Rabu, 11 Maret 2015

Eliza 4: Semalam di Rumah Jenny

I. Akibat Rusaknya Mobilku


Sambil menunggu bel masuk sekolah siang, aku bercanda dengan
Jenny, teman sekelasku yang duduk sebangku denganku. Kami tertawa
riang, menggosip dan kadang saling menggoda.
Aku kenal dengan Jenny sejak awal masuk SMA, walaupun waktu itu
kami belum sekelas. Sifat Jenny yang periang membuat aku cocok
sekali dengannya dan dan kami dengan cepat menjadi teman baik. Aku
jadi sering mengobrol dengan Jenny setiap kami bertemu.
Jenny, anaknya cantik, tubuhnya yang sedikit lebih pendek dariku, yaitu
155 cm, terlihat sangat ideal dengan berat badannya yang cuma 41 kg.
Sama seperti aku, ia juga gadis Chinese, berambut lurus, hitam dan
panjang sampai ke punggung. Kulitnya putih sekali, sedikit lebih putih
dariku.
Kami berdua suka saling memuji kecantikan masing masing. Kalau
menurutku, ia memang cantik sekali, bahkan kokoku yang pernah
melihatnya main ke rumahku juga mengatakan ia cantik, padahal
kokoku termasuk cerewet untuk ukuran cewek.
Dan hari ini ia menggosip tentang adanya informasi bahwa kami akan
pulang cepat.
"Eliza, kamu tahu nggak, nanti kita bakal pulang cepat nih!", katanya
dengan senyum bahagia.
"Memangnya ada apa Jen", tanyaku penasaran.
Info yang dia dapat biasanya akurat nih, maka aku jadi senang.
"Katanya guru guru akan rapat, jadi kita akan pulang pada jam istirahat
pertama", jawabnya dengan senyumnya yang lucu, membuatku tertawa.
Kini aku menunggu dengan penasaran, apakah memang kita kita
bakalan pulang pagian. Aku sudah membayangkan, akan pergi ke
Tunjungan Plaza, jalan jalan atau mencoba makanan baru di sana.
Benar saja, pada waktu bel berbunyi, seperti biasa kami berdoa
dipimpin oleh salah satu guru, yang waktu selesai doa, mengumumkan
kalo hari ini pelajaran berlangsung setengah jam per jam pelajaran, dan
kami akan pulang pada jam istirahat pertama karena guru guru akan
rapat.
Artinya, 1 jam lagi dari sekarang, yaitu jam dua siang, kami bebas dari
aktivitas sekolah. Jenny langsung mengiyakan ketika aku mengajaknya
pergi ke Tunjungan Plaza sepulang sekolah nanti. Kami melewati dua
jam pelajaran ini dengan gembira sehingga tak terasa sudah waktunya
kami bersenang senang.

Sempat terbersit di
pikiranku, untung deh
hari ini nggak sampai
jam terakhir, geografi
yang diajar oleh pak
Edy, yang kemarin
Sabtu dengan tak tahu
malunya ikut andil
waktu aku digangbang
di UKS itu. Jadi
teringat, dia cepat
keluar, dan penisnya
lembek. Mungkin dia
akan segera impoten
kali?
"Hei Eliza, siang siang
ngelamun, awas
kesambet lho!" seru
Jenny sambil menepuk
bahuku dengan keras,
membuat aku amat
kaget.
Dengan pura pura
marah aku mengejar Jenny yang kabur menghindari cubitanku. Kami
akhirnya masuk ke mobilku setelah Jenny menemui sopirnya dan
menyuruh bapak itu langsung pulang. Dan kami segera berangkat
menuju Tunjungan Plaza.
Perjalanan itu lancar lancar saja, sampai tiba tiba ketika di jalan Basuki
Rahmat entah kenapa laju mobilku jadi tersendat sendat.
"Aduh.. apaan sih? Masa mobil baru kok sudah mogokan?", omelku
dengan sebal.
"Sabar Eliza, yuk kita minggir dulu deh. Itu kebetulan di sebelah kanan
ada bengkel buat mobilmu lho", hibur Jenny.
Aku baru ingat, kebetulan di sebelah kanan ada Istana Mobil Surabaya
Indah (IMSI), showroom sekaligus bengkel, tempat papaku membelikan
mobil ini untukku.
Maka aku menyalakan lampu hazard mobilku, dan dengan susah payah
akhirnya aku berhasil memasukkan mobilku yang jalannya tersendat
sendat ini ke dalam parkiran IMSI, dan mungkin karena agak lambat,
tadi sempat diiringi klakson dari mobil yang ada di belakang mobilku.
Aku menggerutu dalam hati, orang orang di belakang itu tak sabar
amat sih, masa nggak bisa memaklumi mobilku yang lagi rusak. http://
kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/
Di dalam bengkel, aku melaporkan keluhan tentang mobilku. Yah,
paling tidak reaksi mereka cukup bagus, dan segera memeriksa
mobilku. Ternyata ada spare part yang rusak, tapi mereka lagi
kehabisan stok, dan mereka berjanji paling lambat besok siang mobilku
sudah selesai diperbaiki, karena sekarang juga mereka pesan dari
Jakarta.
"Yah, Jen... hari ini pulang naik taxi deh. Nggak apa apa kan? Aduh..
kalau tau bakal begini, tadi sopirmu nggak usah disuruh balik dulu ya"
kataku pada Jenny.
"Kalau gitu kamu nginap aja sekalian di rumahku Eliza. Menghemat
uang taxi, dan besok kan kamu bisa kuantarkan dulu ke sini", Jenny
malah menjawab dengan ide yang menyenangkan.
Aku mengangguk senang. Kira kira sudah tiga kali aku menginap di
rumah temanku ini untuk bikin tugas kelompok. Keluarganya ramah,
ortunya baik denganku, juga adiknya Jenny. Jenny adalah anak tertua
di keluarganya, dia punya seorang adik laki laki yang masih berumur 12
tahun, Denny namanya.
Soal baju, sama sekali tak masalah. Aku bisa pinjam bajunya Jenny,
karena tubuh kami memang seukuran, mulai dari pinggul, pinggang
sampai payudara kami seukuran semua. tinggi badan kami pun cuma
selisih satu atau dua sentimeter Setelah membereskan administrasi,
aku dan Jenny nggak jadi ke Tunjungan Plaza, tapi kami langsung
pulang menuju rumahnya dengan naik taxi.
-x-
II. Di Rumah Jenny
Kami tiba di rumah Jenny sekitar jam tiga sore. Jenny menekan bel
pintu rumahnya, dan tak lama kemudian seorang pria yang mirip
tengkorak hidup sangking kurusnya, muncul dari dalam dan membuka
pintu untuk kami.
"Pak, papa mama ada?", tanya Jenny ketika pintu rumahnya itu sudah
terbuka.
"Baru pergi semua non", jawab orang itu cepat.
"Ke mana?", tanya Jenny lagi.
"Katanya tadi mengantar Denny ke dokter gigi", jawab si tengkorak
hidup itu.
"O... ya udah makasih pak", kata Jenny yang lalu mengajakku masuk ke
dalam.
Ketika kami sedang melepas sepatu dan kaus kaki, Jenny tertawa dan
bercerita padaku, tadi sebelum pergi ke sekolah, ia melihat adiknya
menangis sambil memegangi pipinya.
"Ih... kok diketawain sih? Kan kasian sakit gigi gitu", aku mengomel
pada Jenny.
"Habis tadi itu tampang adikku lucu sekali deh. Eh Eliza, sambil
menunggu mereka pulang, kita nyantai di kamarku yuk!", ajak Jenny
sambil menggandeng tanganku.
Aku menurut saja, dan sesaat kemudian kami sudah asyik di dalam
kamar Jenny.
Musik kesukaan Jenny yang kebetulan juga kesukaanku mengalun
lembut. Sambil melihat lihat koleksi CD lagu milik Jenny, beberapa kali
aku dan Jenny mengobrol tentang lagu favorit dan artis penyanyi
kesukaan kami masing masing.
