Selasa, 17 Maret 2015

Eliza 10: Biaya Tambal Ban yang Mahal

Bunyi bel pulang sekolah itu menyadarkanku dari lamunanku. Aku
menoleh ke arah Jenny yang ternyata masih sedang memandangiku.
"Jen? Kamu kenapa?", tanyaku heran.
Jenny tersenyum dan menjawab dengan berbisik, "Kamu cantik Eliza...
memangnya nggak boleh kalau aku liatin kamu?"
"Jen, kamu ini nggak ada kerjaan ya? Aku mau pulang cepat, ada les",
aku tersenyum geli sambil meleletkan lidahku pada Jenny.
Kami saling berpamitan ketika aku sudah ada di depan mobilku. Aku
duduk sebentar di dalam mobil untuk sekedar melepas lelah, apalagi
liang vaginaku masih terasa ngilu sekali, seolah olah ada penis yang
masih tertinggal di dalam situ.
Setelah aku merasa agak enakan, aku mulai menjalankan mobilku.
Kebetulan malah, lalu lintas di jalan depan sekolahku sudah sepi, jadi
aku bisa melajukan mobilku dengan bebas. Aku harus cepat sampai ke
rumah untuk membersihkan liang vaginaku yang masih belepotan
sperma ini. Terasa begitu lembab dan becek sekali.
"Aduh... kenapa nih", aku mengeluh ketika di sebuah jalan yang cukup
sepi, setir mobilku terasa berat sekali, dan sesaat kemudian aku segera
meminggirkan mobilku.
Ketika aku turun, tentu saja setelah mengamankan dompetku di dalam
laci mobil yang sudah aku kunci, aku melihat ban mobilku yang kanan
depan sudah kempis sama sekali.
Ya ampun, mana aku masih lelah setelah harus melayani nafsu bejat
pak Edy, Pandu dan Dedi waktu di sekolah tadi.
Dengan sedikit jengkel, aku bermaksud membuka bagasi mobilku untuk
mengambil ban cadangan di dalam situ.
Tapi aku melihat sekitar 100 meter di belakang mobilku, ada sebuah
gubuk yang ternyata merupakan kios tambal ban, oh untung juga. Aku
segera memundurkan mobilku ke sana.
Setelah menemukan penjaganya, aku membuka bagasi mobilku dan
meminta tolong pada bapak itu untuk mengganti ban mobilku.
Selagi menunggu bapak itu mengganti ban mobilku, aku teringat kalau
sebentar lagi aku harusnya les bahasa Inggris di rumah pada Cie
Stefanny. Maka aku masuk sebentar ke dalam mobil dan mengambil
handphoneku yang ada di laci mobil untuk menelepon Cie Stefanny.
"Halo cie, ini aku, Eliza. Cie, aku bakal telat nih cie, ban mobilku
bocor, dan ini lagi mengganti ban", aku mengabarkan keadaanku
sekarang.
Cie Stefanny menjawab, "Iya nggak apa apa Eliza, Cie Cie tunggu di
rumahmu ya".
"Iya Cie Cie langsung masuk ke kamar Eliza saja Cie, nyalakan saja AC
di kamar Eliza", kataku lagi
"Iya deh, ya udah sampai ketemu ya Eliza", kata Cie Stefanny.
"Sampai ketemu Cie", aku menutup pembicaraan ini dan memasukkan
handphoneku ke dalam tasku di laci mobil.
Aku mengambil dompetku dari tas, dan setelah laci mobil itu kukunci,
aku duduk di kursi kayu panjang yang ada di gubuk ini. Rasanya tak
sopan kalau aku duduk di dalam mobil sambil menunggu ban mobilku
selesai diganti.
Selama aku menunggu, ada beberapa pengendara becak maupun
sepeda yang mampir ke tempat tukang tambal ban ini.
Aku melihat mereka meminjam pompa sepeda di sini dan memompa
ban mereka sendiri, lalu mengembalikan pompa sepeda ke tempatnya
dan memberikan beberapa keping uang logam, entah berapa nilainya,
kepada bapak itu.
Beberapa dari mereka sempat melihat ke arahku, dan lagi lagi demi
kesopanan, aku mencoba tersenyum pada mereka, walaupun risih
rasanya dipandangi oleh mereka seperti itu, seakan akan mereka ingin
melihat isi bajuku saja. Kadang mereka menanyakan hal hal tak
penting, dan aku berusaha menjawab seperlunya saja.
Beberapa menit kemudian, tukang tambal ban itu sudah selesai
mengganti ban mobilku, bahkan sudah memasukkan ban mobilku yang
tadinya kempis itu ke dalam bagasi mobilku. Maka dengan senang aku
berdiri, hendak membayar ongkos penggantian ban ini.
Tapi tiba tiba aku tercekat ketika melihat kedatangan seseorang yang
menuntun sepeda motornya.
"Wah wah Eliza, rupanya tadi siang di sekolah itu kamu sampai segitu
keenakannya ya sampai sampai menunggu aku di sini?", tanya Dedi
dengan nada yang sangat melecehkanku.
Aku makin tak mampu berkata apa apa mendengar perkataan Dedi yang
begitu vulgar di depan orang orang ini.
Gawatnya kini beberapa orang tukang becak yang sedang antri untuk
meminjam pompa ban itu, semuanya melihatku! Mereka melihatku
dengan pandangan liar seolah pandangan dari para predator terhadap
calon mangsa mereka.
Aku menguatkan diriku, lalu membentak Dedi, "Kurang ajar! Kamu
mimpi ya? Memangnya siapa yang menunggu bajingan seperti kamu?
Aku di sini sedang...".
Belum selesai aku berkata, Dedi langsung memotong, "Bapak bapak,
amoy ini tadi siang sempat main main dengan saya di sekolah. Kalau
bapak bapak ingin tahu sampai dimana enaknya amoy ini, bapak bapak
bisa mencobanya di dalam gubuk pak Jamil ini! Dan enaknya, kita tak
perlu ribut pakai kondom! Memeknya amoy ini pasti bersih dan jaminan
mutu. Dia ini sudah tidak perawan lagi. Pula perduli amat kalau amoy
ini sampai hamil... hahaha..."
Aku tercekat sesaat mendengar kata kata Dedi, yang sekarang
menunjukkan jari telunjuknya ke gubuk di belakangku. Bukan karena
masalah hamil, karena aku tahu aku sudah aman setelah rutin
mengkonsumsi pil anti hamil.
Aku juga aku tak perduli tentang perkataan Dedi tentang aku yang
sudah tidak perawan lagi, karena selain memang kenyataannya begitu,
bagiku meskipun mereka semua ini tahu aku sudah tidak perawan lagi,
tak ada yang perlu kuperdulikan.
Tapi yang membuatku tegang adalah aku tahu kalau sebentar lagi aku
pasti akan diperkosa ramai ramai.
Masih belum hilang rasa ngilu di liang vaginaku akibat digilir pak Edy,
Dedi dan Pandu. Apakah aku harus bernasib seburuk ini, diperkosa
berkali kali dalam satu hari?
Sesaat kemudian, di depanku sudah menghadang tiga orang tukang
becak. Walaupun mereka bertiga tak terlalu besar, tapi apa dayaku
menghadapi tiga orang laki laki? Sedangkan ketika aku melihat ke
belakangku, juga sudah ada dua orang tukang becak dan... tukang
tambal ban itu, pak Jamil!
Mereka berenam sudah menutup semua jalan keluar bagiku. Aku sudah
terkepung, dan ketika aku melihat sekeliling berharap pertolongan dari
orang lain yang melihat keadaanku ini, ternyata sekarang ini jalanan
sedang sepi sekali.
"Tolong, jangan sakiti saya...", aku masih mencoba untuk lepas dari
keadaan ini, maka aku mencoba memohon dengan suara pelan,
mungkin memelas.
Mereka semua tertawa tawa, dan aku tahu kalau itu adalah jawaban
dari permohonanku tadi, dan aku hanya bisa pasrah ketka mereka
terus menggiringku masuk ke dalam gubuk itu.
Kini setelah kami semua ada di dalam gubuk, di sela senyumnya yang
bagiku senyuman yang mengerikan, pak Jamil berkata dengan nada
yang tentu saja sangat melecehkanku, "Tenanglah non amoy yang
cantik, pak Jamil dan teman teman ini bukan mau menyakiti non kok,
asal non nurut sama kita kita. Malah nanti non yang minta minta
tambah lho. Oh iya, ongkos ganti ban tadi gratis kok non, hahaha...".
"Ded... tolonglah... aku masih ada les di rumah... nanti aku terlambat...",
aku mencoba memohon pada Dedi, selagi yang lain tertawa mendengar
kata kata pak Jamil.
Tapi Dedi menjawab permohonanku dengan sinis, "Dasar anak orang
kaya. Eliza! Tahu tidak kamu kalau di luar sana itu banyak orang yang
mau sekolah saja tidak bisa karena tak punya uang. Tapi kamu? Sudah
sekolah di sekolahan elit, masih les ini itu. Sudah kebanyakan uang
ya?"
Aku tertegun mendengar ucapan Dedi yang bagiku terdengar sangat
melantur ini.
"Sekarang saja, bapak bapak ini harus memuaskan kamu, tapi
akibatnya mereka tidak bisa bekerja mencari nafkah. Pak Jamil saja
sampai menggratiskan ongkos... apa tadi? Ganti ban? Kasihan kan?
Begini saja Eliza. Kamu kan kebanyakan uang. Kamu bayar saja bapak
bapak ini semua... yaa... lima puluh ribu per orang cukup lah, untuk
memuaskan kamu siang ini", sambung Dedi yang tersenyum
menjijikan.
Aku amat marah mendengar ucapan Dedi yang ngawur sekali ini, dan
dengan nada yang kesal sekali, aku membentaknya, "Ded, kamu gila
ya? Memangnya aku apa yang minta semua ini? Mengapa kok aku yang
malah harus mengeluarkan uang? Enak saja, lepaskan aku! Atau..."
Belum selesai aku berkata kata, Dedi sudah memotong ucapanku.
"Eliza... mulai hari ini, kamu itu sudah jadi budakku. Jadi sebaiknya
kamu menuruti semua kata kataku, mengerti?"
Aku masih akan membantah, tapi Dedi mengancamku dengan dingin,
"Kalau kamu masih keras kepala, aku akan panggil semua teman
temanku untuk ikut bermain dengan kamu sekarang ini".
Aku langsung terdiam, lemas. Dan pernyataan Dedi tadi, bahwa mulai
hari ini aku sudah jadi budaknya itu benar benar membuatku bergidik,
karena itu berarti di hari hari berikutnya kelak, aku akan terus
berurusan dengan bajingan ini.
"Bagaimana, Eliza?", tantang Dedi.
Ini sudah keterlaluan. Aku yang akan diperkosa, tapi malah aku yang
harus membayar para pemerkosaku seolah olah aku ini amoy yang
sudah segitu ketagihannya untuk diperkosa ramai ramai. Tapi jika aku
bersikeras membantah, aku tahu nasibku bisa lebih buruk lagi,
diperkosa oleh semua orang yang mampir atau melewati jalan di depan
gubuk ini sesuai dengan ancaman Dedi tadi.
"Tenang saja, aku tidak minta bayaran kok. Jadi semuanya cuma tiga
ratus ribu rupiah. Uang kecil kan bagi anak orang kaya seperti kamu?",
kata Dedi lagi dengan sinisnya.
Aku rasa aku punya uang yang cukup di dalam dompetku untuk
memenuhi permintaan Dedi sialan ini.
Maka demi keselamatanku, juga supaya aku bisa cepat pulang, aku
mengalah.
"Iya Ded, aku bayar", kataku dengan lemas.
Pak Jamil dan para tukang becak yang lain bersorak senang dan
beberapa kali mereka semua berterima kasih pada Dedi.
"Terima kasih banyak mas Dedi... wah kalau begitu mau seharian
bermain dengan non amoy ini juga tidak apa apa", kata pak Jamil yang
memandangku dengan pandangan matanya yang terasa
menelanjangiku.
"Kalau dibayar gini, tak usah narik becak sehari juga tidak ada
masalah. Non amoy, non pasti puas kok bermain dengan kita kita
hahaha...", kata salah seorang tukang becak itu dengan gembira sekali.
"Eh bapak bapak, jangan sampai seharian, nih amoy juga harus
kembali ke rumahnya. Lagipula, kita main satu dua ronde saja, pasti
sudah cukup untuk membuat amoy ini puas sekali", kata Dedi sambil
tertawa senang.
Entah aku harus lega atau bagaimana mendengar kata kata Dedi ini.
Tapi paling tidak aku tahu ini bukan penculikan, karena nanti aku akan
dilepaskan, walaupun aku tahu nanti itu keadaanku mungkin sudah
hancur hancuran.
Dan Dedi menambahkan, "Kalian harus dengar lenguhannya, juga
merasakan jepitan memeknya. Jangan jangan malah kalian yang minta
tambah nanti hahaha..."
Menyadari situasi yang menimpaku sekarang ini, aku merasa ngeri.
Enam orang laki laki dewasa, ditambah Dedi, semuanya tujuh orang.
Aku harus melayani tujuh orang ini, setelah tadi di sekolah aku sudah
cukup kelelahan setelah melayani nafsu bejat dari pak Edy, Dedi dan
Pandu.
Entah bagaimana keadaanku nanti setelah mereka semua puas
menikmati diriku?
"Eliza, kamu boleh pilih. Kamu buka bajumu sendiri, atau kami yang
membukakan bajumu?", tanya Dedi dengan suara yang bagiku
terdengar mengerikan.
"A... aku... aku buka sendiri saja Ded", kataku lemah.
Aku memilih melakukan ini daripada mereka merenggut baju
seragamku ataupun bra dan celana dalamku hingga rusak, walaupun
sebenarnya aku malu sekali. Aku menaruh dompetku di atas meja kayu
di dekatku, lalu aku mulai dengan membuka tali sepatuku, dan setelah
aku melepas sepatu dan kaus kakiku, aku mulai membuka sabuk yang
melingkar di pinggang rok seragam sekolahku.
Tentu saja semua itu aku lakukan diiringi sorakan dari mereka yang
terlihat jelas begitu menginginkan tubuhku.
Diam diam aku bergidik, selama ini aku belum pernah 'bermain' seks
dengan tukang becak, dan sebentar lagi aku harus merasakan hal itu.
Entah seperti apa gaya permainan seks mereka, apakah mereka mau
bersikap lembut atau mereka akan seenaknya memperkosaku dengan
kasar?
Setelah aku meletakkan sabukku di meja kayu itu, aku mulai membuka
rok seragam sekolahku yang juga kutaruh di meja itu. Dan mereka
makin ribut bersorak dan berkomentar setelah melihat pahaku yang
putih mulus.
"Wow paha non amoy ini, putih dan mulus sekali, mimpi apa kita
semalam ya? hahaha...", kata salah seorang dari mereka.
Aku hanya diam dan meneruskan proses penelanjangan pada diriku
sendiri ini. Dengan sedikit gemetar aku mulai membuka kancing baju
seragamku satu per satu dan menaruh baju seragamku di atas meja
kayu itu. Kini di tubuhku tinggal melekat bra dan celana dalamku yang
dua duanya berwarna putih. Lagi lagi kudengar sorakan dan siulan
yang amat melecehkanku.
Tiba tiba Dedi maju mendekatiku, dan sesaat kemudian... 'breet...!!
breet...!!', bra dan celana dalamku direnggut oleh Dedi dengan kasar
hingga robek dan tak akan bisa kupakai lagi.
"Aduh...", keluhku pelan.
Rasanya sedikit sakit ketika kulit tubuhku tertekan dan tergesek tali
bra dan bagian samping celana dalamku yang direnggut paksa tadi.
Dan Dedi yang kurang ajar itu dengan seenaknya membuang bra dan
celana dalamku yang mahal itu ke pojok ruangan.
"Sialan kamu Ded! Pakaian dalamku ini mahal tau!", aku membentak
Dedi dengan sangat marah, ingin rasanya aku berteriak kesal, atau
menamparnya sekuat tenagaku.
"Tadi kan aku sudah berkata kalau aku akan membuka semua
pakaianku sendiri? Mengapa kamu masih saja merobek bra dan celana
dalamku?", aku mengomel dengan kesal sekali, karena aku tidak
merasa tadi itu aku berlama lama membuka baju seragamku, semua
kulakukan dengan wajar saja.
Tapi aku agak takut juga ketika melihat Dedi mendekatiku.
Berikutnya, Dedi memelukku dan berbisik, "Eliza, Sabtu ini, sejak pagi
di sekolah sampai malamnya waktu di UKS nanti, kamu tak usah
memakai bra dan celana dalam ya...".
"Oh...", aku mengeluh panik.
Aku memang sebenarnya sudah tahu kalau jatuhnya diriku ke tangan
Dedi dan Pandu tadi siang di ruang wali kelasku yang bejat itu adalah
awal dari rangkaian malapetaka yang kelak akan menimpa diriku di
sekolah.
Sejak siang tadi, aku ini seolah sudah menandatangani 'kontrak'
nasibku secara tak tertulis, bahwa aku ini sudah menjadi budak Dedi
dan Pandu, yang harus siap untuk melayani mereka apapun permintaan
mereka. Aku kembali mengutuki nasibku yang begitu buruk ini.
Dengan menyeringai menyeramkan, Dedi meneruskan bisikannya,
"Sabtu pagi nanti, aku ingin melihat puting susu kamu tampak samar
samar dari balik baju seragam sekolah kamu. Pasti kamu sexy sekali,
Eliza. Malamnya terserah kamu mau pakai baju seperti apa, pokoknya
bajumu harus sexy dan ketat".
Aku benar benar terkejut dan menatap Dedi dengan panik.
