Jumat, 06 Maret 2015

Nightmare Sidestory: Campus SAL (Sex After Lunch)

Hari itu jam sebelas kurang di gedung administrasi pusat Universitas
******. Nampak beberapa orang sedang berdiri di depan pintu lift. Tak
lama kemudian pintu lift sebelah kiri yang menuju ke atas membuka,
lima orang masuk sedangkan sisanya menunggu lift berikut karena
berlawanan jurusan.
"Tunggu-tunggu, sori tahan bentar !" kata seorang wanita dari luar
sambil berlari-lari kecil menuju lift yang pintunya sudah mau menutup
itu.
Seorang pria dari dalam yang dekat tombol lift menahan tombol open
sehingga wanita muda itu tidak ketinggalan lift. Setelah pintu menutup
lift pun bergerak ke atas. Di lantai tiga seorang wanita 30an dan
seorang pria yang berseragam staff administrasi keluar. Lift naik lagi
hingga berhenti di lantai lima dimana pria yang menahan pintu lift tadi
turun dan di tingkat berikutnya seorang mahasiswi turun, sepertinya
dia hendak mengurus biaya kuliah karena di tingkat itu adalah ruang
bagian keuangan. Maka kini di lift tinggal dua orang saja, yaitu wanita
muda tadi dan seorang pria tambun.
"Emmm…Bu Rania yah !" sapa pria tambun itu sehingga si wanita
menoleh ke belakang dan agak kaget bagimana pria ini mengenal
dirinya.
Rania memang mengenal pria ini sebagai Pak Dahlan, kepala fakultas
arsitektur, tapi hanya sekedar tahu saja karena mereka tidak pernah
berhubungan karena jurusan berbeda dan Rania juga hanya dosen
muda dan hubungannya dengan dosen fakultas lain tidak terlalu luas.
Sekarang ini dirinya sedang hendak mewakili kepala jurusaannya yang
berhalangan hadir untuk mengikuti rapat umum di ruang rapat lantai
12.
"Mau rapat Bu ?" tanya pria itu.
"Eengg…iya…iya Pak" Rania tersenyum kecil menjawabnya lalu berbalik
lagi menatap indikator lift.
Walaupun bersikap sopan, namun Rania merasa tidak nyaman berada
satu lift dengan pria ini, entah mengapa instingnya mengatakan
demikian, dia merasa lift berjalan lambat sekali. Firasat tidak baik itu
terbukti ketika tiba-tiba ada tangan dari belakang menepuk pantatnya
dan meremasnya. Spontan Rania pun kaget dan membalikkan badan.
"Kurang ajar ! apa-apaan sih Pak !" bentaknya dengan marah.
"Hehehe…memangnya kenapa Bu, Pak Imron aja boleh kan ?" ujar Pak
Dahlan enteng.
Rania tertegun seperti disambar petir mendengar perkataaan pria itu.
"A-apa, apa…Bapak ngomong apa ?" suaranya terasa berat karena
terkejut.
"Nah kan bener, dari reaksinya aja saya tau tuh"
"Gimana mungkin dia tau ?" Rania bertanya dalam hati dan menyesal
karena tidak bisa menahan rasa nervousnya.
"Maksud Bapak apa…saya peringatkan jangan macam-macam Pak !"
gertaknya menutupi rasa gugup.
"Ah, Ibu ini masa gak ngerti sih maksud saya apa ? kita kan sudah
sama-sama dewasa Bu" katanya sambil mendekat dan meraih lengan
Rania "saya sudah tau semua Bu, masa sih ada dosen main lesbian
sama mahasiswinya hehehe…!"
"Bapak mengancam saya ya !" bentak Rania sambil menyentak
tangannya.
'Ting !' lift sampai ke lantai 12 yang dituju sehingga keduanya menjaga
sikap agar tidak terlihat mencurigakan.
"Pikirkan lagi yah Bu, saya dengar keputusannya setelah rapat"
katanya pelan sambil berjalan keluar dari lift dan sempat mencolek
pantat Rania.
"Huh…bangsat nih orang !" makinya dalam hati.
Disana sudah cukup banyak orang berkumpul, sebagian sudah
menempati kursinya di ruang rapat, sebagian lainnya masih di luar
ngobrol-ngobrol dengan rekannya atau merokok. Walau hatinya galau,
Rania berusaha agar dapat tersenyum dan berbasa-basi bila ada orang
menyapanya. Rapat pun akhirnya dimulai, Rania tidak bisa sepenuhnya
berkonsentrasi pada hal yang dibahas karena terganggu oleh yang
satu itu. Dia membalas senyum Pak Dahlan yang duduk berseberangan
dengannya itu dengan pandangan tajam, rasanya ingin melempar botol
air mineral mejanya ke wajah pria itu kalau saja emosinya meledak.
Hatinya makin membara ketika Pak Dahlan angkat bicara, pria itu jelas
sedang menyindirnya di depan dosen-dosen lain dengan berlagak sok
bermoral.
"Hhh…saya rasa kampus kita ini perlu merevisi tata-tertib agar lebih
ketat, soalnya belakangan ini saya dengar mahasiswa-mahasiswa kita
ini makin nggak karuan tingkah lakunya, mau jadi apa bangsa kita
kalau moralnya begini…yang lebih gila saya pernah dengar…ini nggak
tau benar atau nggak ya…dosen juga ada yang kebawa-bawa"
Rania menjaga sikapnya senormal mungkin agar para peserta rapat
tidak curiga, padahal dalam hatinya ia benar-benar marah pada pria
itu, atas sikapnya yang kurang ajar dan kemunafikannya yang
memuakkan.
Jam 12.15 rapat dihentikan sementara untuk jam makan siang dan akan
dilanjutkan jam 1.00. Rania buru-buru keluar dari ruang itu bersama
dua dosen wanita lainnya yang mengajaknya makan siang bersama.
Dia berharap dengan begitu dapat terhindar dari Pak Dahlan sementara
pria itu juga masih berbincang-bincang dengan seorang dosen lain di
ruang rapat.
"Aduh lama banget sih ! cepetan dong !" serunya dalam hati karena
merasa cemas pria itu akan menyusulnya.
Lift makin naik, namun ketika baru menunjukkan tiba di lantai 10, tiba-
tiba terdengar dari belakang namanya dipanggil, suara itu dikenalnya
dan tidak diharapkannya.
"Bu…Bu Rania tunggu sebentar, saya harus bicara dengan ibu
sebentar !" panggil Pak Dahlan, "Eh…maaf ngeganggu bentar yah…udah
pada pengen makan yah ?" sapanya pada dua dosen wanita yang
bersama Rania.