Jenny sedang bersantai di ranjangnya sambil membaca majalah, ketika
aku merasa ingin buang air besar.
"Jen... aku mesti ke WC nih", aku mengeluh pada Jenny
"Ya udah ke sana aja, kamu udah tau tempatnya kan" kata Jenny
santai.
Aku mengangguk dan segera pergi ke WC yang letaknya tak jauh dari
kamar Jenny ini.
"Eliza, nanti kamu tunggu di kamarku ya. Aku mau beres beres rumah
dulu, hari ini kebetulan pembantu di rumahku lagi pulang nih", tiba tiba
aku mendengar suara Jenny selagi aku masih ada di dalam kamar
mandi ini.
"Iya Jen", jawabku dengan suara yang cukup keras untuk memastikan
Jenny mendengar jawabanku.
Setelah aku selesai buang air, aku segera kembali ke kamar Jenny, dan
melanjutkan melihat lihat koleksi CD lagunya. Aku begitu asyik memilih
milih koleksi Jenny itu ketika tiba tiba jam dinding di kamar Jenny
berbunyi menunjukkan pukul 16:00.
Tiba tiba aku jadi merasa nggak enak. Masa aku diam saja bersantai
santai di dalam kamarnya Jenny, sementara Jenny lagi bersih bersih
rumah?
Maka aku keluar mencari Jenny untuk membantunya. Selain itu nggak
enak juga kan ditinggalkan sendiri di kamar orang lain seperti ini?
http://telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-school-girl-
series/

Aku mencari Jenny di semua ruangan rumahnya yang besar ini, cukup
lama, tapi tak kunjung menemukan Jenny. Ia seperti menghilang saja.
Aku melihat toilet, kosong. Mau membuka kamar adiknya atau ortunya,
segan juga. Kucari dia di ruang makan dan beberapa ruangan lain yang
sekiranya tak ada unsur privacy, juga tak ada.
Kini tinggal sebuah ruangan, yang dari dalamnya kudengar ada suara
yang cukup gaduh. Aku berpikir, mungkin saja Jenny ada di dalam
sana, sedang melihat pekerjaan para buruh sandal itu.
Orang tuanya Jenny memang membuka usaha produksi sandal jepit di
rumah, dan jam kerjanya antara jam delapan pagi sampai jam enam
malam.
Aku pernah melihat mereka. Ada lima orang yang bekerja di belakang
sana. Aku ingat dua orang di antara mereka tubuhnya tinggi besar dan
kekar, mungkin tinggi mereka hampir 185 cm.
Mereka berdua itu adalah Supri dan Umar. Aku mengetahui nama
mereka berdua ini waktu papanya Jenny memanggil mereka untuk
bantu mengangkat sebuah mesin, entah mesin apa, ke sebuah mobil
pickup.
Kulit mereka berdua ini sama sama begitu hitamnya. Bau badan mereka
nggak usah ditanya lagi, sama memusingkannya deh dengan bau tiga
pejantan di rumahku kalau mereka lagi keringatan. Dan wajah mereka
berdua ini, ampun deh, benar benar kacau.
Wajah Supri itu agak mengerikan, dengan penuh bopeng di hampir
seluruh wajahnya yang memang sudah amat jelek itu, jadi sebenarnya
bopeng bopeng ini cuma membuat wajah Supri ini sedikit lebih jelek
saja. Bisa kan bayangkan betapa amburadulnya?
Dan tentang Umar, kira kira monyongnya mulutnya itu membuatnya
mirip monyet kali. Kulit wajahnya juga bopeng, tapi tak sampai separah
Supri. Walau begitu, hal ini tak menolong sama sekali, tetap saja wajah
itu begitu jelek di mataku, benar benar nggak penting untuk dilihat deh.
Dan tiga rekannya yang lain aku juga pernah melihat. Aku tak tahu
nama mereka, tapi yang jelas wajah mereka bertiga ini tak lebih baik
dari kedua orang yang kutahu namanya ini. Ada yang giginya tongos,
mirip Boneng, cuma yang ini lebih parah kali ya.
Tubuhnya tak begitu besar, juga tidak tinggi, tapi bulu bulu badannya
amat lebat menjijikkan seperti gorilla saja. Yang satunya lagi,
rambutnya gundul plontos, bibirnya seperti sumbing. Gendut lagi,
perutnya buncit juga. Aduh... orang ini kalau berjalan, perutnya
bergoyang goyang seperti sebuah kantung lemak yang diayun ayunkan,
mengerikan lah pokoknya.
Lalu, orang yang terakhir ini tak kurang 'spektakuler'. Kontras dengan
si gendut tadi, orang ini bertubuh amat kerempeng, tulang tulangnya
seperti menonjol menegaskan kekurusannya, sekilas terlihat seperti
sudah tua dan penyakitan.
Padahal menurut Jenny orang itu usianya baru 32 taun, tapi menurutku
orang itu terlihat seperti sudah umur 45 taun lebih gitu. Sudah begitu
sama plontosnya, tapi kumisnya tebal sekali. Kedua matanya amat
besar, kalau dilihat lihat lagi, sekilas mirip tengkorak hidup berkumis.
Aku sering merasa tak nyaman jika berada di sekitar mereka. Pernah
aku diajak ortu Jenny melihat lihat tempat produksi sandal di belakang
rumah ini, setelah aku diberi sepasang sandal fashion dari salah satu
produknya. Aku terpaksa ikut melihat lihat, nggak enak kan kalo nggak
ikut? Dan waktu di tempat produksi itu, kurasakan tatapan mata
mereka berlima itu, penuh nafsu, seolah ingin menelanjangiku.
Risih sekali rasanya dipandangi oleh mereka. Dan aku teringat tadi, si
tengkorak hidup yang membuka pintu ketika kami pulang tadi, ia
sempat menatapku dan Jenny seperti akan menelan kami berdua bulat
bulat, sementara Jenny sempat terlihat agak canggung juga.
-x-
III. Menuju Malapetaka
Aku bimbang antara mencari Jenny atau kembali saja ke kamar
menunggunya. Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri
untuk mencari Jenny ke dalam sana, toh selama ini mereka tak pernah
berbuat macam macam.
Lagian, aku kan cuma masuk sampai ke pintu, melihat apakah Jenny
ada di dalam.
Maka aku masuk membuka pintu itu, dan aku baru ingat kalau aku
harus masuk lebih dalam untuk bisa melihat situasi ruang produksi itu.
Ketika aku sudah di dalam, aku melihat pemandangan yang benar benar
hampir membuat jantungku berhenti berdetak.
Empat orang laki laki yang bekerja di situ memang terlihat bekerja
seperti biasa. Tapi dengan pandangan tak percaya, aku melihat Supri
sedang menggenjot Jenny yang masih memakai seragam sekolah,
walaupun Jenny sudah tidak mengenakan rok dan celana dalam yang
sudah tercecer di lantai.
Jenny terlihat begitu pasrah, tampaknya mereka sedang melakukan
quicky sex, dan tak menyadari keberadaanku di tempat produksi ini.
Sementara empat orang yang sedang bekerja itu seperti tak perduli
dengan persetubuhan yang dilakukan Jenny bersama Supri
Seakan memang sudah takdir, tiba tiba angin bertiup begitu kencang
dan membuat pintu di belakangku, satu satunya tempat untuk keluar
dari tempat ini, tertutup keras, membuat mereka semua menoleh ke
arahku.
Tentu saja harusnya mereka menoleh ke pintu, tapi kini perhatian
mereka semua tertuju padaku, terutama Jenny yang kulihat begitu
pucat, mulutnya ternganga, tanpa mengeluarkan suara, matanya
menatapku seolah tak percaya aku ada di sini.
Setelah beberapa detik, aku tersadar akan bahaya yang mengancamku
sekarang ini. Aku berpikir kalau aku harus mencari bantuan, mungkin
dari warga sekitar atau siapapun untuk menyelamatkan diriku, juga
demi menyelamatkan Jenny.
