Selasa, 17 Maret 2015

Eliza 9: Petaka Akibat Mengintip

Hari ini hari Kamis, pelajaran berlangsung normal setelah pelajaran
sempat libur tiga hari lamanya karena ada penyelenggaraan bazar di
sekolahku. Pagi ini semua berlangsung seperti biasa, hanya aku dan
Jenny saling tersenyum penuh arti kalau tanpa sengaja kami beradu
pandang ataupun bersenggolan tangan. Hal ini sering terjadi karena
kami memang duduk bersebelahan. Bahkan kadang diam diam aku dan
Jenny mencuri curi saling menggenggam tangan di bawah meja. Ya,
kejadian di depan rumah Jenny pada akhir liburan kemarin memang
mengubah total hubunganku dengan Jenny.
Istirahat pertama tadi kulewatkan bersama Jenny di kantin. Sherly juga
ikut nimbrung, dan kami bertiga sudah saling tahu semuanya, hingga
tak ada rasa canggung sedikitpun di antara kami bertiga. Kini aku dan
Jenny sedan ada di dalam kelas, dan setengah jam lagi adalah
waktunya istirahat ke dua. kebetulan aku merasa ingin ke toilet. "Jen,
aku ke toilet dulu nih", bisikku. "Aku ikut sayang", kata Jenny,
membuatku tersenyum geli. "Gila kamu yah? Ya.. terserah kamu sih",
kataku. Lalu aku berdiri dan melangkah ke depan diikuti oleh Jenny.
Hampir bersamaan kami berkata, "Pak, kami ijin ke belakang dulu".
Setelah mendapat ijin dari pak Gatot, aku dan Jenny segera keluar dari
kelas, menuju ke toilet, toilet putri tentunya. Tepat sebelum masuk ke
toilet, aku menghentikan langkah. "Jen, kamu dengar nggak? Itu...",
aku berbisik agak ragu, sambil menunjuk ke gudang di sebelah toilet
ini. Jenny memandangku heran, lalu ia melangkah ke arah pintu
gudang itu. "Jennn", aku berbisik kaget sambil menarik Jenny, karena
pintu itu memang agak terbuka, kuatirnya Jenny akan terlihat oleh
orang yang ada di dalamnya.
"Apa sih El?", tanya Jenny heran. "Jen, hati hati dong... kamu kan bisa
kelihatan oleh mereka yang di dalam? Sebaiknya kita dengarkan diam
diam deh", bisikku lagi. Kemudian kami berdua menajamkan
pendengaran, dan tak lama kemudian aku mendengar suara lenguhan
perempuan. Lenguhan perempuan yang mungkin sekali sedang
keenaan karena disetubuhi oleh laki laki. Aku dan Jenny saling
pandang, kulihat muka Jenny memerah. Sedangkan keadaanku sendiri
kelihatannya tak jauh beda, karena mukaku rasanya panas, jantungku
juga berdegup kencang.
"El, siapa ya yang lagi asyik nih siang siang gini?", tanya Jenny
dengan bingung. Aku mengangkat bahu, dan Jenny dengan hati hati
mengintip melalui pintu. Aku juga cukup penasaran dan ikut
mengintip. Beberapa saat kemudian aku cukup shock. Aku melihat
Vera yang telanjang bulat, sedang bergumul dengan dua siswa laki laki
yang tak aku kenal, yang masih memakai seragam sekolah, tapi sudah
tak memakai celana panjang abu abunya. Apakah dua siswa itu teman
sekelasnya?
Dengan cepat aku menahan nafas. Aku mulai mencoba memperhatikan
Vera. Ia sedang meliuk liukkan tubuhnya di atas tubuh temannya yang
rebahan di atas meja yang sudah ditata itu, mungkin sekali Vera
sedang mengendarai penis temannya itu. Benar benar pemandangan
yang kontras, Vera yang begitu putih menggeliat di atas tubuh
temannya yang jadi terlihat begitu hitam. Aku makin tertegun melihat
Vera juga terlihat asyik mengoral penis dari seorang lagi yang berdiri
di sampingnya. Pemandangan ini membuat gairahku naik, melihat Vera
dengan pipinya yang begitu putih, menggembung karena mulutnya
menampung penis temannya yang pasti amat hitam itu.
