya ke kamar pak Basyir.
Aku tahu tak mungkin Sherly berada di kamar mandi sampai selama
ini. Dengan perlahan aku turun dari ranjang supaya Bella tak
terbangun, lalu aku membuka dan menutup pintu kamarku dengan
nyaris tanpa suara. Lalu aku segera keluar dan melihat pintu kamar
mandi yang terbuka, aku segera menuju ke kamar pak Basyir dengan
perasaan tak karuan, membayangkan Sherly sedang melayani penjaga
vilaku.
Sempat aku menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada yang
melihatku, dan kini aku sudah berada di pintu kamar pak Basyir.
"Ngghh... aaduuh paaak...", kudengar erangan Sherly. Entah mereka
sudah memulai sejak kapan, yang jelas kini rasanya Sherly sedang
orgasme. Jantungku berdegup kencang. Aku memutuskan tak segera
masuk, aku ingin mendengarkan sebentar apa yang terjadi selanjutnya,
atau apa yang akan mereka bicarakan.
"Enak nggak non Sherly?", aku mendengar ejekan pak Baysir. "Iya..
pak..", jawab Sherly dengan lemah. Nafas mereka berdua tersengal
sengal hingga terdengar ke sini. "Pantas Eliza kemarin sampai nggak
kuat nggak kuat dan minta ampun..", sambung Sherly ketika nafasnya
sudah mulai teratur, membuat wajahku terasa panas. Pak Basyir hanya
tertawa. "Tapi pak Basyir curang, pakai obat kuat sih", protes Sherly.
"Lho non Sherly, bapak kan udah tua, kalau mau begini, ya harus pakai
obat kuat dong. Kalau bapak nggak pakai, nggak sampai lama bapak
sudah keluar. Lalu loyo dong, dan non Sherly pasti nggak bisa puas
seperti barusan", kata pak Basyir menanggapi protesnya Sherly. "Eeeh...
Auuww...", keluh Sherly, mungkin pak Basyir sudah mulai mencumbui
atau menyetubuhinya lagi. Aku memutuskan untuk masuk dan tanpa
mengetuk pintu, toh mereka sudah tahu aku akan datang.
"Auuww... oh... Eliza", Sherly menyapaku di sela keluhannya. Sherly
memandangku dengan sayu di bawah tindihan pak Basyir, tangannya
menggapai seolah hendak meraihku selagi tubuhnya tersentak sentak
ketika penis pak Basyir menghunjam dengan kuat ke dalam liang
vaginanya. Tubuh Sherly mengkilap basah oleh keringat, hingga
terlihat makin sexy dan menggairahkan, apalagi tangan satunya
meremas sprei kuat kuat, membuat aku mulai terbakar nafsuku sendiri.
"Ngghh.. aduh paaak...", Sherly melenguh tak kuasa menahan nikmat
ketika pak Basyir mempercepat genjotannya. Kurasakan liang vaginaku
mulai basah, mau tak mau, aku terangsang juga melihat live show di
depan mataku ini. Nafasku mulai tak teratur dan aku menatap mereka
berdua dengan jantung berdegup. Tanpa sadar, setelah menutup pintu
kamar pak Basyir ini, aku mendekati Sherly yang masih terus
menggapaikan tangan kanannya ke arahku, entah apa saja yang ada di
pikiranku saat ini.
Aku menggenggam tangan itu dengan tangan kiriku, lalu entah siapa
yang memulai, yang terjadi sekarang adalah aku dan Sherly saling
berpagut dengan sangat bernafsu. Aku merasakan pak Basyir membelai
rambutku dari belakang, namun aku tak memperdulikannya. Kini aku
hanya ingin mencumbui Sherly habis habisan seperti kemarin siang.
Kedua payudara Sherly kuremasi bergantian dengan tangan kananku.
Sherly hanya bisa menggeliat lemah di bawah tindihanku dan
memandangku dengan sayu.
Cukup lama aku mencumbui Sherly selagi liang vaginanya terus
digenjot oleh pak Basyir. Rupanya rangsangan yang Sherly terima
sudah di luar batas ketahanannya. "Mmmphh...", Sherly merintih dan
aku menduga mungkin ia kehabisan nafas, maka aku melepaskan
pagutanku pada bibir Sherly ini. Dan Sherly langsung melenguh sejadi
jadinya, "Aaanghhh.. ouhhh.. ngghhh...". Sherly menggeleng gelengkan
kepalanya kuat kuat, matanya terpejam dan mulutnya ternganga, dan
akhirnya ia mengalami orgasme.
Aku merasakan tubuhnya berkelojotan dan mengejang hebat sampai
pinggangnya terangkat angkat, oh... pasti Sherly sexy sekali dalam
keadaan seperti ini. Kini Sherly sudah ambruk tak berdaya, ia kelihatan
sangat lemas dan lelah. Aku memandangi wajah Sherly yang terlihat
begitu menggairahkan saat ini, matanya setengah terpejam dan kedua
bibirnya seperti pasrah namun menantang, hingga aku tak tahan lagi
dan memagut bibir Sherly dengan sangat bernafsu.
Aku baru melepaskan pagutanku setelah aku sendiri kehabisan nafas.
Sherly sudah tak berdaya, ia diam saja dan tak bergerak sedikitpun,
hanya dadanya yang naik turun mengikuti nafas Sherly yang memburu.
"Oooh...", Sherly mengeluh lemah, dan aku menoleh ke Pak Basyir.
Kulihat ia menarik penisnya dari jepitan liang vagina Sherly, dan penis
itu masih mengacung dengan gagah, dengan cairan cinta Sherly yang
melumuri seluruh permukaan batang penis itu.
Mukaku terasa panas ketika aku menyadari tadi aku memperhatikan
penis pak Basyir, yang membuat pak Basyir mendapat kesempatan
untuk melecehkanku. "Non Liza, sudah kangen ya sama punya bapak
ini?", tanya pak Basyir dengan senyumnya yang sangat
merendahkanku, tapi perasaanku malah tersengat dihina seperti ini.
Aku mengalihkan pandanganku ke Sherly, malu rasanya melihat
pandangan pak Basyir yang seperti ingin menelanjangiku.
