Selasa, 17 Maret 2015

Eliza 6: Sisi Lain Cie Elvira, Instruktur Baletku

"Stanley... jangan jauh jauh dari cie cie", aku setengah berteriak
mengingatkan Stanley yang terus berlari ke arah lain dari tempat
duduk kami di kereta api. Aku terpaksa mengejarnya, kuatir kalau ada
apa apa dengan sepupu kecilku itu. Keluargaku dan keluarga Suk Sing
sudah terlelap ketika tadi Stanley membangunkanku minta ditemani ke
toilet.
Ketika selesai, aku masuk ke toilet sebentar untuk mencuci muka, dan
waktu aku keluar, aku melihat Stanley berlari ke arah gerbong yang
salah dan begitu cepat menghilang dari pandanganku, memaksaku
untuk berlari lebih cepat. Seorang pedagang asongan nyaris kutabrak
ketika aku berlari memasuki gerbong kelas ekonomi, tempat yang
sangat sangat asing bagiku.
"Non.. hati hati, kalo gue jatuh gimana?", pedagang asongan itu
mengingatkanku. "Maaf pak, saya buru buru, mencari sepupu saya",
aku meminta maaf dengan sopan, lalu segera melanjutkan mencari
Stanley. Beberapa gerbong kulalui, sampai akhirnya aku tertegun saat
menemukan seorang wanita cantik yang ternyata adalah Cie Elvira!
Bukan karena menemukan Cie Elvira duduk di gerbong kelas ekonomi
seperti ini yang membuatku tertegun, tapi pandangan Cie Elvira yang
dingin menusuk terhadapku, murid kesayangannya di sekolah balet.
Cie Elvira benar benar terlihat lain, seolah ini adalah sisi lain dari
dirinya yang biasanya lembut dan harusnya menyayangiku seperti
adiknya sendiri.
"Cie... Cie Vira juga ke Jakarta?" tanyaku berusaha memecah kekakuan
yang tak wajar ini. Tiba tiba aku merasa ada sebuah tangan yang
menyusup dari bawah rokku dan meraba selangkanganku. Belum
sempat aku menoleh untuk melihat siapa pelaku kekurang ajaran ini,
kedua tanganku sudah terentang, kedua pergelangan tanganku yang
mungil dicengkeram erat oleh dua orang penumpang yang sudah
berdiri dari tempat duduknya.
Ketika kedua payudaraku diremas oleh beberapa tangan, aku mulai
meronta panik menyadari keadaanku yang sudah dalam bahaya ini,
sambil berusaha meminta tolong. "Cie Vira.. tolong Liza cie...", aku
memohon pertolongan, tentu saja kepada Cie Elvira, satu satunya
orang yang kukenal di gerbong ini. Tapi benar benar aneh, ia hanya
mematung, sebuah senyuman sinis terukir di wajahnya.
"Kalian buka roknya. Amoy sok cantik ini pasti memakai g-string. Aku
sudah tau kalau dia ini amoy penggoda. Wajahnya saja kelihatan kalem
dan baik baik seperti malaikat, tapi di sekolah kerjanya ngeseks
dengan satpam dan tukang sapu. Paling di rumah juga ngeseks sama
sopir dan kacung kacungnya", kata cie Elvira dengan jahatnya.
"Cie..?", kata kata cie Vira tadi membuat aku memandangnya pilu tak
percaya, tanpa mampu membantah apa apa karena memang begitulah
kenyataanya. Yang membuatku heran, darimana Cie Elvira bisa tahu
semua itu? Lamunanku terputus ketika Cie Elvira dengan kejam
melanjutkan kata katanya, "Lepaskan roknya. Kalau ternyata memang
dia pake g-string, kalian langsung gilir dia ramai ramai di gerbong ini,
keroyok juga boleh".
Celaka.. aku tak tahu apakah aku mengenakan g-string atau tidak. Aku
sudah akan menjerit, ketika orang yang melorotkan rokku ke bawah
berkata, "Teriak saja lo, amoy cantik. Gak usah lu teriak juga kami
pasti panggil orang orang di gerbong tetangga, berbagi kesempatan
mencicipi tubuh non amoy yang putih mulus ini". Aku sadar, tak ada
gunanya lagi aku berteriak ataupun meronta.
Maka aku hanya pasrah saja ketika mereka semua bersuit mengagumi
keindahan selangkanganku yang memang terlapis g-string. Kaus tanpa
lengan yang kukenakan ditarik dari berbagai arah hingga robek
tercabik cabik. Kini aku hanya tinggal mengenakan bra tipis transparan
dan g-string, dan mereka terlihat jelas sudah begitu bernafsu untuk
melahap tubuhku ramai ramai.
"Betul kan? Dasar lonte. Dia kegatelan main seks sampai gak bisa
bangun lagi, makanya pakai pakaian dalam yang menggoda kaum
lelaki. Ya sudah, kalian perkosa saja perek ini habis habisan", perintah
cie Elvira dengan tanpa perasaan. Baru kali ini aku disebut lonte dan
perek, dan itu dilakukan oleh orang yang aku kagumi, tanpa sadar aku
menitikkan air mata, perasaaanku amat terluka.
Aku sudah tak bisa bereaksi apapun ketika braku yang transparan
terbuat bahan yang tak mudah robek itu direnggut paksa hingga tali
talinya putus, sementara g-stringku dengan mudah ditarik putus
hingga kini aku sudah tersaji polos di tengah kerumunan orang orang
dari berbagai kalangan, sebagai budak seks mereka.
Sebuah tikar milik seorang pengemis yang tak terlihat tua, dibeber di
lantai gerbong ini, lalu pengemis yang sudah melepas celananya
hingga telanjang di bagian bawah itu tidur di tikar itu dengan penis
yang sudah mengacung tegak. Beberapa orang memondongku dan
mengangkat kedua pahaku ke samping kanan kiri, lalu membimbing
tubuhku menindih pengemis itu, dan vaginaku mulai menelan penis
yang lumayan besar itu.
"Aduuh... sakiiit...", aku mengerang, tubuhku menggeliat tapi mereka
menekan tubuhku ke bawah hingga penis itu tertelan seluruhnya oleh
vaginaku. Rasanya sakit sekali karena selain belum adanya pelumas
sedikitpun di liang vaginaku, proses penetrasi ini berlangsung begitu
cepat. Kedua payudaraku langsung diremas oleh pengemis itu dengan
kasar, hingga aku menggeliat kesakitan.
Aku hanya bisa pasrah, perkosaan masal yang akan meluluh lantakkan
tubuh mungilku ini sudah dimulai. Pedagang asongan tadi sudah
membuka celananya, lalu menyodorkan ke mulutku. "Isep non amoy.
Jangan coba coba menggigit, tahu sendiri akibatnya", perintahnya
penuh ancaman. Aku tahu aku harus menurutinya, daripada ia nanti
melukaiku.
Kuhisap penis yang bau itu, mungkin pemiliknya tak mandi berhari
hari, membuatku hampir muntah, tapi kutahan sekuatnya. Selagi aku
disibukkan 2 penis yang sudah memasuki tubuhku, dua orang
mengangkat tanganku, lalu memaksaku menggenggam dan mengocok
penis mereka. Aku menuruti semuanya tanpa membantah, walaupun air
mataku terus mengalir.
Hatiku amat pedih merasakan penghinaan ini, diperkosa ramai ramai di
depan umum. Kurasakan ikat rambutku ditarik hingga rambutku
tergerai bebas, tapi rambutku langsung ditarik oleh seseorang dari
belakang, rupanya ia menggunakan rambutku untuk melibat penisnya,
dan bermasturbasi. Aku benar benar tak berdaya, dijadikan obyek
pemuas nafsu seks mereka semua.
"Nikmat ya, Liza? Kamu memang perek bermuka malaikat. Nggak heran
banyak cowok yang mengejarmu, tapi mereka nggak tahu kalau kamu
itu sebenarnya cewek bispak", kata cie Elvira sinis ketika aku mulai
merintih. Aku menangis tanpa suara mendapatkan hinaan demi hinaan
dari cie Elvira yang entah kenapa begitu memusuhiku kali ini. Air
mataku mengalir membasahi pipiku.
Penis yang ada di mulutku mulai berkedut, menyemburkan sperma
yang kali ini bagiku tak terasa enak, malah memualkan. Tapi aku
berusaha menelan semuanya, daripada nanti aku mendapat perlakuan
yang lebih kasar oleh mereka. Penis itu kukulum dalam dalam, batang
penis yang mulai loyo itu kusedot dan kujilat memutar, membersihkan
sperma yang masih tertinggal.
"Ooohhh. non amoy yang doyan peju! Semangat amat menelan pejuku.
Kalau begitu kalian semua lebih baik keluarkan peju kalian di dalam
mulut non amoy ini. oooh.. enaaak...", ia mengerang keenakan setelah
selesai menghinaku, karena aku yang sudah tak perduli lagi terus
menghisap dan mengulum penis itu sampai bersih.
Yang lain tertawa tawa, dan pedangang asongan yang kurang ajar ini
memberikan giliran pada yang lain, menggantikan penisnya yang
sudah loyo. Kembali mulutku dijejali penis yang rasanya tak karuan,
sementara kurasakan leher belakangku basah. Ternyata orang yang
bermasturbasi di belakangku dengan menggunakan rambutku sudah
ejakulasi, semprotan spermanya entah berapa banyak membasahi
rambutku.
Tiba tiba dua penis yang kukocok dengan tangan itu juga berkedut,
kemudian menyemprot tanpa terkendali membasahi wajahku. Kedua
mataku terkena semprotan itu, hingga mau tak mau aku harus
memejamkan mata. Aku sudah tak tahu lagi, apa yang terjadi
denganku. Bergantian mereka memuaskan nafsu mereka dengan
pelayananku, satu ejakulasi langsung digantikan oleh yang lain.
Wajahku sudah belepotan sperma, sementara rambutku sudah basah
seperti keramas dengan sperma juga. Keadaan tubuhku tak lebih baik,
entah berapa banyak sperma yang sudah kutelan, dan kurasakan kedua
payudaraku juga basah, entah oleh semprotan sperma langsung atau
terkena tetesan sperma yang mengalir dari wajahku.
Kurasakan penis dari pengemis yang menggenjot vaginaku dari bawah
berkedut, membuatku sadar. Kini aku sedang dalam masa subur, dan
aku tak ingat kapan aku terakhir minum obat anti hamilku. Dalam
kengerian yang amat sangat, aku meronta berusaha melepaskan diriku
sebelum sperma pemerkosaku ini keluar di dalam rahimku.
"Jangaaan... jangan di dalaaaam.... Aku tak mau hamiiil...", teriakku
begitu mulutku terlepas dari penis yang menyumbat erangan maupun
suaraku sejak tadi. "Tahan tubuhnya! Jangan biarkan lonte ini
melepaskan diri. Biar saja lonte ini hamil, supaya tak terus terusan
merusak rumah tangga orang! Ini bayaran untuk ulahmu yang sudah
memikat suamiku", seru cie Elvira dengan jahatnya.
Semua membantu menekan tubuhku hingga penis itu tak mungkin
kulepaskan dari vaginaku, dan ketika kurasakan semburan cairan
hangat di liang vaginaku, aku menjerit pilu, "Cie Vira jahaaaat... apa
salah Lizaaa.... Liza nggak pernah menggoda suami cie Viraaa....". Tak
kuasa menahan gejolak emosi ini, aku pingsan tak ingat apa apa lagi.
Entah berapa lama aku pingsan, sampai aku sadar dan mendapati
diriku ada di kamar tidurku, mataku basah oleh air mata. Aku berusaha
mengingat ingat, apa saja yang sudah terjadi pada diriku. Perlahan aku
mulai sadar, hari ini adalah hari minggu, dan kemarin itu aku pulang
jam 8 malam, lalu bercengkrama dengan keluarga. Baru aku mengerti,
jadi tadi semua itu adalah mimpi buruk.
Sungguh mimpi yang aneh, makanya aku bingung, sejak kapan aku
punya g-string? Juga, sejak kapan aku menggoda suami cie Elviira??
Aku memeriksa vaginaku, dan mendapati vaginaku begitu basahnya
oleh cairan cintaku sendiri. Dengan panik aku mengorek vaginaku
sendiri untuk memeriksa apakah ada sperma di dalamnya, karena kalau
ada kan berarti gawat. Masa aku harus mengandung anak dari para
pembantu atau sopirku?
Satu-satunya hal dari mimpiku yang merupakan kenyataan adalah aku
sedang dalam masa subur sekarang ini dan aku lupa minum obat anti
hamilku. Kalau sampai 2 pembantuku main gila seperti biasanya,
membangunkanku dengan cara menyetubuhiku, aku kan bisa hamil?
Untungnya aku tak menemukan adanya tanda tanda sperma di dalam
liang vaginaku.
Jariku yang basah kukulum sambil menghela nafas lega, aku baru
teringat ada kedua ortuku di rumah. Para pembantuku itu tentu saja
tak akan berani sembarangan. Sudah sejak kepulanganku dari villa 2
minggu lalu, mereka tak bisa seenaknya minta jatah padaku.