Lenguhan tertahan dari Vera, membuat aku makin merasa lemas, dan
aku memutuskan berhenti mengintip dan menarik tangan Jenny. Selain
itu aku juga takut ketahuan kalau berlama lama mengintip. Jenny
mengikutiku masuk ke WC. Aku mencoba mengatur nafasku yang
memburu. Kemudian aku masuk ke dalam salah satu dari tiga kamar di
WC ini. Tapi ketika aku akan menutup pintu, aku terkejut melihat
Jenny sudah menerobos masuk, dan mengunci pintu kamar WC ini.
Dan Jenny memandangku dengan tatapan yang membuat aku bergidik.
"Jen... kamu mmph...", kata kataku tertahan karena Jenny sudah
melumat bibirku dengan sangat bernafsu. Tak butuh waktu lama, aku
terlarut dan memejamkan mataku. Aku memeluk Jenny, membalas
lumatan bibirnya dengan sepenuh hati. Entah sejak kapan, aku sudah
tinggal mengenakan bra, seragam sekolahku sudah dibuang Jenny ke
pojok kamar WC ini. Aku balas membuka kancing bajunya, dan
beberapa saat kemudian kami berdua sudah telanjang dada dan saling
meremasi payudara kami berdua.
"Eliza...", desah Jenny. Aku tersipu malu ketika Jenny menatapku
dengan sayu. "Eliza... aku juga ingin kamu...", guman Jenny. Kemudian
dengan bernafsu Jenny melucuti sabuk yang mengikat rok seragamku
di pinggangku, dan dengan cekatan ia sudah melorotkan rok
seragamku. Untung lantai WC ini kering, jadi aku tak perlu
mengkuatirkan rok seragamku akan basah. Tapi aku sudah harus
mendesah hebat, karena celana dalamku sudah dilorotkan oleh Jenny,
dan tanpa berkata apa apa Jenny langsung melumat bibir vaginaku.
"Ohh... Jeeeen... ssshhh...", aku merintih dan mendesah, tanganku
sampai harus kutekankan pada dinding karena aku melemas tanpa
daya. Jenny dengan kejam terus mengoralku. Kini lidahnya sudah
melesak memenuhi liang vaginaku, dan lidah itu bergerak seakan
mengorek dinding liang vaginaku. Tentu saja aku makin
menggelinjang, tapi Jenny memeluk kedua pahaku dengan kuat, jadi
aku tak bisa kemana mana, hanya bisa pasrah sampai Jenny puas
mencumbui liang vaginaku.
"Jeeen...", aku mengeluh ketika kurasakan cairan cintaku membanjir.
Aku orgasme hebat dan tubuhku mengejang tak karuan. Jenny terus
menyeruput semua cairan cintaku sampai habis, baru kemudian ia
melepaskan dekapannya pada kedua pahaku. Aku langsung ambruk ke
depan dan tertahan oleh Jenny. "Eliza...", Jenny mendesah, dan ia
membelai rambutku dengan mesra. Nafasku masih tersengal sengal
dengan kepalaku yang kurebahkan di pundak Jenny.
"Kamu gila Jen...", gerutuku ketika aku sudah mulai bisa mengatur
nafasku. Jenny tersenyum manis sekali, membuatku ikut tersenyum
pada temanku yang cantik ini. Dengan lembut Jenny menyeka
vaginaku dengan tissue yang ia ambil dari baju seragamnya. Aku
menggigit bibir, ketika usapan lembut dari tissue yang dilakukan
Jenny pada bibir vaginaku, membuatku kembali terangsang. Tubuhku
rasanya bergetar.
"Udah dong Jen...", keluhku ketika Jenny dengan nakal melesakkan
tissue itu sedikit ke dalam liang vaginaku. "Iya deh El", kata Jenny
sambil tersenyum menggoda. Aku duduk di WC duduk ini, dan
menuntaskan keinginanku buang air kecil. Setelah itu aku mengambil
tissue yang kubasahi, dan menyeka liang vaginaku. Jenny dengan
nakal menaikkan celana dalamku dan membelai pahaku. Aku cuma bisa
menggeleng gelengkan kepala, dan aku mencari baju seragam
sekolahku dan memakainya. Lalu kuangkat rok seragam sekolahku, dan
kupasang ikat pinggangku.
"Jen.. kita kembali ke kelas yuk", aku mengajak Jenny, yang
mengangguk saja. Kami keluar dari WC ini dan kembali ke kelas. "Lama
sekali kalian", tegur pak Gatot. "Maaf pak, tadi saya sakit perut", aku
mencoba mencari alasan. "Saya juga pak", Jenny ikut memberikan
alasan. "Ya sudah, sana duduk", kata pak Gatot. Kami segera duduk,
dan diam diam aku tersenyum geli. Ketika aku melihat Jenny, ternyata
ia juga sedang menahan senyum.
