Rabu, 04 Maret 2015

alfi,lidya dan sabrina memoar sang mawar liar

Memoar Sang Mawar Liar
Ringkasan episode sebelumnya :
Sebuah peristiwa di kota H dulu telah menyeret Dr. Lila yang
cantik dan Alfi ke dalam hubungan yang sangat intim. Meski
akhirnya Lila menemukan lelaki yang menjadi cinta sejatinya
namun ia masih terus menjalin percintaan dengan Alfi di
dalam pernikahan bahagianya bersama Robert. Namun
hubungan keduanya sejak dulu sangat tidak disenangi oleh
satu-satunya adik perempuan Lila, Lidya.
#######################
Hari minggu yang cerah,
Lila membetulkan letak maskernya. Ia tak ingin debu yang
bertebaran di setiap sudut ruangan terhirup masuk
kehidungnya. Semuanya masih tertata seperti dulu. Lembaran
kain lebar berwarna putih menutupi setiap perabotan yang
ada di setiap ruangan. Hanya ada 2 buah kamar dengan
masing-masing kamar mandi. Satu buah ruang tamu, satu
buah ruang keluarga. Plus dapur merangkap ruang makan dan
sebuah ruang kecil buat gudang. Rumah ini memang mungil
namun nyaman. Rumah yang dibeli Lila dengan uang hasil
keringatnya sendiri selama ia praktek sebagai dokter. Sudah
beberapa bulan sejak ia menikah ia tak lagi tinggal di rumah
ini karena Robert telah memboyongnya tinggal di aparteman
mewah miliknya. Saat ini kehamilannya sudah memasuki
bulan kelahiran. Namun itu sama sekali tak mempengaruhi
penampilannya. Paras Lila tetap saja memancarkan
kecantikan yang sulit dicari pembandingnya. Perutnya yang
membuncit dipadu dengan gaun babydoll membuatnya terlihat
sexy menggemaskan namun tetap anggun dipandang.
"Jangan lupa maskermu, Lid" ujarnya mengingatkan Lidya
adiknya.
"Ya kak"ujar Lidya berjalan mengiringi kakaknya memeriksa
setiap ruangan. Lidya sendiri tak jauh berbeda dengan sang
kakak. Dianugrahi wajah menawan. Tubuh tinggi semampai
dan porposional. Kulitnya putih bersih bak pualam merupakan
dambaan kaum wanita. Hanya sifatnya saja yang berbeda
dengan Lila. Sebagai anak sulung yang sejak remaja harus
ikut memikul tanggung jawab bagi keluarga, Lila tumbuh
menjadi sosok yang tegar, tegas dalam mengambil keputusan,
sangat disiplin namun sangat pengalah terhadap sang adik
satu-satunya itu. Sedangkan Lidya si bungsu adalah gadis
yang manja, gampang merajuk, jelas tak mau mengalah
namun sangat mengidolakan sang kakak tersayangnya itu.
"Engkau benar-benar yakin ingin tinggal di sini? Apa tak
sebaiknya engkau tinggal bersama kami di apartement
saja?"Tanya Lila.
"Kak.. kan sudah berulang kali Lidya katakan bahwa Lidya
ingin belajar mandiri seperti halnya kakak. Selain itu Lidya
tidak ingin merepotkan kakak dan kak Robert."
"Hmmm...Aku hanya tak ingin engkau tinggal seorang diri di
sini mengingat dirimu seorang wanita"
"Kakak tidak usah kuatir. Lidya bisa menjaga diri kok. Lagian
bukankah dulu kakak juga tinggal seorang diri di rumah
ini?"ujar Lidya berusaha meyakinkan kakaknya.
Semua ini berawal dari kepindahan Lidya ke kota S ini. Bank
tempat Lidya bekerja baru saja membuka sebuah kantor
cabangdi sini. Lidya terpilih menjadi salah satu karyawan
yang dipercaya untuk ikut mengembangkan cabang baru
tersebut.Rencananya dalam beberapa hari lagi mereka akan
melakukan Grand Opening bagi khalayak umum. Dan
kebetulan sekali jarak rumah ini dengan kantor baru Lidya
juga tak jauh. Hanya sekitar 2 km saja. Dan itu masih berada
dalam satu jalur angkutan umum.
"Kakak ingat teman kuliahku dulu, si Sabrina?" tanya Lidya
Mata Lila melirik ke atas sejenak saat mencoba memutar
ingatannya. Seraut wajah yang lebih mirip bule ketimbang
indo itu terbayang kembali di benaknya.
"Engg...Sabrina yang indo itu-kan?"tanyanya memastikan.
"Iya dia!. Sabrina juga bekerja di bank yang sama denganku.
Namun tak kusangka kami bisa bertemu lagi di kota ini
bahkan secara kebetulan kami di tempatkan di divisi yang
sama"ujar Lidya tak dapat menyembunyikan rasa girangnya.
"Apakah dia sudah menikah?"
"Ha ha ha kakak ini! Si Sabrina menikah? Jangankan
memikirkan menikah. Pacaranpun selalu berganti setiap
bulannya. Dia itu masih tetap Sabrina yang kakak kenal dulu.
sexy, liar, dan tak jelas apa yang ia cari" ujar Lidya sambil
mengenang saat-saat kebersamaannyadulu dengan sahabat
karibnya itu.
"Kalau begitu ajak saja dia tinggal di sini buat menemanimu"
"Jadi kakak tidak keberatan aku mengajak si Sabrina tinggal
di sini?"
"Tentu saja boleh. Asalkan dia berjanji tak membawa teman
prianya kemari."
"Hi hi dia tak bakal melakukan itu demi memandang
persahabatan kami. Kebetulan dia tiba hari ini jadi aku bisa
langsung mengajaknya kemari"
"Hmm Syukurlah. Setidaknya aku tak lagi kuatir karena ada
seseorang yang menemanimu di rumah ini"
"Wuiiihhh! Senangnya... akhirnya kami bisa bersama lagi
seperti dulu"ujar Lidya sambil melonjak-lonjak kegirangan bak
anak kecil baru mendapat hadiah yang ia idam-idamkan..
"Senang sekali engkau rupanya" ujar Lila sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya yang masih
kekanak-kanakan itu..
"Wajarlah kak. Kami kan cukup lama berpisah. Dia itukan
satu-satunya sahabat karibku. Pastinya kakak dan kak Niken
juga demikian, kan?"
"Aku cuma heran apa sih yang membuat kalian sebegitu
cocok padahal sifat kalian satu sama lain sangatlah berbeda.
Sabrina begitu liar dan meledak-ledak sedangkan engkau
justru kebalikannya" ujar Lila.
Wajar saja bila ia merasa heran sebab memang begitu banyak
perbedaan di antara Lidya dan Sabrina. Bahkan dalam urusan
memilih teman pria sekali-pun. Bila Lidya hanya pernah
berpacaran dengan Rendy seorang. Sabrina justru berulang
kali kali bergonta-ganti pacar. Mungkin jumlah lelaki yang
pernah menjadi kekasihnya mencapai lusinan. Ibarat bunga
Lidya bagaikan sekuntum mawar putih yang tumbuh di dalam
sebuah taman yang tertata dan terawat. Sedangkan Sabrina
ibarat sekuntum mawar merah yang tumbuh liar di hutan.
Namun keduanya sama-sama menggiurkan dan membuat
hasrat para kumbang menggelora untuk mencicipi sari
madunya.
"Betul kami berbeda dalam banyak hal, meski demikian kami
tak pernah memaksakan keinginan kami satu sama lain.
Contohnya bila dia ingin dugem atau sejenisnya ia tak pernah
mempengaruhiku buat melakukan hal yang sama seperti yang
ia lakukan. Demikian juga sebaliknya aku tak pernah mencela
apapun yang ia lakukan. Mungkin karena hal itu yang justru
membuat persahabatan kami langgeng. Selain itu masih
banyak hal yang membuat kami cocok satu sama lain"
"Oya, Lid..Sekalian saja undang dia buat makan malam
bersama kita"
"Sebenarnya akupun sudah memikirkan hal itu hanya saja
aku tak ingin ada orang lain selain kita."ujar Lidya sedikit
memberikan tekanan pada kata 'kita'.
"Lho, memangnya siapa orang yang engkau maksud selain
'kita' itu?" kening Lila langsung mengerenyit menangkap
sedikit ganjalan dari ucapan Lidya barusan.
"Ya ga ada. Aku ingin cuma Kak Lila, kak Robert, aku dan
Sabrina saja yang makan malam nantinya"
"Hmmm...Aku mengerti sebenarnya maksudmu, Lid"
"Mengerti apa? Maksudku ya itu... "
"Pasti yang engkau maksud adalah Alfi kan?" tanya Lila
Lidya tak menjawab. Wajahnya cemberut hanya memainkan
kancing blousenya. Ia tak menduga Lila bisa menebak dengan
cepat apa yang ada di dalam pikirkannya.
"Hhhhhh! Tak kusangka ternyata dirimu masih saja
membencinya"ujar Lila menghela napas.
"Aku tidak suka padanya sebab dia telah memperkosa kakak
dan menyebabkan kakak hamil, Itu saja!"
"Hhhh...Bukankah semuanya juga sudah tahu jika Eric dan
begundalnya yang berniat memperkosaku karena cintanya
kutolak. Dan kehamilanku diakibatkan oleh Robert. Bukannya
anak itu"
"Kakak mungkin bisa mengelabuhi ibu soal hubungan kakak
dengan anak itu. Tapi tidak padaku." ujar Lidya.
"Memangnya bagaimana menurutmu sebenarnya hubungan
kami?" pancing Lila. Ia ingin tahu sejauh mana Lidya
mengetahui hubungannya dengan Alfi.
"Lidya tahu semuanya, kak. Lidya tanpa sengaja mendengar
pembicaraan kakak dengan kak Niken. Kak Eric memang telah
gagal menjahati kakak tetapi justru anak itu yang mendapat
kesempatan melakukannya. Dari situ pula aku tahu jika
kehamilan kakak di sebabkan oleh anak itu".
"Engkau seperti yakin sekali dengan semua ucapanmu, Lid"
"Tentu saja sebab aku punya bukti. Aku pernah melihat
sendiri saat kakak dan anak itu bercumbu di rumah kita di
kota H."
Lila akui ia memang sering bertindak ceroboh bila sudah
berdekatan dengan Alfi. Untung saja bukan ibu mereka yang
melihat hal itu. Dulupun ia melakukan kecerobohan yang
serupa sehingga Robert akhirnya mengetahui hubungan antara
dirinya dan Alfiuntuk pertama kali.
"Baiklah jika engkau sudah mengetahuinya. Namun kejadian
sebenarnya tidak sepenuhnya seperti yang engkau pikirkan. Itu
adalah murni sebuah kecelakaan dan aku sudah
memaafkannya"
"Lantas jika hanya kecelakaan mengapa sampai sekarang
kakak masih juga menjalin hubungan dengannya."
"Aku terlanjur memiliki sebuah ikatan yang kuat dengan
dirinya"
"Tetapi sekarang kakak sudah menikah dengan kak Robert
dan menurutku itu sebuah perselingkuhan, kak!"
"Aku beruntung bertemu dan menemukan suami macam
Robert"
"M maksud kakak?! Kak Robert tahu soal hubungan kakak
dengan anak itu?"Tanya Lidya kaget. Dalam benaknya
menduga-duga.
Lila hanya mengangkatbahunya sambil tersenyum.
"Kakk?" kejar Lidya penasaran. Ia tak mengerti akan isyarat
tubuh Lila itu. Semuanya masih sangat membingungkan. Ia
sangat ingin jawaban langsung dari mulut Lila akan
pertanyaannya tadi. Tetapi Lila tetap tak menjawab. Ia justru
berjalan ke arah kamar bekas miliknya. Lidya mengiring dari
belakang. Hhh... Lila mendesah. Kamar ini juga pernah
menjadi saksi bisu bagi percintaan panasnya dengan Alfi
sebelum ia menikah dengan Robert.
"Kak,apakah kakak sudah menyiapkan nama bagi
keponakanku?" tanya Lidya. Sepertinya ia sudah menyerah
buat mencari tahu lebih dalam info tentang hubungan
kakaknya dan Alfi.
"Lho, engkau masih mau mengakui dia sebagai
keponakanmu?" Goda Lila.
"Ahh kakaaaak! Dia itukan tetap keponakanku. Putri dari
kakak yang kusayangi, cucunya ibu. Tak ada yang bisa
merubah itu" Ujar Lidya sambil memeluk kakaknya.
"Syukurlah bila demikian.Soal nama buatnya kami masih
memikirkannya" jawab Lila.
Sebenarnya ia sudah memiliki nama buat bayinya. Sebuah
nama yang mengikat nama kedua ibu dan ayah kandung dari
anak itu. Fily. Namun Lila tak ingin Lidya berspekulasi
mengenai asal usul nama itu dan hanya akan mengundang
perdebatan baru yang tidak perlu diantara mereka. Memang
saat ini sudah memasuki bulannya bagi Lila bersalin. Dalam
minggu ini juga ibu mereka akan datang untuk menanti
kelahiran cucu pertamanya itu
#######################
Lusanya di suatu pagi, di tempat yang sama.
"Hei! Mau apa kamu kemari?!" tanya Lidya ketus. Ia merasa
begitu terganggu dengan kedatangan Alfi ke situ.
"Eng..tadi Alfi diminta mampir kemari sama kak Lila buat
menyerahkan beberapa anak kunci dan stroke rekening listrik.
Sekalian siapa tahu ada yang bisa Alfi bantu-bantu di sini"
jawab Alfi santun. Ia tahu jika Lidya tak suka kepada dirinya.