Kesempatan mereka mendapat pelayananku hanya saat aku di rumah
sepulang dari sekolah, sampai kedua ortuku pulang dari rutinitas
sehari hari menjaga toko.
Itu berarti antara jam setengah dua siang sampai jam setengah enam
sore. Dan waaktu 4 jam ini bisa berkurang kalau aku sedang les privat
bahasa Inggris dengan cie Stefanny di rumah, atau jika aku pulang
telat karena mengikuti extra kurikuler bulu tangkis. Tentu saja mereka
juga memperhitungkan, kokoku ada di rumah atau tidak, walau kadang
mereka melakukan sembunyi sembunyi saat ada kesempatan, biasanya
pagi hari di garasi saat aku akan berangkat ke sekolah.
Tapi yang jelas sudah 2 minggu ini aku tidak pernah terbangun dengan
vaginaku dalam keadaan tertancap penis penis para pembantu dan
sopirku ini. Aku melihat jam, masih jam 5:15 pagi. Karena sudah
sekolah pagi, aku terbiasa bangun jam segitu. Maka aku ke kamar
mandi yang ada di dalam kamarku ini. Menyikat gigi, mandi sesegar
segarnya, dan mencuci muka, membuat batinku lebih tenang setelah
mengalami mimpi yang begitu mengerikan tadi.
Aku merapikan rambutku, dan tak lupa minum obat anti hamil sebelum
turun ke bawah. Di masa suburku ini, aku merasa obat anti hamil
harus kuminum tiap hari, daripada nanti aku kebobolan saat sedang
sial. Berjaga jaga lebih baik daripada semuanya sudah terlambat,
apalagi tadi aku mimpi buruk seperti itu.
Di bawah, aku menemukan mamaku yang sedang menyiapkan makan
pagi di dapur. Aku menyapa mamaku yang tersenyum padaku, dan
membantunya sebisaku. Rupanya mamaku memasak sup jagung,
kesukaanku. Sambil membantu mamaku aku berpikir tentang
aktivitasku hari ini. Pagi ini aku akan ke gereja, siangnya entah jalan
jalan ke mana menemani Jenny yang ingin membeli kado ulang tahun
buat teman sekelasnya waktu kelas 1 dulu, Irene.
"El, di dapur jangan melamun, nanti bisa luka kalau gak hati hati",
mamaku mengingatkanku yang masih melamunkan mimpi itu,
membuatku tersadar. "o... e.. iya ma", kataku. Aku segera menyibukkan
diri, hingga sesaat aku bisa melupakan mimpi yang menyeramkan itu.
banyak sekali jagung yang aku ambil bijinya, capai juga tanganku
melakukannya. Tapi aku terus membantu mamaku dengan tulus. Jam
enam pagi, semua sudah selesai, sup jagung kesukaanku sudah
terhidang di meja makan.
Senang sekali rasanya, setelah mencuci tanganku sampai bersih, aku
lalu ke atas sebentar membangunkan kokoku yang pasti masih
mendengkur. Usilku kambuh, aku mengambil gulingnya yang jatuh, lalu
memukulkan ke tubuh kokoku yang masih tertidur pulas, hingga
kokoku terbangun kaget, dan menggeram "Elizaa.. sudah gila ya,
bangunin aku kayak gini?".
"Ko, nggak siap siap kuliah ya? Sudah jam 6 lebih nih!", kataku.
Kokoku segera meloncat bangun, pergi ke kamar mandi sambil berkata,
"wah.. untung koko kamu bangunkan. Thanks me. Tapi awas ya,
pukulan dengan guling tadi itu pasti kubalas", seperti biasa, sok
mengancam untuk membalas. Mana tega dia pada adiknya yang cantik
ini? pikirku sambil meleletkan lidah.
"Makan pagi sudah siap ko, nanti langsung turun ya", kataku
meninggalkan kokoku ke bawah. "IYA", seru kokoku yang sudah ada di
dalam kamar mandi. Aku tersenyum geli, membayangkan bagaimana
jengkelnya nanti kokoku kalau sadar hari ini hari minggu. Aku
menyapa papaku yang sudah rapi, kami sempat mengobrol sebentar
menunggu kokoku turun untuk makan bersama.
Akhirnya kokoku turun dengan membawa tas kuliahnya, membuatku
mati matian menahan tawa. "Minggu pagi gini mau belajar buat UAS di
rumah teman ya Heng? Ke gereja dulu ya... masih sempat kan?" tanya
papaku. Kokoku melongo, kemudian melihat kalender. Ketika kokoku
memandangku dengan gemas, tawaku pun meledak, dan ortu kami
yang menyadari bahwa kokoku tertipu olehku juga tertawa.
"Heng.. Heng.. sudah berapa kali masih juga tertipu sama mememu ini.
Kamu memang kalah pintar kok sama mememu ya", ejek mama yang
disambung papa, "Masa sudah kuliah kalah canggih sama adikmu yang
masih SMA ini?", membuat tawaku makin meledak. Kokoku hanya bisa
diam memandangku dengan gemas dan terlihat menahan senyum
kesal, dia pasti tak ingin lebih malu lagi kalau sampai tertawa, karena
itu sama saja dengan menertawakan dirinya sendiri.
Kami kemudian makan bersama, dan seperti biasa kami pergi ke gereja
pagi pagi. Papa dan mama duduk di belakang, aku di depan dan
kokoku yang menyetir. Aku kembali teringat mimpi tadi. Masa iya aku
ini pernah menggoda suami cie Elvira? Kami memang pernah bertemu,
tapi rasanya kami cuma saling sapa, bahkan aku tak pernah ingat kalau
kami pernah terlibat dalam pembicaraan sedikitpun. Ah.. ada ada saja.
Mimpi yang aneh sekali.
Aku memutuskan tak memikirkannya lagi, dan menjalani kegiatan hari
ini seperti biasa. Setelah pulang dari gereja, aku segera menyiapkan
apa saja yang diperlukan untuk latihan baletku nanti dan membawa ke
mobilku, karena aku pikir akan langsung ke tempat lathihan setelah
menemani Jenny mencari kado.
Setelah berpamitan pada papa mama dan kokoku, aku segera turun ke
garasi. Di sana, sudah menunggu pak Arifin, Wawan dan Suwito yang
membuat jantungku agak berdegup kencang. Tanpa basa basi, mereka
bertiga bergantian melumat bibirku dan seperti biasa, Sulikah berjaga
kalau kalau keluargaku ada yang sedang menuju garasi.
Aku hanya bisa membalas lumatan mereka, supaya ini semua cepat
selesai. Tubuhku digerayangi dan payudaraku diremas remas, kadang
vaginaku ditekan tekan oleh jari mereka. Gairahku mulai naik dan aku
melenguh pelan, rok yang kukenakan sudah terangkat sampai ke
pinggangku, celana dalamku sudah melorot sampai ke paha. Vaginaku
yang sudah basah oleh cairan cintaku sendiri dikorek korek oleh
mereka.
Beberapa jari tangan mengaduk aduk vaginaku membuat aku dengan
cepat sudah orgasme hebat. Kuatir aku melenguh tak terkendali,
kupagut salah satu bibir dari mereka yang mengerubutiku ini. Tubuhku
mengejang keenakan dan akhirnya lunglai dengan kedua tanganku
melingkar di leher pak Arifin di sebelah kiriku dan Suwito di sebelah
kananku.
Untungnya mereka tak bermaksud hendak menyetubuhiku, hanya ingin
membuatku orgasme habis habisan seperti ini sebelum aku pergi. Aku
kehabisan nafas dan tersengal sengal. Mereka memakaikan celana
dalamku kembali ke tempat yang benar, barulah mereka membiarkanku,
anak majikan mereka yang sudah menjadi budak seks mereka ini,
masuk ke mobilku, tentu saja setelah semua mendapat giliran melumat
bibirku dan meremasi payudaraku.
Tubuhku rasanya lemas sekali, dan aku masuk ke mobilku, dan duduk
sebentar untuk menenangkan diriku yang masih dihantam gelombang
orgasme yang dahsyat, sampai akhirnya aku mampu berpikir dengan
tenang. Di dalam mobil, aku melihat dari kaca tengah, bajuku awut
awutan, rambutku juga kacau karena tadi dibelai dan dimainkan
dengan seenaknya oleh mereka, juga dihirup hirup baunya oleh mereka
bergantian.
Entahlah, rasanya tiap bagian dari tubuhku ini bagi mereka begitu
menggairahkan untuk dinikmati kali ya? Kurapikan rambutku sebentar,
juga sekalian bajuku yang kancingnya nyaris terlepas semua ini.
Bahkan aku perlu membetulkan posisi bra yang menyangga payudaraku
ini, letaknya sudah kacau dan amburadul akibat remasan remasan
penuh nafsu tadi oleh mereka.
Dengan kesal bercampur birahi yang tinggi aku menatap mereka
bertiga, namun aku tak bisa apa apa selain cepat cepat meninggalkan
mereka. Di jalan, aku berusaha untuk berkonsentrasi penuh setelah
barusan tadi dirangsang habis habisan sampai orgasme oleh sopirku
dan dua pembantuku yang keranjingan itu. Butuh waktu lama sampai
gairahku stabil dan menurun.
Sesampainya di rumah Jenny, aku melihat ternyata Jenny sudah
menungguku, maka kami segera berpamitan pada kedua orang tua
Jenny. "Enaknya cari kado di mana Jen?", tanyaku pada Jenny, yang
setelah beberapa saat berpikir, menjawab, "Ke Tunjungan Plaza aja
yah?". Aku mengangguk dan segera menjalankan mobil ke arah sana.
Dalam perjalanan, aku dan Jenny saling bertukar pengalaman pribadi
kami selama liburan.
"Jen, gimana kamu selama liburan? Liburan kemana? Apa mereka
masih terus melakukan itu?" tanyaku beberapa saat setelah kami
mengobrol dan bercanda. Jenny terlihat merenung. "Aku di akhir tahun
memang berlibur bersama ortu ke vila kami di Trawas, tapi sebelumnya
itu El, setiap ada kesempatan aku harus melayani mereka berlima.
Begitu ortuku pergi, aku harus siap diseret ke ruang kerja mereka,
melayani mereka sampai mereka semua puas", kata Jenny sambil
sesekali menghela nafas.
"Aku pernah mencoba ikut ortuku pergi, tapi aku mendapat ancaman
keras dari mereka. Baiknya, ada 3 orang dari mereka yang pulang
kampung, tapi yang tersisa justru Supri dan Umar, ingat kan kamu El
gimana ukuran barang mereka berdua itu?", Jenny menggeleng
gelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang mengakhiri
ceritanya.
"Aduh.. kamu nggak apa apa kan Jen?", tanyaku kuatir. Dua orang itu,
tentu saja aku tahu betul ukuran barangnya. Tapi Jenny hanya
mengangkat bahu dan berkata, "gimana ya.. sudah biasa sih, sakit
sakit enak gitu. Terus, liburanmu gimana El? Apa kamu juga terus
dikerjain sama sopir dan pembantumu itu?". Aku mengangguk dan
menceritakan semua pengalamanku, termasuk insiden dengan penjaga
vila yang menghasilkan kenangan baru di villaku itu.
Jenny menggeleng gelengkan kepalanya, "Ya ampun... penjaga vilamu
yang tua itu Jen? Memangnya dia masih kuat gituan?". Aku dengan
tersipu malu menjelaskan, "Awalnya sih pak Basyir itu gak seberapa
juga ya, tapi.. malam itu dia pakai obat kuat Jen. Jadinya aku ya tak
tahan juga, orgasme abis deh dibuatnya. Ada hampir satu setengah
jam aku disetubuhinya habis habisan".
Tentu saja aku tak menceritakan pada Jenny, betapa aku dipermainkan
pak Basyir sampai memohon mohon untuk dibuat orgasme, apalagi
saat pulang aku malah tidak memakai celana dalam sejak selesai
mandi pagi, bersiap memenuhi keinginan pak Basyir untuk menikmati
tubuhku sebelum aku balik ke Surabaya.
Jenny lalu berkata, "Kurang ajar banget yah tua bangka itu. Ya udah
deh El, jangan ngomongin ini lagi ah. Sebel deh, nasib kita benar
benar buruk. Kok kita jadi sama dengan Vera, cewek bispak di sekul
kita. Oh iya, nanti sebaiknya beli apa ya buat kado?". Aku tak punya
ide, dan menjawab, "Ya coba nanti kita lihat lihat di sana gimana?
Pasti bisa ketemu yang bagus". Jenny tersenyum dan mengangguk.
"Jen, Vera yang kamu maksud tadi, Vera yang sekarang sekelas
dengan kita?", tanyaku hati hati. "Iya lah El. Aku sudah tau
kelakuannya sejak kami sekelas di kelas 1. Vera itu suka pulang
bareng om om, dan sudah 5 om yang berbeda yang aku tahu. Tapi..
sudalah.. kini rasanya kita nggak lebih baik deh dari dia", Jenny
menghela nafas panjang dan menunduk, kurasakan kesedihannya yang
mendalam, membuatku ikut sedih juga.