Akhirnya bel istirahat kedua berbunyi. Aku dan Jenny sudah akan
keluar menuju ke kantin, ketika tiba tiba aku melihat pak Edy masuk.
"Eliza, selesai istirahat, temui saya di ruangan saya. Ada yang perlu
saya tanyakan berkaitan dengan bazar kemarin", kata pak Edy. "Iya
pak", jawabku dengan malas, tapi aku berusaha tetap terdengar sopan.
Sebal sekali aku melihat senyuman liciknya, dan aku segera menuju ke
kantin, dan memang aku jadi kehilangan mood untuk bercanda dengan
Jenny ataupun Sherly, tapi aku berusaha untuk tetap menanggapi
obrolan maupun canda tawa mereka.
Ketika bel tanda istirahat berakhir berbunyi, aku segera berpamitan,
"Sherly, Jenny, aku tinggal dulu ya. Jen, titip pesan sama pak Warno,
aku mesti menemui pak Edy nih". Mereka mengangguk dan aku segera
naik ke atas, bersiap menerima nasib buruk. Aku memasuki ruangan
pak Edy dengan perasaan kalut. "Silakan duduk Eliza", kata pak Edy
sok ramah. Aku hanya mengangguk, malas menjawab wali kelasku
yang bejat ini. Ia beranjak ke arah pintu ruangan ini, melihat keluar
sebentar, lalu masuk dan mengunci pintu itu. Aku tahu aku sudah
kembali berada dalam kekuasaannya.
Aku hanya diam ketika pak Edy yang sudah duduk di hadapanku
memandangiku. Risih sekali rasanya dipandangi seperti ini, seakan aku
sedang ditelanjangi dan ditaksir berapa nilai tubuhku ini. Benar benar
merendahkan sekali. Aku hanya bisa berharap, nasib sialku hari ini
cepat berlalu. Pak Edy yang dari tadi memandangiku tiba tiba berkata,
"Eliza.. kamu cantik sekali".
Aku tercekat, dan menunduk. Aku merinding mendengar pujian yang
tak sepantasnya dilakukan oleh seorang wali kelas terhadap muridnya.
"Pak, apa tidak ada perlu penting? Kalau tidak ada, biarkan saya
kembali ke kelas, saya kan harus mengikuti pelajaran", kataku pelan.
Pak Edy terkekeh dan menjawab, "Tentu saja saya ada perlu sama
kamu Eliza". Berkata begitu, ia berdiri dan mendekatiku. Aku tahu, aku
akan segera mengalami pelecehan oleh wali kelasku ini.
Aku diam saja ketika pak Edy mulai meremasi payudaraku. Ia
melanjutkan mencumbuiku, menyibakkan rambutku yang hari ini aku
ikat, dan mencium belakang leherku. Bagaimanapun jijiknya, rasa
terangsang mulai merambati tubuhku. Aku menggigit bibir mencoba
bertahan untuk tidak mendesah. Tapi cumbuan yang kuterima makin
bertubi tubi. Kurasakan jilatan pada bagian belakang telingaku kanan
dan kiri, sementara tangan pak Edy makin nakal, membuka kancing
baju seragam sekolahku dan menyusup ke dalam meremasi payudaraku
yang masih terbungkus bra ini.
Akhirnya aku tak tahan lagi dan mendesah perlahan ketika jari tangan
pak Edy berhasil menemukan puting payudaraku. Tekanan yang
dilakukan pak Edy pada puting payudaraku ditambah kecupannya pada
leherku, membuatku menggelinjang. Aku mencoba mengalihkan tangan
pak Edy, tapi aku segera menghentikan niatku karena ancaman pak
Edy. "Eliza, jangan coba coba melawan, atau bapak panggil pak Girno
dan yang lain untuk menemani bapak", bisik pak Edy di telingaku. Aku
langsung lemas dan pasrah, kubiarkan guru bejat ini menikmati diriku.
