Selasa, 03 Maret 2015

Nightmare Campus 4: My Beloved Lecturer

"Ok, kalau tidak ada pertanyaan lagi kuliah hari ini sekian dulu,
jangan lupa minggu depan kita kuis" demikian Rania mengakhiri mata
kuliah Teori Ekonomi Mikro hari itu.
Rania adalah seorang dosen muda di fakultas ekonomi itu, usianya 26
tahun, berparas cantik dengan rambut sebahu direbonding dan bertubuh indah
dengan tinggi 170cm, berat 54 kg, juga kulit putih mulus plus payudara
34B. Kadang orang sering sulit membedakan mana yang mahasiswi mana yang
dosen kalau dia berada diantara mahasiswanya dengan pakaian modis.
Kebagian mata kuliah yang diajarkannya merupakan suatu berkah bagi
para mahasiswa, karena selain ngajarnya enak dan orangnya gaul sehingga
mudah dekat dengan yang diajar, juga menyegarkan mata dengan melihat
wajah cantiknya yang kata mereka mirip Kelly Lin dan tubuh indahnya
terutama kalau memakai pakaian ketat atau rok agak pendek.
Setelah kuliah selesai semua mahasiswa keluar dari kelas, kecuali satu
mahasiswi, Ellen (baca eps. 1), dia menutup pintu ruang kuliah setelah
yang lain keluar dan menghampiri Rania yang sedang membereskan barang-
barangnya.
"Eeemm...Ci Nia(beberapa mahasiswa memanggilnya demikian karena umurnya
tidak beda jauh dengan mereka) bisa kita bicara sebentar ?" kata Ellen
"Ada apa Len, masalah tugas lagi yah ?" jawab Rania tersenyum ramah
Awalnya memang Ellen menanyakan tentang pelajaran yang tidak dia
mengerti, kemudian topik beralih, Ellen mulai curhat mengenai dirinya yang
sedang cekcok dengan pacarnya sehingga tidak konsen dalam belajar.
Rania yang memang dekat dengan mahasiwa/i nya mendengar dan menghiburnya
sehingga mereka malah makin hanyut dalam obrolan wanita sementara jam
sudah hampir menunjukkan pukul enam, langit pun mulai gelap, suasana di
lantai itu sudah sepi karena itu kuliah terakhir.
Akhirnya Rania pun bangkit dan mengajak Ellen pulang mengingat hari
sudah malam
"Yuk kita sambil jalan aja ngobrolnya, udah malem gini, jadi serem
nih" ajaknya.
"Ci, bisa bantu saya satu hal lagi ga ?" tanya Ellen lagi, kali ini
dia mendekati Rania, digenggamnya kedua lengan dosennya itu sambil
menatap matanya.
"Nggg...eh ada apa lagi sih Len ?" Rania jadi gugup karena sikap
mahasiswinya itu
Suasana hening beberapa detik, keduanya saling tatap sebelum tiba-tiba
Ellen memagut bibir dosennya itu. Rania tersentak kaget, dia melepaskan
ciuman itu dan melotot memandangi Ellen.
"Len...kamu...mmmhh!" sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya Ellen sudah
kembali menciumnya.
Rania sempat berontak selama beberapa saat namun ciuman dan belain Ellen
pada daerah sensitifnya membuat gairahnya naik, baru kali ini dia
melakukannya dengan sesama jenis, dirasakannya kenikmatan yang berbeda
yang menggodanya untuk meneruskan lebih jauh.
Rangsangan dari dalam dirinya dan menyebabkan Rania pun menyambut
ciuman mahasiswinya itu. Lidah mereka bertemu, saling jilat dan saling
membelit. Sementara itu tangan Ellen meremas lembut payudara Rania dari
luar, Rania sendiri sudah mulai berani mengelus punggung Ellen, tangan
satunya mengelus pantatnya yang masih terbungkus celana ketat sedengkul warna
hitam. Keduanya terlibat dalam ciuman penuh nafsu selama lima menit,
dan ciuman Ellen pun mulai turun ke lehernya.
"Sshhh...kurang ajar juga kamu Len !" desisnya dengan nafas memburu.
Ellen mulai menciumi pundak Rania sambil kedua tangannya memegangi
leher kaos lengan panjangnya yang berleher lebar itu dan mulai memelorotinya
sehingga bra putih di baliknya terlihat, dia turunkan juga cup bra itu
hingga terlihatlah sepasang gunung kembarnya yang membusung kencang. Jari-
jari lentik Ellen mengusapinya dengan lembut sehingga Rania pun hanyut
dalam kenikmatan.
"Gimana Ci, asyik kan ? Ci Nia jadi tambah cantik kalau lagi horny
gitu loh" Ellen tersenyum nakal sambil memilin-milin kedua puting dosennya.