Sambil melajukan mobil, aku sempat berpikir tentang Vera. Kebetulan
Vera itu satu sekolah balet denganku, tapi aku nggak pernah
menyangka Vera seperti itu. Tak terasa kami sudah sampai di
Tunjungan Plaza, dan kami segera berburu barang yang tepat buat
kado dan kami menemukan barang yang dirasa tepat, yaitu bando.
Setelah membeli kertas kado juga, kami menyempatkan makan siang di
food court, sambil ngobrol ke sana kemari termasuk menggosip ^^
seperti yang sering kami lakukan.
Jenny membungkus bando itu dengan kertas kado saat kami selesai
makan, dan kami sempat berjalan jalan sebentar, ketika berpapasan
dengan cie Stefanny. Aku terkejut melihat penampilan cie Stefanny
yang tidak seperti biasanya, ia terlihat sexy abis. "Cie? Duh... cie cie..
tumben deh", sapaku pada guru lesku ini. Cie Stefanny tersenyum
manis sekali membalas sapaanku. Aku mengenalkan cie Stefanny pada
Jenny yang memandangnya dengan kagum, hari itu memang cie
Stefanny begitu modis.
Tubuhnya dibalut sweater putih, dan bajunya hitamnya begitu sexy,
memperlihatkan belahan dadanya. Rok hitam ketat yang hanya sampai
setengah paha, memperlihatkan paha dan betisnya yang indah.
Kacamata yang biasanya dipakai juga diganti softlens yang berwarna
kebiruan, membuat cie Stefanny tampak sempurna, beda sekali dengan
penampilannya yang selalu biasa biasa saat datang ke rumahku
sebagai guru les privatku.
"Jen, ini cie Stefanny, guru les inggrisku yang sering kuceritakan.
Cakep kan Jen? Dan ini cie, temenku namanya Jenny", aku saling
memperkenalkan mereka. "Ah kamu itu ada ada saja El. Hai Jenny,
namaku Stefanny, guru les Inggris Eliza", cie Stefanny tersipu saat
bersalaman dengan Jenny. "Hai cie Stefanny, aku Jenny, teman
sekelas Eliza. Wah cie Stefanny memang cantik abis deh", kata Jenny.
Mendapat pujian Jenny, cie Stefanny makin tersipu.
Kami sempat berbasa basi sebentar, dan cie Stefanny berkata, "Udah
dulu ya, cie cie mau pulang dulu". Aku sempat bertanya, "Nggak sama
ko Melvin nih cie?". Aku sempat merasa senyuman cie Stefanny itu
terlihat getir, saat cie Stefanny menjawab, "Nggak, sendirian aja kok.
Udah dulu ya, bye bye". Kami berpisah, dan Jenny berkata padaku,
"Wow... guru lesmu keren deh. Aku mau dong les sama dia. Coba
besok Senin kamu omongkan ya El, cie Stefanny ada waktu nggak
ngelesi aku".
Aku mengiyakan, "Jen, kamu pasti nggak rugi deh les sama dia.
Orangnya pinter kok". Setelah itu, aku mengantar Jenny ke rumah
Sherly. Karena nanti sore aku harus latihan balet, selain itu memang
aku nggak kenal sama Irene, jadi Jenny nanti pergi bersama Sherly.
Mereka sih sekelas waktu kelas 1. Ternyata rumah Sherly sangat besar,
kamarnya juga banyak, ada sekitar 10 kamar di sana.
Kebetulan di dekat situ ada kampus swasta yang cukup terkenal,
makanya ortu Sherly menjadikan rumah itu sebagai tempat kost buat
mahasiswi yang kuliah di kampus itu. Kami duduk di sofa ruang
tengah. Jenny memperkenalkan aku pada Sherly. "El, ini Sherly, bosnya
kost kostan ini, hehehe aduh...", Jenny dipukul oleh Sherly yang
memasang muka cemberut.
Tak butuh waktu lama, kami jadi akrab, Sherly ternyata orangnya
menyenangkan. Kami membicarakan berbagai hal termasuk tentang
sekolah, dan mulai menggosip tentang beberapa hal di sekolah kami.
Tiba tiba aku melihat pintu kamar yang ada di arah depanku terbuka.
Hah? Ada 2 orang laki laki yang keluar dari kamar itu. Bukannya di sini
itu tempat kost buat mahasiswi aja? Tapi, 2 orang tadi itu lebih mirip
pembantu deh daripada mahasiswa.
Dan yang membuatku semakin terkejut, tak lama kemudian keluar
seorang cewek, kelihatannya seumur dengan cie Stefanny. Rambut
panjangnya terlihat kusut, seperti juga bajunya. Sinar matanya yang
sayu itu... mirip orang yang baru orgasme habis habisan.
Keringat yang membasahi tubuhnya makin memperkuat dugaanku... "El,
kenapa?", tanya Jenny padaku. Aku agak tergagap, dan berkata pelan
pada Jenny, "Jen, aneh ya, masa dari tadi kita di sini, tahu tahu 2
orang pembantu tadi keluar dari kamar tuh cewek. Terus, nggak lama
cewek itu juga keluar".
Jenny melihat ke cewek itu, lalu bertanya pada Sherly, "Iya Sher, tadi
kira kira kenapa ya kok dua pembantu itu lama di dalam?". Sherly
mengangkat bahu dan berkata, "Mungkin bantu bantu angkat barang?".
Jenny bertanya lagi, "Dan lagi, cewek itu bajunya kusut abis ya?".
Sherly terlihat kikuk, dan menjawab, "Oh. Cie cie itu namanya
Katherine. Tadi sih cie Katherine bilang agak pusing dan mau tidur
siang. Mungkin baru bangun tidur kali ya kusut gitu. Tapi lihat, biar
kusut gitu, masih terlihat cantik yah"
Aku dan Jenny saling pandang. Tak bisa kami pungkiri, cie Katherine
yang tadi itu memang cantik dan pasti menggairahkan sekali bagi para
lelaki. Rambutnya lurus panjang, tubuhnya mungil, ramping ideal,
bentuk payudaranya sexy. Ketika melihat kami yang memandanginya,
cie Katherine tersenyum pada kami semua, senyumnya begitu manis,
hingga kami pun mau tak mau balas tersenyum padanya.
Setelah itu kami sempat ngobrol ke sana kemari, dan tak terasa jam
menunjuk pukul 4 sore. Mau pulang juga nanggung, aku memilih
langsung menuju ke sekolah baletku. Maksudku nanti di sana aku akan
menunggu di mobil atau gimana, daripada pulang ke rumah malah
dibikin orgasme oleh para pembantu dan sopirku yang sudah
keranjingan itu.
Selain itu, aku merasa lebih baik menghemat bensin kali ya, maka aku
pamit pada mereka. "Sherly, Jen, aku mau berangkat dulu ke sekolah
balet, have a good time ya", kataku pada mereka. Sherly dan Jenny
mengantarku ke pintu gerbang, dan waktu menuju ke sana aku sempat
melihat ada seorang cewek di beranda rumah ini, yang terlihat agak
terloncat seperti terkejut.
Kulihat di belakang cewek itu ada seseorang, yang mungkin juga
pembantu di rumah ini. Aku melihat cewek itu membalik badan,
sepertinya marah pada orang itu, yang hanya cengengesan saja. Aku
berpikir, mungkin saja tadi itu orang itu meremas pantat cewek itu,
tapi nggak tau juga sih.
Aku merasa tempat ini semakin aneh di mataku, tapi bukan urusanku
kali ya. Aku terus berlalu menuju mobilku, dan setelah melambaikan
tangan pada Jenny dan Sherly, aku segera melajukan mobilku ke arah
sekolah baletku. Sampai di sana, aku parkirkan mobilku, lalu duduk
diam sambil menyetel musik. Tiba tiba hp-ku berbunyi, aku lihat
nomer HP-nya Jenny.
Aku sudah akan mengangkat HP-ku itu, ketika aku melihat cie Elvira
turun dari mobilnya, dan masuk ke dalam sekolah baletku. Cepat amat
ya cie Elvira kok sudah datang, sekarang masih jam 4:25 tuh. "Halo?
Eliza.. tolong dong liatin, ada gak jam tanganku di mobilmu?". Aku
menoleh ke tempat duduk di sampingku, dan karena tak kutemukan,
aku mencari ke jok bawah, dan ketemu.
"Iya Jen, ada di sini. Kok jatuh ke bawah gitu Jen?", tanyaku. "Iya nih,
tadi aku lepas bentar, soalnya keringatan. Ya udah, tolong besok kamu
bawain ke sekolah ya El", kata Jenny. "Iya beres. Udah ya", kataku. "Iya
El.. thanks", suara Jenny yang riang menutup pembicaraan kami.
Pandanganku tertuju pada batagor yang dijual di sebuah rombong.
Senang deh, aku ke sana, membeli sebungkus, dan kembali ke dalam
mobil. Aku makan dengan santai, menghabiskan waktu. Selesai makan
pun, jam baru menunjuk pukul 16:40. Aku memutuskan untuk masuk ke
dalam ruang latihan balet untuk ngobrol dengan cie Elvira yang selalu
ramah dan sayang kepadaku sekalian menghapus ingatanku tentang
kekejaman cie Elvira di dalam mimpi tadi.
Di dalam, aku mencari cie Elvira yang sudah masuk sejak tadi. Ada
suara derit kursi panjang di belakang panggung, dan aku langsung
menuju ke sana. Dan jantungku hampir berhenti ketika aku melihat cie
Elvira, digenjot oleh pak Agil. Cie Elvira terlihat pasrah, tubuhnya yang
telanjang bulat tersentak sentak di atas kursi panjang tempat biasa
kami duduk duduk, sedangkan pak Agil hanya mengenakan baju
atasan.
Aku bisa melihat jelas, vagina cie Elvira yang mungil diterobos
penisnya pak Agil yang kelihatan agak besar dan berurat, dan desahan
pelan yang sexy dari cie Elvira sesekali terdengar, membuatku panas
dingin melihatnya. Cie Elvira sama sekali tak terlihat diperkosa,
bahkan dengan penuh penyerahan cie Elvira melayani setiap tusukan
pak Agil dengan sedikit mengangkat pinggulnya.
Oh iya, pak Agil ini, tukang sapu di sekolah baletku ini. Pak Agil ini
orangnya agak gemuk, kumisnya tipis dan bibirnya itu.. tebal amat.
Umur orang ini kira kira 45 tahun. Aku memang sempat merasa aneh,
karena pak Agil suka berlama lama memandangi cie Elvira, dan kini aku
melihat dia sedang menggenjot cie Elvira dengan bernafsu, sementara
cie Elvira sendiri kelihatannya pasrah saja diperlakukan seperti itu.
Cie Elvira sendiri kini berumur 27 tahun. Tubuhnya langsing ideal,
rambutnya agak bergelombang dihighlight kuning membuatnya tampak
semakin cantik. Kulitnya putih mulus, seputih kulitku. Payudaranya
kencang dan indah. dan kini kulihat cie Elvira melenguh keenakan.
"enggghh... aduuuh... aaaah...", cie Elvira menggelepar hingga derit
kursi itu makin keras.
Rupanya cie Elvira sudah orgasme, dan beberapa saat kemudian giliran
pak Agil yang orgasme. Ia menggeram dan tubuhnya bergetar, kulihat
cairan putih kental menggelayut di penisnya yang ditarik keluar. Saat
itulah cie Elvira melihatku, ia begitu terkejut dan gugup. "Eliza..?",
desis cie Elvira.
Pak Agil yang posisinya membelakangiku menoleh menghadapku, tapi
pak Agil kelihatan cuek, dan dengan tenang ia memakai celana
panjangnya, lalu ia melewatiku yang masih terpaku. Dengan kurang
ajar pak Agil meremas payudara kiriku, kasar dan menyakitkan,
membuatku tersadar dan mengaduh, "Ah... aduuh... sakit paak!".
Pak Agil melepas remasannya ketika cie Elvira membentak, "Gil, jangan
kurang ajar ya sama Eliza!". Ia pun berlalu sambil cengengesan. Aku
memegangi payudara kiriku yang masih terasa sakit. Cie Elvira
membelakangiku, ia membersihkan vaginanya dan mengenakan pakaian
dalamnya, lalu berganti baju balet.
Aku merasa canggung, dan memilih masuk ke kamar ganti, lalu
berganti pakaian balet di sana. Ketika aku keluar, cie Elvira masih
duduk di kursi panjang itu dengan sudah mengenakan kostum
baletnya, dan aku tak berani mendekatinya. Aku memilih menunggu di
panggung tempat latihan.
Jam menunjuk pukul 4:50, ketika teman temanku satu per satu datang,
kebanyakan sudah memakai kostum baletnya, tinggal melepas baju
luar saja. Dan latihan pun dimulai seperti biasa, tapi ketika cie Elvira
mengajarkan gerakan baru, tentu saja di antara kami ada yang
melakukan kesalahan. Dan tak seperti biasanya, kali ini Cie Elvira
mudah marah.
Dalam sebuah gerakan yang memang cukup sulit, ia malah agak
membentak temanku Vera, yang beberapa kali melakukan kesalahan.
