Selasa, 03 Maret 2015

Nightmare Campus 1 : Rise of The Pervert

Imron adalah karyawan penjaga kampus sebuah perguruan tinggi
swasta berusia pertengahan limapuluh. Sosoknya sedang dengan
body lumayan berisi, wajahnya jauh dari tampan, hitam dan agak
bopengan, matanya pun cekung ke dalam berkesan ngantuk. Masa
lalunya bisa dibilang kelam, dulunya dia adalah seorang penjahat
yang ditakuti dan beberapa kali keluar masuk penjara, bekas luka
sepanjang sejengkal di dadanya adalah hasil pertarungan antar
geng dulu. Tampangnya yang seram dan tidak bersahabat itu,
ditambah masa lalunya yang seram plus sifat penyendirinya
membuatnya seringkali dipandang rendah oleh mahasiswa, dosen,
maupun sesama rekan karyawan di kampus itu.
Dia tetap menjalankan tugasnya dengan rapi tanpa mempedulikan
omongan orang-orang di sekitarnya. Bekerja di lingkungan itu
membuatnya sering menelan ludah melihat tingkah polah para
mahasiswi cantik dan dosen-dosen muda yang berpakaian seksi
memperlihatkan paha mulus, pusar, maupun belahan dada mereka
dengan pakaian berleher rendah, juga sesekali dia memergoki
beberapa diantaranya berhubungan badan di areal kampus seperti
mobil, toilet, ruang kuliah, dan lain-lain. Semua itu dia anggap
sebagai hiburan semata sampai suatu ketika naluri jahat dalam
dirinya kembali muncul ketika dia menemukan sebuah cameraphone
yang yang tertinggal di kelas. Benda itu diambil dan dipelajarinya,
sebentar saja dia sudah paham penggunaannya terutama cara
pengambilan gambar dan merekam video klip. Dari sinilah terbesit
niat jahat untuk membalas segala perlakuan yang selama ini dia
terima dan mewujudkan angan-angannya menikmati tubuh para
wanita cantik di kampus dengan cara memeras mereka dengan foto-
foto memalukan yang bisa dia ambil dengan alat itu.
Chapter I : Ellen's Tragedy
Hari itu, Imron mulai menyeleksi siapa yang akan dijadikan mangsa
pertamanya. Dia bingung menentukan pilihan karena begitu banyak
gadis-gadis cantik disana baik dari kalangan mahasiswi maupun
dosen, dan kesempatan untuk mengambil gambar pun perlu momen
yang tepat. Keberuntungan berpihak padanya ketika sore jam
limaan dimana kampus mulai sepi, dia menemukan sepasang
muda-mudi yang sedang berasyik-masyuk di ruang senat. Jendela
ruangan itu dicat sebagian, tapi jika berjinjit sedikit maka kita akan
bisa mengintip ke dalam melalui bagian yang tidak bercat. Di atas
sofa nampak Ellen dan Leo (keduanya mahasiswa fakultas ekonomi)
sedang beradegan panas saling melepas hasrat birahinya. Pakaian
keduanya sudah tersingkap sana-sini, Leo sudah melepaskan
celana panjangnya dan menindih tubuh Ellen yang sudah setengah
bugil dengan kaos dan bra tersingkap dan tinggal memakai celana
dalam saja, celana panjang Ellen sudah tergeletak di lantai.
"Mmhhh...eenngghhh !" desah Ellen sambil meremasi rambut Leo
ketika pemuda itu mengisapi payudaranya.
Tangan Leo merayap ke bawah dan menyusup ke balik celana
dalamnya sehingga pada celana dalam itu nampak gumpalan yang
bergerak-gerak. Dengan gemetaran, Imron mengeluarkan
cameraphone itu dari saku celananya dan mulai mengarahkan
lensanya ke arah pasangan yang sedang bermesraan itu. Dengan
sabar dan hati-hati, direkamnya adegan demi adegan dalam bentuk
foto maupun video klip. Sambil mengambil gambar, tangan satunya
tidak bisa menahan diri mengocok penisnya yang sudah mengeras
dari luar celana. Ketika mereka sudah mau selesai dan hendak
keluar dari ruang itu, Imron pun segera pergi dari situ, rencananya
dia akan segera menjalankan aksinya setelah itu, tapi sayangnya
kedua muda-mudi itu pulang bersama, lagi pula lebih baik sabar
menunggu besok agar gadis itu sudah bersih dan segar kembali
dari sisa-sisa persetubuhannya, demikian pikirnya.