Rania tidak mungkin bersikap judes padanya disitu karena justru akan
mengundang kecurigaan orang.
"Oh…iya Pak ada apa yah ?" tanyanya dengan sikap ramah dibuat-buat.
"Hhmm…kalau Bu Nia buru-buru ya udah nggak apa-apa deh, hanya
masalah yang terlewat saja kok, saya pikir bisa dibahas sekarang
supaya Ibu lebih nyantai, nggak repot lagi ntar !" nada bicara Pak
Dahlan begitu kebapakan dan berwibawa bila di depan umum seperti
ini, sungguh pandai dia menutupi tabiat mesumnya.
Rania tahu apa yang dimaksud 'repot' oleh pria tambun itu sehingga
dengan terpaksa dia memilih berbicara dulu dengan pria itu dan
menyuruh kedua rekannya pergi makan siang tanpa dirinya.
"Maaf yah…saya ada urusan sebentar, kalian duluan aja deh ga usah
nunggu saya, ini ada urusan dikit. Biasalah kalau mewakili orang jadi
banyak yang harus diomongin hehehe…!" katanya pada kedua dosen
itu.
"Ya udah deh Bu Nia, kita duluan deh kalau sempat nyusul saja yah di
seberang !" kata dosen wanita yang gemuk itu sebelum masuk ke lift.
Begitu pintu lift menutup senyum di wajah Rania langsung berganti
dengan wajah masam yang diarahkan pada pria itu.
"Ada apa sih Pak ?" tanyanya ketus.
"Hehe…jangan galak gitu Bu, nggak enak kalau ada yang liat, gimana
nih jadi keputusannya ?" tanyanya kalem.
"Saya benar-benar ga nyangka kalau anda itu begitu menjijikkan !"
Rania melipat tangan dengan memandang jijik padanya.
"Jadi menurut Ibu kalau ada dosen main lesbian sama mahasiswinya
itu ga menjijikkan" balas Pak Dahlan.
Rania sudah mau menjerit dan menampar pria ini kalau saja dia tidak
ingat di ruang rapat sana masih ada orang sehingga dia hanya bisa
mengepalkan tangan dan menggigit bibir untuk melampiaskan
kekesalan.
"Ya itu sih terserah sama Ibu saja kok, saya nggak suka maksa orang,
paling akibatnya Ibu tanggung saja nanti" kata pria itu dengan tenang,
"ah…sekarang saya mau ke toilet dulu nih, kalau Ibu mau nyusul aja
yah ke lantai 14″
Pria itu lalu melangkahkan kaki menuju ke tangga. Rania diam terpaku,
hatinya gelisah tidak tahu apa yang harus diperbuat.
"Lho…Bu lagi ngapain sendirian ? Kok belum turun ?" sebuah suara
dari belakang membuyarkan lamunannya.
Pak Budi, si rektor universitas menyapanya dengan ramah, bersamanya
juga ada dua orang staff rektorat dan seorang dekan yang keluar
belakangan.
"Oh, ini Pak baru nelepon ke rumah, jadi belum sempat turun !"
balasnya menyapa dengan senyum dipaksa.
"O gitu, ya udah kita turun bareng sekarang !" ajak Pak Budi pas ketika
lift membuka.
"Eehh…saya nanti aja Pak, kalian duluan aja, saya masih harus nelepon
lagi, ada masalah keluarga" kata Rania terbata-bata seraya mengambil
ponselnya pura-pura mau menelepon.
"Ibu baik-baik aja kan ? masalahnya tidak serius kan ?" tanya staff
rektorat, seorang wanita paruh baya.
"Nggak, nggak apa-apa kok, biasa masalah di rumah, ntar juga bisa
selesai kok. Iya…gak apa-apa !" jawabnya.
"Ya udah Bu, semoga cepat selesai deh, kita duluan ya !" pamit Pak
Budi sebelum masuk lift.
Setelah lift menutup tinggallah dia sendirian di lantai itu dan
kembalilah kegelisahan itu melandanya. Sepertinya tidak ada pilihan
lain baginya selain menuruti apa yang diminta si dosen bejat itu,
lagipula dirinya toh sudah ternoda dan dua bulan terakhir ini sudah
beberapa kali terlibat hubungan seks dengan Imron, si penjaga
kampus, apa bedanya bila melakukannya dengan Pak Dahlan daripada
pria itu nanti 'bernyanyi' dalam rapat yang malah mempermalukannya
di depan umum. Maka Rania melangkahkan kakinya menuju tangga ke
atas ke lantai 14. Lantai 13 gedung itu kosong belum terpakai,
sementara ini hanya berfungsi sebagai gudang. Lantai 14 adalah lantai
teratas sebelum atap gedung, disana terdapat teater yang biasanya
dipakai untuk acara seminar, drama, atau pertunjukkan. Namun dihari-
hari biasa tempat itu sepi hampir tidak ada yang mengunjungi sampai
suara langkah kakinya yang memakai sepatu hak terdengar. Rania
menuju ke toilet di lantai itu yang tadi disebutkan oleh Pak Dahlan.
Semakin mendekati tempat itu, langkahnya terasa makin berat dan
detak jantungnya semakin cepat. Di lorong itu terdapat tempat rias dan
cermin-cermin besar tempat make-up, biasanya dipakai untuk
persiapan drama. Pada salah satu sisi lorong tersebut nampak sebuah
toilet pria yang lampunya menyala. Ia membuka pintu toilet itu dengan
tangan bergetar.
"Ah…Bu Nia, hampir saja saya pergi, kirain Ibu nggak jadi datang" sapa
Pak Dahlan yang sedang mencuci muka di wastafel, dia hanya melihat
dari cermin tanpa membalikkan badan.
"Sudahlah Pak nggak usah basa-basi lagi, saya gak ada banyak waktu
untuk anda !" ujar Rania ketus.
"Santai aja Bu, masih ada waktu setengah jam-an kok" pria itu
membalik badan dan berjalan menghampirinya.
Rania nampak tegang sekali, beberapa kali dia menelan ludah,
punggungnya bersandar pada tembok karena kakinya agak gemetar.
Pak Imron meraih saklar yang terletak di sebelah Rania dan mematikan
lampu. Ruang dengan dengan dua toilet bersekat itu kini hanya
diterangi oleh sinar matahari dari ventilasi di atasnya.
"Nah…begini lebih romantis suasanya, biar lebih enak" katanya sambil
menyandarkan telapak tangan kiri di sebelah kepala Rania.
Jarak mereka kini begitu dekat sehingga Rania bisa merasakan
hembusan nafas Pak Dahlan pada wajahnya, pria itu lebih pendek
sedikit darinya.
Rania menepis tangan pria itu ketika hendak meraba dadanya.