Dengan panik aku memutar handel pintu itu, entah kenapa kali ini
rasanya sulit sekali terbuka, membuat semua sudah terlambat bagiku
untuk menyelamatkan Jenny, apalagi menyelamatkan diri.
Tubuhku yang mungil ini disergap oleh empat orang lelaki yang
mengerikan ini, kedua tanganku sudah ditelikung ke belakang seperti
polisi yang hendak memborgol penjahat tangkapannya.
"Aduuuh... sakiiit...", aku merintih kesakitan.
Tentu saja tak ada yang perduli, dan mereka menggiringku masuk ke
dalam, sambil meraba dan meremas payudara dan pantatku. Aku hanya
bisa meronta panik, namun jelas tidak ada artinya. Selain rontaanku
memang tak begitu kuat karena rasa sakit yang mendera pangkal
lenganku, seandainya aku tidak sedang ditelikung begini pun aku tahu
tak akan sanggup berbuat banyak menghadapi para buruh yang sudah
seperti kerasukan iblis ini.
"Jangaan.. jangan temankuu.. lepaskan dia.. bajingan kalian semuaaa....
Jangan Eliza...", Jenny yang berteriak panik meronta, berhasil
melepaskan diri dari Supri yang tak terlalu konsentrasi mendekapnya,
dan menerjang ke arahku yang sedang dalam cengkeraman empat orang
buruh ini.
Jenny dengan buas menghantam si gorila yang meremas payudaraku
hingga begundal itu kesakitan, melepaskan remasannya pada
payudaraku yang kanan sambil menyumpah nyumpah. Berikutnya aku
sampai tertegun melihat Jenny sudah akan menghantam si tengkorak
hidup yang meremasi payudaraku yang kiri ini. http://
kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/
Tapi tiba tiba tangan Jenny sudah ditahan oleh si gorila yang tadi
dihantam Jenny pertama kali, kini sudah tertelikung dengan mudahnya,
dan sebuah pisau yang biasanya digunakan untuk memotong tali
pengikat karung, sudah menempel di leher Jenny.
Supri menodongkan pisau itu dengan sikap yang mengancam sekali.
"Jangaaan... kalian jangan lukai Jenny... baik... baik... aku menyerah.
Tapi lepaskan pisau itu ya... tolong... jangan lukai Jenny... aku akan
melayani kalian, sungguh...", aku memohon dan mulai menangis
ketakutan.
Dalam kepanikanku, tadi aku berusaha memberikan penawaran sebagus
mungkin, yaitu pelayananku yang otomatis juga berarti tubuhku,
supaya mereka tidak mencelakai Jenny.
"Tolong... lepaskan Eliza.. dia gadis baik baik, masih perawan.. jangan
rusak dia.. cukup aku saja... tolonglah...", Jenny kini menangis tersedu
sedu, dan berkata di antara isak tangisnya.
"Jen, nggak apa apa Jen, aku sudah nggak virgin kok Jen", aku berkata
lemah.
Jenny memandangku tak percaya, sementara lima orang yang
menguasai kami ini tertawa menjijikkan.
"Wah jaman sekarang ini memang susah ya cari amoy perawan. Tapi
gak apa apa, yang ini.. siapa namanya tadi? Eliza? Kamu cantik sekali,
nggak kalah sama anak majikan kami", kata Supri sambil mencolek
daguku, membuatku hampir muntah betulan sangking jijiknya.
Sudah wajah amburadul gitu, masih bisa bisanya dia menghinaku.
Memangnya dia itu siapa sih?
"Teman teman, sekarang waktunya pesta amoy dulu. Ayo cepat kita
mulai, waktu kita tidak banyak, kira kira jam setengah tujuh malam
nanti majikan kita sudah pulang, dan kita akan lembur selesainya acara
pesta amoy ini, supaya bos tetap puas dengan kerja kita", sambung
Supri dengan gayanya yang menjijikkan, mungkin ia yang paling
berkuasa di antara para buruh ini.
"Eliza.. maaf ya... Aku harusnya tidak mengajakmu menginap hari ini,
maafkan aku ya Eliza", kata Jenny yang terlihat merasa sangat bersalah.
"Jen, nggak perlu minta maaf Jen.. bukan salahmu kok Jen.. Kamu kan
sudah menyuruhku menunggu di kamar, aku sendiri yang keluar
mencari kamu..." aku berusaha mengibur Jenny, walaupun aku berada
dalam situasi yang sama dengannya.
-x-
IV. Pembantaian Di Rumah Jenny
Jenny terlihat lemas saat kami digeret ke mess tempat para buruh ini
tidur. Aku melihat ada lima ranjang berukuran tanggung, untuk ukuran
satu orang saja. Ranjang ranjang itu berjajar dua dan tiga. Hawanya
tidak terasa pengap, mungkin karena ukuran ruang tidur yang besar ini.
Kini kami berdua sudah sepenuhnya berada dalam cengkraman lima
orang buruh ini. Dalam hitungan detik, aku dan Jenny sudah
ditelanjangi bulat bulat, pakaian kami sudah berserakan di lantai.
Mereka pun sudah bertelanjang bulat, siap memangsa dua amoy cantik
yang menjadi idola di sekolah kami.
Memang selain aku, Jenny juga salah satu bunga yang menjadi incaran
para kumbang jantan di sekolahku.
Acara pesta amoy ini dimulai oleh Supri dan Umar yang mendekati aku,
sementara tiga orang yang lain memegangi Jenny yang masih terlihat
tak terima melihatku jatuh ke tangan buruh buruhnya.
Aku sempat melihat jam di kamar ini, yang menunjuk pukul empat lebih
lima belas menit. Baru lima belas menit berlalu sejak aku mencari
Jenny sampai tertangkap para begundal ini. Entah sampai kapan
mereka akan menikmati tubuh kami.
Tapi aku tak punya banyak waktu untuk melamun, remasan tangan
Umar yang kekar dan penuh tenaga pada kedua payudaraku dari
belakang memaksa tubuhku menggeliat kesakitan. Tubuhku seolah
didekap Umar dari belakang, ia sibuk menghirup harumnya bau
rambutku, geli juga aku dibuatnya.
Supri mendekati kami sampai akhirnya aku terhimpit di antara tubuh
kekar dua orang buruh ini, lalu dengan santai ia meremas kedua
pantatku.
Oh.. aku mulai terangsang. Kini jantungku berdetak cepat bukan karena
takut, tapi karena nafsu birahi yang mulai melanda tubuhku ketika
kedua orang ini seolah olah sedang memperebutkan tubuhku, dan aku
merasa begitu sexy.
Tapi tetap saja aku terpaksa menolehkan kepalaku yang sempat
terbenam di dada Supri yang bidang. Bau tak sedap yang menyeruak
hidungku membuatku harus melakukan ini karena aku masih tak ingin
muntah.
Saat itu aku bertatapan dengan Jenny, yang terlihat menyesal dan
menatapku dengan berurai air mata, seolah ingin meneriakkan kata
maaf.
Aku menatapnya ingin mengatakan kalau aku tak menyalahkan dia
karena ini memang bukan salahnya, tapi gelora lautan birahi sudah
menghantamku, aku sudah hampir terhanyut sepenuhnya. Maka aku
hanya bisa menatapnya sayu sambil menggelengkan kepalaku, semoga
dia mengerti.
Kini aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, karena bibir vaginaku sudah
diraba lembut oleh Supri. Ia begitu pandai merangsangku, tak lama
kemudian cairan cintaku sudah mulai keluar sedikit. Aku mulai
mendesah dan menggeliat, tapi ini membuatku lebih terangsang lagi,
karena kulit tubuhku bergesekan dengan tubuh kedua buruh bejat ini
yang kulitnya terasa begitu kasar.
"Nggghh...", aku melenguh ketika jari tangan Supri tercelup masuk ke
dalam liang vaginaku
Ditambah dengan pelintiran pada kedua puting susuku oleh Umar, rasa
sakit sakit nikmat yang terus menyiksaku dari tadi, sudah membuatku
hampir orgasme.
