Sabtu, 25 November 2017

Wisata sex 3

cerita sex-wisata
sex part3
Ini adalah cerita
bagian ketiga. Untuk
mengetahui cerita
sebelumnya silakan cari
atau googling.
Menjelang jam 4 sore
kereta api Matarmaja
muncul dari Barat. Aku
dan John sudah
menunggu hampir satu
jam di stasiun Pegaden
Baru, Subang untuk
melanjutkan perjalanan
ke Semarang. Jika
perjalanan normal
tidak ada hambatan
kami akan sampai di
Semarang sekitar jam
10 malam. Lumayan
waktu 6 jam dalam
kereta yang ACnya
masih berfungsi dengan
baik.
Kereta berhenti di
stasiun Semarang
Poncol. Aku tidak akrab
dengan daerah ini,
karena biasanya aku
turun di Stasiun
Semarang Tawang,
yang sering kebanjiran.
Di pintu keluar stasiun
kami sudah dicegat,
tukang becak, ojek,
dan taksi. Aku berdua
ngloyor saja keluar
sampai benar-benar
keluar dari pagar areal
stasiun. Di seberang
jalan ada warung
menjual minuman
segar, dalam kotak
pendingin.. Kepada
penjual di warung itu
aku bertanya-tanya
mengenai stasiun bis
untuk jurusan
Purwodadi. Dia
mengatakan, biasanya
jurusan Purwodadi
terakhir jalan jam 5
sore.
Kami mencegat taksi
dan kepada supir taksi,
kami minta diantar ke
hotel yang dekat
dengan Simpang Lima.
Tidak sampai setengah
jam taksi sudah
berhenti di depan lobby
hotel yang lumayan
juga. Mungkin hotel ini
sekitar bintang 3.
Urusan Chek in sudah
selesai dan kami
menuju kamar .
Lumayan bersih, kami
bergantian mandi dan
istirahat sejenak.
Malam itu kami
berkeliling-keliling
Simpang Lima
Semarang, untuk cuci
mata sambil makan
malam.
Pagi-pagi selepas
sarapan kami berdua
langsung chek out dan
memanggil taksi untuk
mengantar ke stasiun
bus Penggaron,
Semarang. Stasiun bus
yang tidak terlalu
besar, dengan mudah
kami mendapatkan bus
jurusan Purwodadi.
Duduk sekitar 15 menit
di dalam bus yang
lumayan hangat juga
karena busnya tidak
ada AC.
Normalnya Semarang
Purwodadi sekitar 2
jam, tetapi kali ini 3
jam baru sampai
terminal Purwodadi,
Grobogan. Jalannya
memang tidak lancar
karena ada perbaikan
di beberapa tempat
sehingga kendaraan
harus ngantri.
Turun dari bus sudah
dicegat tukang beca
dan ojek. Saya cuek aja
dan ngloyor, dan
seperti biasa mencari
warung untuk sekedar
ngopi sambil cari
informasi. Tanya sana-
sini sampai akhirnya
saya mengatakan mau
ke Kropak, Wirosari.
"Lho saya orang kropak
Pak, bapak mau cari
rumahnya siapa," kata
si Bapak pemilik
warung.
Waduh saya bingung
juga menjawabnya,
untung inspirasi segera
masuk, " mau ke balai
desa pak, mau ketemu
kepala desa," kata saya
menjawab sekenanya.
Saya lalu menanyakan
kendaraan menuju
Kropak, si Bapak
merekomendasikan
saya naik ojeg dia akan
mencarikan ojek yang
biasa ngantar ke
Kropak. Muncullah dua
pengojek dengan motor
bebek.
Saya langsung berdiri
dan menarik salah
seorang tukang ojek itu
keluar warung, agar
pembicaraan saya tidak
di dengar oleh si Bapak
pemilik warung,
Si tukang ojek paham
tujuan kami, tetapi dia
bukan penduduk sana
sehingga tidak bisa
menunjukkan tempat-
tempat yang saya
inginkan. Namun dia
banyak kenalan di
Kropak yang juga
pengojek, dia berharap
mereka bisa menuntun
saya lebih lanjut.