Namun ia tetap rela melakukan tugas ini demi Lila.
"Kemarikan!" ujar Lidya merebut kunci-kunci tersebut dari
tangan Alfi.
Matanya melirik ke arah kardus-kardus besar di sudut garasi.
Sejenak ia berpikir. Biar saja anak itu yang mengerjakan, pikir
Lidya. Dengan begitu paling tidak ia dan Sabrina tak perlu
capek lalu...
"Tuh! Angkat dan susun rapi kotak-kotak itu!. Habis itu geser
lemari besar itu. Aku tak ingin benda itu ada di pojok sana.
Jika sudah selesai bilang padaku. masih banyak yang harus
dibereskan di rumah ini" ujarnya..
"Baik kak" jawab Alfi patuh.Alfi berusaha keras menjaga
sikapnya. Namun saat itu ada hal lain yang lebih mengganggu
buatnya ketimbang sikap ketus Lidya kepadanya yaitu kondisi
Lidya yang saat itu hanya memakai kaus putih ketat dan
celana pendek. Jantung Alfi berdetak lebih cepat tatkala
matanya menatap sekilas ke arah bukit kembar di dada Lidya.
Grrrrrrttt!! Benda itu...begitu bagus. Bulat dan tinggi. Meski
samar-samar ujung runcing puting susunya terlihat menekan
kaus putihnya. Tak hanya itu kedua batang paha Lidya yang
berkulit putih bersih itu nampak begitu bercahaya. Adik dokter
Lila ini memang sangat cantik seperti halnya sang kakak.
Cuma sayangnya tak ada keramahan sedikitpun dari gadis itu
buat dirinya.
"Ada tamu, Lid?" tanya seorang yang muncul dari arah dalam
rumah.
Duh!! Apalagi ini!? Alfi membatin.Ternyata yang baru muncul
itu adalah seorang gadis bertubuh tinggi semampai. Parasnya
itu....Aduhaiii cantiknya!. Padahal yang ia lihat saat itu adalah
wajah tanpa polesan make-up. Jika Lidya menonjolkan
kecantikan oriental yang menggemaskan maka gadis yang
satu ini adalah perpaduan barat dan timur yang sempurna.
Alfi tak tahu warna pirang pada rambutnya serta bola mata
biru itu adalah asli atau bukan. Yang pasti semua itu terlihat
begitu serasi. Yang semakin membuat perasaan Alfi tak
karuan adalah karena gadis itu juga mengenakan pakaian
yang mengusik hasratnya sebagaimana halnya Lidya. Lekuk
tubuhnyapun bukan main.....! Pinggulnya yang padat terlihat
begitu indah ketika dipadu pinggang yang meramping
menjadikannya laksana sebuah jam pasir hidup.
Dan.....Ohhhhh! Alfi mendesis saat menatap ke arah dada
gadis itu. Ukurannya mampu membuat lelaki manapun
kehilangan akal sehatnya. Bayangkan tank top itu seakan tak
mampu menampungnya.
"O..Bukan. Dia ini cuma suruhan-suruhannya kak Lila buat
ngebantu kita, Rin!."jawab Lidya seenaknya kepada gadis
yang tak lain adalah Sabrina itu.
"Baguslah kalau begitu. Tadinya aku juga sempat berpikir
untuk mencari bantuan seseorang"ujar Sabrina.
"Hei!! Kamu ngapain masih bengong di situ!. Cepetan mulai.
Entar keburu sore!" hardik Lidya pada Alfi yang memang
masih bengong terkesima memandangSabrina.
"I.iya kak" jawab Alfi agak gelagapan.
Cepat-cepatia mengalihkan pandangannya dan berusaha
menguasai dirinya. Untungnya kedua gadis itu tak menyadari
kebodohannya barusan. Ia tak ingin membuat Lidya semakin
meradang terhadap dirinya.
Dalam hati Alfi mengeluh. Mengapa ia selalu saja di
tempatkan pada situasi seperti ini? Mengapa di sekitarnya
selalu berseliweran bidadari-bidadari molek seperti ini? Sejak
kejadian tak mengenakan akibat munculnya Paijo dalam
kehidupan asmaranya dengan beberapa kekasihnya tempo hari
telah membuat ia kapok menelantarkan salah satu dari
mereka dan membuatnya bertekat tak ingin lagi terlibat dalam
hubungan asmara dengan wanita lain selain dengan kelima
wanita yang telah mengisi hatinya selama ini.Untuk itu
sebisanya ia menghindari hal-hal yang dapat memancing
hasrat seksualnya terhadap wanita lain. Setelah berulang kali
menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, barulah
gelora di hatinya agak mereda. Segera diraihnya sebuah kotak
berisikan buku-buku milik Lila. Uhh...ternyata berat juga! Pikir
Alfi. Namun memang ini yang ia butuhkan saat ini buat
mengalihkan pikiran-pikiran ngeres yang terus bermunculan
dibenaknya. Dengan tertatih-tatih dibawanya benda itu ke
arah gudang.
"Kok kamu galak sekali, Lid?. Sedang 'dateng', Ya?"Tanya
Sabrina dengan suara agak berbisik setelah Alfi tak lagi
berada di dekat situ..
"Ngga. Emangnya aku cuma bisa galak kalo sedang dapet
mens?"
"Bukan begitu maksudku. Tapi tak seharusnya engkau
memperlakukan anak itu dengan kasar, Lid. Apalagi dia sendiri
yang menawarkan diri buat ngebantu kita "
"Biar dia tahu rasa! Aku memang tidak suka padanya"ujar
Lidya meradang. Untung saja saat itu Alfi tengah berada di
ruang yang lain yang berjauhan dari mereka sehingga saat itu
ia tak mungkin bisa mendengar pembicaraan mereka.
"Lho..lho..Apa masalahnya? Rupanya telah terjadi sesuatu di
antara kalian, ya?"pancing Sabrina sambil terus menyusun
buku-buku ke sebuah rak.
"Dia itu bajingan yang telah memperkosa kak Lila sekaligus
merengut kegadisannya!"
"A..paa!? Yang benar saja Lid!? Anak itu!? Memperkosa
kakakmu!?" Sabrina terlonjak kaget mendengar jawaban Lidya
tersebut. Ia benar-benar tak menyangka jika masalahnya
akan segawat itu.
Ups! Lidya sendiri seakan baru tersadar jika ia sudah
keceplosan barusan. Tak seharusnya ia membuka aib itu ke
orang lain meski ia yakin Sabrina tak akan mengumbar hal ini
kemana-mana. Ia menjadi sangat menyesal karena tak dapat
mengontrol emosinya.
"Hmm yaa sudah.. sudah...sebaiknya kita tutup saja omongan
ini ya, Lid" ujar Sabrina ketika Lidya terdiam. Ia cukup tahu
diri dan mengerti mana urusan yang patut ia ketahui dan yang
bukan.
"Ga pa pa Rin. Engkau toh sudah terlanjur tahu jadi kuanggap
tak ada salahnya engkaupun tahu secara utuh keseluruhan
masalah itu."ujar Lidya lalu ia mulai menceritakan semua
yang ia ketahui tentang hubungan antara Lila dan Alfi.
"Gilaaa Lid!. Tetapi apa benar kejadiannya seperti itu?!"ujar
Sabrina ketika Lidya usai menceritakan hal itu.
"Engkau tak percaya padaku?"
"Bukan begitu. Aku hanya merasa aneh saja. Soalnya dari
penuturanmu barusan aku justru sama sekali tidak melihat
hubungan di antara mereka seperti seseorang pemerkosa
dengan korbannya. Malahan justru mereka berdua nampak
sangat saling menyayangi satu sama lain"
"Begitulah kenyataannya. Kukira kak Lila tak lagi bisa
membedakan mana yang benar dan salah sehingga akhirnya
mau saja dijadikan budak seks anak itu!"
Tak masuk akal! Pikir Sabrina. Sungguh dalam hati ia tak
sependapat dengan pandangan Lidya itu. Mana mungkin
wanita terpelajar dan memiliki kedudukan baik di masyarakat
seperti Lila mau saja dijadikan pemuas nafsu anak seperti itu.
Apalagi terhadap lelaki yang pernah memperkosanya. Pasti
ada penyebab lain yang membuat Lila terperangkap dalam
hubungan seperti itu dengan si Alfi. Mungkinkah Lila menjadi
korban kejahatan seksual seperti di banyak cerita-cerita?
Hanya karena takut rahasianya bakal tersebar luas dia
akhirnya harus rela dijadikan pemuas napsu si Alfi. Tapi masa
iya anak seusia Alfi sudah punya pikiran selicik itu?
Sedangkan penuturan Lidya justru sangat bertolak belakang
dengan teori itu. Ataukah mungkinkah...Lila sebenarnya
adalah seorang wanita yang memiliki kelainan seksual
seperti.... pedofil? Akh! Sulit menemukan jawabannya saat ini.
Namun bagi gadis petualang seperti Sabrina ini adalah sebuah
kisah nyata yang sangat aneh dan sarat dengan keliaran di
dalamnya. Geli juga ia membayangkan bagaimana seorang
anak ABG seperti itu bersetubuh dengan seorang wanita
dewasa. Lantas.... apakah bercinta dengan pemuda seusia
Alfi bisa memberi Lila kepuasan ketimbang melakukannya
dengan suaminya sendiri? Yang benar saja! Tetapi di sisi lain
Sabrina-pun tak bisa menyalahkan Lidya. Lidya bisa bersikap
demikian karena ia memang belum pernah berhubungan intim
alias masih perawan ting-ting. Lidya hanya bisa melihat seks
yang terjadi antara Lila dan Alfi sebagai prilaku yang
menyimpang dan menjijikan.
"Apakah iparmu tahu akan hal itu?"
"Aku rasa kak Robert tidak tahu. Bahkan ia juga tak tahu jika
istrinya masih terus berhubungan gelap dengan Alfi. Kak
Robert adalah seorang suami yang sepadan buat kak Lila. Ia
tampan, pandai, baik hati, dan berasal dari keluarga
terpandang. Perkawinan mereka bagaikan perkawinan impian
bagi banyak orang. Oleh karena itu aku tak ingin perkawinan
kak Lila dan kak Robert jadi hancur berantakan gara-gara
adanya anak itu!"ujar Lidya berspekulasi mengenai situasi
dalam perkawinan Lila karena kakaknya itu sama sekali tak
pernah memberinya petunjuk yang jelas.
"Sttt!Sebaiknya kita tak usah ngebahas soal itu dulu. Tak
enak ada orangnya di sini. Ntar dia bisa mendengar
perkataanmu"ujar Sabrina mengecilkan volume suaranya saat
melihat Alfi melintasi garasi buat mengambil kardus..
"Biar saja dia dengar!"
"Sudaaah Ah! Ayo kita pindah saja ke dalam kamar. Biarkan
saja anak itu yang membereskan yang di luar"ajak Sabrina
sambil menarik tangan sahabatnya itu.
Untungnya Lidya menurut. Mereka berdua-pun pindah ke
dalam kamar.
"Rin, kamu tidur satu kamar denganku saja, ya. Soalnya
sekarang ini sedang musim hujan.Engkau kan tahu kalau
aku..."pinta Lidya dengan wajah memelas.
"Iya iya!" sahut Sabrina.
Ia memang tahu sahabatnya itu memiliki phobia akan suara
petir dan itu juga menjadikannya takut buat tidur sendirian
meski sedang tak hujan sekalipun. Bahkan hingga
sekarangpun Lidya masih saja tidur ditemani sang bunda saat
di rumah mereka di kota H.
"Eh,ngomong-ngomong mana si Rendy? Seharusnya dia bisa
membantu kita di sini" tanya Sabrina memulai topic
pembicaraan baru. Sebenarnya ia masih penasaran akan
cerita Lidya mengenai Lila dan Alfi namun ia tak ingin Lidya
kembali sewot bila membahas persoalan tersebut.
"Dia tidak ikut ke kota S. Dia bilang sedang repot
mempersiapkan presentasi seminarnya. Katanya lagi aku
harus bisa mengatasi hal-hal kecil seperti ini sendirian agar
bila kami menikah kelak kami sudah terbiasa hidup mandiri"
ujar Lidya sesekali menghela napas.
"Aduhh tega banget si Rendy! Punya pacar cantik tapi kok
malah disuruh nguli" olok Sabrina.
Lidya langsung mencubit pinggang Sabrina. Seketika itu
Sabrina langsung terpekik kesakitan.
"Gilaa Lid!. Capitanmu ternyata semakin berbisa saja!" gerutu
Sabrina sambil mengelus pinggangnya yang tersengat Lidya
tadi. Ia benar-benar lupa akan kebiasaan Lidya yang satu itu
sehingga tak sempat mengelak dari serangan mendadak itu.
"Hi hi hi rasain!"
Lama berpisah semakin membuat mereka tak sabar buat
saling bercerita. Sesekali terdengar pula derai tawa mereka
berdua.
"Beneran nih? Pilihanmu memang sudah jatuh kepada dia.
Nggak bakalan nyesel?" tanya Sabrina
"Kriteria apa lagi sih yang harus kucari?. Sebagian besar
sudah ada pada Rendy. Tampang yah lumayan paling tidak
ngga malu-maluin. Pekerjaan tetap..ada. Dan kupikir aku juga
mencintainya" jawab Lidya.
"Lho kok pake kupikir?! Apakah engkau sendiri masih ragu?"
Lidya hanya mengangkat bahu menandakan ia tak tahu harus
menjawab iya atau tidak.