Seolah terror itu belum cukup, Dedi menambahkan, "Dan juga siapa
itu... Jenny? Kalau Sabtu malam nanti dia ikut, katakan padanya kalau
dia juga tak usah memakai bra dan celana dalam, karena kalau aku
melihat kalian memakai semua itu, akan aku robek semuanya seperti
sekarang, dan kalian berdua akan mendapat hukuman berat! Mengerti?"
Diingatkan masalah ini, aku hanya bisa memalingkan kepalaku
membelakangi Dedi dengan lemas. Perlahan aku mengangguk pasrah,
dan kemudian kudengar Dedi tertawa senang penuh kemenangan,
melihat diriku sudah takluk tanpa daya di hadapannya.
"Ada apa mas Dedi?", tanya pak Jamil yang kelihatannya penasaran
dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Dedi padaku, hingga mampu
membuatku yang tadinya sempat marah, kini hanya pasrah dan
menurut pada Dedi.
-x-
Aku tercekat dan menahan nafas, berharap semoga Dedi tidak
sengawur itu untuk memberitahu mereka tentang rencana perkosaan
terhadap diriku di UKS pada hari Sabtu nanti.
"Oh, bukan apa apa pak Jamil. Saya bilang kalau Eliza bisa memuaskan
kita semua, saya akan belikan pakaian dalam baru yang lebih mahal
dari pakaian dalamnya yang tadi saya robek", kata Dedi.
Mereka semua tertawa. Diam diam aku merasa sedikit lega. Paling
tidak, calon pemerkosaku di hari Sabtu nanti tak bertambah banyak.
"Hahaha, baik... kalau begitu, lanjut!" kata Dedi sambil meremas
payudaraku satu kali.
Remasan pada payudaraku ini seolah merupakan tanda bagi mereka
untuk memulai gangbang ini. Mereka bertujuh melucuti pakaian mereka
sendiri, lalu mulai mengerumuniku.
Kini aku yang sudah telanjang bulat ini, digiring ke pembaringan yang
beralas tikar itu.
Kulihat Dedi, dengan santai tiduran di pojok pembaringan,
punggungnya diganjal bantal, dan kepalanya bersandar pada dinding
gubuk ini. Kedua kakinya membuka lebar membentuk huruf V. Aku
cukup ngeri melihat penis Dedi yang perlahan mulai berdiri, mengingat
penis itu tadi siang cukup mampu untuk membuatku menderita
dihantam badai orgasme.
Lalu dengan gaya seperti memerintahkan seorang budak, ia
mengarahkan jari telunjuknya padaku, dan dua kali dia menunjukkan
jari itu ke arah perutnya.
Aku terpaksa naik ke atas pembaringan itu dan mendekati Dedi dengan
sedikit bingung, apa yang kira kira diinginkan teman sekolahku yang
kurang ajar ini. Ketika aku sudah berada dalam jangkauannya, Dedi
memegang kedua lenganku dan membalikkan tubuhku hingga aku
membelakanginya, lalu ia membaringkan tubuhku, hingga kepalaku
tersandar di atas perutnya.
Kurasakan penis Dedi yang hangat itu menempel di punggungku, dan
penis itu terus berdenyut. Lalu kedua tanganku ditaruh Dedi di
samping kakinya. Kedua pahaku sendiri kurapatkan, karena aku sudah
malas mendengar sorakan ataupun siulan mereka yang bernada kurang
ajar dan sangat melecehkanku.
Aku berpikir, dengan posisi ini, berarti bukan Dedi yang mendapat
giliran pertama untuk memperkosaku. Aku malas atau lebih tepatnya
tak berani menebak siapa yang 'beruntung' mendapat giliran pertama
kali ini, karena bagiku keenam orang yang lain termasuk pak Jamil,
mereka semua begitu mengerikan.Dan toh nantinya aku harus
merasakan penis mereka semua satu per satu menembusi liang
vaginaku.
Tapi tiba tiba kedua pahaku dibuka dengan kasar oleh pak Jamil yang
menggerutu, "Dasar amoy munafik! Sudah nggak pakai baju saja kok
pakai aksi malu malu segala! Lagipula tadi di sekolah non kan sudah
sempat melayani mas Dedi! Sekarang ini waktunya non melayani kami
semua tahu!".
Pak Jamil mengangkat kaki kananku dengan kasar. Dengan posisi lutut
yang tertekuk, pergelangan kaki kananku diikat olehnya dengan tali
rafia pada sebuah kaitan di jendela gubuk ini.
"Pak, jangan...", desisku ketakutan.
Tapi pak Jamil tak perduli, malah berikutnya kaki kiriku ditekuk oleh
pak Jamil, lalu dilebarkannya ke samping kiriku dengan kasar, hingga
vaginaku sudah tersaji menunggu hunjaman dari penis penis para
calon pemerkosaku ini.
Lagi lagi terdengar tawa dan sorakan mereka yang penuh ejekan itu,
sedangkan aku sendiri semakin panik menyadari keadaanku yang
sudah tak mungkin bisa mengelak dari nafsu binatang mereka.
Kini setelah tubuhku sudah berada dalam posisi 'siap saji' seperti ini,
pak Jamil menyiapkan penisnya yang sudah berdiri tegak itu untuk
mengaduk liang vaginaku.
Rupanya pak Jamil akan mengambil giliran pertama, dan yang lain
setuju setuju saja.
Mungkin mereka memberikan giliran pertama pada pak Jamil sebagai
tanda terima kasih dari mereka, karena gubuk ini adalah milik pak
Jamil, sedangkan mereka semua hanya 'numpang' di sini, dan kini
mereka semua 'beruntung' mendapatkan kesempatan untuk menikmati
tubuh amoy SMA seperti diriku.
"Wah wah, bener bener rejeki nomplok", kudengar pak Jamil
mengguman ketika memandangi tubuhku.
Aku bergidik ketika akhirnya pandangan mataku mengarah ke penis
pak Jamil itu. Penis itu warnyanya gelap sekali, panjang, juga
diameternya tebal sekali.
Selain itu penis itu sangat berurat, dan terlihat begitu kokoh. Entah
bagaimana sakitnya nanti waktu liang vaginaku diaduk aduk oleh penis
yang mengerikan itu.
Selagi aku dilanda kengerian dan pandangan mataku terus tertuju pada
penis pak Jamil, pemiliknya berkata padaku, dengan nada yang sangat
mengejek, "Kenapa non amoy, kok ngeliatin ini terus? Sudah tak sabar
ya merasakan punya bapak ini? Tenang non amoy, ini memang buat
non kok, pokoknya bapak tanggung non amoy bisa sampai mulet
mulet lah nanti, hahaha..."
Tawa mereka meledak memenuhi ruangan ini, tawa yang mengerikan
dan menjijikkan. Dan mereka semua berkomentar bersahut sahutan,
komentar demi komentar yang memanaskan telinga dan membuat
perasaanku bercampur aduk antara risih, malu dan jijik.
"Ayo cepat Mil, kami juga ingin ngerasain memek amoy SMA!"
"Cakep cakep, doyan seks juga ternyata loe, non amoy, hahaha"
"Liat susunya, amboi! Kapan lagi kita bisa ngeliatin dan ngeremas
remas susu amoy SMA gini"
"Tapi belum bisa keluar susunya ya? Amoy ini kan masih belum pernah
bunting dan ngelahirin anak"
"Iya, coba kalau sudah pernah, kita bisa minum susu amoy sekarang
nih hahaha..."
"Memeknya oi... merah muda... seperti memek bintang film porno dari
Jepang... hahaha..."
"Kalau bunting sama kita kita mau gak non amoy? Hahaha..."
"Kita kita sih bersedia menghamili non amoy kok, kalau non amoy
memang ingin punya anak dari kami semua, hahaha..."
Aku benar benar merasa risih dan malu sekali mendengar ejekan demi
ejekan itu, tapi tak ada yang bisa kuperbuat.
"Oooh... ssshh...", aku merintih dan mendesis.
Kurasakan bibir vaginaku ditiup tiup dengan nakal oleh pak Jamil.
Kembali mereka bersorak mengejek, dan kudengar ada yang
berkomentar, "Mil, sudah cepat genjot sana! Amoy ini sudah keliatan
nggak tahan Mil! Hahaha..."
Separah apapun rasa malu yang melandaku saat ini, aku tahu kalau
aku jangan sampai berbuat macam macam seperti menutupi payudara
ataupun bibir vaginaku dengan kedua telapak tanganku. Seingin
apapun aku melakukan itu, aku memilih untuk diam saja, karena kalau
aku melakukan semua itu, aku tahu yang kudapat malahan tambahan
sorakan dan ejekan saja.
Dan juga, aku tahu kalau aku hanya boleh pasrah, jika aku tak ingin
sesuatu yang lebih buruk terjadi pada diriku, Maka aku berusaha untuk
memejamkan mataku supaya aku tak melihat saat saat tubuh dari pak
Jamil yang berbau tak sedap dan juga penuh dengan keringat itu
menyatu dengan tubuhku.
Aku berharap semua ini cepat berakhir tanpa aku harus terlalu
merasakan penderitaan.
"Sudah siap ya non? Sampai menutup mata membayangkan enaknya
punya bapak ya? Hahaha...", kudengar pak Jamil kembali
melecehkanku, dan kurasakan paha kiriku sudah berada di pelukan pak
Jamil, dan betisku sudah ada di pundak pak Jamil.
Oh, petaka akibat mengintip di sekolah tadi itu akan segera berlanjut...
"Ngghh...", aku melenguh perlahan dan mau tak mau mataku terbuka,
bahkan sampai terbeliak, seluruh tubuhku mengejang karena aku harus
menahan sakit yang amat sangat.
Kurasakan sebuah penis yang aku memang sudah tahu kalau
diameternya amat tebal, sedang membelah liang vaginaku dan terus
melesak ke dalam memenuhi rongga liang vaginaku.
Penis itu terasa begitu keras.
Aku mulai menggeliat tak kuasa menahan sakit, walaupun seharusnya
karena perkosaan di sekolah tadi, liang vaginaku ini masih becek
sekali oleh cairan cintaku sendiri, juga sisa sperma dari pak Edy,
Pandu, dan si kurang ajar Dedi yang sekarang sedang asyik meremasi
kedua payudaraku sambil memangku kepalaku sekarang ini.
"Ngghh... angghkk...", aku kembali harus melenguh.
Seluruh tubuhku mengejang hebat ketika aku harus berjuang menahan
rasa sakit yang amat sangat ini, saat kurasakan penis itu makin dalam
menghunjam liang vaginaku. Keringat pun mulai membasahi sekujur
tubuhku.
"Aduuh... ampun... paaaak!!", aku mengerang kesakitan dan mencoba
memohon belas kasihan dari pak Jamil.
Kedua telapak tanganku kugenggamkan pada apapun yang bisa
kugenggam untuk menahan rasa sakit ini, mungkin aku sedang
meremasi tikar yang menjadi alas pembaringan tempat aku diperkosa
sekarang ini.
Tubuhku sendiri tak bisa menggeliat dengan bebas, karena selain
pergelangan kaki kananku yang terikat pada kaitan di jendela itu, juga
paha kiriku yang berada dalam pelukan pak Jamil, kedua tangan Dedi
yang sekarang memang sedang berhenti meremasi payudaraku, kini
digunakan oleh pemiliknya itu untuk menekan pundakku ke arah pak
Jamil.
Maka aku tak bisa ke mana mana, termasuk untuk menghindar ke
belakang demi mengurangi rasa sakit yang kuterima saat hunjaman
penis raksasa dari pak Jamil ini membelah liang vaginaku.
Dan selama proses penetrasi ini, aku terus mengerang kesakitan,
kepalaku juga terus terlontar ke kanan dan ke kiri karena aku sudah tak
kuat menahan rasa sakit yang amat sangat.
"Aduuh... sakit paak...", aku mengerang kesakitan ketika akhirnya pak
Jamil berhasil membenamkan penisnya sepenuhnya ke dalam liang
vaginaku.
Kurasakan buah zakar dari tukang tambal ban ini sudah menempel
pada selangkanganku. Nafasku tersengal sengal karena sejak tadi aku
berjuang menahan sakit yang terus mendera liang vaginaku dan
membuat sekujur tubuhku makin berkeringat.
Ketika kurasakan pak Jamil mulai menggerakkan penisnya hingga liang
vaginaku serasa mulai dikorek korek oleh urat penis tukang tambal
ban ini, aku kembali mencoba memohon belas kasihannya, "Pak,
tolong pelan pelan pak, sakit..."
"Anngghkk...", aku kembali harus melenguh ketika dengan kejam pak
Jamil malah mulai memompa liang vaginaku dengan penuh semangat.
Tukang tambal ban ini dengan tanpa rasa kasihan sama sekali padaku,
terus menghentakkan tubuhnya seolah hendak melesakkan penisnya
kuat kuat ke dalam liang vaginaku.
Sedangkan tubuhku yang berada di bawah pak Jamil ini harus terus
mengejang kesakitan tanpa daya, aku terus mengerang saat tubuhku
digagahi oleh tukang tambal ban ini.
"Tenang amoy cantik, sebentar lagi juga enak kok... uuuh...
sempitnyaaa", racau pak Jamil saat penisnya terus memompa dan
mengaduk aduk liang vaginaku.
Dan memang, beberapa saat setelah terus menerus mengejang hebat
karena didera rasa sakit yang amat sangat ini, perlahan penderitaanku
mereda, bahkan pedih yang kurasakan itu juga hilang saat liang
vaginaku mulai terasa licin.
Mungkin cairan cintaku sudah melumasi liang vaginaku, hingga yang
kurasakan kini adalah rasa nikmat ketika penis itu memenuhi liang
vaginaku, juga saat saat penis itu tertarik keluar hingga kurasakan urat
urat penis pak Jamil serasa mengorek liang vaginaku, membuat
tubuhku dengan jujur menggigil keenakan.
Apalagi kemudian Dedi kembali sibuk meremasi payudaraku dengan
cukup lembut, sehingga rangsangan demi rangsangan yang kuterima
ini serasa bertubi tubi, membuat rasa nikmat itu lagi lagi menjalari
sekujur tubuhku.
Aku menggigit bibir, tak ingin melenguh di hadapan pemerkosaku ini,
tapi makin lama rasa nikmat yang mendera liang vaginaku makin
menghebat. Aku mulai menggeliat keenakan, sedangkan pak Jamil
tertawa tawa sambil terus menggenjot tubuhku.
"Kenapa amoy cantik? Sudah enak kan... uhhh... memekmu sempit
sekalii...", kembali pak Jamil meracau.
"Nggghh... nggghhh...", akhirnya aku melenguh sejadi jadinya, tak
kuasa menerima siksaan kenikmatan yang amat sangat ini.
Tubuhku menggeliat keenakan, aku hanya pasrah diantar menuju
orgasme lagi.
Tapi tiba tiba pak Jamil berhenti menggenjotku.
"Oohh...", keluhku sambil memandang pak Jamil dengan penuh
permohonan, permohonan agar ia mau melanjutkan memompa liang
vaginaku.
Pak Jamil sambil berkacak pinggang memandangku dengan senyum
mengejek.
"Kenapa amoy sayang? Mau lanjut?", ejek pak Jamil padaku.
Ketika mendengar gelak tawa dari mereka, aku sangat terkejut. Aku
menyadari kalau tadi itu aku baru saja mengangguk, bahkan sekarang
ini aku sedang menggerak gerakkan pinggulku supaya liang vaginaku
tetap teraduk oleh penis pak Jamil. Aku bahkan sedang sempat
mencari kenikmatanku sendiri! Seperti ketika aku tak berdaya menahan
nafsu dan gairahku sendiri saat dipermainkan habis habisan oleh
penjaga vila keluargaku, pak Basyir...
Maka aku menggigit bibirku sendiri dan mati matian berusaha
menghentikan gerakan pinggulku yang seakan ada di luar kendaliku.
Setelah aku berhasil mengendalikan diriku, aku membuang mukaku ke
kanan, ke arah dinding gubuk ini. Kupejamkan mataku selagi mereka
semua yang ada di dalam gubuk ini masiih terus menertawakanku.
Mukaku rasanya panas sekali, dan aku sangat kesal terhadap tubuhku
sendiri. Baru kusadari, ternyata begitu mudahnya tubuhku ini
ditaklukkan oleh para pemerkosaku dalam setiap perkosaan yang
menimpa diriku.
"Hahaha... amoy kita ini masih malu malu oi..."
"Amoy SMA lah, biasa masih malu malu"
"Malu tapi mau, sampai mulet mulet... hahaha..."
Kembali aku harus menerima ejekan demi ejekan dari mereka.
"Ngghh...", kembali mataku terbeliak, dan aku harus melenguh
keenakan ketika kurasakan liang vaginaku perlahan kembali terbelah
oleh penis pak Jamil.
Bertahap ia melesakkan penisnya, kalau yang tadi sebelumnya ia
menghunjam hunjamkan penisnya begitu saja dengan kasar dan kejam,
kini ia melakukan dengan cukup lembut dan perlahan.
Tapi tetap saja, aku merasa seakan ada paku dari kayu, yang kini
sedang menghunjam pada liang vaginaku. Setiap penis itu melesak
semakin dalam, aku merasa seolah paku itu dipukul dengan palu
hingga menancap semakin dalam di liang vaginaku, memaku tubuhku.
Aku terus menggeliat dan melenguh ketika penis itu, perlahan tapi
pasti, terus mengisi dan memenuhi liang vaginaku.
"Enak ya non amoy?", ledek pak Jamil ketika aku melenguh pelan dan
tubuhku kembali menggeliat hebat di bawah tindihannya saat penisnya
sudah terbenam seluruhnya di dalam liang vaginaku, memaku tubuhku
hingga aku tak bisa ke mana mana lagi.