"El..", guman Sherly lemah. "Iya Sher?", tanyaku pada temanku yang
kini tergolek lemas di ranjang pak Basyir ini. "Buka baju dong...
sekarang... aku jadi milikmu... kamu boleh lakuin... apa aja...", kata
Sherly sambil memejamkan matanya. Kini perasaanku benar benar
tersengat, aku sudah dikuasai oleh nafsuku sepenuhnya, dan perlahan
aku menanggalkan baju tidurku, berikut bra dan celana dalamku. Lalu
aku naik ke atas tubuh Sherly dan menindihnya, hingga kedua puting
payudara kami bersentuhan.
Rambutku yang tergerai jatuh menyentuh kedua pipi Sherly, dan Sherly
dengan lembut mencium rambutku. Ketika aku sedang memandangi
wajah Sherly yang cantik ini, tiba tiba Sherly melingkarkan kakinya ke
pinggangku, dan kurasakan bibir vagina Sherly menyentuh daerah
bawah perutku. Belum cukup dengan itu, tiba tiba Sherly memelukku
erat dan memagut bibirku, dan aku hanya bisa pasrah menyerahkan
diriku pada temanku ini.
Aku memejamkan mata menikmati perlakuan Sherly ini, walaupun
sekarang aku tak bisa bergerak ketika kedua pahaku sudah dilebarkan
oleh pak Basyir yang sudah berlutut di belakangku. Dan sesaat
kemudian tubuhku menggeliat ketika liang vaginaku harus menelan
penis pak Basyir. "Ooohh...", aku merintih perlahan dan membuka
mataku, dan kulihat Sherly tersenyum mesra padaku. Pak Basyir diam
sebentar, membiarkan penisnya terbenam di dalam liang vaginaku.
"Non Liza, bukan bapak yang memaksa non Sherly, tapi tadi non
Sherly sendiri lho yang masuk ke kamar bapak ini. Bapak tidak pernah
bilang apa apa lho non Liza", kata pak Basyir. "Iya pak.. Liza tahu",
kataku pelan sambil menyingkap sebagian rambutku yang jatuh terurai
hingga menutupi wajah Sherly. Sherly menatapku dengan mesra, dan
aku kembali menurunkan kepalaku, lalu aku mulai menciumi Sherly
dengan mesra, dan Sherly menerima semua itu dengan penuh
penyerahan.
"El.. pak Basyir iri tuh", kata Sherly sambil melihat ke arah pak Basyir.
"Biar aja Sher.. nggghhh...", aku melenguh sampai badanku tertekuk ke
atas ketika pak Basyir mulai memompa liang vaginaku. Sherly tertawa
geli, pasti karena ia melihat ekspresi kenikmatan yang tergambar jelas
di wajahku. "Sheer.. nggghhh... jangan ketawa dong...", keluhku, aku
malu sekali. "Iya sayang...", kata Sherly sambil meremas kedua
payudaraku dengan lembut, membuatku merasakan sensasi yang luar
biasa kali ini.
"Pak, enak mana, Sherly dibanding Eliza?", pertanyaan Sherly benar
benar membuatku malu, namun aku jadi ingin tahu apa jawaban
penjaga vilaku ini. "Kalian berdua, sama sama enaak... Bapak mau kok
punya istri seperti kalian berdua..", jawab pak Basyir, yang segera
ditanggapi Sherly. "Huu.. enaknya.. bapak umur berapa mau
memperistri Eliza dan aku? Jangan mimpi ah!", kata Sherly sambil
mencibir. Aku hanya bisa tertegun melihat Sherly bisa sesantai ini.
"Sini sayang", kata Sherly sambil menarikku ke dalam dekapannya. Aku
hanya pasrah merasakan gelombang kenikmatan yang menghantamku
dengan bertubi tubi ini. Liang vaginaku rasanya seakan mau meledak
saja karena dipompa pak Basyir habis habisan, sedangkan kedua
payudaraku tertekan oleh kedua payudara Sherly hingga memberikan
rasa nikmat yang luar biasa saat puting puting payudara kami
bergesekan. Dan untuk menambah derita kenikmatan ini, Sherly
memagut bibirku dengan ganas.
"Mmmpphh... mmm...", aku merintih tak jelas saat tubuhku mulai
berkelojotan, dan Sherly rupanya tahu kalau aku akan segera orgasme,
maka ia melepaskan pagutannya pada bibirku. "Oooohh... nggghhhh...
aduuuuuh....", aku melenguh sejadi jadinya, kurasakan cairan cintaku
membanjir tak karuan di bawah sana. Tubuhku mengejang hebat, lalu
melemas menindih Sherly. "Auuw...", aku hanya bisa mengeluh lemah
ketika pak Basyir mencabut penisnya yang masih amat keras itu.
Kurasakan tubuhku didorong oleh pak Basyir hingga payudaraku ada di
atas wajah Sherly. Aku harus menopang tubuhku dengan kedua
tanganku kalau tak ingin wajah Sherly terbenam dalam belahan dadaku
sampai kehabisan nafas. Celakanya, Sherly memanfaatkan kesempatan
ini untuk mencucup puting payudaraku, hingga aku yang sudah tak
bisa kemana mana hanya bisa menggeliat menahan nikmat, apalagi tak
lama kemudian kurasakan satu lagi jari tangan pak Basyir melesak
masuk ke dalam liang vaginaku, membuat aku makin tenggelam dalam
kenikmatan.
"Ngghhh.. nggghhh...", aku dan Sherly melenguh bersahut sahutan.
Aku agak heran mengapa Sherly ikut melenguh, dan ketika aku bisa
menguasai diri, aku melihat Sherly yang ada di bawahku tersentak
sentak, rupanya pak Basyir kini sedang memompa vagina Sherly.
"Aduuuh...", keluh Sherly ketika pak Basyir mempercepat genjotannya,
sedangkan aku menggigit bibir menahan nikmat ketika kurasakan
adukan jari tangan pak Basyir bertambah cepat, apalagi Sherly yang
sedang sibuk menggeliat di bawahku dengan nakalnya beberapa kali
mencucup puting payudaraku.
