Sabtu, 25 November 2017

Wisata sex 4

cerita sex-wisata
sex part4
Di bagian ketiga cerita
saya sudah bercerita
mengenai pengalaman
saya bermalam di desa
Kropak, Purwosari,
Grobogan.
Hari ini adalah hari
kedua aku berada di
desa yang jauh dari
mana-mana, kota
terdekat adalah
Purwodadi yang
jaraknya sekitar 20 km.
Desa yang sepi ini
punya daya tarik
tersendiri yang khas.
Ini sudah aku ceritakan
di rangkaian cerita ini
di bagian ke tiga.
Aku menjelajah desa-
desa berdua dengan
temanku John. Namun
dia hari ini akan
mengakhiri
petualangannya,
karena ada telepon
dari rumah yang
mengabarkan orang
tuanya dari kampung
datang. Apakah alasan
yang dikemukakan itu
benar atau karangan
saja, tidak perlu aku
selidiki. Dari gerak
tubuhnya dia memang
sudah bosan dalam
perjalanan ini. Dengan
ojek dia kembali ke
Purwodadi dan
selanjutnya dia ke
Semarang lalu terbang
ke Jakarta.
Kini aku sendirian di
tengah pedalaman
kampung kecil di Jawa
Tengah. Meski aku
mulanya tidak kenal
siapa pun dan ini
adalah kunjungan
pertama kesini, tetapi
aku merasa tidak asing
lagi, karena ada
penduduk yang
menampungku dan
memperlakukanku
dengan ramah. Aku
seperti bersaudara
dengan mereka.
Hari kedua aku di
Kropak, ada kegiatan
pasaran, sehingga
suasana pasar cukup
ramai. Hampir seluruh
penduduk desa
terutama yang wanita
tumpah ke pasar pagi
ini. Aku bersama kakak
beradik Purwanti dan
Purwani kami jalan-
jalan cuci mata. Aku
sudah mengepalkan
sejumlah uang untuk
mereka belanja seperti
pesanan masakan yang
kuinginkan, yaitu asem-
asem balungan dari
daging kambing.
Meski tadi pagi aku
sudah sarapan nasi
goreng, tetapi karena
"lapar mata" aku
kemudian membeli
jajanan khas kampung
untuk sekedar icip-icip.
Meski yang dibeli cuma
sedikit, tetapi karena
bermacam-macam,
jadinya banyak juga.
Purwanti berpapasan
dengan seorang gadis
yang berjalan dengan
seorang yang sosoknya
seperti ibunya, lalu
mereka salaman dan
berpelukan. Gadis itu
memanggilnya bulik,
berarti dia adalah anak
dari kakak si Pur.
Pakaiannya sederhana
bahkan cenderung
lusuh dan
serampangan,
rambutnya tidak modis
sama sekali karena
digelung. Tetapi aku
menangkap gadis ini
punya daya tarik yang
kuat dan sesungguhnya
dia ayu dan cantik,
Mungkin karena
kurang perawatan dan
karena tinggal di
kampung, jadi tidak
ada tuntutan modis.
Purwanti
memperkenalkan
denganku. Dia
menyebut namanya
Arwani, panggilannya
wani. Kami akhirnya
jalan berlima. Tidak
ada yang dibeli oleh
Wani dan ibunya, Aku
membaca dari raut
mukanya dia tidak
punya uang untuk
belanja. Purwanti
kukepali uang yang
menurut ukuranku di
Jakarta cukup untuk
belanja sehari dengan
lauk ayam untuk satu
keluarga . Uang itu lalu
segera diserahkan ke
Arwani. Mulanya dia
terkejut dan berbasa-
basi menolak, tetapi
akhirnya mengucapkan
" Terima kasih ya
Oom".
Benar juga setelah itu
dia jadi aktif
berbelanja. Kami
kemudian berpisah dan
aku di rumah Purwanti
menikmati jajanan ku
tadi. Sementara itu
kedua Pur sedang sibuk
di belakang
menyiapkan masakan.
Ketika kami bersiap
menikmati masakan
asem-asem balungan,
muncul anak cantik
yang terpendam di
desa, si Arwani. Dia
dengan sepeda datang
membawa bungkusan
plastik. Ketika dibuka
isinya adalah botok,
masakan khas jawa
yang terbuat dari
kelapa dibungkus daun
pisang dan dikukus.
Menurut Wani itu
adalah botok
sembukan. Makanan
yang sudah lama sekali
tidak kunikmati. Si
Wani malu-malu dan
menolak ketika diajak
makan bersama, tetapi
akhirnya luluh juga dan
kami sama sama
menikmati asem-asem
balungan yang
memakai daun
kedondong muda.
