Selasa, 17 Maret 2015

Eliza 7: Penderitaanku Di Hari Sabtu

Klakson mobilku kutekan kuat kuat ketika aku melihat di pinggir jalan
ada anak SD yang sedang menangis, kelihatannya ditodong oleh
seorang anak laki laki berseragam putih biru, anak SMP. Untungnya
bunyi klaksonku cukup menarik perhatian orang orang di sekitar sini,
hingga membuat anak SMP itu menghentikan aksinya dan segera
kabur.
Anak SMP itu sempat memandangku dengan penuh ancaman sebelum
menghilang di gang kecil itu, tapi aku tak memperdulikannya. Kulihat
anak SD itu masih menangis ketakutan, maka aku keluar dari mobil
dan mendekati anak itu, mencoba menenangkannya. "Titi, sekarang
udah aman kok, nggak apa apa, jangan nangis yah", kataku sambil
berjongkok dan membelai rambutnya.
Anak kecil itu menghambur dan memelukku, kubiarkan ia menangis
sampai akhirnya ia mulai tenang dalam pelukanku. "Titi, nama kamu
siapa", aku bertanya padanya. "Johan, cie", katanya dengan suara
sengau, wajar saja karena habis menangis. "Rumah kamu di mana? Cie
cie antar ya?", tanyaku. Ia menyebutkan alamat, yang aku kebetulan
tahu itu ada di dekat sini. Kuantar dia pulang, dan kebetulan yang
membuka pintu itu kelihatannya mamanya.
"Ai, tadi kebetulan aku lihat Johan lagi nangis. Takut kenapa kenapa,
aku antar pulang", kataku. "Aduh, maaf merepotkan ya nik, kamu baik
sekali. Oh iya, Johan ini anaknya Ai. terima kasih ya.. mari masuk dulu,
Ai buatkan minum dulu. Kamu belum makan kan nik? Ayo makan di
sini", kata Ai itu padaku. "Oh nggak usah Ai, terima kasih. Aku harus
segera ke rumah teman, ada perlu Ai", aku menolak halus.
"Oh ya sudah.. oh iya, aku Ai Linda. siapa namamu nik?", tanya Ai
Linda sambil mengulurkan tangannya. "Eliza, Ai", aku menjawab sambil
bersalaman. "Terima kasih Eliza, kapan kapan mampir ke sini ya", kata
Ai Linda. "Iya Ai, Eliza pergi dulu", aku berpamitan, lalu aku kembali ke
mobil dan melaju ke rumah Sherly, yang ada di 3 gang sebelah dari
sini. Hatiku terasa senang, mungkin karena baru saja berbuat baik
(duh.. narsis deh), tak terasa aku senyum senyum sendiri.
Tujuanku yang sebenarnya sebelum aku tadi terpaksa memberanikan
diri menolong anak kecil tadi adalah ke rumah Sherly yang merupakan
kost kostan itu. Yah, di hari sabtu ini, ketika jam istirahat ke dua tadi,
Jenny mendadak sakit, dan terpaksa minta ijin pulang lebih cepat. Aku
mengantarnya sampai ke mobil, dan sebelum pulang, Jenny menitipkan
sebuah buku padaku, "El, tolong ya, kembalikan ini ke Sherly".
Aku mengiyakan, "Beres deh Jen, cepat sembuh ya". Jenny tersenyum
lemah, dan setelah saling melambaikan tangan dengannya, aku masuk
hendak mencari Sherly, tapi sayangnya bel istirahat berakhir sudah
berbunyi. Dan waktu pulang sekolah aku mencari cari Sherly juga tak
ketemu. Maka sepulang sekolah, aku segera menuju ke rumah Sherly,
dan ketika aku hampir sampai ke rumahnya, aku melihat kejadian tadi
itu. Kini aku sudah berada di dekat rumahnya.
Dan.. duh, hari ini tidak ada tempat kosong di dekat pintu rumah
Sherly, maka aku terpaksa memutar dan parkir agak jauh. Tepat ketika
aku mematikan mesin mobil, handphoneku berbunyi. Kulihat di layar
handphone, nomernya Jenny. "Halo Jen.. ada apa?", aku menyapanya.
"El… gimanah… sudah kamu kembalikan… sama Sherly… bukunya…?",
tanya Jenny padaku. "Ini aku sudah mau turun ke rumahnya. Kamu..",
aku tak meneruskan, karena tiba tiba aku tersadar, suara Jenny tadi
itu, pasti dia sedang dalam keadaan yang sama denganku dulu waktu
menjawab telepon kokoku dan Wawan terus menggenjotku.
Teringat hal itu, mukaku tiba tiba rasanya panas, jantungku berdegup
kencang. Aku tak tahu harus bagaimana. Jenny berkata lagi, "El.. nanti
tolong.. sampaikan Sherly, thanks.. dan sori aku.. aku gak bisa datang
sendiri.. aku lagi sakit.. HEI…". Suara Jenny mendadak menjauh, dan
tiba tiba suara di seberang berganti suara laki laki, "Non Eliza.. gimana
kabarnya? Ini Supri. Kapan main ke sini lagi non? Sudah pada kangen
semua nih sama non Eliza yang cakep, dan yang pasti memek non
yang enak itu.. hahahaha".
"Kurang ajar kamu. Kamu apakan Jenny?", aku sedikit membentaknya.
"Lho kok malah marah sih non Eliza? Ini non Jenny lagi asik kok sama
kita kita", kata Supri sambil cengengesan. "Dengarkan sendiri kalo
nggak percaya non", katanya lagi, dan dari seberang kudengar
lenguhan Jenny yang makin jelas, rupanya handphone itu didekatkan
ke arah Jenny. "Jen… Jen…", aku mencoba memanggil, tapi yang
kudengar malah erangan panjang, rupanya Jenny sekarang bahkan
sedang mengalami orgasmenya.
"Gimana non Eliza? Masih nggak percaya kalo non Jenny juga suka?
Nih anaknya sampai goyang sendiri lho. Terus non Eliza sendiri
gimana? Apa nggak kangen dengan kita kita?", tiba tiba kudengar
suara Supri, yang masih cengengesan dari tadi. "Dasar kalian sakit
semua!", aku berkata dengan gemas dan aku segera memencet tombol
end call. Kuletakkan handphoneku begitu saja di jok sebelah.
Aku duduk sebentar menenangkan diri, lalu membawa tas sekolahku
turun dari mobilku. Setelah memastikan mobilku terkunci dengan baik,
aku segera melangkah ke rumah Sherly. Sampai di pintu rumah Sherly,
aku memencet bel itu. Entah kenapa pintu ini tak segera dibuka oleh
orang yang ada di dalam, kira kira sudah lebih dari 10 menit aku
menunggu. Dan selagi aku menunggu dan mencoba menekan bel lagi,
aku mendengar deru sepeda motor dan menoleh ke arah suara itu.
Oh.. itu kan anak SMP yang tadi itu? Ia membonceng pada sebuah
sepeda motor, yang dikendarai oleh orang yang berseragam SMA,
putih abu abu. Dan mereka semakin mendekat. Anak SMP itu melihat
ke arahku, membuatku sedikit gugup, dan mengalihkan pandanganku
dari mereka ke pintu rumah Sherly. Aku agak tegang ketika kudengar
deru sepeda motor itu melambat. Oh.. apakah anak SMP itu akan
berbuat sesuatu karena aku tadi siang menggagalkan rencana
jahatnya?
Aku tak berani melihat ke belakang, menahan nafas, dan berharap
semoga Sherly segera membukakan pintu ini. Dan ketika aku
mendengar deru sepeda motor itu meninggalkanku, aku segera
bernafas lega. Apalagi sekarang pintu ini sudah terbuka, tapi aku jadi
tertegun. "Hai Eliza.. tumben nih? Masuk yuk.. sori ya kelamaan", sapa
Sherly. "Hai.. juga.. Sherly. Nggak apa apa kok, thanks ya", kataku.
Ya ampun, dalam hati aku bertanya tanya, Sherly masih memakai baju
seragam, tapi baju Sherly begitu kusut, demikian juga rambutnya.
Roknya juga lecek semua, sabuknya tak terpasang dengan benar. Dan
mukanya Sherly itu merah sekali, nafasnya juga tak beraturan,
tubuhnya basah oleh keringat, seperti habis berolah raga saja. Sinar
mata Sherly juga seperti redup dan sayu. Melihat Sherly seperti ini,
mukaku rasanya panas.
Entah kenapa, aku membayangkan olah raga apa yang mungkin saja
baru dilakukan Sherly. Setelah menutup pintu, Sherly mengajakku
masuk ke kamarnya, dan aku mengikutinya dari belakang. Sampai di
kamarnya, aku melihat beberapa hal yang membuatku merasa
dugaanku yang barusan tadi itu benar. Sprei ranjang Sherly terlihat
awut awutan, dan yang lebih gawat lagi, aku melihat dua helai kaus
tergeletak di bawah meja, yang bisa kupastikan kaus dekil yang
menebar bau itu bukan kausnya Sherly.
Cukup lama aku memandang kaus itu, dan tiba tiba Sherly berkata, "Ya
ampun, itu kan kausnya… mereka itu gimana sih? Tadi aku suruh dua
pembantu untuk menggeser mejaku ke pinggir El. Mereka itu..". Sherly
tak meneruskan kata katanya, dan memungut dua kaus itu dan
melempar keluar kamar. Aku memutuskan tak bertanya macam macam,
walaupun dalam hati aku sudah menduga yang tidak tidak.
Kukeluarkan buku itu dari tasku, dan kuberikan pada Sherly.
"Ini Sher, tadi di sekolah aku dititipin Jenny buku ini, Jenny sakit jadi
pulang lebih cepat. Terus sepulang sekolah aku cari cari kamu nggak
ketemu, jadi aku antar ke sini deh', kataku. "Oh, mestinya biarin aja El,
nggak apa apa, aku belum butuh juga. Jadi ngerepotin kamu nih.
Thanks El", katanya sambil menaruh buku itu di atas meja itu. "Kamu
belum makan kan El? Kebetulan nih aku mau makan siang, bareng
yuk? Tapi seadanya ya El", katanya lagi.
"Duh, makasih deh Sher. Aku kalo makan nggak pilih pilih kok", aku
menerima tawarannya untuk makan bersama, dan aku sempat melihat
jam, sudah jam 13:15. Pantas saja aku merasa agak lapar. Sambil
makan siang, kami saling bercerita tentang kelas kami hari ini, dan
juga soal Jenny yang pinjam buku, terus mendadak sakit perut.
Setelah selesai makan, aku pikir lebih baik ngobrol sebentar dengan
Sherly, maka aku membantu Sherly membawa piring kotor ke dapur,
lalu aku menemani Sherly yang masuk ke dalam kamarnya.
Kira kira setengah jam lamanya kami mengobrol ke sana kemari, dan
saat aku melihat jam, sudah jam 14:15. Aku berpikir, sudah waktunya
aku pulang. "Sher, aku pulang dulu yah..", kataku sambil mengambil
tas sekolahku. "Iya deh. Eh tapi El, tas sekolahmu besar amat? Duh..
anak rajin deh. Pantas selalu ranking 1″, ledek Sherly. Aku agak malu
juga dipuji oleh Sherly, dan berkata, "Duh, nggak rajin kok. Ini juga
isinya baju, aku harusnya hari ini berencana menginap di rumah
Jenny. Tapi…".
Aku tak meneruskan kata kataku. Tentu saja jangan sampai aku
menceritakan aku tak jadi menginap gara gara takut dikerjain buruh
buruh yang sekarang sedang menggarap Jenny itu. Sherly agak heran
sejenak, tapi mendadak ia seakan mengerti sesuatu, "Oh.. iya ya..
Jenny lagi sakit kan.. ya terpaksa lain kali deh", katanya sambil
tersenyum. "Tunggu bentar ya El, aku ada mau minta tolong sama
kamu", kata Sherly, sambil membuka laci mejanya, mencari cari
sesuatu.
Aku menunggunya, sambil melihat ruang dalam dari jendela kamar
Sherly, dan aku terbelalak karena pemandangan yang kulihat. Ya
ampun, aku melihat ada salah satu cie cie penghuni kos di sini yang
hanya memakai handuk, seperti sedang mengomeli seseorang. Kalau
nggak salah orang yang dulu aku lihat keluar dari kamar cie Katherine,
salah satu penghuni kos di sini. Dan orang itu tak memakai kaus..
Cie cie yang kulihat ini, putih sekali kulitnya. Tak terlalu tinggi,
mungkin lebih pendek sedikit dariku. Rambutnya pendek dan
dihighlight, membuat wajahnya yang sudah cantik itu terlihat semakin
manis. Namun kali ini wajah itu diselimuti kegundahan, apalagi orang
itu makin lama makin kurang ajar, mencoba menyentuh wajah dan
tubuh cie cie itu, tapi cie cie itu terus menepis dan menghindar,
sambil melihat sekelilingnya dengan wajah cemas.
Gilanya, orang itu tiba tiba dengan ganas melumat bibir cie cie itu,
yang kelihatan meronta ronta dan berusaha melepaskan diri. Tepat
ketika cie cie itu berhasil melepaskan diri dan berusaha menjauh,
orang itu menangkap pergelangan tangan cie cie itu dan menariknya
masuk ke kamar mandi, membuatku semakin terbelalak. "El, kenapa?",
tanya Sherly padaku. "Oh.. nggak apa apa Sher, aku cuma teringat kalo
handphoneku ada di mobil", aku mencari alasan, mencoba menutupi
kekagetanku tadi.
"Ooo.. hihi kamu kalo bingung lucu deh. Oh iya El, ini, nanti tolong
kamu berikan pada Jenny ya", kata Sherly sambil memberikan sebuah
album foto padaku. "Boleh kulihat Sher?", tanyaku antusias. "Boleh aja
kok El", jawabnya sambil tersenyum. Aku melihat lihat sebentar,
ternyata album foto liburan perpisahan kelas I mereka dulu. "OK deh
Sher, tapi mungkin aku baru ketemu Jenny besok Senin ya", kataku
sambil memasukkan album itu dalam tasku.
"Thanks ya El", Sherly tiba tiba memelukku dari belakang dengan erat.
Awalnya aku hanya tersenyum, tapi cukup lama Sherly tak melepaskan
pelukannya yang malah makin erat ini, hingga membuatku bertanya
tanya. Ketika aku mencoba bergerak, Sherly tiba tiba meremasi kedua
payudaraku dengan lembut. "Sher? Apa yang kamu lakukan..?", tanyaku
lemah, sambil berusaha melepaskan diriku. Sherly tak menjawab,
malah menarikku ke tempat tidur hingga kami berdua terjatuh terguling
ke atas ranjang.
Celakanya, kini Sherly sudah menindihku. Tatapan mata Sherly yang
sayu membuatku makin tegang dan aku mencoba menyadarkannya,
"Sherly.. sadar Sher, aku.. mmphh". Sherly sudah melumat bibirku
dengan penuh nafsu. Aku seperti tersengat listrik, dan jantungku
berdetak kencang. Aku makin tak tahu harus berbuat apa, bahkan
entah kenapa aku tak mampu menggerakkan tanganku. Kini bahkan
Sherly menyibakkan rambutku, dan mulai menciumi leherku.
"Oh… Sher.. aku…ssshh", aku mendesah tak karuan, tubuhku rasanya
panas dingin. "Sher.. jangan begini Sher.. aku… ooooh", tubuhku
menggeliat lemah ketika Sherly terus merangsangku. Oh.. ini tidak
benar, aku tak boleh larut dalam cumbuan Sherly. Tapi entah kenapa
aku tak mampu berbuat apapun, hanya bisa meremasi sprei dengan
kedua telapak tanganku, menahan rangsangan yang bertubi tubi ini
sementara Sherly terus mencumbuiku dengan bernafsu.
Setelah kira kira 5 menit Sherly menggumuliku, akhirnya aku hanya
bisa menyerah. Kubiarkan Sherly berbuat sesuka hatinya. Pikiranku
sudah melayang layang. Desahan Sherly makin mengacaukanku,
akhirnya tanpa kusadari aku membalas pagutan Sherly pada bibirku.
Aku juga membalas pelukannya, dan tiba tiba saja Sherly menarik rok
abu abuku sampai ke atas pinggang.
Aku belum sempat bereaksi ketika dengan cepat tangan Sherly sudah
menyusup masuk melewati celana dalamku, dan jari tangannya
mencari cari liang vaginaku. "El… kamu… masih perawan nggak..?",
tanya Sherly dengan lembut ketika akhirnya jari tangannya sudah ada
di mulut vaginaku. Aku menggeleng lemah, dan tiba tiba aku terbeliak
ketika dua jari tangan dari Sherly menusuk liang vaginaku yang sudah
basah ini. Pelukanku lepas, kedua tanganku meremas sprei menahan
nikmat yang luar biasa ini.
"Oh.. Sher…", keluhku ketika jari tangan Sherly mulai mengaduk aduk
vaginaku. Aku terus menggeliat dalam kepasrahanku, dan tak lama
kemudian, aku mulai mengejang, dan adukan jari tangan Sherly pada
vaginaku makin menghebat. Beberapa menit kemudian, "Nggghhh..
Sheeer… am… puuunnn…". Aku melenguh lenguh, cengkeraman
tanganku pada sprei makin kuat, sementara tubuhku menggelinjang
keenakan. Kurasakan cairan cintaku membanjir keluar, nafasku
tersengal sengal dan aku tergolek lemah.