"Kenapa Bu ? bukannya udah biasa, kalau berubah pikiran ya udah kita
keluar aja"
"Bajingan !" umpatnya dalam hati.
Dengan berat hati diapun membiarkan dadanya dipegang oleh Pak
Dahlan. Pria itu juga mengendusi daerah leher yang tertutup sedikit
oleh rambut panjangnya. Bau badan Rania yang bercampur parfum
menaikkan birahinya sehingga bibir tebalnya langsung menciumi pipi
dosen muda itu. Rania memejamkan mata menahan jijik, kumis pria itu
menyapu wajahnya yang mulus. Dia memalingkan muka ke arah lain
ketika bibir pria itu makin merambat ke bibirnya.
"Jangan…emmhh !" baru mau memalingkan wajah kedua kalinya, Pak
Dahlan sudah melumat bibirnya dan meredam protesnya.
Spontan bulu kuduk Rania berdiri karena jijik, dia meronta berusaha
melepaskan diri, namun entah mengapa ada hasrat menggebu-gebu
yang menginginkan tubuhnya dimanja sehingga perlawanannya pun
hanya setengah tenaga. Bibirnya yang tadinya dikatupkan rapat-rapat
mulai mengendur sehingga lidah pria itu masuk dan bermain-main
dalam mulutnya. Perasaan Rania campur aduk antara marah, jijik dan
terangsang, apalagi Pak Dahlan terus menggerayangi tubuhnya dari
luar pakaian. Berangsur-angsur rontaannya berkurang hingga akhirnya
pasrah menerima apapun yang dilakukan pria itu. Rania mulai
membalas cumbuan pria itu, lidahnya kini bertautan dengan lidahnya.
Desahan tertahan terdengar di antara percumbuan yang makin panas
itu. Merasa lawannya telah takluk, pria itu mempergencar serangannya.
Blazer krem itu dilucutinya, Rania sendiri secara refleks menggerakkan
tangannya membiarkan blazer itu terlepas dari tubuhnya sehingga
tinggal tank-top ungu yang membalut tubuh atasnya. Pak Dahlan
menggantungkan blazer itu pada gagang pintu tanpa melepas
ciumannya. Tubuh mereka berdekapan begitu ketat, Rania dapat
merasakan benda keras dari balik celana Pak Dahlan mengganjal
selangkangannya. Tangan Pak Dahlan yang tadinya cuma meremas
payudara dari luar mulai menyusup masuk lewat bawah tank topnya
langsung menyusupi cup branya dan tangan satunya masih tetap
meremasi pantatnya.
"Eennghh !" Rania makin mendesah merasakan jari-jari besar itu
menyentuh putingnya serta memencetnya.
Lidahnya semakin aktif membalas lidah Pak Dahlan hingga masuk ke
mulut pria itu menyapu rongga mulutnya, tangannya pun tanpa
disadari memeluk tubuh tambunnya. Nafasnya makin memburu dan
gairahnya makin naik. Mulut Pak Dahlan turun ke dagunya, bawah
telinga, dan leher. Rania agak lega bisa mengambil udara segar walau
dengan nafas putus-putus. Pak Dahlan memutar tubuh Rania
menghadap tembok sehingga wanita itu bertumpu disana dengan
kedua lengannya. Ia juga menyibakkan rambut Rania ke sebelah kiri
sehingga mulutnya dapat dengan leluasa menciumi leher, pundak, dan
bahunya yang terbuka. Tangan pria itu yang satu lagi ikut menyusup
lewat bawah tank topnya sehingga kini pakaian itu setengah
tersingkap. Sambil mempermainkan kedua payudara wanita itu, Pak
Dahlan menciumi leher jenjangnya. Dengan penuh penghayatan
disedotnya kulit leher samping yang putih mulus itu.
"Sshhh…jangan terlalu depan Pak…eeemm…ntar bekasnya keliatan"
Rania mengingatkannya dengan suara lirih.
"Gak usah kuatir Bu, saya juga ngerti kok, lagian Ibu kan rambutnya
panjang bisa buat nutupin" katanya.
Rania semakin mendesah, pipinya bersemu merah ketika merasakan
lidah pria itu yang basah pada telinganya, menggelitik dan memancing
gairahnya.
"Sudah Pak…jangan disitu !" Rania semakin mendesah waktu Pak
Dahlan hendak merogohkan tangannya lewat atas celana panjangnya..
Rania menggerakkan tangannya menahan tangan pria itu yang ingin
masuk. Namun penolakan itu dilakukannya hanya dengan setengah
hati karena walaupun merasa dilecehkan di saat yang sama dia juga
sudah terhanyut dalam pemanasan yang dilakukan dengan cemerlang
oleh Pak Dahlan. Gaya Pak Dahlan yang gentle sangat membuatnya
terbuai, berbeda dengan gaya permainan Imron, si penjaga kampus,
yang cenderung kasar. Pak Dahlan memang berpengalaman dan tahu
persis bagaimana menundukkan wanita secara seksual sehingga Rania
yang seorang dosen terhormat pun ingin menikmati buaiannya lebih
jauh. Setelah menyentakkan perlahan tangannya pegangan Rania pun
lepas dan langsung ia menyusupkan langannya ke balik celana wanita
itu. Pak Dahlan merasakan bulu-bulu lebat yang tumbuh pada
permukaan vaginanya juga sedikit basah pada bagian belahannya.
"Oohh…mmmhh…tolong hentikan !" desahnya antara mau dan tidak.
Desahan itu membuat Pak Dahlan semakin bernafsu, dengan nakal jari-
jari besarnya menggerayangi daerah sensitif itu. Mulutnya mencaplok
bahu kanan wanita itu sambil menjilat dan mengisapnya dan
tangannya yang sejak tadi bercokol di payudara makin gencar
menyerang. Payudara 34B itu diremas-remas, putingnya dipilin-pilin
atau kadang digesek-gesekan dengan jarinya sehingga benda itu
makin keras saja.
Pak Dahlan melebarkan kedua paha Rania dengan menggeserkan
telapak kakinya sehingga dapat lebih menjelajahi vaginanya lebih luas.
Tubuh Rania tersentak saat jari pria itu memasuki liang vaginanya dan
mulai mengorek-ngoreknya. Digesek-geseknya klentitnya dengan jari
sehingga membuat wanita itu semakin seperti cacing kepanasan.
"Aahh…aahh…saya mohon…nngghh….jangan teruskan" desahnya.
"Hehehe…Ibu ini masih pura-pura aja, udah becek gini masih sok suci"
ejek Pak Dahlan.