Pintar juga kedua Pur
ini memasaknya
sehingga rasa asam dan
pedas cabe hijaunya
pas.
Selepas makan,
badanku berkeringat
sehingga aku memilih
duduk di depan sendiri
berangin-angin. Wani
kelihatannya
membantu Pur-pur
membersihkan bekas
makanan siang kami.
Tak lama kemudian si
Wani minta izin
kembali pulang ke
rumahnya.
Menurut Purwani,
rumah si Wani lumayan
jauh, kalau naik sepeda
sekitar 15 menit an.
"Mas si Wani minta
dicarikan kerjaan,
bapaknya kan sakit,
jadi keluarga itu tidak
ada yang menafkahi. "
kata Purwanti.
"Dulu dia punya suami
tapi ya gitulah orang
desa, jadi karena tidak
sanggup menjadi
sumber pemberi
nafkah, akhirnya kabur
dan cerai," kata
Purwanti. Menurut Pur
si Wani kawin masih
sangat muda mungkin
masih sekitar 15 tahun.
Dia ingat pada waktu
itu baru lulusan SMP
langsung kawin. Belum
setahun sudah pisah.
"Kalau mas e berminat
ntar saya kasih tau,
gimana ?" tanya
Purwanti.
Aku menerima tawaran
itu tentu saja
sejujurnya susah nolak.
Tapi rasanya kan nggak
enak juga sudah
menggauli Purwanti
dan Purwani bahkan
tinggal di rumah
mereka, lalu aku akan
bermain pula dengan
kenalan baru yang
adalah keponakan
mereka.
"Mas e kalau minat,
kita ndak apa-apa kok,
itung-itung saya nolong
keponakan sendiri, biar
si purwani nyiapke
kamar e dan aku
sebentar lagi jalan ke
rumahnya," kata
Purwanti.
Aku tidak bisa
berkomentar apa pun,
serba salah rasanya
mau bicara, mau nolak
rasanya padahal ingin
juga, mau nerima
rasanya rikuh pula.
Aku berdua ngobrol
dengan Purwani, dia
menceritakan betapa
beratnya kehidupan
keluarga Arwani. Sejak
orang tuanya sakit,
maka ibunya dan
arwani yang berusaha
mencari nafkah dengan
mengerjakan apa pun
yang bisa
menghasilkan. Aku
mendengar cerita
Purwani sambil
pikiranku menerawang.
Orang-orang desa yang
sederhana ini dalam
kehidupan yang serba
pas-pasan, jika tulang
punggung keluarganya
terkena penyakit
berat, maka
kemiskinan siap
menerkam mereka.
Entah berapa lama
kami ngobrol berdua
sampai muncul dua
sepeda. Sepeda
pertama dikendarai
Purwanti, dan yang
kedua Arwani
membonceng wanita
yang kelihatannya agak
tua. Aku kemudian
diperkenalkan bahwa
wanita itu adalah
ibunya Arwani. Wanita
yang berusia menjelang
40 tahun. Bekas
kecantikannya masih
terlihat, tetapi karena
kurang terurus jadi
kelihatan seperti
wanita desa biasa.
Ibunya lalu minta ke
aku agar anaknya
dicarikan kerjaan di
Jakarta. "Biarlah dia
kerja di Jakarta dari
pada di kampung nggak
ngapa-ngapain," kata si
ibu.
Pikiranku bukan soal
kerjaan apa yang
cocok, tetapi
bagaimana
menempatkan Arwani
di Jakarta. Aku tidak
bisa berkonsentrasi,
karena harus meladeni
pembicaraan.
Sementara itu Arwani
duduk tertunduk malu.
Kuperhatikan, Arwani
menyimpan potensi
yang luar biasa. Dilihat
rambutnya, cukup lebat
dan lurus sebahu.
Wajahnya ayu
hidungnya cukup
mancung lancip,
dagunya sedikit
terbelah, bibirnya tidak
terlalu tebal, tetapi
sensual, alisnya tidak
terlalu tebal, leher
jenjang kulitnya
lumayan putih untuk
ukuran orang desa. Nah
teteknya kelihatannya
agak melawan juga,
karena baju longgar
seperti daster masih
ketendang sama
susunya, sehingga
menyembul.
Tingginya lumayan saya
taksir sekitar 165 cm
dan badannya tidak
gemuk pula. Yah
badan-badan anak
teenager, tetapi cukup
berisi dan yang saya
kagum dia memiliki
body dengan pinggang
mengecil dan pantat
agak menonjol.