Tak lama kemudian baju seragam sekolahku sudah tergeletak di lantai,
demikian juga bra dan ikat rambutku. "Eliza, kamu lebih cantik kalau
rambutmu dibiarkan tergerai seperti ini", kata pak Edy dengan
bernafsu. Ia mengangkatku berdiri, lalu membuka sabukku, melucuti
rok dan celana dalamku. Kini aku sudah polos, tinggal mengenakan
sepatu sekolah ini. Dengan nafas memburu pak Edy mendekap tubuhku
dan membawaku ke sofa. Setelah aku terbaring di sana, pak Edy segera
melebarkan pahaku, dan mulai mencoba memasukkan penisnya ke
dalam liang vaginaku. Tapi yang terjadi kemudian sungguh membuat
aku hampir tak kuat menahan tawa.
Pak Edy tak mampu melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Aku
sempat merasakan terjangan penis yang terlalu lunak, rupanya pak Edy
belum ereksi sempurna. Padahal terlihat jelas ia sudah sangat bernafsu
melumat tubuhku. Aku mencoba memikirkan hal lain supaya tak
sampai tertawa di depan wali kelasku ini. Kurang lebih dua kali pak
Edy mencoba lagi, dan akhirnya... sleb...
Dengan wajah puas pak Edy kini mulai memaju mundurkan pinggulnya.
Aku tak begitu merasakan sedang disetubuhi, karena penis ini lunak,
dan pendek. Tapi aku mencoba berpura pura terpengaruh, dan aku
sengaja menggigit bibirku. "Oh... enak ya Eliza", ejek pak Edy dengan
percaya diri. Aku terpaksa pura pura mengangguk, sambil tetap
menggigit bibir. Belum lagi aku merasakan apa apa, tiba tiba penis pak
Edy sudah berkedut, dan menyemburkan spermanya dalam liang
vaginaku.
Setelah pak Edy puas dan menarik penisnya dari liang vaginaku, aku
memejamkan mataku, sekalian mengistirahatkan tubuhku. Aku tak
bergerak sama sekali dari posisi tubuhku terakhir saat pak Edy menarik
lepas penisnya tadi. Kalau ada laki laki yang melihat cewek yang putih
mulus seperti aku, sedang mengkangkang dalam keadaan telanjang
seperti ini, pasti aku akan diperkosanya habis habisan. Aku tenang
saja, toh tak ada orang di sini, setidaknya itu menurutku. Juga
sekalian untuk membiarkan sperma pak Edy keluar mengalir dari liang
vaginaku.
Tapi tiba tiba kurasakan vaginaku tertempel sesuatu, yang tak
mungkin jari tangan pak Edy, karena kurasakan begitu hangat, dan
besar juga. Itu kepala penis! Aku langsung membuka mataku lebar
lebar, dan jantungku serasa berhenti. Ya ampun, dia ini kan laki laki
yang tadi dioral Vera di gudang? Dan aku makin terkejut ketika di
sebelahku sudah berdiri seorang laki laki seumurku, dengan penisnya
yang sudah berdiri tegak sekali mengacung ke arah mulutku.
Kemungkinan besar dia juga laki laki yang tadi rebahan di gudang dan
ditindih oleh Vera .
Belum sempat aku berbuat sesuatu, liang vaginaku sudah terbelah oleh
penis laki laki di depanku. "Aaammpphhh...", aku merintih, tapi segera
disumbat oleh penis laki laki yang memang sudah jelas menginginkan
servis oralku. Kedua pergelangan tanganku dicengkeram erat, aku
sempat berhasil melihat pelakunya, yang ternyata adalah pak Edy!
Benar benar biadab, ia memberikan aku pada dua siswa yang sama
sekali tak aku kenal ini. Entah apa yang ada di pikiran wali kelasku
yang bejat ini.
Kini aku merasakan liang vaginaku begitu penuh, dan aku menggeliat
perlahan ketika kurasakan liang vaginaku diaduk aduk oleh penis
pemerkosaku ini. Aku tak berani terlalu banyak bergerak, karena liang
vaginaku terasa begitu penuh, apalagi penis itu terasa panjang sekali
dan menancap begitu dalam. Aku merasa sedikit menderita dengan
keluar masuknya penis itu di liang vaginaku ini. Sedangkan mulutku
harus terbuka lebar, dan akhirnya aku pasrah, menjepitkan bibirku
pada penis yang sedang maju mundur menikmati sempitnya rongga
mulutku.