"Mmhh...eengghh...udah dong Len, sshh...ntar ada yang tau !" desahnya merasakan
kedua putingnya makin mengeras.
"Tenang Ci, disini aman kok, ini kan tingkat empat, kita have fun bentar
yah !"
Kemudian Ellen mencumbui payudara Rania, lidahnya menyapu-nyapu puting
kemerahan yang sudah menegang itu. Rania hanya bisa mendongak dan
mendesah merasakan nikmatnya. Tangan Ellen sudah mulai menyingkap rok
selutut Rania dan merabai pahanya yang putih mulus itu.
"Hhhssshh...eeemmmhh !" Rania mendesis lebih panjang dan tubuhnya
menggelinjang ketika tangan Ellen menyentuh kemaluannya dari luar celana
dalamnya.
Seperti ada getaran-getaran listrik kecil yang membuat tubuhnya terasa tersengat
dan tergelitik saat jari lentik Ellen menyusup lewat pinggir celana
dalamnya dan menyentuh bibir vaginanya, daerah itu jadi basah
berlendir karena sentuhan-sentuhan erotis itu.
Kenikmatan mereka tiba-tiba dibuyarkan oleh suara pintu dibuka, seseorang
muncul dari sana sambil tertawa-tawa.
"Hahaha...bagus-bagus, adegan yang hebat, Bu Rania yang terpelajar itu
ternyata begini kelakuannya di luar jam kuliah, hebat sekali !" Imron, si
penjaga kampus bejat itu tertawa dan bertepuk tangan
Rania pun refleks melepaskan diri dari pelukan Ellen dan merapikan
pakaiannya dengan tergesa-gesa, wajahnya memerah menahan malu.
"Saya pernah baca di tata tertib kampus bahwa kalau ada ketahuan
mahasiswa yang berbuat tidak senonoh di kampus akan dipecat, tapi sekarang
dosen yang harusnya ngasih teladan malah berbuat gini, wah-wah mau jadi
apa nih bangsa ini kalau pendidiknya saja kaya ini !" tambahnya
sambil geleng-geleng kepala.
"Eehhmm...maaf Pak kita sedikit khilaf, ini ada sedikit uang rokok buat
Bapak, anggap aja yang tadi ga ada yah Pak !" Rania berbicara agak
gugup dan mengambil selembar limapuluh ribuan dari tasnya.
"Aahh, simpan saja uang Ibu itu, supaya rahasia Ibu aman saya cuma
mau...!" Imron menatapi tubuh Rania dari atas sampai bawah sebagai ganti
kata-katanya yang tidak diteruskan. Tatapan matanya sangatlah mesum dan
membuat kedua wanita itu merinding.
"Jangan yang engga-engga lah Pak, ini ambil atau nggak sama sekali !"
Rania yang mengerti apa kemauan Imron dengan kesal menjatuhkan lembaran
uang itu ke bangku di dekatnya. "Lagian siapa sih yang bakal percaya
omongan Bapak, paling juga dianggap gosip murahan, jadi jangan
mimpi , ayo Len kita pulang !" tambahnya sambil mengambil tasnya bersiap
untuk meninggalkan ruangan. Terlihat sekali dia bersikap judes untuk menutupi
kegugupannya.
"Tapi kalo disertai bukti ini tentunya bakal jadi gosip mahal kan ?"
Imron mengeluarkan cameraphone itu dari sakunya dan menunjukkan beberapa
gambar adegan lesbian barusan.
Kontan saat melihat itu semua Rania kaget sekali, dia tertegun sesaat
berharap ini hanyalah mimpi.
"Bajingan !" bentaknya, Rania naik darah dan mau merangsek ke depan
namun Ellen menahannya.
"Hahaha...marah ya ? kenapa ga marahin juga perek di sebelah Ibu itu,
dia kan juga ikutan dalam rencana ini ?" Imron mengejek dengan senyum
kemenangan.
"Hah...Ellen, jadi kamu...?" Rania tercekat seakan tidak percaya semuanya.
Jelaslah kini bahwa yang terjadi sejak bubaran kelas tadi sudah
diatur dalam rencana jahat Imron, Ellen yang sudah menjadi budak
seksnya hanyalah pion untuk menjebak dosennya itu dan diam-diam Imron
mensyuting mereka dari lubang angin di atas pintu ketika mereka bermesraan
tadi.
"Maafin saya Ci, saya juga dijebak dan dipaksa jadi gak ada
pilihan lain" Ellen tertunduk tak berani melihat wajah dosennya dan
terisak.
"Nah, sekarang gimana nih keputusannya Bu, saya yakin Ibu juga masih
konak gara-gara tadi sempat tanggung, ya ga ?" Imron mulai berjalan
mendekatinya.
Tiba-tiba Ellen maju ke depan menghalangi Imron yang hendak memeluk
Rania.