Beberapa lama aku dan Sherly dipermainkan oleh pak Basyir. Aku dan
Sherly mulai menggeliat tak karuan dan nafas kami sudah tak
beraturan. Tubuhku rasanya mengejang dan lagi lagi vaginaku serasa
akan meledak. "Ngghh... aaah...", aku melenguh sejadi jadinya saat aku
harus kembali orgasme. Dan penderitaanku tak segera berakhir, karena
tubuhku bergetar hebat ketika pak Basyir terus mengaduk aduk liang
vaginaku dengan jarinya. Beberapa detik kemudian baru aku merasa
sedikit lega setelah pak Basyir menarik lepas jarinya dari jepitan liang
vaginaku.
"Eeel... kesinikan dong...", kata Sherly sambil memegang pantatku dan
menarik tubuhku ke arah atas badannya, hingga vaginaku yang masih
berlumuran cairan cintaku yang baru membanjir ini kini tersaji di depan
wajahnya. Aku tahu apa yang akan Sherly lakukan, dan aku mulai
panik, "Sher.. jangan.... Aaduuuuh... nggghhh... amppuuun Sheeer....",
aku melenguh tak karuan dan tubuhku menggeliat tak tentu arah,
rasanya seluruh cairan cintaku tersedot habis oleh Sherly yang
mencucup bibir vaginaku dengan sangat bernafsu.
Beberapa saat lamanya aku harus berpegangan pada tembok kamar pak
Basyir, dan akhirnya aku ambruk ke samping dengan nafas tersengal
sengal, rasanya lemas sekali. Selagi aku masih harus mengatur
nafasku, tiba tiba kudengar Sherly melenguh, "Ngghh... aduuuh...".
Kulihat Sherly sedang menggeliat dan mengejang, rupanya Sherly
sudah tak tahan ketika pak Basyir makin mempercepat genjotannya.
"Aduh El... aku... nggak kuat... lagii..", erang Sherly sambil menggeleng
gelengkan kepalanya kuat kuat dan kedua tangannya meremas sprei
dengan kuat.
Dan kini kudengar pak Basyir mulai menggeram, dan Sherly sendiri
sudah melemas. "Ooooohhhh..", pak Basyir mengerang panjang,
rupanya pak Basyir orgasme juga akhirnya setelah sekian lama
menggagahi kami berdua. Pak Basyir tak menarik lepas penisnya,
malah dari gerakannya pak Baysir membenamkan penisnya kuat kuat
ke dalam liang vagina Sherly yang sudah tergeletak tanpa daya di
ranjang penjaga vilaku ini, dan aku yakin Sherly sudah rutin minum
obat anti hamil sepertiku karena ia tak panik sama sekali saat
rahimnya dibasahi oleh sperma pak Basyir seperti sekarang ini.
Sesaat kemudian, pak Basyir sudah ambruk dengan nafas tersengal
sengal. Aku tak memperdulikan pak Basyir, kini aku memperhatikan
Sherly, yang sorot matanya sudah meredup, terlihat sekali Sherly
sudah kehabisan tenaga. Aku beranjak menindih tubuh Sherly dengan
lembut, dan aku mencium bibir Sherly yang ternganga sexy. Kemudian
aku beranjak mundur supaya aku tidak berlama lama menindih tubuh
Sherly dan memberinya kesempatan untuk bernafas.
Tapi ketika aku melihat bibir di vagina Sherly terdapat ceceran sisa
sperma pak Basyir, aku memandang Sherly dengan penuh nafsu. Sherly
tak mampu bergerak, tapi ia kelihatannya tahu aku akan membalas
perbuatannya tadi. "El... jangan... aku aangghhhh...", Sherly melenguh
tanpa daya ketika aku mencucup bibir vaginanya, dan dengan pelan
kusedot semua cairan sperma pak Basyir yang bercampur cairan cinta
Sherly sendiri.
"Udah Eeel... ampuuun...", erang Sherly lemah. Tapi aku terus menyedot
semua cairan itu sampai habis. Sherly mengejang sampai pinggangnya
terangkat, lalu ia roboh lemas ketika aku melepaskan cucupanku pada
bibir vaginanya. Kutelan semua cairan yang ada di mulutku, dan aku
berbaring di sebelah Sherly dan memeluknya dengan lembut. "Auw...
El... kamu nakal...", guman Sherly yang kini rambutnya kuciumi, wangi
juga baunya, dan rasanya nyaman juga ketika pipiku bersentuhan
dengan rambutnya Sherly ini.
"Sher... udahan yuk...", kataku pelan. "Iya El... tapi bentar ya... aku masih
lemas nih...", jawab Sherly sambil mengangguk lemah. Keringat
membasahi tubuh kami berdua, dan rasanya capai juga. Pak Basyir
merangkak mendekati kami lalu membaringkan tubuhnya di antara aku
dan Sherly. Kini penjaga vilaku ini pasti sedang sangat berbahagia,
berbaring diapit dua bidadari cantik yang telanjang bulat, yang baru
saja disetubuhinya. "Kalian tidur di sini saja sekarang, temani pak
Basyir tidur ya", kata pak Basyir.
Sherly langsung beranjak duduk dan berkata, "Nggak mau, pak Basyir
bau. Sherly bisa nggak tidur sampai pagi. Ayo El, kita masuk". Aku
ikut bangkit duduk dan mencari pakaian tidur dan pakaian dalamku
yang tadi kugeletakkan di lantai. Selagi aku mengenakan semua
pakaianku, aku mendengar kata kata pak Basyir, "Biar bau tapi tadi
non Sherly sama non Liza puas kan?". Ingin rasanya aku mendamprat
penjaga vilaku yang kurang ajar ini, tapi aku memutuskan untuk tak
memperdulikannya.
Ketika aku selesai mengenakan semua pakaianku, ternyata Sherly juga
sudah berpakaian, dan aku menggandeng tangan Sherly keluar dari
kamar pak Basyir. "Non Liza, non Sherly, selamat tidur", kata pak
Basyir. "Mmm...", aku malas menjawab dan Sherly hanya mengangguk.
Aku terus menggandeng Sherly yang langkahnya tak beraturan,
kelihatannya Sherly memang amat kelelahan.
Di tengah halaman ketika kami sedang menuju ke ruang utama, Sherly
berkata, "Aduh El... capai juga nih aku, kuat juga ya penjaga vilamu itu.
Rasanya seperti mau copot saja semua tulang tulangku sekarang ini...".
Aku tertawa geli. "Habisnya, kamu sih, belum juga jam dua belas
malam udah ke sana duluan, udah berapa ronde tuh sebelum aku
datang?", godaku.
