Sabtu, 25 November 2017

Rumah kontrakan Ardy 13

Rumah Kontrakan Ardi 13
Paginya, Ece masuk ke
kamar dengan memakai
baju daster yang sangat
minim. Bulatan
payudaranya seperti mau
tumpah saja karena
saking ketatnya pakaian
itu. Aku yang awalnya
masih ngantuk, kontan
langsung melek karena
tertarik. Tapi.badanku
juga terlalu capek untuk
melayaninya setelah
semalaman main dengan
Mitha. Maka aku pun
berguling untuk sedikit
menyembunyikan
tonjolan penisku yang
ngaceng setiap pagi.
"Heh, ayo bangun. Sudah
siang," Ece berjalan ke
tempat tidurku dan
dengan satu gerakan
cepat menarik selimut
yang aku pakai.
Mau tidak mau, penisku
pun jadi terekspos
dengan jelas. Segera aku
berusaha menutupinya
dengan menggunakan
tangan.
Ece tersenyum melihatku
yang tidur telanjang dan
langsung mengulurkan
tangan untuk menepuk-
nepuk penisku sambil
berbisik, "Kayaknya
inimu perlu diurus deh,"
Dia duduk di tempat
tidur dan mengulurkan
tangan memegangi
penisku. Tanganku
disingkarkannya untuk
diganti dengan miliknya.
Aku menatapnya dan
perlahan melenguh pelan
saat Ece mulai meremas-
remasnya ringan.
"Mitha mana, Ce?" aku
bertanya takut-takut
karena aku memang
masih berada di kamar
Mitha.
Tindakan Ece saat ini
sungguh sangat berani.
Bagaimana kalau kami
sampai dipergoki?
"Tenang saja, Mitha lagi
mandi." jawab Ece
santai.
"kita punya waktu
sekitar sepuluh menit."
Dia terus membelai
penisku hingga
menjadikannya semakin
bertambah kencang dan
keras.
"Hmm, kalau saja
suamiku punya kontol
seperti milikmu, Ar."
gumamnya penuh harap.
Aku menatapnya dan
berkata,
"Emang punya suami Ece
kayak gimana?" tanyaku
penasaran.
Dia tersenyum dan
menjawab, "Gede sih,
tapi nggak sekeras
punyamu. Padahal aku
sukanya yang keras kaku
gini, Ar." Aku hanya
tersenyum, santai.
"Ece boleh kok makek
punyaku kapan saja,"
Dan dengan beberapa
kocokan berikutnya, aku
pun menyemburkan air
maniku ke seluruh
tangan dan lengannya.
"Lho, Ar, kok udah keluar
sih? Aku.kan belum..."
rengeknya terkejut.
"Tenang, Ce, bisa
dilanjut nanti. Kalo
sekarang takutnya
keburu Mitha keluar,"
aku beralasan.
Ece membungkuk dan
mengangguk mengerti.
Ia kemudian mencium
kedua pipiku, juga
batang penisku yang
masih belepotan sperma
sebelum kemudian
berdiri untuk pergi ke
ruang tamu agar tidak
dicurigai. Sedangkan aku
segera mengambil tisu
untuk kugunakan
menyerap semua
cairanku. Tak lama,
Mitha keluar dari kamar
mandi.
"Heh, pagi-pagi udah
pegang-pegang penis,"
tegurnya sambil
tersenyum.
Gadis itu membalut
tubuh sintalnya hanya
dengan menggunakan
handuk kecil.
"Iya nih, selalu gak tahan
kalau dekat-dekat
kamu," kataku berkilah.
Mitha tertawa dan
melepas handuknya.
Tanpa rasa risih ia
memamerkan tubuh
telanjangnya di depanku
saat berganti pakaian.
Aku hanya bisa menatap
dengan kagum, namun
sudah tidak bisa ngaceng
lagi karena isinya sudah
dikuras oleh Ece.
Untung Mitha tidak
curiga.
"Cepetan mandi sana,
Mas." Mitha berkata
sambil memasang beha
merah marun di depan
bulatan payudaranya
yang sintal.
"Kamu udah enakan, kok
udah berani mandi?"
tanyaku ketika beranjak
dari tempat tidur.
"Sudah lumayan,"
jawabnya.
"Lagian, badan rasanya
lengket semua karena
kena pejuh mas Ardi."
Dia tertawa.
"Habis kamu sih selalu
menggodaku." Aku
bergegas mendekatinya
dan mencium pipinya,
sementara tanganku
beranjak untuk mencubit
puting susunya yang
masih belum tertutup
rapat. Benda merah
gelap terasa begitu
lembut saat kupilin-pilin
dengan menggunakan
dua jari.
Mitha hanya menjawab,
"Sudah ah, Mas. Nggak
bosen apa?" Namun dia
tetap membiarkan
tanganku bermain-main
di sana.