Aku mulai mengejang keenakan, diiringi tawa mereka yang harusnya
terdengar menjijikkan, tapi aku sudah tak perduli, atau lebih tepatnya
sudah tak bisa perduli. Tubuhku memang lebih jujur dari aku, cairan
cintaku rasanya mengalir lebih banyak saat aku terus menerus
dirangsang seperti ini.
Nikmat ini sudah mengalahkan akal sehatku. Aku sudah takluk oleh
kedua buruh bejat ini, yang status sosialnya sama sekali tak sederajat
denganku.
Kedua orang ini semakin bernafsu menggumuliku. Dan akhirnya Supri
sudah bersiap siap untuk melakukan serangan pertama. Aku melihatnya
mengocok penisnya sebentar, dan aku memperhatikan seperti ya apa
penis yang akan segera mengaduk aduk liang vaginaku ini?
Penis itu sudah mengacung tegak, besar, agak bengkok ke atas
mendekati pusar perutnya. Pusar perutnya?? Baru aku tersadar, oh...
penis ini panjang sekali. Aku terbelalak ngeri, gairahku langsung
padam.
Gila, ini sih lebih panjang dari punya Urip, satpam yang mengeroyokku
di UKS kemarin lusa. Diameternya pun tak main main, seimbang dengan
kepunyaan sopirku. Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku, seolah
berkata jangan, dan Supri hanya tertawa terbahak bahak melihat
reaksiku.
Aku meronta tanpa daya ketika ia menyergap tubuhku, kedua pahaku
diangkatnya sampai aku sedikit lebih tinggi darinya, kemudian penisnya
yang ternyata amat kaku itu tak perlu ia bimbing untuk menembus liang
vaginaku. http://telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-
school-girl-series/

Baru masuk sedikit saja, aku sudah menggeliat kesakitan, namun aku
tak bisa kemana mana, tubuhku ditahan oleh Umar yang ada di
belakangku.
"Nnggggh... oooohh... ampuuuun paaaak...", aku melenguh dan
mengerang kesakitan saat penis itu sudah menancap setengahnya.
Supri hanya menertawakku. Tiba tiba aku terbelalak, kurasakan anusku
tertempel sesuatu, kiranya penis Umar yang juga sudah siap membobol
liang anusku.
Tak ada yang bisa kulakukan, aku tahu memohon supaya Umar tak
meneruskan niatnya adalah hal yang sia sia. Aku langsung lemas,
pasrah bersiap menerima semua penderitaan yang akan menderaku.
"Heeeengggghh... aduuuuuh... sakiiiit...", aku merintih.
"Non Eliza, tenang saja. Senjataku sudah aku beri yang licin licin.
Tadinya buat non Jenny, tapi sekarang buat non Eliza saja. Kan non
Eliza jadi mainan baru kami sekarang. Tapi nanti non Eliza pasti nagih
lho", bisik Umar dengan nada yang menjijikkan.
Ingin aku menamparnya, kurang ajar betul kata katanya tadi barusan,
tapi tak ada keberanian untuk melakukan itu. Tak tahu penis Umar ini
seperti apa, yang jelas tubuhku rasanya dirobek jadi dua bagian ketika
penis penis itu semakin dalam menembus liang vagina dan liang
anusku.
Dengan beberapa kali hentakan, akhirnya kedua penis itu menancap
sempurna, dan mereka mengerang karena penis mereka terjepit kedua
liang kenikmatanku yang masih sangat sempit ini. Sedangkan aku
merintih rintih kesakitan, tapi tak ada rontaan yang kulakukan.
Aku belum gila untuk melakukan itu, selagi liang vagina dan liang
anusku terasa sangat penuh seperti akan robek.
Rasa sakit yang menghantam selangkanganku ini benar benar
menyiksaku. Apalagi ketika Supri mulai menggerakkan penisnya sedikit,
sedikit dan akhirnya mulai memompa liang vaginaku. Aku menggeleng
gelengkan kepala kuat kuat, rasanya ingin pingsan saja.
Di tengah penderitaan ini, samar samar kudengar Jenny kembali
memohon pada mereka untuk menghentikan semua ini.
"Non Jenny, kalau non iri biar kami bertiga yang memuaskan non
sekarang", kudengar suara yang menjawab permohonan Jenny itu.
Jenny terdiam, dan aku bisa melihat Jenny tak bereaksi sama sekali
ketika tiga orang yang menahannya itu mulai mengerubutinya. Jenny
terus melihatku dengan tatapan sedih, membuat aku jadi terharu. Air
mataku mengalir pelan di pipiku. Ia masih memikirkan nasibku selagi
dirinya juga bernasib tak kalah buruk dibanding diriku.
"Lhoo, amoy kita menangis nih", ejek Supri.
"Masih sakit ya? Kontolku dan kontol Umar kegedean ya buat memek
Non? Sudah tak perawan kok masih seret gini Non? Kapan kehilangan
tuh perawan? Masih baru ya?", Supri terus menghinaku.
Aku membuang muka, tak sudi memperlihatkan wajahku pada buruh
bejat ini.
Aku berusaha bertahan dari rasa sakit yang luar biasa pada liang
vaginaku, dan aku sudah berada dalam keadaan antara setengah sadar
dan tidak. Tiba tiba Umar menggantikan Supri memegang pahaku,
hingga payudaraku sementara bebas dari remasan dan pelintiran tangan
jahil Umar.
Supri kemudian mengarahkan wajahku ke hadapannya dengan kasar,
karena sejak tadi aku selalu membuang muka, membuat keinginan
Supri untuk melumat bibirku sejak tadi tak pernah berhasil. Aku
memejamkan mata, berusaha tak melihat wajah amburadul dari orang
yang kini sudah melumat bibirku dengan ganas.
Cairan cinta di dalam liang vaginaku bertambah banyak, seolah
mengerti kalau harus melumasi dinding liang vaginaku yang sedang
dipompa sebuah penis besar.
Entah kenapa, rasa sakit di liang anusku mulai berkurang, padahal aku
tak merasa genjotan itu berkurang, malah mungkin makin gencar.
Mungkin anusku sudah mulai bisa beradaptasi menerima sodokan
sodokan penis yang tadinya begitu menyiksaku.
Aku tak bisa bernafas ketika lumatan pada bibirku itu semakin ganas.
Tanganku yang sejak tadi terjuntai lemas menunjukkan kepasrahanku,
kini kupakai mendorong muka Supri.
Tapi pagutannya itu tidak lepas juga hingga aku makin tersiksa karena
kehabisan nafas, dan aku memukul mukulkan tanganku pada bahunya
itu.
"Aahh... uhuuk..." aku terbatuk batuk dan sebisa mungkin bernafas
ketika akhirnya Supri melepaskan pagutannya pada bibirku.
Dengan nafas tersengal sengal, aku bersandar pada bahu Umar yang
ada di belakangku. Lemas sekali rasanya dipermainkan dua begundal
ini. Seiring dengan lenyapnya rasa sakit di liang vaginaku dan juga
liang anusku, aku mulai bisa merasakan nikmat dari pompaan penis
penis itu di selangkanganku.
Perlahan, gairahku kembali naik, nafasku mulai memburu. Jantungku
kembali berdetak lebih kencang, bahkan kini aku sudah tak
mendapatkan masalah ketika tubuhku sedikit menggeliat keenakan.
Benar benar aneh, rasa sakit itu memang masih ada, tapi sudah hampir
hilang.
Kini yang terasa olehku hanyalah rasa nikmat akibat teraduk aduknya
liang vagina dan liang anusku oleh penis penis yang besar ini. Aku tak
tahu kalau hal ini membuat Jenny takjub melihat ketahanan tubuhku,
karena ternyata dulu ia sampai pingsan pingsan saat pertama kali
diperkosa oleh para buruhnya ini, yang nanti akan ia ceritakan padaku
setelah pembantaian ini selesai.