Sempurna sekali cewek
desa ini. Kalau aku
tolak sayang-sayang,
ini adalah asset yang
sangat berpotensi jadi
Miss Indonesia.
Si Purwanti bisik-bisik
sama ibunya Arwani.
"Ya sudah biar saja si
Wani nginap di rumah
buliknya biar ajar kenal
lebih dekat sama si
oomnya, kan mau
diajak kerja ke
Jakarta," kata si ibu.
Setelah kami ngobrol
lagi, si Ibu pamit dan
dia mengendarai
sepedanya sendiri
pulang ke rumah. Hari
mulai sore, saatnya
untuk mandi sore ke
sungai di belakang
rumah. Kami berempat
lalu beriringan menuju
tepian sungai.
Seperti biasa kami
mandi dengan basahan,
aku mengenakan
celana boxer, sedang
cewek-cewek
mengenakan kemben.
Dibalik kemben itu
tercetak jelas, bahwa
Arwani memiliki
payudara ukuran yang
cukup besar.
Tidak ada insiden, kami
mandi seperti biasa dan
Arwani makin
berkurang rasa
segannya kepadaku.
Ternyata dia termasuk
yang banyak bicara,
alias cerewet juga.
Selepas mandi,
sesampai kami
dirumah, aku disuguhi
kopi panas dan
singkong rebus. Tidak
lama kami
bercengkerama, hujan
deras turun. Purwani
menggiring aku dan
Arwani memasuki
kamarnya. Ternyata
kamarnya sudah rapi, Si
Arwani disuruh Purwani
memijat diriku. Dengan
malu malu, jalan sambil
menunduk Arwani yang
mengenakan kaus
oblong dan jarik.
Setelah kami duduk di
tepi ranjang Purwani
keluar dan menutup
pintu. Suasana pada
mulanya agak kaku.
Aku lalu mengajak
Arwani berbaring
bersebelahan
denganku.
Rikuh juga aku
memulainya, seperti
menghadapi perawan,
padahal ini janda, tapi
masih muda. Akhirnya
kuminta Arwani
memijat. Dia mau
tetapi beralasan,
kurang mahir memijat.
Aku lalu berjanji
menuntunnya agar
nanti pijatannya enak.
Dia mulai memijat
kakiku dalam posisi aku
telungkup. Sebetulnya
dia lumayan mahir
juga, tetapi aku tetap
memberinya petunjuk.
Sementara suara
gemuruh dan hujan
deras diluar membuat
kami semakin romantis.
Namun aku masih
merasa agak sulit
memasuki gerbang
kemesraan.
Aku kemudian
beralasan memberi
contoh bagaimana cara
memijat dan menekan
titik-titik syaraf dan
otot yang akan
memberi kenikmatan.
Mulanya Arwani segan,
sehingga menolak aku
pijat, tetapi setelah
aku bujuk berkali-kali
akhirnya dia nyerah
juga. Dia tidur
telungkup. Aku
memulai dari pijatan di
telapak kaki. Di sana
ada beberapa titik
yang kalau ditekan
akan berasa sakit, ada
juga yang
membangkitkan birahi.
Aku memijatnya
selang-seling antara
yang nikmat dan yang
agak sakit.
Dari telapak kaki naik
ke betis, maka
terkuaklah betisnya
yang langsing dan putih
melepak. Telapak
kakinya agak kasar
karena mungkin dia
sering tidak
mengenakan alas kaki.
Maklum orang desa.
Jariknya aku singkap
sampai lutut dan aku
memijatnya dengan
tekanan yang memberi
kenikmatan dan
meningkatkan gairah
aku melumuri betisnya
dengan hand and body
lotion, sehingga licin.
Setelah kedua betis,
lalu tanganku menjalar
ke atas tanpa
menyingkap jariknya.
Tanganku menelusuri
pahanya dan melumuri
dengan hand and body
lotion. Pijatan dan
tekanan di bagian paha
terutama di bagian
paha sisi dalam
memberi rangsangan
yang sangat tinggi bagi
wanita. Oleh karena itu
dia tidak
mempedulikan ketika
jariknya perlahan lahan
tersingkap.
Akal sehatnya sudah
mulai berkurang
karena sebagian sudah
dirasuki birahi. Celana
dalamnya terlihat
kumal terbuat dari kain
katun. Jadi ada
beberapa celah yang
memberi pemandangan
ke bagian dalam celana
itu. Aku terus memijat
dan menelusuri daging
pejal pantatnya.