Sherly cemberut dan mencubit lenganku. "Iya Sheerr.. ampun...", aku
mengaduh kesakitan. "Abisnya, aku pingin tahu, seperti apa rasanya
kok kamu waktu itu sampai nggak kuat gitu kelihatannya", kata Sherly
sambil melepaskan cubitannya, lalu ia mengusap lengan kiriku yang
baru saja dicubitnya. Entah mengapa, rasa sakitnya langsung mereda,
dan aku memandang Sherly sambil tersenyum.
"Ya sekarang kamu udah ngerasain sendiri kan? Tapi, itu cuma
keperkasaan palsu sih, pak Basyir mampu seperti itu kan soalnya
minum obat kuat", aku berkomentar panjang lebar. "Iya tuh... dia minum
dua bungkus lagi. Ngomong ngomong, memangnya kamu pernah
ngerasain yang asli El? Maksudku asli perkasa gitu?", tanya Sherly
antusias, matanya bersinar sinar seperti anak kecil yang mengharapkan
mainan baru.
Aku mengangguk malu. "Di rumahku Sher, ada pembantuku yang
namanya Wawan... tanpa obat pun dia bisa sampai satu jam lamanya
mengerjai aku", kataku pelan, mukaku rasanya panas sekali waktu
mengatakan hal ini, entah mengapa aku mengatakan semua itu begitu
saja. Sherly tertawa geli dan menyandarkan kepalanya di bahu kiriku,
dan kami tidak berbicara lagi sampai kami masuk ke dalam kamar.
Kulihat Bella masih tidur dengan nyenyak, dan aku merasa lega.
Perlahan aku dan Sherly mengambil baju ganti, dan kami bersama
sama ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh kami yang
berkeringat ini. Tak ada niatan untuk berlesbi ria saat ini, kami berdua
sama sama terlalu capai. Aku dan Sherly hanya saling menyeka dengan
lap yang dibasahi dengan air sabun, dan memang sesekali kami iseng
berbuat nakal dengan saling meremas payudara masing masing, dan
kami sengaja saling mengaduk vagina masing masing saat
membersihkan bagian itu dengan cairan pembersih vagina kami.
"Nggh... udah Sher...", keluhku sambil menarik lepas jariku dari liang
vagina Sherly. Dan Sherly sendiri menggigit bibir sambil melepaskan
jarinya dari jepitan liang vaginaku. Setelah itu kami saling
menghanduki tubuh kami berdua sampai kering, dan kemudian setelah
selesai mengenakan pakaian dan menyimpan baju kotor kami dalam
kantung plastik, aku dan Sherly saling pandang sambil tersenyum geli
mengingat kegilaan kami berdua tadi.
"Yuk, kita tidur sayang", kata Sherly. Aku mengangguk dan kami
sempat berciuman dengan mesra sebelum masuk ke dalam kamar.
Sherly masuk ke dalam selimut dengan perlahan dan ia berbaring di
tengah. Aku ikut masuk ke dalam selimut dan berbaring di sebelah
Sherly. Kami saling berpandangan, kemudian aku memejamkan mataku
dan memeluk Sherly yang juga memelukku. Sesekali kami saling
meremas lembut pada payudara kami, dan tak lama kemudian aku
sudah tertidur pulas di dalam pelukan Sherly seperti kemarin.
--ooOoo--
"Heii.. kalian mau tidur sampai kapaan? Pakai peluk pelukan lagi,
kalian ini pacaran ya?", aku terbangun mendengar suara Jenny yang
sewot. "Aduh Jen.. kamu ngagetin aja.. masih ngantuk nih", kata
Sherly yang juga terbangun, lalu dengan sengaja Sherly mendekapku
di depan Jenny. Aku dan Sherly melihat Jenny dengan pandangan
seperti menggoda anak kecil, tapi Jenny balik menggoda kami, "Ya
ampun... Eliza, Sherly, sadar dong... emang udah nggak ada cowok ya di
dunia ini? Duh, bisa mati berdiri nih cowok cowok di sekolah kita
kalau tau dua bidadari di sekolah mereka ini ternyata pasangan
lesbian".
Kami semua tertawa geli, dan Sherly melepaskan aku dari dekapannya.
Aku melihat jam, ternyata sudah jam sepuluh pagi. "Eh, kita kesiangan
amat nih Sher", kataku yang dijawab Sherly dengan senyuman penuh
arti. "Ayo nih, cepat sikat gigi sana, yang lain udah nungguin kalian
makan pagi nih!", kata Jenny sambil keluar dari kamar. Duh, tak enak
juga nih, maka aku dan Sherly cepat cepat ke belakang dan sikat gigi,
lalu kami kembali ke ruang tengah dan duduk di meja makan bersama
Jenny dan yang lainnya.
"Kalian ini... kalau nggak dibangunkan Jenny, bisa bisa kita semua
yang di sini tadi mati kelaparan nungguin kalian bangun", gerutu Bella
sambil menggeleng gelengkan kepala dengan gaya yang lucu. "Iya nih,
sori ya", kataku. "Abisnya kamu sih Bel, gordennya nggak kamu buka,
kan gelap gelap di kamar, jadi enak aja tidurnya gitu", Sherly membela
diri. "Udah gitu pakai dekap dekapan lagi", Jenny menyambung dengan
nada prihatin, membuat kami semua tertawa geli.
Sambil makan, seperti biasa di meja makan kami berceloteh tentang
apa saja. Setelah selesai makan dan membawa semua peralatan makan
yang kotor ke dapur, kami bersantai sejenak di ruang tengah.
"Sekarang di sekolah pasti sedang ramai nih...", kata Rini. "Tapi lebih
asyik di sini kali", kata Sianny. Aku teringat, untuk hari ini, aku harus
membayar dengan penawaran yang terbaik dariku, yaitu menyerahkan
tubuhku pada wali kelasku yang bejat itu, dan juga satpam sekolahku
yang memiliki penis raksasa itu.
"El, kamu kenapa?", tanya Jenny. "Nggak, nggak apa apa kok Jen. Yuk,
kita beres beres, siang ini kita pulang kan", aku mengalihkan
pembicaraan. Mereka semua setuju, dan kami segera membereskan
barang bawaan kami. "Aku buka bagasi mobil dulu El, jadi Siany dan
Bella bisa naruh barang barang mereka dulu sekarang, aku mau mandi
dulu nih", kata Sherly. "Iya Sher, aku juga ikut", kataku. "Liat deh,
mesra amat kalian ini, sampai yang satu buka bagasi mobil, yang
satunya nggak mau lepas", goda Jenny.