"Sejak dulu sebenarnya aku heran melihat hubungan kalian
bisa bertahan sampai begitu lama. Yang engkau sebutkan
tadi cuma hal-hal yang positif saja yang ada pada Rendy.
Dan setahuku itu jauh lebih sedikit ketimbang sisi negatifnya.
Coba ingat-ingat betapa sering aku mendengar kalian ribut
besar hanya karena si 'mr egois' doyan meributkan hal-hal
kecil. Aku juga ingat betapa murkanya dia hanya karena
kertas paper-nya tertetes air mineralmu. Satu minggu engkau
tak ia tegur gara-gara hal itu. Dan berapa kali ia berlakutak
perduli akan kesulitanmu. Bayangkan saja dia lebih
mendahulukan mengutak laptop'antik'-nya ketimbang
menjemputmu sehingga engkau harus pulang kuliah
kehujanan. Mungkin ada ratusan kasus lain yang pernah
terjadi di depanku saja"
"Aku juga tak tahu. Yang jelas saat ini aku hanya mencoba
menjalaninya semampuku dengan segala perbedaan yang ada
di antara kami" jawab Lidya
"Wah..wah..Bener-bener beruntung tuh Rendy!. Dapet calon
istri cantik, bohai, penurut, mandiri dan yang pasti masih
perawan ting-ting! Susah banget lho, mencari type istri ideal
seperti itu yang masih tersisa di zaman edan gini." cibir
Sabrina sambil berlari menjauh karena ia tahu Lidya akan
mengulangi cubitannya. Bahkan mungkin lebih keras lagi. Dan
benar saja. Tapi meski kali ini ia dapat lolos dari cubitan
Lidya namun sebuah bantal yang di lemparkan Lidya tak bisa
ia elakan.Tak lama kemudian kembali terdengar derai tawa
keduanya. Begitulah keakraban yang terjalin diantara
mereka.Mereka terus bekerja menata rumah itu diselingi
curhat dan canda.
"Terkadang aku juga sebal melihat kelakuannya itu. Kalau di
hitung-hitung kami sudah pacaran sejak kuliah di semester
lima. Hmm Yaa. Berarti ini sudah....empat tahun-an namun
tabiat buruknya tak juga berubah-ubah!"sungut Lidya
"Jika saja aku adalah juri dari museum rekor pasti kalian
sudah kunobatkan sebagai pasangan tak serasi tanpa seks
tetapi terawet abad ini!." Ujar Sabrina terus ngerocos.
"Dasar!Bisanya cuma mengkritik orang saja, Ihh!. Bagaimana
denganmu sendiri?."
"Lho, aku-kan wanita single non."
"Maksudku apa hanya karena permasalahan-permasalahan
kecil seperti itu maka hubunganmu dengan Hardy akhirnya
gagal?" tanya Lidya menyebutkan nama kekasih Sabrina yang
tampan dan tajir di kala mereka masih kuliah dulu.Lidya
memang hanya mendengar kabar putusnya mereka dari orang
lain dikarenakan saat itu ia dan Sabrina sudah bekerja di kota
yang terpisah.
"Hhhh...Hardy? Kami memang tidak cocok satu sama
lain"jawab Sabrina enteng.
"Cuma itu alasannya? Paling tidak kalian pernah saling
mencintai kan?. Apakah itu tidak cukup kuat buat
mempertahankan hubungan kalian?"
"Cinta? Ha ha ha.....semua itu cuma Bullshiitt!"
"Rin, aku sungguh tak mengerti?"
"Dia itu cuma salah satu contoh lelaki produk gagal zaman
sekarang!. Anak orang kaya yang berharap bisa menggaet lalu
meniduri sebanyak mungkin perempuan dengan uang dan
fasilitas dari bapaknya. Sejak awal dia tak pernah ada niat
menjalin sebuah hubungan yang di dasari oleh cinta dan
memiliki tujuan yang sakral yang berakhir pada sebuah
pernikahan. Hardy cuma menganggap aku sebagai kekasih
yang kapanpun bisa ia depak bila ia sudah merasa bosan dan
menemukan ganti gadis yang lebih fresh! Sedangkan aku
sendiri sendiri sejak awal memang tak pernah mencintainya
dan begitu aku tahu niatnya seperti itu aku tak terlalu ambil
pusing kemana hubungan ini akan bermuara. Yang penting
selagi hubungan itu masih memberikan timbal balik yang
sepadan buatku maka tetap kujalani saja. Kebetulan aku
sangat membutuhkan biaya buat menyelesaikan
kuliahku.Mendingan aku terus berpacaran dengan Hardy
ketimbang aku dijadikan 'simpanan' oleh pria-pria tua
berduit. Paling tidak aku tak sampai di cap orang sebagai
ayam kampus!"
Lidya terenyuh iba. Ia tahu semenjak kedua orang tua Sabrina
meninggal dunia akibat sebuah kecelakaan, membuat Sabrina
harus berjuang sendiri buat bertahan hidup dan menggapai
cita-citanya. Sembari kuliah Sabrina juga bekerja sambilan
sebagai seorang foto model buat sebuah majalah fasion
remaja. Dia dan Sabrina memang adalah bunganya fakultas
ekonomi saat itu. Banyak lelaki yang antri buat menjadi
kekasih mereka berdua. Ketika ia menjatuhkan pilihan hatinya
kepada seorang kutu buku, sederhana semacam Rendy,
Sabrina justru memilih Hardy yang tajir namun playboy.
"Tapi kalian berlaku seolah merupakan pasangan yang
serasi. Selalu menunjukan kemesraan di depan publik. Tak
tergoyahkan oleh gosip jenis apa-pun. Bahkan di depanku
sekalipun"
"Semuanya palsu Lid. Apakah orang-orang menganggap aku
begitu naif?. Menganggap aku tak tahu perbuatan kekasihku
berselingkuh dengan banyak gadis di kampus kita? Jangan
katakan jika engkau juga tak tahu semua kelakuan Hardy, Lid"
"Maafkan aku, Rin. Aku hanya tak ingin hubunganmu dengan
Hardy menjadi rusak karena aduan dariku". Ujar Lidya.
"Tapi begitulah cepat atau lambat hubungan seperti itu akan
kandas juga kan?"
"Padahal kupikir engkau benar-benar tak tahu jika mantanmu
itu gemar menyebar pesona ke sana kemari"
"Yah! Dan hebatnya cuma kamu yang tak terjerat oleh rayuan
buayanya, Lid. dan itu yang membuatku memilihmu menjadi
sahabatku sejatiku. Engkau tak seperti kebanyak teman kita
yang lain. mereka justru senang jika melihat aku cek-cok
dengan Hardy dan berharap hubungan kami putus. Untuk
kemudian mencari cara mendekatinya. Huh!"
Lidya tersipu. Memang bukan hanya satu dua kali, Hardy
mencoba mendekatinya. Namun Lidya memang tak pernah
memberinya peluang. Ia selalu menolak berduaan dengan
pemuda itu tanpa ada Sabrina juga di situ. Selain tak ingin
melukai perasaan sahabatnya itu pada dasarnya ia memang
tak suka type lelaki semacam Hardy.
"Bagaimana dengan si Roy? Salah satu pacarmu setelah
Hardy itu. Di surel-mu engkau katakan jika ia adalah pemuda
baik-baik yang berniat menjalin hubungan yang serius
denganmu. Benarkah dia meminta putus kerena orang tuanya
tak menyetujui hubungan kalian?"
"Dasar pria munafik! aku lebih menghargai Hardy ketimbang
pria seperti itu. Alasan utama kami berpisah adalah karena ia
tak bisa menerima jika calon istrinya sudah tidak perawan
lagi. Padahal ia sendiri mengetahui hal itu dengan cara
melakukan hubungan intim denganku. Saban hari ia terus-
terusan mendesakku untuk mengatakan siapa lelaki yang telah
mendahuluinya itu. Hal itu selalu menjadi tema pertengkaran
kami. Dan yang paling menjengkelkan lagi ia selalu
mengungkit hal itu bila kami berselisih pendapat oleh
persoalan lain. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan
seorang pria seperti itu. Ketimbang dia stress karena terus
memikirkan selaput dara-ku dan aku dipusingkan oleh prilaku
sok suci-nya itu, mendingan aku putuskan saja untuk
berpisah!"
"Jadi engkau yang memutusin si Roy, Rin?
"Ya. Dan itu kulakukan lewat sms saja!."
"Hanya lewat sms?! Edan kamu, Rin! Lantas mengapa engkau
diam saja ketika ia menyebarkan kabar bohong mengenai
putusnya kalian kemana-mana"
"Biar saja dia melakukan itu buat menjaga harga dirinya. Aku
tak perduli soal itu.Yang jelas yang sebenarnya terjadi justru
sebaliknya. Akulah yang telah meninggalkannya."
"Pastinya ia juga senang dengan perpisahan kalian sebab
dengan begitu ia mendapat kesempatan mencari pengganti
yang masih perawan, kan?"
"Ha ha ha! Kamu salah Lid"
"Lho?"
"Ternyata si Roy itu benar-benar seorang pecundang tak
berpendirian. Dia menangis seperti anak kecil memohon agar
aku mau balikan lagi sama dia namun tentu saja aku tak lagi
mengubrisnya."
"Kupikir wajar saja Roy kecewa sebab kesucianmu sudah
diambil si Hardy duluan, Rin"
Kamu salah lagi, Lid!. Kali ini Sabrina mengatakannya hanya
di dalam hati. Hardy bukanlah yang pertama baginya namun
ia tak mungkin mengatakannya pada Lidya. Karena hal yang
satu ini bersifat sangat 'sensitive'. Hal itu bahkan tak pernah
ia ceritakan kepada siapa-pun termasuk kepada Lidya meski
mereka telah berteman cukup lama dan akrab. Sejak dulu ia
tak yakin Lidya mau menerima dirinya sebagai sahabatnya
bila mengetahui masalah itu. Dan kini Sabrina semakin yakin
akan hal itu setelah mendengar pengakuan Lidya akan
ketidaksenangannya terhadap hubungan Lila dan Alfi.
"Eh..Rin Apakah engkau pernah memikirkan buat menikah?"
"Hi hi kok nanya seperti itu?"
"Maksudku, type pria macam apa yang engkau cari sih, Rin?
Soalnya kulihat engkau tak pernah serius menjalin hubungan
dengan seseorang. Paling lama bertahan satu bulan lantas
bubaran."
"Hhhh..." Sabrina menghela napas dalam. "Sebenarnya akupun
mendambakan hadirnya seorang yang akan selalu
menyayangiku dan melindungiku. Hanya saja aku belum
menemukannya. Mencari seorang pria yang berniat membina
sebuah hubungan secara serius dan mau menerima keadaan
diriku apa adanya bukanlah sebuah hal yang gampang! Sejak
hubunganku dengan Roy gagal, aku jadi tahu apa yang
sebenarnya di cari oleh kebanyakan kaum lelaki. Ternyata
sebagian dari mereka hanya menginginkan seks semata dalam
sebuah hubungan sedangkan yang lainnya menuntut sebuah
kesempurnaan bagi wanita yang bakal menjadi istrinya.Dan
sejak itu pula, aku tak pernah lagi mau memberikan tubuhku
kepada setiap pria yang menjadi kekasihku hingga sekarang.
Oleh sebab itu pula maka kisah asmaraku tidak pernah
awet!".
Dalam hati Lidya membenarkan ucapan Sabrina barusan.
Contohnya saja Rendy. Kekasihnya itu juga menuntut secara
mutlak sebuah kesucian bagi calon istrinya pada saat
menikah padahal belum tentu ia sendiri masih perjaka. Itu
merupakan keuntungan bagi kaum lelaki yang juga menjadikan
mereka makhluk egois sejak dulu.
"Rin, kamu bisa gunakan rak yang itu. Aku ambil yang dekat
jendela saja" ujar Lidya mulai menyusun barang-barang
miliknya.
Sabrina-pun melakukan hal sama. Satu persatu benda
miliknya ia keluarkan dari kardus. Hingga suatu ketika ia
tertegun saat memegang sebuah buku diary miliknya. Benda
ini selalu ikut kemanapun ia pindah selama bertahun-tahun.
Namun sekian lama tak pernah satu kali-pun ia buka lagi.
Benda yang menyimpan banyak kenangan indah termasuk
kepahitan dalam hidupnya.. Ia menoleh ke arah Lidya.
Dilihatnya sahabatnya itu sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Perlahan dibukanya halaman demi halaman. Ia-pun mulai
membaca kalimat demi kalimat dalam hati.
####################
Dear Diary...
05 Januari..
Aku bahagia saat mami mengatakan bahwa papi akan
menetap di sini bersama kami, Sekarang aku bisa
membuktikan pada teman-temanku dan bu guru jika aku
masih memiliki seorang papi....
Sabrina tersenyum. Lalu ia membaca untaian kata berikutnya.
Memorinyapun ikut memutar ulang setiap peristiwa yang
terjadi saat itu. Semakin lama ia membaca ia seakan
merasakan sebuah keajaiban. Penggalan-penggalan waktu
bertaut tanpa batasan sehingga kejadian yang tak tertulis
sekalipun muncul di hadapannya bagai adegan slide. Ia
bahkan seakan tak lagi sedang membaca sebuah kenangan
namun merasakan ulang kejadian demi kejadian di situ.
#######################
Papiku adalah pria berkewarganegaraan Amerika. Ia bertemu
dengan mami saat mami kuliah di sana. Mereka menikah
beberapa tahun kemudian. Selama ini papi dan mami hidup
selalu berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain
dikarenakan pekerjaan papi sebagai tenaga konsultan asing.
Aku lahir satu tahun kemudian di sebuah negara di Eropa.