Badannya terangkat
angkat karena
pengaruh nikmat
birahi. Jariku mulai
nakal menyentuh
pinggir daging
vaginanya, tetapi tidak
sampai masuk ke celah.
Wani sudah tidak
peduli hartanya mulai
terjamah oleh
tanganku. Dia sudah
"high".
Jariku masuk ke celah
yang ternyata sudah
berlendir. Dia tidak
menolak ada benda
asing berada di celah
kemaluannya. Jariku
mengorek-ngorek celah
itu dan mencari posisi
clitorisnya. Dia
terjingkat-jingkat
ketika clitorisnya aku
usap-usap.
Pelan-pelan celana
dalamnya aku
turunkan. Wani pasrah
saja dan menuruti
ketika aku lucuti. Dia
pun melemaskan
badannya ketika
kuputar sehingga
berposisi telentang.
Matanya aku tutup
dengan handuk kecil
setelah itu aku mulai
mengerjai clitorisnya.
Pinggulnya makin
berjingkat-jingkat jika
jariku mengenai ujung
clitorisnya. Sekitar 5
menit aku mainkan
clitorisnya sampai
akhirnya dia mencapai
orgasme.
Ketika terasa
vaginanya berkedut,
aku langsung
memeluknya dan
menciumi pipi dan
keningnya. Wani pasrah
saja. Dia pun pasrah
ketika bajunya kubuka
perlahan lahan dan
akhirnya BHnya pun
terlepas. Wani sudah
telanjang bulat.
Aku terkagum oleh
bodynya yang luar
biasa. Gumpalan
susunya masih tegak
menggumpal dan cukup
besar untuk wanita
seumurnya. Belakangan
aku tahu dia
mengenakan BH ukuran
36 cup C. Itupun tidak
semua daging teteknya
tertampung karena
sebagian masih luber.
Pentilnya masih kecil,
karena dia belum
pernah hamil. Tanpa
melepas moment yang
bagus aku menjilati dan
menghisap ujung
payudaranya sambil
yang sebelah aku
remas perlahan-lahan .
Wani sudah pasrah
tanpa perlawanan.
Perutnya masih rata
dan yang aku kagumi
adalah pinggangnya
yang mengecil dan
pinggulnya yang
melebar. Bulu
kemaluannya masih
belum lebat. Aku ciumi
perutnya lalu perlahan
lahan turun dan
akhirnya sampai ke
bagian kemaluannya.
Arwani seperti tersadar
ketika kemaluannya
aku ciumi. " Oom
jangan oom aku malu
dan jijik oom," katanya.
Tentunya aku tidak
bisa bicara, karena aku
segera membuka kedua
kakinya dan mulutku
langsung membekap
celah vaginanya.
Kepalaku awalnya
didorong untuk
menjauhi vaginanya,
tetapi ketika lidahku
menyentuh clitorisnya
dia menggelinjang dan
lupa akan tugas
tangannya yang
mencegah aku
menjilati kemaluannya.
Dia semakin larut pada
arus kenikmatan
sampai akhirnya
menjerit lirih karena
orgasmenya .
Beberapa saat setelah
orgasme aku langsung
menancapkan
senjataku ke lubang
kenikmatan sampai
kandas. Terasa
mencekam lubang
vaginanya. Aku lalu
memompanya
perlahan-lahan. Karena
ketatnya lubang vagina
itu, tidak sampai 5
menit aku sudah
nembak spermaku di
dalam vaginanya. Aku
rasa dia belum
mencapai orgasme
melalui hubungan sex
itu.
Aku biarkan sebentar
sampai penisku
menciut sampai
akhirnya keluar sendiri
dari sarang
kenikmatan. Meski
diluar hujan masih
deras, tetapi aku
merasa udara jadi
gerah. Kami berbaring
telanjang
berdampingan.
Tidak sampai 10 menit,
penisku sudah bangkit
lagi dan minta
disarangkan di lubang
nikmat. Tanpa
memperdulikan apakah
Arwani sudah siap atau
belum aku langsung
menungganginya
kembali. Penisku relatif
lebih licin masuk ke
celah vaginanya.
Namun cengkraman
lubang kenikmatannya
tidak berkurang
nikmatnya. Aku terus
menggenjot sambil
mencari posisi nikmat.
Pada ronde kedua ini
permainanku cukup
lama. Arwani sempat
mencapai orgasme
sekali berikutnya aku
mencapainya.
Beberapa saat kami
menyelesaikan
permainan dari luar
terdengar suara yang
meminta kami untuk
makan malam. Aku
mengenakan baju kaus
oblong lalu bersarung
tanpa mengenakan
celana dalam dan
Arwani mengenakan
lilitan jarik,
menggunakan atasan,
tetapi aku cegah dia
mengenakan BH. Dia
awalnya merasa malu,
tetapi setelah aku
bujuk dia akhirnya mau
menerima.