Bahkan yang ada, ia
dengan manja
menyandarkan tubuh
sintalnya ke dadaku,
membuatku jadi semakin
leluasa mempermainkan
bulatan payudaranya.
Hampir saja kami
kebablasan kalau saja
tidak mendengar suara
Ece yang memanggil dari
arah depan. Mitha
segera membenahi
pakaiannya, sementara
aku dengan pura-pura
panik berusaha memakai
celana.
"Cuci muka dulu sana,
Mas, baru setelah itu
kita temui Ece." kata
Mitha.
"Apa nanti dia nggak
curiga," tanyaku.
"Emang kenapa?" Mitha
bertanya balik.
"Biar aja dia tahu kalau
malam.tadi mas Ardi
tidur di sini. Aku pingin
tahu, kira-kira Ece bakal
cemburu nggak ya?"
Aku nyengir, "Huh, dasar
kamu!" Kucium pipinya
sekilas sebelum aku
beranjak pergi ke kamar
mandi.
Setelah membenahi
muka dan penampilan,
bersama dengan Mitha,
aku pun keluar menemui
Ece. Kakak Mitha itu
ternyata sudah ada di
dapur sedang memasak
air.
"Lho, Ardi?" Ece pura-
pura kaget, pintar juga
dia.
"Iya, Ce." Aku
tersenyum.malu.
"Ngapain, kak?" tanya
Mitha sambil
menggelayut manja di
pundakku.
"Ini, mau bikin teh
hangat. Tapi kulihat,
kamu kayaknya udah
baikan." kata Ece begitu
melihat paras Mitha
yang tampak
menyenangkan dan
berseri-seri di pagi ini.
"Ini semua berkat
perawatan mas.Ardi,"
jelas Mitha.
Ece mengucapkan terima
kasih dan memintaku
untuk tinggal sebentar,
tapi aku terpaksa harus
menolaknya karena
harus berangkat kerja.
***
Sorenya, aku langsung
pergi ke rumah Mitha.
Namun ternyata dia
sedang kuliah, biasanya
jam 10 baru pulang.
Terpaksa aku balik ke
rumahku dengan lesu.
Untunglah tak lama
kemudian ada sms yang
sedikit membuatku
bersemangat.
Dari Siska.
"Ar, bisa ke rumah
bentar?" tanyanya.
"Bisa, memang ada perlu
apa, Sis?"
"Nggak penting sih. Tapi,
kamu kan sudah tiga hari
nyuekin aku. Nggak
kangen apa?"
Aku tertawa, dan tanpa
perlu repot- repot
membalas segera
beranjak ke rumahnya.
Aku tahu kalau malam ini
Anton pulang telat, dia
tadi pamit lembur
kepadaku. Mungkin
karena itu Siska berani
mengundang diriku.
"Ada apa, Sis?" tanyaku
sambil melangkah masuk
dari ruang tamu menuju
dapur. Pintu rumah Siska
tidak dikunci dan
kudengar ada suara dari
dapur. Setelah kemarin-
kemarin sibuk dengan
Ece dan Mitha, aku jadi
gak sabar pengen meluk
dia lagi.
Namun senyumku
langsung menghilang dan
kurasakan wajahku
memanas begitu
mengetahui siapa yang
berada di sana. Tampak
Ece dengan senyum
kecilnya yang begitu
menggoda, berdiri di
samping Siska yang
seperti pura-pura tidak
tahu.
Mereka sedang
membikin nasi goreng
sambil menunggu
kedatanganku.
"Sini, Ar, masuk. Aku
sudah lama nungguin
kamu!" Siska
melambaikan tangannya.
Dia mengenakan t-shirt
polos dan celana pendek
longgar untuk digunakan
membungkus tubuhnya
yang tinggi langsing,
sementara Ece tampak
bulat dan menggoda
seperti biasanya dengan
daster kembang-
kembang tipis yang ia
kenakan.
'Ada apa ini?' aku
bertanya dalam hati. Dua
wanitaku berada dalam
satu ruangan dan seperti
menungguku, pasti ada
apa-apanya.
Dan sepertinya memang
mereka sudah
merencanakan sesuatu.
Berusaha untuk
tersenyum, kutatap Ece
dan Siska secara
bergantian. Sebelum
kemudian pandanganku
turun ke bulatan
payudara Siska yang
nampak tegang di balik
t-shirt nya. Apa istri
Anton itu tidak memakai
bra? Karena bisa kulihat
dengan jelas tonjolan
putingnya.
Ece tertawa yang
melihatku berlama-lama
menatap payudara Siska.
"Sudah, nanti kelilipan
lho,"
ingatnya. Siska
tersenyum dan menatap
padaku, "Udah kangen
pengen megang ya?"
candanya, yang langsung
membuat mukaku
bersemu merah.
"Ih, apaan sih." Aku
berusaha berpaling,
sementara Ece dan Siska
tertawa secara
bersamaan.