Sherly tersenyum dengan pandangan sayu padaku, dan kini dengan
lembut ia mulai melepasi kancing baju seragamku. "Sher.. jangan
Sher… Nanti ada yang lihat…", aku mencoba mengingatkan Sherly
supaya ia membatalkan niatnya menelanjangiku, tapi aku sama sekali
tak menahannya. "Sudah aku kunci pintunya El..", kata Sherly dengan
nafas memburu. Oh.. memang harus kuakui, tadi itu amatlah nikmat,
tapi aku tak mau begini.. ini sudah melewati batas, aku tak mau jadi
suka bermain seks dengan sesama…
Untungnya, ketukan pada pintu kamar Sherly menyelamatkanku dari
prosesi penelanjangan ini. Keadaanku sudah tak karuan. Kancing
bajuku sudah terbuka semua, braku sudah tak karuan letaknya,dan
celana dalamku sudah akan ditarik oleh Sherly. "Siapa sih…", guman
Sherly. Tampaknya gairahnya meredup, ia melepaskan diriku, dan
setelah sedikit merapikan keadaan dirinya yang awut awutan, Sherly
segera menuju ke pintu kamarnya itu.
"Sher… tunggu Sher..", bisikku. Sherly menoleh ke arahku, dan
tersenyum aneh, tapi aku tak memperdulikannya dan aku cepat cepat
membetulkan bra dan celana dalamku yang sedikit basah oleh cairan
cintaku tadi. Lalu aku mengancingkan baju seragamku yang sudah
lecek lecek ini. Demikian juga rok seragamku yang jatuh ke lantai
kupakai kembali. Setelah merapikan rambutku ala kadarnya, aku
mengambil tas sekolahku, bersiap pamitan pada Sherly, karena
tampaknya akan tidak baik buatku kalau aku berlama lama di sini.
Aku menunggu Sherly selesai urusannya dengan cie cie yang
mengetuk pintu tadi, yang dari pembicaraan mereka yang kudengar
ternyata urusan pembayaran kos. Selagi Sherly menulis sesuatu, cie
cie itu berbisik, "Sher, hayo kamu tau nggak siapa yang lagi beruntung
ngerjain Monika di kamar mandi..". Sherly langsung memotong, dengan
berbisik bisik pula, "Cie Vivi.. jangan sekarang, ada temenku tuh.."
"Hah?", bisik cie Vivi itu terkejut. Ia menoleh ke seluruh ruangan dan
pandangannya berhenti ke arahku, dan cie Vivi dengan tergagap
menyapaku, "Hai, aku Vivi.. kamu siapa". Aku menganggukkan kepala
sambil tersenyum dan menjawabnya, "Hai cie Vivi, aku Eliza, temen
sekolahnya Sherly". Lalu kami berdua terdiam, dari aku sendiri aku tak
mau terlalu banyak bertanya tanya, dan cie Vivi sendiri mungkin
merasa canggung atau malu karena tadi aku mendengar
pembicaraannya dengan Sherly.
Aku sempat memperhatikan cie Vivi ini. Wajahnya cantik khas oriental
dan mulus tanpa jerawat, kelihatan sekali sangat terawat. Kulitnya juga
putih mulus, badannya ramping ideal, dan rambutnya yang panjang
sampai siku tangannya dibiarkannya tergerai indah. Aku berpikir, hal
tadi itu, dimana ada cie Monika yang dikerjain di kamar mandi itu,
dianggap cie Vivi bukan hal yang luar biasa. Mungkin saja cie Vivi
paling tidak juga sudah pernah dikerjain oleh orang yang tadi menarik
masuk cie Monika ke kamar mandi itu.
"Ini cie, thanks ya", kata Sherly yang menyerahkan semacam tanda
bukti pembayaran mungkin. "Iya, thanks ya Sher. Eh Eliza, duluan ya..
see you", katanya sambil tersenyum manis padaku. "Oh iya cie Vivi…
see you", kataku dan membalas senyumannya itu. Waktu cie Vivi baru
keluar dari pintu, aku mendengar cie Vivi mengguman, "Ow.. that
Eliza.. very beautiful..". Mukaku rasanya panas, senang juga
mendengar pujian dari cie cie yang cantik itu, sehingga aku sempat
tersenyum sendiri. "Sher, aku pulang dulu yah", kataku. "Iya El, ayo
aku antar keluar", kata Sherly. Kini ia sudah terlihat normal dan tak
menakutkan seperti tadi. Maka aku mengikuti Sherly keluar.
Kami melewati kamar mandi itu, dan kudengar jelas desahan dari cie
Monika dari dalam kamar mandi, membuatku agak canggung juga dan
melihat ke Sherly. Sherly juga terlihat agak canggung, dan cepat cepat
melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar, tapi tiba tiba aku
mendengar dua suara yang mengaduh. Ternyata di pertigaan itu Sherly
bertumbukan dengan cie Katherine, yang sedang membawa setumpuk
baju yang kelihatannya sudah bersih. Baju baju itu bertebaran ke
lantai, dan Sherly langsung membantu memungutinya.
"Sorry cie Katherine, nggak keliatan nih", kata Sherly. "Nggak apa apa
Sher, nggak usah repot repot, biar cie cie ambil sendiri", kata cie
Katherine. Ketika aku juga akan membantu, tiba tiba muncul seorang
laki laki yang bertelanjang dada, kira kira umurnya 30 tahunan. Ia juga
ikut membungkuk memunguti baju baju cie Katherine, yang dengan
halus menolak, "Pak, nggak usah, biar saya sendiri". Tapi orang itu
terus memungut sambil berkata, "Nggak apa apa non, ini kan sudah
tugas saya". Sherly pun terlihat canggung, dan ketika semua baju
sudah dipungut, orang itu meminta baju yang ada di tangan Sherly,
"Non Sherly, biar saya yang bawa". Dengan enggan Sherly memberikan
baju itu padanya, dan orang itu mengikuti cie Katherine yang
melangkah ke kamarnya. Gilanya, orang itu ikut masuk, dan pintu itu
ditutup. Aku sempat melongo melihat kejadian itu, tapi kemudian aku
berpikir, lebih baik tak usah bertanya yang macam macam pada Sherly,
karena aku semakin merasa banyak yang tak beres di sini. "Aku pulang
dulu Sher, see you…", aku berpamitan pada Sherly. "See you Eliza",
jawab Sherly dengan senyum penuh arti, membuat aku merasa jengah,
teringat aku tadi bahkan akhirnya sempat balas memeluk dan mencium
Sherly ini.
"Hai Eliza", sapa seseorang, dan aku segera mengenalnya. "Hai Vera",
aku balas menyapanya. "Tumben kamu ke sini El? Kamu memangnya
kenal Sherly?", tanya Vera padaku. "Oh, iya, aku kebetulan kenal dari
Jenny. Ini juga aku tadi abis balikin bukunya Sherly yang dipinjam
Jenny", jawabku. Aku agak terpukau oleh penampilan Vera yang sexy
abis ini. Ia mengenakan top tank dan hot pant saja, dan hak sepatu
yang tinggi itu membuatnya tampak semakin langsing. Rambutnya
sedikit basah, menambah kesexyannya saja.
"Kok buru buru pulang El?", tanya Vera lagi. "Oh.. aku agak ngantuk
Ver, mau cepat cepat istirahat. Ok deh aku pulang dulu Ver, bye bye",
kataku sekalian berpamitan padanya. "Bye bye Eliza", kata Vera dan ia
segera masuk. Aku berjalan ke arah mobilku, kira kira hampir 500 meter
dari sini, tapi baru aku berjalan beberapa langkah, sempat kudengar
suara laki laki, "Halo non Vera.. apa kabar nih?".
Dan yang membuatku agak tertegun, suara Vera yang menjawab itu
terdengar akrab, "Halo pak Subur. Gimana aku hari ini? Sexy nggak?
Cakep nggak?". Dan kudengar suara yang tadi itu, yang berarti suara
pak Subur, "Non Vera sih selalu cakep, cuma hari ini memang non
Vera sexy. Sudah kangen sama kita ya, sudah hampir sebulan lho non
nggak ke sini". Vera tertawa, tawa yang membuatku makin risih, "Ah
bapak, nggak cuma saya kali yang kangen sama bapak bapak, kalian
pasti juga pada kangen sama saya kan?"
Ya ampun… Vera sampai bisa seakrab itu dengan pembantu di kos
kosan ini? Jangan jangan Vera sudah biasa diperlakukan seperti
beberapa cie cie yang kos di sini ini. Sambil terus berjalan kea rah
mobilku, aku melamunkan Vera. Tiba tiba dikejutkan oleh benda keras
yang menempel di perutku. "Jangan teriak, dan jangan macam macam
kalo elo mau selamat!", kudengar suara, bukan suara orang dewasa.
Aku menoleh, dan jantungku serasa berhenti ketika aku mengenali
penodongku. Ia adalah anak SMP yang tadi itu.
Sebuah sepeda motor yang dikendarai seseorang, laki laki tentunya,
karena ia bercelana panjang abu abu, dan baju aatasannya baju
seragam sekolah. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ia mengenakan
helm yang ada kacanya itu, tapi bisa aku pastikan, anak yang masih
SMA ataupun STM itu, adalah paling tidak teman dari anak SMP ini.
Jadi tak mungkin aku mengharapkan pertolongan apapun dari dia, dan
dengan keadaan jalan yang sepi ini, bisa dikatakan aku tak ada
harapan lagi untuk lolos dari mereka.
Ketika sepeda motor itu sudah berhenti di samping kami, aku gemetar
ketakutan. "Naik!", bentak anak SMP itu. "Iya..", kataku dengan tak
yakin. Aku melangkah ke sepeda motor itu dengan panik, dan agak
bingung bagaimana menaikinya. Selama ini aku tak pernah menaiki
sepeda motor, dan aku menjerit kecil ketika tiba tiba anak SMP itu
menaikkan rokku sampai ke pinggang hingga celana dalamku pasti
kelihatan. Tapi kurasakan tekanan pisau itu makin keras, dan aku takut
sekali kalau sampai pisau itu melukaiku.
"Ayo cepaaat", bentak pengendara sepeda motor itu, dan aku tanpa
berani membantah, mencoba menaiki sadel belakang sepeda motor itu.
Memang dengan rok yang sudah terangkat sampai ke pinggang ini,
menjadikanku lebih mudah naik ke sadel sepeda motor itu. Setelah aku
berhasil duduk, mendadak kurasakan badanku tertekan ke depan,
rupanya anak SMP itu ikut naik di belakangku juga, sehingga sekarang
aku terjepit di antara dua orang ini.
Sepeda motor itu melaju, entah akan membawaku ke mana. Tapi aku
sudah tahu aku akan mengalami nasib buruk. Sekarang saja, anak SMP
itu sudah meremasi kedua payudaraku dari belakang. Teringat pisau
tadi, aku hanya bisa diam saja, tak berani melawan, selain itu aku
takut jatuh dari sepeda motor ini. Dan ternyata mereka berhenti di
sebuah rumah kosong yang tak jauh dari tempat aku memarkirkan
mobilku tadi. Aku mulai membayangkan, akan seburuk apa nasibku
hari ini…
Aku tercekat melihat sudah ada delapan anak yang bahkan masih
berseragam putih biru, yang sudah menunggu di tempat itu. Ya ampun,
masa aku akan digangbang anak anak yang masih SMP ini? Rupanya
mereka sudah merencanakan ini semua. Mereka yang sudah menunggu
di tempat ini bersorak ketika melihatku yang sudah menjadi tawanan
ini.
"Wah gile Rud, loe beneran bisa dapet amoy abu abu nih, hebat juga
loe!", kata salah seorang dari mereka. Sialan, aku dikatakan amoy abu
abu. Mereka ini benar benar kurang ajar. Tapi aku hanya bisa menahan
rasa jengkel meskipun dilecehkan seperti ini, toh apa yang bisa
kulakukan? Pujian bahwa diriku cantik tadi sama sekali tak membuatku
senang, malah membuatku mengutuki nasibku yang malang ini. yang
entah disebabkan wajahku yang cantik atau karena tadi aku menolong
Johan itu.
"Iya dong Sul, bukan Rudi namanya kalo gak bisa", kata anak SMP
yang masih saja menggerayangiku ini dengan nada bangga. "Tapi loe
tadi gagal gara gara amoy cakep ini Rud hahaha…", salah seorang dari
mereka tertawa keras, dan tiba tiba kurasakan remasan yang amat
kasar pada kedua payudaraku oleh Rudi ini, membuatku menggeliat
dah mengaduh. "Aduh.. sakit…", aku mengeluh.
"Eh gila.. memang bener loe Rud, cakep abis nih amoy! Seleramu
tinggi juga Rud", kata seorang lagi yang memandangiku seolah ingin
menelanjangiku. "Iya bener Har, asli cakep"… "Bening lagi"… "Ayo
cepet bawa ke tengah sini".. "Balas dendam Rud".. "Nggak sia sia juga
kita kita menunggu dari tadi".. Demikian seruan seruan yang kudengar,
selain itu tentu saja tawa kegirangan dan tawa yang melecehkan.
"Turun!", bentak pengendara sepeda motor itu setelah membuka
helmnya. Begitu aku turun, anak SMP yang ternyata namanya Rudi ini
segera menyeretku ke arah teman temannya yang tertawa tawa. Aku
hanya bisa mempercepat langkahku supaya tak jatuh terseret oleh
Rudi ini, dan berikutnya aku sudah berada di tengah kerumunan
mereka, sembilan anak SMP yang melihatku dengan pandangan penuh
nafsu.
"Jangan… tolong lepaskan aku", aku mulai mencoba memohon pada
mereka. "Kalian mau uang kan? Kalian boleh ambil uangku, kalian
boleh minta berapa saja, tapi tolong lepaskan aku", kataku lagi,
mencoba menawarkan kompensasi pada mereka supaya aku
dibebaskan. Aku berharap semoga saja mereka bisa berubah pikiran.
"Jangan mimpi loe!", bentak Rudi. "Gue gak butuh duit. Berani
beraninya gangguin acara gue tadi, loe nurunin harga diri gue. Gue
diketawain sama mereka ini karena gak berhasil dapetin duit dari anak
tadi. Sekarang gue mau loe bayar pake tubuh loe! Pake harga diri loe!
Loe harus puasin kami semua!", Rudi berkata sambil memandangiku,
entah dengan penuh kemarahan atau penuh nafsu birahi, yang jelas
pandangannya itu amat menakutkanku.
Aku bergidik menyadari keadaanku sekarang ini. Mereka makin
mendekat, dan aku hanya pasrah ketika tiba tiba tanganku sudah
terentang, kedua pergelangan tanganku dipegangi oleh orang di kanan
kiriku. Seseorang dari mereka mendekapku dari belakang, menghirupi
rambutku yang tergerai bebas dengan nafasnya memburu, kurasakan
sekali kalau ia begitu bernafsu. Dua dari mereka, yang tadi sekilas
kutahu namanya Sul dan Har itu, mendekat dan meremasi kedua
payudaraku.
Mendapat perlakuan seperti ini, aku semakin lemas, tubuhku rasanya
panas dingin. Apalagi ketika orang yang mendekapku dari belakang itu
menyibakkan rambutku, dan menciumi leherku dengan nafas memburu.
Kini keadaanku sudah tak jauh beda dengan waktu aku dipermainkan
Sherly tadi. Aku memejamkan mata dan menyerah pasrah, membiarkan
sembilan anak SMP ini berbuat apa saja yang mereka inginkan
terhadap tubuhku.
"Siapa namamu, amoy cantik?", tanya salah seorang dari mereka.
"Aku.. aku Eliza..", jawabku lemah. "Kelas berapa sekarang di sekolah,
amoy sayang?", aku mendapat pertanyaan lagi. "Aku… kelas dua…sss",
jawabku sambil mendesis, ketika kurasakan banyak sekali telapak
tangan yang merabai pahaku. "Kami juga kelas dua non amoy, tapi dua
SMP.. hahaha", ejek salah seorang lagi.
"Enak ya non? Suka ya main rame rame gini?", entah siapa lagi yang
bertanya, aku tak tahu karena aku sedang memejamkan mataku, dan
dera kenikmatan yang melanda tubuhku ini makin bertambah ketika
kurasakan kedua payudaraku kembali diremas lembut entah oleh siapa,
dan mendatangkan perasaan nikmat yang amat sangat yang menjalari
sekujur tubuhku.
"Aku… aku… nngghhh…", aku tak tahu harus menjawab apa, dan malah
melenguh menahan nikmat ketika kurasakan sebuah tangan menyusup
masuk ke celana dalamku dan dengan cepat vaginaku sudah ditusuk
dan diaduk aduk oleh jari tangan itu, membuat kakiku mengejang,
jelas sekali aku sedang dilanda kenikmatan. Kudengar sorakan norak
dan beberapa dari mereka menirukan lenguhanku, bersahut sahutan.
Mukaku rasanya panas dilecehkan seperti ini, tapi aku tahu
penderitaanku baru akan dimulai.
"Lho, non Eliza, ternyata celdam punya loe ini sudah basah dari tadi",
kudengar suara Rudi. Aku membuka mataku, dan memang ternyata
Rudi yang sedang mengaduk aduk vaginaku. "Wah kita keduluan nih,
amoy kita yang cakep ini di dalam kos kosan tadi sudah ada yang
nggarap.. basah amat nih memeknya", kata Rudi pada teman temannya.