Penis yang sedang kuoral ini panjang juga, berulang kali kepala penis
ini seakan ingin melesak masuk kedalam tenggorokanku, bahkan
sebelum bibirku mengulum sampai ke pangkal penis ini. Entah kenapa,
aku menginginkan penis ini mengaduk tenggorokanku, dan aku sedikit
mendongak, memberikan jalan pada penis ini untuk menembus rongga
tenggorokanku. Keringat mulai membasahi tubuhku, karena gairahku
sudah mulai naik. Aku berulang kali mendesah dan merintih tertahan.
Rasa sakit yang tadi sempat sedikit melanda liang vaginaku, sudah
berubah menjadi rasa yang teramat nikmat. Aku mulai menggeliat
keenakan. Dengan liang vaginaku yang teraduk aduk sedemikian rupa
oleh sebuah penis yang besar dan panjang, sementara tenggorokanku
juga teraduk aduk tak karuan, dan ketidak berdayaan dari aku untuk
menggerakkan tanganku yang dicengkeram pak Edy, aku tahu sebentar
lagi aku harus pasrah dilanda orgasme yang dahsyat.
Kini vaginaku sudah berdenyut hebat. Aku pun makin menggeliat,
mengerang dan melenguh tertahan, penuh kenikmatan. Dan penis itu
masih mengaduk liang vaginaku dengan liar tanpa ampun. Akhirnya
aku melenguh, "Nggmm...". Lenguhanku tersumbat ketika
tenggorokanku terbuntu oleh kepala penis yang melesak seenaknya,
membuat aku tak tahan lagi dan mengejang tak karuan, kedua betisku
melejang sejadi jadinya. Aku merasa cairan cintaku membanjir tak
karuan, entah sudah sebasah liang vaginaku.
Pinggangku sudah tertekuk ke atas karena aku tak kuasa menerima
nikmatnya orgasme ini, dan dengan pose seperti ini tubuhku pasti
terlihat sexy sekali oleh pemerkosaku yang beruntung mendapatkan
liang vaginaku ini. Melihat aku orgasme, bukannya berhenti,
pemerkosaku ini makin bersemangat mengaduk liang vaginaku. Bahkan
ia memajukan tubuhnya hingga tusukan penisnya makin terasa saja.
Ternyata ia menginginkan kedua payudaraku. Kedua tangannya meraih
sepasang payudaraku ini, dan ia meremas payudaraku dengan sepuas
puasnya. Tentu saja aku yang masih dilanda orgasme makin keenakan.
Aku akhirnya mengalami multi orgasme, tubuhku terus mengejang
hebat sampai aku kelelahan, orgasme yang susul menyusul terus
melandaku. Aku sudah tak bisa merintih lagi, hanya membiarkan
tubuhku bergerak diluar kontrolku. Sudah lebih dari satu menit
tubuhku tersentak sentak diterjang badai orgasme, dan belum ada
tanda tanda pemerkosa liang vaginaku itu akan berejakulasi. Aku mulai
menderita dalam kenikmatan yang amat sangat ini, keringatku makin
bercucuran membasahi sekujur tubuhku. Aku menatap pemerkosa
vaginaku dengan sayu, berharap ia mengerti dan mau memberiku
kesempatan istirahat, karea aku tak bisa berkata apapun dengan penis
yang sedang memperkosa mulutku ini.
"Break dulu, nanti dia bisa pingsan", kata pak Edy tiba tiba, dan
mereka berdua berhenti memompa tubuhku. Semua penis yang
memompa tubuhku berhenti bergerak, demikian juga payudaraku
terbebas dari remasan yang sangat membuatku menderita keenakan ini.
Tapi penis yang besar itu masih berada dalam liang vaginaku, dan
kurasakan denyutan denyutan yang begitu merangsangku. Cuma
setidaknya keadaan ini sudah lebih baik buatku, karena multi orgasme
yang membuat vaginaku begitu ngilu ini mulai mereda, hingga rasa
tersiksa karena kejangnya otot otot di vaginaku dan sekitarnya,
termasuk betisku, otomatis juga berkurang.
Juga dengan berhentinya gerakan penis di dalam mulutku tepat saat
kepala penis itu tidak sedang menerjang rongga tenggorokanku,
memberiku kesempatan untuk mengambil nafas. Pak Edy juga sudah
melepaskan cengkeraman pada kedua pergelangan tanganku, hingga
aku bisa mengistirahatkan tanganku yang pegal karena tertarik
kencang ke belakang selama beberapa menit. Selagi aku mencoba
memulihkan tenaga yang rasanya terkuras habis ini, wali kelas sialan
ini memperkenalkan pemerkosaku satu per satu, hal yang harusnya
sama sekali tidak penting untuk kudengarkan, tapi toh aku tak bisa
berbuat apa apa selain terpaksa mendengarkan pak Edy.
