Sabtu, 25 November 2017

Wisata sex 1

cerita sex-
Wisata Sex
[Bagian 1]
Ah sial banget, kenapa
kereta commuter
jabotabek sekarang
gak berhenti di stasiun
Senen, padahal aku
mau naik kereta keluar
kota dari stasiun
Senen. Dari Stasiun
Kemayoran aku
terpaksa menggunakan
ojek ke stasiun Senen.
Sesampai di Senen
temanku John sudah
menunggu di sana.
Kami berdua sudah
janjian ketemu di
stasiun Senen untuk
memulai perjalanan
gila-gilaan, bukan
mendaki gunung,
menelusuri gua atau
backpacker, tapi
wisata kampung yang
rada ngesex.
Masih ada waktu
sekitar setengah jam.
Kami duduk-duduk
bengong aja, karena
kebetulan kami berdua
bukan perokok. Belum
sampai setengah jam
muncul rangkaian
Matarmaja yang akan
membawa kami ke
Timur.
Aku dan john memilih
naik kereta api karena
lebih praktis, lebih
cepat dan lebih murah,
kalau naik bus bisa 4
jam baru sampai, bawa
mobil pribadi, risiko
nyasar lebih besar
meski ada GPS. Tujuan
kami adalah stasiun
kecil Pegaden Baru di
wilayah Subang.
Fantastis, tidak sampai
2 jam stasiun kecil
Pegaden Baru telah
kami injak. Puluhan
tukang ojek seolah
berebut penumpang
yang tidak seberapa
turun di stasiun kecil
itu. Aku maupun John
baru pertama kali
menginjakkan kaki di
stasiun itu, juga tidak
punya kenalan di situ
seorang pun. Padahal
kami kalau ditanya
tukang ojek mau
kemana, kami tidak
bisa menyebutkan,
karena tujuan kami
memang khas, yaitu
rumah yang bisa kami
inapi tapi ada selimut
hidupnya. Nah kan
susah.
Kuajak John ke luar
stasiun sambil berkali-
kali menampik tawaran
tukang ojek. Kami
berdua ngopi di warung
di luar stasiun. Rupanya
ada tukang ojek yang
penasaran mengikuti
kami menawarkan jasa
ojeknya. Mereka ada 2
orang. Mungkin
mereka berharap bisa
mnejaring kami berdua
menggunakan jasanya.
" Bos mau kemana,
bos" tanya salah satu
tukang ojek yang
kutaksir berusia sekitar
pertengahan 30
tahunan.
"Belum tau mau
kemana," jawabku
singkat untuk
memancing reaksi
mereka. Kira-kira apa
yang akan mereka
katakan kalau aku
mengatakan begitu.
"Bos mau cari janda,"
tanyanya agak
menyelidik.
"Emang ada," tanyaku
sekenanya
"Banyak bos," katanya.
"Emangnya ada yang
bagus ," tanyaku rada
cuek
"Mantap-mantap bos "
katanya sambil
mengacungkan
jempolnya.
"Mantapnya kayak apa,
ada berapa," tanya
John.
"Aduh saya gak punya
fotonya , orang HP saya
jadul sih bos.," katanya
seperti rada kesal.
" Kenal berapa orang,"
tanya ku.
Si tukang ojek
kemudian sambil
menerawang
pandangannya
menyebut nama-nama.
Lumayan banyak juga
nama-nama yang
disebutkan.
Dia lalu menawarkan
salah satu dari nama-
nama itu. " Bos maunya
yang gimana ,"
tanyanya.
"Yang rada sekel,
buntelannya gede
umurnya sekitar 20 -30,
mukanya cantik," tanya
ku.
"Kalau si bos," tanya
tukang ojek menunjuk
John.
"Ya sama lah," kata
John.
Dua tukang ojek itu
lalu berunding.
"Ada bos," kata tukang
ojek yang kelihatannya
lebih senior.
Kami lalu tawar-
menawar uang jasa
mreka.
"Pokoknya sampai bos
dapat yang cocok lah,"
katanya.
Menurutku harga yang
ditawarkan itu agak
mahal, tapi karena dia
menjamin sampai kami
dapat yang cocok
akhirnya kami setuju.
Dengan gesit tukang
ojek itu menulusuri
jalan desa, dan
menembus perkebunan
tebu. Kami akhirnya
berhenti di depan
sebuah warung dan si
tukang ojek
mempersilakan kami
istirahat dulu di situ
sambil dia mau
menemui calon yang
akan kami " pakai".