"Pak, saya rela Bapak perlakukakan apapun, tapi tolong jangan libatin
Ci Nia, dia itu orang baik !" mata Ellen yang berkaca-kaca saling
tatap dengan Imron dan memohon padanya.
Imron hanya menyeringai membalas tatapannya, diangkatnya dagu gadis itu,
tiba-tiba...'plak !' sebuah tamparan mendarat di pipinya. Ellen limbung
ke belakang dan Rania sempat menjerit kecil sambil mendekap tubuh
mahasiswinya itu.
"Masih mau jadi pahlawan, heh ?" kata Imron, dengan santainya dia
meraih sebuah bangku dan duduk disana.
"Non Ellen, sini !" perintahnya
Rania menatap mahasiswinya itu seraya menggelengkan kepala seolah
mengatakan 'jangan turuti dia', namun Ellen malahan melepas genggaman
tangan dosennya dan berjalan ke arah pria setengah baya itu.
"Maaf !" cuma itulah yang terucap dari mulutnya.
Kini Ellen telah menjadi salah satu budak seks Imron yang mau tidak
mau menuruti apa yang dikehendaki Imron terhadapnya. Sejak diperkosa di
basement parkir beberapa bulan yang lalu, beberapa kali Imron kembali
melampiaskan nafsu binatangnya padanya baik dalam seks kilat, oral
seks, maupun hubungan badan sepenuhnya. Lama-lama dirinya pun mulai
menikmati disamping ada perasaan malu dan bersalah juga pada
pacarnya. Imron kini membuka lebar pahanya dan disuruhnya gadis itu
berlutut di depannya. Kemudian dia memberi syarat dengan menggerakkan bola
matanya ke bawah.
"Sekarang?" Ellen yang sudah tau apa yang diinginkan Imron sepertinya ragu
melakukannya.
"Iya dong Non, biar dosen kamu tahu enaknya, kita ajarin juga dia
caranya !"
Seolah dihipnotis, Ellen pun mulai membuka resleting celana Imron dan
menurunkan celana dalam di baliknya sehingga tersembullah penis yang
sudah mengacung tegak itu.
"Ellen, hentikan !" Rania berseru mencegah hal lebih lanjut.
"Lho kok Ibu main larang-larangan sih, orang dianya sendiri yang mau kok,
tuh liat !" kata Imron "Ayo Non, sekarang mana servisnya, ayo jangan malu-
malu, dia juga nanti ikutan kok !"
"Ya Tuhan, Ellen...kenapa...kenapa !?" Rania terperangah sampai membekap
mulutnya sendiri melihat mahasiswinya mulai mengoral penis Imron, tangannya
yang mungil itu sesekali mengocoknya, yang lebih gila dia juga terlihat
begitu menikmatinya, padahal dirinya sudah merinding melihat penis hitam
bersunat yang kepalanya agak merah itu.
"Aahh...enaknya, lihat sendiri kan Bu, murid Ibu aja ketagihan sama
kontol saya" Imron mengelus rambut Ellen menyuruhnya terus mengulum "Cepetan Bu
gimana keputusannya, mungkin Ibu gak takut risiko perbuatan Ibu tadi, tapi
apa Ibu gak kasian kalo gambar-gambar syur murid Ibu ini tertempel di
papan pengumuman ?"
Ellen terhenyak dan menghentikan kulumannya
"Heh, siapa suruh berhenti, cepet terusin ! jangan ikut campur !" bentak Imron
menyuruh Ellen meneruskan kegiatannya.
"Iya-iya, oke, saya menyerah Pak, tapi tolong jangan mempersulit dia
lagi !" jawab Rania panik "dan tolong, jangan omong apa-apa tentang semua
ini" tambahnya gugup.
"Nah, gitu dong Bu, baru namanya dosen yang baik, ayo dong, sini mendekat
kalau memang setuju !" Imron melambaikan tangan menyuruhnya mendekat.
Rania berhenti di sebelah Imron, perasaannya luar biasa galau, marah,
jijik, dan takut, namun dia juga mulai terangsang melihat Ellen
mengoral Imron di depan matanya. Semua dia lakukan karena tidak ada
pilihan lain untuk menutupi aibnya, juga demi muridnya. Darahnya berdesir
ketika tangan kasar itu meraih betisnya, tangan itu terus naik mengangkat
roknya dan mengelusi pahanya yang mulus.
"Paha yang indah, pasti waktu Ibu ngajar mahasiswanya ngebayangin bisa
ngeliat ke dalam sini heheheh !" celoteh Imron
Rania hanya memalingkan wajahnya ke samping dengan perasaan sangat
terhina dengan perlakuan seperti itu. Sikap pasrahnya membuat Imron makin
menjadi, tangannya makin menjalar ke atas hingga meremas pantatnya.
"Wuih, montok amat sih Bu, betah deh saya lama-lama di kelas kalo
jadi murid Ibu" katanya mengagumi keindahan tubuhnya "dibuka aja Bu
roknya, biar lebih afdol !"