Rania yang sudah pasrah hanya bisa mendesah saja merasakan jari-
jari pria itu mengaduk vaginanya. Lima menit Pak Dahlan merogoh-
rogoh celana dalam Rania dengan diselingi beberapa ciuman lalu dia
mengeluarkan tangannya dari sana. Nampak lendir kewanitaan Rania
membasahi jari-jari besar itu.
"Hhhmm…enak, lendir yang enak !" katanya sambil mengemut jari
tengahnya, "lihat ini Bu, banyak gini cairannya" didekatkannya
tangannya ke wajah wanita itu.
Rania yang merasa tanggung karena hampir mencapai orgasme
menurut saja ketika pria itu meletakkan jarinya yang belepotan itu di
bibirnya untuk diemut. Diemutnya jari itu dan dirasakannya lendir
kewanitaannya sendiri, ini bukan yang pertama kali baginya karena
Imron pun pernah menyuruhnya demikian sehingga tidak ada rasa ragu
ataupun risih lagi dalam melakukannya.
"Wah…wah…pinter juga Ibu nyenengin laki-laki, baru emut jari aja udah
enak gini, gimana kalau emut kontol" kata Pak Dahlan.
Kata-kata itu membuat Rania merasa dilecehkan namun juga
membuatnya bergairah.
Kemudian Pak Dahlan menyuruh dosen muda itu berlutut di
hadapannya. Dengan agak buru-buru dia membuka sabuknya dan
menurunkan resletingnya. Setelah celananya melorot jatuh dia
menurunkan celana dalamnya mengeluarkan penisnya yang telah
tegang. Rania terperangah melihat penis hitam yang berdiameter
lumayan besar itu, pangkalnya ditumbuhi bulu-bulu lebat, kepalanya
seperti jamur kemerahan menyembul dari kulupnya yang bersunat.
"Ayo Bu jangan bengong gitu, waktunya mepet nih !" sahut pria itu
membuyarkan lamunannya.
Dia menggenggam batangnya dan menyodorkannya ke wajah wanita
itu. Dengan ragu-ragu Rania menggerakkan tangannya memegang
batang itu. Dia tahu pria itu menginginkan dirinya melakukan oral pada
penisnya, maka tanpa menunggu perintah lagi dia mengocok perlahan
batang itu dan membuka mulut menjilati permukaan batang itu. Pria
itu menarik nafas panjang dan melenguh merasakan sapuan lidah
Rania pada penisnya. Sejak menjadi budak seks, kemampuan Rania
dalam berhubungan seks termasuk oral semakin meningkat dari hari ke
hari. Dia semakin menikmati seks walaupun hubungan itu bertentangan
dengan hati nuraninya karena dilakukan dengan paksaan, dengan
tunangannya saja dia baru pernah sebatas petting bahkan melihat
penisnya saja belum pernah, namun dengan lelaki yang dibencinya
telah berbuat sejauh ini, ironisnya malah terbuai dalam kenikmatan
terlarang itu.
Setelah menjilati penis Pak Dahlan hingga basah oleh liurnya, Rania
mulai memasukkan benda itu ke mulutnya.
"Uuuhh…iya, gitu Bu…isap terus !" Pak Dahlan mendesah keenakan.
Rania bekerja keras mengulum dan memainkan lidahnya pada batang
itu yang terasa sesak di mulutnya yang mungil. Benda itu bergetar
setiap lidah Rania menyapu kepalanya. Pak Dahlan yang merasa nikmat
itu memaju-mundurkan pinggulnya secara perlahan seperti gerakan
menyetubuhi.
"Mmmm…enak sekali Bu, ga salah kata si Imron !" lenguhnya sambil
meremasi rambut Rania.
"Iyah Bu…dikit lagi…terus aaahh…saya mau keluar di mulut Ibu !" erang
pria itu setelah sepuluh menitan Rania mengoral penisnya.
Tak lama kemudian, Pak Dahlan mencapai puncak kenikmatannya
dengan mengeluarkan cairan putih kental dari penisnya. Cairan hangat
itu menyemprot di dalam mulut Rania yang langsung ditelannya agar
tidak terlalu terasa di mulut. Cairan itu meleleh sedikit di ujung
bibirnya karena mulutnya terasa sesak sehingga tidak bisa menelan
dengan sempurna. Penis itu semakin menyusut seiring semprotannya
yang semakin lemah. Akhirnya dia melepaskan penisnya dari mulut
wanita itu. Rania merasa pegal pada mulutnya karena sesak dan harus
bekerja keras sejak tadi, dia juga nampak terengah-engah mengambil
udara segar.
"Bagus Bu, awal yang bagus…kita akan lanjutkan setelah rapat" kata
Pak Dahlan sambil membenahi celananya, "yuk kita turun, sudah mau
mulai lagi !"
"What…lagi ? jadi ini baru awal ?" kata Rania dalam hatinya.
"Saya turun duluan yah Bu, Ibu beres-beres aja dulu, masih lima menit
lagi kok" katanya, "dan…kalau masih mau terus saya tunggu di ruang
saya setelah rapat" sambungnya lagi sebelum menutup pintu
meninggalkannya sendirian di ruang itu.
Rania berdiri dan merapikan lagi pakaiannya yang tersingkap sana-
sini, dipakainya kembali blazernya. Kemudian dia berjalan ke wastafel
untuk mencuci tangan dan berkumur-kumur. Setelah memoles kembali
bibirnya dengan lipstik dan menyisir rambutnya, diapun keluar dari
sana dan kembali ke ruang rapat. Perasaan kesal sekaligus terangsang
melingkupi dirinya. Untuk sementara hal tersebut terabaikan karena di
sesi kedua rapat ini ia harus mencatat beberapa hal penting yang
harus dia sampaikan pada kepala jurusannya. Rapat baru bubar pada
pukul setengah dua.
"Saya tunggu di ruang saya yah Bu, lantai tiga gedung arsitektur" kata
Pak Dahlan yang menghampirinya yang sedang membereskan barang-
barangnya.
"Gak bisa sekarang Pak saya masih ada urusan !" jawab Rania ketus
namun pelan agar tidak memancing pelan.
"Jadi jam berapa Bu ?"
"Gak tau ah, sejam lagi aja, saya sibuk, permisi !" jawabnya sambil
bangkit berdiri dan melengos begitu saja dengan sikap judes.
Rania turun ke kantin bawah dan membeli makan. Perutnya terasa lapar
sekali karena jam makan siangnya tertunda gara-gara dosen bejat itu.
Setelah selesai makan dia kembali ke ruang dosen fakultasnya untuk
menyelesaikan tugasnya yaitu membereskan sisa koreksian hari itu.