Aku dan John rada
celingukan juga, sore-
sore berada di daerah
yang sama sekali belum
kami kenal. Keramahan
pemilik warung
mempersilakan kami
masuk ke dalam,
mencairkan suasana
kekakuan. Aku
numpang ke toilet dan
memesan minuman
dingin. Sekitar
setengah jam muncul si
tukang ojek. Dia
menawarkan "barang2"
yang yang tersedia
sambil menyebutkan
ciri-2nya.
Aku memilih yang
disebut namanya
Dedeh, dan John
memilih Titin. Kedua
tukang ojek itu
langsung balik dan
tancap gas lagi.
Sambil menunggu
tukang ojek balik aku
ngobrol sama pemilik
warung , seeorang
bapak-bapak yang
kutaksir berusia 50 an.
Dia mengatakan bahwa
di kampung Saradan ini
sudah biasa menerima
tamu dari luar untuk
menginap. Di dekat
warungnya juga ada
beberapa rumah yang
bisa menerima tamu
menginap. Mereka
tidak hanya yang
berumur setengah tua
(STW) tetapi ada juga
yang masih tergolong
abg. Aku jadi rada
menyesal memesan
STW dari tukang ojek
tadi. Tapi apa boleh
buat, bagi kami berdua
yang buta sama sekali
mengenai daerah ini,
ya harus mau
menerima apa yang
bisa kami dapat dulu.
Tidak berapa lama
muncul 3 anak abg ke
warung si bapak,
anaknya lumayan
manis, kutaksir
umurnya masih sekitar
15 an. Si Bapak
menggiring mereka
untuk menyalami kami.
Setelah menyebut
namanya masing
masing mereka berlalu
dan menghilang dari
pandangan kami.
Aku jadi kehilangan
minat pada pesananku
dari si tukang ojek tadi,
karena ke 3 abg tadi
manis-manis . Tapi
masih ada waktu lah,
paling tidak kami bisa
menambah tinggal di
desa ini 1 malam lagi
jadi total 2 malam. Aku
berjanji ke Bapak
pemilik warung, besok
aku akan kembali ke
warung dan akan
memesan ABG itu tadi.
Jadi di kampung yang
sepi dan jarang
terdengar raungan
mesin kendaraan
bermotor, kecuali
sepeda motor, aku
melakukan booking.
Tidak lama kemudian
muncul situkang ojek
dengan boncengannya
masing-masing. Eh
lumayan juga, bodynya
menarik. Keduanya
kualitasnya dapat
dikatakan sama, antara
Dedeh dan Tititn.
Misalnya di acak aku
gak keberatan dapat
yang mana pun.
Kutaksir mereka
berdua belum sampai
berusia 30 tahun
mungkin baru sekitar
25-an lah. Kami
bersalaman, Dedeh
diatur tukang ojek
duduk di sampingku
dan Titin duduk di
samping John.
Keduanya janda.
Mereka dengan gaya
malu gadis desa
mengatakan bisa
menerima kami
menginap di rumah
mereka masing-masing.
Kebetulan rumah
mereka berdua
berdekatan.
Sifat serakah yang ada
di otakku lalu
berproses. Aku
sebetulnya ingin
mencicipi keduanya,
lalu John ku kirimin sms
menawarkan kalau
nanti sudah puas
dengan pasangannya
kita bertukar. John
pikiran di otaknya
ternyata sama dengan
aku, dia langsung
jawab singkat "setuju".
Waduh, gimana
ngomongnya ke Dedeh
dan Titin. " Teh boleh
gak nanti malam saya
pindah," tanya ku ke
Dedeh.
"Ha. pindah kemana
atuh," tanyanya heran.
"Pindah ke rumah Titin,
dan temen saya pindah
kerumah Teteh,"
"Oh begitu, mangga
atuh,"
Setelah terjadi
kesepakatan akhirnya
kedua mereka dibawa
lagi sama si tukang
ojek pulang
kerumahnya baru
membawa kami ke
rumah.
"Gimana bos, mau
nginap sebulan di sini
tiap hari ganti-ganti
saya siap mengantar
bos, gak bakal habis
stoknya bos," kata si
tukang ojek sambil
senyum-senyum
menerima uang sebagai
ongkosnya.
Rumah Dedeh sangat
sederhana, rumahnya
separuh tembok
separuh papan. Hanya
ada 2 kamar tidur. Dia
di situ tinggal bersama
ibunya yang sudah tua.
Mereka 3 bersaudara.
Dedeh anak bungsu
kedua yang lebih tua
adalah laki-laki
merantau berkerja di
jakarta. Jadi Dedeh
yang statusnya janda
tanpa anak bertugas
merawat ibunya yang
sudah tua.