Ketika usiaku menginjak lima tahun, mami memutuskan untuk
pulang ke tanah air dan tinggal menetap di kota Y. Setiap tiga
bulan papi datang menjenguk kami berdua. Mami melakukan
hal itu demi aku, putrinya semata wayang. Meski mami
menikahi seorang pria bule namun ia ingin aku tumbuh besar
di dalam lingkungan budaya ketimuran. Ia juga selalu
mengajarkan nilai-nilai moral sebagai seorang wanita
kepadaku. Demi aku kedua orang tuaku harus menjalani
hubungan keluarga jarak jauh. Semua itu berlangsung hingga
aku berusia 14 tahun. Hingga pada suatu ketika papi menjadi
tenaga asing yang di'hire' oleh sebuah perusahaan local
selama lima tahun.Dan itu membuat kami dapat berkumpul
kembali sebagai keluarga yang utuh. Rencananya setelah
kontrak papi dengan perusahaan lokal tersebut selesai kami
baru akan tinggal menetap bersama di Amerika. Papi
menganggap saat itu merupakan waktu yang tepat buat
pindah secara permanen karena bersamaan dengan itu aku
juga telah menamatkan SMU-ku di sini. Memasuki tahun
terakhir. Kami kembali jarang berkumpul bersama di rumah.
Pekerjaan papi semakin banyak di luar kota Y. Sedangkan
mami sendiri juga memiliki pekerjaan yang mengharuskan ia
selalu bolak balik pergi ke kota S. Tinggallah aku di kota Y di
temani seorang pembantu bernama mbak Narti dan seorang
sopir bernama Tugimin atau sering kupanggil mang Gimin.
Mang Gimin adalah pamannya mbak Narti sendiri. Orangnya
sudah lumayan tua berusia sekitar 60 tahun-an. Giginya
sudah pada ompong sehingga buat mengunyah makanan dan
menunjang penampilannya ia harus memakai gigi palsu. Kata
mbak Narti sewaktu muda dulu mang Gimin doyan kawin dan
istrinya sangat banyak. Konon kabarnya istrinya sampai
belasan orang. Sedangkan mbak Narti sendiri adalah seorang
wanita berparas ayu bertubuh sintal berusia sekitar 27 tahun
memiliki budi bahasa yang halus namun herannya belum juga
menikah. Kejadian yang banyak mempengaruhi pada jalan
hidupku dimulai pada suatu malam. Kedua orangtuaku tak
ada di rumah seperti biasa. Mami di kota S sedangkan papi di
kota G. Aku masih ingat malam itu aku baru selesai
mengerjakan PR sekolah. Sudah lima menitan aku mengotak
atik saluran televise namun tak kutemukan acara yang
menarik buatku. Akhirnya kuputuskan buat mencari mbak
Narti. Banyak cerita baru yang ingin kubagi kepadanya. Yang
kusukai darinya adalah dia selalu menanggapi setiap curhat
dan ceritaku. Aku kira ia pasti masih menonton televisi di
belakang. Yang kumaksud bagian belakang adalah wilayah
yang terpisah dari bagian utama rumah. Di situ ada sebuah
dapur, ruang laundry, sebuah ruang tempat mbak Narti makan
sekaligus bersantai menonton televise, sebuah gudang
termasuk kamarnya mbak Narti.
Udara dingin menyetuh kulitku saat aku berjalan melintasi
halaman belakang. Bunyi kodok bersaut-sautan. Ternyata
saat itu sedang hujan gerimis. Sesampaiku di ruang tempat ia
biasa bersantai ternyata ia tak ada di situ. Tumben? Kemana
dia? mungkin mbak Narti kecapean kerja sehingga sudah tidur
jam segini,pikirku. Aku berniat mengajaknya pindah ke
kamarku meski ia sudah tertidur sekalipun karena aku begitu
butuh ia temani malam ini.Lalu aku melangkahkan kakiku
menuju kamarnya. Begitu sampai di depan pintu kamarnya,
akupun langsung menerobos masuk tanpa mengetuk lagi
"AWWwww!!!" akupun sontak terpekik tertahan karena kaget
saat sadar apa yang tengah terjadi di dalam situ.
Saat itu kulihat mbak Narti duduk di bibir dipan. Sementara
mang Gimin berbaring dengan kepala berada di pangkuan
mbak Narti sambil...sambil....menetek! Penglihatanku tak
mungkin salah saat itu. Bibir lelaki tua itu melekat ketat pada
salah satu payudara mbak Narti. Aku bahkan sempat melihat
pipinya yang penuh keriput itu terkempot-kempot saat
melakukan hisapan. Ia tak sedang memakai gigi palsunya saat
melakukan itu. Karena benda itu kulihat tergeletak di atas
meja di samping tempat tidur. Sementara itu mbak Narti juga
tak kalah kagetnya melihat kehadiranku di situ. Lalu dengan
cepat mendorong wajah mang Gimin dari dadanya hingga
bibir mang Gimin terlepas dari payudaranya. Plok! Suara itu
menimbulkan sentilan aneh di dalam diriku. Gdbrakk!Mang
Gimin jatuh terguling ke lantai akibat dorongan mbak Narti.
"N.nnon?" hanya itu yang bisa terucap dari mulut mbak Narti
saat itu belingsatan sambil berusaha menutup dadanya yang
terbuka.
Seketika itu aku baru sadar jika aku tak seharusnya berada di
tempat itu. Akupun segera kabur dari situ. Aku kembali ke
kamarku dengan perasaan campur aduk. Semua yang
kusaksikan barusan terlalu luar biasa buat gadis remaja
sepertiku. Bukankah seharusnya mang Gimin tidur di sebuah
ruangan yang disediakan baginya di dekat garasi rumah. Aku
hanya tak habis pikir bagaimana mungkin mbak Narti sampai
melakukan hal itu dengan pamannya sendiri yang sudah tua
itu.
Tok!..tok..tok
Tiba-tiba kudengar suara ketukan pada pintu kamarku
"Siapaa?"
"Saya non..mbak Narti"
"M masuk saja mbak. Pintunya tidak dikunci"
Mbak Narti masuk ke kamarku dengan wajah menunduk. Aku
rasa selain merasa malu dan bersalah, ia juga pasti sangat
ketakutan bila aku sampai mengadukan hal itu pada mami.
Tapi kami sama-sama malu untuk memulai .membicarakan
hal itu. Akhirnya dia berkata lebih dulu.
"Non, mbak ingin mengatakan sesuatu pada non..."
"I.iyaa mbak" ujarku tergagap. Terus terang saja aku juga
masih syok oleh peristiwa tadi.
"Mbak ingin menjelaskan soal kejadian tadi.
Sebenarnya....mang Gimin bukanlah paman mbak Narti. Dia
itu...suaminya mbak.."jelasnya singkat dan mengejutkanku.
"Apaa?!Mang Gimin itu suaminya mbak Nartii?"
" Iya Nonn"
"Ta..tapi ...mang Gimin kan sudahh..."ujarku nyaris tak
percaya.
"Iya mang Gimin memang sudah tua, non namun seperti
itulah kenyataannya. Dia itu adalah suami mbak"
Aku sih percaya mbak Narti tidak mengada-ada.Hanya saja
aku heran bagaimana orang berperawakan seperti mang Gimin
yang tua dan peot serta doyan kawin itu bisa di senangi oleh
banyak perempuan. Sampai-sampai mbak Narti yang masih
muda dan lumayan ayu itu juga mau dijadikan istrinya.
Apakah sewaktu mudanya wajah mang Gimin tampan?
Kurasa juga tidak. Kulitnya saja hitam pekat begitu. Tubuhnya
cuma 152 senti ituterlihat begitu pendek ketika berdiri di
dekatku yang 172 senti. Lantas jika bukanlah karena fisik dan
hartanya. Lantas apa yang menjadi keistimewaannya?
Tanyaku dalam hati tanpa berhasil mendapatkan jawabannya.
"Lantas kenapa sejak awal mbak tidak mengatakan hal itu
terus terang pada mami?"
"Mbak hanya tak ingin maminya non beranggapan yang tidak-
tidak kepada kami berdua. Soalnya usia mbak berselisih
sangat jauh dengan mang Gimin"jelas mbak Narti.
Ada benarnya alasan yang diutarakan mbak Narti itu, pikirku
saat itu. Mami pasti tak akan memperkerjakan mereka di
rumah kami bila tahu pria setua mang Gimin masih juga
doyan dengan perempuan muda.
"Ya sudahlah, mbak. Sabrina juga minta maaf tadi itu ngga
segaja ngeganggu mbak sama mamang" kataku.
"Nonn.." kulihat mbak Narti masih berdiri di situ. "Jangan
dilaporin sama mami dan papinya non ya"pintanya dengan
wajah memelas
"Iya. Mbak tidak usah kuatir. Sabrinangga bakalan bilang
kesiapa-siapa soal itu, kok"jawabku. Tentu saja aku juga tak
ingin mereka diberhentikan dari pekerjaan mereka. Aku sudah
terlanjur merasa cocok dengan keberadaan mbak Narti dan
mang Gimin di rumah ini. Sejak papi dan mami selalu
berpergian ke luar kota, otomatis hanya mbak Narti dan mang
Gimin orang terdekatku. Mbak Narti selalu mau meladeni apa
saja kemauanku. Dan ia penuh kelembutan terhadapku. Ia
selalu memperlakukan aku seperti adiknya sendiri. Mungkin
juga karena aku tak memiliki saudara kandung menyebabkan
aku jadi sangat tergantung padanya. Dia juga adalah
tempatku buat menumpahkan segala curhatku. Sedangkan
mang Gimin juga demikian. Perjalananku baik ke sekolah
maupun ke tempat lain selalu menjadi gembira meski dalam
keadaan capek bete karena celotehan lucunya. Lagian kalau
dipikir-pikir apa yang mereka lakukan itu syah-syah saja
sebab mereka adalah suami istri.
"Hi hi Terima kasihh non. Non Sabrina memang selalu baik
sama mbak"katanya girang. Malam itu aku ditemaninya tidur.
#######################
Kejadian malam itu terulang lagi dua malam kemudian. Kali
inipun aku dengan sengaja mendatangi kamar mbak Narti
karena minta ditemani tidur dan lagi-lagi saat itu bukanlah
saat yang tepat bagiku. Kali ini bahkan lebih parah. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku menyaksikan hal yang
selama ini hanya pernah kudengar dari orang atau dari
buku. .....sebuah persetubuhan! Bedanya jika kemarin aku
memergoki mereka karena aku menerobos masuk ke dalam
kamar sedangkan kali ini aku belum sempat masuk.Namun
aku bisa melihat dari luar kamar apa yang terjadi di dalam
situ karena kebetulan pintu kamar mereka tak tertutup rapat.
Entah mengapa aku tidak kabur seperti kemarin. Aku justru
berdiri terpaku di situ. Seakan berharap bisa melihat lebih
jauh apa yang bakal terjadi selanjutnya di dalam situ. Seketika
itu tubuhku langsung merespon secara aneh. Jantungku
berdetak keras. Sementara tubuhku menggigil bak kedinginan.
Terus terang saja baru kali itu juga aku melihat penis seorang
lelaki dewasa dan dalam keadaan ereksi lagi. Dari posisiku
berdiri aku bisa menatap jelas saat benda hitam yang licin
dan basah pada selangkangan mang Gimin itu bergerak timbul
dan tenggelam ke dalam vagina mbak Narti. Aku juga merasa
agak ngeri saat tahu sebegitu jauhnya vagina seorang wanita
bakal terentang saat di masuki alat kelamin seorang pria.
"Heggg!! Ndukkk ...Eunakkk!!!"
Kudengar suara erangan mang Gimin dengan sedikit
menggeram. Detik itu juga tiba-tiba pinggulnya ia hentakkan
dengan kuat kebawah.
JLEEPPPPP! AWww! Aku sampai mendesis. Untung saja
kesepuluh jemariku cepat menutup bibirku. Jika tidak aku
pasti bersuara seperti malam sebelumnya. Betapa kuat
hujamannya itu!. Akupun seakan ikut-ikutan tersodok. Dan
kurasakan ada sesuatu yang terpancar keluar dari
kemaluanku.
JLEEPPP!
Argg! Dia menghujam lagi! Hujamannya kembali membuat
cairanku terpancar.
"ARGhhhhhhhhh!! Kaaaaangg!!" kali ini kudengar mbak Narti
memekik ...pilu.
Aku tak tahu apakah itu pekik kesakitan mbak Narti atau
bukan? Bisa jadi mbak Narti menderita gara-gara mang Gimin
menghujamkan alat vital secara kuat ke vaginanya? Mang
Gimin terus menghujaman hingga beberapa kali sampai
akhirnya ia benar-benar berhenti melakukannya dan menahan
hujamannya di dalam agak lama. Bola testisnya terlihat
menggembang dan mengempis kuat. Lalu kulihat cairan putih
meluber dari sela-sela kemaluan mereka berdua. Aku tak
mampu menonton adegan itu lebih lama lagi. Aksi lima belas
menit mang Gimin dan mbak Narti itu benar-benar
menggoyahkan dengkulku sekaligus membuat celana dalamku
menjadi sedemikian basahnya. Aku bergegas kembali ke
kamarku sebelum mereka memeregokiku. Alhasil aku jadi sulit
sekali tidur malam itu. Kejadian barusan selalu terbayang di
pelupuk mataku. Uhh! malam masih begitu panjang
sedangkan aku semakin gelisah. Tak ada jalan lain terpaksa
gulingku kujepit dengan kedua pahaku dan kutekan kuat-kuat
ke arah keselangkanganku. Hanya itu caraku melampiaskan
rasa aneh yang bergejolak di dadaku.