Setelah pekerjaan itu beres dalam waktu duapuluh menit, hal yang
mengganjal pikirannya itu datang lagi. Benar-benar bingung
memikirkannya, kok rasanya dirinya yang terpelajar ini sudah tidak
beda dari pelacur, apa yang akan dikatakan pada tunangannya nanti
setelah pria itu kembali dari studinya di luar negeri, apakah dia masih
sanggup menatap wajah kekasihnya itu dengan keadaan sudah ternoda
seperti sekarang. Pikiran-pikiran seperti itu seringkali mengusiknya,
namun ketika harus menunaikan kewajibannya sebagai budak seks dia
justru terlarut di dalamnya, tidak bisa untuk tidak menikmati, bahkan
terkadang hasrat liar itu muncul sendiri dari dalam dirinya.
"Hai Nia…kamu nggak enak badan ?" tanya seorang dosen pria
melihatnya melamun dengan menyandarkan kepala pada kedua telapak
tangan.
"Eehh…nggak…ga papa kok Ton, baru nyelesaiin koreksian aja, capek
dikit hehe !" jawabnya berkelit.
Merasa tidak ada lagi yang perlu dikerjakan akhirnya Rania
membereskan barang-barangnya untuk pulang, tentunya sebelumnya
ia harus menyelesaikan tugas terakhirnya…melayani Pak Dahlan. Dia
pun berpamitan pada beberapa rekan dosen yang masih ada di ruang
itu dan keluar dari situ.
Dengan jantung deg-degan dan langkah berat ia berjalan menuju ke
ruang kerja pria itu di gedung fakultas arsitektur. Diketuknya pintu
ruang itu sesampainya di sana.
"Iya…masuk aja !" terdengar suara dari dalam yang dikenalnya.
"Bu Nia…saya sudah lama menunggu" sapa pria itu dari balik meja
kerjanya "tolong ya Bu pintunya sekalian dikunci dan tirainya tutup
yah, supaya nyaman !"
Rania membanting pantatnya ke sofa setelah menutup tirai. Pak Dahlan
tersenyum dan menghampirinya, dia duduk di sebelah Rania dan
melingkarkan tangannya ke bahu dosen muda itu.
"Minum dulu Bu !" katanya menawarkan segelas air yang sebelumnya
diambil dari dispenser, "sebelumnya saya ingin mengenal Ibu lebih
dalam dulu, eehhmm…apa Ibu sudah punya pacar ? selama ini saya
lihat Ibu selalu datang dan pulang sendiri"
"Itu bukan urusan Bapak, apa kita bisa cepat dikit ? saya capek, mau
pulang !" sahut Rania dengan hambar sambil meletakkan gelasnya di
meja.
"Aduh, Ibu ini kok ketus banget ke saya ? Oh…iya gimana Bu
hubungannya sama si Imron, gimana kesan-kesan Ibu ?" tanyanya lagi.
Rania benar-benar kesal dengan sikapnya yang menyebalkan itu,
apalagi ketika mengungkit-ungkit tentang yang terakhir itu. Dia
menoleh menatap wajah pria itu.
"Pak please yah, saya udah bilang saya nggak banyak waktu, kenapa
sih gak to the point aja !" sehabis berkata dia langsung mendorong
dada pria itu dengan kedua tangannya hingga tubuh tambun itu
terjungkal ke belakang.
Sebelum Pak Dahlan sempat bangun, Rania sudah berada diatas
tubuhnya dan memeluknya. Bibirnya langsung menempel di bibir tebal
pria itu menciuminya dengan ganas. Rasa kesal bercampur gairah yang
masih tersisa dari pemanasan tadi siang membuatnya nekad
mengambil inisiatif memulai duluan. Yang diinginkan pria ini toh hanya
tubuhnya, kenapa sih harus buang-buang waktu sampai mengungkit-
ungkit masalah pribadi segala, demikian pikirnya. Entah setan apa
yang merasukinya sehingga menjadi seliar itu, mungkin dengan cara
demikianlah ia melampiaskan kekesalannya. Sambil terus berciuman ia
menggesekkan dadanya yang menempel dengan dada pria itu, bukan
itu saja, ia juga menggerakkan tangannya menjamah selangkangan
serta mengelus-elusnya. Perlahan benda di balik celananya itu makin
mengeras.
"Hoo…ho…ga usah nafsu gitu Bu, santai saja !" gumamnya perlahan.
"Sudahlah Pak, nikmati saja atau tidak sama sekali" bisik Rania
dengan suara sedikit mendesah di dekat telinganya.
Di bawah sana Rania telah membuka resleting celana pria itu dan
mengeluarkan penisnya yang sudah tegang dari lubang resleting itu.
Wajah pria itu menunjukkan ekspresi nikmat akibat belaian tangan
Rania pada penisnya. Rania menegakkan tubuhnya sejenak untuk
melepaskan blazernya. Setelah melempar blazer itu ke sofa pendek di
samping, dia menggeser tubuhnya ke bawah, disana ia membungkuk
dan memasukkan penis itu ke mulutnya. Di dalam mulut benda
lidahnya bermain-main memanjakan benda itu, sesekali disertai
hisapan.
"Ooohh…Bu Nia, anda ngapain…uughh !" erang Pak Dahlan yang masih
bengong dengan perubahan sikap Rania.
Rania sendiri tidak tahu kenapa dirinya menjadi senekad ini, yang jelas
dia merasa gairahnya menggebu-gebu. Hal yang sering dialaminya
sejak menjadi budak seks, kadang pelecehan dan kata-kata yang
merendahkannya justru memancing gairahnya. Benci dan birahi
bercampur membentuk gairah yang liar seperti yang sekarang ini. Ia
mengisapi kepala penis Pak Dahlan yang bersunat itu tanpa canggung,
kadang lidahnya menjilati ujungnya sehingga pria tambun itu
belingsatan keenakan.
"Aarghh…saya…mau keluar, stop dulu Bu…stop !" erang pria itu.
Pak Dahlan bangkit dan mengangkat tubuh Rania yang sedang
mengoralnya serta mendorongnya ke belakang hingga terbaring di sofa.
Kini pria itu berada di atas tubuhnya, wajah mereka saling bertatapan
dalam jarak kurang dari sejengkal.
"Itu yang anda mau kan ? bangsat !" ujar Rania dengan sinis.
"Hehehe, Ibu memang pintar, saya yakin kita bakal sama-sama puas,
saya sudah sering main sama mahasiswi, tapi baru kali ini sama
dosen" katanya sambil mengelus pipi wanita itu.
"Dasar serigala berbulu domba, anda tidak malu dengan kelakuan anda
hah !?"