Malamnya, Imron menikmati gambar-gambar dan video klip yang
diambilnya barusan sambil mengocok penisnya, selain itu dia juga
memikirkan saat yang tepat untuk mengerjai Ellen besoknya.
Keesokan harinya, setelah beberapa saat mencari orang yang
ditunggu, Imron akhirnya menemukan gadis itu sedang mengikuti
kuliah di sebuah kelas. Tidak mau kehilangan buruannya, dia terus
membuntuti diam-diam dan menunggu waktu untuk berbicara
dengannya. Ellen nampak begitu cantik hari itu, dia memakai kaos
ketat warna merah yang mencetak bentuk tubuhnya dipadu dengan
rok jeans selutut, rambutnya yang hitam sedada itu diikat ke
belakang memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih mulus.
Tahun ini dia memasuki usianya yang ke-21, anak seorang pemilik
toko emas ini selalu berdandan modis tapi tidak norak, sehingga
termasuk salah satu bunga di kampus ini. Leo, pemuda yang
kemarin bercinta dengannya adalah senior satu angkatan diatasnya,
belum sampai sebulan Leo menyatakan cintanya dan diterima
dengan mulus.
Saat itu adalah jam satu siang di basement parkir, Ellen baru saja
melemparkan tas dan diktat kuliahnya ke dalam mobil dan hendak
masuk ke kemudi ketika terdengar Imron, si penjaga kampus itu
muncul dan menyapanya dari belakang.
"Siang Non !! Sudah mau pulang ya !" sapanya dengan suara pelan
"Haduh...ngagetin aja bapak ini, ada apa sih Pak !" jawabnya agak
ketus sambil mengelus dada.
"Hehe...anu non, bapak cuma mau ngasih liat sesuatu buat non
yang sepertinya penting" jawabnya dengan terkekeh.
"Apan sih Pak, cepetan deh saya mau pulang nih !"
Imron pun mengeluarkan HP-nya dan memperlihatkan file-file
gambar itu kepada Ellen. Betapa kagetnya gadis itu, ekspresi
wajahnya seperti melihat setan, pucat dengan mulut ternganga
begitu melihat gambar pertama yang ditunjukkan yaitu dirinya
sedang mengulum penis Leo kemarin sore, disusul gambar-gambar
berikutnya yang semua berisi adegan syur dirinya bersama
kekasihnya itu.
"A-a-apa-apaan ini Pak, apa...apa maksudnya semua ini !?"
tanyanya terbata-bata dengan ekspresi kebingungan bercampur
kaget.
"Hehehe...bagus yah non ? kalo saya cetak fotonya gimana non ?"
wajah Imron menyeringai mesum
"Kurang ajar, apa sebenernya mau Bapak ?" Ellen menjadi geram
sehingga hampir berteriak, keringat mulai menetes di dahinya.
"Ssttt...ssssttt...jangan keras-keras dong non, nanti yang lain
denger gimana" Imron mengacungkan telunjuk di depan hidungnya
dengan tetap cengengesan, "nah, gimana kalau kita bicarakan di
gudang sana aja deh, biar lebih enak !" katanya lagi dengan
pandangan ke arah sebuah pintu di salah satu pojok basement itu.
Ellen tidak bisa berkata-kata lagi, jantungnya berdebar kencang
dan tubuhnya panas dingin, namun karena tidak ada jalan lain dia
terpaksa mengikuti saja Imron yang terlebih dahulu berjalan ke
ruang itu.
Ruang itu tidak begitu besar, diterangi lampu neon 10 watt, sebuah
tangga lipat tersandar di dinding diantara setumpuk barang bekas,
juga terdapat sebuah rak yang berisi kaleng-kaleng cat, tiner, dan
macam-macam peralatan. Setelah keduanya masuk, Imron
menyalakan lampu dan menggeser slot pintu membuatnya terkunci
dari dalam. Ellen begitu terkejut dan tersentak kaget begitu
merasakan pantatnya diraba dari belakang, dia langsung berbalik
dan menepis tangan Imron.