Aku memberikan uang
dimuka seperti yang
disebutkan tukang ojek
di warung tadi. Aku
bermaksud dengan
uang itu dia nanti
malam bisa
menyediakan makan
malam ala kadarnya.
Seteleh menerima uang
dia mambuatkan aku
teh manis panas lalu
masuk kebelakang
rumah agak lama baru
muncul .
Di duduk disampingku
dan menawarkan
mandi, karena hari
memang sudah mulai
agak gelap. "Akang
mau saya mandiin," dia
melontarkan tawaran
yang langsung
membuat juniorku
bangkit.
Tawaran yang tidak
mungkin aku tolak. Si
Dedeh bangkit dan
memberikan sarung
dan mengajakku masuk
kamar untuk
mengganti bajuku
dengan sarung. Dia
juga begitu, dengan
santainya dia membuka
semua bajunya dan
bertelanjang bulat di
depanku lalu
mengenakan sarung
berkemben. Bodynya
memang menarik,
meski made in desa.
Kami berdua masuk ke
kamar mandi yang
hanya terdapat ember
dan pompa tangan. Air
di ember sudah penuh.
Dedeh membuka
sarungnya sehingga dia
bertelanjang bulat di
depanku. Aku
membuka sarungku
yang masih ada celana
dalam lagi di dalamnya.
Dengan sigap Dedeh
memuka celana
dalamku. Mecuatlah
batangku yang sudah
cukup keras. Dengan
nakalnya Dedeh
jongkok di depan
batangku dan langsung
mengulumnya. Aku
menggelinjang nikmat.
Meski pun made in
desa, tapi kulumannya
luar biasa. Aku tidak
mampu bertahan lama
sampai akhirnya
ejakulasi di dalam
mulutnya. Hebatnya dia
langsung menenlan
semua sperma ku. Aku
yang tidak bisa
menahan rasa geli luar
biasa di kepala penisku.
Rasanya agak ngilu
pasca ejakulasi kepala
penis terkena jilatan
Dedeh. Dedeh seperti
tidak rela ada setetes
yang tercecer.
Badanku terasa agak
lemas. Dedeh seperti
sudah mahir langsung
menciduk air dan
mengguyur badanku
lalu mengguyur
badannya sendiri.
Diambilnya tangan
sabun lux yang wangi
dan sekujur tubuhku di
sabuni. Dibagian penis
dia bekerja agak lama
dengan gerakan
mengocok, batangku
yang lemas. Sampai
lubang pantatkua dia
ceboki sampai bersih.
Aku dimintanya
menyabuni tubuhnya
yang bahenol.
Kupeluk dia dari
belakang dan penisku
yang masih kuyu aku
tekankan ke belahan
pantatnya yang
gempal. Sambil kedua
tanganku meremas
payudaranya yang
lumayan menggumpal
kenyal.
Nafsuku jadi bangkit
lagi. Pelan-pelan
barangku bangkit lagi.
Dedeh lalu mengguyur
badannya dan badanku
juga sampai semua
sabun luruh. Dia
mengambil handuk dan
menghandukiku, lalu
dirinya menggunakan
handuk yang sama
mengeringkan
badannya. Aku hanya
menggunakan sarung
bertelanjang dada,
sedangkan Dedeh
menggunakan kemben
menggandengku masuk
ke kamar.
Aku dibaringkan dan
sarungku dipelorot.
Sementara Dedeh
sudah bugil. Aku pasif
tidur telentang dengan
pasrah dan
membiarkan Dedeh
mengeluarkan seluruh
ilmu yang dimilikinya.
Dia memulai dengan
kembali mengulum
penisku, menjilati buah
zakarku dan
mengulumnya juga lalu
menjilati lubang
pantatku yang
memberikan sensasi
geli dan nikmat. Pelan-
pelan penisku mulai
membesar di dalam
mulut Dedeh yang
sangat piawai.
Dia menduduki penisku
dan mulai mengayuh
dirinya diatas diriku.
Terasa sekali ketika dia
mencari posisi yang dia
rasakan paling nikmat.
Dia mulai bersuara
mengerang-ngerang
ketika posisi nikmatnya
mulai ditemukan. Tidak
sampai 5 menit dia
ambruk dengan nafas
terengah-engah.
Sementara aku masih
jauh dari garis finish.