#############################
Keesokan paginya mataku sayu karena kurang tidur semalam.
Aku berangkat ke sekolah di antar oleh mang Gimin. Di
tengah perjalanan aku kerap melirik ke arah celananya. Hatiku
berdetak kencang ingat jika di dalam situ ada sebuah benda
dasyat yang kulihat tadi malam yang membuat mbak Narti
terpekik-pekik keenakan.
############################
Malam harinya setelah mengerjakan PR-ku aku ditemani
mbak Narti menonton film di kamarku. Rasa gelisah kembali
merasuk. Kegelisahan yang sama seperti yang kurasakan
pada malam kemarin. Bayang-bayang keintiman antara mbak
Narti dengan mang Gimin terus-terusan muncul mengganggu
konsentrasiku pada film yang kutonton. Aku seakan masih
mendengarrintihan dan erangan dari mbak Narti. Aku masih
bisa membayangkan pantat hitam nan keriput mang Gimin
bergerak naik turun.Dan yang paling menggelisahkan adalah
ingatan akan batang penis mang Gimin yang hitam besar dan
melengkung itu menghujami vagina mbak Nartiyang kecil
mungil.
"Si non kok melamun?" tanya mbak Narti di tengah-tengah
pertunjukan.
"Hi hi iya mbak. Eh Kok mbak bisa tahu?"
"La iya tahu. soalnya non diem ndak ketawa-ketawa sejak
tadi padahal filem-nya lucu banget.Pasti lagi mikirin 'itu' ya?"
"I.ituu? Itu apaa sih mbak?"
"Itu tuu yang non intip semalem" ujarnya mengagetkanku.
"N.ngintip apaan?"tanyaku pura-pura bego.
"Kemaren malem si non ngintip mbak sama mang Gimin lagi
gituan, kan?"tembaknya langsung.
"Idihhh mbak. Jangan nuduh sembarangannn" sangkalku.
Wajahku jadi panas memungkinan mbak Narti bisa melihatnya
merona saat itu.
"Sudah ngaku saja!.Soalnya mbak bisa ngelihat bayangan si
non di dekat pintu!"
Duh! Malunya.Aku-pun jadi tersipu. Tak kusangka ia bisa
tahu. Dasar aku-nya yang bego dan kurang hati-hati.
"Hi hi Iya deh mbak, Sabrina ngaku.. tapi beneran itu
bukannya Sabrina sengaja mau ngintip. Mbak juga sih yang
ga ngunci pintunya!"kilahku
"Dasar! Ntar matanya bintitan, lho non!"godanya. Lalu kami
melanjutkan tontonan kami hingga selesai.
"Eng.. mbak"
"Iya non?"
"Sakit ngga sih, Mbak?"tanyaku ragu-ragu
"Apanya yang sakit, non?"
"ituu..di 'gitu'in sama mang Gimin?"tanyaku lebih jelas.
"Hi hi hi mbak pikir apa ternyata itu toh? Yaa ndak lah, non.
Justru rasanya enak bangeeet!"jawab mbak Narti sambil
tertawa geli mendengar pertanyaan luguku.
"Masa sih,mbak? Kok mbak teriak-teriak? "tanyaku kurang
yakin sebab masih terbayang olehku betapa lebar vaginanya
terentang oleh alat vital mang Gimin.
"Hi hi hi hi Non...non..mbak teriak yaa karena keenakan!"
"Oooo..begitu.."ujarku termagu-magu.
"Lagian mana mungkin perempuan doyan begituan kalau
rasanya tidak enak.Eh?..kenapa si non tanya? Si non belum
pernah ngerasain, ya?"tanya
Aku mengeleng. Tentu saja aku belum pernah melakukan itu.
Pacaran pun aku dilarang sama mami meski begitu banyak
cowok yang tergila-gila oleh tampang buleku.
"si Non kepengen, Ya?"tanyanya mengagetkanku.
"Idihhh mbak!. Sabrina kan cuma nanya doang!"elakku. Tapi
mbak Narti seakan tahu hasratku. Kulitku yang putih tak
mampu menyamarkan pipiku yang bersemu dadu.
"Sudahh ndak usah bohong lagi. Ngaku saja. Mbak tahu
cirinya kalau perempuan sedang kepingin. Mbak juga begitu
waktu seumur non. Kepingin ndak nyobain?"
"Iya sih mbak tapi Sabrina-kan belum punya pacar"ujarku
lesu.
"O gitu toh. Eng...Bagaimana kalau sama...mang Gimin aja.
Mau ndak?"
"A..paaa?! Samaa mamang,mbakk?!"Jantungku berdetak
keras mendengar tawaran tak terduga-duga darinya itu.
"Iya..."
"Nggaaa mauuu ahh, mbak! Masak sama mamang!"
"Lho kenapa? Biar sudah tua tapi penisnya enak banget lho.
Non juga ndak usah malu. Mbak ndak keberatan non di gituin
sama suamiku. Mang Gimin juga pasti seneng banget!"
"Sabrina ngga mau, Mbak!"
"Katanya tadi kepingin. Ayolah!...Mumpung maminya non
sedang ndak ada".bujuk mbak Narti.
"B.bbukannya begitu, mbak. Mami pernah bilang Sabrina
harus menjaga keperawanan Sabrina sampai menikah kelak"
"Oalah! Cuma karena masalah itu, toh?"
"Maksud Mbak?"
"Ntar kita bilangin sama mamang supaya di celup aja"
"Diceluuup, mbak?"
"Iya dicelup!"
"E emangnya ngga bakal pecah, mbak?"tanyaku lagi.
"Ya ndak lah. Yang masuk kan cuma kepala penis saja.
Ayolah, tunggu apa lagi?"goda mbak Narti terus berusaha
menggoyahkan keimananku.
"Tapii mbakk...Argggg" aku masih tetap ragu.
"Sudahhhh ikuttt!!" ujar mbak Narti menarik tanganku.
###############################
Aku dimintanya menunggu di depan pintu kamar sementara ia
masuk dan berbicara dengan suaminya. Tak lama kemudian ia
muncul lagi dan langsung menarik tanganku masuk ke dalam
kamar sempit itu.Di dalam situ mang Gimin berdiri
menyambutku. Ternyata ia sedang dalam keadaan telanjang
bulat. Sehingga mau tak mau penisnya yang tak disunat di
antara gerombolan bulu kemaluannya yang kusut dan beruban
itu terlihat olehku.
"Aaaa!!...Mbakkk takutt!!.."jeritku sambil berlari dan
bersembunyi di belakang mbak Narti.
"Masa sih non takut sama ini-nya mamang?" Tanya mang
Gimin sambil mendekat ke arahku.Aku semakin merapatkan
tubuhku ke mbak Narti. Tapi mataku tetap menatap lekat
benda di selangkangannya itu. Benda itu berdiri kukuh seakan
tengah menunjuk ke arah aku dan mbak Narti. Bentuknya
melengkung laksana sebuah pisang ambon besar dengan
balutan kulit keriput berwarna hitam pekat.
"Aaakhhh!" desahku kaget. Tiba-tiba saja benda tersebut
melenting ke arah atas secara cepat hingga menampar perut
pemiliknya secara keras.
Cletap! ...Cletap!..Cletap! Benda itu terus terhempas-hempas.
Aku tak tahu mengapa benda itu bisa bergerak seperti itu
seolah-olah ada yang memegang dan mengayunkannya.
"He ..hee.hee" mang Gimin terkekeh sambil berkacak
pinggang. Ia sungguh tak punya malu memamerkan bagian
tersebut kepadaku.
"Ndak apa-apa non. Bentuknya memang jelek tapi yang
penting kan rasanya" kata mbak Narti.
"Gimana jadi ndak, he eh-nya?"tanyanya.
"Tapii...Ntar kalau hamil gimana?"bisikku pada mbak Narti.
Mbak Narti tertawa geli mendengar kekuatiranku itu.
"Apa toh nduk?" Tanya mang Gimin pada istrinya.
"Ini kang..Si non takut kalau sampai bunting."
Mendengar itu mang Gimin jadi ikut terkekeh-kekeh sambil
memperlihatkan deretan gusi tanpa gigi palsunya.
"Gini Non. Si non ndak bakalan hamil kalau air pejuh mang
Gimin tidak ditumpahin di dalem punyanya non."
"P.ejuhh?" tanyaku bingung.
"Iya ituu.....air enaknya lelaki. Pasti non juga sudah belajar di
sekolah kan?"mbak Narti balik bertanya kepadaku. Aku
merenung sejenak. Mungkin yang dimaksud mbak Narti adalah
Sperma. Ya pastinya memang itu yang bisa membuahi sel
telur perempuan, pikirku.
"Iya sih mbak. Sabrina tahu itu. Tapi Sabrina masih ga yakin
dan kuatir"
"Baiklah, mbak coba jelasin biar si non yakin dan ndak ragu
lagi"
Lalu ia menambahkan beberapa hal lain yang perlu aku
ketahui seputar persetubuhan dan kehamilan pada seorang
wanita.Sepertinya apa yang dikatakan mbak Narti barusan
memang cocok dan sama dengan apa yang ada di pelajaran
biologi. Beberapa istilah asing memang baru kudengar pada
saat itu. Tapi aku paham apa yang dimaksudkannya itu ketika
kucocok-cocokan dengan bahasa ilmiah yang sering dipakai
pada pelajaran sekolah. Seperti 'pipis enak' kuduga itu artinya
ejakulasi. Lalu 'kacang' pastilah itu klitoris dan beberapa
istilah lainnya berkaitan dengan hal itu. Begitulah dengan
sabar Ia memberikan jawaban atas setiap pertanyaanku
sehingga bisa meyakinkanku sekaligus membuat satu persatu
kekuatiranku lenyap.
"Gimana? Sudah pahamkan?"tanyanya setelah penjelasan
tadi.
Aku mengangguk kecil.
"Berarti ndak kuatir lagi digituin sama mang Gimin
kan?"susulnya lagi.
Aku ragu. Antara mau dan takut. Tapi sepertinya mbak Narti
mengerti akan kegamangan hatiku.
"Ya udah, kalau masih belum berani juga, tak cobain yang lain
aja dulu. Gimana? Mau?"
"Y.ang lain? Apaa mbak?"tanyaku
"Alaaa cobain ajah dulu. Pokoknya asyik deh, mbak yakin non
pasti suka"
Aku melirik ke arah mang Gimin. Kulihat si tua itu tersenyum
lebar. Sepertinya dia juga berharap sekali hal itu terlaksana.
Pandanganku kembali ke mbak Narti. Dan akhirnya dengan
malu-malu aku anggukan kepalaku. Bersamaan dengan itu
kudengar suara terkekeh mang Gimin.
"Tapi mbak-nya jangan kemana-mana!"pintaku.
"Iya mbak tetep di sini nemenin si non. Nah sekarang mbak
bantuin ngebuka bajunya ya non?" ujar mbak Narti meminta
izinku.
"Mbak ajah duluan" pintaku. Mbak Narti menuruti. Setelah ia
selesai dengan dirinya. Lalu ia membukakan pakaianku.
"Arggg!! Mamang jangan lihat kemari!"protesku karena malu.
"Nantikan juga mamang ngeliat semuanya, non"jawab mang
Gimin.
"Kalau gitu ngga jadi ajah!. Sabrina ngga mau!" rajukku
"Kangg!!"hardik mbak Narti ke Mang Gimin meminta suaminya
itu agar bersikap kooperatif.
"Iya iya" jawab mang Gimin lalu memutar tubuhnya
membelakangi kami.
Satu persatu pakaianku terlepas hingga akhirnya aku benar-
benar telanjang.
"Duduk di sini non" kata mbak Narti membimbingku duduk di
pinggir dipan.
Ia sendiri duduk di sebelahku.Setelah itu di atas pangkuanku
ia letakan sebuah bantal. Hatiku langsungkebat-kebit. Aku
tahu apa yang bakal ia lakukan! Ini-kan posisi duduknya mbak
Narti seperti yang kulihat beberapa malam yang lalu di saat
mang Gimin menetek padanya! Argggg!..Jangan-jangan dia
juga akan melakukan hal yang sama padaku.
"Kang. Ayo rebahan." Ujar mbak Narti kepada suaminya.
Mang Gimin melakukan apa yang mbak Narti barusan katakan
padanya. Senyum mesumnya mengembang menghiasi pipinya
yang peot. Duhh! Betapa malunya aku sehingga kupejamkan
mataku. Bayangkan ini pertama kalinya dalam hidupku aku
berbugil dihadapan seorang lelaki.
"Wuiihh! putihh tenann. Beda banget sama kamu, Nar" ujar
mang Gimin mengomentari keindahan yang tersaji di
hadapannya itu..
"Hi hi hi Ini kan barang indooo, kang" timpal mbak Narti.
Ia biarkan suaminya memandang puas-puas seluruh aset
pribadiku yang memang lebih banyakan bulenya ketimbang
melayunya itu. Jelas sekali gen papiku begitu kuatnya
sehingga kemungkinan hanya sepuluh persen saja gen mami
yang ada pada diriku. Detik demi detik berlalu. Jantungku
berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Tubuhku terasa
panas dingin seolah aliran daraku beredar tak normal. Mataku
masih terpejam rapat. Menanti sesuatu yang akan terjadi pada
diriku dengan perasaan tak menentu. Jemari tangan kananku
menggenggam erat jemari mbak Narti. Sementara tangan
yang satunya mencengram kain seprey. Tak lama kemudian
aku merasakan sebuah tekanan pada bantal di atas
pangkuanku menandakan mang Gimin sudah menaruh
kepalanya di situ. Lalu....kurasakan sesuatu yang basah
menyentuh cepat puting payudara kiriku.