"Ya ampun Jen, aku kan...", aku tak meneruskan kata kataku ketika
Jenny dan yang lainnya tertawa geli. "Udah ah, kalian ini ada ada saja
kok... aku buka bagasi mobilku dulu", aku menggerutu dan mengikuti
Sherly keluar. Sempat kudengar Rini dan Sianny menimpali, "Hayo,
mau membuka bagasi mobil, atau mencari Sherly?". Aku hanya bisa
menahan senyum, mukaku rasanya panas. Sampai di mobil aku agak
merajuk pada Sherly yang sedang membuka bagasi mobilnya, "Sher,
liat tuh, mereka...". Sherly hanya tertawa pelan dan berkata, "Biarin lah
sayang, mereka sirik kali".
Aku hanya bisa diam sambil tersenyum jengah. "Udah El, aku mandi
dulu ya, atau kamu yang mau mandi dulu?", tanya Sherly. "Nggak,
kamu dulu aja Sher", jawabku, dan aku membiarkan Sherly masuk ke
dalam dulu, beberapa saat kemudian setelah aku baru aku menyusul
masuk ke dalam, untungnya teman temanku sudah ada di dalam kamar,
mungkin sedang memeriksa apa ada yang ketinggalan. Aku masuk ke
dalam kamar dan melihat Bella yang melihatku sambil menahan tawa.
Aku hanya bisa tersenyum malu, dan aku mengambil satu set baju
yang akan kupakai nanti setelah mandi nanti. "Bel, kalau kamu mau
naruh barang barang duluan, bagasi mobil udah aku buka kok", kataku.
"Iya El, thanks ya", kata Bella. Aku diam sebentar, lalu aku keluar
menuju ke kamar mandi dengan maksud menunggu Sherly selesai
mandi. Ternyata kamar mandi sudah kosong, maka aku masuk saja dan
mandi keramas sepuasnya.
Setelah mengeringkan rambut dan tubuhku, aku mulai mengenakan bra
dan celana dalamku.Saat aku sedang mengenakan celana dalamku, aku
teringat dulu saat aku memutuskan tak mengenakan celana dalam,
karena aku memang memberikan kesempatan pada pak Basyir untuk
menikmati liang vaginaku sebelum pulang. Aku tersenyum malu
sendiri, dan aku terus mengenakan celana dalamku lalu kaos santai
dan hot pants.
Lalu aku keluar dari kamar mandi dan baru sekarang aku
memperhatikan kalau di lantai luar kamar mandi ini ada sisa air di jejak
sandal, yang mengarah ke gudang di ujung lorong yang menuju ke
halaman depan. Aku sedikit tercekat, dan jantungku berdegup kencang
memikirkan kemungkinan ini adalah jejak sandal Sherly. Ceroboh sekali
Sherly ini, bagaimana kalau sampai ada teman lain yang melihat? Aku
mengambil segayung air dan menyiramkan ke arah jejak sandal itu
untuk menyamarkan semuanya.
Lalu aku melihat ke dalam untuk memastikan tak ada temanku yang
berada di ruang tengah, dan aku berjalan perlahan ke arah gudang itu.
Ketika sudah dekat, sayup sayup kudengar desahan Sherly. Kubuka
perlahan pintu gudang ini, dan aku tak terlalu terkejut melihat Sherly
sedang disetubuhi oleh pak Basyir. Tapi aku agak panik karena
mungkin saja ada temanku yang ke dekat sini dan tertarik mendengar
suara suara dari dalam gudang ini.
"Sher... kamu gila yah? Nanti kalau ketahuan teman teman gimana?",
tanyaku dengan suara pelan. "Biar aja El... habis enak sih...", kata
Sherly di antara desahannya. Sherly terbaring pasrah di atas meja
dengan baju lengkap dengan rok yang terangkat sampai ke pinggang.
Entah Sherly mengenakan bra atau tidak, tapi yang jelas Sherly tak
mengenakan celana dalam. Aku cuma bisa menggeleng gelengkan
kepala melihat kegilaan temanku ini.
Dan aku melihat tubuh Sherly tersentak sentak ketika pak Basyir yang
memeluk kedua paha Sherly itu memompa selangkangan temanku ini.
"Kamu... nggak ikutan... El...?", tanya Sherly terputus putus sambil
melihatku dengan pandangan mata yang sayu. Aku menggigit bibir
menahan gejolak nafsuku sendiri, lalu aku menggeleng mantap dan
memutuskan meninggalkan mereka. "Nggak Sher, aku lebih baik
menjaga supaya kalian nggak ketahuan teman teman", kataku sambil
menutup pintu gudang ini.
Kutambah lagi siraman satu gayung air penuh pada lantai di sekitar
kamar mandi ini, dan aku masuk ke dalam kamarku. Aku tak melihat
Bella, dan tasnya juga sudah tidak ada, kelihatannya Bella sudah
menaruh tasnya di dalam bagasi mobil Sherly. Lalu aku keluar dari
kamar dan bertemu Bella, dan aku mengajaknya masuk ke kamar
Jenny.
"Bel, ayo ke kamar Jenny, mereka kelihatannya lagi asyik tuh", kataku
sambil menggandeng tangan Bella yang menurut saja ketika aku
membawanya masuk ke kamar Jenny. Ternyata Jenny, Rinny dan Siany
sedang main ular tangga, maka aku dan Bella ikut menonton. Tak lama
kemudian, Jenny bersorak senang setelah mencapai finish duluan,
sedangkan Rini menggerutu, "Nih anak...". Siany menimpali, "Iya nih,
beruntung melulu". Jenny tertawa geli, lalu duduk di sampingku sambil
merangkulku.
"Kekasihmu mana El?", tanya Jenny padaku. Reflek aku menjawab,
"Tadi aku sempat ketemu Sherly sebelum mandi, katanya dia mau ke
atas bentar, ketemu temannya di hotel Surya...". Meledak tawa teman
temanku, dan aku langsung tersadar. "Jeeeen... kamu ini", aku
langsung mencubit Jenny sampai ia memohon mohon, "Aduh Eel...
ampun...".