"Ahhh...kurang ajar, jangan keterlaluan ya Pak !!" bentaknya marah
"Ahahaha...ayolah Non, kemarin juga Non nafsu banget kan ?"
seringainya "lagian apa Non punya pilihan lain buat ngejaga rahasia
ini" mimiknya mulai serius.
"Ok...ok Pak, gimana kalau Bapak bilang aja mau berapa, pasti saya
kasih" Ellen sudah demikian panik sampai-sampai suaranya
gemetaran.
"Ooohh...uang, dasar orang kaya, saya selama kerja disini ngerasa
cukup-cukup aja kok Non, tanpa anak istri yang perlu dibiayai,
yang susah didapat itu ya kesempatan untuk mencicipi cewek
seperti Non ini" sambil menatapnya dalam.
Ellen benar-benar kehabisan akal, dia tidak tahu harus bagaimana
lagi. Dia merasa jijik untuk melayani lelaki yang seumuran ayahnya
ini yang juga dari status dan ras yang berbeda, tapi nampaknya
tidak ada pilihan lain untuk menutupi skandalnya ini, jangankan
foto, beritanya yang tersebar saja sudah cukup membuatnya jadi
bahan gunjingan sekampus, kedua tangannya terkepal keras
menahan emosi.
"Sekarang ya terserah Non aja, bapak ga mau maksa kok, kalo non
ga mau silakan pergi, kalau setuju silakan non duduk disini biar
kita bisa berunding lagi"kata Imron sambil mengambil kursi lipat
yang lapisan kulitnya telah sobek, dibentangkannya kursi itu di
dekat Ellen yang masih tertegun.
Akhirnya dengan berat hati, Ellen pun menghempaskan pantatnya
ke kursi itu.
"Nah gitu dong baru anak manis, pokoknya asal Non nurut, saya
jamin rahasia ini aman"
Kemudian Imron membuka resulting celananya dan menyembullah
penis yang sudah mengeras itu di depan wajah Ellen. Matanya
melotot melihat penisnya yang hitam berurat dengan ujungnya
disunat menyerupai jamur serta jauh lebih besar daripada milik
kekasihnya.
"Gede kan Non, pasti punya pacar Non ga segede gini kan !"
katanya dengan bangga memamerkan senjatanya itu. "Nah, ayo Non
sekarang servisnya mana !"
Dengan tangan gemetar, dia mulai meraih penis itu dan
mengocoknya pelan.
"Servis mulutnya mana Non, masa cuma tangan doang sih !"
suruhnya tak sabar
Pelan-pelan, Ellen memajukan wajahnya sambil memandangnya
jijik, dia melanjutkan kocokannya sambil menyapukan lidahnya
pada kepala penis itu dengan ragu-ragu, sehingga Imron jadi
gusar.
"Heh, apa-apaan sih, disuruh pake mulut malah cuma pake lidah
disentil-sentil gitu !" bentaknya "gini nih yang namanya pake
mulut !" seraya menjambak kuncir rambut Ellen dan menjejalkan
penisnya ke dalam mulutnya.
"Mmmhhppphh...!!" hanya itu yang keluar dari mulut Ellen yang
telah dijejali penis, air mata menetes dari sudut matanya.
Mulut Ellen yang mungil itu membuatnya tidak bisa menampung
seluruh batang itu, ditambah lagi bau yang keluar dari benda itu
menambah siksaannya.
"Ayo, yang bener nyepongnya, kemaren kan hebat ke pacarnya,
kalau gak muasin rahasianya ga Bapak jamin loh !"
Imron mendesah merasakan belaian lidah Ellen pada penisnya serta
kehangatan yang diberikan oleh ludah dan mulutnya. Pertama
kalinya sejak dipenjara belasan tahun yang lalu dia kembali
menikmati kehangatan tubuh wanita. Ellen sendiri walaupun merasa
jijik dan kotor, tanpa disadari mulai terangsang dan mulai
mengulum benda itu dalam mulutnya.