"Eliza, kenalkan, ini Dedi, kelas 2G, sebelah kelas kamu", kata pak Edy
sambil menepuk pundak pemerkosa mulutku. Aku melihat Dedi, ia
benar benar tidak tampan, bahkan cenderung mengerikan dengan bekas
luka di hidungnya. Wajahnya sama sekali tidak ramah. Ya ampun,
orang seperti ini ada di kelas sebelahku? Aku memang penghuni kelas
2H. Dan pak Edy bergerak ke arah pemerkosa vaginaku. "Kalau ini
Pandu, kelas 2G juga", kata pak Edy. Aku hanya bisa mengarahkan
pandanganku ke arah Pandu karena mulutku tertahan oleh penis Dedi
yang kokoh ini.
Pandu juga sama sekali tidak tampan, malah sedikit tongos. Orang
orang seperti ini harusnya membuatku jijik atau sedikitnya aku malas
berdekatan dengan mereka. Tapi kini mereka sudah mendapatkan
tubuhku berkat bantuan wali kelasku yang bejat ini. Ingin aku berteriak
pada pak Edy, aku ini kan anak murid kelasnya, mengapa dia tega
memberikan aku pada anak murid kelas sebelah seperti ini?
Kini pak Edy bertanya pada Pandu, "Gimana Pandu? Eliza ini lebih
enak dari Vera kan?". Pandu cengengesan menjijikkan dan menjawab,
"Pak Edy memang hebat, bisa memberikan kami amoy secantik Eliza
ini. Dan memang benar, Eliza ini memeknya lebih rapat jauh dari Vera!".
Dedi menyambung, "Ndu, nanti loe cepetan ngecrot, gua juga mau
coba memek amoy cantik ini!". Aku memejamkan mata, rasanya terhina
sekali mendengar pujian yang sebenarnya amat melecehkanku ini.
Dan beberapa saat kemudian, ronde kedua pemerkosaan terhadap
diriku dimulai. Pandu mulai menggenjot liang vaginaku lagi. Dedi tak
mau kalah, ia menerjangkan penisnya melesak ke dalam rongga
tenggorokanku. Kembali aku harus melayani kedua pemerkosaku ini,
siswa sekolah ini, yang seangkatan denganku. Kini liang vaginaku
sudah begitu basah, dan hunjaman penis itu sudah tak begitu
menyiksaku lagi sejak awal. Sedangkan tenggorokanku juga basah
oleh air liurku sendiri dan cairan pelumas penis Dedi.
Aku merasakan Pandu menjejalkan penisnya dalam dalam di tiap
hunjaman yang dilakukannya, kelihatannya ia sedang mencari
kenikmatannya sendiri untuk segera berejakulasi. Tapi aku cukup
menderita juga atas apa yang dilakukannya, karena sesekali kurasakan
dinding rahimku seperti tersodok kepala penis Pandu. Aku mengerang
tertahan menahan sakit yang bercampur nikmat ini. Entah apa bedanya
dengan ronde pertama tadi, kali ini baru beberapa menit, Pandu mulai
mengerang, dan penisnya kurasakan berkedut hebat di dalam liang
vaginaku.
"Oh.. Elizaaa...", erang Pandu, tubuhnya bergetar hebat, dan kurasakan
liang vaginaku disirami spermanya yang amat hangat, dan banyak. Aku
hanya diam, memang aku terangsang, tapi aku belum sampai orgasme.
Mendadak dengan cepat Dedi menarik lepas penisnya yang sejak tadi
bersarang di dalam mulutku, dan begitu Pandu menarik lepas penisnya
dari liang vaginaku, Dedi segera mengambil posisi untuk mendapatkan
servis liang vaginaku. Aku benar benar merasa seperti pelacur di dalam
ruangan ini.
"Ngghhh...", aku melenguh perlahan ketika liang vaginaku yang sempat
merasa sedikit lega setelah Pandu menarik lepas penisnya tadi, kini
kembali terisi penis Dedi yang sempat kuperhatikan tadi, kira kira
berukuran 16 cm, dengan diameter sekitar 4 cm. Dan selagi Dedi mulai
memompa liang vaginaku, Pandu berjalan ke arah kepalaku, dan
kuperhatikan penisnya yang masih belum begitu layu. Ternyata sesuai
dugaanku, penis itu panjang dan besar. Kira kira panjangnya hampir 20
cm, dan diameternya mungkin nyaris 5 cm. Pantas saja tadi aku
sampai tak kuasa menahan nikmat yang melanda selangkanganku.