Aku melepaskan cubitanku, dan wajahku rasanya panas sekali. Tapi
aku sebenarnya memang tak bisa membantah dengan tegas, karena
kenyataanya memang sekarang ini aku dan Sherly sudah seperti
sepasang kekasih saja. "Jen... awas ya kalau kamu bilang gitu lagi",
aku mengomel dengan cemberut. Jenny merangkulku dengan lembut
dan berkata, "Iya deh El, ayo kita main ular tangga".
Aku mengangguk dan ikut bermain, demikian juga Bella. Kebetulan,
dengan begini aku bisa menjauhkan mereka semua dari Sherly yang
kini sedang asyik bersama penjaga vilaku. Kami semua bermain dalam
suasana yang riang dan saling menggoda kalau ada yang harus turun
mengikuti ular. Ternyata lagi lagi Jenny yang menang, dan Jenny
tertawa senang sambil menggoda kami semua hingga akhirnya kami
semua seperti sepakat kalau Jenny harus menerima hukuman.
"Hih.. ini anak. Yuk, kita kasih hukuman", ajak Rini. Kami semua setuju
dan menangkap Jenny dan menggelitik pinggangnya. "Iya...
ampuuuun... hahahahaha.. aduuuuhhh... aku hahahahaha... nggak akan...
hahahahaha", Jenny memohon mohon ampun dan matanya sampai
berair karena tertawa kegelian. Aku nggak tega juga dan setelah aku
berhenti menyerang Jenny, teman temanku juga menghentikan
serangan mereka.
"Kalian jahat... hahahaha...", Jenny mengomel dan tertawa karena masih
merasakan geli pada pinggangnya, hingga mau tak mau kami juga
tertawa. "Udah ah, tinggal aku yang belum menaikkan tasku ke mobil",
kata Jenny sambil menyimpan set permainan ular tangga miliknya ke
dalam tasnya. "Aku mau naruh tasku ke bagasi mobil El", kata Jenny.
"Bentar, aku ke kamar mandi dulu, nanti aku bantuin kamu bawa tasmu
yang satunya Jen", kataku. Jenny tersenyum manis padaku dan
berkata, "Makasih ya El, kamu memang baik deh".
Aku tersenyum padanya lalu meninggalkan mereka semua ke belakang,
cepat cepat aku ke gudang dan membuka pintu. Aku melihat mereka
sedang dalam posisi dogie di lantai dan pakaian Sherly sudah lebih
terbuka sehingga payudaranya tersembul keluar dan tentu saja kedua
payudaranya itu tak mungkin menganggur begitu saja. Pak Basyir
meremasi kedua payudara itu dan aku bisa melihat remasan itu begitu
keras, sehingga Sherly menggeliat dan mulutnya ternganga menahan
sakit. Gilanya, ia tak memperdulikan kedatanganku ataupun pintu
gudang yang sedang kubuka ini
"Sher, kamu gila yah? Cepetan nih, kita kita udah mau pulang!", seruku
sambil melihat ke arah ruang tengah dengan kuatir. Sesaat kemudian,
pak Basyir mulai menggeram, dan kulihat tubuh pak Basyir bergetar
ketika ia menghunjamkan penisnya ke selangkangan Sherly dengan
kuat. Sherly memandangku sambil tersenyum dan menjawab, "Iya El,
ini penjaga vilamu baru keluar". sedangkan pak Basyir yang baru saja
menarik penisnya langsung ambruk dengan nafas tersengal sengal.
"Selamat tinggal... non Sherly... dan non Liza... sampai kita ketemu lagi
ya", kata pak Basyir. Aku malas menjawab dan hanya diam saja. Sherly
beranjak bangun dengan lemas, ujung roknya yang ada di pinggang
jatuh ke bawah menutupi setengah pahanya. "Sampai ketemu lagi pak
Basyir", kata Sherly sambil melangkah ke arahku, dan kami
meninggalkan gudang ini. "Sher, kamu ke kamar mandi dulu deh, awut
awutan tuh, nanti ditanyain teman teman nih", kataku perlahan sambil
membelai rambut Sherly yang agak kusut. "Iya El, bentar ya", kata
Sherly sambil masuk ke kamar mandi
Aku teringat hal yang sangat penting, dan aku menghentikan Sherly
sebentar lalu berbisik, "Sher, nanti kalau teman teman tanya, kamu
bilang abis dari hotel Surya nemuin teman ya. Tadi teman teman cari
kamu soalnya". Sherly mengangguk dan memelukku, "Thanks ya El".
Lalu Sherly masuk ke kamar mandi sesuai saranku untuk merapikan
penampiannya. Aku sendiri harus menekan gairahku karena aku tahu
Sherly tidak mengenakan celana dalam, aku berusaha tidak
memikirkannya.
Aku kembali ke dalam kamar dengan lega. "Yuk, kita keluar, Sherly
udah datang tuh, lagi di kamar mandi", kataku sambil membawa salah
satu tas Jenny. "Iya El", kata Jenny sambil membawa tasnya yang
satunya, lalu kami semua keluar ke arah mobilku. Setelah kedua tas
Jenny sudah ada di dalam bagasi, aku berkata, "Tinggal tasku nih,
bentar ya aku ambil dulu".
Aku melangkah masuk ke dalam kamarku dan menemukan Sherly yang
ada di dalam. Kami berpandangan sejenak sambil tersenyum penuh
arti, lalu bersama sama aku dan Sherly keluar membawa tas kami
masing masing, dan aku mengunci pintu utama dari vilaku. "Sher,
kamu kok keringatan gitu?", tanya Siany. "Iya nih, tadi abis lari dari
hotel Surya sana, capek juga nih", kata Sherly.
Aku tersenyum geli, untung saja aku sudah memberi tahu Sherly. Maka
setelah semua tas ada di dalam bagasi, dan tentu saja setelah semua
peserta liburan ini sudah ada di dalam mobil dengan susunan separti
pada waktu kami berangkat, aku dan Sherly segera menyalakan mobil,
dan kami semua akan segera pulang ke Surabaya.