"Uuhhh...gitu Non, enak...mmmm !" gumamnya sambil memegangi
kepala Ellen dan memaju-mundurkan pinggulnya.
Ellen merasakan wajahnya makin tertekan ke selangkangan dan
buah pelir Imron yang berbulu lebat itu, penis di dalam mulutnya
semakin berdenyut-denyut dan sesekali menyentuh
kerongkongannya. Sekitar sepuluh menit lamanya dia harus
melakukan hal itu, sampai Imron menekan kepalanya sambil
melenguh panjang.
"Ooohh...keluar nih Non, isep...awas kalo dimuntahin, sekalian
bersihin kontolnya !" perintahnya dengan nafas memburu.
Cairan putih kental itu menyembur deras di dalam mulutnya dan
mau tidak mau, Ellen harus menelannya, rasanya yang asin dan
kental itu membuatnya hampir muntah sehingga tersedak. Beberapa
saat kemudian barulah semprotannya melemah dan berhenti. Ellen
langsung terbatuk-batuk begitu Imron mencabut penis itu dari
mulutnya. Nafasnya terengah-engah mencari udara segar, air mata
telah mengalir membasahi wajah cantiknya.
"Sudah...cukup ya Pak, saya mohon lepaskan saya !" Ellen
memohon.
"Cukup apanya Non, baru juga pemanasannya, pokoknya dijamin
puas deh Non !" ujar Imron sambil berjongkok di depannya,
tangannya meraih ujung baju Ellen hendak menyingkapnya.
"Jangan...jangan Pak, saya mohon !" ucapnya mengiba sambil
menahan tangan Imron yang akan menaikkan bajunya.
Namun tenaganya tentu saja kalah dari pria setengah baya itu yang
menepis tangannya dan langung menyingkap kaos sekaligus bra
hitam di baliknya. Kini mulut Imron dengan rakus menjilat dan
menyedot puting Ellen yang merah dadu itu, setelah beberapa saat
tangannya yang menggerayangi payudara yang lain mulai turun ke
bawah mengelus paha mulusnya lalu menyusup masuk ke roknya.
Di dalam rok, tangan kasar itu menjejahi kemulusan paha dalam
Ellen sebelum akhirnya menjamah selangkangannya yang masih
tertutup celana dalam.
Ellen hanya bisa pasrah menerima perlakuan itu, dia mendesah dan
sesekali terisak saat tangan itu mulai meraba-raba kemaluannya
dari luar. Rasa geli membuatnya mengatupkan kedua belah
pahanya sehingga tangan Imron terjepit diantara kemulusan
kulitnya. Hal ini membuatnya semakin bernafsu, dia mulai
menyusupkan jari-jarinya melalui pinggiran celana dalam itu dan
menyentuh bibir vaginanya yang telah becek.
"Hehehe...nangis-nangis tapi ikut konak juga !" ejeknya sambil
nyengir lebar ketika merasakan daerah kewanitaan Ellen yang basah
itu.
Kemudian dengan mengaitkan dua jari, ditariknya lepas celana
dalamnya yang juga warna hitam itu, lalu diangkatnya juga roknya
sehingga kini angin menerpa tubuh bagian bawah yang telah
terbuka itu.
"Buka kakinya Non !" perintahnya pada Ellen yang merapatkan
pahanya dengan rasa malu yang mendalam.
"Buka ga...atau fotonya saya sebarin !" katanya lagi dengan lebih
keras.
Dengan amat terpaksa, Ellen mulai membuka pahanya perlahan-
lahan memperlihatkan kemaluannya yang berbulu cukup lebat
kepada Imron yang berjongkok di depannya. Dia menggigit bibir
dan memejamkan mata, tak pernah terbayang olehnya akan
melakukan hal ini di depan lelaki seperti itu.
"Wah...udah lama sekali Bapak gak ngerasain yang satu ini !"
katanya sambil menatapi daerah pribadi itu dan mengelusnya.
Tak lama kemudian Imron pun melumat vaginanya dengan ganas,
diserangnya setiap sudut vagina itu mulai dari bibir hingga
klitorisnya disertai gigitan-gigitan kecil, tangan kanannya meraih
payudaranya dan meremasinya, sedangkan yang kiri menelusuri
kemulusan pahanya.