"Sabar, Ar. Kita makan
dulu." kata Ece.
Aku terkejut mendengar
suaranya yang begitu
tenang, juga sambil
berjalan cepat, ia
memberikanku ciuman
ringan di pipi. Benar-
benar tak terduga.
"Ece!" Membuatku jadi
tambah malu.
Siska kembali tertawa,
sementara Ece balik
duduk di kursi dapur
dengan menumpangkan
kaki. Daster pendek yang
ia kenakan jadi naik ke
pinggulnya, Ece seperti
sengaja memamerkan
belahan pahanya yang
putih mulus kepadaku,
bahkan bulatan
pantatnya juga terlihat
jelas, semakin
membuatku sesak napas.
Siska yang menyadari
aku sedang melirik kaki
Ece, hanya tersenyum
pendek. Sebuah senyum
misterius yang aku bisa
menebak apa maknanya,
sepertinya dia ingin
memberi kejutan
kepadaku.
Merasa santai, sekali lagi
mataku menelusuri lekuk
payudara Ece, juga perut
dan pantatnya sebelum
dengan cepat berpaling
pada Siska, mencoba
untuk
membandingkannya.
Kedua wanita itu
memiliki keindahan dan
keunggulan masing-
masing, membuatku
tidak bisa memutuskan
mana yang lebih
menarik.
"Bentar ya, kuambilkan
saos sambal di rumah."
kata Ece sambil berdiri
dan menekan sedikit
tonjolan payudaranya ke
bahuku saat kami
berpapasan. Putingnya
terasa sedikit menonjol,
dan dengan senyum
ceria, ia keluar dari
ruangan. Pantat bulatnya
tampak bergoyang indah
seiring setiap
langkahnya. Siska
menatapku, dan matanya
ikut melebar saat
melihat bagian belakang
tubuh Ece Geulis yang
seksi.
"Tubuhnya bikin ngaceng
ya," Siska berbisik.
Aku langsung menoleh.
"Eh... apa?" tanyaku
tergagap, kaget dengan
tanggapannya.
"Ece seksi," Siska
menyandar di tubuhku.
Jari-jarinya melingkar di
perutku dan dengan
nakal ia menekan
bulatan payudaranya di
lengannya. Kulitnya
terasa hangat, dan baru
kusadari kalau seluruh
tubuhnya memerah oleh
keinginan bersetubuh
denganku, membuatku
jadi merasa bersalah.
"Maaf ya, Sis... tiga hari
ini aku nggakngunjungin
kamu."
Tanganku meluncur
untuk meraba tonjolan
buah dadanya, juga
belahan pantatnya yang
luar biasa dan vagina
cantik yang belum
pernah dipakai untuk
melahirkan.
Siska menggelinjang. "Ar!
Ahh..." Dia tersentak dan
tampak kesulitan untuk
bernapas, bibirnya
berada dekat di
telingaku. Siska balas
menggelincirkan tangan
ke bawah, melewati ikat
pinggangku, dan
meremas batangku yang
berada di baliknya.
"A-aku... kangen ini, Ar!"
bisiknya menggoda.
"Aku juga rindu
tubuhmu, Sis," balasku
sambil mengecup ringan
bibirnya.
"Bagaimana dengan
tubuh Ece, apa kau juga
menyukainya?" tanya
Siska mengagetkan.
"A-apa... Ece?" tanyaku
gagap. Siska tersenyum
dan mengangguk.
"Kalau disuruh milih, kau
pilih yang mana... aku
apa Ece?"
Aku sulit untuk berpikir.
Selain keduanya sama-
sama cantik dan seksi,
juga karena aliran
darahku yang memompa
semakin deras akibat
belaian jari-jemari Siska
di batang penisku.
"Itu... engg... antara Ece
sama kamu... ah, m-
maksudmu apa, Sis? Aku
nggak ngerti,"
"Bagaimana menurutmu,
Ar?" Siska berbisik
mendengkur.
"Mumpung suami-suami
kita lagi nggak ada,
bagaimana kalau kita
main bertiga? Aku, Ece,
sama kamu." Siska
tersenyum.
Tiba-tiba dia berubah
serius dan menatap
mataku,
"Kecuali kalau kamu
nggak ingin..."
"Gila apa?!" aku
tertawa, "mana mungkin
aku menolak. Tapi, kamu
serius kan?"
Siska mengangguk.
"Sudah sejak lama aku
mimpiin ini, Ar. Main
bertiga sama wanita lain,
membagi tubuhmu untuk
dinikmati bersama, dan
kupikir wanita yang
tepat itu adalah Ece."
Aku tidak tahu harus
menjawab apa.