Rasanya liang vaginaku sekarang ini begitu penuh dan enak sekali
walaupun tentu saja bercampur dengan sedikit rasa sakit dan ngilu.
Aku menyadari sekarang ini keadaanku sudah kepalang basah, toh tadi
aku sudah sempat mempermalukan diriku sendiri.
Maka aku menguatkan diriku dan menjawab, "Iya... pak Jamil... enak...".
Kembali ruangan ini dipenuhi tawa mereka, tawa kemenangan mereka
yang melihat seorang amoy sepertiku takluk sepenuhnya pada mereka.
Sedangkan aku sendiri merasa mukaku amat panas.
Sementara itu, pak Jamil mendiamkan penisnya yang berada di dalam
liang vaginaku, membuat aku merasa liang vaginaku seperti sedang
menelan sebatang paku kayu bulat yang berdiameter besar sekali, dan
aku kembali tak berani terlalu bergerak ataupun menggeliat.
Kini seorang dari mereka berlima, yang merupakan para calon
pemerkosaku, naik ke pembaringan dan mengambil posisi di sebelah
kananku. Pergelangan tangan kananku dipegang oleh tukang becak
itu, dan ditarik ke belakang kepalaku untuk diberikan pada Dedi. Lalu
ia sendiri meremasi payudaraku yang sebelah kanan, menggantikan
Dedi yang kini mencengkeram pergelangan tangan kananku.
"Aduh... sakit pak...", aku mengeluh lemah ketika kurasakan remasan
dari tukang becak itu pada payudaraku yang kanan ini cukup
menyakitkan.
Ketika tangan kiriku kugerakkan untuk menggapai dan menahan tangan
yang sedang menyakiti payudaraku yang sebelah kanan ini, Dedi malah
menangkap pergelangan tangan kiriku, dan dengan kasar ia
menyentakkan tangan kiriku ke atas kepalaku.
"Oohh...", lagi lagi aku mengeluh tanpa daya, ketika Dedi menarik
tangan kananku, juga ke atas kepalaku, membuatku makin tak berdaya.
"Eliza, jangan banyak tingkah!", bentak Dedi dengan kasar, yang lalu
dengan tanpa belas kasihan ia menyatukan kedua pergelangan
tanganku di atas kepalaku.
"Aduh... Ded... tolong lepaskan tanganku... sakit nih...", aku memohon
belas kasihan Dedi sambil kembali mencoba menarik tanganku.
Tapi entah cengkeraman Dedi yang terlalu kuat, atau aku yang sudah
terlalu lemah, semua usaha yang kulakukan sia sia belaka. Aku
kembali memandang Dedi dengan penuh permohonan belas kasihan
dari dirinya.
-x-
"Jangan cerewet, Eliza! Aku ingatkan, mulai hari ini kamu itu sudah
jadi budakku! Kalau sekarang ini kamu masih berani banyak ribut, aku
akan panggil semua orang yang lewat di jalan depan sana untuk
menikmati tubuh kamu! Apa kamu ingin aku sampai harus melakukan
itu, Eliza?", bentak Dedi dengan kejam.
Berkata begitu, kurasakan penis Dedi yang tertindih di bawah
punggungku berdenyut denyut, rupanya ia terangsang juga melihat
keadaan ini, keadaan dimana aku tak punya pilihan lain selain harus
menuruti segala keinginannya.
Aku mulai mengutuki diriku sendiri dalam hatiku, mengapa di sekolah
tadi aku harus mengintip persetubuhan Vera dengan Dedi ini dan
temannya yang bernama Pandu itu?
Kini aku yakin kalau nasibku kelak akan semakin buruk saja. Dedi
sudah dua kali berkata padaku bahwa mulai hari ini aku ini sudah jadi
budaknya. Entah aku akan diapakan lagi oleh teman sekolahku yang
bejat ini, yang pasti hari ini dan juga Sabtu nanti itu bukanlah hari
terakhir dimana Dedi berkesempatan untuk memperkosaku.
Dan mendengar ancaman yang sangat mengerikan itu, aku tahu kalau
sebaiknya aku pasrah menerima semua ini tanpa melakukan
perlawanan.
Lalu Dedi memanggil salah satu tukang becak yang lain, "Parlan,
pegang tangan amoy ini!"
"Siap bos!", kata tukang becak yang dipanggil Parlan itu, lalu ia
mendekati kami dan membantu Dedi memegangi kedua pergelangan
tanganku.
Entah bagaimana Dedi bisa mengenal nama tukang becak itu.
"Tangan amoy ini ternyata harus diikat, supaya yang punya bisa
diam!", gerutu Dedi sambil mulai melingkarkan tali rafia ke kedua
pergelangan tanganku yang sudah disatukan ini.
Ingin aku memohon supaya tanganku jangan diikat dalam posisi
seperti ini, tapi aku takut Dedi makin marah dan malah menghukumku
dengan hal hal ataupun perintah yang aneh aneh, atau yang lebih
mengkhawatirkan lagi, Dedi malah akan makin menyakitiku.
Maka aku terpaksa pasrah saja, membiarkan kedua tanganku
diposisikan sedemikian rupa untuk diikat oleh Dedi. Toh kalaupun aku
meronta, aku tak mungkin bisa berbuat banyak. Apalah arti tenagaku
dibanding Bang Parlan ini?
Dengan mudah Dedi mengikat kedua pergelangan tanganku menjadi
satu dengan menggunakan tali rafia. Ikatan itu kencang sekali, dan
cukup menyakiti kedua pergelangan tanganku, dan aku menggigit
bibirku menahan sakit.
Tapi aku sudah tak berani memohon apapun pada Dedi, daripada
nantinya hal itu membuat Dedi yang sekarang sudah sibuk memainkan
rambutku ini malah mendapat ide yang aneh aneh dan membuatku
lebih menderita lagi.
Kini dengan kedua tangan dan kakiku yang sudah tak bisa kugerakkan
dengan bebas, aku semakin tak berdaya dan hanya bisa pasrah
membiarkan tukang becak yang di sebelah kananku ini terus menyakiti
payudaraku yang sebelah kanan.
Malahan kini penderitaanku makin bertambah, karena payudaraku yang
sebelah kiri juga mendapatkan remasan yang amat kasar dari Parlan, si
tukang becak yang tadi baru saja membantu Dedi mengikat kedua
pergelangan tanganku.
Aku terus menggeliat menahan sakit, dan tiap aku menggeliat, aku
merasakan seolah olah penis pak Jamil yang menancap begitu dalam
bak paku itu mengait bagian bawah tubuhku, menahan dan memaku
tubuhku dari bawah supaya aku tak bisa ke mana mana lagi, karena
jika aku terlalu menggeliat, penis itu bergeser dari posisinya sekarang,
dan urat urat penis itu serasa mengorek ngorek liang vaginaku.
"Oh... sempitnya memekmu... amoy yang cantik...", racau pak Jamil.
Rupanya gerakanku ketika menggeliat tadi membuat otot liang
vaginaku mungkin seperti meremas penisnya dan memberikan
rangsangan pada penis pak Jamil yang sejak tadi terus berdenyut.
Tiba tiba pak Jamil mulai menggerakkan tubuhnya, membuatku takut ia
akan menyakitiku.
Dengan sekali sentak, Pak Jamil menghunjamkan seluruh penisnya ke
dalam liang vaginaku. Ia terlihat begitu bernafsu saat melakukan hal
itu.
"Angghkk...", aku merintih keenakan.
Berikutnya, gerakan maju mundur yang dilakukan pak Jamil kembali
membuat liang vaginaku membasah, rasanya begitu nikmat.
Entah apakah karena nikmat yang diberikan oleh tukang tambal ban ini
ketika memompa liang vaginaku ini jauh melebihi rasa sakit yang
mendera kedua payudaraku sekarang ini, yang jelas kini yang paling
kurasakan adalah rasa ngilu yang bercampur nikmat yang amat sangat
ketika liang vaginaku dipenuhi penis pak Jamil.
Aku hampir tak tahan merasakan nikmatnya ketika penis itu ditarik
keluar oleh pemiliknya sampai tinggal kepala penisnya di dalam liang
vaginaku. Dan entah karena apa, tiba tiba rasa sakit pada kedua
payudaraku ini malah membuatku terangsang hebat, apalagi kini aku
merasakan sensasi yang amat menggariahkan menyadari diriku sudah
dalam keadaan tak berdaya.
Aku merasa seolah olah menjadi tawanan mereka, tawanan yang boleh
mereka perlakukan sesuka hati untuk memuaskan nafsu seks mereka.
Dan gilanya, membayangkan hal ini diam diam malah membuatku
makin bergairah.
"Ngghh... aduuuh...", aku melenguh sejadi jadinya ketika pak Jamil
makin mempercepat gerakannya, hingga liang vaginaku terasa begitu
ngilu dan serasa akan meledak saja karena dipompa sejak tadi.
Aku tahu sebentar lagi aku pasti akan orgasme.
Ketika aku sekilas melihat keadaan pak Jamil, menurutku tukang
tambal ban itu juga sudah tak karuan keadaannya. Ia menggenjot
tubuhku sambil menggeram, kurasakan tubuhnya bergetar saat ia
memandangiku dengan penuh nafsu, seakan ingin menelan diriku bulat
bulat.
Tapi aku tak bisa berlama lama memperhatikannya, aku sendiri juga
sedang dilanda kenikmatan yang amat sangat, dan tubuhku harus terus
mengejang keenakan menerima semua ini.
"Ngghhh... ngghhh... aduuuuh...", aku kembali melenguh sejadi jadinya
saat orgasme yang hebat seakan meluluh lantakkan tubuhku.
Tubuhku menggeliat hebat dan kurasakan penis pak Jamil menancap
sedalam dalamnya pada liang vaginaku sampai serasa menyodok
dinding rahimku, saat tubuhku mengejang hebat hingga terlonjak
lonjak dan pinggangku terangkat angkat.
Hal ini rupanya membuat pak Jamil sudah tak mampu bertahan lagi, ia
menggeram, tubuhnya yang memeluk paha kiriku ini bergetar hebat.
Kurasakan beberapa kali penis pak Jamil berkedut di dalam liang
vaginaku, dan kemudian semburan cairan sperma dari penis pak Jamil
membuat liang vaginaku yang sudah basah oleh cairan cintaku sendiri
ini semakin basah, rasanya hangat sekali.
Pak Jamil beberapa kali menyodokkan penisnya sambil melolong dan
menggeram, lalu ia ambruk di atas tubuhku dengan masih memeluk
pahaku.
Akibatnya pahaku tertekuk ke arah pembaringan dimana aku sedang
terbaring pasrah untuk diperkosa ini.
Hangatnya cairan sperma itu benar benar menambah kenikmatan yang
melanda liang vaginaku, dan orgasmeku yang belum juga mereda
membuat sekujur tubuhku mengejang ngejang keenakan, beberapa kali
tubuhku tersentak sentak, tapi gerakan tubuhku teredam karena kini
pak Jamil sedang menindihku.
Juga seandainya kedua betisku bisa bergerak bebas, pasti kini
keduanya sedang melejang lejang tak karuan, tapi saat ini kaki
kananku tak bisa terlalu bergerak bebas karena pergelangan kaki
kananku yang terikat pada kaitan di jendela gubuk ini. Sedangkan
dengan keadaan dimana paha kiriku tertekuk ke atas hingga hampir
sejajar dengan tubuhku, otomatis betisku tak bisa terlalu banyak
bergerak juga.
Gerakan tubuhku yang tertahan dengan cara seperti ini, bukannya
membuat orgasmeku mereda. Orgasme ini malah semakin menjadi jadi,
dan liang vaginaku semakin ngilu saja dan juga otot perut bawahku
sampai kram ketika tubuhku terus mengejang.
"Ngghhh... aaanggghkk", aku melenguh panjang di sela mengejangnya
tubuhku.
Aku benar benar menikmati orgasmeku yang seakan tak ada habisnya
ini.
Tapi lenguhanku tiba tiba tersumbat ketika pak Jamil dengan kasar
memegangi kepalaku dengan kedua tangannya, lalu dengan buas ia
menyergap dan melumat bibirku.
"Mmpphhh... mmmhhh....", aku hendak protes, tapi aku hanya bisa
merintih tak jelas seperti ini.
Bau mulut pak Jamil benar benar membuatku mual, dan hal ini sedikit
menyiksaku. Untungnya tak lama kemudian aku mulai bisa beradaptasi
menerima semua ini.
Setelah kira kira hampir setengah menit, akhirnya orgasme yang
melandaku itu reda juga. Kurasakan penis pak Jamil masih berdenyut
denyut di dalam liang vaginaku. Tulang tulang di tubuhku serasa
dilolosi dari semua persendiannya, membuatku hanya bisa terbaring
pasrah dan lemas.
Setelah pak Jamil puas melumat bibirku dan melepaskan pagutannya,
aku segera mengambil nafas sebisaku. Kini nafasku tersengal sengal
dan dadaku rasanya sedikit sesak karena tubuhku masih ditindih oleh
tukang tambal ban ini.
Denyutan penis pak Jamil makin lama makin lemah, lalu pemiliknya
menarik penisnya keluar dari jepitan liang vaginaku. Ia melangkah
mundur dengan gontai, dan terduduk lemas di pojok ruangan gubuk
ini, sambil menyalakan sebatang rokok.
Nafasnya masih memburu ketika pak Jamil berkata, "Memek amoy ini
benar benar sempit. Rasanya kontol ini seperti dipijat pijat di dalam
memeknya. Nggak kalah sama perawan lah! Kalian semua pasti puas
bermain dengan amoy SMA yang cantik ini!"
Entah aku harus orgasme berapa kali lagi nanti, tapi sekarang ini aku
berusaha mengistirahatkan tubuhku yang masih gemetar karena
orgasme. Percuma kan memikirkan penderitaan yang pasti harus
kujalani ini?
Tentu saja aku tak merasa tersanjung sama sekali dengan segala
pujian cabul yang baru saja dilontarkan oleh tukang tambal ban yang
baru saja selesai menikmati tubuhku ini. Aku sudah jadi tawanan
mereka saat ini, tak usah dipromosikan segala, toh mereka semua juga
akan menggilirku.
Tukang becak yang tadi meremasi payudaraku yang sebelah kanan,
kini mengambil gilirannya untuk menikmati liang vaginaku.
Dengan santai ia melepas ikatan pergelangan kaki kananku pada kaitan
di jendela tadi, lalu ia mendudukkan tubuhku, dan mendorongku ke
pelukan Dedi yang langsung meremasi kedua payudaraku dari
belakang.
"Oooh...", aku merintih antara kesakitan dan keenakan.
Sempat kupejamkan mataku sesaat, dan ketika aku kembali membuka
mataku, kulihat tukang becak itu sudah berbaring di hadapanku,
dengan penisnya yang berdiri tegak.
Aku sempat memperhatikan, penis itu cukup besar dan panjang,
mungkin berukuran sekitar 15 cm. diameternya tak terlalu tebal seperti
punya pak Jamil ataupun satpam sekolahku, mungkin sekitar 3,5 cm
sampai 4 cm.
Ukuran penis seperti itu adalah ukuran penis favoritku, karena rasa
sakit kuterima nanti tak akan begitu menyiksaku saat liang vaginaku
harus menelan penis itu.
Kedua lututnya sedikit ditekuk ke atas, dan aku sudah tahu apa
keinginan dari tukang becak ini.
"Duduk di sini, amoy sayang", kata tukang becak itu dengan lagak
yang menjemukan.
Aku menurut saja, dan melepaskan diriku dari pelukan Dedi yang
memang sudah melepaskan pelukannya. Lalu aku berjongkok dan
menurunkan tubuhku hingga kurasakan kepala penis tukang becak itu
bersentuhan dengan bibir liang vaginaku.
Kedua tanganku yang terikat menjadi satu di bagian pergelangan
tangan ini diangkat ke atas oleh Dedi. Ketika aku melihat ke atas, aku
mendapati Dedi sedang menyambungkan seutas tali rafia pada ikatan
yang mengikat kedua pergelangan tanganku ini, lalu melewatkan tali
itu ke atas kuda kuda kuda kuda gubuk ini yang memang tak terlalu
tinggi.
Kemudian Dedi menarik tali itu ke bawah hingga kedua tanganku kini
tergantung ke atas dan agak ke belakang. Ia mengikat tali itu pada
kaitan di dinding gubuk ini, hingga aku tak bisa menurunkan kedua
tanganku.
Aku sama sekali tak protes, malahan aku merasa saat ini aku pasti
terlihat begitu sexy.
Aku membayangkan keadaan diriku, seorang amoy yang menjadi
tawanan beberapa orang kasar yang beruntung ini, sedang terikat
pasrah tak berdaya dengan pose yang amat sexy, tersaji polos siap
untuk dinikmati sepuas puasnya oleh mereka.
Membayangkan keadaanku yang seperti ini, gairahku malah makin
menjadi jadi, aku benar benar sedang dalam keadaan terangsang hebat
saat ini.
"Shhh... anggkkhh...", aku mendesis dan melenguh panjang ketika tiba
tiba tukang becak itu memegang kedua pinggulku, dan menarik
tubuhku ke bawah.
Akibatnya, penis tukang becak itu langsung amblas sepenuhnya ke
dalam liang vaginaku, hingga walaupun penis ini bukanlah penis yang
berukuran raksasa, proses penetrasi yang begitu mendadak ini tetap
saja menyakitiku.
Begitu sakitnya, punggungku sampai melengkung ke belakang dan
menempel pada kedua paha tukang becak ini ketika aku menggeliat
hebat akibat perbuatan pemerkosaku ini.