"Uh...uhh...jangan...sudah, ahhh... !" desah Ellen dengan tubuh
menggeliat-geliat menahan rasa geli yang bercampur nikmat luar
biasa itu, suatu perasaan yang tidak bisa ditahannya lagi.
Tubuh Ellen telah basah oleh keringat, wajahnya memerah dan
nafasnya makin memburu. Mendadak dia merasakan bulu kuduknya
merinding semua, secara reflek dia merapatkan kedua pahanya
mengapit kepala Imron karena sebuah sensasi dahsyat, ternyata
Imron membenamkan lidahnya pada bagian yang lebih dalam dari
vaginanya, dia merasakan dinding vaginanya menjepit lidah Imron.
Selain itu dia juga merasakan putingnya makin mengeras karena
terus dipilin dan dipencet-pencet oleh Imron. Puas bermain-main
dengan vagina itu, Imron mengangkat tubuh Ellen bangkit berdiri,
kini posisi mereka berhadap-hadapan. Tanpa perlawanan berarti
Imron melucuti kaos dan bra-nya. Yang tersisa di tubuhnya tinggal
rok yang telah tersingkap ke atas dan sepatu haknya, sementara
Imron masih memakai kaos dan seragam karyawannya yang
kancingnya terbuka sebagian tetapi tanpa celana. Diangkatnya
wajah Ellen yang tertunduk, ditatapnya sejenak dan disekanya air
mata yang mengalir sebelum dengan tiba-tiba melumat bibir
mungil itu dengan ganas.
Mata gadis itu membelakak menerima serangan kilat itu, dia
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendorong dada Imron,
namun sia-sia karena Imron memeluknya begitu kuat dengan
tangan satunya memegangi kepalanya. Lidahnya mendorong-
dorong dan menjilati bibirnya, ditambah lagi tangannya merabai
kulit punggung dan pantatnya menyebabkan Ellen makin
terangsang sehingga bibirnya mulai membuka membiarkan lidah
Imron masuk menyerbu rongga mulutnya. Beberapa saat kemudian
Imron merasakan badan Ellen sudah lebih rileks dan tidak meronta
lagi, maka diapun melepaskan pegangannya pada kepala Ellen agar
bisa menjamah daerah lainnya. Tanpa sadar. Ellen pun merespon
permainan lidah Imron walaupun awalnya bau mulut Imron terasa
tak nyaman baginya, sekalipun nuraninya mengatakan tidak, dia
tidak bisa menahan gelombang birahi yang menerpanya, terlebih
saat itu tangan Imron sedang menggerayangi segenap penjuru
tubuhnya.
Kedua telapak tangan kasar itu berhenti di pantatnya dan masing-
masing mencaplok satu sisi. Dirasakannya kedua bongkahan
daging itu, bentuknya padat berisi dan bulat indah karena memang
sebagai anak dari kalangan berada, Ellen merawat benar tubuhnya
dengan fitness dan diet. Ciuman Imron makin merambat turun ke
leher jenjangnya lalu dia membungkukkan badan agar bisa
menciumi payudaranya. Ellen sudah tidak bisa menahan diri lagi,
birahi telah membuyarkan akal sehatnya. Lagipula yang pernah
menikmati tubuhnya bukan cuma bajingan tua ini dan Leo,
kekasihnya, sebelumnya dirinya pernah terlibat one night stand
dengan beberapa pria dan juga mantan pacarnya semasa SMA,
yang membedakannya dengan pria-pria lain cuma status sosial,
ras, dan perbedaan usia yang mencolok. Jadi untuk apa lagi
menahan diri dan jaga image, toh sudah telanjur basah, jadi
sebaiknya tuntaskan saja agar masalah selesai, demikian yang
terlintas di benaknya.
Dari leher mulut Imron turun lagi ke dadanya, dia membungkuk agar
bisa menyusu dari payudara berukuran 32B yang montok itu.
Dijilatinya dengan liar hingga permukaan payudara itu basah oleh
ludahnya, terkadang dia juga menggigiti putingnya memberikan
sensasi tersendiri bagi Ellen. Tangan satunya turun meraba-raba
kemaluannya dan memainkan jarinya disitu menyebabkan daerah
itu makin berlendir.