Dan rasa nikmat yang kuterima ini makin lama makin menjadi. Aku
mulai merasakan ngilu yang nikmat pada kedua liangku ini. http://
kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/
"Ngghhh... ohhh.... Oooh...aduuuh... auuh... nggghhh", aku melenguh dan
melenguh, akhirnya tubuhku mengejang hebat.
Aku orgasme dalam sandwich-an Supri dan Umar di udara. Kakiku
melejang lejang, tubuhku menggeliat dan tersentak sentak sampai
tertekuk tekuk ke belakang, urat leherku rasanya menegang, sungguh
nikmat yang luar biasa, walaupun ini bukan multi orgasme.
Cairan cintaku membanjir dan semakin melumasi penis Supri yang jadi
semakin lancar menerjang dan memompa liang vaginaku. Aku tak tahu
sudah berapa lama berada dalam dekapan kedua orang ini, tiba tiba
Umar menggeram dan kurasakan tubuhnya sedikit berkelojotan.
"Oh... nooon Eliizaaa... enaaknya...", racau Umar.
Penisnya berkedut kedut, lalu menyemprotkan sperma dalam liang
anusku. Tak terlalu banyak, tapi terasa begitu hangat dan nyaman,
seolah menghapus rasa sakit yang sempat mendera liang anusku
dengan kejam.
Penis Umar memang mengecil dan terus mengecil, tapi sampai semenit
aku dipompa oleh Supri yang kelihatannya juga akan orgasme, penis
Umar belum juga lepas dari anusku.
Rasanya penis Umar itu masih lebih panjang dari penisnya pak Edy wali
kelasku. Bahkan dalam keadaan begini pun masih lebih keras. Aku jadi
semakin yakin, pak Edy itu mengalami gangguan ereksi. Tak salah jika
waktu itu Girno cs mentertawakan pak Edy.
Tapi yah... apa perduliku?
Tiba tiba penis Supri berkedut membuyarkan lamunanku, membuatku
memeluk lehernya. Supri akan orgasme, takutnya ia menjadi lemas dan
aku bisa terjatuh jika Umar melepaskanku. Reflek kakiku juga
kulingkarkan pada pinggangnya, hingga pegangan Umar pada pahaku
terlepas, juga penisnya yang semakin kecil tertarik lepas dari anusku
yang langsung terasa lebih lega.
Supri menggeram, penisnya yang tertanam makin dalam pada liang
vaginaku membuatnya tak tahan lagi, dan menyemprotkan spermanya
dengan gencar. Tangannya mendekap pinggangku erat, membuat aku
kembali merasa kesakitan, untungnya hanya sebentar.
Supri melepaskan penisnya, dan mendudukkan aku di ranjang, di
sebelah ranjang tempat Jenny dikerubuti tiga orang buruh tadi. Aku
memegangi bibir vaginaku yang liangnya tadi serasa dirobek robek oleh
penis penis raksasa yang menghunjami liang vaginaku ini.
Tapi lama lama sakitnya tak begitu terasa lagi, kini aku
mengistirahatkan tubuhku di ranjang itu, aku tiduran sejenak untuk
mengatur nafasku. Jangan tanya keringatku, begitu basahnya tubuhku
bahkan sampai rambutku basah kuyup seperti baru keramas saja.
-x-
V. Pembantaian Itu Berlanjut
Jam sudah menunjuk pukul lima sore. Ini berarti sekitar setengah jam
aku digenjot habis habisan oleh dua raksasa tadi.
Tapi semangat para buruh yang bahagia ini masih menyala nyala.
Kulihat Jenny sudah larut juga dalam keroyokan tiga buruhnya, mereka
mempermainkan Jenny yang terus mengejang sampai akhirnya
orgasme.
"Hnnnggghh.. aaduuuuh... ooohhh..", Jenny melenguh lenguh dan
tubuhnya itu mengejang sexy.
Ternyata Jenny mirip juga denganku kalau lagi orgasme, kakinya juga
melejang lejang, tubuhnya sedikit tersentak sentak. Ia juga melenguh
sexy, melepaskan gejolak nikmat yang pasti sedang menjalari sekujur
tubuhnya itu.
Kini, si Boneng yang akhirnya kuketahuhi bernama Satrio, mengambil
posisi di selangkangan Jenny, bersiap untuk melakukan penetrasi ke
nona majikannya. Sementara dua buruh yang lain, meninggalkan Jenny
dan mendekatiku.
Oh.. ternyata mereka berdua menginginkan aku. Aku hanya bisa pasrah
saat si tengkorak hidup yang ternyata bernama Rahman, sudah
memposisikan dirinya di selangkanganku. Kuperhatikan penisnya yang
kurus itu, panjangnya tak terlihat menakutkan bagiku.
Lenguhan Jenny kembali terdengar, rupanya Satrio sudah mulai
menggenjot tubuhnya. Entah mengapa, Jenny terlihat amat
menggairahkan bagiku, ketika aku melihat tubuhnya yang mulai
mengkilap karena berkeringat.
Sesekali tubuh Jenny yang mungil itu tersentak kecil, saat penis Satrio
menghunjam dalam dalam hingga terbenam seluruhnya pada liang
vagina Jenny.
Erangan sexy dari Jenny itu pasti menyulut gairah lelaki manapun,
sementara Jenny memandangku dengan sorot matanya redup dan sayu,
menunjukkan kalau dia sendiri sedang larut dalam birahi. Entah kenapa
jantungku berdegup kencang melihat tatapan mata Jenny itu.
Tapi aku tak bisa lama lama melihat keadaan Jenny, karena si buntalan
lemak yang ternyata bernama Harto itu, dengan bibirnya yang sumbing,
sudah menubruk tubuhku yang telentang lemas di ranjang, dan dengan
bernafsu sekali Harto memagut bibirku dengan bibirnya yang sumbing
itu.
Oh.. aku ingin menjerit dan melarikan diri menghindar dari makhluk
yang sangat menjijikan ini, tapi kakiku sudah direntangkan oleh
Rahman, dan aku tak bisa berbuat apa apa ketika selagi Rahman
melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku.
Harto terus melumat bibirku dan melesakkan lidahnya mencari lidahku,
hingga air liurnya yang bau, dan celakanya banyak itu, mengalir cukup
deras ke dalam mulutku.
Aku jadi gelagapan dan daripada tersedak aku terpaksa menelan air liur
itu. Rasa air liurnya itu... tak perlu aku bahas lagi, menjijikkan tak
karuan, membuatku ingin muntah.
Tangan kananku terjepit perut gendut Harto hingga tak bisa bergerak,
sementara tangan kirinya menahan kepalaku hingga aku tak mampu
menggerakkan dan menolehkan kepalaku untuk menghindar dari
terkamannya.
Dan ketika ia melihat tangan kiriku yang menggapai gapai seolah
sedang mencari pegangan, dengan kejam pergelangan tanganku yang
mungil ini dicengkramnya dan ditahan kuat kuat di atas kasur hingga
aku tak bisa menggerakkan tangan kiriku lagi.
Kini aku sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah, tapi herannya malah
membuat aku merasakan sensasi yang membuat jantungku berdegup
kencang. Perasaan tak berdaya ini membuat aku tanpa sadar
menyerahkan diri sepenuhnya.
Aku memejamkan mata, perlahan berusaha menikmati pagutan pada
bibirku, karena bagiku merasa diperkosa adalah hal yang tidak
menyenangkan. Daripada aku merasa tersiksa, mungkin lebih baik jika
aku membiasakan diri dan menerima semua ini dengan rela.
Lidahku mulai kutautkan pada lidah si sumbing ini. Aku sempat melihat
dari ekor mataku, Rahman melongo iri melihat apa yang terjadi di
depan matanya, mungkin karena ia sedang melihat pemandangan yang
langka baginya, ketika seorang amoy SMA sepertiku membalas
cumbuan seorah buruh sumbing yang wajahnya tak karuan.