Imron mengulurkan tangannya yang satu untuk membuka ikat pinggangnya dan
disuruhnya Rania membuka resletingnya di belakang. Dengan berat hati
Rania pun membuka resletingnya hingga rok itu meluncur jatuh. Setelah rok itu
lepas, maka yang nampak adalah sepasang paha jenjang Rania yang mulus
dengan celana dalam pink menutupi daerah terlarangnya. Imron lalu
merangkul pinggang ramping itu membawa tubuhnya lebih mendekat. Paha mulus
itu lalu dia ciumi inci demi inci sementara tangannya mengelusi paha
yang lain. Rania merinding merasakan sapuan lidah dan dengusan nafas
pria itu pada kulit pahanya, libidonya makin naik apalagi melihat
Ellen yang tengah menjilati kepala penis itu sambil memijit zakarnya.
"Ssshhh...!" sebuah desisan keluar dari mulutnya ketika jari Imron menyentuh
bagian tengah celana dalamnya.
Secara perlahan Imron menurunkan celana dalam itu hingga ke lutut, matanya
nanar memandangi kemaluan Rania yang masih rapat dan berbulu lebat itu.
"Pelan-pelan yah, usahain jangan cepat keluar, ntar dosen Non ga
kebagian !" dia berpesan sejenak pada Ellen sebelum kembali memusatkan
perhatiannya pada vagina Rania.
Selanjutnya Imron membenamkan wajahnya pada kemaluan Rania, dengan
rakus menjilati vaginanya. Tangan kirinya mengelusi paha dan pantatnya,
terkadang jarinya iseng menyusup ke pantatnya.
"Aahhh...Pak...aahhh...jangan !" Rania mendesah antara menolak dan
menikmati saat lidah Imron menelusuri gundukan bukit kemaluannya
Tanpa disadari kakinya melebar sehingga memberi ruang lebih luas bagi
Imron untuk menjilatinya. Tubuh Rania seperti kesetrum ketika lidah Imron
yang hangat membelah bibir kemaluannya memasuki liangnya serta menari-
nari di dalamnya. Di tempat lain, Ellen juga makin terangsang melihat
adegan Imron dengan dosennya, sambil menjilati penis Imron perlahan, dia
juga meremasi payudaranya sendiri. Kedua buah pelir Imron sesekali
diemutnya bergantian membuat pemiliknya keenakan, apalagi dengan
dilayani dua wanita cantik ini. Rania semakin tak kuasa menahan
kenikmatan itu, dia bergerak tak karuan akibat jilatan Imron sehingga
Imron harus memegangi tubuhnya.
"Pak...ahhh...oohh !" desahnya dengan tubuh bergetar merasakan lidah Imron
memainkan klitorisnya.
"Mmmm....enak kan Bu ?" sahut Imron."udah dulu ah, sekarang giliran Ibu yang
mainin punya saya, ayo jongkok sini !" katanya seraya membuka paha lebih
lebar.
Terus terang Rania merasa sangat tanggung Imron menghentikan jilatannya,
dalam hati kecilnya sebenarnya masih ingin menikmatinya, namun tidak
mungkin dia memintanya lagi demi menjaga harga dirinya. Maka ketika
disuruh Imron mengoral penisnya diapun tanpa diperintah dua kali berlutut di
hadapan pemerkosanya.
"Eit-eit tunggu dulu Bu, bajunya dibuka aja biar enak" Imron melucuti
baju Rania yang baru berlutut di depannya, cup branya sudah melorot karena
tidak sempat dinaikan waktu kepergok tadi sehingga langsung mempertontonkan
payudaranya "Non juga, yang namanya ngentot mana enak pake baju !" katanya
lagi pada Ellen
Ellen pun berdiri sejenak, pakaiannya satu-persatu terlepas dari tubuhnya
sampai yang terakhir yaitu celana dalamnya. Diam-diam Rania
memperhatikan tubuh indah Ellen dan sempat membandingkan dengan dirinya,
dia kagum dan iri dengan lingkar pinggang mahasiswinya yang lebih
ramping darinya, namun dia juga merasa bangga dengan payudaranya yang
lebih bulat dan membusung dibanding Ellen, bagaimanapun secara
keseluruhan keduanya memiliki bentuk tubuh ideal.
Imron menarik tubuh Ellen yang telah polos dan didudukkan ke paha
kirinya, dia mulai mengelusi payudaranya, putingnya dia pilin-pilin seperti
malam mainan, tangan lainnya menyelusuri lekuk tubuh lainnya.
"Tunggu apa lagi Bu, sekarang giliran Ibu ngelayanin burung saya !" sahut
Imron pada Rania yang bengong menyaksikan mereka.