"Kenapa harus malu, toh mereka yang datang pada saya, saya hanya
menyetujui tawaran saja, lagipula mereka juga enjoy kok" jawabnya
santai, "jangan munafik Bu, manusia butuh seks, toh Ibu sendiri juga
menikmati kan, apakah bercumbu dengan mahasiswi dan terlibat seks
dengan penjaga kampus tidak memalukan bagi Ibu"
"Lebih baik cepat selesaikan nafsu iblis anda" tidak ingin mendengar
ocehan pria itu lebih panjang, Rania langsung melumat bibir tebal pria
itu begitu menyelesaikan kata-katanya.
Sambil berciuman pria itu menyingkap tank-top Rania beserta bra
tanpa tali bahunya. Desahan tertahan terdengar dari mulutnya ketika
jari-jari besar itu memencet putingnya. Pak Dahlan menggeser
bibirnya menciumi leher jenjang itu terus turun hingga ke payudaranya.
Sebelum menikmati kedua gunung kembar itu, dia melepaskan terlebih
dulu kait bra itu lalu menjatuhkannya ke lantai. Mata pria itu
memandang nanar pada payudara 34B dengan puting kemerahan itu.
Kedua tangannya langsung meremas sepasang daging kenyal itu,
lidahnya menjilati melingkar di daerah areolanya lalu menyentil-nyentil
benda mungil yang sensitif itu sehingga pemiliknya tidak bisa
menahan desahan. Tangannya yang satu merayap ke bawah
melepaskan sabuk Rania, lalu melepaskan kancing celananya disusul
resletingnya.
"Aaahh…aahhh…Pak !" desah Rania dengan nikmatnya ketika pria itu
mengenyoti putingnya sambil merogohkan tangannya ke balik celana
dalamnya.
Kedua matanya terpejam sambil menggigit bibir bawah, tangannya
meremas-remas rambut Pak Dahlan yang sedang asyik menyusu
darinya. Dengan penuh perasaan Pak Dahlan meremas, menciumi dan
menjilati kedua payudara Rania secara bergantian. Hal ini membuat
birahi Rania bergolak hebat, dia tak bisa menyangkal bahwa pria yang
dibencinya ini telah sanggup membuatnya serasa terbang. Setelah
puas menyusu, Pak Dahlan bangkit sebentar untuk melepaskan
pakaiannya sendiri. Rania memandangi tubuhnya yang gempal hitam
dengan sedikit bulu di dadanya itu, penisnya mengacung tegak
diantara kedua pahanya.
Setelah membuka pakaiannya pria itu melepaskan sepatu yang dipakai
Rania lalu melepaskan celana panjangnya. Sepasang pahanya yang
panjang dan putih mulus itu kini tidak tertutup apa-apa lagi, yang
masih tersisa di tubuhnya hanya tank-top yang sudah tersingkap dan
celana dalam pink berenda. Pak Dahlan memandang tubuh seksi itu
dengan bernafsu dan mengelusinya.
"Paha yang indah, benar-benar indah !" pujinya sambil mengelus paha
itu dengan tangan bergetar.
Darah Rania berdesir seiring dengan sentuhan erotis itu dan terpaan
AC yang langsung mengenai tubuhnya. Pria itu juga memberi kecupan-
kecupan ringan dan jilatan pada kulit pahanya yang mulus. Perlahan-
lahan ia memeloroti celana dalam itu hingga lepas. Tangan pria itu
terus menggerayangi tubuh Rania dengan lihainya, memberinya
sensasi nikmat pada setiap daerah sensitif. Kemudian didorongnya
tubuh dosen muda itu ke belakang hingga mentok ke sandaran tangan
pada sofa itu. Rania kini duduk menyamping di sofa itu. Pak Dahlan
melebarkan sepasang pahanya lalu merunduk serta mengarahkan
wajahnya ke selangkangan wanita itu.
"Aakkhh" desah Rania sambil menggeliat begitu lidah Pak Dahlan
menyapu bibir vaginanya.
Lidah itu terus bergerak masuk menyentuh bagian lebih dalam dari
vaginanya. Kenikmatan makin menjalari tubuhnya membuat wajahnya
memerah dan nafasnya makin memburu.
Setelah lima menitan menikmati vagina Rania, Pak Dahlan memintanya
melakukan posisi 69, yaitu saling mengoral kelamin pasangan dalam
saat bersamaan. Rania yang sudah horny itu menurut saja disuruh naik
ke wajah pria itu. Pak Dahlan meneruskan lagi jilatannya pada vagina
wanita itu, kali ini sambil merasakan nikmatnya kuluman Rania pada
penisnya. Ketika sedang asyik-asyiknya menikmati vagina Rania, tiba-
tiba ponselnya berbunyi tanda SMS masuk. Ia mengambil ponsel itu
dari kantong celananya yang diletakkan tidak jauh dari situ sementara
tangan satunya tetap mengorek-ngorek vagina Rania. Hanya SMS dari
sesama dosen ternyata yang memberitahukan masalah pekerjaan.
Setelah selesai membaca SMS itu, Pak Dahlan memencet nomor lagi
untuk menghubungi seseorang.
"Hoi, Ron pakabar nih ?" sapanya pada orang disana."saya sekarang
lagi sama Bu Rania nih, itu tuh dosen yang lu kasih tau Rabu kemaren"
Ternyata dia menghubungi Imron untuk memberitahukan
keberhasilannya menggaet dosen muda itu.
"Enak banget loh Ron sepongannya, wuih…yahud !" katanya di telepon.
"Bener kan Pak apa kata saya juga, dosen juga manusia kalau udah
terangsang ya ga beda sama lonte hahaha !" kata Imron di telepon.
"Dasar dua bajingan tengik !" maki Rania dalam hati, dia memperkuat
hisapannya sebagai pelampiasan.
"Uooh…gila nih Ron, kontol gua lagi diisep, enak banget !" katanya
"eh, mau bergabung ga, udah jam segini nyantai kan ?" tawarnya.
"Ohh, ga deh Pak, enjoy aja dulu, saya juga lagi sibuk nih" jawab
Imron "Uuhhh !" Pak Dahlan samar-samar mendengar suara desahan
wanita di seberang sana.
"Wahaha…lagi asyik juga toh lu Ron, itu suara apa tuh, hayo !"
"Iyalah Pak biasa abis jam sibuk gini kan enaknya cari penyegaran
dikit" jawab Imron yang saat itu sedang berbaring di dipan di
ruangannya menikmati Joane yang sedang melakukan woman on top
posisi memunggungi di atas penisnya.
"Ya udah selamat bersenang-senang yah !"
"Yok Pak sama-sama salam buat Bu Rania yah, hehe" balas Imron lalu
dia menutup ponselnya.