Suasana jadi tegang dan tidak enak, kami semua agak gugup menjalani
latihan ini. "Sudah, dari tadi kalian salah terus. Lebih baik latihan kita
akhiri saja sekarang. Kalian ingat ingat tadi gerakan yang sudah cie cie
ajarkan, minggu depan harus lebih baik!", kata cie Elvira ketus, lalu ia
berbalik ke ruang ganti.
Ini masih baru setengah jam, dan kami semua bingung, tapi aku
mungkin mengerti kenapa cie Elvira begitu. Aku segera ke dalam, ikut
berganti pakaian, dan ketika berpapasan dengan cie Elvira, aku
mendekatinya. "Cie Vira mau ikut makan malam sama Eliza?", tanyaku
lembut. Cie Elvira memandangku, dan tak lama ia mengangguk."Kalau
gitu, ke restaurant Halim di Mayjen ya cie?", tanyaku lagi.
Cie Elvira mengangguk dan menjawab, "Ya, aku tahu tempatnya.
Thanks ya, Eliza". Ia tersenyum manis, membuat aku merasa mimpiku
tadi pagi itu begitu konyol, dan memutuskan untuk melupakannya
saja. Mobil kami berjalan beriringan, menuju ke tempat yang tadi kami
sepakati. Sampai di sana, kami memesan beberapa makanan.
Di tengah suasana yang kaku ini, cie Elvira mendadak minta maaf
padaku, "Eliza, sorry ya cie cie nggak bisa ngelindungin kamu tadi.
Sakit nggak tadi digituin sama Agil sialan itu?". Aku jadi tak enak, dan
menjawab, "Cie, tadi kan untung ada cie Vira. Kalau cie Vira nggak
membentak pak Agil, mungkin dia sudah berbuat lebih jauh terhadap
Eliza". Cie Vira masih menunduk.
Aku mencoba menghiburnya. "Cie Vira, yang tadi itu nggak usah
dipikirin, Eliza nggak akan cerita cerita ke siapa siapa kok". Cie Elvira
tersenyum penuh terima kasih padaku, kini ia sudah tidak segalau tadi.
"Eliza, cie cie jadi begini, bukan karena tanpa alasan. Kamu mau
dengar cerita cie cie?", tanya cie Elvira padaku. Kontras sekali dengan
akhir tahun lalu, waktu itu cie Elvira begitu mesra dengan suaminya.
"Iya cie, cerita aja, mungkin nanti beban cie cie bisa lebih ringan", aku
tersenyum dan bersiap mendengarkan curahan hati cie Elvira.
Cie Elvira menerawang dan mulai bercerita, tentang masa lalunya
ketika pacaran dengan ko Johan, mereka adalah pasangan yang amat
berbahagia. Tiga tahun lalu, mereka menikah dengan restu kedua
orang tua mereka, dan cie Elvira ikut ko Johan yang tinggal bersama
ortunya.
Setelah dua tahun menikah dan tak dikaruniai anak, mama mertua cie
Elvira mulai uring uringan. Tanpa bukti yang kuat, mamanya ko Johan
dengan seenaknya menuduh cie Elvira yang mandul. "Aku sudah
periksa, dan hasil tes menunjukkan, aku sama sekali tidak mandul",
kata cie Elvira yang mulai menitikkan air mata. Aku bisa merasakan
kepedihannya, tapi aku hanya diam tak tahu harus berkata apa.
Makanan yang kami pesan sudah datang, dan di sela waktu kami
makan, cie Elvira meneruskan ceritanya. Ko Johan yang ternyata tipe
anak mama, tak pernah sedikitpun membelanya, tak berani mengakui
kalau dirinya yang bermasalah, mengidap impotensi ringan, terbukti
dari penisnya yang tak begitu keras saat ereksi. Memang ko Johan
bisa menyetubuhi cie Elvira, tapi selain penisnya yang lembek tak bisa
memuaskan cie Elvira, juga keluarnya amat cepat, di bawah lima menit.
Pernah waktu cairan sperma ko Johan tumpah di perutnya usai
bersetubuh di pagi hari, cie Elvira diam diam menaruh cairan itu dalam
sebuah tempat dan membawa ke laboratorium siang itu juga Hasilnya
ternyata ko Johan yang mandul. Ingin sekali cie Elvira mengatakan
yang sebenarnya.
Tapi cie Elvira tak tega menyakiti ko Johan. Jadi ia memikul semua
beban itu sendirian. Suatu hari, dalam sebuah pertengkaran mulut,
mama mertuanya memaki cie Elvira dengan kejam, "Memang, kamu itu
cantik, punya body yang sexy. Tapi apa guna semua itu kalau kamu
nggak bisa melahirkan anak buat Johan?".
Cie Elvira hanya bisa menangis, ia segera meninggalkan mama
mertuanya, pergi ke sekolah balet kami, walaupun waktunya masih dua
jam lagi. Di sana cie Elvira menangis sejadi jadinya, dan tanpa cie
Elvira sadari, pak Agil mendekatinya, dan suara pak Agil
mengejutkannya. "Bu Elvira, cakep cakep kok nangis?", tanya pak Agil.
Cie Elvira langsung menyusuti air matanya dengan tissue, lalu
mengambil sebatang rokok dari tas.
Cie Elvira minta api pada pak Agil, yang segera mengeluarkan korek
api dari sakunya, dan menyalakannya buat cie Elvira. Dengan cuek, cie
Elvira merokok, diikuti pak Agil yang juga merokok. Mereka mulai
terlibat obrolan ringan, sampai kemudian ketika rokok mereka sudah
habis, pak Agil mengulangi pertanyaannya tadi, "Bu Elvira, tadi kenapa
menangis?".
Cie Elvira cuma diam, merasa tak ada perlunya orang macam pak Agil
ini tahu urusan rumah tangganya. Tiba tiba cie Elvira terkejut ketika
pak Agil membelai rambutnya, dan belum sempat cie Elvira berbuat
sesuatu, pak Agil sudah mendekap tubuh cie Elvira, dan bibirnya
dipagut dengan ganas. Diperlakukan seperti itu tanpa disangka
sangkanya, cie Elvira hanya bisa pasrah.
Pak Agil semakin berani, satu per satu pakaian cie Elvira dilucuti,
kemudian setelah melepas pakaiannya sendiri ia membaringkan cie
Elvira di bangku panjang itu, dan mulai menyetubuhi cie Elvira yang
tak memberikan perlawanan atau pemberontakan sedikitpun.
Cie Elvira yang sudah hanyut, merasa tak ada perlunya
mempertahankan nilai kesetiaan, karena selama ini ia diperlakukan
tidak adil. Cie Elvira masih mencintai ko Johan, tapi tusukan penis pak
Agil yang begitu keras dibandingkan milik ko Johan, membuat cie
Elvira merasa melayang dan larut dalam persetubuhan itu, tak kuasa
menolak kenikmatan yang didapat dari pak Agil.
Kali pertama, cie Elviira meminta pak Agil mengeluarkan spermanya di
luar. Setelah itu, setiap mengajar balet cie Elvira datang lebih pagi
untuk menghindari stress akibat bertengkar dengan mama mertua. Tapi
cie Elvira tahu pak Agil akan meminta jatah lagi, maka ia mulai rutin
minum obat anti hamil, dan memang, pak Agil tanpa malu malu terus
terusan meminta jatahnya, dan cie Elvira setengah terpaksa
menurutinya.
"Begitulah, Eliza. Tiap cie cie ke sana, cie cie melayani pak Agil lebih
dulu sebelum mengajar. Kamu boleh anggap cie cie murahan atau yang
sejenisnya, tapi cie cie sudah tak ada jalan lain. Rasanya stress di
rumah tiap hari bertengkar mulut dengan mama mertua, sementara
suami tak bisa melindungi cie cie, hanya bisa diam melihat cie cie
dibentak bentak mamanya", kata cie Elvira pilu dan menunduk sedih.
"Cie, aduh... Liza ikut sedih cie. Semoga cie cie tabah ya..", kataku
yang tak tahu harus bagaimana menghibur cie Elvira. Ia memandangku
dan tersenyum pahit, "Eliza, terima kasih ya. Kamu memang baik,
semoga nasibmu kelak lebih baik dari cie cie". Aku hanya bisa
menunduk, merenungi nasibku yang sekarang ini sebenarnya tak lebih
baik dari cie Elvira.
Tak terasa kami sudah selesai makan, dan aku memaksa cie Elvira
supaya kali ini aku yang traktir. Setelah itu, kami saling berpamitan
dan pulang ke rumah masing masing. Sampai rumah, sekitar jam 8
malam, aku tidak mendapati mobil kedua orang tuaku, juga mobil
kokoku yang kata Sulikah pergi ke rumah temannya.
Aduh.. habis deh. Pak Arifin, Wawan dan Suwito langsung menarikku
ke kamar mereka, dan aku segera jadi bulan bulanan mereka. Mereka
seolah melepaskan segala kerinduan mereka padaku, setelah sekitar 2
minggu tidak mendapat kesempatan menikmati diriku.
Untung aku sudah minum obat anti hamil, maka aku hanya pasrah saat
merasakan penis demi penis berkedut dalam vaginaku, menyemburkan
sperma yang membasahi rahimku. Dua jam lebih aku melayani mereka,
tubuhku rasanya pegal pegal karena berulang kali orgasme habis
habisan. Mereka berhenti setelah dua ronde menyetubuhiku, dan
tergeletak puas di sekitarku yang sudah amat lemas.
Setelah pesta seks ini selesai, aku kembali ke kamarku dengan
telanjang bulat. Aku mandi membersihkan tubuhku. Setelah
mengeringkan seluruh tubuhku, aku segera tidur tanpa mengenakan
apapun, hanya berselimut bed cover. Rasanya nyaman sekali, dan
dengan cepat aku sudah tertidur pulas.
Tak terasa, sudah seminggu waktu berlalu sejak peristiwa itu. Tak ada
kejadian spesial selama seminggu ini, selain aku memberitahu pada
cie Stefanny kalau Jenny berminat untuk les privat, dan mereka sudah
saling kontak untuk membicarakan hal itu.
Di sekolah aku seperti biasa, bersikap cuek pada tatapan penuh nafsu
dari pak Edy wali kelasku, juga pandangan mesum dari para satpam
dan tukang sapu yang sudah beberapa kali menikmati tubuhku.
Sebenarnya sebal juga, tapi aku tak tahu harus berbuat apa.
Tapi ada satu hal yang membuatku tertegun, aku sempat melihat Vera,
temanku yang dikatakan Jenny cewek bispak di sekolah kami,
sepulang dari sekolah ia dijemput om om, yang sudah pasti bukan
papanya. Aku pernah melihat papanya Vera ketika acara terima raport
akhir tahun lalu. Aku sempat menduga duga, apakah orang itu saudara
ortunya, atau ...?
Hari minggu ini, setelah menjalankan rutinitasku, dan sempat berjalan
jalan dengan Jenny, aku memutuskan untuk tidak pulang dan langsung
ke tempat balet. Aku merasa bisa membantu cie Elvira untuk tidak
terlalu terlibat dengan pak Agil itu. Ketika jam masih menunjuk pukul
4:15 sore, aku sudah duduk duduk di teras gedung sekolah balet kami,
menunggu cie Elvira.
Rencananya nanti aku akan mengajak cie Elvira ngobrol daripada cie
Elvira harus melayani pak Agil itu. Tapi apa yang terjadi berikutnya
sungguh di luar dugaanku. Pak Agil tiba tiba keluar dari pintu masuk,
dan bertanya padaku, "Non Eliza, waktu saya bersih bersih minggu
lalu, di ruang ganti ada barang yang tertinggal minggu lalu. Coba non
lihat, apa itu kepunyaan non Eliza?".
Ditanya demikian di depan orang banyak yang berjualan di depan situ,
aku mau tak mau terpaksa masuk untuk melihat, daripada kesannya
tidak sopan. Walaupun aku merasa tak meninggalkan barang minggu
lalu, tapi andaikan memang barang itu kepunyaanku, aku tahu aku
sedang masuk ke sarang penyamun. Seperti yang aku kira, di dalam
ruang ganti memang tak ada apa apa.
Ketika aku membalik badan, kulihat pak Agil sudah di belakangku sejak
tadi, ia tersenyum menyeringai kepadaku, dan aku tahu aku akan
bernasib buruk hari ini. Di dunia ini akan segera bertambah lagi satu
maniak yang menjadikan aku budak seksnya. Aku mengutuki nasibku
dalam hati.
Tapi aku masih berusaha untuk lolos dari cengkeraman bandot tua ini.
"Pak, saya mau keluar dulu, di sini nggak ada apa apa kok", kataku
berusaha menjaga nada bicaraku tetap sopan. "Non, buat apa keluar
lagi? Enakan di sini sama bapak. Minggu lalu saya sudah merasakan
susu non yang kiri, sekarang saya mau susu non yang kanan", katanya
dengan kurang ajar.