Segera kurangkul tubuh
mulus Siska dan kuberi
dia ciuman bertubi-tubi
sampai Ece Geulis datang
tak lama kemudian. Kami
segera melepaskan
pelukan dan pura-pura
tidak pernah terjadi apa-
apa. Ece memberikan
saos miliknya dan Siska
meneruskan memasak
nasi goreng, sementara
aku duduk di ruang
tengah menunggu
mereka selesai.
***
Ece duduk membungkuk
di sebelahku, kakinya
ditekuk ke sandaran
kursi. Kami baru saja
selesai makan dan sambil
tersenyum, Siska
menarik tubuhku ke
arahnya. Sementara
Siska memelukku, aku
melirik untuk mengintip
lipatan basah vagina Ece
yang terlihat jelas. Benda
itu tampak menggoda
sempurna karena
dibingkai oleh sepasang
paha yang sangat mulus
dan indah.
"Sekarang," kata Ece
sambil mendongak dari
acara televisi yang
sedang kita tonton, "apa
yang akan kita lakukan
selanjutnya?" Sepertinya
dia ingin menagih janji
Siska untuk berbagi
tubuhku.
Siska yang sudah tidak
bisa menahan diri,
segera tersenyum dan
menarik salah satu tali
daster Ece ke bawah.
"Pertama-tama, kita
lepas baju dulu." ujarnya
sambil menampakkan
bulatan payudara Ece
yang bergoyang indah.
Karena tidak berkutang,
Ece jadi benar-benar
setengah telanjang
sekarang. Payudaranya
yang besar terlihat
berat, yang sepertinya
membuat Siska menjadi
iri. Benda itu tampak
melambung dan
bergoyang-goyang begitu
Ece tertawa menanggapi
kenakalan Siska.
Putingnya yang berwarna
coklat kemerahan
seperti bergetar oleh
hembusan angin dingin di
luar yang masuk melalui
celah jendela.
"Ih, kok cuma aku?" kata
Ece sambil tersenyum.
Siska masih tertawa,
sementara mulutku
menganga menatap.
Mataku tidak bisa
memutuskan mana yang
lebih indah, yang kanan
atau yang kiri? Karena
kedua payudara Ece
sama-sama indah dan
menarik bagiku.
"Ar," kata Siska,
mengabaikanku yang
melompat kaget begitu
mendengar suaranya.
"Minggir dikit dong!"
"I-iya," sahutku
terengah-engah, tak
tahu apa yang ia
inginkan.
Siska bergeser
melangkahiku untuk
mendekati Ece. Begitu
sudah bersebelahan,
secara mengejutkan ia
meluncurkan mulutnya
ke bibir tipis Ece yang
tampak menggoda dan
langsung membungkam
apa pun yang akan Ece
katakan dengan sebuah
lumatan rakus yang
sangat panas. Aku
terbelalak, apalagi saat
kulihat satu tangan Siska
menyentuh rambut gelap
Ece, sementara yang lain
meremas keras di salah
satu bulatan payudara
perempuan cantik itu.
"Hmph..." Ece
mengerang. Tubuh
setengah telanjangnya
hangat menempel di
tubuh Siska, terlihat
lentur dan sangat
pasrah.
"Hggh..." Siska
menggeram jauh di
dalam tenggorokannya
dan menarik kepala Ece
lebih keras lagi. Mereka
berciuman dengan lebih
panas dan penuh gairah.
Tangan Siska meremas
dan menarik kuat
payudara Ece,
memunculkan rengekan
nikmat diantara pagutan
bibir mereka berdua.
Tangan Ece balas menari
di sepanjang punggung
Siska, menemukan tepi t-
shirt Siska dan segera
melepasnya agar bisa
menggaruk kulit Siska
yang mulus telanjang.
Terengah-engah, Siska
melepas ciumannya, ia
menarik diri cukup jauh
untuk melihat mata Ece
yang melebar liar oleh
keinginan.
"Mau dilanjut?" tanya
Siska menggoda sambil
melirikku.
"Lakukan, Sis! Oughh..."
jawab Ece terengah-
engah.
"Aku ingin lebih. Aku
mau tubuhmu, juga
kontolmu,
Ar!" Ece menoleh
padaku.
Siska berpaling
menghadapku. Aku
mengangkat bahu tanda
menyerah. Apapun yang
diinginkan oleh kedua
perempuan itu, aku akan
memberikannya.
"Gimana, Ar?" Siska
bertanya dengan suara
parau.
"Terserah kalian aja,"
jawabku penuh nafsu.
"Asyik," Ece mendengkur
senang.
"Iya, Ce," aku ikut
mengerang.
"Kamu suka lihat kami
barusan, Ar?" bisik Siska
parau.
"Pingin nglihat yang
lebih panas lagi?"
tawarnya menggoda.
Aku hanya mengangguk
pelan, mataku sama
sekali tak beralih dari
tubuh mulus mereka
berdua. Siska tersenyum
dan meraih tubuh
montok Ece yang
menggigil hangat.