Dengan tangan gemetar dia melingkarkan telapak tangannya pada penis itu,
basah dan mengkilap karena sisa ludah Ellen. Baru kali ini dia
melihat penis secara langsung, bahkan milik tunangannya yang sedang S2 di
Australia pun baru pernah dirasakan bergesekan dengannya ketika petting,
namun belum pernah mencoba yang lebih jauh.
"Ayoh cepat, mau foto-fotonya dipajang apa ?" ulangnya tidak sabar sambil
memencet payudara Ellen sehingga gadis itu merintih kesakitan.
Tidak tega melihat muridnya disiksa, diapun mulai memasukkan kepala
penis itu ke mulutnya. Imron mendesah merasakan kehangatan mulut Rania,
sentuhan lidahnya memberi sensasi nikmat padanya. Dengan menahan jijik
dia menjilati sekujur batang penis itu.
"Eeenngghh...aahh...aahh !" terdengar desahan Ellen yang payudaranya sedang
dikenyot-kenyot si penjaga kampus itu, di vaginanya bercokol tangan kasar itu
mengelusi serta mengocok liang kemaluannya.
Rania menggerakan mata melihat ke atas, apa yang dia lihat di sana
malah membakar nafsunya yang pelampiasannya dia curahkan dalam bentuk
oral seks. Penis itu semakin mengeras dan berkedut-kedut di dalam mulut
Rania serta menebar rasa asin. Dia sendiri tidak tahu bagaimana dia
bisa segila ini, namun situasi saat itu ditambah jilatan Imron yang
tanggung tadi membuat gairahnya menggebu-gebu. Penis yang besar mengerikan itu
tidak muat seluruhnya ke dalam mulutnya yang mungil, maka sesekali Imron
menekan kepalanya agar bisa masuk lebih dalam lagi
"Lagi Bu, kurang masuk, aahhh...yak gitu dong !" demikian katanya.
Sementara itu vagina Ellen makin banyak mengeluarkan cairan akibat
kocokan jari Imron, cairan itu membasahi paha Imron tempatnya berpangku.
Imron sedang asyik menjilati payudara kanan Ellen sampai basah kuyup
oleh ludahnya, sengaja dia tidak menggigit maupun mengenyotnya dengan
maksud mempermainkan nafsu gadis itu, dan benar saja Ellen mendesah
makin tak karuan karenanya.
Rasa jijik yang tadinya begitu melingkupinya perlahan-lahan sirna, Rania
mulai menikmati oral seks pertamanya, dimaju-mundukannya kepalanya seperti
yang pernah dia dengar dari obrolan dengan teman-temannya, lidahnya
menjilat memutar kepala penisnya, akibatnya Imron keenakan dan mengerang-
ngerang.
"Uuaaahh...terus Bu, enak banget, harusnya Ibu ngajar mata kuliah ngentot
juga hehehe !" ejek Imron
Kurang ajar sekali kata-kata itu, Rania merasa harga dirinya
direndahkan sebagai seorang wanita terhormat, terpelajar, dan berprofesi
sebagai pendidik pula, namun dia telah terpelosok ke dalam perangkap
birahi ini, kini dia telah menjadi salah satu budak seks Imron. Tak
lama kemudian, dengan tangan kiri tetap menggerayangi payudara Ellen,
tangan kanannya menjambak rambut Rania serta menekannya ke
selangkangannya. Mata Rania membelakak, dia gelagapan karena mulutnya
penuh sesak dengan penis, lebih kaget lagi ketika dirasakan cairan
kental hangat memenuhi mulutnya, dia meronta hendak melepaskan diri namun
kekuatannya tidak cukup untuk itu. Selama beberapa detik cairan itu
menyemprot mulutnya, lalu Imron menarik lepas kepalanya dari penis itu, maka
semprotannya yang belum habis pun mengenai wajahnya
Rania langsung batuk-batuk begitu benda itu lepas dari mulutnya karena
sempat tersedak dan baru pertama kali mengalami seperti itu. Aroma sperma
yang menusuk itu membuatnya jijik dan ingin muntah.
"Non, bantuin tuh dosennya bersihin peju !" perintahnya pada Ellen.
Ellen pun berlutut di samping dosennya dan memegangi pundaknya.
"Maaf Ci !" ucapnya diteruskan menjilati sperma Imron yang tumpah di
wajahnya.
Dengan lidahnya Ellen membersihkan sperma yang menyiprat di pipi, hidung,
dan dagu dosennya hingga akhirnya mulut mereka pun bertemu. Rania mulai
berani melingkarkan tangannya ke tubuh Ellen dan meraba punggungnya yang
halus. Demikian juga Ellen, dia membuka kait bra Rania yang sudah
tersingkap sehingga bra tanpa tali pundak itu pun terjatuh. Perasaan malu,
risih, dan lain-lain hilang karena kenikmatan yang terus menerpa tubuh,
kedua wanita muda yang telah telanjang bulat itu berciuman dengan
panasnya. Imron benar-benar telah menguasai mereka dengan menjadikan
mereka menuruti apa saja fantasi dan hasrat gilanya, segaris senyum pun
muncul di wajahnya melihat hasil perbuatan jahatnya.