Aku keluar kamar
diikuti Arwani, Aku
langsung menuju kamar
mandi di belakang
dekat dapur untuk
membersihkan
kelaminku dari lumuran
sperma dan cairan
vagina Arwani. Setelah
selesai Arwani
bergantian masuk ke
kamar mandi. Aku
sengaja tetap berdiri di
dekat pintu kamar
mandi memperhatikan
Purwani sedang
menyiapkan hidangan.
Dari dalam kamar
mandi terdengar
desiran pancaran
kencing Arwani yang
cukup nyaring.
Hujan belum reda
meski pun tidak
sederas semula. Kami
makan dengan
menggelar tikar di
bawah. Rasanya nikmat
sekali makan dengan
duduk bersila
mengelilingi hidangan
di tengah. Suasana
sejuk karena hujan,
dilawan oleh hangatnya
asem-asem balungan
yang panas dan agak
pedas.
Selepas makan malam
yang amat nikmat aku
duduk di teras dimana
terdapat bale-bale. Aku
menyaksikan derasnya
hujan dan sesekali kilat
menerangi rimbunnya
halaman depan rumah
di pedesaan. Tak lama
kemudian menyusul 3
wanita mengerubungi
ku. Aku sudah seperti
raja minyak dengan 3
istri yang siap
melayaniku di ranjang.
Mereka semua manja-
manja mendekat dan
duduk di sekitarku.
Kami ngobrol "ngalor -
ngidul" artinya tanpa
fokus.
Purwanti membuka
pembicaraan dengan
mengatakan bahwa
malam ini kami
berempat tidur
bersama-sama di
kamarnya. Aku
sejujurnya sudah tidak
bergairah lagi bermain
di ranjang, karena
selama dua hari ini
sudah terlalu banyak
"bermain".
Aku disodori jamu
godokan, yang katanya
untuk menambah
kesehatan laki-laki.
Rasanya agak pahit,
tapi aku telan semua
lalu meminum sisa kopi
trubruk. Sepuluh menit
setelah itu badanku
mulai terasa panas,
sehingga tidak merasa
sejuknya suasana hujan
malam. Bukan itu saja,
senjataku perlahan-
lahan bagun pula,
meskipun tidak bangun
terlalu mengeras,
tetapi cukup berisi lah.
Sekitar jam 10 malam,
kami berempat masuk
ke kamar Purwanti. Di
kamarnya digelar dua
kasur lebar di lantai.
Mereka jika tidur
hanya menggunakan
kemben dari kain batik.
Si Wani juga begitu.
Aku tidak
merencanakan apa-apa
menghadapi 3
perempuan ini. Aku
akan pasrah saja apa
yang akan mereka
lakukan terhadapku.
Mereka rupanya
berinisiatif memijatku
secara bersamaan
bertiga, Seluruh
pakaianku dibuka
kecuali celana dalam
dan posisiku telungkup.
Terasa setiap bagian
yang memijatku
berbeda-beda, ada
bagian kaki kiri, ada
bagian kaki kanan dan
ada bagian tubuh.
Nikmat sekali menjadi
suami beristri tiga
sekaligus yang rukun
dalam satu ranjang.
Mereka semua patuh-
patuh dan melayani
dengan sepenuh hati.
Tidak ada yang ingin
menguasai. Seandainya
aku mempunyai istri-
istri yang begini,
nikmat sekali
kehidupan rumah
tanggaku.
Mungkin mereka akur
dan rukun karena
masih baru, jika sudah
lama-lama bisa saja
timbul rasa saling iri
dan berprasangka yang
keliru.
Sambil dipijat kami
mengobrol. Dari
obrolan itu Wani
menyebutkan dia masih
mempunyai adik yang
baru lulus SD. Sudah
setahun nganggur,
tidak sekolah karena
alasan tidak ada biaya.
Meskipun sekolah
gratis, tetapi bagi
orang desa tetap
merasa berat
membiayai transport,
uang jajan, baju dan
berbagai kelengkapan
sekolah.
Seketika itu aku tawari
untuk ikut ke Jakarta,
untuk menemani
kakaknya tinggal di
Jakarta. Wani merasa
senang lalu menciumi
ku. Ternyata dia
bertugas memijat
tubuhku bagian atas.
Jangan berpraduga
bahwa kelak aku akan
ngembat adiknya juga.