Kembali kudengar sorakan bernada melecehkan dari teman temannya.
Selagi jarinya mengaduk makin dalam, seolah hendak mengorek
seluruh cairan cintaku, Rudi kembali melecehkanku, "Sama berapa
orang tadi di sana, amoy cantik?". Aku diam saja, sekali ini aku amat
malu. "Ditanya kok diam saja? Jawab!!", bentak Rudi, membuatku amat
terkejut dan ketakutan, sehingga aku terpaksa menjawab, "Satu..
orang". Terdengar tawa melecehkan di sekelilingku.
Aku hanya bisa menahan malu ini, sementara Rudi terus mengaduk
aduk vaginaku dengan kejam. Rasanya amat sakit walaupun memang
bercampur sedikit nikmat. "Loe baru lawan satu orang sudah basah
gini, gue kok jadi pingin liat, loe lawan kami bersembilan nanti bakal
basah kayak gimana", kata Rudi dengan nada yang melecehkanku juga.
Membayangkan diriku akan digangbang mereka bersembilan yang baru
kelas dua SMP ini, entah kenapa, perasaanku seperti tersengat listrik.
Dipermalukan seperti itu, entah kenapa kurasakan adukan Rudi pada
vaginaku tak terasa begitu sakit lagi, dan nikmatnya makin menjadi
jadi. Walaupun aku berusaha bertahan supaya tak terlihat murahan di
depan mereka, tapi lama kelamaan nikmat yang menderaku membuat
aku tak bisa menahan diri lagi, tubuhku menggeliat hebat dan aku
terus melenguh tanpa bisa kutahan, "Nggghhh.. ooohh… nggghhh…."
Kalau saja mereka tidak menahan tubuhku, aku yang sedang orgasme
waktu sedang berdiri seperti ini, pasti sudah terjatuh. Sekarang ini aku
merasa amat lemas, dan tak ada perlawanan apapun dariku ketika Rudi
merenggut robek celana dalamku, juga ketika Sul dan Har merenggut
baju seragamku hingga semua kancingnya putus dan terjatuh semua
ke lantai, dan mereka tertawa tawa melihat kepanikanku.
Untungnya baju seragamku tak sampai robek. Baju seragamku lalu
ditarik mereka ke atas hingga kedua tangankku terangkat. Akhirnya
baju seragamku terlepas seluruhnya dari tubuhku. Tak lama kemudian
braku juga direnggut putus, hingga kini aku tinggal mengenakan rok
seragamku. Aku reflek menutup kedua payudaraku dengan kedua
telapak tanganku, tapi aku malah makin dilecehkan mereka.
"Gak usah ditutup non, nanti semua pasti kebagian nyusu", ejek Sul.
"Tarik roknya. Kalo masih sok sokan nutupin teteknya, robek saja
sekalian roknya", perintah Rudi pada teman temannya.Aku terpaksa
menurunkan tanganku, membiarkan payudaraku jadi tontonan sembilan
orang ini. Tanpa perlawanan aku membiarkan rok seragamku dilucuti
hingga jatuh ke bawah, dan aku melangkahkan kakiku ke belakang
hingga mereka bisa mengambil rok seragamku itu.
Maka prosesi penelanjangan terhadap diriku sudah selesai, kini tinggal
kaus kaki dan sepatu yang masih melekat di kakiku, sedangkan
tubuhku dari lutut ke atas sudah tersaji polos di depan mereka. Mereka
melempar lemparkan semua bagian pakaianku ke pojok ruangan ini,
juga tas sekolahku. Tiba tiba aku teringat, tadi aku dibawa ke sini oleh
anak SMA yang bersama Rudi tadi. Sekilas aku mencoba mencari
dengan melayangkan pandanganku ke arah tadi pertama aku dibawa ke
sini.
Setelah aku tak menemukan anak SMA itu, juga sepeda motornya, aku
jadi berpikir, kemana dia, kok tidak ikut dengan sembilan anak SMP
yang sedang asyik mempermainkanku ini? Ketika aku tersadar dari
lamunanku, kesembilan anak SMP ini sudah telanjang semuanya. "Ok
Rud, silakan loe yang pertama", kata Sul. Rudi segera mendekatiku,
dan aku sempat melihat penisnya yang ternyata sudah ereksi itu.
Tak terlalu panjang, mungkin hanya 12 cm. Diameternya pun cuma di
kisaran 3 cm. Penis itu sudah tegak mengacung ke atas. Rudi ini
tingginya sekitar 160 cm, sedikit lebih tinggi dariku yang memakai
sepatu ini. Wajahnya hancur hancuran, agak bopeng, dan bau
badannya agak tak enak. Aku harus bersiap, karena penderitaanku
akan segera dimulai. Aku berusaha membiasakan diri dengan bau itu.
"Kalau sama amoy yang kayak gini, kita kita gak perlu pakai kondom
seperti kalo lagi di Dolly. Gak perlu kuatir ketularan apa apa, dan pasti
lebih enak tanpa kondom kan teman teman?", kata Rudi sambil
membelai rambutku. "Akuuur…", mereka menjawab dengan senangnya.
Sial deh, aku harus menyiapkan vaginaku untuk menampung
semprotan sperma mereka semua. Aku tahu pasti, perkosaan ini tak
akan hanya berjalan satu ronde saja.
Tapi aku berpikir, oh.. untung juga. Paling tidak meskipun selama ini
mereka sudah pernah main di tempat pelacuran itu, tapi ternyata
mereka menggunakan kondom waktu bersetubuh dengan PSK. Jadi
paling tidak aku tak perlu kuatir dengan kemungkinan tertular penyakit
kelamin, dan ini membuatku sedikit tenang. Tapi ada yang membuatku
heran. Rudi yang sejak tadi bersikap kasar dan bengis, entah kenapa
sekarang berubah lembut.
Rudi terus membelai rambutku dengan lembut, dan melihatku dengan
tatapan aneh. Perlahan ia memelukku, dan kemudian mengecup bibirku
dengan lembut. Aku diam saja, tak tahu harus bagaimana. Rudi terus
mencumbuiku, menciumi bibirku, dan akhirnya ia melesakkan lidahnya
ke dalam mulutku dan bibirku dipagutnya dengan ganas. Aku
gelagapan, air liur Rudi terus membanjir masuk ke dalam mulutku,
hingga mau tak mau aku terpaksa mengesampingkan rasa jijik dan
menelannya kalau tak mau tersedak.
Lidahku dan lidah Rudi bersentuhan sesaat, dan Rudi ini, entah belajar
dari mana, ia benar benar menaklukan aku sekarang ini, membuatku
bereaksi di luar kesadaranku. Aku melingkarkan tanganku di lehernya,
dan membalas permainan lidahnya. Kami seperti sepasang kekasih
saja, hingga semuanya menggerutu dengan nada iri, "Rud, jangan lama
lama!". "Kami juga mau". "Kapan giliran kami semua?".
Rudi menghentikan cumbuannya padaku, hingga aku membuka mataku.
"Oh.. kamu cantik banget..", guman Rudi, membuatku tesipu malu dan
memalingkan wajahku. "Sul, Har, Bantu aku", Rudi memanggil mereka.
Setelah mereka mendekat, Rudi menyuruh mereka berdiri di kedua
sisiku, kemudian Rudi mulai mengatur, tangan kananku dilingkarkan di
leher Sul, sedangkan tangan kiriku dilingkarkan di leher Har.
"Sekarang, angkat pahanya amoy ini, bikin yang lebar!", kembali Rudi
memerintah mereka. Tampaknya Rudi ini ketua gerombolan anak SMP
yang bejat ini. Kini aku sudah dalam posisi yang tak berdaya, dimana
kedua tanganku yang melingkar di leher Sul dan Har itu tak mungkin
kulepas kalau aku tak ingin jatuh. Sedangkan kedua pahaku sudah
terangkat dalam posisi melebar, hingga vaginaku sekarang sudah
tersaji sempurna untuk Rudi, dan wajahku yang panas ini sama sekali
tak bisa kusembunyikan.
Sul dan Har yang memegangi kedua pahaku dengan satu tangannya,
menggunakan tangan mereka yang satunya, meremasi payudaraku.
Selagi aku menggeliat lemah, Rudi mendekatiku. Aku agak tenang,
mereka ternyata tak sekasar yang kuduga. Saat aku mempersiapkan
vaginaku untuk menelan penis si Rudi ini, tak kuduga, Rudi
berjongkok, dan kepalanya didekatkan ke vaginaku. Rudi mulai
menjilati vaginaku yang pasti masih berlumur cairan cintaku.
"Ssshh.. ooooh…", aku mendesah dan mengerang, kurasakan nikmat
yang luar biasa saat cairan cintaku diseruput habis dan vaginaku
disedot sedot oleh Rudi. Nafasku mulai tak beraturan, dan aku
memandang Rudi dengan sayu, penuh harap ia akan segera memulai
semua ini. Tapi dasar anak SMP, mana dia tahu aku sudah amat
terangsang seperti ini? Aku juga tak bisa memintanya, bagiamanapun
juga, aku tak ingin terlihat murahan di depan mereka.
Rudi masih terus mempermainkan vaginaku, kali ini dengan lidahnya.
Aku memejamkan mataku, nyaris tak kuasa menahan gairahku ketika
lidah itu melesak lesak ke bagian luar dari liang vaginaku. Tubuhku
bergetar kecil, dan nafasku makin tersengal sengal. Sul dan Har
tertawa mengejek melihat keadaanku, tapi aku sudah tak mampu
mengontrol diriku, bahkan aku mencoba menggerak gerakkan
pinggulku, mencoba mencari kepuasanku sendiri saat lidah Rudi terus
mengaduk liang vaginaku.
Selagi aku dalam keadaan terangsang hebat seperti ini, tiba tiba
kurasakan rambutku disibakkan dari belakang, dan kembali aku
merasakan leherku dicium dengan lembut. Oh, kini aku sudah di
ambang batas orgasme, dan aku mati matian bertahan supaya tidak
cepat cepat orgasme. Setiap kali aku orgasme, itu berarti menguras
staminaku, sementara aku kan masih harus melayani delapan orang
lagi, dan juga entah berapa ronde lagi yang harus kulalui untuk
memuaskan mereka bersembilan ini…
Tapi apa daya, dirangsang di beberapa tempat sekaligus, mulai dari
ciuman pada leherku, belaian pada rambutku, remasan lembut pada
payudaraku, dan adukan lidah Rudi pada vaginaku, akhirnya aku bobol
juga. "Ngghhh.. nggghhh… auuugghh…", aku melenguh dan
mengerang, dan kudengar kembali suara menyeruput, kini memang
cairan cintaku yang membanjir itu sedang diseruput habis oleh Rudi.
Terdengar suara seperti orang yang menyeruput minuman yang hampir
habis, dan ini amat membangkitkan gairahku.
Setelah beberapa detik tubuhku mengejang ngejang, akhirnya aku
terkulai lemas. Kembali aku memandang Rudi dengan sayu, berharap ia
mengerti keinginanku sekarang ini. Aku menjadi sedikit senang
sekaligus tegang, saat Rudi tiba tiba berdiri, dan mengocok penisnya
sebentar. Oh akhirnya ia akan memulai semua ini. Benar saja, sesaat
kemudian, ia menggesek gesekkan kepala penisnya pada bibir
vaginaku, dan ia mentatapku dengan pandangan yang aneh, kurasakan
ia sedang amat bernafsu.
"Eliza… aku masukin sekarang ya", ia bahkan sudah tak memanggilku
non atau amoy, ia memanggil namaku begitu saja. Apakah ia jatuh
cinta padaku? Yang benar saja, dia kan masih kelas dua SMP? Apa
yang dia tahu soal cinta? Lagipula, mimpi kali dia. Mana mungkin aku
mau membalas cintanya? Sekarang ini aku hanya terbakar nafsu dalam
kepasrahanku, bukan karena yang lain. Tapi aku tak mengubah
sikapku, aku hanya menatap sayu dan berbisik lemah, "Terserah
kamu..".
Perlahan Rudi melesakkan penisnya yang mulai membelah liang
vaginaku. Sorakan dan ejekan teman teman Rudi sudah tak terdengar
lagi, semua memperhatikan prosesi menyatunya tubuh kami berdua ini.
Walaupun penis itu kecil, tetap saja ada sensasi tersendiri yang
kurasakan ketika penis itu sudah tertelan seluruhnya di vaginaku.
"Ngghh..", aku melenguh pelan. "Enak ya, Eliza?', tanya Rudi padaku,
tapi sudah tak ada nada yang melecehkan seperti sebelum
sebelumnya.
Aku mengangguk lemah, dan memejamkan mataku dan menunduk,
rasanya malu juga tadi aku mengangguk begitu saja. Rudi mengangkat
daguku, kemudian mencium bibirku, kurasakan kemesraan dalam
ciuman itu. Aku mulai melayaninya, membalas ciumannya. Rudi pun
juga mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, hingga penisnya mulai
menggesek gesek liang vaginaku. Rasanya nikmat sekali, sedangkan
sakit yang kurasakan sangat sedikit, bahkan bisa dikatakan nyaris tak
ada.
Hal ini mungkin karena aku sudah terbiasa dengan rasa sakit yang
terjadi saat vaginaku menelan penis yang jauh lebih besar dan panjang
dari penis anak SMP ini, walaupun harus kuakui penis Rudi ini amat
keras, nyaris sekeras milik Wawan, pembantu di rumahku. Sementara
itu, bagian tubuhku yang lain mulai menerima rangsangan kembali,
membuat aku semakin tenggelam dalam nafsu birahi. "Oh.. seretnya
memekmu.. Elizaaa…", erang Rudi. "Oooh… enaknyaa..", Rudi mulai
meracau.
Aku cuma bisa mendesah dan mengerang lemah saat penis Rudi makin
cepat mengaduk aduk vaginaku. Kudengar Rudi sendiri terus
mengerang, dan erangannya itu makin keras. Tampaknya ia akan
orgasme sebentar lagi. Benar saja, beberapa saat kemudian, penisnya
berkedut dalam vaginaku, dan ia mengerang keras, "Oooh.. Elizaaa…
aku keluarkaan.. di dalam yaaah…". Berkata begitu, ia menyodokkan
penisnya dalam dalam, dan sekali lagi ia mengerang panjang,
mengiringi semburan spermanya ke dalam vaginaku.
Dasar, perlu apa dia tadi seolah minta ijin untuk mengeluarkan
benihnya di dalam rahimku? Toh baru saja dia selesai bicara,
spermanya sudah menyemprot deras membasahi relung vaginaku.
Untung saja, tadi pagi aku sudah minum obat anti hamil, kalau tidak,
amit amit deh harus hamil oleh benih anak SMP yang mukanya agak
parah ini. Memang sejak aku jadi budak seks pak Arifin, Wawan dan
Suwito di rumah, aku jadi rutin minum obat anti hamil di masa
suburku, karena aku tak mau dihamili oleh mereka.
Rudi yang sudah mendapat jatahnya menikmati tubuhku, kini menarik
lepas penisnya dari vaginaku. Aku tidak mengalami orgasme kali ini,
tadi Rudi hanya menggenjotku tak sampai 5 menit. Mungkin karena ia
sudah terangsang sejak dari awal ia meremasi payudaraku di sepeda
motor tadi. Sul dan Har meletakkanku di atas selembar tikar butut, dan
mereka bersama 6 rekannya itu berunding, pastinya menentukan siapa
yang beruntung mendapat giliran selanjutnya untuk menikmati tubuhku
ini.
Kini aku berbaring telentang di atas tikar butut ini. Selagi mereka
berunding, Rudi mendekatkan penisnya ke mulutku. Aku tahu apa
keinginannya, dan aku segera mengulum penis itu, memainkan lidahku
menyapu seluruh lingkar penisnya, membuat Rudi mengerang ngerang
keenakan. Kubersihkan seluruh sisa sperma yang bercampur cairan
cintaku dari penis itu, sampai penis itu benar benar mengecil.
Rudi bergerak sedikit menjauh dariku, dan kini ia hanya diam saja,
memandangiku dengan tatapan aneh. Dia sama sekali tak
menyinggung tentang keperawananku. Aku makin yakin, Rudi ini tiba
tiba sudah jatuh hati padaku. Aku berpikir untuk mempermainkannya,
toh dia juga menyakitiku dengan membuatku menjadi budak seks
dirinya dan teman temannya ini. Aku balas menatapnya dengan sayu,
seolah aku amat menginginkannya, sampai ia mengalihkan tatapan
matanya dariku, kulihat jelas ia tersenyum jengah. Dalam hati aku
menertawakannya, mimpi kali aku bakal jatuh cinta sama orang seperti
dia?
Tiba tiba kudengar suara, "Permisi Eliza, aku Darso. Aku mau nyobain
memekmu ya". Aku menoleh, dan kulihat Darso sudah berancang
ancang menerjangkan penisnya ke dalam vaginaku. Dasar, mau
memperkosaku saja pakai permisi segala. Biar aku nggak mengijinkan
pun dia pasti tetap akan memaksaku melayaninya juga. Aku sempat
memperhatikan penis itu, ternyata nyaris serupa ukurannya dengan
milik Rudi. "Ssssh…", aku mendesah ketika lagi lagi liang vaginaku
harus menelan sebatang penis.