Tapi tubuhku juga dilanda sensasi kenikmatan yang luar biasa, aku
merasa seolah olah tubuhku sedang jatuh ke bawah, dan liang
vaginaku tertancap pada sebuah paku kayu yang panjang, yang
menahan tubuhku, dan dengan kedua tanganku yang terikat dan
tergantung di atas kepalaku, serta liang vaginaku yang seperti terpaku
dari bawah seperti ini, aku sudah tak bisa ke mana mana lagi.
Untuk sesaat aku harus menggeliat antara kesakitan dan keenakan.
Bahkan aku sampai kehilangan keseimbanganku, tapi untungnya aku
tak sampai roboh karena kedua tanganku yang tergantung ke atas ini
menahan tubuhku.
Kembali kudengar sorakan mereka, beberapa dari mereka bahkan
menirukan lenguhanku. Aku sangat malu karena aku menyadari tadi itu
aku terlihat begitu menikmati penetrasi penis dari tukang becak yang
sedang tertawa puas di bawahku sekarang ini.
Tapi aku tak bisa menahan diri untuk tidak melenguh ataupun tidak
menggeliat, tubuhku terlalu jujur mengekspresikan rasa nikmat yang
amat sangat saat penis itu membelah dan menusuk memenuhi liang
vaginaku.
Maka aku berusaha untuk tak memperdulikan sorakan dan ejekan
mereka. Bagiku sudah tak ada yang perlu kupikirkan lagi kalau aku
terlihat begitu menikmati perkosaan ini, toh sejak tadi aku sudah
beberapa kali mempermalukan diriku sendiri, entah dengan melenguh
dan menggeliat keenakan, bahkan sampai sampai aku tanpa sadar
mencari kenikmatanku sendiri ketika tadi pak Jamil sempat
mempermainkanku, persis seperti apa yang dilakukan oleh pak Basyir
di vila keluargaku beberapa waktu yang lalu.
Lagipula menurutku hal ini lebih baik daripada aku harus terjebak
dalam perasaan menderita karena aku bersikeras tak rela diperkosa.
Aku berpikir kalau hal itu tak ada gunanya sama sekali, malah hanya
akan membuat hatiku sakit dan merasa terhina saja. Maka aku
memutuskan untuk menikmati perkosaan ini sepuas puasnya.
Selain itu, adalah bukan kali pertama aku harus pasrah diperkosa ramai
ramai seperti sekarang ini, dan hari Sabtu nanti bertambah lagi tuan
yang menjadikan aku budak seks dari mereka. Entah apakah memang
sudah takdirku, entah apakah aku harus membiasakan diri dengan
semua ini.
"Non... ayo goyang, kok malah melamun?", goda tukang becak yang
sedang menikmati liang vaginaku ini.
Aku tersadar dari lamunanku. Tanpa protes sedikitpun, aku menuruti
permintaannya, dan mulai meliuk liukkan tubuhku hingga pinggulku
terangkat angkat, mungkin sekarang ini otot liang vaginaku seperti
sedang mengurut penis dari tukang becak ini, membuatnya mulai
menggeram dan melenguh keenakan menikmati jepitan otot liang
vaginaku.
Dan aku sendiri merasa seolah olah penis tegak di bawahku ini
memompa dan mengorek ngorek liang vaginaku. Kini kami berdua
merintih dan melenguh pendek, bersahut sahutan.
Selagi aku mengendarai penis tukang becak ini, tiba tiba kurasakan
kedua payudaraku diremas lembut dari belakang, yang aku tahu ini
pasti perbuatan Dedi. Ia menyibakkan rambutku ke kiri, kemudian
kurasakan nafasnya yang hangat itu menerpa kulit leherku bagian
belakang.
Dengan bernafsu Dedi mencium dan mencumbui bagian belakang
leherku, lalu cumbuan itu berpindah ke bagian kanan atas leherku
yang sebagian tertutup lengan kananku yang tergantung ini. Dedi
bahkan melanjutkan cumbuannya pada telinga kananku.
Aku menggelinjang dan mendesah nikmat. Otot leherku serasa
mengejang karenanya.
Aku benar benar larut menikmati cumbuan Dedi.
Sambil mendesah aku terus menggoyangkan bagian bawah tubuhku
untuk mengendarai penis tukang becak ini.
Sesekali kurasakan pemerkosaku ini menyambut liang vaginaku dengan
menyentakkan pinggulnya ke atas tepat saat aku menurunkan tubuhku
ke bawah, hingga penisnya itu terasa semakin dalam saja menancap
pada liang vaginaku.
-x-
"Angghh...", aku melenguh ketika kurasakan cumbuan Dedi pada
leherku di bagian depan.
Aku sampai terdongak karena tak kuasa menahan nikmat, tapi kepalaku
tertahan oleh kedua tanganku yang masih tergantung di atas kepalaku
ini.
Akibatnya badanku sampai melengkung ke depan ketika aku
menggeliat, dan aku semakin tenggelam dalam kenikmatan ketika
kurasakan kedua payudaraku diremas remas oleh tukang becak yang
masih asyik menyodok liang vaginaku dari bawah ini.
"Shhh... oooh...", aku mendesis keenakan, dan tubuhku makin
berkelojotan.
Apalagi kemudian kurasakan kedua paha dan betisku diraba raba. Di
tengah rangsangan yang bertubi tubi pada sekujur tubuhku ini, aku
mencoba melihat siapa kiranya yang meraba raba kedua paha dan
betisku, dan ternyata entah sejak kapan, di samping kanan dan kiriku
sudah ada dua orang tukang becak yang duduk bersila sambil terus
asyik meraba raba kedua paha dan betisku.
Diperlakukan seperti ini, aku sudah tak tahan lagi. Tubuhku terus
berkelojotan saat liang vaginaku terus dipompa dari bawah, cumbuan
yang tak ada habisnya pada leherku serta remasan dan rabaan pada
kedua payudaraku dan kedua paha dan betisku, aku benar benar
terangsang hebat, dan aku tahu kalau aku sudah berada di ambang
orgasmeku yang kali kedua saat ini.
"Ngghh... aangghkk...", aku melenguh sejadi jadinya, orgasme yang
amat hebat melandaku, membuat aku berada dalam keadaan setengah
sadar setelah mataku sempat terbeliak sesaat.
Semua rangsangan itu masih kurasakan, tak sedikitpun mereda.
Demikian juga orgasmeku, tubuhku terus mengejang dan tersentak
sentak susul menyusul sejak tadi, mungkin sudah hampir satu menit
aku tersiksa dalam kenikmatan ini.
"Oooh... Deed...", aku merintih keenakan dan mengerang menyebut
namanya ketika Dedi tiba tiba menjilat bagian depan leherku, sampai
ke daguku.
Tubuhku sampai bergetar hebat karena perbuatan Dedi ini, dan
seandainya kedua tanganku tidak sedang terikat ke atas seperti ini,
aku pasti sudah roboh karena saat ini aku sudah sangat lemas, pasrah
dan menyerahkan diriku sepenuhnya untuk diperlakukan sesuka hati
oleh Dedi dan yang lain ini.
"Emmphh...", tepat ketika aku akan merintih lagi, Dedi sudah memagut
bibirku.
Kurasakan pagutan itu begitu mesra. Rintihanku tertahan, dan
perasaanku yang sudah tersengat ini membuatku langsung menyerah
tanpa perlawanan. Kubiarkan Dedi memagut dan mengulum bibirku,
bahkan ketika lidah Dedi menjilat bibirku yang sedang berada dalam
kulumannya, kubuka mulutku sedikit, dan kubiarkan lidah itu
menerobos masuk ke dalam mulutku, mencari cari lidahku.
Ketika ujung lidah Dedi akhirnya mendapatkan lidahku, mendesak dan
menjilati lidahku, aku semakin tak bisa berpikir lagi. Dengan penuh
gairah aku langsung balas mendesak lidah Dedi hingga lidah kami
saling beradu, saling menjilati dan saling mendesak, bahkan sesekali
lidah kami berdua saling mengait dan bertautan.
Aku benar benar larut dalam ciuman yang sangat mesra ini, ciuman
yang seharusnya hanya dilakukan oleh sepasang kekasih.
Kami saling bertukar air ludah. Saat Dedi dengan bernafsu melesakkan
lidahnya ke dalam mulutku hingga kepalaku terdorong ke belakang dan
sedikit terdongak, air ludah Dedi masuk membanjir ke dalam mulutku
ini.
Aku menelan semuanya supaya aku tak sampai tersedak. Entah
kenapa, hal ini malah makin menambah gairahku saja. Akku malah
menjadi makin ingin digagahi habis habisan oleh Dedi, juga oleh yang
lainnya.
Demikian juga kalau Dedi mengendurkan tekanannya pada kepalaku,
otomatis lenganku mendorong kepalaku ke depan hingga aku agak
tertunduk. Saat itu aku merasa air ludahku juga membanjir keluar, dan
kudengar Dedi meneguk air ludahku, sambil ia menatapku dengan
mesra sekali, membuatku makin larut dalam ciuman yang begitu
menyengat perasaanku ini.
Aku sendiri harus terus merintih dan melenguh tak jelas, karena selagi
aku berpagut mesra dengan Dedi, liang vaginaku yang masih sangat
ngilu karena orgasmeku belum juga reda ini terus dipompa dari bawah
dengan gencar.
Aku memejamkan mata menikmati semua siksaan kenikmatan birahi
yang melandaku ini.
Dan seakan hendak menambah penderitaanku yang makin tenggelam
dalam kenikmatan ini, kurasakan remasan pada kedua payudaraku ini
berganti tangan, juga gaya.
Sekarang ini, walaupun kurasakan remasan ini dilakukan dengan
lembut, tapi setiap puncak remasan yang kuterima pada kedua
payudaraku ini cukup menyakiti kedua payudaraku, walaupun nikmat
yang kudapat dari setiap remasan ini juga terus membuatku merintih
keenakan.
Sementara itu kini kurasakan bukan hanya kedua paha dan betisku
saja yang diraba raba oleh mereka. Kedua lenganku yang sedang
tergantung pasrah di atas kepalaku ini juga mendapat rabaan demi
rabaan yang membuatku makin menggelinjang kegelian.
Aku mencoba membuka mataku untuk melihat apa yang terjadi pada
diriku. Ternyata sekarang ini aku sedang dikerubuti oleh enam orang
sekaligus, dimana aku harus berjongkok dan membiarkan liang
vaginaku dipompa dari bawah oleh tukang becak yang mendapat
giliran menikmati liang vaginaku sekarang ini.
Sedangkan dua tukang becak yang lain duduk bersila di samping
kanan dan kiriku, masih asyik meraba kedua paha dan betisku.
Ditambah lagi, dua tukang becak yang lain yang tadinya hanya
menonton, entah sejak kapan, mereka kini sudah berdiri di samping
kanan dan kiriku.
Dan mereka berdua asyik memberikan remasan pada kedua payudaraku
dan mereka juga meraba raba kedua lenganku yang masih tergantung
pasrah di atas kepalaku ini. Jantungku makin berdegup kencang,
menyadari nantinya ini aku harus melayani mereka semua sampai
mereka puas.
"Ngghh...", aku melenguh sejadi jadinya ketika Dedi melepaskan
pagutannya pada bibirku.
Gairahku makin menggelegak karena rangsangan demi rangsangan
yang harus kuterima pada sekujur tubuhku ini.
Tanpa ampun, aku harus menyerah dilanda orgasme lagi, padahal
orgasmeku yang tadi itu belum reda sepenuhnya.
Setelah beberapa lama melenguh, aku mendesah lemah karena
kehabisan nafas, tubuhku yang dikerubuti enam orang ini
menggelinjang dan berkelojotan saat aku mendapatkan kenikmatan
yang luar biasa ini.
Gerakan tubuhku yang tertahan baik oleh ikatan pada kedua
pergelangan tanganku yang tergantung ini, juga gerakan pinggulku
yang tertahan karena liang vaginaku yang masih terpaku oleh sebatang
penis, ditambah rangsangan berupa rabaan maupun remasan yang
bertubi tubi ini, membuat orgasme yang yang melandaku ini makin
hebat.
Liang vaginaku terus berdenyut seakan hendak meledak.
Mereka berenam ini benar benar membuatku melayang dalam
kenikmatan yang amat sangat. Tapi kini aku benar benar lemas.
Memang dulu aku pernah diperkosa ramai ramai, seperti waktu pertama
kalinya aku harus kehilangan keperawananku dulu.
Waktu itu aku memang bahkan sudah harus melayani enam orang
sekaligus, tapi mereka melakukan dengan lembut. Lagipula aku tiduran
di ranjang UKS, tubuhku pun bebas bergerak.
Aku teringat ketika aku harus melayani lima orang buruh di rumah
Jenny, aku tak sampai selemas ini. Bahkan waktu aku harus pasrah
diperkosa selusin anak SMA yang masih sebaya denganku, aku tak
sampai mengalami hal seperti sekarang ini, karena cara mereka waktu
bermain denganku itu masih sangat amatiran.
Hanya saja jumlah mereka amat banyak hingga mau tidak mau di akhir
acara perkosaan terhadap diriku waktu itu, dan aku teringat kalau aku
sampai harus mengistirahatkan tubuhku karena liang vaginaku rasanya
sakit kalau aku mencoba berjalan.
Tapi sekali ini aku benar benar lemas, padahal aku baru melayani
pemerkosaku yang kedua, yang masih belum orgasme juga ini.
Dan ini masih ada lima orang lagi yang menunggu giliran untuk
menikmati tubuhku.
Memikirkan hal ini saja, aku kembali orgasme. Aku menggigit bibir dan
memejamkan mataku, menikmati ledakan demi ledakan kenikmatan
dalam tubuhku ini. Liang vaginaku benar benar terasa ngilu, sampai
akhirnya aku tak kuat lagi. Rasanya tubuku seperti sedang diperas
tenaganya, dan aku terkulai lemas...
"Oohh...", aku mengeluh perlahan saat kesadaranku mulai pulih, dan
aku mendengar suara geraman. Bersamaan dengan itu kurasakan
semburan cairan hangat di dalam liang vaginaku yang terasa ngilu
sekali ini.
Aku membuka mataku ketika aku menyadari kalau tubuhku terguncang
guncang. Ternyata tukang becak yang ada di bawahku ini sedang
mencapai orgasmenya.
Di sela sela geramannya, tubuhnya terus berkelojotan dan tersentak
sentak, membuat aku serasa sedang mengendarai kuda saja. Otomatis
tubuhku ini ikut berguncang mengikuti sentakan dari tubuh tukang
becak ini.
Kurasakan liang vaginaku ini makin basah saja, dan penis tukang
becak ini masih berkedut, membuatku sesaat menggigit bibir karena
aku kembali merasa sangat terangsang, memikirkan bahwa ternyata
saat aku pingsan tadi tubuhku terus dipompa olehnya.
Setelah aku bisa mengontrol diriku dan kesadaranku sudah pulih
sepenuhnya, aku mencoba mengerti keadaanku, yang ternyata masih
tetap seperti sebelum aku pingsan tadi. Aku duduk berjongkok dengan
liang vaginaku yang tertusuk oleh penis tukang becak yang mulai
sedikit lunak, mungkin karena tadi penis itu baru berejakulasi.
Walaupun begitu tetap saja aku merasa kalau tubuhku seolah dipaku
dari bawah, menahan gerakan pinggulku.
Kedua tanganku juga masih tergantung dan terikat di atas kepalaku.
Yang berbeda hanyalah empat tukang becak yang lain itu kini duduk
secara sembarangan di sudut sudut pembaringan tempat aku diperkosa
ini. Mungkin mereka memberikan ruang bernafas bagiku setelah
melihatku pingsan tadi.
Sedangkan Pak Jamil, yang mendapat giliran pertama memperkosaku
tadi, sudah tak terlihat. Mungkin ia menjaga kiosnya, supaya tak ada
yang curiga di gubuknya sedang terjadi pemerkosaan yang brutal ini.
Dan aku baru menyadari, ada yang sedang membelai memainkan
rambutku di belakang. Aku menoleh untuk melihat siapa pelakunya,
walaupun aku sudah bisa menebak ini pasti perbuatan Dedi.
Dan memang aku melihat Dedi, yang sekarang sedang menciumi setiap
centi dari rambutku yang panjang ini, sesekali ia menghirup bau
rambutku sambil memejamkan matanya, terlihat sekali Dedi sangat
menikmati harumnya bau rambutku ini.
Aku tersenyum kecil dan membiarkan Dedi berbuat sesuka hatinya
terhadap rambutku. Lagipula aku memang merasa senang ketika
melihat Dedi mengelus dan menciumi rambutku. Entah apa yang ia
suka dari rambutku ini, dan juga para pemerkosaku yang sebelum
sebelumnya.
Rasanya aneh, tapi aku teringat memang selalu ada perasaan heran
bercampur senang dalam diriku ketika beberapa lelaki yang
memperkosaku menunjukkan kalau mereka itu suka sekali menyentuh,
membelai dan memainkan rambutku.
Bahkan mereka suka mencium dan menghirup bau rambutku, hal itu
mungkin karena rambutku yang lurus dan panjang sampai setengah
lengan atasku ini, halus dan selalu berbau harumnya shampoo.
Memang sejak kecil aku sudah dibiasakan untuk rutin keramas tiap dua
hari sekali.
Dan sejak aku jatuh ke tangan para pemerkosaku di UKS waktu itu,
selanjutnya hampir tiap hari aku harus mengalami pemerkosaan demi
perkosaan. Dan di setiap perkosaan itu tentunya aku harus
berkeringat, yang membuat aku merasa rambutku tak nyaman dan
lembab. Karena itulah hampir tiap hari aku harus mandi keramas,
hingga rambutku pasti selalu berbau harumnya shampoo.
Dedi memeluk tubuhku dari belakang, menyadarkanku dari lamunanku.