Setelah ongkos
disepakati, kami
meluncur dibawah terik
matahari. Jaraknya
lumayan jauh juga
sekitar 20 km dari kota
Purwodadi. Jalan yang
dilalui melalui jalan
tanah diantara sawah-
sawah, kadang-kadang
melewati semak dan
perkampungan kecil.
Sekitar setengah jam
kami akhirnya sampai
ke Kropak. Aku
diturunkan di sebuah
warung makan yang
sederhana. Ini
kesempatan kami
makan siang. Si
pengojek tadi setelah
menurunkan kami dia
mencari rekannya
pengojek yang standby
di desa itu. Tidak lama
kemudian muncul
tukang-tukang ojek itu.
Pengojek dari
Purwodadi setelah
dibayar ongkosnya dia
kembali ke Purwodadi,
sementara pengojek
asal Kropak menolak
kami ajak makan,
mereka akhirnya ngopi
saja.
Sambil senyum-senyum
mereka menanyakan
kira-kira yang
bagaimana yang kami
inginkan. Jika
mengikuti keinginan
kami mungkin agak
sulit, jadi saya balik
bertanya, stok yang
ada yang bagaimana
saja gambarannya.
Mereka tawarkan
umumnya sudah agak
berumur semua, rata-
rata diatas usia 25
tahun. Tidak ada yang
unik sehingga aku agak
sulit menentukan. Aku
tanyakan diantara
begitu banyak yang
ditawarkan adakah
yang kakak beradik.
Langsung di jawab,
"ada" malah ada 3 yang
begitu.
Setelah memperoleh
gambaran, akhirnya
aku dan john memilih
salah satu pasangan
kakak beradik yang
digambarkan paling
bagus. Aku memberi
kesempatan kepada
tukang ojek itu untuk
men cek apakah
mereka ada di rumah,
dan kalau ada mereka
juga perlu bersiap dan
juga apakah mereka
bisa terima tamu.
Keduanya akhirnya
meluncur, tidak sampai
setengah jam keduanya
kembali malah
diboncengannya ada
wanita-wanita. Kami
dperkenalkan,
orangnya lumayan
untuk ukuran desa,
badannya kelihatan
cukup terawat dan
sekel, kutaksir
umurnya belum sampai
25. Aku bersepakat
dengan John bahwa aku
mengambil si adik dan
John mengambil si
kakak. Kami juga
bersepakat untuk
nantinya tukar, aku
pakai kakaknya dan
John pakai si adik.
Meski pun mereka
tidak lagi bisa disebut
remaja, tetapi
wajahnya manis, jika
ada yang pernah
melihat wajah pesinden
Jawa Sunyahni, ya
kurang lebih seperti
itu. Kakak dan adik
lumayan cakep dan
yang lebih penting
bahenol.
Kedua mereka kembali
pulang setelah kami
tawari minuman
mereka menolak.
Selanjutnya kami
dibawa kerumah si
kakak beradik.
Rumahnya agak di
pinggir desa dan
belakang rumahnya
seperti ada suara
sungai dan memang
benar ada sungai yang
lumayan lebar dan
deras airnya.
Si kakak
memperkenalkan diri
bernama Purwanti dan
adiknya Purwani. Di
rumah itu mereka
tinggal bertiga, yang
seorang lagi adalah ibu
mereka yang sudah
cukup tua, tetapi masih
kelihatan sehat. Kami
sempat diperkenalkan.
Dia tidak bisa
berbahasa Indonesia,
ya untung aku bisa
sedikit ngomong Jawa.
Dia bercerita bahwa
masih mudanya dia
adalah penari ledek
tayub yang sering
berkeliling ke banyak
daerah, Kedua anaknya
mengikuti jejak ibunya
juga penari tayub.
Purwanti dan Purwani
sekarang statusnya
janda. Memang agak
susah mempunyai istri
yang profesinya
seorang penari yang
harus mampu
menggoda lelaki.