Perlahan Darso menggenjotku, dan makin lama makin cepat. Aku
pasrah saja, membiarkan ia menikmati remasan otot liang vaginaku
pada batang penisnya, dan aku merasa tak ada salahnya kalau aku
menikmati saat saat vaginaku diaduk aduk seperti ini, toh percuma
juga aku melakukan perlawanan. Daripada aku merasa menderita, lebih
baik aku menerima semua ini dan kalau perlu menikmatinya.
Aku mulai memperhatikan wajah Darso ini, dan menurutku termasuk
tak penting untuk dilihat. Memang ia tak bopeng, tapi udah deh, benar
benar jelek. Untungnya Darso melakukan ini dengan terburu buru, ia
tak mencumbuku sama sekali, keliatannya ia hanya sekedar ingin
memuaskan dirinya saja. Baru beberapa menit, Darso sudah mulai
mendengus dengus, dan kurasakan penis Darso sudah berkedut kedut.
"Oooh… enaaak", erangnya saat penisnya menyemburkan sperma
berulang ulang membasahi vaginaku.
Darso langsung mencabut penisnya dari vaginaku, dan aku belum
sempat berbuat apa apa ketika Sul mengambil gilirannya, tanpa ba bi
bu ia langsung menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku sedikit
terhenyak, kurasakan penis Sul ini agak panjang. Tak tahu berapa
panjangnya, tapi pasti lebih panjang dari Rudi ataupun Darso. Aku
menggeliat lemah, dan Sul tersenyum bangga melihatku bereaksi atas
sodokannya, berbeda dengan serangan Darso tadi yang menurutku
termasuk ringan ringan saja.
Sul merendahkan badannya, hingga ia bisa mengecup bibirku sambil
menyetubuhiku. Aku memejamkan mataku, mencoba menikmatinya.
"Eliza.. namaku Syamsul…", bisiknya. Aku tak bereaksi, hanya sesekali
menggeliat ketika tusukan penis Syamsul ini membuatku keenakan.
"Enak ya.. Eliza?", bisiknya lagi. Aku membuka mataku, mengangguk
lemah. Kini kenikmatan sudah menderaku, membuatku tak bisa berpikir
jernih lagi. Ketika ia mengecup bibirku, aku membalas ciumannya
tanpa diminta.
Syamsul terus menyetubuhiku, sekali ini aku merasakan persetubuhan
yang cukup lama. Mungkin sudah lebih dari 10 menit. Selama itu
Syamsul tak henti hentinya mencumbuiku, kurasakan ia begitu mesra.
Meskipun aku merasa hal ini aneh dan lucu, tapi aku pikir ada
untungnya juga. Setidaknya kalau mereka semua begini, aku mungkin
tak akan mendapatkan perlakuan kasar dari mereka, padahal tadi
waktu pertama aku dikerumuni dan dibentak bentak serta dilecehkan
oleh mereka, aku merasa amat takut.
Mungkin karena sudah cukup lama digenjot, kini kurasakan vaginaku
mulai berdenyut denyut, jantungku mulai berdetak lebih cepat, dan
nafasku juga mulai memburu. Remasan lembut pada payudaraku yang
dilakukan Syamsul membuatku makin merasa melayang ke awang
awang, dan aku merintih perlahan, "Oooh…". Syamsul berbisik di
telingaku, "Sakit ya Eliza?". Aku spontan menggeleng lemah, mataku
kembali kupejamkan erat erat, aku berusaha menikmati semua ini.
Kini ganti leherku yang diserang Syamsul dengan kecupannya,
sedangkan genjotannya pada vaginaku tidak kendur sama sekali,
membuatku menggelinjang tak karuan. Ketika Syamsul menarikku
duduk di pangkuannya, penisnya menancap makin dalam ke liang
vaginaku. Tanpa ampun lagi aku melenguh lenguh, "Ngghhhh…
oooooh…. Ampuuuun". Tubuhku berkelojotan, kakiku melejang lejang,
sungguh aku nyaris tak kuat menahan kenikmatan ini, tubuhku rasanya
hampir meledak oleh nafsu birahi ini.
Tapi Syamsul belum selesai. Selagi aku melingkarkan tanganku
memeluk lehernya, ia terus menggenjot vaginaku. Gejolak orgasmeku
belum selesai ketika Syamsul kembali mengecup bibirku, dan
mendadak aku balas memagutnya dengan ganas, hingga Syamsul
kewalahan dan roboh. Kini aku yang menindihnya, dan aku menaik
turunkan tubuhku sendiri supaya liang vaginaku terus diaduk oleh
penisnya Syamsul.
Membayangkan aku masih harus melayani lima orang lagi, aku malah
makin liar meliuk liukkan tubuhku, mengendarai penisnya Syamsul
yang kini mulai mengerang keenakan. Rupanya ia tak tahan juga, tak
lama kemudian kurasakan penisnya berkedut kedut, tubuhnya bergetar
getar dan seiring dengan erangan panjang dari Syamsul, kurasakan
semprotan sperma dari penis Syamsul yang bertubi tubi, membuat
vaginaku terasa hangat dan nyaman.
"Plop…", demikian bunyi yang kudengar ketika aku mengangkat
tubuhku sampai penis Syamsul terlepas dari vaginaku. Begitu aku
tiduran, sudah ada teman Rudi yang mengambil posisi di
selangkanganku, dan aku hanya bisa membuka pahaku lebar lebar,
bersiap menerima sodokan pada liang vaginaku. "Hai Eliza, aku
Rangga..", katanya sambil membenamkan penisnya ke dalam liang
vaginaku. Aku tak bereaksi, dan Rangga ini mulai menggenjot liang
vaginaku dengan cepat.
Aku diam saja, mencoba menghemat tenagaku, kurasakan penis yang
sedang menerjang vaginaku ini ukurannya termasuk kecil, harusnya
lebih kecil dari punya Rudi. Masuk akal, karena memang Rangga ini
tubuhnya pendek, lebih pendek dariku. Kini baru aku merasa
disetubuhi oleh anak kecil, membuatku geli juga. Rangga terlihat
keenakan selagi menggenjot vaginaku, matanya merem melek dan ia
mulai meracau penuh kenikmatan, "Ohhh.. Elizaa… memekmu kok bisa
enaak ginii…".
Aku tak memperdulikannya. Memang aku merasakan penisnya lagi
menyodok vaginaku dengan cepat, tapi mungkin karena ukurannya
kecil, aku tak begitu terpengaruh. Kini aku kembali mencoba
menggoda Rudi. Aku menatapnya sayu, seolah aku sedang
menginginkannya. Dalam hati aku kembali tertawa melihat Rudi salah
tingkah, ia tak kuat membalas tatapanku. Tiba tiba kudengar Rangga
mengerang dan begitu penisnya berkedut, kurasakan kembali vaginaku
harus menelan sperma, yang kali ini dari Rangga.
Ketika Rangga mencabut penisnya, kulihat memang termasuk pendek,
kira kira tak sampai 10 cm, diameternya juga kecil, mungkin 2 cm lebih
sedikit. Geli juga aku melihatnya, pantas saja aku tak terlalu
merasakan rangsangan pada vaginaku tadi sewaktu aku disetubuhinya.
Lagi lagi tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat, sudah ada
lagi yang mengantri vaginaku. "Eliza.. aku Hendra", seperti mereka
yang sebelumnya menyetubuhiku, Hendra memperkenalkan dirinya.
Kali ini aku sempat melihat penisnya, dan aku kembali harus menahan
geli. Hendra ini tubuhnya kecil, penisnya juga kecil. Mungkin cuma
sekitar 9 cm panjangnya, dan diameternya pun tak lebih besar dari
punya Rangga. Kembali aku hanya pura pura bereaksi ketika penisnya
tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Tapi kemudian aku hanya
diam, kubiarkan Hendra mencari kepuasannya sendiri. Dan memang
sebenarnya Hendra sedang menggenjotku dengan sangat bernafsu,
tapi aku tak begitu terpengaruh.
Aku berpikir, enak saja mereka stirahat. Kalau satu satu begini,
memangnya mereka mau memperkosaku sampai berapa lama? "Rud,
sini dong", aku memanggilnya dengan suara yang kumanja manjakan.
Rudi dengan disoraki temannya, berdiri dan berjalan medekat ke
arahku. "Ada apa?", tanyanya dengan ragu. "Aku mau oralin kamu…
boleh ya?", kataku sambil mencoba meraih penisnya. Rudi tertegun
sejenak, tapi ia berlutut di sebelah kanan kepalaku, memberikan
kesempatan padaku untuk mulai mengulumi penisnya.
Aku memperhatikan teman temannya yang lain, kulihat mereka
memandang kami dengan tatapan iri. "Eliza, aku juga mau". "Aku
juga". Mereka semua seperti anak kecil yang berebut es krim saja.
Dengan suara yang lagi lagi kumanja manjakan, aku berkata, "Iya, tapi
antri satu satu yah". Lalu penis Rudi segera kulahap, aku mulai
melakukan kuluman dan sedotan, selain itu aku juga memberikan
gigitan kecil pada penis itu, membuat Rudi mengerang keenakan dan
penisnya langsung ereksi sempurna.
Aku melakukan oral ini dengan bersemangat, berharap Rudi cepat
ejakulasi, kemudian yang lainnya, jadi aku bisa memotong satu ronde
dari rencana mereka. Kalau semua berejakulasi di vaginaku satu per
satu, entah masih berapa lama lagi baru perkosaan ini selesai. Dan
rupanya Hendra menjadi amat terangsang melihat adegan di depan
matanya, dimana seorang gadis cantik dengan kulit yang putih mulus
terawat, kini sedang mengoral penis temannya yang kulitnya hitam dan
kasar.
Pemandangan kontras ini memaksa Hendra segera berejakulasi,
Hendra melenguh dan menyemprotkan spermanya ke dalam liang
vaginaku. Entah sudah berapa banyak sperma yang mengisi rahimku,
tapi aku tetap tenang, toh aku sudah minum obat anti hamil. Aku tak
bereaksi ketika orang berikutnya mengambil gilirannya menyetubuhiku.
"Eliza, aku Reza nih", kudengar yang namanya Reza ini berkata.
"Mmm…", aku dengan malas menanggapinya, aku cuma ingin cepat
mengeluarkan sperma si Rudi ini.
Kurasakan Reza mengangkat salah satu kakiku hingga lurus ke atas,
membuatku berbaring menyamping ke kanan. Yah, ini akan membuatku
lebih mudah untuk mengoral penis penis mereka sih. Dan kemudian
Reza segera menerjangkan penisnya ke liang vaginaku yang sudah
penuh sperma ini. "Mmmhh…", kurasakan cukup nikmat juga ketika
vaginaku menelan penis Reza ini, dan tepat saat itu juga, Rudi yang
sudah sejak tadi mengejang dan mengerang, menyemburkan
spermanya ke dalam mulutku.
"Oooughh…", erang Rudi keenakan. Aku menelan sperma itu, menjilati
dan menyeruput sisa sperma pada penis Rudi. Rudi mengerang
ngerang karena perbuatanku pada penisnya, dan begitu aku
melepaskan kulumanku, ia terduduk lemas. Memang inilah tujuanku,
dan sesuai rencanaku, aku segera memangggil salah satu dari mereka.
Aku mengingat ingat, yang kedua tadi menyetubuhiku adalah Darso.
Maka aku memanggilnya dengan nada suara yang sama seperti aku
memanggil Rudi tadi. "Darso… ", begitu aku menyebut namanya, Darso
sudah berdiri dengan penuh semangat, ia setengah berlari ke arahku.
Saat ini aku merasa selangkanganku makin nikmat saja, aku sempat
menoleh memperhatikan Reza ini. Ow.. dia lumayan juga, bodynya
atletis, wajahnya juga nggak terlalu jelek, cuman sayangnya kulitnya
begitu hitam. Aku tersenyum padanya, dan membiarkannya memainkan
vaginaku sepuas hatinya.
Kini Darso sudah menyodorkan penisnya di dekat mulutku, bahkan
hampir menempel ke bibirku. Aku segera membuka mulutku, dan aku
memberikan servis pada Darso, sama seperti yang kuberikan pada Rudi
tadi. Darso segera melenguh dan meracau tak karuan, "Ooooh…
enaaak…". Sedangkan Reza terus memanjakan vaginaku dengan
genjotannya yang kadang lembut, kadang menyentak, membuatku
mulai menggeliat keenakan.
Aku sudah tak perduli jika karena ini aku dianggap murahan. Aku
hanya berpikir supaya semua ini cepat selesai. Kuberikan vaginaku
dan mulutku untuk melayani nafsu bejat mereka semua ini. Aku tak
menawarkan anusku, karena bagaimanapun aku tak terbiasa dengan
terjangan batang penis pada liang anusku. Lagipula sebenarnya
rasanya tak terlalu nikmat, juga tak sebanding dengan pedih yang akan
kudapat. Toh dengan mulut dan vaginaku, aku sudah dapat melayani
dua orang sekaligus.
"Nggghhh… mmmphhh", aku melenguh namun suaraku segera
tersumbat penis Darso yang sedang kuoral. Tubuhku mengejang
orgasme bersamaan dengan ledakan sperma Reza pada liang vaginaku
hingga aku agak kurang bisa berkonsentrasi mengoral penis Darso.
Reza pun mengerang keenakan, dan mencabut penisnya dari liang
vaginaku. Tubuhku masih bergetar merasakan kenikmatan ini, dan
kurasakan vaginaku sudah diterjang oleh penis yang lain, dengan
posisi kakiku yang sama seperti tadi.
"Eliza.. aku Wahyu..", kata pemilik penis yang sudah tertelan
seluruhnya dalam liang vaginaku ini. "Mmmhh.. mmmhh…", aku
mencoba melihatnya sambil melanjutkan mengoral penis Darso. Wahyu
menggantikan Reza memegang pergelangan kakiku yang terangkat ini,
dan ia mulai memompa vaginaku. Tak sehebat Reza memang, tapi ia
juga mampu membuatku kembali melayang dalam kenikmatan,
walaupun sebenarnya dalam hati kecilku aku tak rela tubuhku
dinikmati banyak orang seperti ini.
Wahyu ini sebenarnya tampangnya lumayan, tapi rambutnya gondrong
dan ia agak dekil, selain itu tubuhnya biasa saja, tak atletis seperti
Reza. Dan kulitnya tentu saja hitam legam. Tiba tiba, semprotan
sperma Darso di dalam rongga mulutku cukup mengagetkanku, aku
hampir saja tersedak oleh cairan putih kental yang sudah mampir di
tenggorokanku ini. Setelah kutelan semuanya, dan membersihkan
penis Darso dengan lidahku, aku melepaskan penis Darso dari kuluman
mulutku.
Ternyata Syamsul sudah mengantri di belakang Darso yang kini sudah
terduduk lemas. Tanpa basa basi Syamsul segera menyodorkan
penisnya, dan aku pun tak berkata apa apa, langsung mengulum
penisnya. Syamsul mendesah dan mengerang keenakan ketika aku
mulai menyedot dan menggigit kecil penisnya. Aku terus
mempermainkan penisnya dalam mulutku sambil merasakan penis
Wahyu yang terus mengaduk liang vaginaku dengan gencar.
Tiba tiba kurasakan remasan lembut pada payudaraku, aku mencoba
melihat siapa pelakunya, ternyata si Rudi, yang menatapku lagi lagi
dengan pandangan anehnya itu. Tapi aku memilih untuk berkonsentrasi
mengoral penis Syamsul. Kubiarkan saja Rudi melakukannya, meskipun
ini sebenarnya merugikanku. Dengan bertambahnya jumlah rangsangan
pada tubuhku, mungkin aku akan lebih mudah diantar ke orgasme oleh
mereka, dan ini berarti staminaku akan makin cepat terkuras.
Makin lama Rudi makin gencar merangsangku. Payudara kiriku
diremasnya lembut dengan tangan kirinya, sementara rambutku dibelai
mesra dengan tangan kanannya, seolah aku ini kekasihnya saja. Ia
bahkan menciumi telinga kiriku, leherku, dan yang paling membuatku
kelabakan adalah ketika Rudi mengulum puting payudaraku. Ini salah
satu daerah yang paling sensitif untukku. Syamsul yang sedang kuoral,
juga ikut membelai pipiku, mungkin karena ia juga ingin merasakan
kemulusan kulit pipiku.
Tubuhku bergetar menerima rangsangan dari 3 orang sekaligus seperti
ini. Aku mulai merintih, apalagi Hendra mulai merabai pahaku yang
terangkat tegak ini. Aku mulai menderita, kenikmatan terus mendera
tubuhku yang tak bisa banyak kugerakkan, hingga aku tak bisa
menggeliat bebas melepaskan hasratku untuk menggeliat keenakan.
Dengan mata yang serasa berkunang kunang aku hanya bisa pasrah
melayani mereka bertiga ini.
Tak lama kemudian, tanpa bisa kutahan lagi, aku kembali merasakan
otot vaginaku berkontraksi, dan tubuhku mulai mengejang ngejang.
"Nggghhh… ngggghhh…", aku melenguh panjang, tubuhku tersentak
sentak dalam gumulan mereka bertiga ini. Apa yang kutakutkan terjadi
juga, dengan mudah mereka bertiga mengantarku menuju orgasme.
Aku mulai kelelahan, dan mereka tentu saja tak tahu, atau kalaupun
mereka tahu, tentu saja mereka tak akan perduli dengan keadaanku ini.