Ia masih menciumi rambutku, dan mulai meraba kedua payudaraku.
Dari meraba, Dedi lalu meremas kedua payudaraku dengan lembut,
membuatku kembali terangsang dalam perasaan yang nyaman dan
enak.
"Sshh...", aku memejamkan mata dan mendesis pelan.
"Oh... si cantik ini sudah bangun akhirnya", goda Dedi, membuatku
tersipu malu.
Senang juga aku disebut Dedi si cantik. Apalagi kemudian ia mencium
bibirku dengan lembut, dan aku tak malu malu lagi, membalas ciuman
Dedi.
Sesaat kemudian Dedi mengalihkan ciumannya ke pipiku, dan
kemudian dengan nakalnya Dedi mengulum telingaku yang kanan.
"Ohh... Deed...", karena tak kuat menahan geli, aku menggeliat lemah
sambil mengeluh manja. Dan selagi aku mengeliat kegelian, tiba tiba
Dedi melepas kulumannya pada telingaku ini.
"Kenapa Eliza? Enak ya?", ia berbisik di telingaku yang pasti amat
basah oleh air ludahnya itu.
Aku mengangguk lemah dan tersenyum malu sekali.
Melihat Dedi yang mulai berlaku lembut pada diriku, dengan
memberikan ciuman ciuman lembut pada kedua payudaraku, maka aku
memberanikan diri untuk merengek padanya.
"Ded... lepasin tanganku dong... pegal nih", kataku pelan.
Dedi menatapku sesaat, tapi kemudian ia tersenyum lalu melangkah
dan berdiri di hadapanku, otomatis penisnya yang tegak mengacung
itu kini ada di hadapanku.
Dan entah setan apa yang merasuk dalam diriku, atau aku yang
memang sudah begitu larut menikmati perkosaan ini, tanpa bisa
kutahan, tubuhku bergerak sendiri di luar kendaliku seolah ada yang
memerintahkanku untuk mengulum penis milik Dedi ini!
"Ohh... Eliza...", erang Dedi ketika aku sudah mengulum penisnya.
Aku sendiri merasakan jantungku berdegup dengan sangat kencang.
Aku baru saja memberikan servis oral pada Dedi tanpa dimintanya, dan
aku tahu sebentar lagi aku pasti akan menerima entah ejekan ataupun
hinaan. Tapi aku tak perduli lagi, toh penis ini sudah terlanjur berada
dalam mulutku.
Aku mulai memutar lidahku menjilati seluruh lingkar penis itu. Setelah
aku puas melihat pemiliknya berkelojotan saat aku mencuci penisnya
dengan air ludahku, aku menjepitkan bibirku pada batang penis itu
dengan cukup kuat, lalu kudorongkan kepalaku hingga akhirnya
bibirku mencapai pangkal penis Dedi.
Dedi melenguh keenakan, mungkin karena ia merasa batang penisnya
yang tadinya seolah sedang diurut oleh jepitan bibirku, kini kepala
penisnya terjepit erat dalam tenggorokanku.
Apalagi ketika aku mencoba menelan kepala penis itu, Dedi melolong
keenakan dan berkelojotan, membuat tenggorokanku sedikit sakit
diterjang penis Dedi yang seolah ikut meronta.
"Ooohh... Elizaa...", Dedi terus mengerang keenakan.
Langsung saja kudengarkan sorakan sorakan dan komentar dari
mereka yang sedang menonton perbuatanku ini.
"Gila nih amoy... cakep cakep, hobi nyepong juga..."
"Habis pingsan, sadar sadar malah tambah ganas nih amoy..."
"Memeknya kegatelan kali..."
"Nanti kita kita juga disepong lho non..."
Ledekan demi ledekan yang kudengar dari beberapa tukang becak yang
belum mendapat giliran untuk memperkosaku, membuat kupingku
rasanya panas. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, dan aku terus
mengoral penis Dedi.
"Hei To! Gantian To!", kata salah satu tukang becak yang menunggu
gilirannya menikmati tubuhku.
Kurasakan ada yang memegangi kedua pinggulku dari belakang. Dan
selagi aku masih sibuk mengoral penis Dedi, pinggulku terus diangkat
oleh tukang becak di belakangku yang tampak sekali kalau sudah tak
sabar untuk mengambil gilirannya untuk menikmati tubuhku ini
"Mmmph...", aku merintih tertahan.
Rasanya enak sekali waktu penis tukang becak yang dipanggil Bang
To itu, perlahan tertarik lepas dari liang vaginaku.
Walaupun penis itu sudah agak loyo dan tak sekeras tadi itu, tetap
saja aku merasakan seperti ada benda yang tadinya menancap di
dalam liang vaginaku ini sekarang tertarik keluar, menggaruk dan
mengorek dinding liang vaginaku ini, dan hal ini membuatku makin
terangsang saja.
Tapi aku jadi bertanya tanya, apa ya maunya tukang becak di
belakangku ini?
"Oooh... nikmatnya memekmu, amoy cantik...", puji Bang To.
"Enak ya memeknya amoy ini To?", tanya calon pemerkosaku
berikutnya dengan antusias.
"Seret Har, seperti memek perawan saja. Tapi licin licin gimana ya...
pokoknya jaminan mutu Har!", kata Bang To mempromosikan
nikmatnya liang vaginaku pada Bang Har, sambil beringsut turun dari
sisi kiri pembaringan tempat aku jadi bulan bulanan ini.
Maka Bang Har yang mungkin sudah terbakar nafsu itu, langsung
mengangkat pinggulku ke atas.
Ketika aku merasa kedua telapak kakiku sudah tergantung, reflek
kupijakkan kedua kakiku ini pada pembaringan.
-x-
"Nah gitu non amoy... non amoy ini memang pintar, tau aja apa mau
abang. Ternyata non amoy ini pintar sekali ya kalau disuruh melayani
laki laki?", ejek Bang Har yang sedang memegangi pinggulku ini.
"Asyik juga nih amoy, cantik cantik, doyan seks juga rupanya...",
sambung tukang becak yang lain lagi, entah tukang becak yang mana,
dengan nada yang sangat merendahkanku.
Aku baru menyadari kalau pose tubuhku sekarang ini memang amatlah
sexy dan menantang. Kedua tanganku yang terikat pada bagian
pergelangan ini masih tergantung ke atas, menahan tubuhku bagian
depan supaya tak jatuh ke bawah, dan aku tahu kedua payudaraku kini
pasti sedang tergantung bebas menantang, siap untuk menerima
segala rabaan maupun remasan dari para pemerkosaku.
Kedua kakiku sendiri yang sekarang ini sedang terpentang lebar,
berpijak menahan tubuhku bagian belakang. Dengan badanku yang
mendatar tertahan ikatan pada kedua tanganku yang tergantung
pasrah, pose tubuhku sekarang ini tak ubahnya seperti posisi seorang
wanita yang sedang menungging.
Maka sekarang ini aku seolah sedang menyajikan selangkanganku
kepada Bang Har berdiri di belakangku ini, dan karena itu lagi lagi aku
menerima ejekan karena aku kembali mempermalukan diriku sendiri.
Tapi gilanya, aku sudah tak memperdulikan ejekan ataupun hinaan dari
mereka lagi, malahan aku masih terus saja memberikan servis oral
pada Dedi, yang kini mulai membelai dan meremasi rambutku.
Bahkan untuk sesaat aku menjadi sangat terangsang, karena aku
membayangkan pose tubuhku saat ini pastilah sexy sekali.
Aku tahu sekarang ini aku sudah terlihat amat murahan di depan
mereka. Mungkin di mata mereka aku ini sudah terlihat sebagai amoy
SMA yang haus seks.
Tapi semua ini membuat gairahku semakin bergejolak. Penis Dedi yang
ada di dalam mulutku ini kuhisap kuat kuat sampai Dedi berkelojotan
dan melolong lolong minta ampun, dan aku tak perduli dengan hal itu.
Aku terus asyik melumat penis Dedi dan kurasakan kedua pahaku
diremas oleh Bang Har yang sudah siap memperkosaku dari belakang
ini.
Dengan jantung yang berdegup tak karuan, aku menyadari kalau
sebentar lagi aku harus merelakan tubuhku untuk menampung dua
penis sekaligus, satu yang sekarang ini ada di dalam rongga mulutku,
dan satu lagi entah akan melesak ke dalam liang vaginaku, atau
anusku.
"Mmpph...", aku meronta kecil yang memang tak mungkin ada artinya,
karena aku memang tak bisa berbuat banyak dengan tubuhku yang
sudah tersaji seperti ini.
Aku mencoba berontak karena tiba tiba saja aku merasa panik. Sudah
lama sekali sejak aku terakhir harus disodomi, yaitu ketika aku jatuh
ke tangan lima orang buruh di rumah Jenny itu.
Tapi apa yang bisa kulakukan? Kedua pantatku sudah diremas dengan
kuat oleh Bang Har, dan selangkanganku seolah terkuak membuka
jalan bagi penisnya untuk menembus liang kenikmatanku.
Kini aku hanya bisa pasrah menunggu nasib, karena bagi Bang Har
yang sudah bersiap siap di belakangku ini, di depannya ada dua
pilihan liang kenikmatan dari tubuhku, yang bisa dipilihnya dengan
bebas untuk dipakai memuaskan nafsunya.
Aku terus berharap semoga yang dipilihnya adalah liang vaginaku,
karena tetap saja dari pengalamanku yang sudah sudah, pedih yang
kuterima di awal saat saat diperkosa lewat anus ini, rasanya tak
sebanding dengan nikmat yang kudapatkan.
Ketika kurasakan kepala penis Bang Har menempel di bibir vaginaku
dan mulai mendesak masuk, dengan tenang aku menikmati saat saat
terbelahnya liang vaginaku oleh penis Bang Har, yang aku tak tahu
seberapa panjangnya dan seberapa besarnya.
Sambil mencoba mengira ngira ukuran penis Bang Har, aku
meneruskan pemberian servis oral dariku kepada Dedi, yang penisnya
kurasakan makin mengeras dan terus berdenyut denyut ini.
"Aduh... Elizaa... enaknya seponganmuu...", lolong Dedi keenakan.
"Mmmpph...", aku merintih tertahan dalam kenikmatan yang amat
sangat karena kini liang vaginaku sudah dipompa dengan gencar.
"Ooooh... sempitnya memek amoy cantik ini...", racau Bang Har.
Demikianlah di dalam ruangan ini aku jadi obyek pesta seks mereka,
aku diperlakukan bagaikan budak yang harus melayani nafsu seks
mereka semua, tapi jujur saja aku sungguh menikmati semua ini.
Hentakan hentakan kasar dari Bang Har saat menggenjot tubuhku
membuatku terus merintih keenakan, apalagi penis Bang Har ini
tergolong panjang, sehingga tiap Bang Har membenamkan seluruh
penisnya, tubuhku mengejang dan menggeliat keenakan dibuatnya.
"Aaahhh...", aku merintih nikmat sambil terus menghisap dan
mengulum penis Dedi.
"Kenapa Eliza? Kamu kurang puas ya kalau cuma dikeroyok dua
orang?", goda Dedi sambil membelai rambutku.
Kali ini tak kurasakan adanya nada ejekan pada kata katanya, beda
sekali dengan sebelum sebelumnya, dimana tiap ucapan Dedi selalu
bernada sinis dan penuh ejekan terhadapku.
Belum sempat aku bereaksi, Dedi sudah berkata, "Ayo pak, dua orang...
susu amoy ini masih nganggur nih..."
Perasaanku makin tersengat saja mendengar perkataan Dedi ini.
Seharusnya aku marah mendengar perkataan Dedi yang termasuk amat
kurang ajar itu, tapi membayangkan aku akan kembali dikerubuti oleh
para tukang becak ini membuatku makin terangsang, dan dengan
gemas aku menghisap penis Dedi kuat kuat.
"Oooh Elizaaa...", erang Dedi keenakan.
Dua orang tukang becak yang tadinya duduk di sudut pembaringan di
depanku, kini sudah berdiri di samping kanan dan kiriku.
Tentu saja mereka tak hanya berdiri menganggur di sana. Kedua
payudaraku segera mendapat remasan dan rabaan yang kasar. Kedua
puting payudaraku juga jadi bahan mainan mereka berdua.
"Mmmpph...", lagi lagi aku merintih tertahan, sesekali aku menggeliat
kesakitan.
Tapi semua itu tak membuatku menghentikan servis oralku pada Dedi
yang terus mengerang keenakan. Lagipula aku senang sekali karena
Dedi terus membelai rambutku dengan lembut.
Bahkan kedua tukang becak yang sedang asyik memainkan
payudaraku, kini juga mulai menyentuh dan membelai rambutku yang
terurai jatuh ke bawah di kedua sisi leherku.
"Non amoy, rambutnya kok bisa halus gini?", celetuk tukang becak di
sebelah kiriku sambil terus membelai rambutku.
"Hmm...", sambung tukang becak di sebelah kananku yang sedang
menghirup rambutku, dan ia berkata lagi, "Wangi ya non rambutnya
non amoy ini..."
Mendapat pujian demi pujian di tengah keroyokan mereka, aku makin
merasa senang. Apalagi kemudian remasan remasan mereka pada
kedua payudaraku ini sudah tak terasa begitu menyakitkan, entah
karena mereka yang mengurangi kekuatan remasan mereka, atau
memang kedua payudaraku yang sudah mulai beradaptasi menerima
siksaan ini, yang jelas sekarang ini aku merasa nyaman sekali
menerima remasan demi remasan pada kedua payudaraku ini.
Walaupun begitu, aku mulai berpikir untuk mencoba mempercepat
selesainya pemerkosaan terhadap diriku ini. Kucoba untuk sedikit
menggerakkan pinggulku, ke samping kiri dan ke samping kanan, lalu
kucoba untuk menarik pinggulku ke depan dan kembali mendorongkan
pinggulku ke belakang.
"Oooh... huoohh... enaaak...", Bang Har di belakangku melolong lolong
karena perbuatanku tadi.
Aku sendiri bukannya sedang dalam keadaan 'di atas angin'.
Gerakanku tadi membuat aku sendiri merasa batang penis Bang Har
seolah sedang mengorek ngorek seluruh dinding liang vaginaku,
membuatku harus mengejang dan mengeliat keenakan.
Aku bahkan harus membuka jepitan bibirku pada batang penis Dedi
karena aku sudah tak tahan lagi untuk melenguh.
"Ngghhh... mmpphh...", aku sempat melenguh namun mulutku segera
tersumbat oleh penis Dedi, sementara itu seluruh tubuhku bergetar
menahan nikmat.
Tapi aku tak ingin menyerah, aku harus segera membuat Bang Har
ejakulasi. Kuteruskan gerakanku yang tadi, dan aku berjuang untuk
tidak melenguh agar aku bisa kembali mengoral penis Dedi.
Teman sekolahku ini juga harus segera kubuat ejakulasi secepat
mungkin, sebab masih ada tiga tukang becak yang menunggu antrian
untuk menikmati tubuhku.
Bahkan dua dari mereka sedang asyik meremasi kedua payudaraku ini
adalah calon penikmat tubuhku.
Beberapa saat kemudian setelah aku yang malah terangsang hebat,
aku baru menyadari, satu lawan empat seperti ini, bisa dipastikan aku
yang akan mendapat orgasme terlebih dahulu sebelum Bang Har
ataupun Dedi yang hanya mendapat rangsangan pada penis mereka
Sedangkan aku selain dipompa oleh Bang Har, aku juga merasakan
sensasi tersendiri saat aku mengulum penis Dedi, juga ditambah
dengan remasan remasan pada kedua payudaraku.
Sekuat apapun aku berusaha bertahan, akhirnya mereka berempat
berhasil menaklukanku lagi. Aku kembali dilanda orgasme yang tak
terperikan nikmatnya.
"Nggghh... ngghhh...", aku melenguh sejadi jadinya, karena seluruh
tubuhku seperti tersengat listrik.
Tubuhku tersentak sentak saat aku melepaskan semua ledakan
kenikmatan ini, dan aku kini sudah lemas sekali. Seluruh tulangku
rasanya terlepas dari persendiannya, dan aku bahkan sudah hampir tak
punya tenaga untuk memijakkan kakiku. Kedua kakiku, seperti sekujur
tubuhku, gemetar lemas, tak kuasa menahan segala kenikmatan yang
melanda ini.
Kini tak ada yang bisa kulakukan, selain pasrah menunggu Bang Har
orgasme.
Aku sudah tak mampu menggerakkan pinggulku, bahkan aku sudah
terlalu lelah untuk menggerakkan kepalaku seperti tadi saat
memberikan servis oral pada Dedi.
Ingin aku memohon kepada Dedi dan yang lainnya ini untuk
diperbolehkan istirahat sebentar, tapi kuurungkan niatku karena aku
berpikir tidak mungkin mereka mau menunda kesempatan menikmati
amoy SMA seperti diriku ini.
"Aaah... aaanggkhh...", aku melenguh keras sekali dan mataku terbeliak
ketika tiba tiba kurasakan kedua pahaku dipegang dan diangkat oleh
Bang Har, hingga kini aku melayang di atas pembaringan ini dengan
kaki terpentang dan liang vaginaku masih dalam keadaan tertancap
batang penis Bang Har.
"Wow... bener bener seksi nih amoy", entah siapa yang berkomentar,
karena lagi lagi aku sudah dalam keadaan setengah sadar.
Diperkosa dalam posisi melayang seperti ini belum pernah kualami
sebelumnya, kini aku benar benar dalam kekuasaan mereka, pasrah
menerima semua siksaan birahi ini.
"Oooh... Bang Har... ampun... emmpph...", kata kataku terhenti ketika
mulutku kembali disumbat oleh penis Dedi, yang kini memegangi
kepalaku dan memaju mundurkan pinggulnya sehingga penisnya
seperti sedang memperkosa mulutku.