Sejujurnya pada waktu
itu aku hanya merasa
kasihan saja. Mereka
berdua akan aku
sewakan apartemen
studio di Jakarta dan
keduanya akan
kuusahakan
melanjutkan sekolah.
"Jangan seneng-seneng
dulu, anaknya belum
tentu mau, dan mbok
mu juga belum tentu
mengizinkan," kataku
sambil bertelungkup.
Bosan telungkup aku
berbalik telentang.
Celanaku
menggelembung. Si
Purwanti langsung saja
menarik celanaku
sehingga aku bugil.
Tanpa basa-basi dia
menggenggam penisku
yang memang sudah
menegang. Tangannya
mengocok perlahan-
lahan.
Tak puas mengocok
lalu dia mulai
mengulumnya. Aku
pasrah saja, sementara
itu si adik Purwani
memijat-mijat kaki
kiriku dan Arwani
memijat tangan
kananku sambil duduk
termangu melihat aksi
nekat buliknya
mengulum penisku.
Lama juga dia
mengulum penisku
yang sudah semakin
menegang, sehingga
dia lelah. " Ayo do
dibuka kabeh, mesakne
si oom e wudo dewe,"
kata si Purwanti yang
artinya kira-kira ayo
kita telanjang semua,
kasihan si oom
telanjang sendiri.
Purwani berdiri lalu
membuka kembennya
dan di dalamnya masih
ada celana dalam lalu
ia plorot kan. Kini dia
sudah bugil. Suasana
cahaya kamar agak
remang-reman
sehingga tidak jelas
betul detil body
mereka satu-persatu. Si
Arwani dengan gerakan
malu-malu melepas
kembennya dan celana
dalamnya, dia pun
kelihatan bugil.
Purwanti berdiri
melepas kuluman di
kontolku lalu melepas
semua bajunya.
Kontolku dilahap
adiknya si purwani.
Arwani kutarik dan
kuciumi susunya yang
sangat tebal, kenyal
dan besar. Aku
bergantian menyedot
pentilnya, sambil
tanganku meraih
selangkangannya
memainkan clitorisnya.
Aku tidak jelas siapa
yang melakukan,
karena merasa penisku
sudah tenggelam di
satu memek. Dia
langsung bermain
cepat dan dari
suaranya aku
mengenali bahwa itu
adalah suara Purwanti.
Dia bergoyang dan
asyik sendiri. Diaturnya
sendiri posisi
nikmatnya sampai
akhirnya dia berhenti
dan berasa denyutan di
memeknya yang
mencengkeram
penisku. Aku tidak
merasa terlalu nikmat,
biasa saja. Selepas itu
aku merasa Purwanti
berdiri lalu posisinya
digantikan Purwani.
Dia bergerak dengan
penuh perasaan, tetapi
diiringi dengan rintihan
nikmat. Tampaknya
Purwani berusaha
konsentrasi menikmati
senggama denganku.
Badannya penuh
keringat karena dia
sudah menderaku lebih
dari 10 menit.
Gerakannya lalu makin
cepat dan akhirnya dia
merintih bersamaan
dengan denyutan di
liang vaginanya.
Purwani ambruk di
sebelah kakaknya. Aku
lalu mengarahkan si
Arwani mengambil
posisi sama dengan
buliknya. Dia menuruti
saja dan dengan
bantuan tangannya
mengarahkan penisku
masuklah ke dalam
lubang kenikmatannya.
Vagina miliknya
memang berbeda
jepitannya. Hanya saja
dia belum mahir
bermain diatas,
sehingga gerakannya
masih kaku. Namun
rasa nikmat rupanya
yang menuntun ritme
gerak dan memperbaiki
posisinya. Tanpa sadar
dia mengerang sambil
seperti mengaduk
memeknya di kontolku.
Sementara itu aku
menikmati
pemandangan
guncangan buah
dadanya yang besar.
Aku meremas-remas
dengan kedua belah
tanganku. Meski pun
dalam keremangan
tetapi aku bisa jelas
melihat bentuk
payudaranya yang
nyaris sempurna.
Akhirnya dia menjerit,
dan ini kali agak keras
pula sehingga kedua
buliknya terjaga. "
Wani edan mbengok-
mbengok dewe," kata
Purwani. Maksudnya,
gila si wani menjerit-
jerit sendiri.
Sampai 3 wanita itu
orgasme aku sama
sekali maih jauh dari
puncak kenikmatanku.