Wahyu makin gencar menyodok vaginaku sambil mengerang, rupanya
ia juga akan berejakulasi. Bersamaan dengan menyemburnya sperma
Wahyu ke dalam liang vaginaku, aku juga harus menelan sperma
Syamsul yang juga berejakulasi di dalam mulutku. Aku masih sedikit
tersengal sengal ketika aku menelan sperma ini, dan menyeruput sisa
sperma yang tertinggal pada penis Syamsul sampai penis itu benar
benar bersih. Kulepaskan kulumanku dari penis si Syamsul yang
kulihat tersenyum penuh kepuasan.
Wahyu juga melepaskan penisnya dari liang vaginaku. Kini kakiku
dibiarkan tergeletak di lantai, dan hal ini membantuku mengurangi rasa
pegal pada kakiku ini, walaupun kedua betisku rasanya capai sekali
setelah orgasme beberapa kali tadi. Selangkanganku rasanya sudah
basah tak karuan oleh lelehan sperma yang tertelan vaginaku, yang
bercampur dengan cairan cintaku. Kenikmatan ini sulit kulukiskan
dengan kata kata, yang jelas sekarang ini aku merasa seolah olah
berada di awang awang…
Aku mengingat ingat, Rudi, Darso, Syamsul, Rangga, Hendra, Reza,
Wahyu… sudah tujuh dari sembilan anak SMP ini yang mendapat jatah
menikmati vaginaku. Tinggal dua orang lagi, dan memang salah
seorang dari mereka sudah membuka pahaku lebar lebar, dan
menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku merasa nyaman dengan
adukan penis yang berukuran tanggung ini, juga Rudi yang masih
menyusu pada payudara kiriku, membuatku kembali tenggelam dalam
kenikmatan ini.
"Aku Anton, Eliza", kudengar suara pemilik penis tanggung ini.
"Mmm…", aku masih malas membuka mata. Anton menggerakkan
penisnya perlahan seolah ingin menikmati sempitnya liang vaginaku.
"Oh.. hangatnya vaginamu, Eliza…", bisik Anton. Aku hanya diam,
sebenarnya aku tak begitu terpengaruh oleh adukan penis Anton ini,
aku lebih merasa keenakan pada puting payudaraku yang kiri, yang
terus dikulum dan disedot oleh Rudi.
Seolah membalasku, Rudi juga memberikan gigitan kecil pada
putingku, membuatku mendesis merasakan kenikmatan ini. Tiba tiba
kepalaku sedikit terangkat, dan saat aku membuka mata, kepalaku
sudah ada di pangkuan Rangga. Ia membimbing dan mengarahkan
kepalaku hingga penisnya yang sudah menegang itu melesak masuk ke
dalam mulutku. Aku pasrah saja dan mengoralnya, dan tiba tiba aku
terbeliak ketika kurasakan puting payudara kananku juga dikulum oleh
salah satu dari mereka.
Aku mengarahkan mataku ke pelakunya, ternyata Syamsul. Maka kini
aku dikeroyok oleh empat orang sekaligus, dan mungkin karena ingin
menambah sensasi yang kurasakan ini, tiba tiba kedua tanganku
direntangkan dan kedua pergelangan tanganku dicengkeram oleh Rudi
dan Syamsul, hingga aku tak bisa bergerak lagi. Dan memang sensasi
yang kurasakan makin menghebat, aku mengerang dan merintih tak
kuasa menerima siksaan kenikmatan yang menderaku habis habisan.
Kini nafasku sudah mulai tersengal sengal ketika Anton mempercepat
genjotannya pada liang vaginaku sambil mengerang penuh kenikmatan.
Kurasakan kedutan penisnya, dan beberapa saat kemudian kurasakan
vaginaku kembali dibasahi sperma hangat. Anton mengerang panjang
sambil menarik lepas penisnya dari jepitan liang vaginaku. Aku tak
bisa istirahat, karena aku harus terus mengoral penis Rangga yang
masih belum mendapat jatah berejakulasi dalam mulutku.
Dan untuk lebih membuat diriku makin tenggelam dalam kenikmatan
ini, Har yang mendapat giliran terakhir menerjangkan penisnya senti
demi senti membelah liang vaginaku. "Mmmhhh…", eranganku
tersumbat oleh penis Rangga yang terbenam dalam mulutku. "Ohh..
akhirnya Kahar dapat giliraan…", Kahar meracau keenakan ketika
penisnya sudah tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Aku tak bisa
bergerak sedikitpun, apalagi menggeliat untuk melampiaskan
kenikmatan yang melandaku ini.
Kurasakan penis Kahar ini panjang dan besar, dan ketika aku sudah
menyelesaikan tugasku mengoral Rangga sampai ia ejakulasi di dalam
mulutku, dan tentu saja setelah aku menelan spermanya, aku
menyempatkan diri melihat Kahar ini. Baru kusadari, Kahar ini tinggi
juga, dan badannya cukup besar, walaupun tak atletis. Selain itu
wajahnya juga sangat mengecewakan, tapi aku tak perduli dengan hal
itu.
Kini aku tak bisa memikirkan apapun selain merasakan kenikmatan
yang amat sangat yang melanda vaginaku. Setiap genjotan Kahar
memaksaku merintih keenakan, apalagi kadang ia menyodok dalam
dalam, membuatku melayang didera kenikmatan yang luar biasa.
Sensasi ini masih ditambah dengan datangnya Hendra yang meminta
jatahnya, dan dengan kepalaku yang masih dipangku oleh Rangga, aku
membuka mulutku dan Hendra segera melesakkan penisnya untuk
mendapatkan servis oral dariku.
Aku mulai mengejang perlahan, dan makin lama makin hebat.
"Mmmmphh.. Nggghhhh… ooooghhh.. aduuuuhh…", aku melepaskan
kulumanku dengan mudah dari penis Hendra yang berukuran kecil ini,
dan aku memejamkan mataku erat erat, kepalaku kugeleng gelengkan
kuat kuat dan aku melenguh lenguh tak tahan diterjang badai orgasme
ini. Tubuhku terus mengejang susul menyusul, vaginaku rasanya akan
meledak saja. Dan mereka bertiga ini tak sedikitpun mengendorkan
aktifitas mereka
Perbuatan mereka membuat orgasme yang melandaku ini terus
meningkat, dan akhirnya mereka berhasil mengantarku menuju multi
orgasme. Ada beberapa menit tubuhku terus tersentak sentak,
keringatku terus membanjir deras, dan mereka seolah tak rela
membiarkan orgasmeku ini reda. Kakiku terus melejang tanpa henti,
dan ketika aku sudah mulai bisa mengontrol diri, Hendra kembali
membimbing kepalaku seperti yang dilakukan Rangga tadi, dan
mulutku kembali sudah dijejali penisnya Hendra ini.
Dengan lemas aku mengoral penis itu, dan kudengar Kahar melolong
panjang, rupanya pijatan liang vaginaku pada batang penisnya ketika
aku tadi mengalami multi orgasme, mempercepat Kahar mencapai
puncak. Semburan penis Kahar dalam liang vaginaku mengakhiri ronde
pertama ini, dan Rudi yang sejak tadi menglum dan menyedot
payudaraku, sudah akan memulai ronde kedua. Ia sudah memposisikan
dirinya di depan selangkanganku, dan aku agak panik juga.
Aku melepaskan kulumanku pada penis Hendra, dan dengan lemah aku
memohon, "Rud, jangan sekarang Rud, aku capai… nggghhh…". Rudi
terlihat agak kecewa, tapi ia memenuhi permohonanku dan meletakkan
pahaku yang tadi sudah dilebarkannya. Tapi tanpa kuduga sama sekali,
Rudi tiba tiba merangsekkan kepalanya ke selangkanganku, dan
mataku terbeliak ketika kurasakan ia mencucup bibir vaginaku. Cairan
cintaku yang bercampur cairan sperma para pemerkosaku dalam liang
vaginaku ini disedot oleh Rudi.
Hal ini membuatku menggeliat hebat. "Aaaaakh… Oooohhh…", aku
merintih dan mengerang, aku merasa seolah olah seluruh organ dalam
tubuhku hendak disedot semuanya oleh Rudi. Pinggangku sampai
terangkat angkat dan melengkung, aku memejamkan mataku dan
menikmati semua ini sepuas puasnya. Tiba tiba Rudi menghentikan
sedotannya. Aku mengeluh dan membuka mataku, dan aku melihat
Rudi dengan mulut yang terlihat penuh, sudah akan mencium mulutku.
Aku melepaskan kulumanku pada penis Hendra. Rudi memagut bibirku,
dan cairan cairan dari liang vaginaku yang tertampung dalam mulut
Rudi segera berpindah ke mulutku. Aku menikmati rasa cairan itu,
rasanya seluruh rongga mulutku dan lidahku sudah terlumuri cairan
itu, yang tentu saja bercampur juga dengan air ludah dari Rudi. Tapi
aku tak perduli, karena bagiku rasanya benar benar nikmat. Selagi aku
menikmati semua ini, kurasakan telapak tangan kiriku digenggamkan
pada sebatang penis.
Ternyata Hendra ingin aku mengocok penisnya. Perlahan kugerakkan
tanganku mengocok penis dari Hendra ini, dan pemiliknya mulai
mengerang keenakan. Dan sesaat kemudian kedua puting payudaraku
sudah ada yang mengulum, ternyata Reza dan Wahyu yang sekarang
ganti menyusu pada kedua payudaraku. Rudi yang sudah selesai
melolohi aku dengan segala macam cairan dari mulutnya, kembali
bergerak menuju selangkanganku, dan sekali lagi ia mencucup bibir
vaginaku.
Untung saja aku sudah menelan semua cairan dalam mulutku, karena
aku pasti sudah tersedak kalau mulutku masih terisi cairan tadi ketika
aku kembali terlonjak lonjak keenakan seperti sekarang ini . Telapak
tangan kananku digenggam lembut oleh Rangga yang masih
memangku kepalaku ini. Ia juga membelai rambutku dengan mesra.
Aku memandangnya dengan sayu, kini aku hanya bisa pasrah, aku
sudah terlalu lelah untuk bergerak meskipun kenikmatan terus melanda
selangkanganku.
Tiba tiba aku mendengar erangan Hendra dan aku menoleh. Aku
melihat Hendra berkelojotan, dan ketika erangannya makin keras, ia
buru buru menarik penisnya dari genggamanku dan aku hanya bisa
membuka mulutku dengan pasrah dan membiarkan mulutku dijejali
penis Hendra. Sambil mengerang panjang, Hendra langsung
menyemburkan sperma hangatnya ke dalam mulutku.
Aku mengulum dan membersikan penis itu dan menelan semua sperma
yang menggenangi mulutku. Akhirnya erangan Hendra berhenti, dan
dengan lemas ia menarik penisnya lepas dari mulutku, kemudian ia
roboh kehabisan tenaga. Nafasnya tersengal sengal, tapi ia tersenyum
puas kepadaku. Aku memalingkan wajahku ke Rudi yang baru saja
menghentikan sedotannya. Aku merasa vaginaku sudah bersih dari
cairan cairan tadi. Rudi kembali mendekatkan mulutnya ke wajahku.
Aku membuka mulutku dan kembali aku dilolohi seperti tadi, cuma kini
cairan yang mengalir ke mulutku tak sebanyak yang sebelumnya.
Setelah selesai, tanpa memberiku kesempatan menelan cairan itu, Rudi
langsung memagut bibirku dengan ganas. Aku kelabakan, dan cepat
cepat berusaha menelan semua cairan dalam mulutku ini supaya aku
tak sampai tidak tersedak. Setelah aku menghabiskan sperma yang
bercampur cairan cintaku itu, kubalas pagutan Rudi sampai kami
berdua sama sama kehabisan nafas.
Aku dan Rudi saling melepaskan pagutan kami. Kini aku mendapat
kesempatan mengistirahatkan tubuhku. Kubiarkan Reza dan Wayhu
terus menyusu pada kedua payudaraku sepuas hati mereka. Aku
berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal, juga kubiarkan
kepalaku tergeletak di pangkuan Rangga, yang terus membelai
rambutku dengan lembut. Aku merasa nyaman dengan posisi ini, dan
kubiarkan saja Rangga melakukan apa saja yang dia suka terhadapku.
"Capai ya Eliza?", Rangga berbisik padaku. Aku mengangguk lemah.
Aku hanya sempat beristirahat kurang lebih lima menit saja, dan kini
aku kembali dikerubuti oleh mereka semua. Mereka mengajakku
ngobrol, yang tak kutanggapi dengan lemas karena aku masih
kelelahan. Walaupun begitu aku berusaha menjawab setiap pertanyaan
mereka dengan sopan, karena aku tak mau mereka berubah menjadi
kasar padaku nanti pada saat mereka menggilirku di ronde berikutnya.
Aku sempat memperhatikan, sinar matahari sudah mulai redup, entah
jam berapa sekarang ini. Entah sudah berapa lama aku melayani
mereka semua. Selagi mereka terus berbicara, kurasakan rabaan pada
sekujur tubuhku oleh anak anak SMP ini. Kedua tanganku sudah
terentang dan tak luput dari rabaan juga. Jantungku mulai berdegup
kencang merasakan rangsangan yang bertubi tubi ini, apalagi ketika
Rudi dengan nakal menjilati bibir vaginaku.
"Nggghh…", aku melenguh dan tubuhku kembali bergetar, Rasanya
vaginaku sekarang ini dalam keadaan sangat sensitif, dan sedikit
sentuhan saja sudah amat merangsangku hingga gairahku langsung
bergejolak. "Enak ya Eliza?", tanya Rudi. Aku diam saja, mukaku terasa
panas. "Kalau diam, itu berarti memang enak", kata Rudi lagi. Ia lalu
melanjutkan jilatannya, membuat tubuhku perlahan terasa makin
panas.
"Oohh… tolong hentikan Rud… aku masih capai…", keluhku. Tapi Rudi
tak perduli, dan meneruskan jilatan itu. Sesekali lidahnya menusuk
nakal, sedikit membelah liang vaginaku. Aku menggigit bibir dan
memejamkan mataku erat erat. Lama kelamaan aku tak kuat lagi.
Tubuhku sudah terlanjur merespon setiap rangsangan ini, dan perlahan
aku menggeliat diikuti tawa mereka, tapi aku tak bisa menghentikan
gerakan tubuhku yang sudah di luar kontrolku.
"Tadi minta berhenti… sekarang gimana Eliza? Yakin nih mau
berhenti?", tanya salah seorang dari mereka. Aku tak bisa menjawab,
rasanya mukaku makin panas saja. Mereka tertawa tawa dan terus
merabai setiap centi dari tubuhku. Akhirnya aku larut juga oleh
sentuhan sentuhan itu, dan ketika Syamsul memagut bibirku, aku
reflek balas memagutnya. Diiringi sorakan mereka, kami berdua
berciuman dengan panasnya.
Akhirnya Syamsul melepas pagutannya dariku dengan nafas tersengal
sengal. Aku bukannya baik baik saja, irama nafasku pun sudah tak
karuan dan mataku sudah berkunang kunang. Sesaat kemudian, Kahar
mendekat, rupanya ingin merasakan bibirku juga. Benar saja, Kahar
segera memagut bibirku, membuatku kelabakan, dan aku merasakan
tanganku yang terentang ini kembali dicengkeram di bagian
pergelangan tanganku, ketika aku menggapai gapai berusaha
mendorong wajah Kahar untuk melepaskan pagutannya.
Kedua pergelangan kakiku yang juga dalam keadaan terpentang ini
juga dicengkeram entah oleh siapa. Maka aku hanya bisa menyerah
pasrah membiarkan Kahar memuas muaskan dirinya memagut bibirku.
"Mmmphh..", aku hanya bisa merintih tak jelas, dadaku makin lama
makin terasa sesak. Ketika Kahar melapaskan pagutannya, aku megap
megap kehabisan nafas. "Oooh… sebentar… aku…", aku mengeluh dan
berusaha mengatur nafasku.
Tapi aku kembali harus tersengat oleh ulah Rudi yang kini malah
mencucup bibir vaginaku. "Ngggh… Ruuud.. janganhhh.. ooooh", aku
melenguh lenguh. Anton mendekatkan bibirnya padaku, membuatku
meronta panik. "Jangan… tunggu… oooh… mmpphh…", kata kataku
tersumbat ketika bibirku dipagut Anton dengan ganas. Aku terus
meronta, tapi semuanya tak ada artinya. Setelah Anton puas memagut
bibirku, kini ganti Darso yang menginginkan bibirku.
"Aggh.. tolong tunggu sebentaar…. Aku mmmppph….", aku tak bisa
meneruskan kata kataku karena Darso sudah melumat bibirku. Aku
mulai lemas dan menderita karena tak bisa bernafas. Setelah Darso
selesai melumat bibirku, aku langsung memalingkan wajahku ke perut
Rangga, dan aku terbatuk batuk kehabisan nafas. Aku mulai menangis
dan memohon, "Tolong jangan beginii.. biarkan aku bernafas dulu…
aku udah nggak kuat lagi…".