"Pak...Pak...ga mau...ahh-ah !" desahnya antara menolak dan
menerima.
Sambil terus memainkan jarinya Imron mendorong tubuh Ellen
hingga punggungnya bersandar di tembok. Sekali lagi dia
menyergap bibir Ellen, sambil berciuman tangannya menempelkan
kepala penisnya ke bibir vagina Ellen. Gesekan kepala penis dengan
bibir vagina itu membuat Ellen merasa geli sehingga tubuhnya
menggelinjang. Lalu pelan-pelan Imron menekan penisnya ke liang
senggama Ellen.
"Sshhh...sakit, aawhhh...!!" rintih Ellen ketika penis Imron yang
besar itu menerobos vaginanya.
Ellen meringis dan merintih menahan rasa sakit pada vaginanya,
meskipun sudah tidak perawan tapi kemaluannya masih sempit,
lagipula penis para pria yang pernah kencan dengannya tidak ada
yang sebesar ini. Sementara Imron terus berusaha memasukkan
senjatanya sambil melenguh-lenguh. Setelah beberapa saat
menarik dan mendorong akhirnya masuklah seluruh penis itu ke
vaginanya, walaupun nafsu sudah di ubun-ubun, Imron masih
berhati-hati agar korbannya tidak menjerit dan suaranya terdengar
keluar, maka itu dia lebih memilih pelan-pelan daripada memakai
sodokan mautnya untuk melakukan penetrasi. Saat itu airmata Ellen
meleleh lagi merasakan sakit pada vaginanya.
"Huhh...masuk juga akhirnya, memeknya seret banget Non, Bapak
suka yang kaya gini" katanya dekat telinga Ellen.
Sesaat kemudian, Imron sudah menggoyangkan pinggulnya, mula-
mula gerakannya perlahan, tapi makin lama kecepatannya makin
meningkat. Ellen benar-benar tidak kuasa menahan erangan setiap
kali Imron penis Imron menghujam sambil berharap tidak ada orang
lewat yang mendengar suara persenggamaan mereka. Saat itu
adalah hari Sabtu, jam-jam seperti ini memang kegiatan kuliah
sedikit sehingga yang parkir di basement itu pun tak banyak, tapi
tidak menutup kemungkinan kalau seseorang lewat situ dan
mengetahui yang terjadi di ruang ini. Gesekan demi gesekan yang
timbul dari gesekan alat kelamin mereka menimbulkan rasa nikmat
yang menjalari seluruh tubuh Ellen sehingga matanya membeliak-
beliak dan mulutnya mengap-mengap mengeluarkan rintihan. Imron
lalu mengangkat paha kirinya sepinggang agar bisa mengelusi paha
dan pantat Ellen sambil terus menggenjot.
Menit demi menit berlalu, Imron masih bersemangat menggenjot
Ellen. Sementara Ellen sendiri sudah mulai kehilangan kendali diri,
dia kini sudah tidak terlihat sebagai seseorang yang sedang
diperkosa lagi, melainkan nampak hanyut menikmati ulah bajingan
tua itu. Kemudian tanpa melepas penisnya, dia mengangkat paha
Ellen yang satunya dan digendongnya menuju kursi dimana dia
mendaratkan pantatnya. Anehnya, tanpa disuruh, Ellen memacu dan
menggoyangkan pinggulnya pada pangkuan Imron karena kini
bukan lagi pikiran dan perasaannya yang bekerja melainkan naluri
seksnya. Ketika memandang ke depan, dilihatnya wajah tua gelap
pria itu sedang menatapnya dengan takjub, segaris senyum terlihat
pada bibirnya, senyum kemenangan karena telah berhasil
menaklukkan korbannya. Dengan posisi demikian, Imron dapat
mengenyot payudara Ellen sambil menikmati goyangan pinggulnya.
Kedua tangannya meraih sepasang gunung kembar itu, mulutnya
lalu mencium dan mengisap putingnya secara bergantian.