Ingin aku menamparnya, tapi bisa bisa ia makin mengasariku nanti,
maka aku meredam keinginanku ini. Tak terasa aku mundur dan
menyilangkan kedua tanganku menutupi payudaraku yang sebenarnya
masih tertutup bajuku."Pak, jangan kurang ajar ya. Saya akan teriak!",
aku mencoba menggertaknya. Tapi pak Agil malah tersenyum,
senyuman itu memuakkan tapi mengerikan juga.
Pak Agil menjawab santai, "Teriak saja non. Sekalian biar orang orang
di luar tahu keindahan tubuh non, dan pasti mereka nggak akan
menolak kalau saya ajak untuk ikut menikmati servisnya non Liza".
Aku langsung lemas, rupanya ini arti mimpi burukku minggu lalu. Aku
mengurungkan niatku, daripada aku digangbang tukang sapu ini dan
beberapa penjual makanan kecil di luar.
Sudah cukup aku digangbang para pembantu dan sopirku di rumah,
juga para satpam dan tukang sapu di sekolahku. Tanpa perlawanan
yang berarti dariku, pak Agil sudah melucuti pakaianku hingga aku
tinggal mengenakan bra dan celana dalam. Matanya melotot seakan
hendak copot ketika ia memandangi tubuhku yang putih mulus tanpa
cacat ini.
"Oh.. amoy yang satu ini memang sip", guman pak Agil, tapi aku dapat
mendengarnya jelas. Aku mencoba untuk memohon, "Pak, tolong
jangan begini pak. Pak Agil butuh uang? Katakan pak, saya bisa bantu.
Tapi jangan perkosa saya pak, saya aaah...", aku mengerang ketika pak
Agil sudah menyergapku dan meremas kedua payudaraku yang masih
tertutup bra ini dengan kasarnya.
Aku menggeliat kesakitan dan berusaha melepaskan tangan kekar yang
mencengkram kedua payudaraku ini, tapi usahaku sia sia saja,
tenagaku terlalu lemah, dan rasa sakit ini membuatku semakin lemas.
Selagi aku menahan sakit ini, pak Agil berbisik di telingaku, "Uang?
Buat apa non? Saya tak ada keluarga, gaji saya sudah cukup untuk
makan. Saya tak kepingin duit banyak, cuma kepingin mencicipi tubuh
amoy cantik macam non gini".
Hembusan nafasnya yang hangat di telingaku membuatku bergidik
ngeri, aku tahu sudah tak ada jalan keluar setelah mendengar
jawabannya. Kurasakan kedua payudaraku sudah tak diremas, tapi tiba
tiba pak Agil mengarahkan mukaku ke hadapannya, bibirku dipagutnya
dengan ganas, sementara celana dalamku dilorotkan seperlunya
supaya jari tangannya bisa menusuk nusuk vaginaku.
Mendapat perlakuan seperti ini, aku hanya bisa menggeliat dan
mengerang mengeluarkan suara tak jelas, "Emmph... mmmhh..". Aku
terus meronta, tapi makin lama rontaanku makin lemah, dan kudengar
pak Agil tertawa menjijikkan, nampaknya ia yakin sekali aku sudah
takluk padanya. Tapi aku tak bisa apa apa, tenagaku rasanya sudah
melayang lenyap entah kemana.
Aku memejamkan mata, perlahan rasa nikmat yang menjalari tubuhku
kembali mengalahkan akal sehatku. Desahan dan lenguhanku mulai
terdengar, makin lama makin keras. Entah sejak kapan, tapi braku
sudah jatuh ke lantai, celana dalamku juga sudah melayang entah
kemana. Pak Agil mengatur posisiku sedemikian rupa hingga aku
berdiri agak doyong ke depan menghadap kaca rias, dengan kedua
tanganku menumpu di sana, kedua kakiku terpentang lebar.
Aku makin keras mendesah ketika beberapa jari tangannya mengaduk
aduk vaginaku dari belakang. Kupejamkan mataku kuat kuat, rasanya
malu memandang diriku di kaca dalam keadaan telanjang bulat dan
sedang dipermainkan dari belakang oleh orang yang seumur dengan
papaku. "Non, enak ya non diaduk aduk gini?", ejek pak Agil melihatku
sedang menggeliat keenakan.
Aku hanya bisa diam menahan rasa malu ini, tapi aku tak mampu
bertahan untuk tidak orgasme, akhirnya tubuhku mulai tersentak
sentak. Saat orgasme pertama mulai melandaku, kurasakan pak Agil
mencabut jari tangannya dari liang vaginaku, dan tiba tiba kurasakan
vaginaku yang pasti sedang mengeluarkan cairan cintaku ini, dijilati
dan dicucup oleh pak Agil.
Tiba tiba kurasakan lidah pak Agil membelah dan menusuk vaginaku,
mengorek ngorek semua sisa cairan cintaku, membuat aku terbeliak
menahan nikmat, nafasku tertahan, dan tubuhku makin menggelinjang.
Tak bisa kutahan lagi, aku melenguh keenakan, "nggghhhh...
ooooohhhh".
Aku melemas dan jatuh berlutut, tanganku yang serasa lunglai kupakai
menahan tubuhku yang bergetar getar merasakan nikmat yang luar
biasa ini. Ketika aku masih belum selesai melewati orgasme ini, tiba
tiba pak Agil sudah ada di depanku dan membuka resleting celananya.
Ia mengeluarkan penisnya yang sudah menegang, dan dengan
seenaknya ia menyodorkan penisnya di depan mulutku, seolah olah
memerintahkan budaknya untuk menghisap penisnya.
Aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tapi aku tak bisa berbuat
apa apa, dan terpaksa menurutinya. Aku sempat memperhatikan penis
yang minggu lalu mengaduk aduk vagina cie Elvira ini. Panjang, paling
tidak antara 18 - 19 cm. Walaupun diameternya hanya sekitar 3,5
cm,tapi urat urat yang menonjol membuat penis itu terlihat kekar dan
menyeramkan, siap mengaduk aduk liang vaginaku dengan ganas.
Kubuka mulutku perlahan, dan pak Agil yang sudah tak sabar
langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku. Aku segera
berusaha membiasakan diri dengan rasa penis pak Agil ini. Penis yang
begitu keras itu kuulum kulum dan kujilati memutar, perlahan akhirnya
aku mulai menikmati mengoral penis panjang ini. Kumasukkan penis
ini ke tenggorokanku dalam dalam, hingga pak Agil mengerang
ngerang keenakan.
Aku sedang mencucup kepala penis pak Agil ketika tiba tiba aku
mendengar kata kata pak Agil, "Bu Elvira, bukan saya yang maksa lho,
tapi memang murid ibu yang nafsu nyepongin punya saya ini". Serasa
bagai mendengar petir di siang bolong, aku melepaskan kulumanku
pada penis pak Agil, dan memang di kaca rias ruang ganti yang
memanjang itu kulihat cie Elvira yang menandangku dengan tertegun.
Terlihat jelas ia tak percaya melihat apa yang sedang kulakukan ini.
"Eliza... kamu...?", cie Elvira bertanya kepadaku yang hanya bisa
menunduk, aku malu dan takut sekali, tak berani melihat muka cie
Elvira. Pak Agil yang tertawa tawa sejak tadi, tiba tiba mengangkat
tubuhku, dan aku kembali diposisikan seperti tadi, dengan kedua kaki
terpentang lebar dan tanganku kembali menumpu di kaca rias menahan
badanku yang doyong ke depan.
Sekali ini tentu pak Agil tak hanya menggunakan jarinya, penisnya
yang baru saja kukulum tadi akan segera menghajar selangkanganku.
"Bu Elvira, daripada nanti ngiri sama murid ibu, sekalian aja gabung ke
sini bu", kata pak Agil dengan nada yang benar benar mengejek kami
berdua. Aku melihat dari kaca rias, cie Elvira medekati kami sambil
melihatku dengan pandangan yang aneh.
Dan tiba tiba pak Agil memegangi pinggulku, lalu penisnya
ditempelkan ke mulut vaginaku. Dengan sekali sentak, penis itu
tertelan habis ke dalam liang vaginaku yang sudah amat basah,
sementara penis itu sendiri sudah basah oleh air liurku tadi.
"Ngghhh...", aku melenguh antara sakit dan nikmat, merasakan urat
urat yang menggerinjal pada penis pak Agil ini menerobos keluar
masuk, membuat setiap gesekan pada dinding liang vaginaku terasa
begitu nikmat" "Oooh.. sempitnya noon", erang pak Agil. Aku
menggigit bibir menahan nikmat yang mengalahkan rasa malu ini,
disetubuhi di depan cie Elvira.
Tiba tiba kulihat dari kaca rias, pak Agil yang masih menggenjotku
dari belakang, merangkul cie Elvira dan memagut bibirnya habis
habisan, dan cie Elvira terlihat larut dalam pagutan pak Agil. Keduanya
melakukan french kiss cukup lama, tapi pak Agil terus menggenjotku
dengan tempo yang lumayan cepat.
Setelah puas melumat bibir cie Elvira, pak Agil menyuruh cie Elvira
memposisikan dirinya sepertiku di sebelah kananku, kemudian segera
kudengar cie Elvira mendesah dan kulihat tubuh cie Elvira tersentak
beberapa kali. Saat kulihat ke belakang, ternyata tangan pak Agil
sedang berada di sekitar selangkangan cie Elvira. Mudah saja ditebak,
pasti sekarang jari tangan pak Agil sedang mengaduk aduk vagina cie
Elvira.
"Aaaah...", aku mengerang ketika dengan kasar pak Agil menyodokkan
penisnya dalam dalam, tubuhku mengejang menahan rasa sakit
bercampur nikmat yang melanda tubuhku ini. Cie Elvira yang di
sebelahku juga mulai menggeliat, tapi yang membuatku merasa kikuk,
cie Elvira memandangku dengan tatapan yang sayu dan aneh,
membuat aku jadi salah tingkah dan bulu kudukku serasa meremang.
Masa iya cie Elvira sedang bermaksud lain padaku?
Cie Elvira tiba tiba meraih tangan kananku dan dilingkarkan ke
lehernya, sementara ia juga melingkarkan tangan kirinya pada leherku.
Ia menolehkan mukaku, medekatkan mukanya dan tiba tiba memagut
bibirku dengan ganas, membuat jantungku serasa berhenti, tak tahu
harus berbuat apa. Tak lama kemudian, aku sudah hanyut oleh ciuman
cie Elvira, dan dari awalnya tegang, lalu aku mulai pasrah.
Sekarang aku bahkan membalas ciuman ini. Lidah kami saling
bertautan, aku merasa nikmat yang melandaku semakin berlipat ganda,
dengan sodokan demi sodokan penis pak Agil yang menghajar
vaginaku dengan ganas sementara aku berciuman dengan cie Elvira
sampai akhirnya kami saling melepaskan diri setelah sama sama
kehabisan nafas.
Aku hanya bisa tersipu malu tak berani memandang cie Elvira, tapi
harus kuakui ada gairah aneh yang sempat melandaku tadi saat kami
saling berpagut seperti layaknya sepasang kekasih. Setelah beberapa
menit digenjot pak Agil, aku mulai merasakan akibatnya. "Ngghh...
ooooh... aduuuh...", aku mulai melenguh dan mengerang, rasanya aku
akan segera orgasme.
Di sebelahku kulihat cie Elvira juga mulai menggeliat dan tubuhnya
bergetar getar, terlihat sekali cie Elvira sedang dilanda kenikmatan
yang maha dashyat. Aku sendiri sudah melayang di awang awang,
tubuhu tersentak sentak dilanda orgasme yang kedua kalinya ini.
"Oooohh.. gilaaa.. seret abiiiis nooon", erang pak Agil ketika otot
vaginaku rasanya berkontraksi, pasti saat ini pak Agil merasa penisnya
sedang diremas remas di dalam sana. Tak lama kemudian pak Agil
menggeram, kurasakan penisnya berkedut dan menyemprotkan cairan
hangat di dalam liang vaginaku saat ia mengerang ngerang penuh
kepuasan.
Aku langsung melemas dan jatuh berlutut, penisnya terlepas dari
vaginaku. Tak kuduga, cie Elvira tiba tiba merangsek ke
selangkanganku, kini wajahnya sudah ada di hadapan vaginaku dengan
tatapan penuh nafsu. Aku agak ngeri dan merambat mundur, tapi cie
Elvira dengan cepat sudah memeluk kedua pahaku yang dilebarkannya.
Vaginaku sudah diserang habis oleh cie Elvira yang mencucup cairan
cintaku yang sudah bercampur dengan sperma pak Agil. "Ciee..
ooooh... nggghhhh... ", aku mengerang dan melenguh, tubuhku
menggelepar tak berdaya dihantam kenikmatan yang tiada tara ini.
Beberapa menit lamanya tubuhku tersentak sentak dihantam badai
orgasme.
Rasanya tubuhku semakin lemas, dan aku sudah pasrah, terserah
mereka berdua yang hendak memperlakukan tubuhku seperti apa. Aku
menurut saja ketika pak Agil memasukkan penisnya ke mulutku, dan
tanpa diperintah aku sudah mengulum ngulum penis itu, menyeruput
semua sisa spermanya dan cairan cintaku yang masih menempel di
penis itu.