Aku benar benar berharap mereka mengasihani aku, dan untungnya
kelihatannya mereka iba melihatku menangis, dan aku dibiarkan
istirahat beberapa detik, bahkan Rudi pun menghentikan ulahnya yang
sangat merangsangku, hingga aku mendapat kesempatan memulihkan
nafas yang sudah sangat tersengal sengal ini. Dan setelah aku terlihat
agak enakan, Hendra segera menyerbu dan melumat bibirku habis
habisan
Rudi pun kembali melanjutkan ulahnya menjilati dan mencucup bibir
vaginaku, Setelah Hendra puas melumat bibirku, Reza melepaskan
cucupannya pada puting payudaraku yang kanan, lalu ia sempat
menunggu beberapa saat sebelum memagut bibirku. "Mmmmh…", aku
memejamkan mataku menikmati pagutan Reza, lidah kami saling
bertautan hingga air ludah Reza mengalir cukup banyak ke dalam
mulutku.
Setelah Reza puas, kami saling melepaskan pagutan kami, dan nafasku
kembali tersengal sengal dan aku harus cepat cepat menelan air ludah
Reza yang menggenangi rongga mulutku, juga mengatur nafasku. Kini
ganti Wahyu yang melepaskan cucupannya pada putting payudaraku
yang kiri, dan setelah aku kelihatan bisa bernafas, Wahyu segera
memagut bibirku dengan ganas. Aku agak kelabakan, karena Wahyu
cukup lama memagut bibirku dan keadaan ini kembali membuatku
menderita.
Aku mulai meronta, tapi aku sama sekali tak bisa bergerak. Untungnya
hal ini agaknya menyadarkan Wahyu, dan ia pun melepaskan
pagutannya dari bibirku. Aku terbatuk batuk dan dan megap megap
berusaha menghirup udara yang sama sekali tidak segar ini, tapi aku
tak punya pilihan lain. Setelah keadaanku terlihat lebih baik, Rangga
mengangkat kepalaku yang sejak tadi terbaring di pangkuannya, dan ia
memagut bibirku sepuas puasnya.
Kini setelah semua mendapatkan kesempatan melumat bibirku, aku
tahu ronde kedua sudah akan dimulai ketika kedua pahaku dilebarkan
oleh Rudi. Mereka mengatur posisi mereka untuk bersama sama
menikmati tubuhku. Rangga tetap memangku kepalaku dari sebelah
kanan, dan ia terlihat senang sekali membelai kedua pipiku, mungkin
karena kulit pipiku yang putih mulus ini. Darso kini mencucup puting
payudaraku yang sebelah kiri, sedangkan Syamsul mendapatkan puting
payudaraku yang sebelah kanan.
Dan untuk membuatku tak berdaya, pergelangan tangan kiriku
dicengkeram oleh Hendra, dan pergelangan tangan kananku
dicengkeram oleh Reza. Juga pergelangan kaki kiriku dicengkeram oleh
Anton, dan pergelangan kaki kananku dicengkeram oleh Kahar. Wahyu
menghirupi rambutku yang terurai ke sebelah kiriku, aku tidak mengerti
apa asyiknya, tapi Wahyu kelihatan amat senang. "Eliza.. kita lanjutin
ya…", kata Rudi perlahan, ia menatapku penuh nafsu. Aku mengangguk
perlahan dan menatap sayu pada Rudi.
Dengan perlahan Rudi membenamkan penisnya ke dalam liang
vaginaku, dan aku kembali memejamkan mata, berusaha menikmati
saat saat terbelahnya liang vaginaku ini. Setelah penisnya tertelan
seluruhnya dalam liang vaginaku, Rudi mulai memompa vaginaku,
membuatku melenguh lenguh keenakan, "Ngghhh.. ohhh Ruuud…
aaah…". Rudi tertawa puas dan terdengar sekali kebanggaan dalam
tawanya itu karena dia bisa membuatku keenakan seperti ini. Cairan
cintaku sudah mulai keluar, melumasi liang vaginaku ini.
Sensasi yang kudapat kali ini bertambah dahsyat karena aku merasa
sangat tak berdaya dengan kedua pergelangan tangan dan kakiku yang
tercengkeram erat, hingga aku tak bisa menggeliat dengan enak dan
bebas, hanya kepalaku yang terbaring di pangkuan Rangga yang bisa
sedikit kugerakkan. Kurasakan remasan lembut oleh Darso dan
Syamsul yang sedang asyik menyusu di kedua payudaraku, membuatku
menggelinjang keenakan.
Selain itu, belaian tangan Rangga pada kedua pipiku dan ulah Wahyu
yang menghirup hirup rambutku, semua itu makin dalam
menengggelamkanku dalam kenikmatan. "Nggghhh… aduuuh….", aku
terus melenguh keenakan merasakan rangsangan bertubi tubi pada
sekujur tubuhku ini. Gairahku terus naik, dan aku makin tak bisa
mengontrol gerakan tubuhku, yang mulai mengejang tak karuan
menahan siksaan kenikmatan birahi yang nyaris tak tertahankan ini.
Tapi sayangnya, Rudi tak butuh waktu lama untuk berejakulasi dalam
liang vaginaku, ia menghunjamkan penisnya sekuatnya dan tubuhnya
bergetar getar . "Ooohh… Elizaaa", ia mengerang panjang meneriakkan
namaku dan menembakkan spermanya, dan rasanya hanya sedikit
sperma yang dikeluarkannya. Aku mengeluh pendek dan membuka
mataku, menatapnya dengan pandangan kecewa. Sebenarnya kalau
Rudi mampu menggenjotku beberapa lama lagi, mungkin saja aku juga
akan menggapai orgasmeku.
Tapi aku tak berkata apa apa, dan begitu Rudi melepaskan penisnya
dari jepitan liang vaginaku, Darso langsung mengambil posisinya di
selangkanganku menggantikan Rudi. Puting payudaraku yang sebelah
kiri ini tak menganggur lama. Mereka bekerja sama dengan kompak
untuk membuatku terus menerus dalam keadaaan terangsang hebat
dan tak berdaya untuk bergerak bebas.
Hendra langsung melahap puting payudaraku yang sebelah kiri. "Yu,
minggir Yu. Mau ngerasain sepongan Eliza aku!", Rudi menyuruh
Wahyu memberikan tempatnya. Wahyu menghirup rambutku dalam
dalam, kemudian beranjak memberikan tempatnya pada Wahyu dan
menggantikan Hendra mencengkeram pergelangan tangan kiriku.
Darso sendiri mulai memompa vaginaku, dan aku terus mengeliat
walaupun tertahan oleh mereka. Rudi menempelkan penisnya di
bibirku, dan aku langsung melahap penis itu. Aku mengulum dan
menjilati sisa sperma dari penis yang sudah melembek ini. "Aduh…
enaaaaak…", Rudi mengerang erang keenakan ketika aku menyeruput
semua sisa sperma itu sampai bersih, dan ia ambruk di sebelahku.
Tepat ketika ia tergeletak di lantai, Darso juga sudah berejakulasi.
"Oooohh…. enaknya memekmu Elizaa…", erang Darso.
Aku agak sebal dan kecewa karena tadi juga gairahku yang belum
terlalu turun, sesungguhnya sudah naik cepat ketika Darso memompa
vaginaku. Tapi lagi lagi aku tak sempat menggapai orgasmeku
sedangkan pemerkosaku sudah orgasme duluan saat vaginaku baru
mulai berdenyut denyut. Rasanya menjengkelkan sekali deh. Tapi aku
cuma bisa diam saja. Yah, mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa
pasrah dan diam saja memendam kekecewaanku.
Syamsul beranjak mendekati selangkanganku dengan langkah gontai.
Meskipun kelihatan lemas dan lelah, tapi penis yang panjangnya kira
kira 15 cm dan sudah ereksi dengan gagah itu tetap diterjangkan
pemiliknya, mengoyak dan mengaduk aduk liang vaginaku,
mendatangkan rasa nikmat yang luar biasa pada vaginaku. Dan Reza
sudah menggantikan Syamsul mencucup puting payudaraku yang
sebelah kanan ini, sedangkan Kahar menggantikan Reza
mencengkeram pergelangan tangan kananku.
Rudi yang sedang tergolek lemas itu merayap mendekati pergelangan
kaki kananku, dan mencengkeram ala kadarnya, tapi sudah cukup
untuk kembali membuatku tak mampu bergerak bebas. Sementara itu,
Hendra dan Reza makin bersemangat mencucup dan menyedot kedua
puting payudaraku. Darso menagih jatahnya, memintaku mengoral
penisnya yang masih belepotan sperma itu, dan aku segera melahap
penis si Darso ini.
Keadaanku sudah benar benar tak karuan digangbang oleh anak anak
SMP ini. Kesembilan anak SMP ini menguasai tubuhku sepenuhnya.
Empat dari mereka mencengkeram kedua pergelangan tangan dan
kakiku, yang satu memangku kepalaku, satu menyusu di payudaraku
yang kiri dan satu lagi menyusu di payudaraku yang kanan. Dan yang
pasti, satu lagi memompa liang vaginaku, dan satu lagi menikmati
servis oral dariku.
Aku sendiri merasakan sensasi yang luar biasa diperlakukan seperti ini
dan aku pasrah saja mengikuti kemauan mereka semua. Dan sekarang,
seperti Rudi, Darso juga mengerang keenakan ketika aku
membersihkan penisnya yang belepotan sperma. Tubuhnya sampai
mengejang ngejang ketika aku mencucup dan menyedot penisnya, dan
begitu kuluman itu kulepaskan, Darso langsung roboh, terlihat jelas
selain keenakan ia juga kelelahan.
Ketika kulihat Rudi dan Darso yang sudah ambruk itu kelihatan malas
bangun lagi, aku jadi punya harapan, ronde ke dua ini merupakan
ronde terakhir dan aku segera bebas dari mereka. Kini perhatianku
kembali terfokus pada Syamsul yang dengan menggebu gebu
memompa vaginaku. "Ngghhh… Suull…", aku melenguh dan menggeliat
keenakan, apalagi ditambah gigitan kecil pada kedua puting
payudaraku, membuat aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat,
tak kuasa menerima segala rangsangan ini.
Tapi sayangnya, bahkan Syamsul yang tadi di ronde pertama cukup
perkasa, kali ini hanya sekitar 5 menit saja ia sanggup memompaku,
dan ia sudah berejakulasi. Kembali aku tenggelam dalam kekecewaan.
Lagi lagi aku hampir menggapai orgasmeku, tapi gagal lagi karena
Syamsul terlalu cepat berejakulasi. Kini Rudi menggantikan Rangga
untuk memangku kepalaku, sedangkan Darso menggantikan Rudi
mencengkeram pergelangan kaki kananku. Rangga sendiri beranjak ke
selangkanganku.
Rupanya mereka sudah mengatur urutan mereka untuk menikmati liang
vaginaku di ronde ini supaya sama persis dengan di ronde pertama
tadi. Tak lama kemudian liang vaginaku segera terbelah oleh penis
Rangga. "Ssshhh…", aku mendesis, dan Rangga segera menggenjotku
habis habisan. Sementara itu, Rudi yang sudah memangku kepalaku
membelai rambutku dengan lembut dan mesra, membuatku sedikit
merasa nyaman.
Dan di selangkanganku, setelah liang vaginaku beradaptasi dengan
penis Syamsul yang lebih panjang dan lebih besar, sodokan penis
Rangga yang lebih kecil dan lebih pendek dari milik Syamsul ini tak
terlalu mempengaruhiku. Walaupun begitu aku sama sekali tak bisa
beristirahat, karena sejak tadi Hendra dan Reza terus mempermainkan
kedua payudaraku. Tak hanya menyusu, mereka berdua juga meremasi
payudaraku dengan lembut, sehingga aku terus menerus berada dalam
keadaan terangsang hebat.
Namun aku tak pernah mencapai orgasme, sejak tadi para
pemerkosaku tak ada yang sanggup untuk cukup lama memompa
vaginaku. Hal ini sebenarnya sangat menyiksaku. Baik dengan Rudi,
Darso dan Syamsul tadi, sebenarnya vaginaku sudah berdenyut denyut,
tapi sebelum aku mencapai orgasme, mereka sudah berhenti
memompaku. Aku tahu mereka bukannya sengaja mempermainkanku
seperti yang dilakukan pak Basyir penjaga vilaku dulu.
Mereka berhenti memompaku karena mereka memang sudah
berejakulasi. Selain itu mereka pasti sudah sangat terangsang , karena
sejak tadi mereka melihat tubuh indah seorang amoy cantik yang
tersaji polos untuk mereka, yang kini sudah sama sekali tak berdaya
dengan kedua pergelangan tangan dan kakiku yang dicengkeram erat
oleh mereka, membuat mereka tak mungkin bisa bertahan untuk
berlama lama memompa vaginaku.
Dan sekarang ini paling tidak sudah lebih dari 5 menit Rangga
menggenjot vaginaku. Rangga tampaknya begitu menikmati jepitan
liang vaginaku pada penisnya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di
pangkuan Rudi, membiarkan Rangga terus menggenjotku sampai ia
mulai mengejang hebat."Ohhh… Elizaa… enaaknyaaa….", erang Rangga,
dan ia menyemprotkan spermanya bertubi tubi, sedangkan aku hanya
merasa nyaman dengan hangatnya sperma Rangga yang melumuri
liang vaginaku.
Rangga menarik lepas penisnya dari vaginaku, dan segera memintaku
mengoral penisnya. Mulutku kembali dijejali sebatang penis, yang kali
ini cukup kecil dan memudahkanku untuk melakukan kuluman pada
seluruh permukaan penis ini, dan Rangga mulai menggeliat keenakan
dan sedikit menggerak gerakkan penisnya dalam rongga mulutku yang
kini belepotan oleh sisa sperma yang masih melekat di penis Rangga.
Baru saja aku mulai mengulum penis Rangga, vaginaku sudah harus
menelan sebatang penis. Aku sempat melihat, kali ini Hendra yang
mengaduk aduk liang vaginaku. Seperti Rangga, Hendra sama sekali
tak bisa membuatku tenggelam dalam kenikmatan. Penis mereka ini
berukuran kecil. Sambil terus mengulum dan menyedot penis Rangga,
diam diam aku merasa geli, tak pernah terbayangkan olehku aku akan
diperkosa anak SMP, dan baru hari ini aku beberapa kali merasakan
vaginaku diaduk oleh penis berukuran pendek.
"Ssshh..", aku mendesah pasrah ketika Wahyu mencucup puting
payudaraku yang kiri. Sedang Anton menggantikan Wahyu
mencengkeram pergelangan tangan kiriku dan Syamsul mencengkeram
pergelangan kaki kiriku. Sementara itu, Rangga terus mengerang
keenakan, dan tiba tiba ia berkata setengah menjerit, "Sudaah.. sudah
Elizaaa… ooooohh….". Aku melepaskan kulumanku, dan Rangga
langsung ambruk tak berdaya, ia terlihat sangat lemas.
Selagi Hendra masih menggenjotku, aku menggunakan kesempatan ini
untuk mengistirahatkan mulutku, yang rasanya pegal juga karena sejak
tadi kupakai untuk mengoral penis penis dari berbagai ukuran ini. Tapi
aku tak bisa berlama lama, karena beberapa saat kemudian Hendra
sudah mengerang panjang dan menembakkan spermanya di dalam
liang vaginaku. Beberapa saat tubuhnya berkelojotan, kelihatan sekali
ia merasakan kenikmatan yang amat sangat. (*)
Hendra mencabut penisnya dari jepitan liang vaginaku, dan ini berarti
sudah ada tugas lagi untuk mulutku. Aku segera melahap penis
Hendra, dan aku mulai mengulum dan menyedot penis itu kuat kuat
hingga Hendra melolong lolong, "Oooohh.. Elizaaaa…
huuuunnngggghhhh.." Selagi aku mengulum penis Hendra, kurasakan
liang vaginaku diterjang sebatang penis, dan pemiliknya menyodokkan
penisnya yang panjang itu dengan kuat, membuatku melenguh di
antara kegiatanku mengulum penis milik Hendra.
"Nggghhh.. mmmm… mmmhh…", aku melenguh keenakan sambil terus
mengulum dan menyedot penis di mulutku ini, dan Hendra menggeliat
hebat. "Ooooonggghhhh.. ampun Elizaaa…", Hendra melolong keenakan
ketika aku menyedot penisnya kuat kuat. Aku melepaskan kulumanku,
dan Hendra segera ambruk, ia terlihat begitu malas untuk bangun. Dan
kini, ketika kurasakan vaginaku dimanjakan sodokan yang kadang
lembut dan kadang menyentak, aku sudah tahu, sekarang ini pasti
Reza yang sedang menyetubuhiku.
"Oh.. Rezaa.. nggghh.. enaak…", aku kembali melenguh. Reza
memperlambat genjotannya, dan tubuhku bergetar hebat menahan
nikmat ini. "Oooh.. terus Rezaa..", nafsu birahi yang sudah menguasai
diriku sepenuhnya ini membuat aku tak lagi malu malu untuk meminta
dipuaskan oleh Reza. "Enak ya Eliza?", bisik Reza yang sudah
menindihku. "Iyaa.. oooh… aku… mmmppphh….", Reza memagut bibirku
dan aku balas memagut bibirnya sepenuh hati.
Memang di antara mereka ini, seandainya aku harus memilih, aku pasti
akan memilih Reza. Walaupun kulitnya hitam, tapi ia tampan juga,
selain itu tubuhnya atletis menggairahkan. Reza menyetubuhiku sambil
terus mencumbuiku, membuat aku makin tenggelam dalam kenikmatan.
Kahar sudah mencucup puting payudaraku yang kanan, sedangkan
Darso mencengkeram pergelangan tanganku yang sebelah kanan.
Rangga juga sudah mencengkeram pergelangan kakiku yang sebelah
kanan.