Tapi sebuah kotak plastik kecil tempat menaruh kantung plastik untuk
bungkusan sandal hasil produksi di home industi Jenny yang melayang
dan mengenai kepala Rahman itu seolah membuatnya tersadar, dan
Rahman menoleh ke arah pelemparnya.
Umar tertawa ngakak, dan Rahman marah marah.
"Enak enak liat amoy konak, kepala kena ginian", omelnya sambil
memegang kotak plastik itu, lalu membuang ke lantai dengan kesal.
Kemudian Rahman memulai aktivitasnya kembali. Kedua kakiku
diangkatnya dan ditumpangkan ke pundaknya, dengan ini sodokan
penisnya akan terasa makin dalam. Rahman segera memompa penisnya,
mungkin rasa kesal akibat ulah Umar tadi membuatnya menyodokkan
penisnya dengan gencar.
Penis yang kecil itu mengaduk liang vaginaku yang penuh cairan
cintaku bercampur sperma Supri, menimbulkan bunyi kecipak yang
semakin menambah gairahku dan aku sudah bisa balas memagut bibir
si sumbing ini yang tadinya amat menjijikan bagiku.
Harto seakan tak puas puasnya melolohi aku dengan air liurnya,
sementara aku harus menelan semuanya jika tak ingin mulutku penuh
dengan air liur, apalagi sampai tumpah keluar dari mulutku, akan lebih
menyusahkanku.
Sementara itu aku hanya bisa sedikit menggerakkan pinggulku mencari
kenikmatan lebih pada liang vaginaku yang sedang diaduk aduk oleh
penis milik Rahman ini.
Akhirnya si sumbing puas juga menciumiku. Ia duduk diam sejenak
mengatur nafasnya yang tersengal sengal, perutnya terlihat naik turun
mengikuti tarikan nafasnya, benar benar membuatku kembali merasa
jijik. Setelah beberapa saat, Harto menaiki tubuhku, dan menindih
payudaraku.
Ya ampun, gajah bengkak ini tak sadar apa kalau tubuhnya berat
sekali?
Nafasku sampai mulai sesak, dadaku tergencet sampai serasa gepeng.
Ia menyodorkan penisnya yang sudah ereksi kencang itu ke hadapan
wajahku, untuk mendapatkan servis oral dariku tentunya.
Tapi ukurannya ini membuat ketawaku hampir meledak. Kecil sekali,
mengingatkanku pada penis mungil milik pak Edy, wali kelasku yang
bejat itu. Benar benar tak sesuai dengan tubuhnya yang besar hingga
penis itu terlihat semakin kecil saja.
Dengan menahan tawa, aku mulai mengoral penis mini ini. Sementara
itu, selangkanganku terasa makin nikmat dipompa oleh penis Rahman
yang memang tak terlalu besar ini, tapi cukup untuk membuat aku
sedikit melayang, apalagi dadaku dihimpit oleh pantat si gendut
sumbing ini, yang awalnya mendatangkan rasa sesak, tapi lama
kelamaan malah terasa sedikit nikmat.
Rasa sakit kadang menjalar dari liang anusku yang tadi dibobol penis
Umar. Rasa itu memang sedikit mengganggu, tapi malah mendatangkan
sensasi tersendiri bagiku. Tanganku mencengkram sprei tanda aku
sedang dilanda kenikmatan yang semakin memuncak. Akhirnya aku
orgasme, tubuhku mengejang, namun tak ada sentakan sama sekali.
Tubuhku yang mungil ini tak bisa bergerak dihimpit gajah bengkak
yang duduk di payudaraku, sementara kakiku yang tertahan di pundak
Rahman hanya bisa melejang kecil. Cairan cintaku dan keringatku yang
terus keluar sudah tak bisa membuat tubuhku terlihat lebih basah.
"Ooooh... memeknya amoy.. memang nikmaaaat...", Rahman meracau
keenakan, mungkin karena otot liang vaginaku yang berdenyut denyut
itu seperti memijat batang penisnya yang terbenam di dalam sana.
Tubuh Rahman bergetar, ia menggeram dan menyemprotkan spermanya
yang cukup banyak ke dalam liang vaginaku.
Aku yang sudah larut sepenuhnya dalam birahi ini jadi lepas kontrol.
Ketika Rahman menarik lepas penisnya dari liang vaginaku dan berjalan
di samping ranjang tempat aku dilanda kenikmatan ini, aku menjangkau
tangannya dan menarik ke arahku.
Kulumanku pada penis si Gendut kulepas, dan aku memandang Rahman
dengan tatapan sayu, menariknya semakin dekat hingga ia terpaksa
naik ke ranjang dengan dan menatapku dengan pandangan bertanya
tanya.
Aku menjawab dengan memegang penisnya yang masih belepotan
spermanya sendiri yang bercampur dengan cairan cintaku, lalu aku
menarik penis itu ke arah mulutku.
"Oalah non... kalau doyan peju, bilang saja terus terang. Nih silakan
menikmati pejuku", kata Rahman melecehkanku, tapi aku sudah tak
perduli lagi, atau lebih tepatnya aku merasa tak bisa menahan hasrat
untuk mengulum penis yang basah itu.
Aku terus mengulum batang penis Rahman itu, dan sesekali kusedot
dengan kuat, membuat Rahman mengerang keenakan. Setelah mencuci
penis itu di dalam mulutku, aku melepaskan kulumanku. Lalu aku ganti
mengulum batang penis Harto itu dengan penuh gairah.
"Hahaha... Amoy kita yang satu ini doyan peju toh. Kalo gitu aku kasih
minum peju yang banyak. Isep punyaku sampai keluar ya amoyku
sayang", kata Harto sambil tertawa tawa.
Aku tak menanggapi kata kata yang merendahkan dan menghinaku itu,
dan terus mengulum penis yang kecil ini. Kujilati memutar, dan kugigit
kecil, kukulum kembali dan kusedot kuat kuat, membuat Harto
mengerang keenakan, sampai akhirnya penis ini juga berkedut,
menyemprotkan sperma yang kental sekali, paling kental dari yang
pernah kurasakan di mulutku selama ini.
Rasanya tak terlalu gurih, cukup asin juga terasa agak asam. Aku terus
melumat dan menjilati penis itu sampai bersih dari sperma, dan si
gendut ini turun dari tubuhku dengan puas, lalu berjalan ke arah Supri
dan Umar, dan duduk di dekat mereka berdua.
Aku masih tersengal sengal, tapi aku kembali memperhatikan Jenny
yang masih digarap Satrio yang menggenjot Jenny dengan kasar.
Jenny sepertinya sudah di ambang orgasme, nafasnya mendengus
dengus mengikuti irama batang penis yang sedang memompa liang
vaginanya.
Kedua payudara Jenny diremas remas oleh Satrio, dan terlihat Jenny
menggeleng gelengkan kepalanya kuat kuat seolah tak kuasa menahan
nikmat yang menerjang tubuhnya.
"Hnnnggggghhhh... aaaaah... aduuuuuh....", akhirnya Jenny takluk juga,
ia melenguh lenguh keenakan ketika orgasme mendera tubuhnya.
Tubuhnya tersentak sentak beberapa detik, sementara kakinya yang
tertumpang di pundak Satrio melejang lejang. Jenny sedang dalam
puncak kenikmatannya, dan tubuhnya yang putih mulus dan indah itu
melengkung hingga pinggangnya terangkat sexy, kepalanya
menengadah ke belakang.
Satrio yang terlihat begitu menikmati tubuh nona majikannya yang tadi
sempat menghantamnya itu, tiba tiba menggeram tanda akan orgasme.
"Uunnngggghhh... oooooh...", Satrio melolong lolong dan tubuhnya
bergetar hebat.
Gerakan pinggulnya menunjukkan Satrio sedang menyemprotkan
spermanya di dalam liang vagina Jenny, yang sudah tergeletak tanpa
daya. Jenny terlihat kelelahan setelah orgasmenya yang hebat tadi.