Remasan dan gigitannya yang terkadang kasar menyebabkan Ellen
merintih kesakitan. Namun dia merasakan sesuatu yang lain dari
persenggamaan ini, lain dari yang dia dapat dengan pria lain yang
pernah bercinta dengannya yang umumnya bersikap gentle, gaya
bercinta Imron yang barbar justru menciptakan sensasi yang khas
baginya yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya. Di ambang
klimaks, tanpa sadar Ellen memeluki Imron dan dibalas dengan
pagutan di mulutnya. Mereka berpagutan sampai Ellen mendesis
panjang dengan tubuh mengejang, tangannya mencengkram erat-
erat lengan kokoh Imron. Sungguh dahsyat orgasme pertama yang
didapatnya, namun ironisnya hal itu bukan dia dapat dari
kekasihnya melainkan dari seorang pria mesum yang memanfaatkan
situasi tidak menguntungkan ini. Setelah dua menitan tubuhnya
kembali melemas dan bersandar dalam pelukan Imron.
Penis Imron yang masih menancap di vaginanya belumlah
terpuaskan, maka setelah jeda beberapa menit dia bangkit sehingga
penis itu terlepas dari tempatnya menancap. Ellen yang belum
pulih sepenuhnya disuruhnya menungging dengan tangan
bertumpu pada kepala kursi.
"Oohh...udah dong Pak, saya sudah gak kuat, tolong !" Ellen
memelas dengan lirih
Mendengar itu, Imron cuma nyengir saja, dia merenggangkan kedua
paha Ellen dan menempelkan penisnya pada bibir kemaluannya.
"Uugghh...oohh !" desah Ellen dengan mencengkram sandaran kursi
dengan kuat saat penis itu kembali melesak ke dalam vaginanya.
Tangannya memegang dan meremas pantatnya sambil menyodok-
nyodokkan penisnya, cairan yang sudah membanjir dari vagina
Ellen menimbulkan bunyi berdecak setiap kali penis itu menghujam.
Suara desahan Ellen membuatnya semakin bernafsu sehingga dia
meraih payudara Ellen dan meremasnya dengan gemas seolah ingin
melumatkan tubuh sintal itu.
Limabelas menit lamanya Imron menyetubuhinya dalam posisi
demikian, seluruh bagian tubuh Ellen tidak ada yang lepas dari
jamahannya. Sekalipun merasa pedih dan ngilu oleh cara Imron
yang barbar, namun Ellen tak bisa menyangkal dia juga merasakan
nikmat yang sulit dilukiskan yang tidak dia dapatkan dari pacarnya.
Akhirnya, Imron menggeram dan merasakan sesuatu akan meledak
dalam dirinya, penisnya dia tekan lebih dalam ke dalam vagina
Ellen, serangannya juga makin gencar sehingga Ellen dibuatnya
berkelejotan dan merintih. Kemudian dia melepaskan penisnya dan
cret...cret...cret, spermanya muncrat membasahi pantat Ellen. Belum
cukup sampai situ, disuruhnya Ellen menjilati penisnya hingga
bersih, setelahnya barulah dia merasa puas dan memakai kembali
celananya. Ellen bersimpuh di lantai dengan menyandarkan kepala
dan lengannya pada kursi itu, wajahnya tampak lesu berkeringat
dan bekas air mata, dalam hatinya berkecamuk antara kepuasan
yang sensasional ini dan rasa benci pada pria yang baru saja
memperkosanya.
Imron mendekatinya dan berjongkok, lalu berkata
"Nah sekarang rahasia Non aman, tapi Non juga harus pastikan
cuma kita berdua yang tau yang terjadi barusan kalau tidak, foto-
foto Non ini akan saya kirim ke sembarang orang atau mungkin
akan terpajang di papan penguman, ngerti !"
Setelah Ellen berpakaian kembali, dia menyuruhnya pergi setelah
memastikan keadaan sekitar situ aman. Dalam perjalanan
pulangnya, Ellen hampir saja menabrak mobil lain karena melamun
memikirkan kejadian barusan yang membuat dirinya serasa hina,
namun juga merasakan kepuasan yang lain dari biasanya.
Sementara itu Imron menanti kesempatan untuk memangsa korban
berikutnya. Ikuti terus petualangan Imron, the pervert janitor.

Posting Lebih Baru Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.