Aku makin tersiksa karena kedua payudaraku diremas remas dan
ditarik tarik ke bawah oleh dua tukang becak sialan yang memang
sejak tadi sedang memainkan kedua payudaraku ini, membuat ikatan
tali rafia pada kedua pergelangan tanganku ini mulai menyakitiku.
Bahkan seolah belum cukup menyiksaku, kedua puting payudaraku
dipencet, dipilin dan ditarik tarik oleh mereka, membuatku terus
berkelojotan dan aku harus merintih rintih antara kesakitan dan
keenakan.
"Elizaa... mulutmu benar benar enak... nggak kalah sama memekmu,
cantik...", Dedi meracau seenaknya, dan aku pasrah saja diperkosa dari
depan dan belakang seperti ini.
"Arrghh...", kudengar geraman Bang Har
Tiba tiba kurasakan penis Bang Har sedang berkedut keras di dalam
liang vaginaku. Aku sedikit merasa lega ketika kurasakan cairan
spermanya menyemprot deras membasahi seluruh dinding liang
vaginaku yang sudah amat basah ini. Beberapa kali Bang Har
melesakkan penisnya dalam dalam, seolah ingin melepaskan semua
kenikmatannya dan menuangkan semua cairan spermanya di dalam
liang vaginaku, sedangkan aku hanya bisa menggeliat lemah dibantai
dan dijadikan bulan bulanan seperti ini oleh mereka.
Setelah puas menikmati tubuhku, Bang Har menarik penisnya yang
tertancap di liang vaginaku, dan dengan seenaknya ia melepaskan
pegangannya pada kedua pahaku, membuat kedua kakiku jatuh ke
bawah dan posisiku sekarang menjadi berlutut di depan Dedi, dan
kedua tanganku masih tergantung pasrah.
Rasanya sedikit sakit ketika lututku terantuk pada pembaringan yang
hanya beralas tikar ini.
Dedi makin bersemangat memperkosa mulutku, dengan gencar
penisnya memompa mulutku hingga kepalaku terguncang guncang
mengikuti sentakan penisnya. Dedi terus meracau keenakan, sedangkan
aku hanya bisa melayani dengan mengulum sekedarnya karena
tubuhku masih terasa amat lemas.
Bahkan aku merasa seluruh tubuhku sedikit gemetar. Entah apa karena
aku kelelahan atau ini masih merupakan sisa efek orgasme yang tadi
melandaku ini.
Tiba tiba Dedi menarik lepas penisnya dari kulumanku. Aku segera
menarik nafas sebisanya, dan kepalaku terkulai lemas, aku bahkan
nyaris tak punya tenaga untuk mengangkat kepalaku, rasanya lelah
sekali.
"Ded... udahan dong... lepasin tanganku ya... sakit nih...please...",
dengan nafas tersengal sengal aku mencoba memohon pada Dedi
untuk mengakhiri semua ini dan melepaskan ikatan pada kedua
pergelangan tanganku ini.
"Eliza... bener nih kamu minta dilepasin?", tanya Dedi yang kini
berjongkok di depanku.
Wajah Dedi yang seperti penjahat itu kini begitu dekatnya sampai
hampir menempel pada wajahku. Pertanyaan tadi itu dilontarkan oleh
Dedi dengan nada yang sangat menggodaku, membuat jantungku
berdegup kencang.
Entah kenapa aku diam saja, seperti ragu untuk menjawab, membuatku
heran pada diriku sendiri. Masa aku suka diperlakukan seperti ini?
Diikat dengan kejam seperti ini? Diperkosa ramai ramai dengan kasar
seperti ini?
Jujur saja sejak tadi aku malah menikmati ketidak berdayaanku, dan
aku malah terangsang hebat ketika aku berada dalam kerubutan para
lelaki yang amat menginginkan tubuhku. Aku sampai bertanya tanya,
apakah aku memang mengidap kelainan seks? Apakah aku suka
digangbang seperti ini?
"Ah...", aku terkejut ketika Dedi melingkarkan tangannya pada tubuhku,
lalu mencari dan meremas pantatku dan menarik tubuhku ke atas
hingga aku harus berdiri.
Tapi tentu saja aku sudah terlalu lemah untuk berpijak dengan kedua
kakiku yang terasa gemetar ini.
"Ded... jangan lepasin... aku udah nggak kuat berdiri nih...", keluhku.
"Tenang cantik... siapa yang mau ngelepasin pantat kamu... hahaha...",
Dedi tertawa menggodaku sambil terus meremas kedua pantatku,
membuatku risih dan mukaku terasa panas sekali.
"Maksudku...", aku mencoba menjelaskan.
"Maksudmu jangan berhenti meremas pantat kamu kan, Eliza? Hahaha...
tenang saja cantik", perkataanku dipotong oleh Dedi.
Berkata begitu, Dedi malah memperkuat tenaga remasannya pada
kedua pantatku, membuatku hanya bisa menggeliat lemah.
Aku sudah malas membantah, dan kubiarkan Dedi berbuat apa saja
terhadap diriku. Sudah beberapa kali ia memanggil aku dengan
sebutan cantik, membuatku diam diam merasa senang juga. Dedi terus
meremasi kedua pantatku, dan ia juga menciumi seluruh wajahku
dengan sangat bernafsu. Aku memejamkan mataku mencoba menikmati
semua perlakuan Dedi ini.
Agak lama Dedi mencumbui wajahku, lalu tiba tiba ia menghentikan
remasannya pada kedua pantatku, lalu tangannya bergerak merayap ke
atas, dan memeluk pinggangku dengan erat hingga tubuhku menempel
pada tubuhnya. Penis Dedi yang masih tegang sejak tadi itu kini
menempel di perutku, membuatku gelisah dan terangsang.
Aku membuka mataku, dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.
Apa mau Dedi kali ini?
"Eliza...", desah Dedi dengan suara berat.
Dari rona dan raut mukanya, juga nafasnya yang tak beraturan, aku
tahu saat ini Dedi sudah benar benar terbakar nafsu. Sadar akan hal itu
membuatku sedikit bergidik, dan aku tak berani membayangkan apa
yang bisa dilakukan oleh teman sekolahku ini padaku.
Sambil terus memeluk pinggangku, Dedi mendorongku mundur, hingga
kepalanya masuk ke tengah kedua tanganku disatukan pada
pergelangan tanganku ini. Kini ganti kedua tanganku yang melingkari
leher Dedi ini yang menopang tubuhku agar tetap berdiri, sehingga
ikatan pada kedua pergelangan tanganku ini makin menyakitiku.
"Ded... mau apa kamu...", desahku lemah.
"Tenang cantik... kamu pasti suka kok...", kata Dedi dengan nafas
memburu.
-x-
"Kamu mmpph...", kata kataku terputus karena Dedi sudah melumat
bibirku dengan ganas.
Aku pasrah saja, dan sambil membalas ciuman Dedi dengan sisa
tenagaku, aku mencoba mencari posisi yang paling nyaman agar aku
bisa mengistirahatkan tubuhku. Tapi sebentar kemudian Dedi
melepaskan pagutannya pada bibirku, dan ia menatapku dengan
pandangan yang seolah ingin menelanku bulat bulat.
Dedi menyusupkan tangannya kebawah, mengait kedua pahaku, lalu
dengan perkasa Dedi melebarkan dan mengangkat kedua pahaku
hingga menempel pada sisi kanan dan kiri perutku.
Karena betisku tergantung lemas, kini aku seperti sedang jongkok di
udara dan menggantungkan kedua tanganku di belakang leher Dedi.
"Auww...", aku mengeluh manja ketika kurasakan ujung kepala penis
Dedi bergesekan dengan bibir liang vaginaku.
Darahku berdesir, kini aku tahu apa mau Dedi sekarang ini. Ia akan
menggagahiku dalam gendongannya, seperti yang sering dilakukan
oleh Wawan, pembantuku di rumah. Gairahku sudah benar benar
menguasaiku, dengan penuh harap aku menunggu masuknya penis
Dedi ke dalam liang vaginaku.
"Mau kan cantik?", goda Dedi.
"Mmmhh...", aku yang sudah terbakar gairahku sendiri ini agak malas
bercakap cakap, aku ingin Dedi segera menyetubuhi aku.
"Kalau nggak mau, aku turunin kamu lho!", ancam Dedi sambil
tersenyum nakal.
"Mau... Aku mau Ded...", kataku buru buru sambil mengangguk penuh
harap.
Semua yang ada di ruangan ini menertawakanku.
"Memang doyan seks nih amoy..."
"Pantas dia sampai membayar kita kita untuk memuaskannya..."
"Memang sip amoy yang satu ini..."
"Mana memeknya seret lagi..."
"Susunya juga asyik, empuk empuk kenceng..."
"Habis ini satu lawan tiga lho non amoy..."
"Siap siap mulet mulet ya non amoy... hahaha..."
Lagi lagi aku mendengar komentar komentar cabul yang memanaskan
hati dan telingaku, namun aku mencoba tak memperdulikan semua itu.
"Baik, kalau begitu, siap ya cantik...", kata Dedi sambil mulai
menurunkan tubuhku.
"Aahh... aangghhk...", aku mengerang dan melenguh karena penis itu
terus menusuk dan membelah liang vaginaku.
Aku menggeliat keenakan, tapi gerakanku malah membuat penis itu
tertanam semakin dalam pada liang vaginaku, membuatku tak berani
terlalu banyak bergerak lagi karena rasanya selangkanganku sekarang
ini amat penuh dan ngilu.
"Enak kan cantik?", goda Dedi.
"Mmmh... iyaah...", aku mati matian mencoba menjawab di tengah
nafasku yang sudah tak karuan ini.
Sekarang ini aku sudah benar benar terbakar gairahku sendiri,
menunggu Dedi segera menyiksaku, memperkosaku, memompa liang
vaginaku, memaksa aku orgasme.
"Sshh... ooohh... ammpuun Deeed...", aku mengerang tak kuasa
menahan nikmat ketika Dedi menyentak nyentakkan tubuhku dengan
tiba tiba, hingga penisnya yang tertarik dan terhunjam dengan cepat
ini serasa mengorek ngorek dinding liang vaginaku.
Tubuhku menggeliat keenakan dan terus terlonjak lonjak mengikuti
irama sentakan Dedi. Kepalaku terdongak ke belakang dan aku hanya
bisa memejamkan mata dan pasrah menerima semua kenikmatan ini.
"Eempphh...?", selagi aku dipermainkan oleh Dedi, kurasakan bibirku
dipagut dengan ganas oleh seseorang.
Bukan Dedi. Tak mungkin Dedi bisa menjangkau bibirku selagi
kepalaku terdongak seperti ini. Tapi aku malas membuka mataku untuk
mencari tahu siapa yang sedang menikmati bibirku ini.
Kubiarkan saja bibirku dilumat sepuas puasnya oleh orang yang
beruntung itu. Bahkan perlahan aku mulai merespon ciuman ini di
tengah rasa ngilu yang mulai melanda liang vaginaku.
"Ohhh... Eliza... memek loe memang enaak...", erang Dedi yang dengan
sepenuh tenaganya terus menyodokan penisnya pada liang vaginaku,
membuatku menggeliat keenakan dan melenguh lenguh tertahan karena
bibirku sedang dilumat habis oleh salah satu calon pemerkosaku
berikutnya nanti.
"Mmmphh...", aku kembali harus merintih karena tak kuasa menahan
nikmat ketika kurasakan kedua payudaraku kembali menerima remasan
remasan kasar.
Kini aku sudah kembali dikerubuti para lelaki yang haus akan tubuhku
dan ini membuatku melayang dalam kenikmatan yang amat sangat.
Nafasku semakin tersengal sengal, tubuhku mulai bergetar dan
sesekali mengejang hebat karena menerima rangsangan yang bertubi
tubi ini.
Kini gairah birahi yang terus menerus menghantamku ini membuatku
makin liar. Kulingkarkan kedua betisku hingga mengait pinggang Dedi,
dan kutekan tekankan selangkanganku ke bawah menyambut tiap
sodokan penis Dedi.
"Aaarrghh... terus Elizaaa...", erang Dedi di tengah persetubuhan kami
yang makin gila ini.
Entah apa yang dirasakan Dedi saat aku terus terus meliuk liukkan
pinggulku seperti ini, yang kupikirkan sekarang ini hanyalah mencari
kenikmatanku sendiri sepuas puasnya di pelukan Dedi dan keroyokan
para tukang becak ini.
Tapi celakanya aku lupa, kalau rasa nikmat yang kudapat ini harus
kubayar dengan makin cepatnya aku harus mengalami orgasme lagi.
Penis Dedi serasa makin dalam saja menghunjami liang vaginaku yang
mulai terasa begitu ngilu ini, dan hal ini membuatku makin tak kuasa
menahan nikmatnya adukan penis Dedi yang seolah makin liar
mengorek ngorek dinding liang vaginaku.
Entah aku menggeliat seperti apa, tubuhku tersentak sentak tak karuan,
kepala dan tubuhku seperti terlempar ke sana kemari hingga bibirku
terlepas dari pagutan yang sejak tadi membungkamku.
"Nggghhh... aduuuh Deeed... nggghhh...", aku langsung melenguh
sejadi jadinya ketika orgasme yang amat hebat kembali meluluh
lantakkan tubuhku.
Beberapa kali tubuhku harus menggeliat dan mengejang tak karuan,
pinggangku sampai melengkung ke belakang saat tubuhku harus
bertahan dalam badai orgasme.
Kedua betis kakiku yang tadinya mengait pinggang Dedi sempat
melejang lejang beberapa kali, dan akhirnya Dedi menangkap kedua
pahaku tepat sebelum kedua betisku jatuh menggelantung lemas ke
bawah.
"Lihat, amoy cantik ini memang senang ya main keroyokan gini...", kata
salah satu dari mereka.
Aku tak tahu siapa yang mengatakan itu, dan aku tak perduli. Aku
sudah benar benar larut menikmati semua ini, bahkan tubuhku masih
gemetar akibat orgasme tadi. Kini aku menyandarkan kepalaku di atas
pundak Dedi, sekalian mengistirahatkan tubuhku yang sudah amat
lelah dan basah oleh keringat ini.
"Kok sudah lemas, cantik?", bisik Dedi di telingaku.
"Mmmm...", aku malas menjawab.
"Masih ada tiga lagi cantik", bisik Dedi lagi.
Wajahku rasanya panas ketika diingatkan tentang masih adanya tiga
orang yang akan menggilirku setelah ini. Aku menyadari Dedi ini belum
ejakulasi, dan penisnya yang menancap pada liang vaginaku ini masih
terasa begitu keras.
Entah mau sampai kapan ia menggagahi tubuhku yang sudah hampir
tak bertenaga ini, yang terkuras habis karena orgasme berkali kali
terhitung sejak di sekolah tadi.
Aku diam saja, membiarkan tubuhku berada dalam pelukan erat Dedi.
Tapi aku kembali teringat kalau aku harus cepat memuaskan Dedi kalau
ingin semua ini segera selesai, apalagi memang masih ada tiga orang
tukang becak lagi yang harus kulayani.
Maka perlahan kugerakkan pinggulku, kebawah, kebelakang, ke kanan,
ke kiri, dan memang hal ini berhasil membuat Dedi mengerang
keenakan, tapi aku sendiri juga harus mendesis nikmat. Aku mencoba
bertahan dan terus berusaha merangsang Dedi agar segera orgasme.
Dan memang setelah beberapa saat aku mati matian mencoba di
tengah deraan kenikmatan yang balik menghantam tubuhku ini,
akhirnya Dedi mulai menggeram juga, geraman seorang lelaki yang
sedang menuju kenikmatannya.
"Arrggh... Elizaaa", lolong Dedi ketika kurasakan penisnya berkedut
kedut di dalam sana, menyemprotkan sperma yang hangat, banyak
sekali.
"Oooh... aduuuh...", aku juga mengerang dan merintih keenakan,
walaupun belum sampai orgasme lagi.
Tapi aku sudah lemas sekali, dan kini aku menyandarkan tubuhku di
pelukan Dedi, hingga dada kami menyatu dan aku memejamkan
mataku, memikirkan keadaanku saat ini.
Liang vaginaku ini entah sudah becek seperti apa. Cairan cintaku
sendiri juga sperma sperma dari para pemerkosaku, sejak tadi terus
bercampur mengiringi kenikmatan demi kenikmatan yang tercipa baik
terhadap diriku maupun terhadap para pemerkosaku.
Rasanya tulang tulang di seluruh tubuhku ini terlepas dari
sambungannya, membuatku tak mampu bergerak lagi, dan aku hanya
pasrah saja menunggu sesi perkosaan selanjutnya terhadap diriku.
"Eh non amoy, sudah waktunya kita main bertiga", kata salah seorang
dari tiga tukang becak yang kelihatannya sudah tak sabar untuk turut
menikmati tubuhku, membuatku membuka mata untuk memperhatikan
apa yang akan segera terjadi pada diriku.
Ia memutus ikatan pada kedua pergelangan tanganku dengan sebuah
silet yang mungkin milik pak Jamil, pemilik gubuk ini. Kini kedua
tanganku terbebas dari ikatan yang cukup menyakitiku, yang
sebenarnya malahan membuatku terangsang karena rasa tak berdaya
yang melanda diriku ini.
"Dar... Darto... pegang kakinya", kata tukang becak yang memegangi
punggungku.
"Sip Bang Kasan", aku melihat tukang becak yang dipanggil Darto
menjawab sambil beranjak menuju ke arahku, lalu memegang paha
kiriku.
"Ayo Dul, jangan diam saja", kata Bang Kasan yang sudah mulai
meremasi kedua payudaraku dengan kasar, membuatku menggigit bibir
menahan sakit.