AWWWW!! Aku terpekik dan terlonjak kaget! Mataku spontan
membeliak. Dan berusaha melihat apa yang terjadi.
Ternyata yang mencoel putik susuku adalah ujung lidahnya
mang Gimin. meski cuma menyapu selintas tapi efek yang
ditimbulkannya sungguh dasyat bagiku! Gelii itu...! Sampai
sekarangpun masih meninggalkan kesan yang mendalam di
hatiku. Tentu saja itu merupakan sentuhan secara seksual
pertama yang kudapat dari seorang lelaki. Namun belum lagi
sempat aku bernapas lega ia sudah melakukannya lagi. Kali
ini lidahnya menyapu lebih perlahan. Tapi ia menekan lebih
kuat. Ampunnnn geliiinyaa!...Napasku sampai tersengal-
sengal. Kulihat mang Gimin menatapku sambil nyengir
memperlihatkan deret gusi tanpa giginya. Tiba-tiba tanpa
peringatan ia memagut puting susuku bagai seekor ular. Dan
hanya dalam hitungan sepersekian detik ia telah menyedotnya
kuat-kuat.
"AWWWWWW..Maangggg! heggggggg!"aku terpekik tertahan.
Seketika itu jiwakupun seakan ikut tersedot melalui putingku
itu. Ternyata benar dugaanku tadi. Mang Gimin menetek
padaku! Rasanya...tak dapat kucapkan dengan kata-kata!
Punggungku melengkung karena aku tak kuat melawan
sengatan rasa geli yang bercampur dengan kenikmatan itu.
Sementara aku harus menggigit bibirku sendiri.
Secara naluriah tangan kiriku meraih kepala mang Gimin dan
menekannya ke arah dadaku lebih erat lagi. Kejadian itu baru
berlangsung kira-kira satu menitan ketika...Plok! Tiba-tiba
hisapan mang Gimin terlepas sekaligus memutus kenikmatan
yang sedang kurasakan. Ternyata mbak Narti-lah yang
memisahkan putingku dari bibir mang Gimin. Ada apa
gerangan?
"Gimana rasanya?" tanya mbak Narti sambil tersenyum.
"G..geli banget mbak" bisikku malu.
"Tapi enak juga kan?"
"He eh...."
Jelas! Gerutuku dalam hati. Mana mungkin aku menyangkal
kenikmatan yang terjadi pada 'first contact' tadi. Lihat saja
putingku sampai berdiri sepejal karet.
"Mau di terusin lagi ndak?" Tanya mbak Narti tersenyum
geli.Entah ia bermaksud menggodaku atau karena ia benar-
benar ingin tahu pendapatku. Padahal jelas ia pasti tahu
jawabanku. Akupun mengangguk.
"Kalau begitu non rebahan aja di kasur. Biar lebih nyaman"
Ujar Mbak Narti membimbingku naik ke tengah dipan.
Kali ini aku dimintanya terlentang. Mang Gimin juga ikut
merayap naik. Akhirnya payudaraku yang satunya lagi
ia'perawani' juga. Aku tahu aku telah melakukan sesuatu yang
tabu. Melanggar apa yang telah selama ini mami pesankan
kepadaku. Aku telah membiarkan seorang lelaki yang bukan
suamiku menyentuh diriku secara seksual. Tetapi aku sungguh
tak mampu mencegah hasratku. Dorongan buat merasakan itu
begitu kuatnya. Dan lelaki yang beruntung itu kebetulan
adalah mang Gimin, yang berstatus hanya sebagai sopir
keluargaku, suaminya mbak Narti.Seorang pria tua, berkulit
hitam legam, bertubuh pendek dan kerempeng. Sungguh tak
ada sedikitpun dari dirinya yang sepadan dengan seluruh
kebaikan yang dianugrahkan pada diriku. Aku hanya bisa
melingkarkan kedua tanganku ke belakang kepalanya secara
erat sambil merintih-rintih. Apa dayaku dibawah kendali
seorang pria yang pernah belasan kali menikah dan begitu
berpengalaman dalam hal ini. Ia pasti tahu sekali bagaimana
menaklukan gadis bau kencur seperti aku melalui putting
susuku. Pertama-tama ia akan melakukan hisapan kuat dan
bergelombang. Lalu lidahnya berputar di dalam ke-vakuman
rongga mulutnya, berotasi menyapu setiap titik-titik sensitif
yang ada di seputar putingku.
"Argghhhhh..mamangggg". aku terpekik lirih setiap kali
sirkulasi kemesraan itu ia akhiri dengan sebuah gigitan dari
gusinya yang tak bergigi itu. Mulutnya yang tak begigi itu
ternyata membuat daya hisapnya menjadi semakin luar biasa.
Mbak Narti tak lagi ikut campur tangan. Kami dibiarkannya
berpuas-puas menikmati sesi menyusu kali ini.Mang Gimin
terus melakoninya semua itu selama lima belas menit ke
depan.
Plok! Akhirnya hisapan mang Gimin terlepas dengan
meninggalkan ketegangan dan bias-bias merah disekitar
putingku. Tapi wajahnya tak menjauh dari tubuhku. Bibir
keriput itu mencecarkan kecupan-kecupan di seputar dadaku.
Bibirnya bergerak bagai seekor siput yang sedang merayap itu
perlahan turun menuju ke perutku, lalu ke bagian pinggulku
dan semakin turun dan semakin ke bawah hingga ke bagian
yang paling intim milikku..
"Buka pahanya, non..."bisik mbak Narti padaku..
"Mamang mau ngapainn sichh., mbakkk?"tanyaku malu.
Mengetahui wajah mang Gimin sudah berada tepat di depan
selangkanganku.
"Sttt...non merem ajaa...nanti pasti enakk" bisiknya lagi.
Lalu akupun kembali memejamkan mataku. Beberapa detik
kemudian aku tersentak kaget ketika kurasakan sentuhan
sebuah benda basah menyapu secara vertical selangkanganku
dari bagian bawah ke bagian atas.
"Oughhhhh!" rintihku mengelinjang oleh rasa geli bercampur
dengan nikmat yang langsung menyengat selangkanganku
saat itu.
Kepalaku terangkat dan mataku yang tadinya terpejam
membuka lebar lalu berotasi memandang ke arah sumber
nikmat tersebut.
"Maangggg itu kannn bekas Sabrinaa pipisss!" pekikku dalam
nikmat bercampur malu setelah tahu apa yang tengah ia
lakukan di bawah situ.
Tetapi mang Gimin tetap asyik melumati vaginaku tanpa rasa
jijik. Tangannya menahan kedua pahaku agar tetap terpentang
lebar. Aku hanya sempat menyaksikan hal itu beberapa saat
sebelum akhirnya kepalaku kembali terhempas ke kasur
dengan mata terpejam.
"M..bakkkk...Ouhhhhh!" kali ini rintihanku kutujukan pada
mbak Narti.
"Hi hi hi apa tadi mbak bilang...Enak banget kan, noon?...
"terdengar suara dan tawa khas mbak Narti menari-nari di
telingaku.
Aku yakin ia tak butuh jawaban dariku. Ia tahu apa yang
sedang kurasakan saat ini.Sesudahnya aku hanya bisa
merintih dan menikmati ulah lidahmang Gimin yang tengah
menari-nari dengan lincah di bagian kewanitaanku. Nyaris
sepuluh menit ia melakukannya sampai akhirnya aku kembali
terpekik dibuatnya.
"AAARRRGGHHHHH!!!" rasa itu.... bukan kepalang nikmatnya!
Sungguh tak terlukiskan. Seakan ada sesuatu yang meletus
dari dalam selangkanganku. Pinggulku sampai terangkat saat
itu terjadi. Tanpa sadar aku menjepit kepala mang Gimin
dengan kedua pahaku. Sementara kesepuluh jemariku
mencengram erat kain seprey. Itu adalah orgasme yang
pertama kali terjadi dalam hidupku.
Kenikmatan itu mungkin hanya berlangsung kurang dari satu
menit namun bagaikan berabad-abad lamanya.Pinggulku
akhirnya jatuh kembali ke kasur. Perlahan rasa enak itu pergi
berganti dengan kenyamanan. Rasa nikmat yang tadi itu....
sungguh tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Begitu
mempersona! Aku yakin itulah yang dinamakan dengan
orgasme itu dan tentu saja aku ingin mengalaminya lagi!
Tetapi sepertinya harapanku barusan tak bakal terjadi karena
mang Gimin telah mengangkat kepalanya keluar dari wilayah
selangkanganku.
"He he udah basah nih, nduk." ujarnya pada mbak Narti
sambil terkekeh-kekeh.
"Sebentar, kang. Tak tanya si non dulu mau diterusin apa
ndak" ujar mbak Narti.
Hatiku kembali berdebar mendengar ucapannya. Mang Gimin
sudah netek, juga sudah menjilati 'anu'ku. Berarti ini sudah
waktunya buat yang satu 'itu'.
"Gimana non? Mau ya dicelupin sekarang? Baru pake lidah
ajah udah sebegitu enaknya apalagi kalau pake penis" Tanya
mbak Narti padaku. Benar saja dugaanku tadi.Mbak Narti
menanti kepastian dariku sebelum melangkah lebih jauh.
"Tapii..beneran ga sampe pecah kan, mbak?" tanyaku masih
ragu sambil mempertanyakan kembali jaminan darinya.
"Mbak jamin, Non. Cuma dicelupin ajah, kok! Mau yaa?"
Akhirnya aku-pun mengangguk lemah karena tujuanku kemari
toh memang buat mencoba itu. Sejenak kudengar mbak Narti
dan mang Gimin berdialog serius dalam bahasa daerah asal
mereka. Tentu saja aku tak mengerti apa yang mereka
bicarakan. Sepertinya terjadi perdebatan kecil di situ. Entah
ada apa. Kemungkinan ada sesuatu yang mang Gimin
inginkan namun mbak Narti keberatan.
"Kalau kakang ndak mau nurut yah udah! Lebih baik batal
saja!" terdengar suara mbak Narti meninggi.
"Iya..iyaa! tadi itu aku kan cuma usul, nduk. Kalau tidak
setuju ya ndak apa-apa"timpal mang Gimin.Sepertinya dia
yang harus mengalah.
"Ada apa sih, mbak?" tanyaku heran.
"Ndak apa-apa non. Ayo! Si non rebahnya nyamping biar
mang Gimin di belakang non"
Aku mengikuti petunjuk mbak Narti meski hatiku masih
bertanya-tanya apa yang mereka ributkan barusan. Lalu
setelah itu mang Gimin-pun rebah menyamping di
belakangku. Tangan kanannya mengangkat paha kananku dan
menopangnya agar tak jatuh.
"Gini toh, nduk?" tanya mang Gimin pada istrinya.
"Ya gitu..Pinggul kakang turunin sedikit" ujar mbak Narti. Lalu
mang Gimin menggeser sedikit posisi tubuhnya lebih rendah
dari pinggulku.
"Ya segitu, kang. Nah..si Non lemesin aja badannya.Ndak
usah tegang, ya" ujar mbak Narti kali ini kepadaku.
Jantungku berdetak cepat. Kali ini lebih cepat dari
sebelumnya.Perasaanku bercampur aduk menanti saat-saat
mendebarkan itu. Sebentar lagi aku akan merasakan alat
kelaminnya lelaki masuk ke dalam kemaluanku.
"Uhhh!" desahku lirih tatkala sesuatu yang hangat melintasi
kedua pahaku hingga menyentuh bibir vaginaku. Aku tahu itu
adalah penisnya mang Gimin.
Lep! dengan satu hentakan benda itu berusaha menerobos
masuk...
"Oughhh" aku merintih. Ternyata cucukan pertamanya meleset
dan hanya menyerempet klitorisku. Kegagalan pertama
semakin membuat mang Gimin bernapsu. Ia kembali
mengambil ancang-ancang. Mencoba melakukan tusukan ke
dua yang lebih akurat. Lep! kali inipun dia melesat. Penisnya
malah nyelonong ke arah belakang dan menghantam
pantatku!.
"Uuuuu...Perett baget sih!"gerutu mang Gimin karena
sodokannya selalu meleset.
Ternyata meskipun vaginaku sudah basah total namun ia
masih saja kesulitan buat mempenetrasiku. Mungkin juga
karena aku masih perawan sehingga vaginaku masih sangat
rapat. Melihat situasi itu mbak Narti segera bertindak.
"Sabaran sedikit toh kang. Ndak bakalan bisa masuk kalau
kakang grasak-grusuk begitu!. Sini biar kubantu!" katanya
gemas.
Dengan jemarinya ia rentangkan bibir vaginaku. Sementara
tangannya yang lain meraih batang penis mang Gimin dan
mengarahkannya ke posisi yang tepat.
"Coba tekann sedikitt....Kangg ...." ujarnya pada mang Gimin.
Mang Gimin mencoba kembali menyentak kan pinggulnya.
Dan......
"AWWWWW..mmaaaanggg.!." aku merintih ketika sesuatu
yang asing....begitu besar dan bertektur membuat bibir
vaginaku merentang lebar.Dan..
CLEPP! Ujung penis mang Gimin yang bulat besar seperti
jamur itu sepertinya berhasil masuk! Aku seakan tak percaya
apa yang telah kulakukan ini. Aku telah membiarkan kemaluan
seorang lelaki memasuki alat vitalku! Tapi ia belum berhenti.