Aku membalikkan
posisi, dan mulai
mengenjot dengan
posisi missionaris. Aku
juga mencari posisiku
yang paling nikmat
sambil berlama-lama
menekan dan
menggesek bagian
clitorisnya dengan
jembutku. Lalu
memompa lagi. Dedeh
mulai mengerang lagi
dan akhirnya menjerit
panjang dan
memelukku. Terasa
sekali lubang vaginanya
berkedut-kedut. Aku
berhenti sementara
untuk membiarkan dia
mencapai orgasmenya.
Setelah kedutan itu
tidak aku rasakan aku
kembali menggenjot.
Kali ini dengan gerakan
kasar dan cepat,
karena aku sebetulnya
sudah agak lelah
sehingga ingin segera
ejakulasi. Tetapi bukan
aku yang mencapai
puncak si Dedeh sudah
mendahului. Aku
terpaksa berhenti lagi.
Mood ku yang tadi
hampir dapat sekarang
hilang lagi. Aku mulai
lelah. Aku
membalikkan posisi
sehingga WOT. Dedeh
sebenarnya sudah
lemas, tapi dia
berusaha
memuaskanku dan
mengikuti kemauanku.
Dia menindihku dan
aku yang aktif
bergerak. Rasa nikmat
mulai menjalari
tubuhku sehingga aku
kemudian mencapai
puncak dan semua
sperma kulepas di
dalam memeknya.
Badanku terasa lelah
demikian juga mungkin
dedeh karena itu kami
berdua tertidur dalam
keadaan bugil.
Mungkin ada sekitar 1
jam kami teridur dan
terbangun karena
mendengar ada suara
John di luar dan suara
Titin.
Kami berdua tergesa-
gesa bangun. Aku
mengenakan sarung
tanpa celana dalam
dan kaus oblong. Dedeh
mgnenakan baju kaya
sweater dengan sarung
dan tanpa celana
dalam juga. Perut mulai
terasa lapar. Ketiak
kami keluar Titin dan
John tersenyum-senyum
melihat kami keluar
bersamaan dari kamar.
Kulirik meja makan,
ternyata makanan
sudah siap terhidang.
Ada sambal, sayur
asem, tempe goreng,
ayam goreng dan tumis
kangkung, Kuajak
sekalian John dan Titin
makan. Mulanya Titin
malu, tetapi akhirnya
kami makan bersama.
Sambil makan aku
mengorek keterangan
Titin. Dia masih punya
suami, tetapi kerja di
Jakarta. Suaminya tahu
kalau dia juga sering
menerima tamu di
rumah. Karena di desa
Saradan ini perbuatan
seperti itu sudah biasa,
jadi suaminya pun bisa
menerima. "Itung-itung
untuk tambah uang
belanja," kata Titin.
Seperti kesepakatan
semula akhirnya aku
dengan barang-
barangku pindah ke
rumah Titin. Jaraknya
tidak telalu jauh. Jam 9
malam ini kami berdua
jalan menelusuri jalan
desa. Jaraknya tidak
terlalu jauh sekitar 500
m, tetapi meliuk-liuk
masuk gang.
Rumah Titin kelihatan
dari luar agak besar.
Rumahnya tembok,
tetapi masih belum
diplester. Aku masuk
ke ruang dalam. Ruang
tamu sederhana, ada
amben, atau disebut
juga bale-bale. Titin
mempersilakan aku
duduk. Dia
menawarkan kopi
untuk menyegarkan.
Tawaran itu tentu saja
aku terima, karena aku
harus bersiap
pertempuran malam ini
dengan Titin. Titin
perawakannya tidak
terlalu gemuk,
badannya singset, baru
punya anak 1 berumur
2 tahun. Umurnya
kutaksir masih sekitar
20 tahun.
Body seperti Titin,
biasanya barangnya
sempit dan enak. Itu
pengalaman aku sering
tiarap ke mana-mana.
Dia lebih renyah
bergaul, omongannya
banyak. Ditengah
ngobrol muncul
seorang gadis
menghidangkan kopi. "
Ini adik saya, tinggal
disini ngawani, abis
sendirian" kata Titin
mengenalkan adiknya
yang menyalamiku
malu-malu. Celakanya
tanganku ditarik dan
diciumnya seperti
layaknya salim antara
santri dengan
udztadnya.
Aku segera menarik
tanganku, gak enaklah,
tapi sudah sempat
tercium juga. Dia
memperkenalkan
dirinya dengan nama
Neneng, umurnya
kutaksir sekitar 17
tahun. Masih terlihat
belia, meski dalam
kesederhanaan
kampung.
Setelah
menghidangkan kopi
dia mundur ke
belakang dan masuk
kamar. Aku
menanyakan ke Titin. "
Nanti kalau kita masuk
kamar, adikmu
gimana," tanyaku.