Setelah puas, Satrio menarik lepas penisnya dari liang vagina Jenny,
dan menyodorkan penis yang belepotan sperma yang bercampur cairan
cinta nona majikannya untuk dioral nona majikannya itu sendiri.
Jenny pasrah saja dan membuka mulutnya yang mungil, lalu ia mulai
mengoral penis itu, mengulum dan menyedot, persis seperti yang
kulakukan sampai pipinya kempot. Selagi aku asyik menonton, tiba tiba
kurasakan kakiku direntangkan.
Aku segera melihat siapa yang melakukan itu, dan ternyata Umar yang
melakukan. Aku bergidik mengingat ia tadi menyodomiku, tapi saat
kulihat penisnya, ternyata bersih.
"Tenang non amoy yang cantik, sudah kucuci bersih kok. Kami memang
nggak suka mengotori memek yang jadi jatah bersama. Sudah, nikmati
saja non", kata Umar yang kelihatannya menyadari apa yang menjadi
kekuatiranku tadi.
Ia terus merentangkan kakiku, dan mengambil posisi di
selangkanganku. Aku dapat melihat penisnya, memang seperti
dugaanku, mirip sekali dengan penis Supri. Bahkan batang penis ini
juga menekuk ke atas.
Aku terdiam dalam kengerian, mengingat rasa sakit yang begitu
menyiksaku saat selangkanganku ditembusi penis Supri tadi.
Jam dinding menunjuk pukul setengah enam sore, ketika kurasakan
penis itu mulai menyeruak masuk mengisi liang vaginaku. http://
kisahbb.wordpress.com/category/eliza-series-by-diankanon/
Tubuhku mengejang dan bergetar ketika rasa sakit mulai mendera
selangkanganku lagi. Aku merintih perlahan, memejamkan mataku kuat
kuat, namun akhirnya terbeliak ketika dengan hentakan yang keras
penis Umar menghunjam seluruhnya dalam liang vaginaku.
"Ooooonnggghhh... aaaaaaghh..." aku melolong kesakitan, walaupun
harusnya liang vaginaku masih becek dan licin oleh sperma pejantan
pejantan tadi yang juga bercampur cairan cintaku.
Aku berusaha menahan sakit ini, berharap liang vaginaku segera
beradaptasi terhadap tusukan penis raksasa ini. Sementara aku
menggigit bibir menahan sakit, aku mendengar Jenny melenguh. Aku
sempat menoleh dan melihat, ternyata Supri sudah menggenjot Jenny
yang terus menggeliat dan sepertinya kesakitan.
Namun kulihat kali ini, Supri berlaku lembut. Kemudian Supri
membenamkan batang penisnya itu dalam dalam. Aku bisa merasakan
betapa sesak rasanya liang vagina Jenny sekarang, sama seperti liang
vaginaku yang penuh sesak terisi batang penis Umar.
"Non Jenny, saya minta maaf ya, tadi sudah menodong non pakai
pisau. Abisnya non jadi galak gitu, pakai main hantam. Kalau tidak
segera aku hentikan, ntar yang kena hantam non terus terusan kan bisa
balas nyakitin non. Daripada terjadi hal yang gak enak gitu, dan aku
sudah ingatkan Satrio tadi supaya nggak macam macam", kata Supri
sambil memandang ke arah Jenny yang hanya diam saja.
"Kami juga berpendapat, non Eliza ini harus digarap sekalian, supaya
tak melapor ke siapapun. Maaf ya non Eliza, kalau tadi kata kata kami
kasar. Habis, non Eliza memang cantik sih, nggak kalah sama non
Jenny. Sejak kami melihat non Eliza bulan Agustus lalu, kami semua
sudah ingin mencoba servisnya non Eliza. Akhirnya hari ini kesampaian
deh. Ya sudah, kita nikmati saja pesta sex ini ya", kata Supri sambil
mulai menggenjot Jenny dengan lembut, membuat Jenny mulai
melenguh keenakan.
Aku sempat berpikir, kurang ajar memang mereka semua ini,
memangnya kalau lihat amoy cantik, lalu boleh dipaksa untuk
menservis mereka? Apakah aku yang salah jika aku ditakdirkan
mendapat karunia wajah yang cantik serta tubuh yang indah?
"Pak Satrio, tadi itu, maafkan Jenny ya, soalnya Jenny nggak mau
ngeliat Eliza diginikan juga. Terima kasih ya pak Satrio tadi nggak
balas nyakitin aku...", tiba tiba kudengar suara Jenny yang membuatku
tertegun.
Tapi aku tak dibiarkan Umar untuk melamun lama lama, genjotannya
yang kini juga menjadi lebih lembut, membuat aku juga mulai merasa
nikmat, dan sodokan penis raksasa ini membuat aku mengejang
menahan nikmat.
Orgasme demi orgasme terus melanda kami berdua, membuat aku dan
Jenny sudah setengah sadar dengan tubuh yang terkocok kocok
dihentak hentakkan penis pejantan yang terasa memenuhi seluruh
tubuh kami. Ya, kami serasa menjadi betina yang diperbudak para
pejantan di tempat kerja mereka ini.
Tiba tiba, entah apakah ini sudah mereka rencanakan, bersamaan Supri
dan Umar mengangkat tubuh amoy yang sedang menikmati
orgasmenya, memeluk erat hingga kami berdua terangkat bangun dan
terpaksa melingkarkan kaki kami ke pinggang pejantan kami. Tangan
kami pun sama sama menggelayut ke leher mereka, dan dalam posisi
ini kami kembali digenjot, kali ini lebih gencar.
Dengan cepat aku dan Jenny dipaksa menggeliat akibat liang vagina
kami berdua teraduk aduk penis raksasa pejantan kami. Aku dan Jenny
melenguh lenguh bersahut sahutan, dan akhirnya orgasme mendera
kami yang berada dalam pelukan pejantan kami.
Kini aku dan Jenny sudah amat lemas. Dalam keadaan orgasme hebat,
kami pasrah menunggu keluarnya sperma pejantan kami dalam liang
vagina kami. Entah dengan milik Jenny, yang jelas milikku sudah tak
karuan rasanya, begitu becek dan mungkin sedikit bengkak.
Beberapa saat kemudian, aku merasakan penis Umar berkedut, dan di
dalam posisi ini, spermanya menyembur ke dalam liang vaginaku. Umar
terlihat kelelahan juga, dan mengangkatku sedikit hingga penisnya itu
terlepas dari vaginaku, dan kemudian ia menurunkan tubuhku ke
ranjang.
"Non Jenny... di dalam... atau di mulut...", kudengar Supri menggeram
dan dengan suara parau ia bertanya pada Jenny.
"Di dalam sajaah... Supp...", Jenny menjawab dengan suara yang
mendesah sexy.
Maka terlihat Supri mengejang dan gerakan pada selangkangan mereka
yang menyatu menunjukkan betapa mereka berdua sedang dilanda
kenikmatan yang amat sangat. Aku melihat campuran sperma dan
cairan cinta yang mengalir keluar dari bibir vagina Jenny saat penis
Supri sudah tercabut dari sana.
-x-
VI. Kisah Sedih Jenny
Maka selesailah penderitaan kami hari ini, mereka mempersilakan kami
kembali ke ruang dalam, sementara mereka beristirahat sesaat, lalu
meneruskan pekerjaan mereka yang tertunda. Aku dan Jenny berjalan
masuk ke dalam dengan langkah yang tertatih tatih.
Kami berdua sempat diam beberapa saat setelah berada di kamarnya
Jenny, dan tiba tiba Jenny melihatku sambil menangis.
"Eliza, kalau kamu mau memusuhi aku setelah ini, aku juga tak bisa
apa apa. Aku hanya bisa berharap, kamu mau memaafkan aku ya", kata
Jenny diselingi isak tangisnya.
Aku terharu dan memeluk sahabatku ini dengan iba, ketika aku baru
menyadari tubuh kami berdua ini masih bugil sama sekali. Saat itu
kedua puting susu kami sempat bersentuhan, dan harus aku akui
rasanya nikmat juga.