Setelah kami semua saling berpamitan dengan ributnya, aku dan Sherly
segera menjalankan mobil. Pak Basyir membuka pintu gerbang sambil
tersenyum, mungkin cuma aku dan Sherly yang mengerti arti
senyuman pak Basyir ini. Tapi aku hanya menganggukkan kepala pada
pak Basyir ketika melalui pintu gerbang vilaku. Di depan teman
temanku aku tak boleh terlihat terlalu akrab dengan penjaga vilaku ini,
daripada nanti mereka bertanya yang tidak tidak.
--ooOoo--
Seperti pada waktu berangkat, kini perjalanan pulang yang hampir dua
jam ini terasa begitu cepat dengan celoteh Jenny yang seperti tak
pernah kehabisan topik pembicaraan. Akhirnya kami sampai ke rumah
Rini, dan setelah aku membantu Rini mengambil tasnya dari bagasi
mobilku, Rini saling melambaikan tangan padaku dan Jenny, lalu aku
segera melanjutkan perjalanan ke rumah Jenny. Sekali ini aku merasa
agak heran, karena Jenny diam saja sampai akhirnya kami tiba di
rumahnya.
"Jen?", aku bertanya heran ketika Jenny tak segera turun dari mobilku,
malah memandangku dengan tatapan aneh. Tiba tiba Jenny mendekat
ke arahku, rambutku yang tergerai menutupi sebagian pipiku
disibakkannya ke belakang leherku, dan di luar dugaanku sama sekali,
Jenny langsung melumat bibirku. "Mmmpph...?", aku mendesah
tertahan, masih terlalu terkejut untuk bereaksi, sampai akhirnya Jenny
melepaskan pagutannya dan ia menyandarkan kepalanya di pundak
kiriku, membuatku semakin bingung.
Jenny menatapku sayu sambil berkata dengan manja, "Kamu nakal ya
El, percuma aku bela belain jagain kamu capek capek... tapi kamu
sendiri malah asyik sama penjaga vilamu...". Aku amat terkejut, tak
kusangka Jenny tahu semuanya. Mungkin Jenny juga sedang
mengintip waktu aku dan Sherly lagi di dalam kamar pak Basyir. Berarti
Jenny juga melihat waktu aku dan Sherly bercumbu dengan begitu
panas.
"Udah gitu, aku iri sama Sherly tau! Aku... aku juga ingin kamu El", kata
Jenny dengan penuh nafsu. "Tapi Jen, kemarin itu..", aku semakin
gugup ketika Jenny menarik panel di kursi yang aku duduki ini hingga
punggung kursi ini turun mendatar dan aku terbaring di bawah
tindihan Jenny, lalu Jenny melingkarkan tangan kirinya ke leherku,
sedangkan tangan kanan Jenny meremas payudaraku yang sebelah kiri
dengan lembut. Aku sudah tak berdaya dalam pelukan Jenny.
"Nggak bisa.. pokoknya... ini.. hukuman buat kamu Eliza...", kata Jenny
di sela nafasnya yang memburu sambil kembali memagut bibirku. Aku
tak bisa menghindar lagi, bahkan kalaupun aku bisa, aku tak akan
menghindar. Perasaanku yang sudah tersengat sejak tadi, membuat
aku membalas pagutan bibir Jenny dengan sepenuh hati sampai kami
berdua sama sama kehabisan nafas, dan Jenny masih sempat mencium
kedua mataku dengan mesra sebelum ia melepaskanku.
Kami terdiam beberapa saat, lalu Jenny turun dari mobilku dan
menatapku dengan senyum yang penuh arti, dan aku juga melakukan
hal yang sama. Aku turun membantu Jenny mengeluarkan kedua
tasnya dari bagasi mobil. "Thanks ya sayang", kata Jenny sambil
mencium bibirku dengan mesra. Aku membalas ciumannya walaupun
agak kuatir kemesraan kami yang diluar batas ini terlihat oleh orang
lain. "Thanks juga Jen... aku pulang dulu ya", kataku berpamitan
padanya. Jenny melambaikan tangannya dan aku segera menjalankan
mobilku menuju ke rumah.
Tak sampai setengah jam, aku sudah berada di depan rumahku.
Kupencet remote pagar lalu mobilku kuparkirkan di garasi. Ketika aku
akan turun dari mobil, aku melihat Suwito mendekati mobilku, dan dari
spion kanan mobilku kulihat Wawan juga mendekat. Aku hanya bisa
menggeleng geleng, kulihat jam di mobilku menunjukkan jam setengah
tiga sore. Melihat kelakuan mereka, pasti tak ada siapapun di rumah
saat ini, dan di hari minggu seperti ini, biasanya mereka baru akan
pulang malam nanti.
Untung saja aku tadi menghindari persetubuhan dengan pak Basyir di
vilaku, jadi kini aku masih punya banyak tenaga untuk melayani
mereka berdua, dan aku tahu mereka berdua akan membantaiku hingga
mereka puas. Aku bisa merasakan padangan mereka yang penuh
nafsu, dan dengan pasrah aku turun dari mobil, menyerahkan diriku
untuk mereka perkosa sesuka hati. Begitu aku ada di dalam jangkauan
mereka berdua, Suwito langsung memagut bibirku, sedangkan Wawan
dari belakang meremasi kedua payudaraku dengan bernafsu.
"Emmphh... mmmmhh...", aku hanya bisa merintih, dan tak lama
kemudian aku hanya bisa melangkah menuruti mereka yang
menggiringku ke kamar tidur mereka berdua. "Aduh...", keluhku ketika
aku dibaringkan di ranjang mereka dengan kasar. "Apa mau kalian?",
tanyaku dengan pura pura ketakutan, dan kedua tanganku kusilangkan
menutupi kedua payudaraku yang memang masih terlindung di balik
bra dan bajuku.
Aku memang sengaja menggoda mereka, dan tak tahan melihat apa
yang kulakukan, dengan buas mereka melucuti pakaianku dan
melempar lemparkan tiap helai penutup tubuhku ini dengan
sembarangan hingga berserakan di lantai kamar ini, sementara aku
hanya bisa membiarkan mereka menelanjangiku. Kemudian aku
membaringkan diriku sendiri di tempat tidur sambil menutupi kedua
payudaraku dengan kedua telapak tanganku.