Dapat kurasakan secara perlahan sekali ia terus memasukiku
mili demi mili. Merentangkanku... Menyentuhku..menyelusup
ke tempat yang belum seorangpun termasuk aku
menjamahnya.
"Uhhhhhhgg!"Aku meringis. Sementara alisku yang
mengerenyit.
"Sakit..?" tanya mbak Narti kepadaku. Tentu saja ia bisa
mengetahuinya dari ekspresi wajahku.
"Iya mbak... tapi cuma sedikit!"
"Ndak pa pa itu biasa. Sebentar lagi juga enak"
Benar kata mbak Narti. Tak perlu menunggu lama. Rasa ngilu
yang sempat kurasakan tadi berangsur-angsur pudar. Seiring
waktu rasa geli bercampur nikmat mulai muncul. Bahkan
semakin lama terasa semakin menyengat sekaligus mengubur
habis rasa ngilu tadi. Aku sendiri tak menduga jika rasa
nikmat yang ditimbulkannya ternyata begitu dasyat. Bahkan
jauh lebih dasyat dari jilatan yang mang Gimin lakukan tadi.
Tektur daging penisnya begitu kentara terasa menyentuh
seluruh dinding pangkal vaginaku yang dipenuhi oleh jutaan
picu bom kenikmatan.
"Wuiiihh.. ternyata masih bisa masuuuuk" kudengar mang
Gimin menggumam, rupanya ia masih terus mencoba
melesakkan penisnya jauh lebih dalam.
Srtttttt!
"Aduuuuhh... duhh!!" Kali ini akumengaduh kesakitandi
tengah-tengah kenikmatan itu.
"Kang! Kang! Cukupp segitu aja!. Ntar perawannya si non
robek. Itu juga sudah sepertiganya punya kakang yang
masuk!" ujar mbak Narti memperingatkan mang Gimin agar
tak terlalu memaksakan dirinya. Sepertinya ujung penis mang
Gimin memang sudah menyentuh dan menekan selaput
daraku.
"Sebaiknya non rapetin pahanya biar bisa ngejepit sisa penis
mang Gimin" mbak Narti terus memberikan instruksi kepada
kami berdua.
Kedua kaki mang Gimin yang kurus dan berbulu itu diapitkan
ke pinggulku. Aku baru mengerti mengapa ia harus berada di
posisi belakang bukannya di depan seperti saat ia bersetubuh
dengan mbak Narti. Dalam posisi itu penis mang Gimin akan
selalu berada di jalur yang tepat sehingga tak bakal mudah
terlepas sekaligus mencegah penetrasinya terlalu jauh ke
dalam karena tubuhnya akan terganjal oleh pantatku.
"Nah, kang. Kocokin...tapi pelan-pelan dulu..."
Mang Gimin mulai menggerakan pinggulnya mundur maju.
Kecepatannya sungguh lambat namun ia lakukan dengan
kedalaman terukur secara konstan. Sesekali penisnya
terlepas. Tapi mbak Narti dengan sigap menuntunnya balik
masuk ke dalam vaginaku. Kedua tangan Mang Gimin juga
tidak tinggal diam. Yang satu tetap memegang pinggulku
sementara yang satunya lagi memainkan clitorisku.
"AAARRRGHHHHHHH!" aku mengerang.
"Enak non?" tanya mang Gimin.
"I.yyaa Maang enakk..bangett!!"rintihku tanpa malu
mengakuinya.
Rasa ingin tahuku sungguh setimpal dengan resiko yang
kuambil. Tak kusangka baru dicocol sedikit tapi nikmatnya
sudah seperti ini apalagi jika di masukan semua pikirku saat
itu. Sempat aku hampir dikuasai secara penuh oleh gairahku.
Untungnya ditengah badai kenikmatan itu akal sehatku
ternyata masih mampu diandalkan dan mencegahku agar tak
kebablasan. Ya! Aku tak boleh melampaui batas. Jika aku
masih ingin tetap PERAWAN! Apa yang telah kulakukan ini
sudah maksimal. Demikian ketetapan dan batasan yang
kutanamkan dalam hatiku.
"Heegg..peretttnyaa!..." kembali kudengar keluhan mang
Gimin. Kutahu ia juga pasti sedang keenakan sebagaimana
halnya diriku.
"Ti..ngecrot di dalemm apa di luar, nihh? Kakang sudah ndak
kuat lagi!."Tanya mang Gimin buru-buru sambil menoleh pada
istrinya.
"Lho bagaimana kakang ini?! Baru juga dimasukin sudah mau
muntah!"gerutu mbak Narti.
"Eng anu. Soalnya tempik si non kuat banget ngemutnya..."
ujar mang Gimin berkilah.
"Ntar! Di tahan dulu!" cegah mbak Narti lalu ia beralih
kepadaku.
"si Non kapan dapet mens-nya?"
"Sepuluh hari lagiii mbakk..." jawabku heran di sela-sela
deraan nikmat yang menyengat itu.
"Kecrotin aja di dalem kang. Masih aman kok." ujar mbak
Narti pada mang Gimin. Aku jadi terkejut mendengar omongan
mereka.
"Mbaaakk..?"rintihku lirih.
"Ndak apa-apa non. Mbak jamin ndak bakalan hamil kok" ujar
mbak Narti kembali menenangkanku. Sepertinya ia memang
selalu mengerti akan kekuatiranku sekaligus mampu membuat
hatiku tenang.
"Kang! Kalau bisa sih bikin non Sabrina ngecrot barengbiar
bukan cuma kakang yang dapet enaknya" oceh mbak Narti
pada mang Gimin.
"Iyaa...inii juga sedangg di usahainnn..."jawab mang Gimin
terbata-bata. Tiba-tiba gerakan pinggulnya yang tadinya
lambat mendadak semakin cepat. Ulahnya itu semakin
membuat rasa geli nikmat pada mulut kemaluanku semakin
tak tertahankan olehku.Dalam waktu singkat aku kembali
terpekik.
"AAAAWWWWWWWW....MAMAAAAANGGG!!"
Mang Gimin berhasil membuatku kembali orgasme! Letupan
kali ini sungguh tak terkira nikmatnya. Bahkan jauh lebih
nikmat ketimbang dari orgasme yang dihasilkan oleh jilatan
mang Gimin. Tubuhku mengejang disertai hilangnya
kesadaranku saat hal itu terjadi. Kesepuluh jemariku secara
spontan mencengram paha mang Gimin yang keriput dengan
kuat. Sementara itu mang Gimin sendiri menggeram hebat.
"GRRRHHHAA!! Oeenakk tenaaann!!!"
Seper sekian detik kemudian kurasakan sesuatu memancar
kuat dari ujung penisnya.
CROOOOTTTTT!!! Itu pasti 'pipis enak'nya mang Gimin seperti
yang di maksudkan oleh mbak Narti.
CROOTTT!!!....CROOOTTTTTTT!! Dia terus saja menembakan
pipisnya ke dalam punyaku. Rasanya hangat. Penis mang
Gimin berdenyut-denyut dengan kuat....mengempis..
mengembang seakan hendak meletus di setiap pancaran yang
terjadi. Setelah lebih satu menit berlalu barulah semua proses
orgasmeku berakhir. Aku masih memejamkan mataku
mencoba menstabilkan nafasku sambil meresapi sisa-sisa
kenikmatan hebat itu.
"Gimana, enak kaaan?" tanya mbak Narti. Kudengar juga
suara tawa mang Gimin terkekeh-kekeh. Sepertinya dia
bangga sekali berhasil membuatku mencapai kepuasan
tertinggi secara bersamaan barusan.
"Iyahh mbakk..enak sekaliii" jawabku masih tersengal-sengal.
Ini adalah seks pertamaku. Dan aku merasa beruntung dapat
merasakan penis lelaki tanpa harus kehilangan
keperawananku.
"Eh, Kang cabut dulu!"ujar mbak Narti tiba-tiba sambil
mendorong perut suaminya menjauh sehingga penis mang
Gimin tercabut lepas dari vaginaku.
Aku heran ketika Mbak Narti menahan kangkanganku. Ia
mendekatkan wajahnya ke situ.dibukanya bibir vaginaku yang
masih setengah menganga karena baru saja dimasuki alat
vital suaminya. Dengan telaten di singkirkan-nya lelehan
sperma mang Gimin yang menutupi mulut vaginaku.
"Ada apa sih mbak?'
"Hmm... amannn!"katanya lega. Setelahnya aku baru mengerti
ternyata ia tengah memeriksa selaput daraku dan
memastikannya masih utuh.
"Lagi ahh!" ujar mang Gimin langsung menjejalkan penisnya
kembali.
"Awwwww mamaangggg" akupun terpekik lirih saat menerima
hujamannya. Vaginaku menjadi sangat sensitive setelah
orgasme tadi sehingga rasa gatal dan geli begitu menjadi-
jadi. Kamipun mengulangi apa yang sudah kami lakukan tadi.
Mang Gimin banyak melakukan hal-hal baru kali ini. Ia
mengecupi seputar leherku. Tak hanya itu aku terpaksa
menerima ciumannya pada bibirku untuk yang pertama kali.
Kurang dari satu jam seluruh tubuhku sudah ia jamahi...ia
nodai kecuali satu tempat yaitu liang senggamaku mulai dari
bagian selaput dara hingga ke arah rahimku. Di sesi yang
terakhir keintiman kami berlangsung dalam waktu yang
sangat lama namun begitu aku belum juga mendapatkan
orgasmeku. Pasalnya mang Gimin menjahiliku. Ia kerap
menunda-nunda setiap kali aku akan sampai pada orgasmeku
dengan berulang kali mencabut lepas penisnya. Tentu saja
ulahnya itu sungguh membuatku menderita.
"Mamangggg.....tusukinnn!" rengekku tak tahan lagi karena
ingin ia segera menuntaskannya..
"Udahh kang! Jangan di godain terus. Kasihan non
Sabrina"Kata mbak Narti agak kesal dan bosan karena harus
terus-terusan mengembalikan penis mang Gimin ke posisi
yang benar.
"Iyaahhh.. ini kakang juga sudah mau muncrattt!"jawab mang
Gimin terbata-bata. Lalu ia tusukan penisnya.
"UGHHHHHHH!!!!!"
Akhirnya aku mendapatkan apa yang kumau. Mang Gimin tak
lagi melepas-lepas kepala penisnya. Benda itu terus di
biarkan menancap ketat pada bagian pangkal
vaginaku..mengkedut-kedutkannya kuat-kuat...hingga aku
mencapai orgasmeku.
"AARRRRGHHHH MAAANGGG!!!!!"pekikku kali membahana
memenuhi kamar sempit itu. Aku merasakan akibat kejahilan
yang dilakukannya kepadaku tadi. Aku justru mendapatkan
orgasme paling enak ketimbang dua sesi sebelumnya.
Jemariku mencengkram pahanya kuat-kuat ketika hal itu
terjadi.
"GRAAAAAHEEGGGG!!!" Mang Gimin menggeram jantan. Ia
kembali melepas 'pipis enaknya' bersamaan dengan
kenikmatanku.
CROOOOTTT!!!..... CRRROOOOOTTTTT!!......CRRROOOTTTTT!!
Uuugghh! Nikmatnya. Setiap hentakan benih mang Gimin
terespon cepat oleh syaraf-syaraf kewanitaanku. Membuat
diriku hilang kesadaran.. Tubuhku seakan melambung ke atas
gumpalan awan. Seakan semuanya berubah menjadi putih.
Menit demi menit berlalu kesadaranku berangsur-angsur
pulih. Namun kini yang tersisa adalah rasa lelah dan kantuk.
Ketika aku membuka mataku kulihat wajah mbak Narti di
hadapanku sambil tersenyum kepadaku.
"Gimana? Masih pingin lagi?" tanyanya. Belum lagi aku
menjawab seketika itu juga kurasakan penis mang Gimin
kembali bergerak maju mundur menyodok-nyodok vaginaku.
Sepertinya ia belum puas jugamenghajarku.
"Mbakk.. Sabrinaa ngantukk..."jawabku lirih diantara rasa
nikmat akibat gerakan mang Gimin dan rasa kantuk
"Kang..sudah dulu. Sepertinya non Sabrina sudah kecapekan."
"Sekali lagi ajahh..uhh uhh" jawab mang Gimin masih secara
intens memaju mundurkan pinggulnya. Ia nampaknya masih
bersemangat sekali padahal ia juga sudah berkali-kali pipis
enak tadi.
"Kang! Kasihan si non. Diakan masih harus ke sekolah
besok...kalau kakang mau diterusin sama saya saja!."lagi-lagi
Mbak Narti mengingatkan mang Gimin.
"Iya juga he he he" ujar mang Gimin setelah melihat kondisiku
yang terkulai tanpa daya.
Lalu Ia menghentikan sodokannya namun ujung penisnya
tetap ia biarkan mengeram di dalam vaginaku. Ternyata
melakukan sebuah keintiman itu sangat meletihkan meski
aktifitas peting tadi lebih banyak di motori oleh mang Gimin
sementara aku sendiri di posisi yang pasif. Namun tenagaku
benar-benar habis oleh kekejangan-kejangan saat orgasme
melandaku secara nonstop tadi. Dan kini rasa kantuk yang
kuat menyergapku seiring kenyamanan pasca-orgasme. Aku
masih tetap tergolek menyamping di ranjang mereka di antara
ke dua suami-istri itu. Mang Gimin mendekap pinggangku dari
belakang sementara mbak Narti berada di depanku. Aku
taklagimempunyai sisa tenaga buat berjalan menuju ke
kamarku. Keinginanku saat ituhanya satu. Langsung tidur.