Kini penis itu sudah ada di depan mulutku. Terbiasa menghadapi
gangbang ataupun perkosaan yang menimpa diriku, dengan tanpa
sadar aku membuka mulutku, membiarkan penis yang masih belepotan
sperma Pandu dan cairan cintaku sendiri itu melesak masuk, dan aku
seakan tahu tugasku untuk membersihkan penis itu. Selagi Dedi terus
memompa liang vaginaku dengan bersemangat, aku mengulum penis
Pandu, menjilat seluruh permukaan kulit penis yang sudah mulai
mengecil perlahan ini, dan menyeruput semua sisa sperma yang masih
belepotan di sana. Kutelan campuran semua cairan itu, dan aku
sengaja menjepit penis itu dengan bibirku, kujepit dengan agak kuat.
Sampai ke kepala penisnya, aku mencucup dengan kuat, membuat
Pandu melolong keenakan. Tapi aku tak mau melepaskannya.
"Aaargghh... sudah Elizaaa...", erang Pandu. Ia menggigil keenakan, dan
setelah ia mengeluarkan suara seperti sedang disembelih, baru aku
melepaskan cucupanku pada kepala penisnya. Pandu langsung roboh
ke lantai, ia merintih dan mengerang keenakan. Kini aku tinggal
berkonsentrasi pada Dedi. Tapi rupanya pak Edy ingin servis oralku
juga, ia sudah menyodorkan penisnya di depan mulutku. Maka aku
terpaksa membuka mulutku, menerima penis pak Edy yang mini ini,
yang memang masih belepotan sperma.
Aku melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan pada penis
Pandu tadi, dan pak Edy juga melolong keenakan sampai akhirnya
ketika aku melepaskan kulumanku, pak Edy juga roboh tak berdaya di
sebelah Pandu. Tapi kini aku sudah terangsang hebat, sodokan demi
sodokan yang sejak tadi kuterima membuat vaginaku terasa begitu
ngilu. Memang penis Dedi tak sebesar penis Pandu, tapi cukup untuk
memaksaku menderita dalam kenikmatan ini.
Aku mulai menggeliat dilanda kenikmatan ini, dan perlahan aku
mendesah. "Sssh... oooh", aku makin keras mendesah. Vaginaku serasa
akan meledak dipompa habis habisan oleh Dedi, dan akhirnya aku
orgasme di ronde kedua ini. "Nggghhhh.. nggghhhh...", kini aku
melenguh sejadi jadinya karena mulutku bebas tak tersumbat oleh
penis seperti tadi. Pinggangku kembali tertekuk ke atas, tubuhku
tersentak sentak tak karuan dan mengejang hebat, kedua betisku
melejang tak karuan. Untungnya Dedi sendiri juga sedang mengerang,
ia akan segera orgasme.
"Ooooh... Elizaaa... memekmu... enaaaak...", erang Dedi. Tubuhnya
tersentak beberapa kali saat penisnya menyemprotkan sperma ke
dalam liang vaginaku. Ia menarik lepas penisnya dari jepitan liang
vaginaku, dan dengan gontai ia berjalan, hendak mendapatkan servis
oral dariku. Orgasmeku sudah mereda, dan aku membuka mulutku
begitu penis itu sudah ada di depan mulutku. kuberikan perlakuan
yang sama kepada penis Dedi seperti tadi aku memperlakukan penis
Pandu dan pak Edy.
Dedi pun tak kuasa bertahan, ia mengerang dan melolong tak kuasa
menahan nikmat. Begitu aku melepaskan kulumanku, Dedi juga roboh
di sebelah pak Edy. Aku sendiri terbaring lemas dan keadaanku tak
lebih baik dari mereka. Entah dosa apa aku harus melayani tiga lelaki
bejat ini di sekolah. Entah apa lagi yang kelak terjadi, mungkin Pandu
dan Dedi akan mencari kesempatan untuk memperkosaku lagi.
Aku mencoba bangkit dari sofa ini, dan mengambil tissue di atas meja.
Aku menyeka bibir liang vaginaku dan sekitarnya yang belepotan
sperma dan cairan cintaku. Aku kembali mengambil tissue agak
banyak, dan menyeka keringat yang membasahi sekujur tubuhku.