Tiba tiba terdengar suara pintu ruang depan terbuka, membuat aku
sadar dari pesta seks yang memabukkan ini. Dengan panik aku segera
melepas kulumanku pada penis pak Agil, lalu menyambar semua
bajuku yang berserakan dan segera masuk ke salah satu kamar ganti
lalu menutup tirainya.
Aku tak tahu apa yang dilakukan cie Elvira ataupun pak Agil, tapi
akuku berharap mereka tak segila itu untuk membiarkan teman teman
les balet tahu apa yang baru saja terjadi. Aku langsung mengenakan
bra dan celana dalamku, lalu mengenakan kostum baletku. Ketika aku
memakai sepatuku, aku melihat bercak basah di bagian
selangkanganku.
Kelihatannya cairan cintaku masih terus mengalir dari vaginaku yang
memang masih terasa berdenyut denyut. Urat urat penis pak Agil tadi
benar benar membuatku keenakan, tapi kini aku bingung, bagaimana
jika di antara teman temanku ada yang menyadari vaginaku baru saja
memuntahkan cairan cinta?
Kudengar suara teman temanku yang gaduh seperti biasanya saat
berganti di ruangan ini. Aku keluar dari ruang ganti, menyapa
semuanya dan segera pergi ke atas panggung latihan. Jantungku
berdebar kencang, berharap acara latihan ini segera selesai, sebelum
ada yang tahu tentang selangkanganku yang basah. Cie Elvira sudah
datang ke atas panggung, dan latihan pun dimulai.
Aku berada di depan sendiri seperti biasa, jadi aku masih punya
harapan tak ada yang tahu tentang keadaanku. Ketika latihan baru
berjalan 15 menit, cie Elvira tiba tiba menghentikan kami sejenak, dan
mendatangiku. Aku jadi agak panik dan memandangnya dengan penuh
tanda tanya, tapi perasaan tegang itu langsung sirna ketika aku
mendengar kata kata cie Elvira.
"Liza, kamu kelihatan sakit? Badanmu tak biasanya sampai berkeringat
banyak seperti ini. kalau kamu sakit, nggak usah dipaksakan deh,
kamu boleh istirahat di ruang ganti, atau menonton saja di bawah
panggung", kata cie Elvira lembut.
Dengan penuh rasa terima kasih, aku mengangguk pada cie Elvira, lalu
aku segera keluar dari barisan menuju ke ruang ganti di belakang
panggung. Tapi ketika aku masuk, aku sadar aku harusnya lebih baik
menonton saja tadi, karena ruang ganti ini sudah menunggu pak Agil
dengan senyumnya yang menjemukan.
"Wah wah, non sudah gak sabar ya, masa sampai bela belain
meninggalkan latihan yang baru saja dimulai. Sudah kangen ngerasain
ini lagi ya non?", kata pak Agil dengan kurang ajarnya sambil jari
telunjuknya menunjuk ke arah selangkangannya. Aku hendak keluar
untuk menyelamatkan diri, tapi pak Agil lebih sigap.
Pak Agil menangkap pergelangan tanganku, lalu menyeretku ke dalam
salah satu kamar ganti dan menutupkan tirainya. "Pak Agil.. jangan
begini paak...", aku berusaha memohon agar ia menghentikan semua
ini. Tapi seperti orang yang kesetanan, pak Agil memepetkan aku ke
dinding sekat, lalu mencumbuku dengan ganas dan terus meremasi
kedua payudaraku dan meraba raba sekujur tubuhku.
Aku mulai meronta, berusaha lepas dari semua ini. Kudorong mukanya
yang dari tadi menyusuri mukaku dengan bernafsu, dan tiba tiba aku
kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh ke tempat yang biasa dipakai
duduk untuk mengenakan sepatu. Untung saja kepalaku tidak terbentur
ke tembok. Pak Agil yang langsung menindihku, membuat posisiku
semakin terjepit.
"Kalau non melawan terus, nanti sepulang latihan non akan saya
bagikan pada orang orang yang berjualan di depan. Apa begitu maunya
non?", ancam pak Agil, membuat aku bergidik ngeri dan perlawananku
berhenti dengan sendirinya.
"Lagipula, non gak usah malu malu deh", kata Pak Agil dengan nafas
memburu. "Tadi bukannya non keenakan sampai keluar dua kali? kok
sekarang pura pura nggak mau", ejeknya lagi. Aku membuang muka,
ejekan itu benar benar membuat aku tak berdaya. Ingin aku
menyangkal tapi kenyataannya memang aku tadi orgasme dua kali
dibuatnya.
"Non, ayo lepas bajunya. Atau saya bantuin melepas?" tanya pak Agil
sambil berdiri dan melepas celananya. "Pak, saya lepas sendiri saja",
kataku cepat. Aku tak ingin kostum baletku ini robek karena
kebodohan pak Agil yang pasti tak tahu bagaimana melepas kostum
balet dengan benar. Aku mulai melucuti bajuku sendiri, dan
kumasukkan ke dalam tasku di luar.
Kini tinggal bra dan celana dalam yang menutupi tubuhku. Aku masuk
kembali ke dalam ruangan eksekusi itu, dengan membawa tasku.
Ketika aku melorotkan celana dalamku yang sudah becek itu, pak Agil
kelihatan sudah tak tahan melihat pertunjukan striptease yang sedang
kulakukan ini. Ia langsung menyergapku dan merenggut lepas braku.
Aku kembali dirobohkan ke tempat duduk itu, dan dengan buas pak
Agil mencumbuiku habis habisan. Puting susu payudaraku yang
sebelah kanan dicucupnya kuat kuat, sesekali digigit kecil olehnya.
Selagi aku menggeliat lemah menahan sakit, payudaraku yang kanan
mulai diremas remas dengan kasar. Dirangsang habis habisan seperti
ini, akhirnya aku tak mampu bertahan untuk tidak mendesah.
Aku kembali menyerahkan diriku dengan putus asa, membiarkan pak
Agil memperlakukan tubuhku sesuka hatinya. Tangan kiri pak Agil yang
menganggur, kini mengaduk aduk vaginaku dengan sedikit kasar.
Selagi aku berusaha beradaptasi dengan kekasaran pak Agil ini,
beberapa saat kemudian kurasakan kepala penis pak Agil sudah
bergesekan dengan bibir vaginaku.
Tubuhku yang dipepet pak Agil tak bisa bergerak bebas, maka aku
hanya bisa pasrah, kedua pahaku sudah terangkat melebar, dan aku
merasakan setiap milimeter gesekan penis pak Agil pada dinding liang
vaginaku ketika penetrasi itu dimulai, dan tubuhku mengejang antara
sakit bercampur nikmat, dan aku menggigit bibirku, berusaha segera
beradaptasi dengan persetubuhan ini.
Hingar bingar suara musik di luar membuat aku lebih leluasa untuk
melepaskan lenguhan tanpa kuatir terdengar oleh mereka. "Enngghh..
pak...", aku melenguh keenakan ketika tiba tiba penis pak Agil
menyodok dalam dalam. Cairan cintaku yang sudah kembali meleleh
melumasi vaginaku membuat sodokan itu terasa begitu nikmat.
Apalagi urat urat yang menggerinjal itu berdenyut denyut, membuat
aku kehilangan kontrol dan mulai menggerakkan pinggulku menyambut
tiap genjotan yang dilakukan pak Agil. "Enak ya non?" tanya pak Agil
dengan senyum mengejek. "Iyah pak... nngghh.. ooohh" jawabku tanpa
sadar. Yang kupikirkan sekarang adalah mengejar orgasmeku, tak
kuperdulikan pak Agil yang mengejekku dengan cara menirukan
desahan, erangan dan lenguhanku.
Genjotan itu makin lama makin kuat, akhirnya aku dilanda orgasme
hebat, pinggangku sampai melengkung seolah mengekspresikan
nikmat yang amat sangat ini. Beberapa kali tubuhku tersentak sentak
sampai akhirnya melemas, kakiku yang melejang lejang terasa begitu
pegal. Pak Agil masih menggenjotku dengen bersemangat, dan aku
yang sudah kelelahan hanya bisa menggeliat lemah.
Satu hentakan keras batang penis yang amat keras itu mengakhiri
genjotan pak Agil pada vaginaku. Cairan hangat menyemprot dari
penis pak Agil, membasahi vaginaku yang sudah amat basah ini, pak
Agil menggeram dan tubuhnya bergetar getar, terlihat sekali ia amat
puas. Pak Agil menarik penisnya perlahan dari liang vaginaku,
membuat dinding vaginaku rasanya digesek perlahan oleh urat urat
penis pak Agil.
Hal ini menimbulkan sensasi tersendiri, dan aku mendesah perlahan.
"kenapa non? Masih belum puas? Nanti jangan pulang dulu non, kita
lanjut lagi ke babak kedua, sekalian sama bu Elvira", kata pak Agil.
Mendengar kata katanya ini, aku terkejut dan mendorongnya. "Pak
Agil, jangan macam macam ya. Sudah cukup sampai di sini!
Memangnya kenapa saya harus menuruti dan melayani pak Agil!",
kataku sedikit membentak.
"Karena non pasti tak ingin celana dalam non ini saya berikan pada
orang orang di luar sana kan?", dengan santai pak Agil memegang
celana dalamku, lalu dengan gaya menjijikan pak Agil menghirup bau
celana dalamku. "mmm harumnya..", guman pak Agil.
Aku hanya bisa memandang marah padanya, tapi aku tahu mau tak
mau aku harus menuruti kemauan tukang sapu sialan ini daripada aku
jadi bulan bulanan mereka yang biasa berjualan di luar. Pak Agil
dengan senyum kemenangan menyodorkan penisnya ke wajahku, dan
aku mengulum dan menjilati penis itu dengan kesal.
Ingin rasanya kugigit saja penis yang sedang kukulum ini, tapi aku tak
berani melakukannya. "Jadi nanti saya harap saya bisa menemukan
non di ruang ganti ini waktu semua orang sudah pulang. Non mengerti
kan siapa yang akan rugi kalau non sampai berani pulang duluan?",
kata pak Agil santai sambil menikmati hisapanku pada penisnya.
Setelah puas ia meninggalkanku sendirian, dan aku termenung
beberapa saat, lalu memakai sisa pakaianku tanpa celana dalam. Kini
aku hanya bisa berharap hari ini cepat berlalu. Suara musik di depan
sudah berhenti, latihan balet sudah selesai. Aku segera keluar dan
berpapasan dengan teman temanku yang sudah menghambur ke ruang
ganti.
Di luar aku duduk termenung di kursi panjang tempat Cie Elvira
minggu lalu digarap oleh pak Agil. Aku pasrah menunggu nasib. Cie
Elvira tiba tiba menghampiri dan mengejutkanku, "Liza, kamu kok tidak
pulang saja sekarang?". Aku hanya tertunduk, dan ketika cie Elvira
duduk di sebelahku, aku berbisik pada cie Elvira tentang apa yang
terjadi padaku di ruang ganti tadi.
"Dasar bandot sialan", cie Elvira menghentakkan kakinya ke lantai
dengan marah. Cie Elvira makin kesal ketika aku mengatakan tadi pak
Agil juga berencana mengajak cie Elvira untuk babak kedua nanti. Tapi
kami berdua tak bisa berbuat apa apa, hanya bisa menunggu dengan
kesal. Tapi sejujurnya, ada sebersit perasaan terangsang yang
melandaku, ketika aku memikirkan harus menyerah pasrah pada pak
Agil itu.
"Liza, maafin cie cie kamu jadi terlibat sejauh ini. Semua juga gara
gara minggu lalu kamu terpaksa harus melihat cie cie yang sedang
main gila dengan bandot sialan itu sekarang cewek baik baik seperti
kamu harus menanggung dosa seperti cie cie", kata cie Elvira sedih.
"Nggak cie, Liiza bukan cewek yang suci suci amat kok", kataku
berusaha menghibur cie Elvira. Aku menceritakan sekilas tentang
keadaanku, tentu saja dengan suara yang pelan dan memastikan tak
ada teman temanku di sekitar kami yang bisa mendengar. Cie Elvira
tertegun mendengar semuanya, pengalaman seksku di sekolah, di
rumah, di rumah temanku Jenny, juga di villa.
Rambutku dibelai oleh cie Elvira yang terlihat amat prihatin pada
nasibku. "Liza, tadi, cie cie menyedot habis sperma si bandot itu, cie
cie berusaha mencegah kamu sampai dihamili oleh tukang sapu yang
tak tahu diri itu, Liza", wajah cie Elvira bersemu merah ketika
mengatakan hal ini. "Untungnya kamu sudah minum pil anti hamil,
Liza", sambung cie Elvira yang menundukkan mukanya dan tesipu
malu.
Aku teringat kejadian tadi, aku menjadi sangat malu, terutama karena
aku amat menikmati saat saat cie Elvira mencucup cairan cintaku yang
bercampur dengan sperma pak Agil tadi. Dengan wajah yang terasa
sangat panas, aku memeluk cie Elvira dan berkata, "Cie cie, nggak
usah kuatir, aku udah minum obat anti hamil kok.". Setelah itu semua
teman temanku berpamitan pulang pada cie Elvira.