Kepiawaian menggoda
itulah yang merupakan
modal penting, karena
dengan demikian akan
diperoleh banyak duit
melalui saweran.
"Sekarang makin sepi
mas jarang ada
tanggapan, abis
dimana-mana pada sok
alim," kata si adik yang
kelihatannya lebih
lancar nyrocos.
Rumah mereka cukup
lumayan bersih untuk
ukuran desa, hanya
modelnya berbeda
dengan rumah desa di
Pegaden, Subang. Di
sini rumahnya model
kaya joglo, sehingga
kamar ada di kiri kanan
dan ruang keluarganya
ada ditengah dan tidak
berjendela. Terasnya
sangat leluasa selebar
rumah di situ ada set
kursi tamu sederhana
lalu ada amben atau
bale-bale. Di dalam ada
seperangkat kursi tamu
dan dibelakangnya ada
meja makan.
Aku dan John sepakat
memberi mereka uang
jasanya di depan.
Jumlahnya sudah kami
ketahui dari tukang
ojek pemandu tadi.
Dengan gaya malu-
malu mereka terima
uang itu tanpa
menghitungnya. Aku
menambahkan lagi
sedikit yang kusebut
sebagai uang makan
untuk makan nanti
malam dan sarapan
besok pagi.
"Waduh mas hari gini
gak ada warung sayur
yang jualan, nanti saya
minta tetangga
nangkep ayam dan
digoreng aja sekalian,"
kata Purwanti.
Dia lalu beranjak
keluar halaman rumah
dan menghubungi
tetangga yang
disuruhnya memasak
ayam goreng.
Sementara itu aku
minta Purwani
mengajak jalan-jalan
ke belakang rumah
dimana ada sungai.
Kami melewati kebun
yang ditanami ubi kayu
alias singkong, ubi
rambat atau telo, cabai
rawit dan kacang
panjang. Dibelakang
kebun itu lah terdapat
sungai yang airnya
jernih dan mengalir
cukup deras. Kami
harus hati-hati turun
ke bawah karena agak
jauh juga kebawah
sampai mendapatkan
air sungai. Di situ ada
tempat untuk cuci
pakaian dan sekaligus
mandi. "Mas kita nanti
mandi sore di sini, lebih
enak dari pada di
sumur. Airnya seger,"
kata Purwani.
Sekembali kami ke
rumah sudah terhidang
minuman hangat. "Mas
nyobain ini minuman
desa namanya wedang
uwuh". Di dalam gelas
yang cukup besar
terdapat daun-daun
kering, kulit kayu dan
rempah. Rasanya enak
juga dan menyegarkan.
Kami berempat ngobrol
berbagai hal sampai
juga membicarakan
kemungkinan kami
nanti malam
melakukan tukar
guling. Kelihatannya
mereka tidak
keberatan. "Emang
simasnya kuat ," ujar
Purwani.
"Eh masnya mau gak
nyoba jamu desa, jamu
godokan, kebetulan
tetangga saya buat
gituan, kalau mau saya
ambilin," kata
Purwanti.
Aku yang memang suka
jamu, oke-oke saja,
tetapi John dia tidak
suka rasa pahit jamu
jadi dia menolak untuk
coba-coba. "Eh mas
nanti lemes lho," kata
Purwani.
Menemani minum
wedang uwuh ada
singkong rebus.
Rasanya sih cukup
asyik, apalagi kami
makan di teras depan
dengan pemandangan
alam pedesaan dan bau
semak daun-daun. Dari
rumah tetangga yang
agak jauh terdengar
suara burung puter dan
tekukur dan sayup
sayup ada suara radio
yang sedang
mengumandangkan
lagu-lagu Jawa.
Suasana desa begini
sudah lama menjadi
impianku. Tentram,
meski sekarang
terganggu oleh
raungan suara sepeda
motor. Sekitar jam
setengah lima kami
diajak mandi sore ke
sungai di belakang. Aku
mengenakan celana
boxer, juga si John
sedangkan mereka
mengenakan kemben
kain batik. Berbeda
dengan adat di Subang,
di sini mereka mandi
masih pakai kain
basahan. Badannya
putih dan gempal.