Tanpa berkata apa apa aku mengambil celana dalamku dan
mengenakan di tubuhku menutup liang vaginaku. Juga aku
mengenakan bra, baju dan rok seragam sekolahku. Dengan pandangan
benci aku menatap pak Edy. "Sekarang biarkan saya kembali ke kelas
pak!", kataku ketus.
"Tunggu Eliza", kata pak Edy dengan buru buru. Ia berdiri dan memakai
celana yang tadi ia lepas untuk memperkosaku. Demikian juga dengan
Pandu dan Dedi juga sudah mengenakan celana mereka semua. Lalu
Pandu dan Dedi duduk di kedua ujung sofa, sedangkan pak Edy
membimbing aku untuk duduk di tengah mereka. Kedua lenganku
didekap oleh satu lengan mereka, sedangkan tangan mereka yang
menganggur mulai meremasi payudaraku.
"Eliza, Pandu dan Dedi ini adalah anak teman bapak. Tadi bapak
melihat kamu mengintip ke gudang saat Pandu dan Dedi sedang
bermain dengan Vera. Karena bapak takut kamu menyebarkan ke teman
lain, bapak terpaksa membungkam mulut kamu dengan mengatur
kejadian ini", kata pak Edy tanpa merasa bersalah. Aku makin muak
pada wali kelasku ini. Perlu apa juga aku menyebarkan kepada teman
teman tentang aib yan dilakukan Vera? Toh aku sendiri juga sudah
bukan gadis yang suci.
"Oh iya Eliza. Tadi kamu mengintip dengan Jenny kan", tanya pak Edy
sambil tersenyum menjijikkan. Kata katanya membuat aku serasa
disambar petir. "Apa maksud bapak?", dengan panik aku bertanya
setengah membentak. Kedua siswa bejat yang masih asyik meremasi
payudaraku ini tertawa mengerikan. "Sederhana Eliza, Jenny juga harus
dibungkam. Kalau kamu tak ingin bapak menyeret kamu ke rumah
kosong di sebelah mess untuk melayani seluruh penghuni mess
sekolah ini, kamu harus bisa bawa Jenny ke UKS, sabtu malam besok
ini. Tempat kamu pertama kali bermain cinta di sekolah ini", kata pak
Edy.
Aku langsung lemas, diiringi tawa mereka. Aku tak tahu apa yang
harus aku lakukan. Setelah beberapa remasan keras pada kedua
payudaraku hingga aku menggeliat, dua siswa bejat itu melepaskanku.
Aku segera berdiri, dan menuju ke pintu keluar setelah membenahi
baju seragamku yang sedikit awut awutan. Tepat ketika aku membuka
kunci pintu ruangan ini, pak Edy kembali mengingatkan, "Eliza, ingat,
besok Sabtu jam delapan malam, bapak tunggu kamu dan Jenny di
ruang UKS".
Aku tak menjawab, dan keluar dari ruangan laknat ini. Dalam
perjalanan menuju ke kelas, aku berpikir keras, apa yang harus aku
lakukan. Aku belum bisa mengambil keputusan sampai akhirnya aku
masuk ke kelas. Aku mengetuk pintu kelas dahulu. "Permisi pak
Warno, maaf saya tadi dipanggil pak Edy", aku memberikan keterangan.
Pak Warno tersenyum dan menyilakan aku masuk, "Ya Eliza, saya
sudah diberitahu Jenny. Silakan duduk". Aku berjalan ke tempat duduk
sambil melamun. Ketika aku sudah duduk di sebelah Jenny, aku
dikagetkan oleh cubitan Jenny. "Eliza.. kamu cantik deh kalau
rambutmu dibiarin tergerai gini. Tadi kok nggak digerai gini sih?",
goda Jenny. Aku hanya tersenyum malu. Tapi aku juga dalam
kegundahan yang amat sangat, entah Jenny tahu atau tidak.
Aku harus memutuskan, apakah aku menyerahkan Jenny kepada orang
orang bejat itu, atau aku yang menyerahkan diri untuk dibantai di
rumah kosong oleh sekitar 60 orang. Entah apa kalaupun kemudian aku
yang menyerahkan diriku, apakah Jenny tetap dibiarkan lolos? Tapi
jika aku menyerahkan Jenny pada mereka, apakah nanti Jenny akan
membenciku? Keduanya adalah pilihan yang sangat sulit bagiku. Dan
aku jadi melamun sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.