Perlahan-lahan ia
memutarnya hingga Ece
kini menghadap tepat ke
arahku. Ece
melengkungkan
punggungnya untuk
menampilkan tonjolan
payudaranya yang sangat
besar. Aku menatap tak
berkedip begitu Siska
meluncurkan tangan ke
kulit mulus Ece.
"Aghh... Sis!" Ece
langsung mengerang
saat Siska menangkup
kedua payudaranya dan
meremas- remasnya
gemas. Ibu jarinya
menggoda puting susu
Ece yang mungil
kemerahan, membuat
Ece jadi makin merintih
dan bersandar pasrah.
"Susumu empuk, Ce,"
Siska berbisik.
Dia mengamati saat
dengan mata melebar,
aku memandangi tubuh
montok Ece. Bisa kulihat
tubuh Ece bergetar saat
tangan Siska terus
membelai lembut dirinya.
"Kamu suka, Ar?" Siska
bertanya dengan jari-jari
meluncur turun ke perut
Ece.
"Kamu suka lihat aku
giniin Ece?"
"I-iya, Sis," aku
mengangguk.
"Ece tahu, apalagi yang
Ardi suka?"
Siska mendesah di
telinga Ece.
"A-apa?" Ece merintih.
"Ardi ingin menonton
kita saling menjilat, Ce."
Siska menggeram.
"Ah, i-iya," Ece tampak
kesulitan untuk
bernapas.
"Sini, mana yang harus
kujilat?" Ece meluncur
berlutut dan berbalik
menghadap Siska.
"Yang ini ya?" Ece
memohon.
"Memekmu ini ya?"
Siska tersenyum dengan
napas terengah-engah
berat.
Ditatapnya Ece yang
sekarang berlutut di
antara kedua kakinya.
Aku berdiri di samping
mereka, dengan penis
sudah menegak keras di
balik celana panjang.
Mataku tertuju pada aksi
mereka berdua.
"Sini, Ce." Siska
melangkah mundur dan
menempatkan dirinya ke
sofa.
Celananya dengan
mudah meluncur turun,
memperlihatkan bagian
bawah tubuhnya yang
kini telanjang bulat.
Ece tersenyum
memandangi memek
Siska yang sudah nampak
basah dan berkeringat.
Ia juga melirikku yang
masih berdiri menatap
dan tersenyum.
Perlahan-lahan Ece
merangkak dan
menurunkan wajahnya di
antara kedua kaki Siska,
dan Siska kulihat
bergetar begitu
merasakan napas hangat
Ece di lipatan vaginanya
yang sudah sangat basah.
"Ayo, Ce, jilat!" desak
Siska tak
tahan.
Ia mengamati ketika Ece
mengabulkan
permintaannya.
Tubuh istri Anton itu
gemetar saat lidah
hangat Ece mulai
meluncur menyusuri
liang vaginanya. Pinggul
Siska melengkung dan ia
menarik wajah Ece lebih
dekat lagi. Saat dia
melakukannya, Ece
membenamkan wajahnya
di antara kedua kaki
Siska dan menjilat serta
menghisap dengan lebih
kuat lagi. Tak lama,
ruang tengah pun sudah
penuh oleh hiruk-pikuk
kenikmatan yang penuh
gairah.
"Terus!" teriak Siska.
"Jilat terus memekku,
Ce!" Dia mendongak
menatapku yang tanpa
sadar telah
mencengkeram tonjolan
di celana panjangku.
Siska tersenyum saat
melihatku mulai
membelai diri sendiri,
sementara Ece
membenamkan
kepalanya semakin
dalam di antara kedua
pahanya.
"Hisap terus, Ce!" Siska
mengerang.
"Jilat itilnya!" ia
meminta. Ece menyibak
lipatan memek Siska
dengan menggunakan
bibirnya hingga lidahnya
bisa lebih leluasa
bergerak di sepanjang
dagingnya yang licin.
"Aduh... aduduh!" tubuh
Siska bergetar,
tangannya menarik
wajah Ece lebih keras
lagi, sementara
pinggulnya semakin
menggelinjang hebat.
"Lihat, Ar... Lihat
bagaimana Ece menjilati
memekku... rasanya
nikmat banget...
enaknya... oh, aduh...
ketika dia...
menjilatiku... menjilati
memekku!" Semakin
bersemangat, lidah Ece
terus bergerak liar.
Ia mencucup dan
menghisap semakin
dalam ke liang vagina
Siska yang sudah tak
terkira basahnya.
"Oh, Ece," Siska
mengerang.
"Jangan berhenti... aku...
ohh...aku...aku... k-
keluaa...arrgghh!" Tubuh
Siska bergetar.
Dia menjepitkan pahanya
di sekitar kepala Ece,
memegangi wajahnya
perempuan itu hingga
makin terkubur ke dalam
liang vaginanya.