Tapi aku malas untuk
bermain di atas
terhadap salah satu
dari mereka, sehingga
aku biarkan saja
penisku tetap tegang
sementara ke tiga
perempuan itu sudah
terbaring kelelahan di
dera orgasmenya
sendiri. Mungkin ini
pengaruh dari jamu
yang aku minum tadi,
dia selain
mempercepat ereksi
dan
mempertahankannya
sehingga tetap keras,
juga seperti membuat
penisku imun yang
membuatnya mampu
bertahan lama.
Untuk mengendorkan
tegangan di penisku
aku bangkit dengan
mengenakan sarung
dan oblong, keluar
kamar mereguk segelas
air putih dan ke kamar
mandi melepaskan
sebagian cadangan air
seni. Lalu mencuci
seputaran penisku.
Benar juga penisku
agak mengendur. Aku
kembali ke kamar dan
melihat hamparan
wanita bugil tidur
sesukanya.
Pagi harinya aku
terbangun karena
merasa ada yang
bermain kuda-kudaan
di atasku. Ternyata dia
adalah Arwani,
sementara itu yang lain
sudah tidak terlihat.
Aku berkonsentrasi
sampai arwani
mencapai orgasmenya
dan segera aku
balikkan posisi.
Sekarang giliran aku
menggenjotnya sampai
akhirnya aku mampu
melepaskan sperma.
Setelah itu kami
bersama-sama menuju
sungai mandi sambil
bersenda gurau. Terasa
tidak ada jarak
diantara kami demikian
juga diantara mereka.
Nikmat sekali rasanya
mandi bagai dikelilingi
3 istri yang rukun dan
akur.
Hari itu aku berencana
meninggalkan desa
Kropak. Arwani sudah
memutuskan untuk ikut
denganku ke Jakarta,
tetapi dia masih ingin
bicara dengan
keluarganya mengenai
rencana memboyong
adiknya juga. Arwani
meminjam sepeda
Purwanti pagi itu
pulang ke rumahnya.
Sedang kami masih
mempersiapkan
sarapan pagi. Purwanti
pagi itu menyiapkan
sarapan tiwul yang
berwarna coklat dan
rasanya agak manis
dengan parutan kelapa,
serta cenil. Katanya dia
beli di warung yang
memang selalu menjual
jajanan setiap pagi.
Aku sudah siap
berangkat, tetapi
masih menunggu
Arwani. Purwani
mengambil inisiatif
agar kami mendatangi
rumah Arwani dengan
menggunakan ojek.
Dua sepeda motor
sudah datang dan aku
dibonceng sendiri,
sedang Purwanti dan
Purwani bertiga
dengan tukang ojeknya
meluncur ke rumah
Arwani.
Kesan pertama ku
melihat rumah
keluarga Arwani adalah
mengenaskan.
Rumahnya terdiri dari
dinding anyaman
bambu, sangat
sederhana, ketika
masuk ke dalam
rumahnya yang tidak
terlalu besar, lantainya
diperkeras oleh semen.
Tidak ada barang
berharga yang berarti
di dalam rumahnya,
kecuali TV 12 inci.
Arwani dan ibunya
menyambutku lalu
seorang bapak tua
datang pula
menyalamiku, Dia
adalah bapak si Arwani,
lalu datang gadis kecil
menyalamiku dan
mencium tanganku. Dia
adalah adik Arwani
memperkenalkan diri
dengan menyebut
namanya Rachmawati.
Adiknya juga berwajah
manis ayu, umurnya
kutaksi masih sekitar
13 tahun. Arwani
menyatakan bahwa
ibunya setuju melepas
Rachma ikut dengan
Arwani ke Jakarta. Si
gadis kecil itu pun
mengangguk ketika
kutanya tentang akan
ke Jakarta.
Mereka bersiap-siap-
siap sejenak dan keluar
dengan baju yang rapi,
meskipun masih
terpancar
kesederhanaan.
Mereka membawa satu
kardus bekas mi instan.
Semua pakaian mereka
dibawa dalam kardus
itu. Aku mengelus dada
melihat kemiskinan
nyata di depanku. Aku
jadi berandai-andai,
mungkin jika aku
makan di restoran
Jepang di Jakarta, nilai
uang yang harus
kubayar bisa untuk
mereka hidup sebulan.
Aku membuka tas
ranselku, di tempat
tersembunyi masih ada
sisa uang di situ. Uang
itu masih satu gepok di
dalam amplop. Dengan
disamarkan bungkusan
koran aku serahkan
segepok uang seratus
ribuan ke ibunya.
Ibunya memegang
bungkusan itu,
menerimanya lalu dia
memelukku dan
menangis di dadaku.