Imron bangkit dan melepaskan seragam karyawannya, terlihatlah tubuhnya yang
berisi dan bekas luka memanjang di dadanya yang menambah kesan sangar.
"Ayo-ayo, yang disini juga dibersihin, masih ada sisanya nih !" sambil
menyodorkan penisnya yang masih basah pada mereka.
Imron mendesah merasakan sapuan lidah kedua wanita cantik itu pada
penisnya, mereka berbagi mengoral penis itu, ada yang memasukkan ke mulut
ada menjilati zakarnya. Cuma sebentar saja Imron memberikan penisnya
dioral mereka, setelahnya dia mengangkat lengan Rania hingga tubuhnya
berdiri. Rania disuruh nungging dengan tangan bertumpu pada meja, dia
sudah merasakan benda tumpul menyentuh vaginanya dari belakang yang berarti
sudah memasuki detik-detik akhir kehilangan keperawanannya. Kepala penis
itu mulai masuk membelah bibir vaginanya perlahan-lahan, erangan Rania
mengiringi masuknya benda itu. Hingga suatu saat Imron mendorong keras penisnya
hingga mentok.
"Aaahhkkkk....!!" Rania menjerit dengan mata membelakak, sakit sekali
rasanya pertama kali sudah ditusuk penis sebesar itu.
Imron juga melenguh panjang karena penisnya terasa terjepit kencang sekali
oleh dinding vagina Rania yang masih sempit. Dia mendiamkan dulu
penisnya disana selama beberapa saat menikmati himpitan vaginanya
sehingga Raniapun memiliki waktu untuk beradaptasi dan menghirup udara
segar.
"Ternyata Ibu emang dosen yang baik yah, murid ibu si perek itu aja waktu
saya entot udah jebol duluan, tapi Ibu masih perawan, enak banget loh,
huehehe...!!" kata-kata Imron membuat telinga Rania dan Ellen panas.
Penis itu rasanya sungguh menyesakkan bagi Rania, tapi terus terang barang itu
juga menuntaskan hasratnya yang sempat tertunda tadi. Perlahan Imron mulai
menggenjotnya, dengan bantuan cairan kewanitaan dan ludah penisnya keluar
masuk lebih lancer. Tanpa dapat disangkal Rania mulai merasakan
nikmat yang tak terlukiskan disamping rasa perih tentu saja. Sambil
menggenjot, Imron juga meremasi payudara Rania yang menggantung, putingnya
dia main-mainkan sehingga nafsu Rania makin meningkat saja.
Di tempat lain, Ellen berdiri dengan tangannya membelai-belai vaginanya
sendiri menyaksikan dosennya diperkosa di depan matanya sendiri. Dalam
hatinya berkecamuk berbagai perasaan, di satu sisi dia merasa kasihan
melihat dosennya yang ramah dan begitu dekat dengan anak didiknya harus
mengalami nasib serupa dengan dirinya dan dia tidak berdaya untuk
menolongnya malahan turut andil menjebaknya, namun disisi lain dia juga
begitu terangsang melihat penis yang sering menusuknya itu keluar masuk di
vagina Rania yang masih sempit. Secara naluriah, Ellen naik ke tengah
meja menghadap Rania, kemudian kedua pahanya dia buka.
"Ci Nia, tolong yah...saya gak tahan !" pintanya dengan dua jari membuka
bibir vaginanya.
Dorongan birahi yang tinggi menyebabkan Rania mendekatkan wajahnya ke
selangkangan muridnya itu, lidahnya pun menyentuh bibir vagina yang merah
merekah itu sehingga pemiliknya mendesah.
"Sshhh...uuummm....aaahhh !" desah Ellen menikmati jilatan dosennya pada
vaginanya "Emmhh...yahh...disitu Ci, terusin...aaahh !" desisnya lagi ketika
lidah Rania bertemu klitorisnya.
Rania membuka pahanya lebih lebar seiring dengan sodokan Imron yang
semakin ganas agar tidak terlalu perih. Selain itu dia juga mulai
menggerakkan pinggulnya mengikuti irama goyangan Imron. Sementara di atas
meja, Ellen mendesah makin tak karuan oleh jilatan-jilatan Rania
pada vaginanya, tangannya meremasi dan memainkan putingnya sendiri. Tak
lama kemudian, diapun orgasme dengan melelehkan cairan bening dari
vaginanya membasahi meja, awalnya Rania merasa aneh begitu cairan itu
keluar, sebelumnya belum pernah dia merasakan cairan sesama jenisnya,
tapi gelombang birahi yang menerpanya menggerakkan dirinya menjilati
cairan itu. Nafas Ellen nampak ngos-ngosan sehingga dadanya turun-naik
akibat orgasme yang dialaminya. Hal serupa juga mulai dirasakan Rania,
otot-otot vaginanya terasa berkontraksi lebih cepat seperti ada yang mau
meledak di bawah sana, cairan yang keluar dari sana juga sepertinya
semakin banyak. Akhirnya tubuhnya benar-benar mengejang semua bersamaan
dengan erangan panjang, cairan kewanitaan meleleh dari vaginanya tanpa
terbendung membasahi paha dalamnya, cairan itu kemerahan karena
bercampur darah keperawanannya.