Sesaat aku menggeliat, tapi tak banyak yang bisa kulakukan dengan
keadaanku yang sudah hancur hancuran ini.
Tukang becak yang dipanggil Dul itu tadi memutuskan ikatan pada
pergelangan tanganku ini, menghampiriku, lalu memegang paha
kananku.
Mereka bertiga ini memang yang mendapat giliran berikutnya untuk
memperkosaku.
"Enggh...", aku melenguh ketika mereka merenggutku dari pelukan
Dedi.
Hal ini membuat penis Dedi yang masih bersemayam dalam liang
vaginaku ini tertarik perlahan hingga serasa mengorek dan menggaruk
dinding liang vaginaku.
Dedi menyempatkan dirinya untuk mencium bibirku dengan lembut
sebelum menyerahkan diriku pada tiga orang tukang becak ini.
"Sabar non amoy, kita baru akan mulai kok", kata Bang Jo itu sambil
menyeringai padaku.
"Bang Kasan... boleh istirahat sebentar ya bang... saya capek", aku
memohon pengertian dari Bang Kasan.
Tubuhku sudah serasa remuk semua, paling tidak aku berharap mereka
mau memberikan kesempatan padaku untuk beristirahat barang
sebentar.
"Hahaha... boleh kok non... istirahatnya tengkurap ya", kata Bang
Kasan.
Aku mengangguk lemas. Mereka bertiga tertawa tawa dan berikutnya
aku sudah direbahkan di pembaringan ini. Kepalaku terbaring miring
menghadap ke dinding, dan tentu saja mereka bertiga mengerumuniku.
Sesekali kurasakan mereka membelai punggungku.
Baru kusadari, dalam posisi ini aku hanya akan bisa merasakan apa
yang mereka lakukan pada tubuhku tanpa bisa kulihat langsung.
Tapi aku diam saja, toh dengan begini aku bisa mengistirahatkan
tubuhku, terutama pinggangku yang serasa akan patah ini. Sudah
berkali kali pinggangku tertekuk ke belakang saat aku menggeliat
dalam orgasme demi orgasme yang menderaku.
"Non amoy, sudah sering ya main beginian?"
"Sama siapa saja non?"
"Pernah nggak main sama tukang becak non?"
Aku malas menjawab pertanyaan pertanyaan yang amat melecehkanku
ini. Nafasku masih tersengal sengal, capek sekali rasanya. Aku hanya
berharap semua ini segera berlalu.
Tapi baru beberapa menit aku beristirahat, kurasakan rambutku sudah
disibakkan dari punggungku. Kini punggungku diraba raba dan dibelai
oleh mereka, membuatku sedikit kegelian juga.
Tangan tangan mereka mulai nakal, ada yang menyusup ke bawah
mencari kedua payudaraku, dan tentu saja setelah mereka
mendapatkan kedua payudaraku, remasan demi remasan langsung
kurasakan, membuatku sedikit banyak kembali terangsang.
Tentu saja mereka tak puas dengan berbuat begitu saja, mereka terus
membelai punggungku ke bawah, dan mulai meremasi kedua pantatku.
Aku mendesah perlahan, dan tangan tangan mereka makin nakal saja.
Kini kurasakan ada banyak jari yang menggelitik bibir liang vaginaku,
membuatku mulai menggelinjang antara kegelian dan keenakan.
Kedua pahaku dilebarkan oleh mereka, dan sesaat kemudian,
kurasakan ada satu jari tangan entah milik siapa, melesak masuk
perlahan ke dalam liang vaginaku. Aku menggigit bibir ketika jari itu
mengaduk aduk liang vaginaku.
Berikutnya tubuhku mengejang ketika kurasakan sebuah jari lain ikut
masuk ke dalam liang vaginaku. Kini dinding liang vaginaku serasa
dikorek korek dari berbagai arah, membuat desahanku semakin keras.
"Eengghhh...", aku melenguh antara sakit dan nikmat ketika kurasakan
ada satu jari lagi yang masuk, membuat liang vaginaku terasa sesak
sekali. Tiga jari sekaligus sedang mengaduk aduk liang vaginaku,
membuatku melayang dalam kenikmatan.
"Aduuuh...", aku kembali harus memejamkan mata dan merintih.
Tubuhku menggeliat hebat karena tak kuasa menahan siksaan
kenikmatan yang menderaku, ketika ketiga jari yang mengaduk aduk
vaginaku itu bergerak ke arah yang berbeda dan berakibat liang
vaginaku terasa seperti sedang dikuak lebar. Lagi lagi pinggangku
harus melengkung ke belakang ketika aku menggeliat tadi, dan karena
posisi tubuhku sedang rebah, maka kepalaku ikut terangkat.
Selagi tubuhku mengejang hebat seperti ini, kurasakan ada sesuatu
yang menindih punggungku, dan ketika aku membuka mata, aku
melihat sebatang penis yang begitu dekat dengan mukaku. Sesaat
kemudian aku menyadari, rupanya pemilik penis ini duduk di depanku
dan melingkarkan kedua kakinya pada leherku, menindih punggungku.
Dengan kesal aku mengarahkan pandanganku ke atas, mencoba
mencari tahu siapa yang sedang seenaknya melecehkanku ini. Ternyata
ini adalah ulah Bang Kasan. Diperlakukan seperti ini, aku merasa risih
sekali dan aku mulai meronta, mencoba melepaskan diri dari
keroyokan para pemerkosaku ini.
"Mau ke mana manis?", ejek Bang Kasan.
Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan konyol ini, dan aku terus
meronta. Tapi yang terjadi berikutnya adalah aku sudah tak mampu
banyak bergerak karena kedua tanganku mendadak sudah terentang
lebar, dengan kedua pergelangan tanganku yang sudah dicengkeram,
entah oleh siapa.
Sedangkan penis itu mulai ditempel tempelkan pada mulutku oleh
Bang Kasan, membuatku mulai merasa sedikit mual dan pening karena
bau penis itu sungguh tak sedap.
Aku ingin memalingkan mukaku, tapi aku kemudian berpikir, lebih baik
aku menuruti kemauan Bang Kasan dan membuatnya cepat orgasme,
juga melayani dua tukang becak di belakangku yang kini sedang asyik
mempermainkan liang vaginaku dengan jari mereka itu.
Maka aku menghela nafas panjang, memang tak ada pilihan lain bagiku
selain membuka mulutku seperlunya dan membiarkan penis itu
melesak masuk ke dalam mulutku. Aku mengulum penis pak Kasan
sambil berusaha untuk tak memikirkan rasa ataupun bau yang
menyengat dari penis ini.
"Emmphh...", aku merintih tertahan.
Aku harus terus berjuang menahan kenikmatan yang melandaku karena
liang vaginaku terus diaduk aduk tiga jari sekaligus, sampai sampai
aku bisa mendengar bunyi kecipak segala cairan yang bercampur
menjadi satu dalam liang vaginaku.
-x-
Perlahan aku menggerakkan kepalaku maju mundur melayani Bang
Kasan, tapi posisi tubuhku sekarang ini membuatku semakin lelah.
Sementara itu Bang Kasan dengan kejam terus menekan nekan
kepalaku ke arah selangkangannya, memaksaku terus mengoral
penisnya, seolah sedang menyetubuhi mulutku saja.
Baru kusadari penis Bang Kasan ini tak seberapa panjang juga.
Seluruh batang penisnya ternyata muat dalam kuluman mulutku,
walaupun ujung kepala penisnya itu sesekali mendesak
kerongkonganku.
Tapi diam diam aku jadi malu sendiri. Bagaimana mungkin, aku masih
sempat memikirkan dan mengira ngira ukuran penis pemerkosaku?
Bagaimana aku yang menerima pelecehan bertubi tubi dari mereka
malah menikmati semua ini? Mengapa tubuhku sedemikan mudah
ditaklukan oleh para pemerkosaku?
Lagi lagi gerakan gerakan tubuhku yang tertahan, ditambah
pemerkosaan terhadap mulutku, juga adukan tiga jari sekaligus pada
liang vaginaku, membuatku terangsang hebat. Tanpa bisa kutahan lagi,
seluruh tubuhku rasanya mengejang mengiringi orgasme yang mulai
menghinggapiku.
"Mmmhhh... mmhhhh...", aku melenguh tertahan, kedua telapak
tanganku terkepal erat selagi kedua pergelangan tanganku terbelenggu
oleh cengkeraman tangan para pemerkosaku.
Kedua betisku berulang kali melejang lejang ketika rasa nikmat ini
mulai menjalari sekujur tubuhku. Aku merasa liang vaginaku berdenyut
tak karuan, cairan cintaku serasa membanjiri liang vaginaku yang entah
sudah becek seperti apa.
Dan untuk menambah siksaan kenikmatan ini, kedua pergelangan
kakiku kini dicengkeram erat, yang lagi lagi aku tak tahu oleh siapa.
Kini gerakan betisku juga tertahan, sedangkan adukan tiga jari di
dalam liang vaginaku ini makin gencar. Aku makin tak berdaya,
pinggulku rasanya bergerak sendiri ke kanan dan ke kiri di luar
kendaliku, sedangkan aku sendiri melayang dalam kenikmatan yang
amat sangat.
"Ohhh... oohhh...", kudengar Bang Kasan melolong.
Ia makin mempercepat sentakannya pada kepalaku ke arah
selangkangannya, dan sama sekali tak memperdulikanku yang mulai
kehabisan nafas. Untung saja, dari lolongan itu aku bisa mengira kalau
Bang Kasan akan segera ejakulasi.
Kalau tadinya aku pasrah membiarkan penis itu mengaduk aduk
rongga mulutku, kini aku mulai mengulum dan menghisap penis itu
dengan kuat, dan seperti harapanku, Bang Kasan langsung melolong
panjang dan penisnya berkedut keras.
Aku merasakan ada empat sampai lima semprotan sperma di dalam
mulutku, dan kutelan semuanya dengan cepat agar aku tak perlu
berlama lama merasakan lengketnya sperma ini dalam mulutku, dan
juga rasanya yang agak sedikit amis membuatku sedikit mual.
Tapi aku masih menyempatkan untuk menghisap penis itu kuat kuat,
hingga Bang Kasan melolong lolong minta dilepaskan.
Enak saja, pikirku. Kalau ada yang seharusnya memohon untuk
dilepaskan, itu adalah aku.
Sampai beberapa saat aku terus menghisap penis itu, bahkan kugigit
kecil hingga Bang Kasan menjerit, mungkin karena kesakitan. Setelah
aku puas memberikan 'hukuman', barulah aku melepaskan hisapanku
pada penis Bang Kasan, yang langsung buru buru beranjak
meninggalkanku. Berikutnya kurasakan cengkeraman cengkraman pada
kedua pergelangan tangan dan kakiku sudah dilepaskan.
Kepalaku langsung terkulai, rebah miring ke kiri di pembaringan ini.
Rasanya lelah sekali setelah harus mengoral Bang Kasan sampai keluar
tadi, dan aku mulai mencoba mengatur nafasku.
"Gila nih amoy, hobi amat nyepong...", gerutu Bang Kasan.
Aku diam saja, diam diam merasa menang.
Kini aku memikirkan tentang dua orang lagi yang pasti belum puas
karena hanya memasukkan jari mereka ke dalam liang kenikmatanku.
Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya dan aku hanya
pasrah menunggu, sambil berharap semoga semua ini cepat berakhir,
karena aku sudah amat lelah.
Kurasakan sebuah jari ditarik lepas dari jepitan liang vaginaku, hingga
aku merasa sedikit lega, paling tidak liang vaginaku tidak terasa sesak
seperti tadi.
"San, Kasan... sepongannya enak ya?", kudengar suara yang mungkin
suara Bang Dul.
"Enak gila Dul... rugi kalo gak nyoba... apalagi amoy ini doyan peju,
punya gue tadi ditelan habis sama dia", jawab Bang Kasan sambil
tertawa tawa, membuat muka dan telingaku rasanya panas.
"Oh... non amoy doyan peju ya? Kalau gitu, sini sedot peju Bang Dul
ya", kata Bang Dul.
Berkata begitu, Bang Dul bersama Bang Darto yang sudah
menghentikan aktifitasnya, kini membalikkan tubuhku hingga aku
telentang di atas pembaringan ini.
Kini kedua kakiku sudah terangkat, dengan kedua betisku yang
tertumpang pada pundak Bang Darto yang sudah siap untuk
melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Berikutnya, Bang Dul
berjongkok di samping kanan kepalaku, lalu mengangkat kepalaku
sedikit hingga penisnya yang mengacung itu tepat menyentuh bibirku.
Rupanya mereka berdua hendak menikmati tubuhku bersamaan. Aku
yang sudah terlalu lelah hanya pasrah menanti apa yang akan mereka
lakukan terhadap diriku.
"Engghhh...", aku melenguh panjang ketika Bang Darto menghunjamkan
penisnya ke dalam liang vaginaku.
Ketika mulutku terngangga karena aku melenguh kesakitan tadi, Bang
Dul langsung memanfaatkan kesempatan untuk menjejalkan penisnya,
membuat aku kelabakan dan nyaris tersedak.
"Ayo non amoy, dihisep!", kata Bang Dul mengingatkan tugasku.
Aku terbelalak ngeri karena masih ada sekitar 5 cm lagi panjangnya
batang penis Bang Dul di luar mulutku, entah sepanjang apa penis
Bang Dul ini.
Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti kemauan Bang Dul.
Penis itu mulai kujilat dan kuhisap, selagi aku harus berjuang
menahan sakit tanpa mengeluarkan suara, ketika kurasakan siksaan
mulai mendera selangkanganku.
Aku menggeliat kesakitan ketika penis Bang Darto mulai mengaduk
aduk liang vaginaku. Rasanya sekarang ini liang vaginaku terisi penuh,
dan tiap hunjaman batang penis Bang Darto menimbulkan rasa ngilu
dan sakit, meskipun seharusnya sekarang ini liang vaginaku licin dan
becek sekali dengan campuran sperma para pemerkosaku dan cairan
cintaku sendiri.
Bang Dul segera menjadi tidak sabar, mungkin karena aku tak
berkonsentrasi mengoral penisnya. Dengan kejam ia menekan nekan
kepalaku ke arah selangkangannya, membuatku sesekali tersedak
karena ujung kepala penis itu sesekali menusuk kerongkonganku.
Aku mencoba menenangkan Bang Dul dengan mulai berusaha mengoral
penisnya sebaik mungkin. Batang penis itu kujilat memutar, lalu
kukulum dan kuhisap perlahan. Sesaat Bang Dul menghentikan gerakan
tangannya yang menekan kepalaku.
"Oohh... terus non...", erang Bang Dul.
"Emmphh...", aku juga harus mengerang kesakitan.
Penis yang sedang mengaduk aduk liang vaginaku ini cukup
menyakitiku, mungkin karena selain ukurannya yang besar, pemiliknya
menyentakkan penis itu dengan kasar.
Aku masih terus berusaha memaju mundurkan kepalaku di tengah
penderitaan yang mendera selangkanganku, tapi lama lama aku tak
tahan juga, nafasku tersengal sengal menahan sakit ini.
Setelah beberapa detik aku tak bisa mengoral penis Bang Dul karena
mulutku ternganga ketika aku menahan sakit, Bang Dul kembali
memperkosa mulutku, dan bersama Bang Darto mereka berdua segera
mulai meluluh lantakkan tubuhku. Kini penis Bang Dul mulai
menembusi ternggorokanku, membuatku semakin sulit bernafas.
Aku sudah dalam keadaan setengah sadar, lelah dan kesakitan. Aku
memejamkan mataku dan pasrah dipermainkan oleh mereka berdua.
Tiba tiba kurasakan kedua payudaraku diremas remas dengan kasar,
dan ketika aku membuka mataku sedikit, aku melihat dua telapak
tangan di tiap payudaraku, entah tangan milik siapa, sedang meremas
dan meremas seperti ingin menarik lepas payudaraku saja.
Aku tak bisa mengeluh melepaskan kesakitanku, tenggorokanku
tersumbat oleh penis Bang Dul.
Remasan remasan itu makin keras dan menyakiti kedua payudaraku.
Aku segera menggerakkan tanganku dan bermaksud menepis empat
telapak tangan ini dari kedua payudaraku. Tapi rupanya mereka
menyadari maksudku. Belum sempat aku berbuat sesuatu, aku
merasakan kedua telapak tanganku bertemu dengan telapak tangan
yang lain, dan kemudian genggaman erat kurasakan meremas kedua
telapak tanganku.
Aku benar benar tak berdaya.
Hari ini seluruh tubuhku benar benar menjadi milik mereka, tanpa daya
terseret kesana kemari mengikuti keinginan para pemerkosaku ini.
Beberapa menit aku diperlakukan seperti ini, rasa sakit yang
menderaku jadi tak begitu terasa lagi.
Dikerubuti dan diperkosa ramai ramai seperti ini, membuat gairahku
naik kembali.
"Ooooh... non...", tiba tiba Bang Dul mengerang panjang.
Penisnya yang sedang bersarang dalam tenggorokanku ini berkedut
keras, dan sesaat kemudian penis itu menyemprotkan spermanya yang
cukup banyak.
Ketika Bang Dul menarik lepas penisnya dari jepitan tenggorokanku,
aku langsung tersedak dan terbatuk batuk. Sekuat tenaga aku berusaha
mengambil nafas yang sejak tadi sulit sekali kulakukan ketika
tenggorokanku dijadikan liang kenikmatan untuk penis Bang Dul ini.
Kini kepalaku terbaring lemah di atas pangkuan paha Bang Dul yang
dalam keadaan terengah engah setelah memuaskan hasratnya
memperkosa mulutku. Sedangkan penis Bang Darto masih terus
memompa liang vaginaku, mulai memberikan sensasi ngilu yang
nikmat pada selangkanganku.