"Non Eliza, hari ini non Eliza harus melayani kami sampai kami puas...
sudah sejak sabtu pagi kami merindukan non Eliza...", kata Wawan
yang menyingkirkan kedua tanganku dari kedua payudaraku, lalu
memelukku dengan gemas. "Auuw... toloong... aku diperkosa
mmmmpph", teriakanku terputus ketika Suwito memagut bibirku
dengan gemas. Aku menggoda Wawan sambil pura pura hendak
mendorong badannya yang menindihku, dan kakiku kugerakkan seolah
olah aku meronta.
Dan seperti yang kuperkirakan dan kuharapkan, Wawan semakin
bernafsu menggumuliku, dan tak lama kemudian aku terbeliak ketika
kurasakan liang vaginaku menelan penisnya Wawan. "Ngghhhh...", aku
melenguh keenakan ketika Suwito melepaskan pagutannya pada
bibirku, dan sesaat kemudian aku tak bisa bersuara dengan bebas
karena Suwito sudah menjejalkan penisnya ke mulutku.
Kedua tanganku digenggam oleh Wawan yang terus memompaku, dan
tak lama kemudian aku mengejang hebat, lagi lagi aku dipaksa
orgasme oleh pembantu pembantuku ini.Setelah beberapa kali aku
harus orgasme, hampir bersamaan akhirnya Suwito dan Wawan
ejakulasi menyemprotkan spermanya ke dalam tubuhku , Suwito di
dalam mulutku, dan Wawan di dalam liang vaginaku. Mereka duduk
dengan lemas, namun memandangiku dengan nafsu yang terbakar
hebat.
Aku sampai geli melihat mereka yang sampai sebegitunya, padahal
baru aku tinggal tiga hari dua malam. Setelah hampir sepuluh menit,
aku beranjak bangun, lalu turun dari ranjang mereka dengan gerakan
yang sengaja aku buat perlahan. Mata mereka melotot seakan hendak
keluar ketika aku menusukkan jari telunjuk kiriku ke liang vaginaku
dan mengeluarkan cairan sperma Wawan yang kutadahi dengan telapak
tangan kananku. Kuseruput cairan sperma Wawan yang bercampur
dengan cairan cintaku sampai habis.
"Dasar kalian... nggak bisa ya sehari aja membiarkan aku istirahat
meskipun nggak ada orang di rumah?", aku menggerutu dengan mimik
muka pura pura marah setelah menghabiskan cairan di telapak
tanganku ini. Tapi tentu saja itu tak mempan terhadap kedua
pembantuku yang keranjingan ini. Mereka hanya menatapku dengan
penuh nafsu, sementara aku kembali menggoda mereka dengan
perlahan mengenakan celana dalamku.
Lalu aku sengaja tak mengenakan bra, hanya mengenakan kausku saja.
Kemudian perlahan aku mengenakan hot pants milikku, seperti Jumat
kemarin, aku sengaja berlama lama ketika menarik hot pantsku ke atas,
dan mereka kelihatan meneguk ludah ketika hot pants itu terpasang
menutupi celana dalamku.
Setelah aku selesai berpakaian, aku mengambil braku dari lantai
dengan dua jari tanganku dan kemudian aku melangkah menuju pintu
keluar kamar ini dengan pandangan menggoda kea rah mereka. Aku
tahu gerakan ini teramat sexy buat mereka. Akibatnya Suwito yang
nafsunya sudah terbakar dengan hebat tak membiarkanku pergi, ia
langsung menyergap dan menyeretku kembali ke dalam kamar.
Bra yang masih kupegang dirampas oleh Suwito, dan dibuang olehnya
ke pojok kamar ini. Lalu aku dibaringkan Suwito ke atas ranjang, dan
ia menindihku dengan pandangan yang seolah ingin menelanku bulat
bulat. "Kenapa sih kamu ini? Masih belum puas memperkosaku ya?",
tanyaku dengan suara manja, dan dengan pandangan menggoda aku
pura pura menahan badan Suwito yang sudah akan menindihku.
Suwito sudah tak kuat lagi, ia langsung mencumbuiku sepuas
puasnya. Mungkin sekarang ini Suwito ingin sekali menelanku bulat
bulat. Sesekali Suwito menghentikan cumbuannya, membelai rambutku
dengan lembut, menciumi rambutku, entah aku tak tahu apa yang dia
suka dari rambutku ini. Mungkin baunya yang wangi karena aku
memang selalu keramas tiap hari, atau mungkin ia menyukai halusnya
rambutku.
Tanpa melucuti bajuku, tiba tiba Suwito menciumi payudaraku yang
sebelah kiri, bahkan kini ia mulai menjilati bagian itu. Tentu saja
bagian bajuku yang membungkus payudaraku itu jadi basah oleh air
ludahnya, mendatangkan sensasi yang lain dari sebelumnya, Karena
aku tak mengenakan bra, jilatan dari Suwito sangat terasa pada puting
payudaraku. "Ohh.. kamu...", aku merintih dan menggeliat perlahan
menahan nikmat.
"Aahhh...", aku mendesah hebat ketika Suwito memaksakan mengulum
puting payudaraku yang ada di balik bajuku ini. Wawan sendiri
mengikuti ulah Suwito, ia menciumi dan menjilati payudaraku yang
sebelah kanan sampai akhirnya ia juga ikut menyusu, membuatku
menggeliat hebat digumuli oleh kedua pembantuku ini.
"Oh.. kalian...", aku mengeluh pasrah dan memejamkan mataku,
menikmati segala perlakuan mereka. Sementara mereka berdua
menikmati tubuhku, aku memikirkan hubunganku dengan mereka yang
sudah berubah sejak aku merasa berterima kasih pada mereka karena
apa yang sudah mereka lakukan padaku tiga minggu yang lalu ketika
aku baru saja digangbang selusin anak berandal dengan kejam. Aku
sudah rela menyerahkan tubuhku pada mereka.
Kemudian aku teringat Sherly, bidadari pertama yang mencumbuiku
dan aku tak bisa menolak bahkan aku menginginkan cumbuan Sherly.
Ya, hubunganku dengan Sherly sudah berubah seperti itu, dan aku
memikirkan tentang Jenny. Entah akan berubah menjadi seperti apa
hubunganku dan Jenny, tapi aku sudah siap menjalaninya. Dan kini
aku tak bisa memikirkan apa apa lagi, karena aku kembali
ditenggelamkan ke dalam lautan kenikmatan oleh Wawan dan Suwito.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.