Begitu ruangan ini kosong, pak Agil masuk menghampiri kami berdua
yang menatapnya dengan kesal tanpa daya. "Kurang ajar kamu itu Gil.
Belum cukup apa kamu gituin saya?", bentak cie Elvira. Pak Agil
tertawa tawa dan mendekatiku, tiba tiba tangannya merangsek ke
selangkanganku melewati rok yang kukenakan. Dengan tepat salah
satu jari tangannya melesak masuk ke liang vaginaku, mengaduk aduk
liang kenikmatanku dengan kasar.
"Oooh...", aku mengerang menahan sakit yang bercampur nikmat ini.
"Masa saya kurang ajar bu? Murid ibu yang memang rela kok, buktinya
dia nggak pakai celana dalam, dan memeknya sudah becek seperti ini",
pak Agil berkata sambil mencabut jari tangannya dari liang vaginaku,
membuatku sedikit menggeliat, rasanya amat nikmat ketika bagian
dalam vaginaku ikut terseret keluar ketika jari itu tercabut lepas.
Ia mempertontonkan jari tangannya yang sudah becek sekali
berlumuran cairan cintaku. Aku membuang muka, malas aku melihat
muka orang yang buruk rupa ini yang kini sudah berkuasa atas
tubuhku. "Bu, kok masih belum buka bajunya? Jangan malu malu di
depan murid ibu lah, kita kan sudah biasa mengarungi surga dunia
bersama sama?", kata pak Agil sambil kembali menancapkan jari
tangannya ke liang vagnaku, dan ia mulai melanjutkan aktivitasnya
mengaduk aduk liang vaginaku dengan jarinya.
"Kamu...", cie Elvira tak bisa meneruskan kata katanya, hanya
memandang marah pada pak Agil, sementara aku mulai larut oleh
permainan jari tangan pak Agil di vaginaku. Tubuhku sesekali
mengejang, dan aku memandang sayu pada cie Elvira, yang membalas
tatapanku dengan pandangan aneh seperti tadi. Oh.. apakah cie Elvira
akan...?
Dugaanku benar, tiba tiba cie Elvira mendekatiku, dan dengan nafas
yang memburu cie Elvira tiba tiba memagut bibirku. Aku benar benar
kelabakan, perasaan aneh yang menjalari tubuhku ditambah sensasi
adukan jari tangan pak Agil pada liang vaginaku, benar benar
membuatku kehilangan kontrol atas diriku.
Tanpa sadar aku memeluk cie Elvira dan membalas pagutannya dengan
tak kalah bernafsunya. "Lho lho... kok malah asyik sendiri toh kalian?",
ejek pak Agil pada kami yang masih saling berpagut. Kami tak
memperdulikan ejekannya, dan ciuman kami makin hot saja seolah
saling tak ingin melepaskan. Lidahku dan lidah cie Elvira saling
bertautan dan mendesak ke mulut lawan ciuman, pelukan kami juga
makin erat.
Tiba tiba pak Agil kembali mengeluarkan jari tangannya dari liang
vaginaku, lalu ia menyusup duduk di antara aku dan cie Elvira. Aku
melihat celana dalam cie Elvira dilorotkan oleh pak Agil. Dan pak Agil
mulai bergantian menyedot dan mencucup cairan cinta dari vaginaku
dan vagina cie Elvira, membuat kami berdua mulai melenguh tak tahan
dilanda kenikmatan ini.
"Ohh.. cieee...", aku mengerang keenakan, sementara cie Elvira juga
kelihatan terangsang berat, sesekali ia melenguh, "ngghhh.. Lizaa..".
tubuh kami berdua bergetar getar, akhirnya setelah disedot entah yang
ke berapa oleh pak Agil, aku terbeliak, nafasku tertahan, tubuhku
mengejang hebat.
Aku orgasme di pelukan cie Elvira, yang malah dengan ganas
mencumbuku, membuat aku semakin tenggelam dalam nikmatnya
orgasme yang makin menggelegak ini. Keringatku mengucur
membasahi bajuku. Kurasakan cairan cintaku membanjir tapi
kelihataanya semua ditelan habis oleh pak Agil yang masih saja
mencucup mulut vaginaku.
Aku dan cie Elvira saling melepaskan pelukan dengan nafas yang
tersengal sengal, dan cie Elvira hanya pasrah saat tubuhnya
dibaringkan oleh pak Agil di kursi panjang, dan pak Agil melepas
celananya, siap untuk bertempur.
Kini dengan bernafsu pak Agil mulai menggenjot cie Elvira yang masih
memakai baju lengkap kecuali celana dalamnya yang sudah terlepas
dari tadi. Aku duduk lemas memandangi mereka berdua yang sedang
berpacu menuju orgasmenya. Aku tak pernah menyangka, cie Elvira
yang biasanya terlihat alim itu kini begitu liar dan larut dalam
persetubuhannya dengan tukang sapu di sekolah balet ini.
Cie Elvira terlihat begitu menikmati saat saat vaginanya dipompa habis
habisan oleh pak Agil, ia melenguh dan menggeliat keenakan, sesekali
menjerit menahan nikmat yang melandanya. Tak lama kemudian cie
Elvira orgasme, tubuhnya tersentak sentak di bawah tindihan pak Agil
yang ternyata juga mengalami orgasme.
Pak Agil menggeram, tubuhnya bergetar, dan ia mengerang, "ooooh...
bu Elviraaa...". Pak Agil sempat berkelojotan beberapa saat, dan
penisnya ditusukkan dalam dalam pada liang vagina cie Elvira. Mereka
berdua mereguk kenikmatan itu bersamaan, dan pak Agil jatuh
tergeletak di lantai dengan nafas ngos ngosan.
Cie Elvira sendiri masih terbaring lemas di kursi panjang itu, tubuhnya
bergetar getar, dan cairan putih kental meleleh dari mulut vaginanya.
Nafas dan desahan cie Elvira sesekali terdengar mengeras, bajunya
basah oleh keringat. Kami semua diam dan beristirahat sebentar, dan
aku melihat jam menunjuk pukul setengah delapan malam.
Beberapa menit kemudian, pak Agil berdiri, ia memandangi cie Elvira
yang sudah mulai sadar dari orgasmenya. "Bu Elvira, sampai
keringatan gitu, gimana kalau kita mandi saja?", tanya pak Agil dengan
pandangan mesumnya. Cie Elvira hanya pasrah saat pak Agil
mengangkatnya berdiri dan setengah menyeret cie Elvira ke kamar
mandi di sekolah balet ini.
Aku bingung tak tahu harus berbuat apa. Tapi saat pak Agil akan
menghilang ke pintu kamar mandi, ia memanggilku, tentunya dengan
gaya yang amat melecehkanku. Jari telunjuk kanannya diarahkan
padaku, lalu ditekuk ke arahnya beberapa kali seolah memanggil
seorang budak.
Dengan kesal namun penasaran apa yang akan terjadi dengan cie
Elvira, aku mengikuti mereka masuk. Di dalam aku melihat pak Agil
yang sudah telanjang bulat, sedang menanggalkan baju cie Elvira satu
per satu. Cie Elvira sempat menahan tangan pak Agil ketilka hendak
menanggalkan bra merah mudanya, tapi , hingga tubuh cie Elvira yang
putih mulis kini sudah polos tak tertutup apapun.
Ikat rambut cie Elvira dilepas oleh pak Agil, hingga rambut cie Elvira
tergerai melewati bahunya. Cie Elvira terlihat makin cantik saja, dan
hal ini entah kenapa membangkitkan gairahku. Pak Agil
menyemprotkan air dari selang yang dipasangnya di kran kamar mandi
itu ke tubuh cie Elvira. Entah dinginnya air yang membasahi tubuh cie
Elvira, atau belaian pak Agil yang membuat tubuh cie Elvira menggigil...
Pak Agil membasahi seluruh tubuh cie Elvira, dan dengan lembut ia
membelai sekujur tubuh cie Elvira yang hanya memejamkan matanya.
Pak Agil mulai menyabuni tubuh cie Elvira, perlahan dari pundak,
punggung, pantat, lalu beralih ke depan, mulai dari dada dan kedua
payudaranya. Sesekali pak Agil meremas lembut kedua payudara cie
Elvira, dan cie Elvira mendesah pasrah.
Cie Elvira bahkan mengangkat kedua lengannya yang sudah selesai
disabuni, dan pak Agil menyabuni ketiak cie Elvira. Setelah bagian atas
selesai, pak Agil menyiram tubuh cie Elvira dengan penuh perhatian,
membersihkan semua sisa busa sabun yang masih melekat di tubuh
cie Elvira. Tentu saja itu dilakukan pak Agil sambil sesekali membelai
dan meremas kedua payudara cie Elvira, yang kembali hanya bisa
mendesah dan menggeliat lemah.
Cie Elvira terlihat menikmati perlakuan pak Agil yang melanjutkan
menyabuni tubuhnya bagian bawah. Pahanya sedikit terentang, dan
pak Agil menyabuni selangkangan cie Elvira, yang mulai berkelojotan
ringan dan menjerit kecil ketika jari tangan pak Agil mengaduk aduk
vaginanya. Pak Agil mengeluarkan sisa spermanya yang
ditembakkannya saat menyetubuhi cie Elvira tadi, dan cie Elvira
sampai harus berpegangan pada tembok selagi tubuhnya semakin
hebat menggeliat.
Siraman air yang disemprotkan deras pada vagina cie Elvira oleh pak
Agil, membuat cie Elvira tak tahan lagi, ia orgasme hebat dan
melenguh keenakan. "Eeenngggh...", erang cie Elvira yang lalu mulai
melemas, dan jatuh terduduk di lantai. Pak Agil menyabuni paha dan
betis cie Elvira, lalu menyiram lembut sampai tak ada sisa busa sabun
di sana, lalu mengeringkan tubuh cie Elvira dengan handuk
Tiba tiba aku merasa ingin dimandikan juga. Tapi masa aku yang
meminta? Maka aku hanya diam, memandangi mereka berdua yang
sedang asyik ini dengan sedikit iri. Hah? Masa aku sudah separah ini,
sampai menginginkan diriku diperlakukan seperti cie Elvira? Aku
berusaha meredam birahiku yang makin tinggi ini.
Tapi ketika kulihat Pak Agil menyusu pada cie Elvira yang mulai
mendesah dan menggeliatkan tubuhnya, aku makin tak tahan,
kurasakan cairan cintaku mulai meleleh sedikit dari liang vaginaku.
Aku benar benar sudah terangsang, nafasku makin memburu. "Non
Liza, ini yang sering bapak lakukan sama bu Elvira. Kelihatannya non
Liza juga kepingin ya?", tanya pak Agil sambil terkekeh.
Aku tak bisa menjawab, mukaku makin panas saja rasanya. Aku pun
membuang muka ketika pak Agil meninggalkan cie Elvira dan
mendekatiku. Sekarang pak Agil sudah memepetku di tembok,
jantungku berdegup kencang menanti apa yang akan terjadi padaku.
Kudengar ia berbisik di telingaku, "mau saya mandikan seperti bu
Elvira, non Liza?"
Gilanya, tanpa bisa aku tahan, aku mengangguk lemah. Sadar dengan
apa yang baru saja kulakukan, aku memejamkan mata menahan malu
yang amat sangat ini. Pak Agil tertawa penuh kemenangan, dan mulai
melucuti pakaianku. Aku merasa tak ada harga diriku yang tersisa lagi
di depan tukang sapu ini, dan beberapa saat kemudian aku sudah
telanjang bulat, dan aku dibawa ke dekat mulut selang itu.
Ikat rambutku dilepas oleh pak Agil hingga tergerai bebas. Aku sempat
teringat, semua orang yang mengenalku berkata aku bertambah cantik
waktu rambutku tergerai seperti ini. Tapi ini bukan waktu untuk
bernarsis ria. Cie Elvira beralih ke tempat yang aman dari semprotan
air, dan memandangiku yang mulai dimandikan oleh pak Agil. Seluruh
tubuhku dibasahi oleh pak Agil, rasanya segar dan nyaman.
Sesekali aku menikmati belaian lembut oleh tangan pak Agil pada
leherku, pundakku dan kedua payudaraku. Ketika mulut vaginaku
digesek pelan oleh pak Agil, aku merintih pasrah, kubiarkan pak Agil
melakukan apa saja pada tubuhku yang sudah basah seluruhnya, lalu
ia mulai menyabuni tubuhku.
Dimulai dari leherku bagian belakang ke depan, kemudian punggungku
digosoknya lembut dan melingkar ke depan. Aku sedikit menggeliat
ketika kedua tangan pak Agil yang menyabuni payudaraku sesekali
meremas lembut. Kedua ketiakku tak luput dari perhatian pak Agil, ia
menyabuni keduanya sebelum meneruskan ke arah perutku.
Merasakan sekujur tubuhku dibelai seperti ini, aku mulai mendesah
dan menikmati setiap rabaan tangan pak Agil, juga busa sabun yang
lembut ini menambah sensasi yang kurasakan. Perutku digosok oleh
pak Agil dengan sedikit ditekan, lalu memutar ke belakang, dan ketika
sampai pada bagian pantatku, pak Agil dengan nakal meremas keras,
membuatku sedikit meloncat dan menjerit kecil karena terkejut.