Aku merasakan pipi kananku basah, ternyata penis Bang Dul sekarang
menempel di pipi kananku, dan masih belepotan sperma. Merasa risih,
aku memilih mencari kepala penis Bang Dul ini, dan segera mengulum
penis itu. Hal ini kulakukan supaya pipiku tidak makin basah
belepotan sperma itu.
"Wah gila, doyan amat sama peju non?"
"Habis ini punya abang juga ya non, tadi belum dapat nih"
"Punya abang juga lho"
Aku tidak perduli dengan semua ejekan cabul itu, dan aku terus
menggerakkan lidahku untuk menjilat dan membersihkan penis Bang
Dul. Sesekali kusedot penis itu hingga Bang Dul menggelinjang dan
mengerang keenakan.
"Oooh... amoy satu ini benar benar sip...", kata Bang Dul sambil
beranjak meninggalkan diriku yang masih dikerubuti oleh rekan
rekannya.
Sesaat kemudian kepalaku sudah berada di atas pangkuan lelaki yang
lain lagi, dan aku sudah tak perduli dengan siapa saja yang
memperkosa mulutku. Sekarang ini yang kupikirkan hanyalah semoga
Bang Darto cepat selesai menikmati liang vaginaku, karena walaupun
rasa nikmat itu mulai terasa di selangkanganku, rasa sakit yang masih
menyertainya itu sungguh membuatku tidak nyaman.
Lagipula, aku sudah amat lelah, sejak tadi diperkosa bergantian seperti
ini.
Beberapa kali penis di mulutku berganti setiap selesai menyemburkan
spermanya, dan semua itu kutelan tanpa protes sedikitpun. Aku
memilih menelan langsung daripada ada cairan yang keluar melalui
sela bibirku dan membasahi daguku, selain itu juga supaya aku tak
perlu berlama lama merasakan amisnya sperma sperma para
pemerkosaku ini, yang juga terasa lengket sekali ini.
"Ooooh...", aku berharap itu Bang Darto yang menggeram.
Ternyata benar, kurasakan penis yang sedang mengaduk aduk liang
vaginaku itu berkedut keras dan menyemburkan sperma yang amat
hangat, meringankan rasa pedih yang sejak tadi mendera liang
vaginaku.
"Oooh.. memang enak memek kamu non", kata Bang Darto dengan
lemas.
Aku masih harus mengoral penis yang bersarang di mulutku sekarang,
dan tak lama kemudian erangan dari pemiliknya, juga semburan
sperma yang tak seberapa banyak itu mengakhiri adukan penis
terhadap mulutku. Kutelan semuanya, kubersihkan semuanya, seolah
itu memang kewajibanku.
Begitu penis itu lepas dari mulutku, penis Bang Darto sudah mengantri
di depan bibirku yang terkatup untuk kubersihkan.
Aku sudah capek sekali, tapi aku tak punya pilihan lain dan kubuka
saja mulutku untuk mengulum penis yang masih belepotan sperma dan
cairan cintaku itu. Kubersihkan sebersih bersihnya supaya tidak ada
protes darinya, dan setelah aku melepaskan penis itu, Bang Darto
langsung terduduk lemas di lantai.
Kini tinggal remasan remasan pada kedua payudaraku yang masih
terus menyiksa diriku. Aku sudah terlalu capek untuk memohon dua
orang ini untuk berhenti, jadi aku kembali memejamkan mata, pasrah
menunggu mereka berdua puas memainkan kedua payudaraku.
"Sudah, cukup bapak bapak", kudengar Dedi berkata, dan sesaat
kemudian remasan remasan pada kedua payudaraku juga berhenti.
Sudah cukup? Apakah ini berarti pemerkosaan ini juga berakhir?
"Sekarang, waktunya kamu membayar bapak bapak ini, ongkos untuk
memuaskan kamu sejak tadi jam satu, Eliza", kata Dedi.
Di tengah sorakan mereka berlima, aku menatap Dedi kesal. Tapi aku
tahu lebih baik aku menepati janjiku, lagipula berarti memang ini
adalah akhir penderitaanku, setidaknya untuk sekarang ini. Aku meraih
dompetku di antara tumpukan baju seragam sekolahku, lalu sambil
masih tiduran aku megeluarkan uang sesuai dengan jumlah yang harus
kuserahkan pada mereka semua.
"Terima kasih non. Kapan kapan kita main lagi ya", kata Bang Kasan
setelah menerima selembar uang lima puluh ribuan dariku.
Ia mengecup bibirku sebelum menyingkir, dan aku diam saja.
"Terima kasih non", kata Bang To, yang juga mengecup bibirku
sebelum pergi meninggalkanku.
"Wah bener bener nih, terima kasih non", kata Bang Har.
"Ooh...", aku mengeluh perlahan ketika Bang Har dengan nakal
mengulum puting payudaraku sebelum meninggalkanku.
Kemudian Bang Dul mendekatiku dengan bernafsu, membuatku sedikit
bergidik saat menyerahkan uang padanya. Dan tanpa berkata apa apa,
Bang Dul menindihku, menciumi wajahku dengan penuh nafsu.
"Bang... sudah... hentikan...", aku memohon di sela cumbuan yang
bertubi tubi dari Bang Dul ini.
Ia menghentikan cumbuannya, memandangku dengan penuh nafsu.
Tapi ia kemudian mengambil uang ini, dan berlalu dari hadapanku. Kini
Bang Darto, orang terakhir yang tadi memperkosaku, mendekatiku.
"Makasih non", kata Bang Darto, dan setelah mengulum puting
payudaraku yang sebelah kanan barang sejenak, ia juga pergi
meninggalkanku.
Kini, tinggal Dedi yang berada di ruangan ini selain aku. Tentu saja
aku tak ingin berlama lama berada di dalam ruangan ini, hanya
berduaan dengan Dedi. Aku segera bangkit berdiri untuk memakai baju
menutup tubuhku yang telanjang bulat dan hancur hancuran dinodai
oleh 7 orang tadi.
"Aduh...", aku terjatuh tanpa bisa menahan tubuhku.
Kedua kakiku gemetaran, dan tak kuat kupakai untuk berdiri. Kini aku
terduduk di lantai, dan tak ada yang bisa kulakukan ketika Dedi
mendekatiku. Ia masih telanjang bulat, sama sepertiku. Perlahan ia
meraih pergelangan tanganku dan mengalungkan di lehernya. Lalu ia
membantuku berdiri, kemudian membaringkan tubuhku yang masih
lemas ini di pembaringan.
"Sekarang puas kan kamu Ded, melihat aku seperti ini?", aku
membentak ketus.
Dan Dedi menjawab dengan melumat bibirku, mesra. Aku sampai
memejamkan mataku, pasrah saja menikmati ciuman ini. Tak lama
kemudian Dedi sudah menindihku, dan mulai mempermainkan
gairahku. Kedua payudaraku diremasnya lembut, kemudian setela ia
puas melumat bibirku, ciumannya berlanjut ke daguku, leherku, dan
berhenti sejenak di payudaraku sebelah kiri.
"Oooh...", aku mengeluh nikmat ketika Dedi mulai mengulum dan
menghisap putting payudaraku yang kiri ini.
Aku tak tahu apa yang membuatku meraih kepala Dedi dengan kedua
tanganku, tapi sekarang ini aku malah sedikit menekan kepala Dedi ke
arah payudaraku, bahkan aku mulai meremasi rambut di kepala Dedi.
"Mmmh...", aku merintih keenakan merasakan cumbuan Dedi yang
makin ganas.
Puting payudaraku digigit kecil oleh Dedi, lalu dihisapnya kuat kuat.
Aku sampai menggeleng gelengkan kepalaku sejadi jadinya, tak tahan
menerima siksaan kenikmatan ini. Lalu Dedi berpindah dari payudaraku
yang kiri ke kanan, dan ia juga menggoda payudaraku yang kanan
dengan cara yang sama. Aku mulai tak tahan dengan semua cumbuan
ini, dan sesekali tubuhku mengejang menikmati semuanya ini. Nafasku
juga mulai memburu tak karuan, dan aku menatap ke arah Dedi dengan
sayu.
-x-
"Oooh... Deed...", aku menggelinjang kegelian ketika Dedi melanjutkan
cumbuannya ke perutku.
"Cantik... perutmu ini indah sekali...", kata Dedi di sela cumbuannya itu.
Aku menggeliat antara geli dan nikmat. Cumbuan Dedi ini benar benar
membuatku takluk, dan aku berkali kali mendesis dan merintih
keenakan. Ia menjilati dan kemudian memagut pusarku kuat kuat, dan
sekarang aku tak bisa lagi berpikir dengan jernih.
"Deed... enaak...", aku merintih.
Tak ada jawaban dari Dedi. Yang kudapatkan hanyalah cumbuan Dedi
yang makin merangsang gairah birahiku.
Kecupan demi kecupan itu turun ke arah selangkanganku, tapi tak
kurasakan kecupan pada bibir liang vaginaku, padahal aku ingin sekali
merasakan cumbuan di daerah itu.
"Ded...", aku mengeluh lemah.
"Kenapa cantik?", jawab Dedi dengan suara berat, tanda dia juga dalam
keadaan terangsang hebat.
"Aku...", kata kataku terhenti.
Aku tak bisa meneruskan kata kataku. Masa aku yang meminta Dedi
mencumbui liang vaginaku? Mau aku taruh di mana mukaku?
Bagaimanapun aku masih berusaha mencoba menahan jatuhnya harga
diriku.
Dedi melebarkan dan membelai kedua pahaku. Entah apa yang ingin
dilakukannya, sekarang kurasakan cumbuan di sekitar bibir liang
vaginaku tanpa sedikitpun menyentuhnya, membuatku hampir gila. Aku
menginginkan cumbuan Dedi di sana, tapi ia seperti sedang
menggodaku.
Lalu cumbuan itu berlanjut ke sisi dalam kedua pahaku. Dedi dengan
nakal menjilati bagian itu, membuatku merintih dan menggigil.
Sekarang ini aku benar benar sudah terbakar nafsuku sendiri,
jantungku berdegup dengan sangat kencang, sementara mukaku terasa
panas dan seluruh tubuhku bergetar menahan nikmat.
"Oooh...", lagi lagi aku merintih keras ketika Dedi menjilati kedua
betisku bergantian.
"Ada apa cantik?", bisik Dedi dengan nada yang sangat menggodaku.
"Aku... enggak... oh... terserah kamu Ded...", aku meracau tak karuan
saat Dedi mengulum jempol kakiku.
Dedi benar benar membuatku gila. Aku menggigit bibirku dan tubuhku
gemetar dalam kepasrahan total.
Dan entah bagaimana, bahkan kali ini aku sampai dibuatnya orgasme
tanpa penetrasi. Tubuhku mengejang hebat. Kupejamkan mataku kuat
kuat, mungkin sekarang ini tubuhku melengkung sexy.
Kedua betisku serasa kaku setelah melejang tak karuan. Kurasakan
cairan cintaku membanjir deras, rasanya seperti sedang kencing saja.
Liang vaginaku berdenyut denyut tak karuan, seperti akan meledak
saja.
"Cantik, memekmu basah sekali", kudengar suara Dedi.
Aku tersenyum malu ketika melihat Dedi menatapku dengan pandangan
menggoda.
"Jadi bagaimana dong?", kataku mencoba memancingnya walaupun
akibatnya sekarang aku memalingkan wajahku dengan rasa malu
sekali.
"Jadi...", kata Dedi dengan suara berat sambil memandang
selangkanganku dengan nafas memburu.
Dan ketika Dedi beranjak ke arah selangkanganku, jantungku berdebar
kencang dan aku memandangnya dengan penuh harap semoga ia akan
mencumbui liang vaginaku, atau mengaduk dengan jarinya, atau
bahkan kalau mungkin ia mau menggagahiku lagi.
"Anghk... auww...", aku melenguh manja.
Dua jari tangan Dedi sekarang ini bermain di dalam liang vaginaku,
mengaduk aduk dengan nakal. Aku menggeliat keenakan menikmati
semua ini.
Dedi dengan seenaknya mencabut dua jari tangannya itu dari liang
vaginaku, kemudian ia langsung mencelupkan kedua jari itu kembali ke
dalam liang vaginaku, berkali kali keluar masuk seperti sedang
memompa liang vaginaku saja. Aku hanya bisa menggelepar dan
menggelinjang sejadi jadinya.
"Oh... ampun Deed", aku mengerang pasrah dijadikan bulan bulanan
oleh Dedi.
Dedi tanpa menghentikan siksaannya pada liang vaginaku, kini sudah
merebahkan tubuhnya di samping kananku. Tangan kiri Dedi
merengkuh dan memangku kepalaku di atas lengannya. Aku
memejamkan mataku menikmati remasan telapak tangan Dedi yang
berhasil meraih payudaraku yang kiri ini, sellagi liang vaginaku terus
diaduk aduk dengan gencar olehnya.
Aku menoleh ke arah Dedi dengan pandangan sayu, ketika Dedi
berhenti mengaduk aduk liang vaginaku.
"Cantik...", bisik Dedi.
Aku memalingkan mukaku dari pandangan Dedi dengan rasa malu dan
jengah.
"Kamu benar benar hot tadi sayang...", bisik Dedi lagi, membuatku
semakun malu, dan aku menggigit bibir menahan senyum.
"Sudah Ded, sampai kapan kamu mau menyekap aku di sini?", kataku
dengan ketus dan menatapnya dengan pura pura marah.
"Iya cantik, kamu sudah boleh pulang kok", kata Dedi sambil
mendekatkan jari tangannya yang masih basah oleh campuran sperma
dan cairan cinta di dalam liang vaginaku tadi, ke depan bibirku.
Aku membuka mulutku kecil, membiarkan jari itu masuk dan menari
nari di atas lidahku. Kuhisap perlahan dan kujilat sampai bersih, dan
itu adalah akhir dari pembantaian terhadap diriku di siang hari ini.
Dedi beranjak dari sampingku, memakai semua bajunya, dan ia
mengambil bra dan celana dalamku yang tadi tergeletak di pojok
ruangan ini. Ia memasukkan kedua pakaian dalamku yang sudah rusak
itu ke dalam tasnya.
"Mau apa kamu Ded dengan bra dan celana dalamku itu?", aku
bertanya ketus.
"Buat kenang kenangan, cantik", kata Dedi dengan enteng.
Aku diam saja, dan kemudian aku juga meraih baju seragam
sekolahku. Aku duduk dan memakai baju itu, lalu aku mencoba berdiri.
Ternyata sekarang aku sudah cukup kuat untuk berdiri, walaupun
kedua kakiku masih agak gemetar. Lalu aku memakai rok seragam
sekolahku, dan memasang sabukku.
Entah nanti bagian belakang rok ini akan basah seperti apa, karena
memang seperti kata Dedi tadi, aku bahkan merasakan aliran cairan
pada selangkanganku. Rasanya becek sekali.
Aku berusaha untuk tak memikirkan hal ini. Sekarang aku sudah duduk
untuk memakai kedua kaus kakiku, dan setelah mengenakan kedua
sepatuku, aku berdiri lagi. Dompetku kuambil dan kubuka, kukeluarkan
selembar uang lima puluh ribuan untuk membayar pak Jamil,
membayar biaya memperkosa diriku ini.
"Ded, kamu sudah melihat tubuhku, sekarang pun kamu sudah lihat
aku memakai seragam sekolah tanpa bra. Kalau celana dalam, itu
terserah kamu. tapi tolong Ded, masa kamu melarang aku pakai bra di
sekolah...", aku mencoba memohon tentang yang satu ini.
Dedi menatapku sejenak, lalu ia menatap ke arah dadaku, membuatku
merasa seperti ditelanjangi.
"Ok deh cantik, Sabtu nanti kamu boleh pakai bra...", kata Dedi sambil
mengangguk, walaupun ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
Aku bernafas lega mendengarnya, tapi aku berusaha untuk tidak
tersenyum.
"Tapi besok dan Sabtu kamu tidak boleh pakai celana dalam di
sekolah", kata Dedi.
Aku agak tercekat mendengarnya.
"Besok? Kamu mau apa Ded? Belum puas kamu menyiksa aku hari
ini?", tanyaku memelas.
"Pokoknya kalau besok kamu pakai celana dalam, aku akan memberi
hukuman berat, cantik", kata Dedi sambil tersenyum, yang bagiku itu
adalah senyuman yang mengerikan dan penuh ancaman.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
Lalu Dedi keluar dari gubuk ini. Aku mengikutinya keluar, dan di depan
pak Jamil sudah menunggu sambil cengengesan. Aku memberikan
uang yang sudah kusiapkan ini padanya, dan tanpa berkata apa apa
lagi aku menuju ke arah mobilku.
"Sampai ketemu lagi non amoy", kata pak Jamil yang masih berdiri di
depan gubuknya, membuatku menoleh.
Aku melihat ia melambaikan uang yang tadi kuberikan, lalu mencium
uang itu seperti orang yang sedang memberikan ciuman jarak jauh
kepadaku.
Dengan kesal aku membuang muka, dan masuk ke dalam mobilku. Aku
melihat Dedi sudah melaju dengan motornya, tanpa melihatku.
Perduli amat, aku menyalakan mesin mobil, dan melaju pulang ke
rumah.
Rasanya lelah sekali setelah diperkosa lima orang tukang becak,
seorang tukang tambal ban, dan seorang teman sekolahku. Cairan di
selangkanganku masih terasa begitu banyak. Aku berusaha
berkonsentrasi menyetir mobilku, walaupun aku agak kesal juga kalau
memikirkan biaya tambal ban yang mahal itu.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.