Saat dunia hilang dalam
kabut yang membutakan,
Siska menarik kuat
rambut Ece, sementara
tubuhnya meronta-ronta
dalam orgasme yang
seperti tiada berakhir.
Sampai akhirnya, Siska
runtuh kembali ke kursi
sofa dengan tubuh masih
sedikit gemetar.
Perlahan-lahan,
napasnya melambat dan
ia membuka mata untuk
menatapku.
"Kamu suka pertunjukan
ini, Ar?" Siska bertanya
padaku.
"Sis," aku mengerang. "I-
ini... wow! S-sungguh
hebat... kamu... ah,
kalian berdua... tak
kusangka..." Aku benar-
benar bingung harus
berkata apa.
"Mulut Ece benar-benar
luar biasa, Ar," Siska
tersenyum.
"Kamu pasti nggak tahan
kalau diemut sama dia.
Sini, duduk sini. Biar Ece
bisa nunjukin ke kamu."
"I-iya," aku mengangguk
dengan mata melahap
lapar melihat tubuh
telanjang Ece. Ece cuma
tersenyum saja padaku.
"Duduklah di sini," kata
Siska menunjuk tempat
kosong di sampingnya.
Aku segera menurunkan
diri ke sana.
"Ayo, Ce, tunjukin ke
Ardi," Siska berkata.
"Berikan dia jilatanmu
yang
yahud itu." Ece
tersenyum saat Siska
membungkuk untuk
membuka kancing celana
panjangku, dan
menariknya ke bawah
untuk mengungkapkan
kontol besarku yang
sudah mengeras tegang
di balik cd. Ece sedikit
memalingkan matanya
saat aku membalas
tatapannya yang penuh
nafsu.
Pelan dia
melengkungkan
punggungnya untuk
menunjukkan kepadaku
tonjolan payudaranya
yang super besar dan
memberiku senyum nakal
yang sangat sensual.
Aku melompat sedikit-
sedikit sambil
meletakkan tangan di
lutut saat Siska
meluncurkan cd-ku
sampai ke paha.
Sementara dia
melakukannya, Ece
segera meraih batang
penisku yang sudah
mengeras tajam dan
setelah mengocoknya
sebentar, ia langsung
mengarahkan benda
panjang itu ke arah
mulutnya.
Siska tampak antusias
saat menyaksikan
bagaimana Ece
menunduk sambil
menggetarkan lidahnya
untuk menyikat keras
batangku. Penuh nafsu
Ece mencicipi cairanku
yang mulai mengalir
keluar. Emutan dan
jilatannya memang
sungguh luar biasa.
Meski sudah sering
merasakannya, tak urung
tetap membuatku
mengerang dengan
pinggul melengkung ke
arahnya.
Siska tersenyum
menikmati reaksiku. Ia
membantu dengan
melingkarkan jari-jari di
sekitar batangku, melilit
dan mengocoknya
perlahan sementara Ece
terus menjilatinya.
"Oh, nikmatnya," aku
mengerang.
Siska tersenyum ke
arahku dan meletakkan
tangannya yang lain di
atas kepala Ece.
"Enak ya, Ar?" tanyanya
sambil menyeringai.
"Nikmat banget, Sis,"
aku mendesah.
"Terus... kocok dan jilat
terus kayak gitu!"
Dengan mata terpejam,
Ece terus mengangguk-
anggukkan kepalanya
naik-turun di batang
penisku. Seiring setiap
gerakannya, kurasakan
hisapannya menjadi
semakin dalam.
Siska yang tahu aku
sangat menikmati jilatan
itu, terus berusaha
membantu dengan
mendesak kepala Ece
lebih ke bawah.
"Ambil semuanya, Ce.
Masukin seluruh kontol
Ardi ke dalam mulutmu."
Siska mendorong lebih
keras dan mendengar
Ece sedikit tersedak saat
ujung penisku
mendorong di
tenggorokannya.
Ece mundur sejenak
untuk menarik napas,
namun membiarkan Siska
mendorongnya kembali
begitu aku mengerang
karena kepingin.
Kugoyang pinggulku agar
merasa lebih nikmat,
kupenuhi wajah Ece
dengan seluruh alat
kelaminku. Ece terbatuk-
batuk saat
tenggorokannya kembali
kutusuk-tusuk, namun
kali ini tidak bisa
menarik mundur karena
Siska menahannya.
"Telan semua, Ce! Nggak
akan kulepaskan
sebelum seluruh kontol
Ardi masuk ke dalam
mulutmu." kata Siska.
Ece mengerang seperti
ingin memprotes,
sementara aku
menikmati saja ulah
kedua perempuan itu
dengan meremasi
bulatan payudara
mereka secara
bergantian.
"Lakukan, Ce, ayo!"
terdengar suara Siska
saat aku asyik menetek
di putingnya, kuhisap-
hisap benda mungil
sambil kupilin-pilin
secara bergantian.