Karena mereka tidak
membuka kembannya
aku pun mandi tetap
mengenakan celana
boxer. Air sungai yang
jernih terasa segar
sekali. Mereka mandi
sambil main ciblon,
dengan cara menepuk-
nepuk air.
John memang anak
terlalu kota, dia
seumur hidupnya belum
pernah tinggal di desa.
Kalau pun tinggal di
desa baru akhir-akhir
ini saja karena
kebetulan rumahnya
yang dia beli kompleks
BTN yang
membebaskan sawah.
Kalau menurut John
rumahnya mewah alias
mepet sawah.
Habis mandi badan
kami segar sekali. Aku
berganti celana dalam
mengenakan sarung
dan kaus oblong. Kami
digiring masuk kedalam
kamar masing-masing.
Di dalam kamar ada
tempat tidur besi yang
diselubungi kelambu.
Aku dipersilakan naik
ke tempat tidur
mengambil posisi di
dekat dinding.
Purwani rupanya ingin
memberi service
pijatan terlebih dahulu
aku diminta buka baju
tinggal celana dalam
saja tidur telungkup.
Acara pijat ini memang
paling aku sukai,
karena badanku
rasanya nikmat sekali
jika dipijat.
Tangannya mulai
merambah badanku,
mulai dari bahu lalu
turun ke pinggang lalu
turun ke kaki. Badanku
didudukinya. Dia masih
mengenakan kemben,
tetapi kulit
punggungku merasa di
balik kemben dia tidak
mengenakan apa-apa
lagi. Aku jadi makin
syur.
Adegan telungkup
berubah jadi telentang,
seluruh permukaan
badanku di jamah
dengan pijatan-pijatan.
Penisku menggembung
di balik celana dalam,
diacuhkan saja oleh
Purwani. Sampai
pijatan selesai terlihat
titik-titik keringat di
dahinya.
Badanku sudah segar
dan menawarkan
memijat dirinya.
Mulanya dia malu
menerima tawaran itu,
tetapi setelah aku
desak terus akhirnya
dia menyerah. " Mas e
bisa mijet to," katanya
kurang yakin.
"Ya dicoba wae mbak,"
kataku menimpali.
Dia tidur tengkurap,
dan aku mulai
melancarkan pijatan
dari ujung kaki, naik ke
betis, lalu ke paha.
Melalui gerakan pijat
kain sarungnya makin
naik tinggi sampai
kedua bongkahan
pantatnya terlihat.
Purwani berkali-kali
memuji pijatanku. Aku
memang agak peham
titik-titik syaraf,
termasuk titik syaraf
birahi wanita. Ketika
bongkahan pantatnya
aku pijat, sebenarnya
dia sudah mulai naik
nafsunya, tetapi
kelihatannya dia
menahannya.
Aku berpindah dari
bongkahan pantat yang
gempal ke bahu. Lemak
di bagian belakang
tubuhnya lumayan
kencang. Pijatan terus
turun ke bawah sampai
lagi ke bongkahan
pantat.
Ketika dia kuminta
berbalik telentang,
Purwani berusaha
menutup bagian
kemaluannya dan
kedua payudaranya
dengan kemben batik.
Aku kembali memijat
dari ujung kaki terus
naik secara perlahan-
lahan ke paha. Paha
bagian dalam adalah
bagian kelemahan
wanita. Jika bagian itu
diberi tekanan lembut,
dia akan merangsang
pemiliknya. Memang
ketika bagian itu aku
sentuh, Purwani sudah
mulai menggeliat. Dia
sudah mulai terlanda
birahi. Makanya ketika
kain batiknya aku
singkap ke atas dia
sudah tidak peduli lagi.
Segitiga
selangkangannya sudah
terbuka dan aku bisa
dengan jelas melihat
jembut yang tidak
terlalu lebat, tetapi
istimewanya bagian
kemaluannya
membubung, Orang
desa menyebutnya
mentul. Aku memijat
bagian pinggir
kemaluannya lalu aku
tekan-tekan bukit
kemaluannya. dia
sudah makin sering
menggelinjang. Dengan
gerakan sambil
memijat, salah satu jari
kelingkingku masuk
kecelah kemaluannya.