"Ayo manis, kita ganti gaya !" perintahnya sambil mendekap tubuh
Joane yang pakaiannya telah tersingkap sana-sini.
Dia lalu menindih tubuh gadis itu dan memasukkan kembali penisnya
bersiap untuk gaya misionaris. Tapi agaknya kita harus meninggalkan
Imron dan Joane karena episode ini bukanlah porsinya mereka. Yah,
sebaiknya kita kini kembali pada Rania dan Pak Dahlan yang juga
sedang berasyik-masyuk.
Rania sedang menaik-turunkan kepalanya melayani penis Pak Dahlan.
Dia merasakan jari Pak Dahlan bergerak memutar-mutar dalam
vaginanya dan juga lidahnya yang nakal itu terus saja menjilati daerah
kewanitaannya sehingga makin menaikkan birahinya. Vagina Rania
makin berlendir karena terus-menerus dirangsang sedemikian rupa dan
nampaknya pria itu sangat menikmati cairan itu yang dijlatinya dengan
bernafsu. Ketika di ambang orgasme, sekali lagi dia menyuruh Rania
berhenti mengulum, ia ingin menikmati tubuh wanita itu sepenuhnya
sehingga tidak mau cepat-cepat keluar. Kini diperintahkannya Rania
menaiki penisnya. Tidak terlalu sulit penisnya memasuki vagina itu
karena sudah basah dan licin. Erangan Rania turut mengiringi proses
penetrasi itu hingga akhirnya penis itu tertancap seluruhnya.
"Mmhhh…enak Bu, memek Ibu legit sekali !" gumam Pak Dahlan
merasakan himpitan dinding vagina Rania terhadap penisnya.
Tanpa menghiraukan ocehan Pak Dahlan, Rania mulai menggoyangkan
tubuhnya naik-turun. Sesekali ia meliukkan pinggulnya sehingga Pak
Dahlan merasa penisnya seperti dipelintir. Secara refleks tangannya
yang saling genggam dengan tangan pria itu membimbingnya ke salah
satu payudaranya seolah meminta pria itu meremasinya. Pak Dahlan
mulai memainkan payudaranya dan tangan satunya menelusuri tubuh
yang molek itu, merasakan kulitnya yang halus dan lekuk tubuhnya
yang indah. Rania sudah semakin hanyut dalam persetubuhan itu
walaupun pada awalnya dilakukannya dengan terpaksa.
"Yah…terus Bu, enak…terushh !" desah pria itu seiring genjotan Rania
yang semakin liar karena semakin dikuasai birahi.
Kemudian Rania menegakkan tubuhnya sejenak untuk melepaskan tank
topnya yang tersingkap, satu-satunya pakaian yang masih tersisa,
sehingga kini keduanya telanjang bulat. Dari bawah Pak Dahlan juga
ikut menggerakkan pinggulnya, tumbukkan mereka yang saling
berlawanan arah itu menyebabkan penis itu menusuk lebih dalam.
Rania tidak menghiraukan yang lain lagi selain birahinya yang
menuntut pemuasan, rasio, hati nurani, dan perasaan-perasaan lainnya
untuk sementara terkubur.
"Gimana Bu Nia ? Enak ga kontol saya ?" tanya Pak Dahlan yang
merasa telah menaklukkannya.
"Aahh…ahhh…enak Pak…terus…goyang terus Pak !" erang Rania tanpa
malu-malu lagi.
Tidak sampai sepuluh menit setelahnya, Rania mulai sampai ke
puncak, otot-otot vaginanya berkontraksi dengan cepat dan makin
basah. Dia menambah kecepatan goyangannya sehingga pria itu juga
makin mendesah.
"Oohhh !" Rania menggelinjang dahsyat di atas tubuh tambun Pak
Dahlan.
Selama beberapa saat tubuhnya menegang tak terkendali, dinding
vaginanya makin meremasi penis pria itu sehingga diapun tak mampu
menahan ejakulasinya.
"Ooohh…saya juga keluar Bu !" erangnya menyambut gelombang
orgasme, spermanya menyemprot deras mengisi vagina Rania.
Tubuh mereka berangsur-angsur melemas kembali. Rania ambruk
diatas tubuh Pak Dahlan dengan nafas tesenggal-senggal dan
bersimbah keringat, penis itu masih menancap di vaginanya.
Senyuman puas terlihat pada wajah pria itu karena berhasil menikmati
dosen cantik bertubuh molek ini.
"Hebat, enak sekali Bu, Ibu memang pintar memuaskan pria" kata Pak
Dahlan sambil mengelus rambut panjang Rania yang agak
bergelombang.
"Persetan lah !" omel Rania dalam hati.
Rania yang kesadarannya mulai pulih merasakan dirinya benar-benar
kotor, dia ingin melawan namun tidak sanggup apalagi dalam keadaan
seperti ini dan dibawah tekanan. Namun dia juga harus mengakui
dirinya sangat menikmati persetubuhan dengan pria tambun yang
umurnya dua kali lipat dirinya itu.
"Misi bentar Bu, saya mau ambil minum dulu" sahut Pak Dahlan seraya
menurunkan tubuh Rania hingga terbaring di sofa, lalu berjalan ke arah
dispenser.
Setelah minum seteguk, dia menyodorkan gelas yang tinggal setengah
isinya itu pada Rania. Rania mengambil gelas itu lalu menggeser
tubuhnya agak bersandar pada sandaran tangan. Air itu memberinya
sedikit kesegaran pada tenggorokkannya yang terasa kering karena
mendesah juga mengembalikan sedikit tenaganya.
Pak Dahlan terus memperhatikan Rania sementara dia sedang meneguk
minumannya, diperhatikannya lehernya yang jenjang itu berdenyut-
denyut karena meneguk air, tubuh telanjangnya dengan payudara putih
montok, perut rata, dan paha yang panjang dan mulus, semua itu
membuat birahi Pak Dahlan kembali naik.
Setelah air dalam gelas itu habis, Pak Dahlan mengambilnya dan
meletakkannya kembali di atas meja. Didekapnya tubuh Rania dengan
tangannya yang kokoh dan tangan yang satunya menyeka keringat di
dahinya. Rania dengan ketus menepis tangan pria itu.
"Gak usah sok sayang gitu, Bapak bukan siapa-siapa saya !" katanya
ketus sambil menyeka sendiri keringat di dahinya.
Pak Dahlan hanya senyum-senyum saja melihat reaksi Rania, karena
dia malah senang dengan korban yang reaksinya sok jual mahal
seperti ini. Kemudian dia meraih salah satu payudara wanita itu dan
menundukkan kepala.
"Oouucchh !" rintih Rania dengan wajah meringis karena Pak Dahlan
menggigiti putingnya.