Terus memegangi
rambutnya, Siska
menarik kepala Ece naik
sebelum kemudian
menurunkannya lagi
lebih keras. Ece sempat
menarik napas sejenak
agar tidak tersedak,
barulah setelah itu
dengan susah payah ia
menelan seluruh penisku.
Aku mendengus dan
mengerang. Kuremas-
remas payudara besar
Ece yang berisi air susu
dan kupilin-pilin
putingnya sambil
mulutku terus menghisap
puting mungil Siska yang
sebelah kiri.
"Oh... enak, Ce. Terus!"
aku mengerang.
"Kamu suka, Ar?" Siska
bertanya sambil
menciumku, kemudian
disuruhnya aku untuk
menggarap putingnya
lebih keras lagi.
Ece terus menghisap
penisku untuk beberapa
saat sebelum kemudian
ia melepasnya. Terbatuk-
batuk sebentar, wajah
cantik Ece yang bersemu
tampak jadi semakin
mempesona. Perempuan
itu terduduk lemas di
bawah kakiku, deru
napasnya masih
terengah-engah.
"Mau siapa yang duluan,
Ar?" Siska tersenyum
bertanya kepadaku,
tangannya dengan gemas
meraih batang penisku
dan meremas-remasnya
ringan. Aku melihat ke
bawah pada Ece.
"Kamu nggak keberatan
kan, Sis, kalau kupakai
Ece duluan?" tanyaku
singkat.
"Silakan saja," kata
Siska, serak tapi tetap
tersenyum.
"Aku akan
menikmatinya, Ar.
Lakukan apapun yang
kamu suka." Dia
menyeringai jahat.
Melengkung seperti
kucing, Ece segera
berbalik dan
mengangkat dirinya
dengan bersandarkan
pada tangan dan lutut.
Ece menyajikan bulatan
bokongnya kepadaku,
menyuruhku untuk
menusuknya dari arah
belakang. Tak berkedip
aku memperhatikan
liang vaginanya yang
sudah basah
membengkak terjepit di
antara belahan pahanya.
"Ayo, Ar." Ece
mendengkur.
"Memekku udah gatel
nih, pingin digaruk sama
kontolmu. Malah kalau
kamu ingin, kamu juga
bisa pake lubang
pantatku. Yang penting
cepat entotin aku!"
Aku melemparkan
pandangan bertanya
pada Siska. Istri Anton
itu tersenyum dan
mengangguk.
"Lakukan, Ar, nggak
papa," bisiknya. Dengan
kata-kata itu, sambil
tersenyum, aku pun
berlutut di belakang
tubuh montok Ece.
Tanganku meraih
pinggulnya dan dengan
sekali tusukan,
kumasukkan penisku ke
dalam liang
senggamanya. Ece
merintih begitu ujung
penisku mulai terdorong
masuk. Dengan gerakan
pinggulnya ia
memanduku agar lancar
dalam menyusuri liang
vaginanya yang sudah
sangat basah.
"Auw!" Ece menjerit saat
aku mulai menggoyang
perlahan untuk
menyetubuhinya.
"Enak, Ce!" aku
mengerang suka.
Kupegangi bulatan
payudaranya yang
menggantung indah dan
kuremas-remas gemas
selama aku mengayun-
ayunkan pinggul ke
depan dan ke belakang.
"Iya, Ar," Ece
mengerang. "Ya, terus!
Tusuk lebih keras, Ar.
Lebih dalam!"
"Wow, wow!" desis Siska
yang menonton dari sofa
dengan mata melebar. Ia
tampak menikmati
persetubuhan kami
berdua.
Aku terus menabrak
bokong bulat Ece dengan
napas mendengus,
sementara Ece semakin
kuat berteriak dan
mendorong kembali
pinggulnya dengan
gerakan memutar cepat.
Membuat penisku bagai
dirajam dan dipijat-pijat
oleh tangan halus selama
dia melakukan itu.
"Oh, Ce," aku
mendengus.
"Kamu apakan
kontolku?"
"Ya," Ece melolong.
"biar kamu tau rasa," Di
belakangku, Siska terus
menyaksikan perbuatan
kami dengan takjub. Ia
tampak suka melihat
penisku yang bergerak
keluar-masuk di vagina
basah Ece, dan tanpa
sadar membuatnya
meluncurkan jari ke
antara kedua kakinya.
Pelan Siska mulai
menggesek lembut biji
klitorisnya yang sangat
sensitif.
"Terus, Ar. Bikin dia KO!"
Siska geram sementara
jari-jarinya menari di
permukaan klitorisnya.
"Tusuk lebih keras. Buat
dia berteriak."
"Kau ingin
mendengarnya berteriak,
Sis?" aku mengerang.
"Aku akan membuatnya
berteriak." Terengah-
engah, aku menarik
keluar batang penisku
dari vagina basah Ece.