Terasa berlendir basah.
Dia dipastikan sudah
sangat terangsang.
Aku lalu memainkan
clitorisnya, dia semakin
menggelinjang gak
karauan, aku
memainkan dengan
gerakan konstan dan
sentuhan halus sampai
dia mencapai orgasme
yang ditandai dengan
denyutan lubang
memeknya. Setelah
reda aku mencolokkan
perlahan-lahan jari
tengah dan jari manis
ke dalam vagina
sampai seluruh jariku
terbenam. Setelah
vaginanya terbiasa
menerima kedua jariku
aku memainkannya
dengan mengocok dan
kadang-kadang
melakukan gerakan
seolah mengangkat
tubuhnya dengan
kedua jariku. Purwani
melolong-lolong nikmat
sampai akhirnya dia
menjerit nikmat.
Badannya sampai ikut
berkedut-kedut karena
hentakan orgasmenya
yang demikian kuat.
Bukan itu saja, dari
belahan vaginanya ada
memuncrat berkali-kali
cairan sampai
mengenai hidungku.
Dia mengalami
orgasme vagina dan
berejakulasi.
Akhirnya dia terkulai
lemas, kembennya
sudah gak karuan dan
tidak lagi menutupi
buah dadanya yang
membengkak. " Mas
seumur-umur aku baru
ngrasai enak yang
kayak gini , sampai
rasanya ada yang
muncrat ya mas,"
katanya.
Aku menciumi
wajahnya yang sedikit
berkeringat. Dia lalu
memelukku erat sekali.
" Mas sudah tinggal di
sini aja sama saya
jangan pulang lagi, "
katanya .
Wanita yang baru
mendapat orgasmenya
yang dahsyat jika
dilanjutkan dengan
menciumi wajahnya
seperti mencurahkan
kasih sayang, dia akan
sangat berkesan dan
ingin selalu berada di
dekat kita. "Mas
awakku lemes banget
he rasane, lan rada
ngantuk," ujarnya.
Aku yang sudah
mencapai ketegangan
top, tentu saja
mengabaikan
keluhannya,
Kembennya aku buka
sehingga di telanjang
bulat lalu celanaku
kulepas dan dengan
posisi menindihnya aku
mencolokkan penisku
memasuki gerbang
kenikmatannya.
Meski lubangnya terasa
licin, tetapi karena
cairannya agak kental,
jadi rasanya rada
megang tuh memek.
Rasa vaginanya enak
sekali. Aku terus
bermain
menggenjotnya.
Mungkin karena dia
baru saja mencapai
orgasme dan merasa
dekat dengan aku, dia
cepat sekali mencapai
orgasme berikutnya
sampai akhirnya aku
mencapai ejakulasi
juga . Spermaku
kulepas di dalam
vagina dengan
menekankan
kemaluanku sedalam-
dalamnya.
"Mas suwun yo mas
sudah lama aku nggak
dapet rasa nikmat yang
begini, mas kok pinter
banget sih, " katanya.
Kami lalu beristirahat
sebentar, sambil
ngobrol. Dia katanya
ngantuk sekali, ingin
tidur sebentar. Aku
terpaksa bengong saja
menunggui dia tidur.
Dengan bersarung, aku
keluar mencari kamar
mandi di dalam
rumahnya. Disitu
kucuci senjataku lalu
mengenakan celana
dalam dan mengenakan
kaus oblong.
Ketika keluar aku
berpapasan dengan
Purwanti, "Mas
temenmu ngorok, Wani
mana, " tanyanya.
"Ngorok," jawabku
singkat.
"Wah mas e pasti kuat
lan pinter main e,"
kata Purwanti
mengambil kesimpulan
singkat.
Jam sudah
menunjukkan jam 8
malam, perut sudah
mulai menghisap.
Purwanti
membangunkan Wani
untuk membantunya
menyiapkan makanan.