"Ah ya biasa aja, tadi
temannya kan sudah
disini, di sini mah
gituan udah biasa
oom," katanya.
"Emangnya oom minat
sama adik saya," Titin
mulai membuka
peluang.
"Kalau saya mau
emang dia bisa,"
tanyaku penuh harap.
"Ya bisalah, kan dia jug
ada lobangnya," kata
Titin sambil bergurau.
"Bukan gitu, emangnya
dia udah gak perawan
lagi," tanyaku.
"Kupingnya yang
perawan, dia juga bisa
terima tamu kok," kata
Titin.
"Gimana oom minat
ya," tanya Titin dengan
pandangan mata genit.
"Minat sih, tapi sama
tetehnya juga minat,
gimana ya," tanyaku
sambil rada cemas.
"Ya gak apa-apa, nanti
kita main bertiga di
kamar saya," kata Titin
enteng.
Titin lalu berteriak
memanggil nama
Neneng. Yang dipanggil
keluar sambil
mengucek matanya.
"Tadi temen saya main
sama Neng juga,"
tanyaku sama Titin.
"Enggak sih Titin tadi
pergi entah kemana
nglayap sama temen-
temennya." Kata Titin.
Sambil makan singkong
rebus dan kopi tubruk
kami ngobrol bertiga.
Setelah agak larut,
kami bertiga menuju
kamar mandi untuk
saling membersihkan
diri dan membuang
desakan air seni (kok
air seni ya, seninya
dimana) aku diberi
sarung dan handuk,
Mereka berdua masuk
kamar dan keluarnya
sudah berkemben kain
sarung pula.
Di kamar mandi yang
agak remang-remang
mereka berdua dengan
santainya membuka
kemben yang ternyata
dibaliknya tidak ada bh
dan celana dalam. Titin
jembutnya normal aja
agak jarang sedikitlah,
Kalau sih Neng bulunya
baru sedikit banget.
Sehingga cembungan
memeknya kelihatan
jelas. Mereka kencing
dengan suara berdesir
lalu mengambil air di
ember untuk
membersihkan diri. Aku
melepas sarung dan
membuka celana
dalamku. Belum aku
beraksi Neneng dan
Titin sudah menyambut
senjataku yang belum
siap bertempur dengan
menyiram air dan
menyabuninya. Seperti
juga Dedeh aku
disabuni sampai ke
lubang-lubang pantat.
Mereka kembali
mengenakan kemben
dan tidak mengenakan
apa-apa lagi di
dalamnya . Aku pun
tidak memakai celana
dalamku dengan hanya
bersarung saja kami
bertiga masuk ke
kamar Titin.
Kasurnya digelar
dibawah , dan
kelihatannya jika
ditiduri bertiga agak
sempit mungkin ukuran
160.
Aku dengan percaya
diri membuka kaus
oblong dan tidur hanya
dengan bersarung.
Mereka bertiga pun
begitu. Titin di
kananku, dan Neneng
di kiriku. Keduanya
langsung aktif seperti
tentara terlatih. Titin
mengangkat sarungku
dan langsung
menangkap burung di
dalamnya. Diremas-
remas sebentar lalu
dikocok ringan. Aku
menurunkan sarung
Neneng sehingga
terlihat teteknya yang
masih tidak terlalu
besar dan pentilnya
pun kecil sekali. Aku
jilati teteknya, dan di
bawah sana penisku
dan sekitarnya sudah
mulai dilomoti Titin.
Aku malam ini harus
menghadapi dua
musuh, padahal amunisi
dan tenaga sudah
banyak terkuras. Perlu
ada taktik untuk
memenangkan
peperangan. Puas
menciumi dan meraba
tetek kecil, tanganku
menggerayang ke
selangkangan Neneng.
Gundukan mentul dan
masih sedikit bulu
terasa. Jari tengahku
mencari jalan sendiri
sampai menemukan
tonjolan kecil daging
penutup clitoris.
Dengan segera dan
lincah jariku bermain di
clitorisnya. Neneng
mengelinjang jika
tanganku menyentuh
ujung clitorisnya.
Tanpa sepengetahuan
pemiliknya dengan cara
yang tersamar aku
membaui tanganku
yang berlendir dari
kemaluan Neneng.
Tidak tercium ada bau.
Berarti dia bersih.
Kuarahkan Neneng
untuk menggantikan
kerja si Titin dan Titin
kutarik keatas. Untuk
ku hisap teteknya.
Neneng cukup mahir
juga memainkan
kebanggaanku, meski
tidak sepiawai
kakaknya.