Hal itu sedikit mengejutkanku, tapi aku tahu kami tak boleh macam
macam. Nggak lucu kalau aku dan Jenny terlibat cinta sejenis, juga
mungkin Jenny bisa marah bahkan jijik padaku.
Maka aku berusaha memadamkan gairah yang sempat melandaku ini,
dan aku pikir aku harus menghibur temanku ini.
"Jeen, ini bukan salah kamu. Aku sendiri yang salah, sudah kamu
beritahu untuk duduk di kamar, tapi aku malah keluar dan nyariin kamu.
Malah tadi itu salahku juga sampai kamu ditodong pisau tadi. Terima
kasih Jen, kamu benar benar mati matian membelaku tadi, aku nggak
tahu mesti bilang apa... yang pastikita harus tabah ya Jen", aku berkata
dengan rasa haru teringat bagaimana tadi Jenny begitu tak rela
melihatku jatuh ke tangan para buruhnya.
Aku merangkul Jenny yang langsung balas memelukku. Tangis Jenny
makin tersedu sedu, dan aku membiarkan Jenny meluapkan emosinya
dengan cara seperti itu.
Setelah Jenny agak tenang, kami memutuskan untuk mandi bareng di
bathub kamar mandi. Jam menunjukkan pukul enam sore, dan kami
punya waktu sekitar setengah jam untuk mandi. Cukup lah, maka kami
segera memasukkan busa ke bathub yang tadi sudah terisi penuh.
Setelah itu kami berdua masuk ke bathub bersama sama.
Sudah tak ada rasa canggung di antara kami, toh dari tadi kami sudah
sama sama telanjang bulat saat dibantai di ruang belakang. http://
telurrebus.wordpress.com/category/eliza-high-school-girl-series/
Aku merasakan hubungan kami berdua sekarang semakin dekat. Aku
dan Jenny saling membilas tubuh kami, sambil aku mendengarkan
Jenny menceritakan tentang bagaimana ia bisa jatuh ke tangan para
buruh di rumahnya ini.
Waktu di tengah liburan kenaikan kelas satu SMA ke kelas dua SMA di
bulan Juli kemarin, Jenny dan Alex, mantan pacarnya, sedang di rumah
ini sendirian. Kemudian Alex memaksa Jenny untuk awalnya hanya
pegang pegang, lama lama meningkat menjadi remasan dan ciuman,
sampai akhirnya mereka telanjang, dan bersetubuh dengan penuh kasih
sayang.
Saat itu si Supri yang mengambil minum di dispenser yang memang
agak dekat dengan kamar Jenny, mendengar suara suara desahan dari
kamar Jenny.
Kesalahan Jenny dan Alex, pintu kamar Jenny tidak dikunci. Maka
Supri bisa mengintip dan mendapatkan Jenny sedang disetubuhi Alex.
Dengan nafsu yang ditahan, Supri masuk ke dalam kamar Jenny.
Dengan munafik Supri berkata kalau ia muak dengan tingkah laku Alex,
lalu mengancam akan melaporkan Alex pada ortu Jenny.
Hal itu membuat Jenny dan Alex ketakutan, dan Alex berkata kalau ia
bersedia melakukan apa saja supaya Supri tidak melaporkan kejadian
tadi pada orang tua Jenny. Maka Supri berkata pada Alex kalau ia tak
mau melihat batang hidung Alex lagi di rumah ini.
Jenny sampai merasa dadanya sesak karena jengkel sekali. Memangnya
si Supri ini siapa? Tapi Jenny sadar juga kalau Supri sudah memegang
kartu truf. Dan sejak saat itu, Alex terpaksa mengalah dan tak berani
muncul di rumahnya Jenny.
Tentang Jenny sendiri, setelah Alex pulang, maka Supri menunjukkan
belangnya. Supri mengancam Jenny kalau sampai berani mengajak
pacarnya ke rumah ini lagi, Supri pasti akan melaporkan ke papanya.
Dan selain itu, Jenny harus mau melayani Supri jika situasi memang
memungkinkan seperti sekarang, yaitu tak ada siapa siapa di rumah
selain Jenny dan Supri serta empat buruh yang lain.
Tak berdaya menolak, Jenny yang memang sudah tak perawan terpaksa
melayani Supri yang langsung membawa Jenny ke ruang produksi di
belakang rumah, di situ ia melayani hasrat para buruhnya ini.
Pertama kalinya Jenny sempat pingsan berulang kali, dibantai Supri
dan Umar yang ukuran penisnya besar sekali. Dan butuh sampai dua
hari baru Jenny mampu beradaptasi dan cukup kuat untuk melayani
mereka.
"Eliza.. kamu hebat ya.. bisa tahan digencet Supri dan Umar.. mereka
itulah yang membuat aku pingsan pingsan waktu dulu pertama kali
menjadi budak seks mereka", Jenny sempat sempatnya memujiku dan
membuatku menunduk malu, dapat pujian kok tentang ketahananku
saat disetubuhi.
Jenny melanjutkan ceritanya, bahwa sejak saat itulah, Jenny menjadi
budak seks mereka. Sering Jenny melakukan quicky sex dengan mereka
berlima sepulang sekolah. Alex akhirnya putus dengan Jenny, karena ia
tak tahan juga tak diperbolehkan oleh Jenny untuk datang ke rumah
Jenny lagi.
Jenny kembali menangis sedih mengakhiri ceritanya, dan Jenny merasa
menyesal sekali harus putus dengan Alex, lelaki pertama dalam
hidupnya, yang juga sudah mengambil keperawanannya, walaupun
Jenny memang rela memberikannya untuk Alex.
Aku memeluk Jenny dengan terharu, ikut menangis bersama Jenny
merasakan kesedihan yang dalam dari sahabat baikku ini.
"Eh Eliza, kok kamu bisa berkata tidak perawan lagi waktu bilang mau
melayani mereka semua? Itu tadi hanya akal akalanmu kan supaya aku
tak terlalu merasa bersalah? Aku tahu kamu itu cewek baik baik, kamu
nggak mungkin pernah berbuat macam macam. Kamu baik sekali Eliza,
kamu masih bisa bisanya coba meringankan bebanku waktu kamu
sendiri sedang ada dalam masalah... makasih Eliza, maafin aku ya", tiba
tiba Jenny berkata panjang lebar.
Aku kembali terharu, aku menggelengkan kepala, dan menceritakan
semuanya, dari mulai aku dijebak Girno cs di ruang UKS hingga
keperawananku terenggut oleh mereka, kemudian bahkan sejak
keesokan harinya, aku memulai kehidupan sebagai budak seks dari dua
pembantu dan sopirku di rumahku sendiri.
Jenny seperti tak percaya ketika mendengarkan semuanya, lalu
memelukku erat, kami kembali saling bertangisan seolah hendak
mengatakan kita berdua ini senasib.
Dan seiring berakhirnya ceritaku, kami juga sudah selesai mandi.
Setelah saling mengeringkan tubuh dan rambut kami, aku dan Jenny
sama sama memakai baju tidur satin yang nyaman, dan kini kami
berdua sudah terlihat segar.
Kami keluar kamar menjumpai ortu Jenny yang sudah pulang, dan kami
makan bersama seolah tak terjadi sesuatu, padahal tubuh kami rasanya
remuk. Hari yang melelahkan ini membuat aku dan Jenny jadi ingin
tidur lebih cepat, mengistirahatkan tubuh kami yang sudah dipakai para
buruh ini. Maka selesai makan kami segera menyikat gigi dan masuk ke
kamar, tiduran di ranjang yang empuk.
Kami mengobrol tentang banyak hal, tanpa menyinggung kejadian
buruk yang baru menimpa kami, sampai akhirnya kami tertidur. Entah
apa lagi permainan sex yang harus kami berdua alami bersama di
kemudian hari, yang jelas kami harus beristirahat sekarang ini.
(BERSAMBUNG)

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.