Lauknya adalah ayam
goreng dan sambel. Si
John dengan mengusap-
usap mata keluar dari
kamarnya.
Ketika kurasai ayam
gorengnya masih
terasa bau amis ayam.
"Mbak ayam nya kita
buat soto saja ya."
Kataku.
"Mas aku gak punya
bumbunya," katanya.
"Tenang wae aku sing
nggae," kataku
menyatakan siap
membuat soto ayam
seketika. Didalam
ranselku ada 2 bungkus
mihun jagung soto
ayam, Aku minta
mereka nyuir-suir
ayamnya sementara
aku merebus mihun.
Sekitar 5 menit bihun
rebus rasa soto sudah
selesai dan kuletakkan
dipanci dengan air yang
berlebihan, lalu tambah
garam sedikit, merica
bubuk dan msg, sampai
rasanya pas ketika
kucicipi.
Nasi kami ditaburi
suiran ayam lalu kuah
soto dengan bihunnya
kami tuang ke piring
masing-masing. Nasi
panas dan soto panas,
tambah sambel
bawang, wuih rasanya
nikmat banget. "Eh mas
e kok pinter yo mbikin
soto cepet banget dan
enak e nggak kalah
karo warung soto,"
kalau keadaan darurat
memang harus gitu
kataku.
Lho mas e memang
pinter masak tho,
tanya si Purwanti, aku
jawab sedikit-sedikit
bisalah. "Wah
kebetulan besok lagi
pasaran di desa, jadi
banyak orang jualan,
Besok kita belanja ya,
terus mas e sing masak.
Di desa-desa di jawa,
tidak setiap hari ada
pasar, biasanya pasar
diselenggarakan
seminggu sekali. Ada
yang mengikuti hari
berdasarkan
penanggalan masehi,
tetapi kebanyakan
mengikuti hari-hari
jawa atau disebut
naptu, Jadi ada pasar
paing, disebut paingan,
pasar legi ya legian.
Aku tidak ingat di
Kropak itu pasar apa.
Setelah makan
bersama, termasuk si
mbah ikut makan
bersama, kami istrihat
sambil makan angin,
begitu istilahku, duduk-
duduk di amben teras
depan. Suasananya
senyap sekali, hanya
suara jangkrik dan
macam-macam
binatang lainnya yang
terdengar.
Malam ini Nyonya
rumah menyuguhkan
kopi tubruk yang
dicampur jahe. Rasanya
pedes dan seger. Kopi
adalah persiapan untuk
kami tidur sampai
larut. Menjelang jam 10
kami digiring masuk,
kali ini swing, atau
tukar peraduan, Aku
masuk ke kamar
kakaknya Purwanti,
Purwani menyeret John
memasuki kamarnya.
"Mas kata adi ku, si
mas e pinter mijet yo,"
kata Purwanti.
"Kalau mau dipijet,
mesti mijet dulu,"
kataku.
Aku pun lalu membuka
semua baju termasuk
celana dalamku. Itu
aku lakukan karena
ruang tidur kami agak
gelap. Aku langsung
tidur tengkurep.
"Eh mas e lha kok
langsung telanjang yo."
Katanya sambil
meraba-raba pantatku
"Iya dari pada repot
nanti, toh akhirnya
dibuka juga, "kataku.
Seperti ritual pijat
biasa dan kemudian
aku membalas dengan
memijat dirinya. Si
kakak ini malah cepet
banget terangsangnya.
Mungkin karena
suasana gelap dia jadi
merasa makin
romantis. Ketika
kucolok dua jariku dan
mempermainkan
gspotnya dia berteriak
ketika orgasmenya
datang. Kayak gak
peduli, dan mukaku
kena semprot pula
pancaran ejakulasinya.
Aku juga
memperlakukan
Purwanti dengan penuh
kasih sayang, kuciumi
wajahnya yang baru
saja dia mendapat
orgasme tertingginya.
"Mas tinggal seminggu
di sini ya, gak usah kasi
duit aku juga gak apa-
apa, aku bakal kangen
terus karo sampean,"
katanya sambil
memelukku erat sekali
seolah-olah dia tidak
rela melepas tubuhku.