Berikutnya giliran si
Titin aku eksplor
memeknya. Sudah agak
berlendir. Seperti tadi
aku curi-curi mencium
lendir si Titin yang
tertinggal di tanganku.
Baunya tidak ada alias
enak-enak aja.
Senjataku sudah
dikulum dua wanita
kakak beradik, tetapi
masih mampu
bertahan. Mungkin
sudah agak imum
karena pertempuran
dengan si Dedeh tadi.
Aku menarik Titin
untuk mengambil posisi
WOT. Dia segera
menyarangkan
burungku ke lubang
kebahagiaannya.
Tebakanku tidak
meleset. Terasa ketat
betul lubang memek si
Titin, setiap gerakan
terasa menyedot
penisku. Seandainya ini
adalah pertempuran
pertama, aku bakal
bobo pada gerakan
sepuluh langkah.
Untung aku bisa
bertahan. Titin
menemukan posisi
nikmatnya sehingga dia
akhirnya mencapai
orgasme. Aku
sebenarnya hampir
terlarut dengan
suasana menjelang
Titin orgasme tadi,
karena dia mengerang
dan gerakannya buas
sekali. Dia seolah tidak
perduli ada adik di
sebelahnya yang
menyaksikan.
Titin ambruk menindih
tubuhku dengan nafas
terengah-engah.
Terasa sekali lubang
memeknya
berkontraksi dengan
iriama orgasme.
Setelah dia
menuntaskan
nikmatnya Titin turun
dan berbaring di
sampingku. Aku
meminta Neneng
menggantikan tugas
kakaknya . Dia segera
mengerti lalu memandu
penisku memasukkan
memek yang nyaris
gundul.
Neneng bergerak-
gerak diatasku, tetapi
dia tampaknya tidak
mengetahui posisi
enaknya. Aku harus
menuntunnya. Dengan
berbagai gerakku,
akhirnya ketemu juga
posisi terenak itu. Aku
menjadi semakin yakin
karena Neneng mulai
menggumam
melampiaskan
kenikmatannya. Anak
seumuran Neneng
umumnya agak susah
mencapai orgasme,
makanya dia cukup
lama sampai akhirnya
ambruk berorgasme.
Memeknya memang
agak sempit, tapi, jika
aku masih lebih legit
kakaknya punya.
Dua orang tumbang
dalam pertempuran ini.
Si Titin rupanya sudah
ngorok disampingku.
Titin kubaringkan dan
aku mengenjotnya lagi.
Badanku yang agak
lelah mempengaruhi
mood juga, sehingga
aku sulit mencapai
puncak gunung
tertinggi meski sudah
main cukup lama.
Kelihatannya si Neng
sempat mendapat O
sekali lagi dalam
perjalanan aku
menindihnya.
Rasanya aku bakal sulit
tidur kalau tidak
berejakulasi.
Sementara main
dengan Neng agak
susah aku
mencapainya. Tanpa
memperdulikan Titin
yang tertidur nyenyak,
aku jebloskan pelan-
pelan batangku yang
masih lumayan keras.
Dalam permaian kali ini
aku tidak perduli
apakan Titin mencapai
orgasme atau tidak,
yang penting aku bisa
keluar dan hendaknya
jangan lama-lama. Titin
terbangun ketika aku
mulai menggenjotnya.
Dia agak ngantuk
tetapi membalas
gerakanku juga.
Memeknya memang
benar-benar nikmat.
Aku konsentrasi penuh
dan akhirnya badanku
mulai meremang dan
aku semakin kosentrasi
sampai akhirnya lepas
juga spermaku di dalam
memeknya. Rupanya
kedudtan orgasmeku
membuat Titin juga
berorgasme sehingga
dia peluk tubuhku kuat
kuat. " Oom yang ini
enak banget, saya
sampai lemes.
Kulirik si Neng sudah
mendengkur halus. Aku
pun sudah mencapai
titik lelah yang
tertinggi sehingga
tanpa perduli keadaan
aku tidur diantara
mereka.
Aku tidak terlalu sadar,
tetapi kelihatannya
sudah agak pagi.
Terasa penisku dingin.
Kulirik ke bawah Titin
sedang membersihkan
seluruh bagian
kemaluanku dengan
handuk kecil basah.
Setelah itu dia tutupi
tubuhku dengan
sarung. Dia sendiri
masih menggunakan
kemben. Si Neng sudah
tidak ada di
tempatnya.