Terangsang hebat dan rasa tak berdaya ini benar benar membuatku
melayang dalam kenikmatan. Akhirnya orgasme yang sudah kunanti
sejak tadi kudapatkan juga. Tubuhku mengejang hebat, kedua kakiku
melejang lejang, pinggangku melengkung dan aku melenguh lenguh
keenakan, "Ngggghhhh…. Nggghhh… aduuuuh Rezaaa.. ooooohhh….".
Cairan cintaku membanjir, membuat selangkanganku terasa amat
nikmat. Aku ingin memeluk Reza, tapi kedua pergelangan tanganku
yang terentang ini tak bisa kugerakkan, kedua pergelangan tanganku
tertahan dengan erat.
Walaupun agak sebal, tapi perasaan tak berdaya ini malah menambah
nikmat yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku tersentak sentak.
"Oohhh.. Elizaa… memekmu ini enaaaaak…..", Reza mengerang panjang.
Nikmat ini makin hebat rasanya ketika penis Reza berkedut keras dan
spermanya yang hangat itu menyembur dengan deras membasahi liang
vaginaku. "Ngghhhh… oooohhh…", aku sendiri kembali melenguh
keenakan, vaginaku berdenyut denyut dan kini aku terkulai lemas.
Tenagaku sudah hampir habis rasanya, entah apa aku kuat melalui
semua ini.
Nafasku tersengal sengal serasa hampir putus. Keadaan Reza sendiri
tak lebih baik, keringat di tubuhnya membanjir deras dan bercampur
dengan keringatku membasahi tubuhku. Nafas Reza masih terdengar
memburu, tapi Reza masih ingin mencumbuiku, ia kembali memagut
bibirku dengan mesra. Aku memejamkan mataku dan dengan penuh
penyerahan kubiarkan Reza mencumbuiku sepuas hatinya. Air ludah
Reza terus mengalir ke mulutku, dan aku tanpa merasa jijik terus
menelannya supaya aku tidak tersedak.
"Gantian Rez!", gerutu Wahyu yang sudah kelihatan tak sabar menanti
gilirannya. Reza yang baru sadar kalau masih ada Wahyu, Anton dan
Kahar yang menanti gilirannya, mencabut penisnya dari jepitan liang
vaginaku, tapi ia menyempatkan diri untuk merangsekkan kepalanya ke
selangkanganku. Dan aku segera dibuat Reza terbeliak dan melenguh
keenakan ketika Reza mencucup bibir vaginaku kuat kuat. "Ngghhh..
aduh Reeezz….", aku terus melenguh dan menggeliat sampai akhirnya
Reza berhenti menyedot vaginaku.
Reza lalu dengan mulut yang agak menggembung, mendekati wajahku.
Aku tahu apa maunya, kuterima ciuman Reza dengan senang hati, dan
campuran segala macam cairan yang mengalir dari mulut Reza itu
kutelan semuanya. Setelah cairan itu habis, aku masih saja memagut
bibir Reza. "Mppphh…", aku merintih tertahan ketika Wahyu melesakkan
penisnya ke dalam liang vaginaku. "Ooohh.. memang enaaak…", Wahyu
meracau penuh kenikmatan merasakan jepitan otot vaginaku pada
batang penisnya.
Anton sudah mencucup putting payudaraku yang kiri, sedangkan
pergelangan tangan kiriku dicengkeram oleh Syamsul. Hendra
menggantikan Syamsul untuk mencengkeram pergelangan kaki kiriku.
Kini Wahyu mulai memompa liang vaginaku, dan aku merintih
keenakan. Batang penis Wahyu ini hampir sama ukurannya dengan
milik Reza, dan mendatangkan kenikmatan yang hampir sama pula.
Aku terus menikmati sodokan penis Wahyu dalam liang vaginaku,
sambil terus berpagut mesra dengan Reza.
Kedua payudaraku masih terus dipermainkan Anton dan Kahar.
Perasaan terangsang hebat yang melanda sekujur tubuhku ini
membuatku ingin menggeliat sekuatnya. Tapi tentu saja hal itu tak
bisa kulakukan karena kedua pergelangan tangan dan kakiku dalam
keadaan tercengkeram erat, dan aku hanya bisa memejamkan mataku
menikmati semua ini. Kini perasaan tak berdaya yang kurasakan ini
makin menambah sensasi kenikmatan yang menderaku.
Reza melepaskan pagutannya pada bibirku, dan ketika aku membuka
mata, kulihat penis Reza yang masih belepotan sperma itu sudah
berada di depan mulutku. Langsung saja aku melahap penis itu, dan
aku mengulum dengan sepenuh hati. Kubersihkan seluruh batang
penis itu dari sisa sperma, kujilati memutar dan kusedot sampai
bersih. Pemiliknya sudah melenguh lenguh keenakan, "Sudah Elizaaa..
ampuuun…. enaknyaaaa….". Aku melepaskan kulumanku ketika Reza
menjerit minta ampun dan Reza langsung ambruk, tubuhnya bergetar
getar merasakan sisa kenikmatan tadi.
Aku kembali tersenyum geli, dan kini aku menikmati genjotan Wahyu
yang amat gencar ini. Tiba tiba aku mendapati Kahar menempelkan
penisnya ke mulutku. Aku memandangnya heran, dan Kahar berkata,
"Sekalian pemanasan, Eliza. Dioral ya..". Gayanya itu seperti
memerintah budaknya saja, membuatku sedikit sebal. Tapi aku
membuka mulutku juga, dan Kahar langsung menjejalkan penisnya
yang hanya basah oleh cairan bening.
Hal ini menunjukkan ia sudah amat terangsang hingga tubuhnya secara
alami mengeluarkan cairan yang melumuri penisnya. Aku kini menjilati
dan menyedot cairan yang tak terlalu banyak itu, sekaligus mencoba
ketahanan Kahar ini. "Oooohh…. Oooooh….", Kahar melenguh keenakan,
bahkan ia menggerak gerakkan pinggulnya hingga penisnya menyapu
seluruh rongga mulutku. Aku terus mengoralnya, dan vaginaku rasanya
berdenyut kembali setelah cukup lama dipompa Wahyu.
Darso mencucup puting payudaraku yang kanan, sedangkan Rangga
mencengkeram pergelangan tangan kananku. Reza yang baru saja
ambruk merayap dan menggantikan Rangga mencengkeram
pergelangan kaki kananku. Sementara itu Wahyu sudah mengerang
ngerang. "Aaaah… Elizaaaa..", erang Wahyu dengan penuh kenikmatan,
ia menyodokkan penisnya dalam dalam, seolah ingin menyemprot
bagian terdalam dari liang vaginaku dengan spermanya.
Mungkin denyutan otot vaginaku membuat Wahyu terangsang hebat
dan tak kuat berlama lama menggagahiku. Kahar menarik penisnya dari
kuluman mulutku, mempersilakan Wahyu untuk mendapatkan servis
oral dariku. Bersamaan ketika Wahyu menjejalkan penisnya ke dalam
mulutku, Kahar juga mengoyak liang vaginaku dengan penisnya.
"Nggghhh..", aku terhenyak dan melenguh, dan yang menguatirkanku,
kini aku mulai merasakan sedikit sakit pada liang vaginaku.
Aku cepat cepat membersihkan sisa sperma dari penis Wahyu, yang
kemudian langsung ambruk dan bertukar tempat dengan Anton.
Untungnya Anton yang langsung menjejalkan penisnya ke dalam
mulutku ini berkata, "Eliza, aku keluarin di mulutmu ya.. sudah gak
nahan nih dari tadi liat pemandangan di selangkanganmu sana..". Aku
segera mengoral penis Anton dengan sisa sisa tenagaku, sementara
kurasakan selangkanganku didera rasa sakit yang bercampur nikmat.
Beberapa menit aku melayani dua penis ini, akhirnya mereka berdua
mulai berkelojotan. Aku berharap mereka segera ejakulasi, karena
mulutku sudah sangat capai rasanya, dan vaginaku entah kenapa mulai
terasa pedih. "Huuuungghhh… huoooooohhh", beberapa saat kemudian
baik Anton maupun Kahar melolong lolong, dan dengan bersamaan
mereka berdua menyemprotkan spemma mereka berdua diiringi
erangan panjang yang merupakan ekspresi kenikmatan mereka.
Tiba tiba Kahar mencucup bibir liang vaginaku, hingga aku terlonjak
lonjak antara geli dan terangsang hebat. Cairan yang menggenangi
liang vaginaku rasanya disedot habis oleh Kahar, dan Anton dengan
penisnya yang sudah kubersihkan itu sudah terkulai lemas. Aku sudah
sangat lemas, dan ketika Kahar memagut bibirku aku hampir saja
terlambat menelan semua cairan itu, dan hampir saja aku tersedak.
Setelah Kahar selesai melolohiku dengan campuran sperma, cairan
cintaku dan air ludahnya dia sendiri, ia tergeletak lemas, mereka
semua juga melepaskan semua cengkeraman mereka padaku, dan
kedua puting payudaraku yang basah tak karuan oleh air ludah mereka
semua juga terbebas. Kami semua tergeletak lemas, tenaga sudah
terkuras habis. Aku berusaha memulihkan nafasku yang tersengal
sengal ini.
Melihat mereka kondisinya sudah kelelahan semua, aku makin yakin
ronde ke dua ini sudah berakhir. Tapi rupanya aku terlalu cepat
senang. Tiba tiba kudengar deru sepeda motor, dan ketika aku
menoleh ke arah suara itu, bukan hanya satu, aku melihat tiga sepeda
motor sekaligus, yang memasuki rumah kosong ini. Ketiga
pengendaranya masih mengenakan seragam putih abu abu, seragam
SMA. Satu di antara mereka adalah yang tadi siang bersama dengan
Rudi saat membawaku ke sini.
Aku tak tahu sekarang ini jam berapa, tapi yang jelas sinar matahari
sudah tak kelihatan lagi. Sembilan anak SMP yang tadi itu agak
menjauh dariku, seolah olah hendak mempertontonkan tubuhku pada
ketiga anak SMA yang kelihatannya senior mereka itu. "Wow.. amoy ini
memang special Man", kata salah seorang dari mereka, disambung
yang satu lagi, "Gila Maman, hebat juga lu bisa dapat amoy kayak
gini! Gak nyesel gue ke sini ikut elo Man! ".
"Boleh lah kita menikmati dia sebentar sebelum nanti malam beraksi di
lapangan! Toh sepeda motor kita sudah selesai distel, tinggal tarik
pedal gas saja", kata yang dipanggil Maman itu, yang tadi bersama
Rudi itu. Aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat, "Jangan.. aku
sudah sangat capai, ampun…". Aku memohon mohon, dan melihat
mereka terus saja melepaskan baju mereka, aku makin panik, air
mataku mulai membasahi mataku. Aku tahu ini hal yang tak mungkin,
tapi aku terus mencoba memohon supaya mereka tak jadi ikut
memperkosaku.
"Tolonglah, Maman, kita sama sama SMA, kalian jangan begini", aku
mengeluh. "Nggak, kita nggak sama. Kami anak STM… hahahaha",
jawab Maman sambil tertawa terbahak bahak. "Oh iya, ini Joko, dan ini
Dimas", Maman mengenalkan kedua rekannya, dan aku tak bisa berkata
apa apa lagi, toh para bajingan ini sudah sangat menginginkan
tubuhku. Mereka bertiga mendekatiku dengan pandangan bak serigala
yang melihat daging mentah, mereka sudah seperti kerasukan.
Aku tercekat melihat ukuran penis mereka ini. Ketiga penis itu nyaris
sama panjang, dan paling tidak 18 cm. sedangkan diameternya tak ada
yang lebih kecil dari 4 cm. Aku menangis ngeri, dan kembali aku
mencoba memohon pada mereka, "Tolong, aku sudah..". Man langsung
memotong, "Sudah kepingin main sama kami bertiga? Tenang saja,
amoy cantik. Hahahaha, kami akan memuaskanmu sampai kamu nggak
bisa bangun lagi".
Aku berusaha bangkit untuk menjauh dari mereka, tapi aku makin
ketakutan ketika aku mendapati kenyataan bahwa aku tak mampu
berdiri. Rupanya gangbang tadi itu benar benar menghancurkanku,
selain rasa sakit pada vaginaku, kedua kakiku juga serasa tak
bertenaga sama sekali. Maka tanpa perlawanan sedikitpun, Maman
sudah berhasil memeluk tubuhku, dan beberapa saat kemudian
penisnya sudah membelah liang vaginaku.
"Ooooh… sakiiiit…", aku mengerang kesakitan, tubuhku mengejang
didera rasa sakit yang amat sangat ini. Tak ada rasa nikmat sedikitpun.
Aku sudah berusaha untuk tak merasa diperkosa, paling tidak aku tak
akan menderita luka batin. Tapi ketika Maman mulai memompa liang
vaginaku, aku terus mengerang bahkan akhirnya aku menjerit
kesakitan. Air mataku mengalir karena aku tak kuat menahan siksaan
ini.
Bukannya kasihan, Maman malah menggenjotku dengan gencar. Ia
hanya memandangku sebagai pemuas nafsunya saja, dan ini
membuatku sakit hati. Lalu Maman sempat berhenti sejenak, dan
pelukannya pada tubuhku makin erat. Ia membawaku berdiri dengan
penisnya yang masih tertancap di liang vaginaku, dan walaupun
rasanya sakit sekali karena penis itu makin dalam membelah liang
vaginaku, aku terpaksa harus memeluk lehernya karena aku tak ingin
jatuh terbanting ke lantai yang cuma beralas tikar ini.
Sekitar lima menit Maman menggenjotku dalam posisi ini, rupanya
Maman sendiri kelelahan dan ia menurunkan tubuhku, penisnya sempat
terlepas dari liang vaginaku. Aku sudah kesakitan sampai kepalaku
rasanya mau pecah. Keadaanku sudah setengah sadar ketika
kurasakan liang vaginaku kembali menelan penis Maman, dan beberapa
genjotan keras diiringi erangan Maman, mengakhiri perkosaan Maman
terhadap diriku.
Sperma Maman menyemprot liang vaginaku dengan deras, dan Maman
langsung menarik penisnya. Aku sudah tak bisa mengerang lagi,
tubuhku rasanya lumpuh, tak ada tenaga untuk menggeliat ataupun
mengejang, walaupun kurasakan sakit yang amat sangat ketika lagi
lagi liang vaginaku harus menelan sebatang penis, entah milik Joko
atau milik Dimas. Tubuhku tersentak sentak mengikuti irama pemilik
penis yang menggagahiku tanpa perlawanan sedikitpun.
Beberapa menit kemudian, aku kembali merasakan semburan sperma
hangat di liang vaginaku. Ini sedikit mengurangi rasa sakitku, tapi
penderitaanku kembali datang ketika penis yang ketiga ganti
membelah liang vaginaku. Tapi bahkan aku tak sanggup
menggenggamkan tanganku, padahal aku didera rasa sakit yang amat
sangat. Tubuhku terus tersentak mengikuti irama sodokan
pemerkosaku, sampai akhirnya semburan cairan sperma yang hangat
kembali membasahi liang vaginaku.
Aku tak tahu harus berapa lama lagi aku menerima siksaan ini, liang
vaginaku serasa jebol setelah menelan 20 batang penis secara
marathon. Setelah jeda sekitar setengah jam, aku melihat sembilan
anak SMP yang tadi tergeletak lemas semua itu kini sudah
mengerumuniku. Aku menangis ketakutan, tak berani membayangkan
aku harus melayani mereka bersembilan itu lagi.
Tapi tak ada yang mendekati selangkanganku, semua hanya
megerumuniku sampai ke pinggang. Dan, mereka semua beronani
bersama sama, mengocok penis mereka sendiri. Aku merasa udara di
sini semakin pengap karena bau keringat mereka semua. Dan mereka
terus beronani sambil tertawa tawa, sedangkan aku tahu aku akan
segera menerima bukake. Setelah sekitar 5 menit, kulihat ketiga anak
STM itu juga ikut berdiri dan beronani.
Tiba tiba aku mulai merasakan semprotan sperma mereka mulai
menghujani tubuhku. Kedua mataku terkena semprotan juga hingga
aku terpaksa menutup mataku. Beberapa saat kemudian, kedua
telingaku, rambutku, kedua pipiku, leherku, kedua payudaraku dan
perutku, kurasakan semuanya tersemprot cairan sperma. Aku seperti
sedang mandi sperma saja. Lengkap sudah, 12 semprotan sperma pada
tubuhku.
Entah siapa yang melakukan, tapi gumpalan sperma yang tadi
menghujani tubuhku ini diratakan ke permukaan kulitku. Kemudian
kurasakan pahaku diolesi sperma, mungkin yang menempel di telapak
tangan yang meratakan cairan itu. Wajahku benar benar basah rata
oleh sperma, demikian juga leherku, payudaraku, dan perutku. Pahaku
sendiri terasa agak lengket di bagian depan, dan aku tak tahu keadaan
rambutku, tapi pasti juga menyedihkan. Aku benar benar merasa
terhina, dan aku menangis tanpa suara.
"Eliza.. kapan kapan kalo kangen kami, temui saja kami di sini. Kami
juga senang kok main sama kamu… Hahahaha.. ", kudengar suara
Maman, dan deru sepeda motor yang baru dinyalakan membuatku
sedikit banyak merasa lega, gangbang ini sudah berakhir, dan mereka
telah melepaskanku. Setelah mereka semua pergi, aku membuang
genangan sperma yang membasahi mataku, aku mengelap dengan jari
tanganku, maka aku bisa membuka mataku.