Selanjutnya aku
menggenjot tubuhnya
sampai dia kembali
kelojotan. Jamu
godogan yang aku
minum tadi memang
membuktikan
khasiatnya. Badanku
tidak terasa capek
sama sekali bahkan
batangku tetap berdiri
tegak 100%.. Si
Purwanti kewalahan
menghadapi aksiku
sampai dia minta
disudahi saja
permainannya, padahal
aku belum nyampe.
Untuk mempercepat
orgasmeku aku harus
berkonstrasi penuh,
sampai akhirnya
sampai juga ke puncak
dan tembakan kulepas
di dalam liang
kenikamatan yang
terdalam.
Baru saja setengah jam
istirahat, tiba-tiba si
adik masuk dan
langsung mengambil
posisi tidur
disebelahku, rasanya
tempat tidur jadi
sempit karena aku
diapit di tengah. " Lha
kok kawanku
ditinggal," tanya ku.
" Habis dia udah gak
kuat main lagi mana
langsung ngorok, ya
udah aku tinggal aja
kemarin, abis suarane
si mbak tadi njerit,
pasti keenakan ya,"
kata Purwani.
Akhirnya aku setuju
tidur bertiga tapi aku
mengajukan syarat
mereka dan aku semua
tidur tanpa baju. Aku
bilang biar gampang.
Benar juga si adik
belum sejam istirahat
sudah mengelus-elus si
Boy. Eh ditantang
begitu dia langsung
bangun dan siap
bertempur lagi.
Sebetulnya aku sudah
rada males, tapi
namanya kesempatan
yang jarang ada, maka
kubiarkan saja.
Purwani tanpa malu-
malu menaiki tubuhku
dan memasukkan
batangku ke vaginanya.
Dia bermain sampai
mencapai kepuasan
dan akhirnya ambruk.
Lalu tidur di
sampingku. Kakaknya
sudah tertidur dari
tadi. Sementara
barangku masih tegak
berdiri, tetapi, karena
mataku agak
mengantuk maka
kubiarkan saja dia
bangun sendirian.
Pagi-pagi sekali aku
sudah dikerubuti kakak
beradik, Aku tersadar
ketika penisku sudah
menghunjam lubang
kenikmatan Purwanti.
Sementara itu si Adik
menciumi dadaku
setelah itu
menyodorkan susunya
minta diemut. Kedua
mereka belum pernah
punya anak sehingga
putting susunya masih
tidak terlalu besar.
Aku baru mengalami
bahwa aku bisa kalah
cepat bangun
dibandingkan penisku.
Sebab ketika aku
bangun penisku sudah
keras sehingga mampu
masuk ke dalam sarang
Purwanti. Purwanti
kelihatan berusaha
konsentrasi dengan
permainannya sehingga
dia lebih cepat
mencapai orgasme.
Begitu ambruk dan
rebah di sampingku,
posisinya digantikan
oleh adiknya yang
mengambil posisi WOT
seperti kakaknya.
Mungkin juga karena
ada rasa sehati
permainan mereka bisa
semangat dan yang
lebih penting mereka
cepat mencapai
orgasme.
Sampai Purwani
ambruk aku belum
mencapai orgasme, aku
berpikir perlu
menghemat tenaga .
Sebab jika aku orgasme
di pagi ini badanku
akan lemas dan
sepanjang hari nanti
bakal ngantuk melulu.
Cahaya matahari pagi
sudah mulai menerobos
celah-celah jendela.
Kakak beradik sudah
terkapar dan
kelihatannya mereka
tertidur. Aku bangun
keluar kamar dan
menuju kamar mandi
untuk bersih-bersih.
Aku harus berterima
kasih pada siapa pun
yang punya gagasan
mengganti minyak
tanah dengan gas,
sehingga dapur di desa
yang jauh dari kota
juga menggunakan
kompor gas. Aku masak
air di ceret lalu melihat
persediaan makanan.