Selanjutnya, Imron membaringkan tubuh Rania di lantai yang dingin lalu
dia menindihnya. Diciuminya Rania dengan penuh nafsu. Hhmmphh....Rania
gelagapan dan mencoba mendorong badannya tapi tidak mampu. Lidah Imron
terus menyapu-nyapu bibirnya yang tipis dan akhirnya memasuki mulutnya, liurnya
pun tercampur dengan liur Rania. Bau nafasnya yang tidak sedap membuat
Rania terganggu, tapi itu tidak lama karena Imron dengan lihainya
membangkitkan kembali gairah Rania dengan menggerayangi tubuhnya,
ditambah lagi desahan Ellen yang bermasturbasi di atas meja. Naluri seks
Rania bereaksi dengan mengimbangi serbuan mulut Imron, digerakkannya
lidahnya membalas lidah Imron yang menjelajahi mulutnya. Sesaat
kemudian, mulut Imron turun ke dadanya dan langsung menyambar putingnya,
tangannya mempermainkan payudaranya yang satunya. Dengan cepatnya nafsu Rania
naik lagi, dia mendesah sambil menggigiti jari, sesekali merintih
kalau Imron menggigitnya. Sebentar saja wilayah dada Rania sudah basah
bukan cuma oleh keringat tapi juga oleh air liur Imron.
Imron membuka kedua belah paha Rania dan menempatkan dirinya diantara
kedua pahanya hingga alat vital mereka bersentuhan. Tangannya mengarahkan
penisnya yang besar itu ke sasarannya yang telah pasrah. Badan Rania
bergetar begitu penis itu kembali menusuknya, tangannya mencengkram erat bahu
Imron. Imron merasa sangat puas melihat ekspresi wajah Rania yang meringis
dan merintih-rintih, Imron melakukannya dengan kombinasi kasar dan halus
yang tepat sehingga Rania menikmati hubungan badan pertamanya ini. Setelah
masuk sebagian, Imron menekan pantatnya hingga penisnya pun terdorong masuk ke
vagina Rania.
"Aaaa...aaauuhhh !" terdengar jeritan kecil kesakitan yang bercampur nikmat.
Imron pun mulai menaik-turunkan tubuhnya diatas tubuh telanjang Rania.
Rania menggigit bibir bawah menahan nikmat, sesekali mulutnya
mengeluarkan desahan. Tanpa disadari tangannya memeluk Imron, si pemerkosa
itu, kedua kakinya juga melingkari pinggang Imron seolah mengisyaratkan
'terus Pak, masukin lebih dalam please'. Bibir tebal Imron menelusuri
leher jenjangnya, meninggalkan jejak ludah dan cupangan, selain itu
lidah itu juga menggelikitik telinganya.
"Aahh...ahhh...memek Ibu enak banget, baru tau enaknya ngentot kan, heh dosen
perek uuhh...mmmhh !" kata Imron dekat telinganya.
Rania sudah tidak mempedulikan lagi hinaan yang merendahkan dirinya
itu, sebaliknya kata-kata itu seperti mantra yang meningkatkan gairahnya
dan membuatnya patuh bagaikan budak, dan itulah kenyataannya, dia
telah menjadi budak seks Imron yang harus patuh dan bersedia diapakan
saja. Rania sempat menggulirkan bola matanya untuk melihat keadaan
Ellen, mahasiswinya, dia menemukan Ellen diatas kursi sedang mengeluar-
masukkan ujung bolpen yang tumpul ke kemaluannya, tangan satunya meremasi
payudaranya sendiri sambil menyaksikan dirinya digumuli. Wajah Ellen
yang putih itu merona merah akibat terangsang berat. Imron semakin cepat
menggerakkan pinggangnya naik turun, nafas keduanya memburu dan mendesah tak
karuan.
"Aahhh...aahhh !!" akhirnya Rania kembali mencapai klimaksnya,
vaginanya semakin banjir saja karenanya.
Gelombang orgasme bagaikan mengangkatnya ke langit ketujuh, matanya merem-
melek tidak tahu bagaimana lagi mengekspresikan kenikmatan itu selain
dengan desahan panjang.