Air mataku masih mengalir, selain merasa sakit secara fisik, aku juga
merasa sangat terhina dengan semprotan sperma pada sekujur tubuhku
ini. Perlahan aku mencoba bangkit dari tikar yang menjadi saksi
penderitaanku ini, tapi ketika aku berdiri, kedua kakiku terasa
gemetaran, vaginaku pun terasa amat sakit, membuatku langsung
roboh. Aku harus beristirahat barang sebentar untuk memulihkan
kondisiku.
Tiba tiba aku mendengar suara hujan, makin lama makin deras. Aku
tahu aku tak boleh beristirahat di tengah ruangan ini dalam keadaan
telanjang bulat dan tubuh penuh sperma seperti ini, karena bisa saja
ada orang yang masuk ke rumah kosong ini untuk berteduh. Aku
memaksakan diri untuk merangkak ke sudut ruangan rumah kosong ini,
di mana mereka tadi melempar lemparkan bajuku. Tubuhku rasanya
remuk semua, tapi aku harus segera menutupi tubuhku.
Akhirnya aku sampai ke tempat itu, dan kulihat bajuku masih lengkap.
Aku tak perduli dengan keadaan tubuhku yang basah oleh sperma ini,
kupakai baju dan rok seragamku. Kancing baju seragamku sudah tak
ada semua, tapi aku tak terlalu panik, karena aku masih bisa menutupi
tubuhku dengan tas sekolahku. Sedangkan bra dan celana dalamku
yang sudah tak bisa kupakai lagi karena sudah robek dan putus,
kumasukkan ke dalam tas sekolahku.
Setelah kurang lebih satu jam aku berdiam diri sambil menangis, aku
menguatkan diriku untuk berdiri. Masih terasa sekali sakit pada
vaginaku, kedua kakiku juga masih gemetar, tapi kini aku sudah
mampu berjalan walaupun tertatih tatih. Aku perlahan terus
melangkahkan kaki keluar, dan untungnya aku tahu kemana aku harus
mencari mobilku. Setelah aku terus berusaha berjalan kurang lebih 5
menit di bawah guyuran hujan barulah aku sampai ke mobilku.
Untung saja tak ada yang melihatku selama aku mengarah ke mobilku
ini. Aku cepat cepat mengeluarkan kunci mobil dari tas sekolahku,
memencet tombol pembuka, dan aku segera masuk ke mobilku. Bajuku
sudah basah kuyup tak karuan, untungnya jok tempat duduk mobilku
ini terlapis kulit, jadi aku tak kuatir merusak bagian dalamnya. Tepat
ketika aku menutup pintu, kudengar handphoneku berbunyi
menunjukkan SMS yang masuk.
Aku mengunci pintu mobilku dan kuambil handphone yang tadi
kuletakkan di jok sebelah itu. ada 9 missed call dari 2 nomer, mamaku
dan Jenny. 2 SMS yang masuk juga satu dari mamaku, satu lagi dari
Jenny. Aku masih terus menangis ketika aku membaca SMS yang dari
mamaku, "Eliza, kamu ada di mana? Ini mama, papa dan koko harus
pergi ke vila, soalnya koko mau pakai vila buat liburan minggu depan.
Besok malam baru pulang, kamu kalau mau makan di luar, mama
titipin uang di meja kamu ya".
Kemudian kulanjutkan membaca SMS dari Jenny, "El, thanks ya udah
nolongin aku balikin buku itu ke Sherly. Besok senin aku traktir kamu
yah waktu istirahat ^^". Aku membayangkan, rasa sakit yang kudapat
hari ini sama sekali tak sepadan dengan traktiran dari Jenny. Tapi aku
tahu, ini sama sekali bukan kesalahan Jenny. Aku masih tak tahu, apa
ini gara gara kecantikanku atau karena kebodohanku tadi yang
menolong Johan itu. Apakah ini yang harus kudapat setelah berbuat
baik?
Aku menangis dengan kesal, dan kunyalakan mesin mobilku. Aku
melihat jam di mobilku, sudah jam 21:30. Entah sudah berapa lama tadi
aku digangbang di rumah kosong itu. Ketika aku baru menjalankan
mobil melewati rumah Sherly, kulihat Vera dan cie Monika yang tadi
diseret ke kamar mandi oleh orang yang kira kira pembantu di kosnya
Sherly itu, berjalan menyeberang dengan om omAku menghentikan
mobilku memberikan mereka kesempatan menyeberang, dan aku
tertegun sejenak melihat om om Chinese itu membimbing Vera dan cie
Monika masuk ke pintu belakang dengan mendorong pantatnya.
Ketika mereka semua sudah masuk ke mobil, aku segera menjalankan
mobilku, aku ingin cepat cepat pulang. Dalam hati aku membayangkan,
kehidupan seks dari Vera, cie Monika dan aku sendiri benar benar tak
karuan. Tapi mungkin perbedaannya terletak pada situasinya. Vera
ataupun cie Monika terlihat enjoy saat tadi masuk ke mobil. Aku tak
tahu apa mereka memang suka, tapi tadi jelas sekali mereka tak
terlihat terpaksa.
Sedangkan aku, setiap aku terlibat hubungan seks, semuanya berawal
dari pemerkosaan terhadap diriku. Aku makin kesal, tapi aku tahu
sebaiknya aku berkonsentrasi mengendarai mobilku. Setengah jam aku
menyetir, air mataku sudah berhenti membasahi pipiku ketika aku
sampai di depan rumah. Aku memencet remote pagar, lalu aku
memarkirkan mobilku ke garasi. Setelah diam sejenak, aku
memasukkan handphoneku ke dalam tas sekolahku, lalu kubawa tas
itu turun.
Begitu aku turun dari mobil, dari belakang kurasakan dua tangan
merayap ke payudaraku, yang ternyata tangan Wawan, lalu ia meremasi
kedua payudaraku dengan lembut. Aku tak bisa memberikan
perlawanan, aku terlalu lemas untuk itu. Dan kepasrahanku diartikan
lain oleh Wawan yang terus membimbingku ke kamarnya. "Hmmm..
non Eliza habis pesta ya? Sekarang pesta sama saya ya", kata Wawan
yang menghirup rambutku yang pasti bau sperma itu.
Suwito yang sedang tidur tiduran langsung berdiri dan ikut
mencumbuiku. Tak lama kemudian aku sudah dibaringkan ke ranjang
mereka, mereka tak memperdulikan keadaanku yang basah kuyup. Baju
seragamku yang tak berkancing sama sekali ini dengan mudah sudah
dilepas oleh Suwito, sedangkan rok seragamku dilucuti oleh Wawan.
"Wow.. nona kita sudah siap nih!", seru Wawan yang amat bernafsu
melihat tubuhku sudah tersaji polos. "Banyak pejunya nih, abis pesta
sama berapa orang non Eliza?", tanya Suwito. Wawan sudah mulai
menjilati vaginaku, sedangkan Suwito mulai melumat bibirku.
Aku hanya diam saja, tapi perlahan air mataku mengalir, dan aku mulai
menangis sesenggukan. Mereka berdua tertegun dan menghentikan
aksi mereka. "Non.. kenapa non", tanya Suwito dengan kuatir. Aku
makin sesenggukan, dan mereka membiarkanku sampai aku lebih
tenang. "Tolong biarkan aku istirahat… aku sudah capai…", kataku
pelan di sela isak tangisku. Aku beruntung, mereka ini masih
memandangku sebagai majikan mereka, dan tak memandangku sebagai
sekedar budak seks mereka belaka.
"Non, kami antar non ke atas ya", kata Wawan. Kemudian Wawan
menggendong tubuhku menuju kamarku, dan aku hanya pasrah,
tanganku terjuntai ke bawah, tak ada kekuatan untuk sekadar
melingkarkan tanganku ke leher Wawan, sungguhpun ini membuatku
sedikit tersiksa karena kepalaku juga terjuntai dan mendatangkan
sedikit rasa sakit di leherku. Tapi aku diam saja, dan kini aku sudah
sampai di kamarku.
Wawan terus membawaku ke kamar mandi, kemudian ia
mendudukkanku di pangkuannya. Suwito yang mengikuti kami
menyalakan shower di kamar mandiku, kemudian setelah ia merasakan
air shower sudah pas hangatnya, Suwito mulai memandikanku. Ia
menyiram tubuhku perlahan, hingga aku mulai merasa nyaman. Dengan
lembut Suwito berkata, "Non Eliza, tahan nafas ya, mukanya non mau
saya bersihkan". Aku berkata lemah, "Pakai sabun itu ya..", kataku
sambil menunjuk sabun cuci mukaku di wastafel.
Suwito membilas mukaku dengan sabun itu sampai bersih dari sperma
yang lengket lengket di sekujur wajahku dan telingaku. "Non Eliza,
saya keramasin sekalian ya", kata Suwito. Aku mengangguk perlahan,
dan Suwito segera membasahi rambutku, kemudian mengeramasi
rambutku dengan kelembutan yang tak pernah aku bayangkan bisa
dilakukan oleh orang seperti dia. Aku merasa seakan tubuhku kembali
segar, tapi aku tak beranjak dari pangkuan Wawan. Aku merasa senang
dimanja seperti ini.
Setelah Suwito selesai mengeramasiku dan membersihkan seluruh
bagian kepala dan leherku dari bekas lumuran sperma itu, ia segera
mengeringkan rambutku dengan handukku. Ia menyeka rambutku
dengan lembut sambil berkata, "Non, ini gimana saya nggak ngerti,
takutnya ngerusak rambut non Eliza yang indah ini". Aku tersenyum
kecil, kemudian meraih handuk itu dan mengeringkan rambutku
sendiri.
Wawan dan Suwito menungguku dengan sabar. Setelah aku selesai,
Suwito menggantungkan handukku di gantungan pintu, kemudian ia
melanjutkan memandikanku. Kali ini Wawan mengangkatku berdiri, dan
merentangkan kedua tanganku. Aku diam saja dengan senang,
membiarkan mereka memanjakanku. Suwito membilas kedua
payudaraku dengan sabun mandiku, ia melakukan dengan lembut. Tak
ada rangsangan yang dilakukannya, dan aku merasa sangat nyaman.
Lalu Suwito melanjutkan ke punggung, kedua tanganku, perut,
pinggang, kedua pantat, paha dan betisku. Kini aku sudah merasa
tubuhku sudah bersih semuanya kecuali bagian vaginaku. Tiba tiba
Suwito berjongkok dan mencucup bibir vaginaku, dan menyedot sekuat
kuatnya. "Ngghhh.. aduuuh…", aku melenguh, kali ini aku merasa
keenakan dan sedikit menggeliat.
Beberapa kali Suwito menyedot vaginaku kuat kuat, seolah ingin
mengeluarkan semua sisa sperma dan cairan cintaku yang masih ada
di dalam liang vaginaku. Nafasku sedikit tersengal sengal ketika
Suwito selesai menyedot vaginaku. Kemudian ia mengorek liang
vaginaku dan menyemprot dengan air hangat, hingga aku mendesah
keenakan. Ketika Suwito hendak menyabuni liang vaginaku, aku
langsung menghentikannya. "Pakai sabun di botol kuning itu saja,
Suwito", kataku.
"Baik non", kata Suwito, dan ia mengambil botol itu, mengeluarkan
isinya di telapak tangannya, lalu membasuh liang vaginaku dengan
cairan itu. Memang aku merasa sakit, mungkin karena vaginaku terlalu
banyak menelan penis waktu aku digangbang tadi, tapi aku juga
merasa sangat nyaman dan keenakan, entah apa aku masih bisa
orgasme. Untungnya Suwito cepat juga membersihkan liang vaginaku,
dan kini aku sudah merasa sangat nyaman.
Wawan melepaskan kedua pergelangan tanganku yang terentang sejak
tadi, dan Suwito mematikan air shower, lalu menghanduki tubuhku
sampai cukup kering. Lalu mereka membimbingku ke ranjang, dan
membaringkanku dengan perlahan, menggeraikan rambutku ke
belakang bantalku. Aku sungguh merasa nyaman dengan perlakuan
mereka ini, ingin aku membayar mereka dengan memperbolehkan
mereka menggumuliku sepuas puasnya, tapi aku tahu aku sudah
terlalu capai untuk melakukan hal itu.
Lalu mereka menyelimuti tubuhku, menyalakan AC kamarku dan
mematikan lampu. "Selamat tidur non Eliza", kata Suwito, diikuti
Wawan yang juga mengucapkan kata kata yang sama. "Terima kasih..
kalian baik sekali..", kataku dengan terharu. Mereka keluar dari
kamarku. Aku menutup mataku, berusaha memejamkan mataku. Ketika
aku sudah hampir tertidur, Wawan dan Suwito masuk lagi ke kamarku,
membuatku bertanya tanya. "Kalian kenapa?", tanyaku mulai was was.
"Oh, non, kami sudah mandi, dan ingin menemani non tidur. Tapi kami
nggak akan macam macam kok, kami cuma mau mijitin non. Non
kelihatannya capai sekali", kata Wawan. Suwito sendiri sudah
membuka laci bajuku, mengambil bra dan celana dalam. Aku
tersenyum dan mengangguk senang, kemudian membiarkan mereka
memakaikan bra dan celana dalam untukku. Wawan membuka lemari
bajuku, dan bertanya, "Non Eliza mau pakai baju tidur yang ini?". Ia
menunjukkan baju tidur satin kesukaanku, dan lagi lagi aku
mengangguk senang sambil tersenyum.
Kini aku sudah memakai baju tidurku, tentu saja mereka yang
memakaikan. Mereka sendiri sudah mandi dan masih berbau sabun
mandi, maka aku membiarkan mereka naik ke ranjangku. Kini aku
sudah terbaring lagi di ranjangku, dan Suwito kembali menggeraikan
rambutku ke belakang bantal, hingga aku berbaring dengan nyaman.
Wawan duduk di sebelah kananku, dan Suwito duduk di sebelah kiriku.
Mereka mulai memijat lembut kedua tanganku, rasanya enak sekali.
Aku makin mengantuk, dan akhirnya ketika mereka sudah memijat
betisku, aku tertidur pulas.
—ooOoo—
Pagi hari aku terbangun dengan Suwito dan Wawan yang masih
tertidur di sampingku. Aku berusaha mengingat mengapa mereka
seberani ini tidur di ranjangku. Ketika aku sudah sadar dan ingat
semuanya, aku tersenyum kecil. "Hai.. bangun kalian", kataku pelan.
Wawan dan Suwito terbangun, dan mereka segera turun dari ranjangku.
"Pagi non", kata Wawan dan Suwito. "Pagi juga", kataku membalas
sapaan mereka. Ketika mereka hendak keluar kamar, aku berkata,
"Wawan.. Suwito.. terima kasih".
Aku tersenyum kepada mereka dengan tulus, dan mereka juga
tersenyum padaku lalu keluar dari kamarku. Aku memutuskan hari ini
aku tidak ikut latihan balet dan beristirahat seharian di rumah. Setelah
makan pagi, aku kembali tertidur sampai siang, dan aku dibangunkan
Sulikah untuk makan siang. Aku turun ke bawah, dan sambil
menikmati makan siangku di ruang keluarga, aku melihat siaran berita
di TV, dan membuatku tertegun.
"… kebut kebutan itu menewaskan 3 anak STM yang sepeda motornya
saling bersenggolan. Dari kartu pelajar mereka, identitas mereka adalah
Maman, Joko dan Dimas. Sementara itu belasan anak SMP yang
menonton terluka dan harus dibawa ke rumah sakit karena terhantam
sepeda motor. Banyak yang menderita patah tulang…"
Aku melihat di TV, dan aku mengenali ketiga sepeda motor yang
hancur itu. Itu memang milik Maman, Joko dan Dimas, para bajingan
yang memperkosaku kemarin. Selain itu aku melihat wajah Kahar di TV,
sedang dimintai keterangan di kantor polisi. Perasaanku campur aduk,
antara ngeri, juga benci melihat mereka. Kini melihat kejadian ini, aku
berkata dalam hati, "Kalian layak menerima ini semua, ini pasti balasan
untuk kalian karena sudah memperkosaku dengan kejam".
"Kok nggak dimakan non", tanya Suwito membuyarkan lamunanku. Ia
duduk di sebelah kiriku, dan Wawan menyusul duduk di sebelah
kananku. Aku meletakkan makananku di meja, dan duduk diam sambil
tersenyum senang. "Non Eliza lagi senang ya? Kok senyum senyum
sendiri?", tanya Suwito. Aku mengangguk kecil. "Kalo gitu boleh dong
kami..", Wawan berkata sambil meremas payudaraku yang sebelah
kanan dengan pelan, dan Suwito juga ikut ikutan meremas payudaraku
yang sebelah kiri dengan lembut.
Aku lagi lagi mengangguk, dan tak lama kemudian mereka sudah
melucuti pakaianku. Di ruang keluargaku ini, aku menyerahkan tubuhku
pada mereka berdua dengan sepenuh hati, toh tak ada siapa siapa di
rumahku selain kami berempat sampai nanti papa mama dan kokoku
yang diantarkan pak Arifin pulang dari vila. Selain itu aku merasa bisa
membalas rasa terima kasihku kemarin pada mereka berdua dengan
cara seperti ini…

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.