Siraman air dingin kembali mengguyur tubuhku, membersihkan
tubuhku dari busa sabun ini. Setelah itu, seperti cie Elvira tadi, pak
Agil mulai menyabuni daerah selangkanganku, dan mengorek ngorek
vaginaku dengan jari tangannya. Aku menggeliat dan menggigit bibir
menahan nikmat diperlakukan seperti ini. Semprotan air dari selang ke
arah vaginaku membuat sensasi ini makin dahsyat.
Hampir saja aku orgasme saat pak Agil menghentikan semprotannya
pada vaginaku. Aku mengeluh tapi untungnya pak Agil kembali
mengorek ngorek vaginaku, dan tak lama kemudian ia berhasil
mengantarku menuju orgasmeku. Tubuhku berkelojotan dan melemas,
perlahan aku jatuh terduduk di lantai yang basah ini.
Setelah menyabuni kedua kakiku dan betisku, pak Agil menyemprotkan
air membersihkan semua sisa busa sabun pada tubuhku ini. lalu aku
diangkatnya, dan didudukkan di sebelah cie Elvira. Tubuku yang basah
kuyup dikeringkan oleh pak Agil dengan handuk tadi. Lalu pak Agil
menarik berdiri cie Elvira, dan kaki kiri cie Elvira diangkat tinggi oleh
pak Agil.
Kini vagina cie Elvira cukup terbuka, dan pak Agil menancapkan
penisnya ke liang vagina cie Elvira. Lalu pak Agil mulai menggenjot cie
Elvira, yang hanya bisa menggeliat lemah dan melenguh keenakan.
Tiba tiba samar samara kudengar ada bunyi HP. Aku memperhatikan
sejenak, ternyata dari luar. Aku segera berlari menuju arah bunyi itu,
dan ternyata dari HPnya cie Elvira.
Aku mengambil dan membawa HP itu masuk kembali ke dalam kamar
mandi tempat kami pesta sex, sambil membaca siapa peneleponnya.
"Cie, ini dari ko Johan. Gimana cie?", tanyaku. Cie Elvira menatapku
sayu sambil meminta HPnya dariku, "Berikan.. pada cie cie.., Liza..".
Aku memberikan HP itu dan cie Elvira segera menekan tombol jawab.
"Halo... iya sayang...", cie Elvira mulai bercakap cakap dengan ko
Johan. Tentu saja kata kata cie Elvira terputus putus, karena pak Agil
tak menghentikan genjotannya sama sekali. Terlihat sekali cie Elvira
berusaha menjaga kewajaran gaya bicaranya, tapi tetap saja ia sedikit
melenguh saat. "Nggak... apa apa... sayang.. aku... ada di wc... kok...
iyah.. aku agak telat.. pulangnya...".
Aku teringat waktu aku digangbang kedua pembantu dan sopirku di
rumah dan kebetulan kokoku telepon, maka aku tahu apa yang sedang
dirasakan cie Elvira sekarang ini. Entah kenapa aku malah mulai
terangsang melihat cie Elvira yang sedang berjuang keras menahan
lenguhannya. Kudengar keraguan dari cie Elvira ketika ia mengucapkan
"Iyah sayang... aku... aku juga... cinta kamu..."
Cie Elvira menutup HPnya, dan segera saja cie Elvira melepaskan
lenguhannya sejadi jadinya. "Ngggghhh... oooohhhh... aduuuuhhh...",
erangan dan lenguhan cie Elvira memenuhi ruangan ini. Cie Elvira
dilanda orgasme yang amat dahsyat. Tubuhnya berkelojotan, sampai
pak Agil tak kuat menahan sentakan demi sentakan dari tubuh cie
Elvira. Penisnya tertarik lepas karena tubuhnya terdorong saat cie
Elvira menggeliat hebat, dan terlihat cairan cinta cie Elvira menetes
netes dari mulut vaginanya.
Pak Agil berlutut dan mencucup vagina cie Elvira yang masih
bersandar di tembok. Cie Elvira terus mengerang dan melenguh, dan
hal ini malah membuatku menjadi liar. Tanpa memperdulikan
martabatku yang aku rasa memang sudah hancur ini, kudorong pak
Agil hingga roboh, lalu penisnya yang masih tegak mengacung itu
kududuki hingga tertelan oleh vaginaku.
Aku mulai menaik turunkan tubuhku yang masih basah ini, hingga
vaginaku terpompa penis itu. Pak Agil agak kelabakan dan mengerang
ngerang. Cie Elvira tak tinggal diam. Ia menduduki muka pak Agil
hingga vaginanya tepat ada di atas mulut pak Agil. "Gil, ayo jilatin
punyaku", perintah cie Elvira. Kini pak Agil kewalahan menghadapi
keliaran kami berdua. Aku dan cie Elvira seolah berlomba mencapai
orgasme.
Tentu saja aku yang menang, karena vaginaku dipompa oleh penis pak
Agil, sementara vagina cie Elvira hanya dijilatin saja. "Eeenngghhh... ",
aku melenguh dan tubuhku berkelojotan di atas pak Agil, yang
ternyata juga orgasme bersamaan denganku. Pak Agil menggeram dan
sempat meracau ketika cie Elvira sedikit mengangkat badannya.
"Ooohhh.. memang punya non Liza ini... paling enaaak... lebih enak dari
punya non Veraa", pak Agil meracau, membuat aku dan cie Elvira
saling pandang. Kurasakan penis pak Agil berkedut dan menembakkan
cairan hangat di dalam liang vaginaku. Aku agak melemas, dan
menarik lepas vaginaku dari tusukan penis pak Agil yang mulai loyo.
Cie Elvira yang masih belum orgasme, segera mengubah posisinya jadi
69. Cie Elvira membungkukkan badannya, dan mulai menghisapi penis
pak Agil dengan gencar, membuat pak Agil mengerang ngerang dan
berkelojotan, tapi cie Elvira tak perduli. Aku melihat semua itu dengan
birahi yang perlahan kembali naik, tapi aku hanya melihat saja apa
yang sedang dilakukan cie Elvira.
Kata kata pak Agil tentang Vera tadi juga membayang di pikiranku.
Oh.. ternyata selain cie Elvira, Vera juga jadi pemuas nafsu seks pak
Agil ini sebelum aku juga terlibat. Tapi pemandangan di depanku
terlalu indah untuk kulewatkan dengan melamunkan hal itu. Cie Elvira
dan pak Agil saling memuaskan pasangannya dengan gaya 69, dan
akhirnya cie Elvira orgasme duluan.
"Ohh... aduuuuh...", erang cie Elvira, tubuhnya kembali berkelojotan. Cie
Elvira duduk lemas di sebelah pak Agil, dan aku berpikir, mungkin kali
ini aku dan cie Elvira bisa bekerja sama mengalahkan pak Agil ini. Aku
segera menggantikan cie Elvira menghisap penis pak Agil, yang mulai
mengerang kembali, makin lama makin keras.
Aku tak tanggung tanggung lagi menghisap penis pak Agil ini. Kujilati
memutar, kucucup perlahan dan saat penis itu sudah mengeras
kembali, aku memasukkan ke dalam tenggorokanku dalam dalam. Pak
Agil melolong keenakan, tapi jelas sekali staminanya sudah terkuras.
Ia hanya pasrah saja saat aku terus melakukan deep throat ini, sampai
akhirnya penisnya berkedut dan menyemburkan spermanya.
Aku melepaskan kulumanku pada penis pak Agil yang kini sudah
terengah engah seperti baru saja berlari maraton. Cie Elvira dengan
iseng kembali menghisap penis pak Agil yang sudah loyo itu,
membuat pemiliknya sampai memohon mohon supaya cie Elvira dan
aku menghentikan semua ini. lho? Kok ganti kami para cewek ini yang
memperkosa pak Agil?
Tapi cie Elvira tak perduli, ia terus memaju mundurkan kepalanya,
sementara pak Agil terus memohon supaya cie Elvira menghentikan
hisapannya. Beberapa saat kemudian, pak Agil mengerang ngerang dan
melemas, rupanya pak Agil kembali mengalami ejakulasi. Wajahnya
memucat, ia terlihat semakin lemas dan kelelahan.
Cie Elvira melepaskan kulumannya pada penis pak Agil, dan
memberiku tanda untuk melanjutkan. Aku segera maju menggantikan
cie Elvira, dan ketika pak Agil memohon mohon padaku agak aku
menghentikan hisapanku, kupakai kesempatan ini untuk meminta
kembali celana dalamku. "Begini saja pak, kembalikan celana dalam
saya, maka saya akan menghentikan semua ini", kataku memberikan
tawaran pada pak Agil.
Pak Agil segera menjawab, "Iya non, bapak kembalikan. Ambil saja di
gudang sebelah kamar mandi ini, bapak taruh di dalam tas coklat
besar". Mendengar ini, aku pamit pada cie Elvira untuk ke gudang yang
dimaksud pak Agil, dan memang di sana kutemukan tas coklat seperti
kata pak Agil tadi. Kubuka tas itu, kuambil celana dalamku dan
kusimpan dalam tasku sendiri yang tergeletak di kursi panjang itu.
Lalu aku masuk kembali, dan kulihat cie Elvira sedang menghisap pak
Agil. Ketika melihatku, cie Elvira menghentikan sejenak hisapannya,
dan bertanya padaku, "Gimana Liza, sudah kau temukan?". Aku
mengangguk sambil tersenyum, dan cie Elvira melanjutkan hisapannya
kembali, membuat pak Agil yang sudah amat lemas itu mengerang
lemah, nafasnya makin ngos ngosan.
Setelah beberapa menit, tubuh pak Agil berkelojotan, dan cie Elvira
terus menghisap sampai tak ada lagi sperma yang tertinggal di penis
pak Agil. Barulah setelah itu, cie Elvira berdiri dan berkata pada pak
Agil, "Ini bayaranmu Gil karena berani mengganggu murid
kesayanganku". Pak Agil hanya diam, spermanya yang sudah diperas
habis oleh kami berdua membuatnya amat lemas. Aku dan cie Elvira
saling tersenyum, kemudian kami menyempatkan untuk mandi bersama
karena tubuh kami kembali berkeringat setelah melakukan pesta sex
ini.
Aku dan cie Elvira saling memandikan dan menyabuni tubuh kami
masing masing, tanpa larut dalam nafsu birahi. Kami memang bukan
lesbian, tadi itu hanya letupan gairah yang luar biasa yang membuat
kami berdua melakukan ciuman maut seperti itu. Setelah saling
mengeringkan tubuh, kami segera berpakaian, lalu tanpa perduli kami
keluar meninggalkan pak Agil yang masih tergolek lemas tak berdaya
di lantai kamar mandi ini.
"Cie, Liza pulang dulu ya", aku pamit pada cie Elvira yang tersenyum
manis padaku dan menjawab, "Iya Liza, cie cie juga mau pulang kok.
Masa mau di sini terus menemani bandot sialan itu?". Aku dan cie
Elvira tertawa geli, mengingat tukang sapu itu sudah kami taklukkan.
Hatiku senang sekali, rasanya aku dan cie Elvira makin akrab saja.
Selain itu, besar harapanku bahwa pak Agil tak akan mengulangi
perbuatannya hari ini terhadapku pada minggu depan dan seterusnya.
Kami keluar dari sekolah balet ini saat jam menunjuk pukul 9. Beberapa
abang becak yang mangkal di sekitar situ agak heran melihat kami
berdua, mungkin mereka bertanya tanya ngapain aja dua cewek cantik
ini dari tadi di dalam... Tapi aku dan cie Elvira tak perduli. Kami masuk
ke mobil dan pulang ke rumah masing masing. Di dalam perjalanan
pulang aku kembali teringat akan Vera, dan menduga duga, sejak
kapan ya Vera jadi budak seks pak Agil?
Sampai di rumah, aku berharap tak masih harus jadi bulan bulanan pak
Arifin, Wawan dan Suwito seperti minggu lalu. Untungnya aku melihat
mobil ortuku dan kokoku ada di rumah dan kebetulan sekali kokoku
ada di garasi sedang mengutak atik mobilnya. Jadi para pembantu dan
sopirku tak berani macam macam untuk mengerjaiku. Aku menyapa
kokoku yang juga menyapaku balik. Kokoku pasti tak tahu betapa aku
berterima kasih padanya yang 'menyelamatkanku' dari kemungkinan
digangbang oleh mereka ini
Aku segera masuk ke dalam. Kedua ortuku sudah beristirahat di dalam
kamarnya, dan aku segera naik menuju kamarku di lantai dua. Di
kamarku, aku segera berganti baju tidur karena tadi sudah mandi di
sana. Lalu aku mengistirahatkan tubuhku yang telah berkali kali
orgasme di sekolah balet tadi. Rasanya nyaman sekali. Cepat sekali
aku tertidur pulas, malas memikirkan kejadian apa lagi yang akan
menghiasi kehidupan seksku ini.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.