Sepertinya Imron mengerti keadaan Rania yang sudah kelelahan, dia pun
mencabut penisnya yang masih tegak dari vagina Rania. Dipanggilnya Ellen
mendekat lalu disuruhnya berposisi doggie, begitu juga Rania yang masih
lemas diaturnya hingga menungging bersebelahan dengan Ellen. Kali ini
dia menusuk vagina Ellen sedangkan jarinya mengaduk-aduk vagina Rania.
Kemaluan Ellen yang sudah basah berlendir menyebabkan penis Imron tambah
kencang sodokannya. Erangan kedua wanita itu memenuhi ruang itu bahkan
terdengar keluar dalam jarak dua ruang kelas, namun siapa yang mengetahui
apa yang terjadi di ruang itu, pada saat itu sudah tidak ada siapapun
disana, satpam pun hanya berjaga di pos depan yang jauh dari situ.
Tidak sampai sepuluh menit Ellen yang sejak tadi terangsang berat
mencapai orgasmenya, tubuhnya mengejang disertai desahan panjang. Imron
melepaskan penisnya dan Ellen pun terkulai lemas di lantai, kembali dia
beralih ke Rania. Hari itu Imron memperlakukan Ellen sebagai menu
sampingan karena dia masih ingin merasakan kenikmatan lebih jauh
dengan menu utama atau mainan barunya, Rania.
Kini disuruhnya Rania dalam posisi merangkak di atas tubuh Ellen yang
dia telentangkan. Buah dada keduanya bertemu dan saling menghimpit, Imron
mulai menghentakkan tubuhnya yang telah menyatu dengan Rania. Aahh...
nikmatnya, Rania merem-melek menikmati sodokan Imron yang dengan puas
menggarapnya. Dengan Ellen dia berpelukan dan saling memagut bibir,
keduanya beradu lidah dengan liarnya. Lagi enak-enaknya menikmati
genjotan dan ciuman, Rania merasa rambutnya ditarik, lengan Imron satu
melingkari dadanya juga menariknya ke belakang. Imron mendudukkan diri
di lantai sehingga kini Rania berada di pangkuannya dengan
memunggunginya. Awalnya Imron menyentak pinggulnya agar penisnya menyodok-nyodok
vagina Rania, namun setelah dua menitan Imron menghentikannya dan kini
malah Ranialah yang dengan sendirinya menaik-turunkan tubuhnya dengan
bersemangat. Dia juga membiarkan Imron mencupangi leher dan bahunya, di
depannya Ellen juga ikut mengenyot payudaranya sambil menggosok-gosok
kemaluannya sendiri. Dengan mata terpejam, Rania menghayati permainan itu,
mulutnya terus menceracau tak jelas.
Tak lama kemudian kembali gelombang orgasme melandanya, daerah
selangkangannya semakin basah karenanya. Imron terus menekan-nekan tubuh
Rania selama beberapa saat ke depan sampai akhirnya dia pun memenggeram
dan memeluk erat Rania. Sesuatu yang hangat terasa di dalam kemaluannya,
ya, cairan sperma Imron memang sudah mengisi rongga kewanitaannya, sebagian
berleleran ke luar bercampur dengan darah dan cairan vagina. Di saat itu
juga Ellen juga mencapai kepuasan hasil gesekan dengan jarinya sendiri,
jari-jarinya yang lentik telah basah oleh cairan itu. Setelah puas dengan
kehangatan tubuh Rania, Imron melepas pelukannya sehingga Rania tergolek
lemas. Setelah reda birahinya, Rania baru mulai didera penyesalan telah
mengkhianati tunangannya dan terjerumus ke dalam perangkap seks ini,
bahkan sempat menikmatinya. Sekalipun dia seorang wanita yang tegar, saat
itu air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ellen mengangkat punggungnya
dan menyandarkannya pada tubuhnya dengan maksud menenangkannya, dalam
pelukan Ellen lah Rania menangis terisak-isak. Sementara Imron melihat
mereka sambil merokok dan menyeringai puas.
Sejak malam itulah kehidupan Rania berubah seperti halnya para korban
Imron lainnya. Di satu waktu mereka memang mahasiswi dan dosen yang
terpelajar, wanita-wanita muda yang menikmati hari-hari mereka, wanita
yang menjadi teman atau pacar yang baik, namun di lain waktu, ketika
ponsel mereka berbunyi atau ketika isyarat dari pria setengah baya itu
muncul, mereka harus siap menjadi mesin pemuas nafsu binatang yang entah
sampai kapan berakhir, karena merekapun telah terjerat dalam hasrat
terliar mereka sendiri. Akankah lingkaran setan ini bertambah besar
seiring dengan aksi Imron yang makin merajarela ? Akankah muncul seorang
pahlawan yang akan membebaskan wanita-wanita malang ini kelak ? Belum
ada yang bisa menjawabnya, setidaknya untuk sekarang.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar tapi dilarang yang berbau sara dan provokativ.