Benda itu terasa
mengejang dan
berdenyut-denyut saat
kualihkan sasaran ke
lubang Ece yang lain.
"Tahan ya, Ce, aku mau
masukin ke sini."
Kencang kucengkeram
belahan pantatnya dan
kubuka lebar-lebar agar
lubang anusnya terlihat
jelas.
Kuludahi sedikit dengan
air liurku sebelum
kemudian mulai
menekan ujung penisku
ke sana.
"Auw!" tubuh mulus Ece
tersentak untuk sesaat,
dan ia melengking saat
aku berusaha terus
mendorong.
"Pelan-pelan, Ar." Ia
merintih.
Kulihat perempuan itu
mengepalkan tangannya
untuk menahan rasa
sakit. Dia tampak
berjuang keras, sekeras
usahaku yang tetap
menekan kuat di lubang
mungilnya.
Ece terdengar semakin
merintih, namun tidak
kupedulikan karena
sebagian batang penisku
sudah meluncur masuk
sekarang.
Siska menatap tak
berkedip. melihat betapa
ketatnya lubang anus Ece
yang berusaha kutembus.
"Perlahan-lahan aja, Ar."
bisiknya.
"Biar Ece bisa merasakan
kontolmu yang gede itu
di bokongnya."
"Mauku juga begitu, Sis."
Kukecup bibirnya dan
aku kembali mendorong,
penisku terasa semakin
berdenyut cepat.
"Ouw!" Ece merintih.
"Iya, Ar.
Kontolmu gede banget.
Bokongku rasanya mau
robek!"
Aku tersenyum dan
dengan
perlahan terus
mendorong semakin
dalam. Ece merintih saat
seluruh batangku sudah
tenggelam sepenuhnya.
Siska yang melihat aku
sudah berhasil
menembus, ikut
tersenyum gembira.
Sambil memberikan
bulatan payudaranya
kepadaku, ia
menyuruhku untuk mulai
menggoyang.
Ece terengah-engah
seiring tekananku,
kutarik kembali batang
penisku dan
kutenggelamkan lagi
lebih dalam.
"Auw... Ar!" Ece
mendesah. "Ya, terus
kayak gitu...
ahh!" Dengan berirama,
aku menyodok
lambat.
Terus kudorong batang
penisku ke dalam
pantatbulat Ece. Semakin
lama semakin terasa
nikmat, dan segera saja
tusukanku menjadi
semakin cepat. Ece
mengerang saat ia mulai
kudorong keras, lebih
cepat dan lebih dalam
lagi kujelajahi bagian
sensitifnya.
"Ya begitu, Ar." Siska
mengerang, suaranya
kental oleh nafsu.
"Terus tusuk pantatnya.
Tusuk keras-keras
untukku!" jeritnya.
Aku mulai mendorong
liar, menjorok jauh di
kedalaman tubuh bugil
Ece.
"Ece suka?" aku
mengerang sambil
meremasi kedua bulatan
payudaranya yang
berbenturan.
"Iya, Ar. Terus!"
rintihnya.
"Terus tusuk pantatku."
"Lakukan, Ar," Siska
terengah-engah.
"Ooh... tusuk terus...
ohhh, aku...!"
"Ece!" Kuberikan satu
dorongan terakhir yang
sangat kuat dan dalam,
dan sambil mengerang,
kusemburkan cairan
maniku yang sudah
kucoba tahan sedari tadi
ke dalam pantat bulat
Ece.
Perlahan-lahan aku
mengundurkan diri
begitu cairan kental itu
sudah berhenti menetes.
Ece runtuh ke karpet
ruang tengah dengan
napas terengah-engah,
seluruh tubuhnya
memerah dan bergetar.
Sementara Siska terus
merintih dengan tangan
asyik menggesek di
antara kedua kakinya.
Kubantu istri Anton itu
bermasturbasi dengan
meremas-remas dan
menjilati kedua
putingnya, sampai
kemudian Siska berteriak
begitu bebannya
terlepas.
Cairan orgasmenya
menyembur kuat
membasahi tubuh bugil
Ece yang masih belum
dapat bergerak.
Selanjutnya bertiga kami
berangkulan di karpet
ruang tengah dengan
tangan menyentuh tubuh
satu sama lain dan
tersenyum dengan
kesenangan yang aneh.
"Maaf, Ce, kalau tadi
aku menyakitimu."
kataku ragu-ragu.
"Ah, enggak kok." Ece
tersenyum hangat.
"Aku malah enak. Malah,
aku pengen lagi."
Siska mendongak, "Tapi
nanti ya, Ce. Aku kan
belum ngerasain
kontolnya Ardi."
Ece tertawa. "Aku bisa
menunggu kok,"
Aku tersenyum pada
mereka
berdua.
"Oh, sepertinya aku
harus
siap-siap capek nih."

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.