Aku pura-pura tidur
saja, tapi rada susah
juga karena sudah
terganggu. Akhirnya
sekitar matahari sudah
mulai muncul di ufuk
timur Aku bangun
dengan hanya
mengenakan sarung
tanpa daleman dan
kaus oblong.
Aku duduk diruang
tamu. Tidak lama
kemudian Neng
membawa segelas kopi
tubruk.
"oom mau sarapan
apa," tanya si Titin.
"Apa sajalah yang tidak
terlalu repot" kataku.
"Kalau mau Indomie,
warungnya belum buka,
dirumah Cuma ada nasi
sama ikan asin sisa
semalam" kata Titin.
"Ya udah bikin nasi
goreng ikan asin aja,"
kataku.
"gimana itu oom, saya
nggak tau," ujar Titin.
Aku akhirnya turun
tangan membuat nasi
goreng cabe hijau
dengan ikan asin. Kami
bertiga menikmati nasi
goreng hijau. Aku
dipujinya pintar
memasak.
Selesai menikmati
sarapan kami lalu
bersepakat mandi pagi
bersama-sama. Pada
mandi pagi itu aku
sudah kehilangan
gairah, jadi meski
mandi bareng dan
berbugil ria, tapi aku
kurang terangsang.
Sehingga mandi pagi
itu lancar-lancar saja.
Aku berpakaian seperti
semula, celana jeans
dan kaus oblong.
Suasana cerah sekali,
kopi masih setengah
gelas dan sudah
kehilangan panasnya.
Tapi aku tidak masalah,
tetap saja menyukai
kopi yang sudah tidak
hangat lagi.
Aku mendengar ada
suara mengobrol yang
agaknya aku kenal.
Benar saja John dan
Dedeh muncul di pintu.
Keduanya tampak
segar. Memang mereka
baru selesai mandi
kelihatannya. Kami
bergabung di ruang
tamu dan mengobrol
panjang lebar.
Neneng aku pancing-
pancing mengenai
lingkungannya di desa.
Dia nyrocos aja bahwa
banyak temannya yang
masih sekolah SMP
sudah bisa terima tamu
di rumah. Kedua orang
tuanya merelakan saja
anaknya menerima
tamu dan menginap di
kamar. Informasi yang
dibeberkan tanpa
bumbu berlebihan,
malah diomongkan
seperti tanpa beban,
membuat aku dan juga
John ternganga-
nganga.
Saya membujuk si Neng
untuk mengundang
teman-temennya yang
masih belia, dan sudah
menerima tamu di
rumahnya. Tanpa
menunggu lama, dia
langsung berlalu . Kami
berempat ngrobrol
menganai berbagai hal.
Tapi aku fokus
mengorek keterangan
berbagai informasi
mengenai keterbukaan
sex di desa yang jauh
dari keramaian ini.
Sayang si Titin dan
Dedeh tidak bisa
menceritakan
sejarahnya mengapa
desa terpencil gini bisa
punya adat
membebaskan orang
berbuat sex di rumah
tanpa ada rasa malu.
Saya kira kalau hanya
alasan uang mereka
pasti merantau ke kota
besar untuk menjadi
PSK.
Baik Titin maupun
Dedeh beralasan takut
merantau karena
mereka merasa ngeri
jika digrebek atau
ditangkap petugas. "Ya
mending di rumah aja
oom, dapatnya gak
banyak juga gak apa-
apa, yang penting
aman.
Sekitar 2 jam setelah
Neneng pergi tadi, dia
sudah kembali dengan
rombongan. Ada 5
orang temennya
bersamanya. Wajahnya
malu-malu, tetapi
semuanya kelihatan
masih sangat belia. Aku
taksir usianya baru
sekitar 12 – 14 tahun.
Aku tidak percaya
dengan pandangan
mataku sendiri. Anak-
anak semuda ini sudah
diumbar orang tuanya
untuk berbuat sex
bebas.
Memang tidak
semuanya berwajah
cantik atau manis,
tetapi kepolosan dari
wajah kebeliaannya
sangat menonjol.
Dandanan mereka
sangat sederhana khas
wanita desa.
Aku penasaran juga
ingin mencicipi mereka,
tetapi melawan
kelimanya mana
mungkin aku bisa.
Sayang juga
melepaskan mereka
begitu saja. Otak
fotografer langsung
konek. Aku
menawarkan mereka
untuk mau aku foto
dalam keadaan bugil.
Aku menjanjikan
memberi uang yang
untuk ukaran di desa
ini sangat lumayan.
Mulanya mereka malu,
tetapi jumlah uang
yang aku iming-
imingkan itu menggoda
mereka untuk
menerimanya. "Foto-
foto doang Oom, "
tanya salah seorang
dari mereka yang
kelihatannya paling
tua.