Ada ikan asin, ada cabe
hijau, bawang merah
dan putih, dan
tentunya terasi juga.
Sedang aku di dapur
muncul si mbah sambil
bertanya kemana
kedua anaknya. Aku
katakan saja bahwa
mereka belum bangun.
Si Mbah bingung,
karena kedua anaknya
itu tidak biasa bangun
kesiangan.
Dia membantu aku
mengupas bawang lalu
menguleknya dan
menggoreng ikan asin.
Aku lalu membuat nasi
goreng sambal hijau
dengan taburan ikan
asin goreng kering
yang sudah dipotel
kecil-kecil. Aku sengaja
membuatnya pedas.
Seharusnya kalau ada
telor bisa dibuatkan
telor mata sapi.
Nasi goreng sudah siap
tapi belum tersaji
karena masih di kuali,
dan air panas siap
diseduh dengan kopi.
Purwanti dan Purwani
tergopoh-gopoh keluar
kamar dengan hanya
berkemben kain. Dia
merasa malu, karena
aku melakukan
persiapan sarapan pagi,
padahal seharusnya
merekalah yang
berkewajiban.
"Wah mas e luar biasa
sampai aku ama wani
kesirep, " kata
Purwanti malu. Dia
meminta aku duduk
saja di depan dan untuk
selanjutnya dia yang
akan ambil oper
pekerjaan
mempersiapkan makan
pagi. Aku dan John
sempat jalan-jalan di
dekat-dekat situ
melihat sekeliling.
Penduduk di situ
ramah-ramah. Mereka
menegur kami ramah.
Aku tidak jalan jauh-
jauh lalu kembali duduk
di teras rumah dua
kakak beradik.
Sambil masih
mengenakan kemben
mereka
menghidangkan nasi
goreng ikan asin cabe
hijau dan kopi tubruk.
Mereka dan simbah
ikut nimbrung makan.
Kata mereka pedesnya
pol, alias pedes banget,
tapi enak. Si John yang
tidak tahan pedes,
terpaksa mencampur
dengan nasi putih
dingin.
Sehabis makan kami
istrahat sebentar lalu
beriringan menuju
sungai di balakang
rumah. Kali ini aku
mandi telanjang saja,
karena memang
tempatnya agak
terlindung. Akhirnya
kedua cewek itu pun
ikut-ikutan mandi
telanjang. John jadi
terpaksa telanjang juga
dia. Tidak terjadi
insiden di sungai,
kecuali saling meraba
dan menyabuni. Air
sungai yang dingin
membuat kami harus
cepat-cepat.
Seperti yang mereka
katakan kemarin,
bahwa hari ini ada
pasaran di kampung
mereka. Wani
menanyakan aku masih
belum pulang hari ini.
Aku jawab Iya.Dia lalu
menanya kan aku ingin
makan apa hari ini. Aku
teringat masakan khas
daerah perbatasan
jawa timut jawa tengah
adalah " asem-asem
balungan". Ini masakan
menggunakan daging
kambing berkuah asam
yang segar. Uniknya
rasa asamnya diperoleh
dari daun kedondong
muda. Kata purwanti
asem-asem adalah
keahlian si mbah.
Kami berempat jalan
menuju pasar yang
berjarak sekitar 10
menit dari rumah. Pagi
itu pasar sudah ramai
orang berjualan
macam-macam, mulai
dari bahan makanan
mentah sampai
makanan matang dan
jajanan khas desa
seperti, tiwul, gatot
dan berbagai nama
lainnya yang aku lupa
sebutannya.
Seharian itu kami
menikmati masakan
dan suasana
keheningan desa yang
damai dan tentram.
Rasa nya tidak ada
gairah ngesek, siang-
siang. Karena selain
udaranya panas, aku
dan John sudah terlalu
puas ngeseks selama
ini. Malah sehabis
makan siang aku
ngantuk dan tertidur
entah di kamar siapa.
Mungkin John juga
begitu.
Cukup lama juga aku
tertidur, karena ketika
bangun jam ditangan
sudah menunjukkan
pukul 4 sore. ***

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.