Padahal dia tidak tahu
berapa nilai uang yang
aku berikan, tetapi
tangannya sudah
meraba bahwa uang
yang aku berikan
terasa tebal.
Tukang ojek yang akan
membawaku dan
Arwani serta adiknya
sudah menunggu di
depan. Kami
bersalaman dan
Purwanti serta Purwani
memelukku sambil
melelehkan air mata.
Mereka menuntut agar
aku harus datang
kembali ke rumah
mereka.
Perjalanan pulang
memang tidak terasa
lama. Kami sudah
berada di terminal bus
Purwodadi Grobogan.
Bergegas kami bertiga
menuju bus yang siap
berangkat ke
Semarang. Lumayan
cepat juga, karena
belum 3 jam bis sudah
tiba di Semarang. Aku
tidak turun di terminal,
tetapi di jalan di dalam
kota Semarang, dimana
banyak penumpang
turun disitu. Kami
bertiga mencegat taksi
dan meminta sopir
mengantar ke sebuah
hotel di Simpang lima
Bagi Rachma ini adalah
perjalanannya pertama
ke Semarang, tetapi
Arwani sudah 3 kali
katanya ke semarang,
meski yang terakhir
sudah lama sekali.
Untung kami dapat
room di Hotel yang
berada di wilayah
Simpang Lima
Semarang, Sebuah
kamar Executive.
Setelah bellboy yang
mengantar kami
keluar, aku membrief
mereka berdua
mengenai berbagai
fasilitas di kamar,
mengenai AC, kunci
kartu magnetik,
menghidupkan dan
mengatur siaran tv.
Setelah itu aku
berpindah ke kamar
mandi, mengenai
bagaimana
menggunakan semua
fasilitas di kamar
mandi itu. Aku agak
terperanjat juga
karena salah satu
dinding kamar mandi
hanya dibatasi oleh
kaca buram. Jadi siapa
pun yang berada di
dalam kamar mandi
akan terlihat dari
tempat tidur, meski
pun tidak jelas benar,
tetapi tetap saja
terlihat ketika sudah
telanjang.
Setelah kami
menyegarkan diri
dengan minum di mini
kulkas, kami
memutuskan turun dan
menuju pusat
perbelanjaan. Aku
berniat mendadani
mereka berdua agar
lebih modis. Mereka
agak canggung memilih
pakaian mereka
sendiri. Aku pun
sebenarnya kurang
paham mengenai
pakaian wanita.
Dengan mereka-reka
saja aku memilihkan
mereka masing-masing
2 celana jean, kaus
oblong, tank top,
celana pendek, daster,
sepatu, sendal, sepatu
kets, pakaian dalam
beberapa stel. Nah
mengenai pakaian
dalam ini aku tidak bisa
memberi saran. Aku
hanya berpesan kepada
SPGnya agar mereka
membantu memilihkan
untuk kedua anak
cewek itu.
Setelah tentengan
berat di kiri dan kanan,
kami kembali ke hotel.
Mereka membereskan
belanjaannya dan
melipat serta
memasukkan ke
traveling bag masing
masing yang baru.
Sementara itu aku
mandi menyegarkan
tubuh dan berendam di
bath tub. Hampir
setengah jam aku
berendam dengan air
hangat dan badan
sudah terasa segar
kembali serta rasa
lelah menjadi hilang.
Giliran mereka aku
suruh mandi. Mereka
agak malu-malu
terutama si Rachma.
Akhirnya mereka
berdua masuk kamar
mandi. Sebelumnya aku
sudah arahkan mereka
agar tetap menjaga
lantai kamar mandi
tetap kering.
Dari kaca buram aku
menyaksikan keduanya
mandi dengan shower
di bak bath tub. Meski
tidak terlalu jelas,
tetapi aku
mendapatkan
pandangan shiluet.
Mereka keluar dengan
baju barunya, celana
jeans dan kaus merah
serta pink. Meski
bajunya sudah modis,
tetapi tetap saja
mengesankan tampang
ndesonya. Kami turun
kembali dan menuju
mall. Tujuanku pertama
adalah salon, untuk
menata rambut
mereka.
Sekeluar dari salon
baru muncul
kecantikan
sesungguhnya dari
mereka. Karena sudah
terlalu lapar kami
kemudian mencari
makanan yang kiranya
cocok. Agar
memudahkan kami
menuju gerai fried
chicken.
Kedua mereka memang
sudah kelihatan modis,
dengan baju yang
selaras, tas kecil, hanya
make upnya yang
belum ada. Untuk itu
aku kurang ahli, nanti
saja di Jakarta mungkin
lebih pas. ***

Posting Lama Beranda