Aku jawab benar,
hanya foto-foto saja,
tempatnya ya di rumah
ini dan di halaman
belakang rumah.
Rumah si Titin
kebetulan agak
memisah dari tetangga
dan dibatasi oleh
kerimbunan semak
yang merupakan pagar
hidup.
Mereka berlima
langsung saling
pandang dan tertawa
malu sambil
menutupkan tangannya
ke mulut.
Titin dan Dedeh dengan
bahasa setempat
membantu aku agar
mereka mau saja
menerima tawaranku.
Kata dia uang segitu
lumayan, Cuma difoto-
foto doang paling juga
gak lama. Titin
akhirnya menggiring
kelima anak itu masuk
kamar untuk melepas
semua pakaiannya.
Tidak lama kemudian
dia keluar dan menutup
pintu depan. Ruangan
menjadi agak redup,
aku membuka semua
jendela dan menutup
sedikit kordijnnya.
Neneng merajuk, dia
juga ingin difoto
karena ingin dapat duit
lagi. Aku setuju saja,
Dia kemudian berlari
masuk kamar di tempat
anak-anak tadi. "Oom
kalau kita-kita boleh
juga enggak difoto,"
tanya Dedeh. "
Lumayan oom untuk
tambah-tambah,"
sambungnya lagi.
Aku langsung
memikirkan
skenarionya. " ok,"
kataku.
Dedeh dan Titin ikut
masuk kamar untuk
melepas baju.
John memprotes aku,
kata dia biayanya
lumayan besar, cukup
untuk "tiarap" dua
malam lagi.
Tapi aku bilang, tenang
aja, "ente gak usah
keluar uang, gua aja
yang bayar semua,"
Pintu kamar terbuka.
Diawali dengan si
Neneng keluar sambil
masih berusaha
menutup teteknya dan
memeknya, yang lain
juga jadi ikut-ikutan
begitu. Terakhir si Titin
dan Dedeh tanpa
canggung keluar
dengan telanjang bulat
dan tidak menutupi
auratnya
Aku lalu mengatur
posisi 8 orang itu.
Pertama-tama aku
mengambil mereka
dengan foto bersama
berjajar, berkali-kali.
Setelah itu aku
mengatur posisi
masing-masing seperti
sedang melakukan
kesibukan di rumah.
Dia bale-bale mereka
yang masih belia aku
suruh duduk sambil
membuka
selangkangannya.
Mereka masih belum
berjembut semua
Berbagai posisi aku
ambil dan secara
bergantian aku ambil
satu persatu dengan
berbagai gaya sampai
pada close up
memeknya dan
teteknya.
Setelah itu dua
perempuan yang sudah
dewasa juga aku shoot
dengan berbagai posisi
sampai close up
memeknya masih-
masing.
Dari ruang tamu aku
arahkan bergerak ke
arah dapur. Meski
dapurnya sempit,
tetapi karena ada
akses pintu ke
belakang, dan ketika
dibuka lumayan
memberi cahaya masuk
dan aku bisa membidik
kamera dengan
berbagai angel.
Ternyata di belakang
rumah ada halaman
yang tidak seberapa
tetapi bersih dan ada
pula sumur di situ.
Mereka lalu aku
arahkan ke halaman
belakang berbagai
gaya dan tampak latar
belakang rumah
pedesaan yang
sederhana. Dibelakang
rumah Titin, ternyata
perkebunan tebu. Agak
semak memang, aku
membersihkan
beberapa semak
sehingga kelihatan
tidak terlalu banyak
daun tebu kering.
Mereka pun aku atur
berpose di seputaran
kebun Tebu. Jadi Foto-
foto itu sangat asri
karena diantaranya
ada juga di dekat
kandang kambing,
kandang ayam, sumur
dan ada pula dangau di
tengah kebun tebu.
Aku akhirnya lelah juga
karena acara foto-
fotoan telanjang
hampir 2 jam juga.
Memori card
berkapasitas 8 G
hampir penuh, padahal
masing-masing image 5
mega.
Untung masih telintas
diotakku foto0 mereka
setengah telanjang.
Mereka kuminta
membawa pakaiannya
ke belakang karena
aku akan memfoto
mereka dengan hanya
mengenakan celana
dalam , dengan kutang
dan baju yang masih
memperlihatkan aurat
mereka sedikit di
sekitar sumur.
Akhirnya tuntas sudah
memori 8 giga penuh.
Tidak semuanya foto,
setengahnya adalah
video. ***

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.