"Ndak pa pa. Tidur saja di sini non"ujar Mbak Narti sepertinya
maklum dengan kondisiku. Ia lalu menutupkan selimut
ketubuh telanjangku.
"Makasih mbak...." bisikku
"Iya" Mbak Narti tersenyum
"Sama mamang juga..."bisikku lagi.
"Tuh kang. Kakang dengar tidak?. Barusan si non bilang
terima kasih ke kakang" Sambung mbak Narti. Mbak Narti
membelai-belai rambutku sehingga kesadaranku semakin
menjauh.
"Enak ya kang?" Tanya Narti kepada mang Gimin. Samar-
samar aku masih dapat mendengar ia berdialog dengan
suaminya.
"Jelas enak toh nduk. Sayangnya cuma bisa di celup."
"Jangan serakah, kang! Di awal tadi kita sudah sepakat dan
kakang juga sudah berjanjin dak bakal merusak 'segel'-nya si
non sebab walau bagaimanapun dia itu putri majikan kita.
Sudah untung kakang bisa ngerasai segitu itu!" ujar Narti
mengingatkan suaminya itu. Rupanya mang Gimin berhasrat
menusukan penisnya secara penuh ke dalam vaginaku.
"Iya, kakang tahu itu. Kakang kan cuma berandai-andai toh
nduk. Habis baru kali ini kakak begituan sama gadis seperti
dia. Sudah molek, punya kulit putih bening, terus body ne
manteb lagi!." ujar mang Gimin merinci satu persatu apa saja
yang dimiliki tubuhku yang membuatnya kagum.
"Iya. mirip bule banget nona kita ini ya, kang. Sampai
jembutnya saja rada-rada pirang gitu" mbak Narti menimpali.
Menit demi menit berlalu. Dan aku tak lagi bisa mendengar
percakapan mereka ketika kantukku sudah menutup semua
pancaindraku.
###########################-
Begitulah awal dari hubungan antara aku, mbak Narti dan
mang Gimin. Pasangan suami istri itu telah membukakan
gerbang kedewasaanku malam itu sekaligus merengut
kesucianku meski secara teknis aku masih tetap perawan.
Secara perlahan aku mulai mengerti soal keintiman di antara
seorang lelaki dan wanita. Sejak kejadian malam itu pula
tiada lagi hari dan malam tanpa petting. Aku sungguh menjadi
ketagihan dan tak malumeminta kepada Mang Gimin untuk
mengulangi kenikmatan tersebut.Bahkan kini kami
melakukannya di dalam kamarku. Mbak Narti selalu mengikuti
jadwal mens-ku secara ketat sehingga ia tahu persis kapan
saat diriku sedang dalam keadaan subur atau tidak. Bila
tengah datang masa suburku maka mang Gimin tak ia
perbolehkan memuncratkan pejuhnya di dalam vaginaku.
Mang Gimin hanya bisa menuntaskannya pada mbak Narti.
Dengan bimbingan mbak Narti aku jadi mengenal banyak hal
baru tentang seks. Seperti melakukan seks oral! Awalnya aku
agak syok ketika melihat mbak Narti melahap penis mang
Gimin tanpa rasa jijik seakan benda itu adalah sebuah lolipop
yang lezat.Tetapi lama kelamaan aku justru ingin
mencobanya. Hingga pada suatu malam kulihat mereka saling
menjilat kemaluan satu sama lain. Mang Gimin terlentang di
bawah tindihan tubuh mbak Narti tengah mengobok-obok
vagina istrinya dengan mempergunakan jemari dan lidahnya.
Sementara mbak Narti sendiri berada di atas tubuh mang
Gimin dengan mulut terbuka lebar disesaki oleh penis
suaminya itu.Mbak Narti bilang yang sedang mereka lakukan
itu namanya posisi enam sembilan. Setelah mencontohkannya
padaku akhirnya tiba giliranku buat mencobanya. Ternyata
asyikk sekali. Kami dapat enaknya barengan. Selagi aku
orgasme mang Gimin memuntahkan pejuhnya di mulutku.
Malam itu untuk pertama kalinya aku mencicipi lendir
enaknya mang Gimin. Dan menurutku itu lezat sekali. Satu hal
lagi akupun jadi tahu persis soal anatomi alat vital lelaki.
Ukuran penis mang Gimin ternyata punya panjang tujuh belas
senti ketika iseng-isengaku ukur benda itu pakai mistar
sedangkan diameternya lebih besar sedikit dari lingkaran
yang dibuat oleh ibu jari dan telunjukku. Kata mbak Narti
penis mang Gimin lebih panjang dari penis pacarnya
terdahulu. Mang Gimin juga memiliki stamina bak kuda liar
meski mungkin orang bisa tertipu oleh penampilan fisiknya.
Dan yang teristimewa dari mang Gimin sekaligus membuat
mbak Narti tergila-gila padanya adalah otot-otot Tantra-nya
yang kuat. Penisnya yang tengah mengacung akan melenting
kuat ke atas dari posisi sedikit menggantung hingga
menghantam perutnya bila ia kedutkan. Bayangkan...betapa
nikmatnya bila benda itu di hentakan kuat-kuat seperti itu
saat dia berada di dalam liang senggama. Aku sendiri sudah
pernah merasakan kehebatan mang Gimin itu saat ia
mempetingku. Semenjak itu pula aku jadi tak lagi bisa
menerima tamu cowok di rumah. Sebagai seorang gadis
rupawan sekaligus merupakan primadona di sekolahku jelas
banyak sekali pemuda yang ingin mendekatiku. Tetapi mereka
semua selalu berhasil dihalau oleh mang Gimin sekalipun
mereka cuma beralasan ingin mengerjakan tugas kelompok.
Meski demikian aku tak ambil pusing terhadap sikap
protektifnya. Entah mengapa semenjak dicabulinya aku sendiri
tak merasa tertarik bergaul dengan pria lain apalagi sampai
menjalin hubungan cinta-cintaan. Bagiku mang Gimin seorang
sudah sangat cukup komplit. Dia supirku, teman bercandaku,
pelindungku sekaligus kekasihku.
"Dasar cowok kota bisanya cuma ngejual tampang sama
ngehambur-hamburin duit orang tua saja!" ocehnya pada
suatu sore setelah mengusir seorang cowok teman sekelasku
yang mencariku.
"Kang..kang! Biarkan saja orang mau bertamu. Lagian wajar
saja banyak lelaki yang dateng. Lah wong Nona kita itu
emang ayu kok!"
"Kamu itu ndak ngerti, Nar!. Aku cuma mau melindungi nona
kita dari para lelaki iseng"
"Dari mana kakang tahu kalau mereka itu lelaki iseng?"
"Ya dari nganu...eng..yaa itu!" ujar mang Gimin tak bisa
menjemukan jawaban yang pasti.
"Itu! Nganu! Bilang saja kalau kakang cemburu sama mereka.
Takut nona kita kecantol sama salah satu dari mereka. Ya
kan?!"cibir mbak Narti.
Mang Gimin hanya nyengir malu sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal karena mbak Narti mampu
menebak pikirannya dengan tepat.Sementara aku sendiri
tertawa geli mendengar perdebatan kedua suami-istri itu.
"Iya sih, Nar. Aku memang cemburu sama pemuda-pemuda
itu..." masih kudengar ucapan bernada lesu mang Gimin
kepada mbak Narti.
Ia letakan sapu lidinya dan duduk di atas sebuah batu. Mbak
Narti menggeleng-gelengkan kepala melihat suami tuanya itu
bertingkah bagai seorang pemuda yang tengah kasmaran itu.
"Kang! Kakang itu ngaca dulu dong!. Kakang ndak bisa
berharap memiliki dia seperti aku dan istri-istri kakang dulu.
Bagaimanapun juga non Sabrina itu pantas mendapatkan
jodoh yang sepadan buatnya. Dan suatu hari nanti hal itu
pasti akan datang juga." Timpal mbak Narti. Jelas
pembicaraan itu tengah membahas diriku.
"Aku tahu nduk. Tapi... setidaknya aku pingin sekali jadi yang
'pertama' buat non Sabrina, nduk! Nona kita itu membuat aku
serasa muda kembali"
"Kubur saja angan-anganmu itu, kang! Bukankah sudah dia
katakan jika dia ndak mau memberikan yang satu itu kepada
kakang. Justru sebaliknya saya kuatir non Sabrina bakal
membenci kakang jika kakang nekat melakukannya! Saya
heran sekali kakang ndak pernah puas. Masih untung saya
mau membantu hasrat terpendam kakang itu "
"Aku bakal menunggu saat yang tepat nduk. Sampai dia
merasa 'siap' dulu untuk yang 'satu' itu."
"Hhhhhhh... Terserahkang Gimin! Pokoknya aku sudah
mengingatkan!. Kalau ada apa-apa kang Gimin tanggung
sendiri resikonya."
Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Aku mengerti
dengan maksud pembicaraan mereka. Rupanya hasrat besar
mang Gimin kepadaku sudah ada sejak lama. Kesempatan itu
baru bisa terlaksana akibat rasa penasaranku dan atas
batuan mbak Narti. Namun mbak Narti menghargai prinsip
dan keinginanku untuk tetap mempertahankan
keperawananku. Sebenarnya aku sendiri terkadang kepingin
juga merasakan bila vaginaku dipenetrasi secara penuh oleh
penisnya mang Gimin. Dan aku tahu kenikmatannya pasti jauh
lebih besar ketimbang cuma melakukan peting seperti yang
sudah aku alami. Apalagi setiap menyaksikan persetubuhan
panas mereka berdua. Pekik-pekik kenikmatan mbak Narti
begitu mendebarkan. Aku ingin juga seperti dia.. Merasakan
kedutan-kedutan besar itu jauh di dalam relung
kewanitaanku.. Namun ucapan mami tetap saja membuatku
takut melangkah lebih jauh. Aku tak ingin bila dicampakan
oleh lelaki yang menjadi suamiku kelak bila ia tahu aku sudah
tidak perawan lagi di malam pertama.
#################################
Hubungan aneh diantara kami terus berjalan selama kira-kira
beberapa bulan ke depan. Hingga semua ketenangan itu
terganggu ketika pada suatu hari mbak Narti secara
mendadak memaksa mang Gimin untuk menceraikannya. Aku
juga kaget mendengar kabar itu. Selama ini tak pernah satu
kalipun aku melihat mereka bertengkar. Jikapun ada itu hanya
sebuah perdebatan kecil yang langsung terselesaikan saat itu
juga. Aku berusaha mencari tahu penyebabnya dengan
bertanya pada mang Gimin. Ia mengatakanbahwa mbak Narti
telah main mata dengan mantan pacarnya di kampung dulu
yang kini memiliki kehidupan sukses setelah menjadi TKI ke
luar negeri. Baru kuketahui juga jika kepada lelaki itu pula
mbak Narti menyerahkan keperawanannya. Mereka bahkan
sudah berencana menikah setelah mbak Narti mendapatkan
izin cerai darimang Gimin.Dengan berat hati mang Gimin
terpaksa mengabulkannya. Ia tahu mbak Narti tetap juga akan
pergi meski tak ia ceraikan.
"Mbak?! Kenapa tega sekali terhadap Mamang?" protesku
pada mbak Narti saat ia sedang mengemasi pakaiannya.
Sepertinya tidak tersinggung dengan ucapanku. Ia hanya
tersenyum getir.
"Non...Mang Gimin adalah pria yang baik. Bersamanya
hidupku penuh dengan gairah meledak-ledak. Tapi dia
bukanlah type seorang suami apalagi bapak yang ideal bagi
sebuah keluarga. Umur mbak semakin hari semakin tua.
Seorang wanita hanya memiliki kesempatan selagi ia masih
muda. Dan mbak tak ingin semuanya menjadi terlambat."
Pada saat itu aku masih belum mengerti dengan ucapannya
itu. Baru sekarang aku paham maksud mbak Narti kala itu.
"Saya tidak paham maksud, mbak?"
"Hhhhhhh....." kudengar ia menghela napas "Kamu ini masih
bau kencur, non. Kelak kamu akan mengerti maksudku"
"Tapi kasihan mamang sendirian..."ujarku. Aku masih belum
menerima ia meninggalkan mang Gimin. Aku mengganggap
mbak Narti telah salah melakukan hal ini. Dan aku sungguh
berharap ia mau berubah pikiran dan mengurungkan
kepergiannya.
"Percayalah....meski mbak pergi namun mang Gimin ndak
bakal kesepian sebab dia sudah punya pengganti diri mbak
yang jauh lebih baik"
"Ganti? Siapa yang Mbak maksud?" tanyaku. Aku sempat
mengira kemungkinan yang dimaksudkan mbak Narti itu
adalah salah satu istri mang Gimin yang lain.
"Ya orangnya itu kamuu toh nduk!"jawab Mbak Narti sambil
mencubit pipiku gemas
"A aaku, mbak?"
"Iya kamu. Hi hi hi" ujarnya sambil memperdengarkan tawa
khas-nya.
Aku justru bertambah bingung namunaku tak tahu harus
berkata apa-apa lagi saat ia 'mengangkat kopernya.
Nah Non, mbak pamit dulu sekarang. Dan mbak titip mang
Gimin padamu,ya..." ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Aku
ikut-ikutan jadi terharu. Tak kusangka ternyata mbak Narti
masih memiliki perhatian terhadap mantan suami tuanya itu.
Keputusan mbak Narti benar-benar sudah bulat dan tak dapat
dicegah lagi. Akhirnya dia pergi meninggalkan kami hari itu.
Bersambung ke Chapter-16
Bunga-bunga terakhir buat Alfi
Bagian 2: Hasrat dan derita Sabrina

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.