Tubuh Rania menggeliat sambil tangannya mendorong-dorong kepala
pria itu karena dia terus menggigiti putingnya dengan menggetarkan
giginya, rasanya ngilu dan sakit, tapi juga…enak.
"Aduh…aah…jangan terlalu keras Pak…aahh…sakit !" rintihnya sambil
meremas-remas rambut pria itu.
Pak Dahlan akhirnya melepaskan juga gigitannya pada puting Rania
setelah beberapa saat kepalanya didorong-dorong hingga rambutnya
agak acak-acakan. Dia tersenyum nakal melihat wajah Rania yang
bersemu merah karena terangsang oleh gigitannya.
Kemudian pria itu menundukkan kepalanya hendak mengarah ke
payudaranya lagi.
"Sudah Pak, jangan lagi…eeengghh !" ternyata kali ini bukan gigitan
melainkan sapuan lidah yang diterimanya.
Kali ini Rania merasa lebih nyaman setelah tadi putingnya sempat
panas nyut-nyutan akibat gigitan pria itu. Jilatan-jilatan itu
membuatnya kembali bergairah. Memang Pak Dahlan sangat lihai
mempermainkan nafsu korban-korbannya sehingga mereka takluk
padanya. Sambil terus menjilati putting itu, tangan Pak Dahlan
merambat ke bawah menyentuh kemaluannya. Rania makin mendesah
dan menggeliat saat jari-jari besar itu mengelusi bibir vaginanya. Pria
itu naik ke sofa menindih tubuhnya, kali ini mulutnya naik mencupangi
leher jenjangnya sambil tangannya terus mengorek-ngorek vaginanya.
Tak lama kemudian Rania merasakan benda tumpul didorong-dorong
hendak memasuki vaginanya. Dia mendesah menahan sakit saat penis
itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya. Penis itu tidak terlalu sulit
melakukan penetrasi karena vagina Rania sudah becek sekali.
"Uhhh…enaknya, memek Ibu emang seret banget !" dengus pria itu.
Pak Dahlan mulai menggerakkan pinggulnya menyodoki vagina Rania
dengan penisnya. Terdengar suara seperti tepukan setiap kali
selangakangan mereka bertumbukkan. Pompaan Pak Dahlan kadang
keras tapi kadang juga lembut sehingga membuat Rania larut
menikmati persetubuhan itu.
Setelah lewat seperempat jam Rania tidak mampu lagi menahan
orgasme. Dia mendesah panjang dan mengeluarkan banyak sekali
cairan dari vaginanya. Tubuhnya mengejang dan memeluk erat-erat
tubuh Pak Dahlan yang menindihnya. Pak Dahlan sendiri masih belum
mencapai puncak, dia terus menggenjoti Rania semakin ganas karena
sensasi nikmat yang didapat dari kontraksi dinding vagina wanita itu
ketika orgasme yang semakin erat menghimpit penisnya. Tak lama
kemudian ketika di ambang orgasme, pria itu mencabut penisnya dari
vagina Rania. Cairan lendir meleleh-leleh dari batang itu dan
membuatnya terlihat mengkilap ketika baru saja ditarik lepas dari liang
vaginanya. Kemudian pria itu naik ke dada Rania dan menjepitkan
penisnya dengan kedua payudara montok itu. Rania yang masih lelah
pasca orgasme hanya pasrah saja membiarkan pria itu melakukan
breast-fucking terhadapnya. Penis yang sudah licin itu maju mundur
dengan lancar diantara kedua gunung kembarnya. Dia sedikit merintih
karena Pak Dahlan terkadang meremas payudaranya terlalu keras. Tidak
sampai lima menit, pria itu mengerang nikmat dan menyemprotkan
spermanya. Cairan seperti susu kental itu mengenai wajah Rania,
terutama daerah dagu dan mulut, juga menciprati leher dan dadanya.
Tubuh gempal itu berkelejotan meresapi gelombang orgasme yang
melandanya. Setelah spermanya tidak keluar lagi, pria itu turun dari
dada Rania dan duduk di sofa itu. Sambil beristirahat tangannya iseng
mengolesi cipratan spermanya di dada wanita itu hingga merata.
Rania, dengan tenaga yang sudah mulai terkumpul, menggerakkan
tangannya dan menepis tangan pria itu dari dadanya.
"Jangan gitu dong Pak, lengket tau gak !?" bentaknya lemas.
"Hehehe…puas banget saya Bu, lain kali lagi yah" pria itu berkata
dengan nafas berat kelelahan.
Rania memutuskan untuk secepatnya angkat kaki dari tempat itu
sebelum pria itu pulih dan mengerjainya lagi. Maka dia buru-buru
turun dari sofa dan memunguti pakaiannya lalu memakainya kembali,
sebelumnya dia mengelap ceceran sperma di tubuhnya dengan tisue
yang dibasahi air. Tanpa memberi salam selain tatapan marah dia
keluar dari ruangan itu dan menutup kembali pintunya dengan
setengah dibanting.
"Dasar bajingan ga bermoral, munafik !" makinya dalam hati sambil
terus berjalan.
Detak jantung Rania tertahan sejenak ketika dilihatnya sesosok tubuh
yang dikenalnya muncul dari arah tangga lantai bawah, seseorang
yang dikenalnya.
Di koridor lantai dua yang sudah sepi itu dia berpapasan dengan Imron
yang baru saja naik dari lantai satu.
"Woo…hoo…Bu Nia, baru beres sama Pak Dahlan yah, gimana acara
gininya Bu ?" sapanya sambil menunjukkan jempol yang diselipkan
antara telunjuk dan jari tengahnya.
Rania terus saja melengos tanpa menjawabnya, sungguh benci dia
pada pria yang telah merenggut kesuciannya dan menjerumuskannya
dalam lembah nista.
"Yee…ditanya diem aja, dasar dosen lonte !" kata Imron seraya
menepuk pantat Rania yang berlalu sambil mengacuhkannya.
Rania menengok dan memelototinya, namun ia tidak bisa lebih berbuat
lebih selain mempercepat langkahnya agar menjauh dari pria itu,
untunglah Imron tidak macam-macam karena dia baru menuntaskan
hajatnya dengan Joane beberapa saat lalu.
"Gimana Pak barang barunya, sedap gak ?" tanya Imron yang menemui
Pak Dahlan di ruangannya.
"Ya sedap toh, puas banget nih saya, hebat lu Ron bisa dapetin dosen,
kalau mahasiswi bispak sih saya udah biasa, tapi kalau dosen bispak
baru luar biasa, hahaha" katanya berkelakar.
Kedua penjahat kelamin itu pun tertawa-tawa penuh kemenangan.
###########################

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.